Anda di halaman 1dari 3

A Perfect Fit: Saski dan Takdir dalam Selembar Lontar

Film tentang jodoh dan takdir selalu mempunyai tempat khusus di hati saya. Menarik
sekali melihat kejadian serba kebetulan yang membawa kepada sang belahan hati dalam
Serendipity (2001), dua orang yang mempunyai berbagai kecocokkan dan selalu
dipertemukan oleh waktu dalam Sleepless in Seattle (1993), hingga perpaduan jodoh dan
pembacaan zodiak dalam Rumah Ketujuh (2003).

Baru-baru ini saya setuju untuk menaruh film terbaru Hadrah Daeng Ratu, A Perfect
Fit (2021), ke dalam tempat khusus di hati tersebut. Bercerita mengenai Saski (Nadya Arina),
seorang fashion blogger di Bali yang digambarkan tidak percaya-percaya amat dengan yang
namanya ramalan. Ia tidak terlalu ambil pusing dengan selembar daun kering dan sepenggal
mantra yang diberikan oleh seorang peramal, sekalipun ia sedang pusing mencari sepatu
untuk dipakai ke acara ulang tahun Deni (Giorgino Abraham), tunangannya. Ia hanya dipaksa
oleh sahabatnya, Andra (Laura Theux), untuk mencoba percaya. Tak disangka, daun kering
dan mantra tersebut membawa Saski ke depan sebuah toko sepatu milik Rio (Refal Hady)—
kebetulan yang pertama.

Saski kembali dipertemukan dengan Rio ketika ia terpaksa harus kembali ke toko
karena sepatu yang diberikan Rio ternyata bukanlah yang ia beli—kebetulan berikutnya.
Berbagai pertemuan serba kebetulan terus terjadi dan semakin mendekatkan (hati) mereka. Di
satu sisi, Saski terus saja dihadapkan pada rangkaian fakta yang mempertanyakan
kecocokkannya dengan Deni, seolah semesta memang ingin Saski dan Rio menjadi satu.

Saski dan Takdirnya

Meskipun kian didekatkan dengan Rio, Saski seakan memang harus menikah dengan
Deni sebagai balas budi karena keluarga Deni sudah membiayai pengobatan ibu Saski selama
ini. Kalimat seperti “aku tidak punya pilihan” dan sejenisnya seringkali diucapkan, seolah
menegaskan bahwa memang dalam hidupnya ia hanya bisa pasrah pada keadaan. Pun ketika
Deni menunjukkan sifatnya yang temperamental, Saski pada akhirnya pulang ke rumah
mendapati ibunya yang semakin jatuh sakit—kembali menegaskan bahwa Deni adalah satu-
satunya harapan.
Sementara menunjukkan bahwa seolah Deni adalah takdir Saski, di lain sisi film ini
memperlihatkan bagaimana Saski dan Rio semakin sering dipertemukan dan saling jatuh hati
—menjadi bahan pertanyaan bagi Saski mengenai siapa takdirnya yang sebenarnya. Hal
tersebut juga menghadapkan Saski pada dua pilihan dan menjadi bahan perbincangan; apakah
manusia memang diciptakan sebegitu pasrahnya pada suratan takdir, atau ia diberikan
kebebasan dan kuasa untuk memilih?

Di sinilah Hadrah menggunakan analogi sepatunya; bahwasanya seperti mencari


sepatu terbaik, manusia juga diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup mana yang
menurutnya terbaik. Saski mungkin dituntun ke toko sepatu untuk dipertemukan dengan Rio,
tetapi merupakan kuasa Saski sepenuhnya untuk akhirnya menggerakkan kaki masuk ke
dalam toko. Saski juga diberi banyak petunjuk tentang sifat buruk Deni, dari temperamental
hingga main perempuan. Tetapi yang akhirnya benar-benar menjauhkannya dengan Deni
adalah kuasanya dalam menentukan pilihan. Ia berani melawan “takdirnya” dengan
meninggalkan Deni yang terpaku di pinggir pantai, masih berpikir bahwa ialah satu-satunya
pilihan Saski.

Saski dan Lontar

Tidak sedikit yang mengatakan jalan ceritanya nampak seperti film televisi biasa,
namun Hadrah tak serta merta menampilkan serangkaian kejadian sebagai suatu kebetulan
semata, tetapi ia juga memberikan balutan cantik ke dalam narasi perjodohannya dengan
salah satu produk budaya Bali yang masih marak dilestarikan hingga kini; lontar.

Petunjuk pertama mengenai peran lontar dalam takdir Saski sudah hadir sejak awal
film. Ketika Saski malas-malasan untuk mempraktikkan mantra ramalan, Andra
membujuknya dengan menodongkan fakta bahwa ibu dan bapak Saski masing-masing adalah
pembaca dan penulis lontar, sehingga mengherankan jika Saski menolak mempraktikkan
ramalan.

Melalui sebuah artikel yang berjudul Lontar; Manuskrip Perekam Peradaban dari
Bali dalam sebuah majalah online yang saya akses melalui laman perpusnas.go.id, diketahui
bahwa lontar—yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia—merupakan sumber atas
banyak ilmu pengetahuan sejarah, agama, filsafat, pengobatan, dan berbagai ilmu
pengetahuan tinggi lainnya yang ditulis di atas daun lontar dalam bahasa aksara Bali. Oleh
karenanya, dibutuhkan pembaca dan penulis yang sudah terlatih seperti ibu dan bapak Saski.

Lontar diperlakukan layaknya sebuah kitab suci yang dijadikan pegangan hidup
sehari-hari masyarakat Bali. Inilah aspek yang menarik dalam A Perfect Fit; bahwa perkara
jodoh dan takdir dibicarakan pula secara spiritual. Penonton dihadapkan pada keluarga Saski
dan Deni yang, melalui lontar, jadi tahu bahwa perwetonan Saski dan Deni sebenarnya tidak
cocok. Mereka juga jadi tahu bahwa calon pengantin tersebut harus dilukat demi kelancaran
pernikahannya dengan air dari 118 mata air yang berbeda—sesuatu yang akhirnya terlalu sulit
untuk diwujudkan.

Maka, ketika kemudian Saski mengetahui bahwa Deni bermain dengan perempuan
lain, pembacaan lontar tersebut semakin kuat fungsinya sebagai petunjuk dalam hidup Saski,
bahwa memang Deni bukanlah untuknya. “Ternyata lontar itu memperingatkan, bahwa kita
sangatlah tidak cocok”, begitu kata Saski. Budaya lontar yang melekat kuat pada ibu bapak
Saski, pada akhirnya juga berelasi secara spiritual dengannya. Lontar memang bukan sekadar
tulisan di atas selembar daun. Ia ikut serta dalam memperingatkan dan menuntun Saski.

Lebih jauh lagi, pembacaan lontar dalam A Perfect Fit berfungsi sebagai representasi
bagaimana manusia, dalam hal ini masyarakat Indonesia, mempunyai pengalaman dan relasi
spiritual dengan sesuatu yang ia percayai sebagai pegangan dan penuntunnya dalam
menjalani hidup sehari-hari—bisa jadi agama, kepercayaan, atau dalam hal ini tradisi adat dan
budaya.

Jika bicara soal tradisi dan budaya, Farishad Latjuba dalam Mantan Manten (2019)
sebelumnya pernah membahas mengenai bagaimana pemaes bukan hanya tentang profesi,
tetapi juga tentang tradisi dan makna spiritualitasnya terhadap pernikahan itu sendiri. Garin
Nugroho selaku penulis naskah dalam A Perfect Fit juga pernah mengangkat tema budaya
dan pengalaman spiritualitas personalnya dalam Kucumbu Tubuh Indahku (2018). Menarik
sekali ketika ketiga film tersebut pada akhirnya juga menjadi media yang membahas makna
spiritual dari sebuah tradisi adat dan budaya, selain melestarikan keindahannya.

Anda mungkin juga menyukai