Anda di halaman 1dari 8

Apresiasi terhadap Mutu Pendidikan tanpa Diskriminasi

Istilah mendapatkan kualitas unggul selalu diakui sebagai hak. Demikian juga dengan istilah mutu
seringkali didekatkan dengan non-diskriminasi. Mutu atau kualitas unggul dipandang sebagai hak setiap
orang, sehingga di dalam mutu terdapat kesamaan hak untuk mendapatkannya. Diskriminasi yang
merupakan perlakuan tidak adil terhadap orang atau sekelompok yang berbeda. Lebih ekstrim lagi,
Diskriminasi menandai kelompok dominan dengan minoritas yang serba berbeda, Dengan demikian,
mutu dan diskriminasi selalu diperjuangkan kaum minoritas mulai dari konsep hingga praktek.

a. Bab IV tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintas,
bagian satu tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Pasal 5 Ayat (1): setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Menurut Mukhlishah dalam http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0804/II/0802.html


halaman 1: mutu dalam pengertian awam adalah kesesuaian antara kondisi hasil didik dengan
keinginan dan kebutuhan stakeholder pendidikan. Pihak yang paling berkepentingan dengan hasil
pendidikan adalah orang tua peserta didik dan para calon pemakai hasil pendidikan.

Menurut Soedijarto (1993: 125), terdapat tiga indikator utama dari pendidikan yang
bermutu yang tercermin dari kemampuan pribadi lulusannya, yaitu (1) kemampuan survival
dalam kehidupannya; (2) kemampuan utnuk meningkatkan kualitas hidupnya, baik dalam segi
politik, ekonomi, maupun dalam segi fisik-biologis; (3) kemampuan untuk belajar pada jenjang
pendidikan lanjut. Dalam mencapai mutu pendidikan yang diupayakan, pemerintah sebagai
pemegang tanggung jawab pelaksanaan pendidikan harus mampu memberikan kepastian tanpa
diskriminasi, baik dalam perencanaan, prosesm maupun mutu hasil pendidikan. Demikian juga
UU Sisdiknas tersebut mengapresiasikan hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu tanpa
diskriminasi. Upaya ini dilanjutkan dalam rangka menghindari konflik lokal, regional, dan
bahkan nasional.

b. Bab IV bagian keempat tentang Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11
ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.

Diskriminasi yang biasa dikaitkan dengan perlakuan seseorang (lembaga) dengan orang
lain karena perbedaan tertentu selalu lebih cepat ditanggapi negatif daripada positifnya.
Diskriminasi dalam beberapa permasalahan selalu menjadi bara lahirnya konflik. Untuk
menghindari tanggapan yang kurang menguntungkan tersebut, maka pemerintah lebih dini
menyampaikan bahwa pendidikan yang dilaksanakan baik di pusat maupun di daerah tidak
mengenal diskriminasi. Semua warga negara dalam upaya oelaksanaan pendidikan mendapatkan
perlakuan dan hak yang sama. Demikian juga dalam menentukan sesuatu yang berkaitan dengan
pengembangan mutu demi dan untuk pendidikan bagi masyarakat.

Perlakuan pemerintah tersebut menandai bahwa pemerintah mengakui dan menghargai


pluralitas. Meskipun target pendidikan terdiri dari bermacam-macam agama, etnis, suku, dan
bahasa yang tersebar di pelosok nusantara, tetapi tetap mendapatkan pelayanan dan kemudahan
untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Keberbedaan yang ditimbulkan di beberapa daerah
bukan dimaksudkan untuk mendiskreditkan suku, ras, agama, dan lain-lain, akan tetapi, hal itu
diwujudkan untuk mengakomodisi perbedaan tersebut dan menyeimangkan proporsi dan hak
masing-masing kelompok. Dengan demikian, perlakuan diskriminatif bukan berarti serba sama.
Ketidak-samaan perlakuan yang ditimbulkan pemerintah pusat dan/atau daerah, justru dalam
rangka meniadakan diskriminasi itu sendiri.

c. Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pasal 4 ayat (1): pendidikan
diselenggarakan secara demokratus dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tunggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (Sisdiknas,
2003).

Kata demokratis, adil, tidak diskriminatif, menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, tampaknya tidak dapat diterjemahkan /
ditafsirkan ulang. Menurut Abd. Rahman Assegaf: 2004: 191) inti dari demokrasi dalah
penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa demokrasi, kreativitas manusia tidak
mungkin berkembang. Pendidikan nasional diupayakan agar mampu membawa aspirasi nilai-nilai
tersebut dalam pelaksanaan pendidikan.

Pendidikan Nasional memang sangat menghargai nilai-nilai multikultural untuk mencapai


tujuan pendidikannya. Pendidikan nasional membuka segala kemingkinan yang berkembang pada
diri siswa dan kelompok masyatakat untuk berkembang dan mengembangkan dirinya.
Mengembangkan ciri khas dirinya sekaligus untuk mempertahankan budaya yang dijunjung
tinggi secara demokratis tanpa diskriminatif.

d. Bab III tentang Penyelenggaraan Pendidikan, pasal 4 ayat (2) pendidikan diselenggarakan sebagi
satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan...

Pendidikan dengan sistem terbuka adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan


fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi
entry-multi exit system).

Peseta didik dapat belajar sambil bekerja, atau mengambil program-program pendidikan
pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui
pembelajaran tatap muka atau jarak jauh (Sisdiknas, 2003).

Pendidikan dengan sistem terbuka ini memberikan kesempatan untuk mengatur dan
menentukan kemajian yang dikehendaki sesuai dengan kemauan dan kemampuan yang dimiliki
setiap orang.

Apresiasi terhadap Bahasa Daerah dan Asing

Menurut Ainul Yaqin, (2003: 74) bahasa adalah sebuah kumpulan dari bermacam-macam simbol
yang dibentuk dengan menggunakan aturan-aturan yang kemudian digunakan untuk menyampaikan pesan
kepada orang lain, dan bahasa sebagai instrumen logika yang akan lebih tepat bila dikatakan sebagai
instrumen sosial yang berfungsi sebagai alat komunikasi, sehingga individu dapat bertukar pikiran
(sharing ideas) dan perasaan (feeling), antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai instrumen sosial
yang memiliki nilai penting tersebut maka bahasa daerah dengan rumpun bahasanya dan bahasa asing
perlu mendapatkan legalitas dalam penggunaannya.

Meskipun semua ahli bahasa bersepakat bahwa tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang
berhak dinilai sebagai bagasa yang terbaik dari bahasa lainnya, tetapi beragamnya bahasa itu sendiri
diakui dapat menyebabkan timbulnya penilaian-penilaian terhadap bahasa yang ada. Penilaian terhadap
bahasa ini dapat berwujud dengan adanya penilaian positif dan negatif (streotipe). Penilaian terhadap
streotipe tersebut dapat ditawarkan melalui proses pendidikan dalam pengajaran bahasa daerah dan asing.

Pengajaran bahasa daerah dan asing paling tidak memuat pertimbangan esensial dan teknil.
Secara esensial, bahasa daerah adalah bahasa ibu yang muudah dikenali oleh peserta didik, dan bahasa
asing (dalam hal ini Bahasa Inggris) merupakan bahasa Internasional yang sangat penting sebagai
pembuka cakrawala dunia dan membuka ilmu pengetahuan dunia.

Tampaknya, apresiasi terhadap keragaman bahasa dalam undang-undang dalam rangka


mewujudkan penilaian positif dengan dampak yang jauh ke depan untuk kepentingan peserta didik itu
sendiri. Hal ini dapat dianalisis dalam bab-bab yang mengatur tentang bagasa sebagai berikut:

a. Bab IX tentang Bahasa Pengantar, pasal 33 ayat (2): Bahasa daerah dapat digunakan sebagai
bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian
pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
Salah satu produk budaya adalah bahasa. Indonesia yang terdiri dari berbagai provinsi
memiliki kekayaan rumpun bahasa dan dialektika bahasa yang beragam. Kekayaan bahasa akan
tetap menjadi kekayaan yang dapat diwariskan manakala terdapat sistem yang mampu
mendukung kelestarian basaha tersebut. Mengacu pada hal tersebut, dalam pendidikan multi-
kultural, salah satu pokok bahasan utamanya adalah membangun kesadaran peserta didik agar
mampu melihat secara positif keragaman bahasa yang ada. Dengan demikian, diharapkan kelak
siswa akan menjadi generasi yang mampu mewarisi budaya dan melestarikan bahasa daerah,
Keragaman rumpun bahasa dan dialektika bahasa tersebut tidak mungkin disampaikan
secara keseluruhan. Oleh karena itu, secara teknis diatur dalam rangka menjamin pelaksanaan
pengajaran bahasa daerah tersebut. Pengajaran bahasa daerah pada jenjang pendidikan dasar di
suatu daerah disesuaikan dengan intensitas penggunaannya dalam wilayah yang bersangkutan.
Penggunaan bahasa daerah dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal
pendidikan memberikan tafsiran bahwa dalam sistem pendidikan Nasional menempatkan bahasa
daerah setara dengan bahasa Indonesia. Posisi bahasa daerah sebagai produk budaya yang setara
tersebut menandai suatu pengakuan dan penerimaan atas pluralitas yang berkembang dalam
masyarakat untuk dibawa pada skala nasional.
b. Bab IX tentang Bahasa Pengantar, pasal 33 ayat (3): bahasa asing dapat digunakan sebagai
bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa
peserta didik.

Bahasa asing dalam proses pengajaran bahasa tidak saja sebatas digunakan sebagai
bahasa pengantar belaka, namun memiliki nilai yang jauh dari kepentingan tersebut. Bahasa asing
dianggap menjadi kunci untuk membuka jendela dunia bagi peserta didik untuk semua jenjang
pendidikan. Analogi yang dapat dikemukakan, yaitu bahasa merupakan kunci pembuka cakrawala
ilmu pengetahuan dunia. Maka siapa yang menguasai bahasa berarti dia mampu menguasai
keragaman dunia. Oleh karena itu, pengembangan kemampuan siswa untuk menguasai berbagai
ragam bahasa asing menjadi agenda yang dipentingkan.

Apresiasi terhadap Dunia Kerja dan Kepemilikan IPTEKS

Apresiasi terhadap kebebasan menentukan tuntutan dunia kerja dan kepemilikan IPTEKS perlu
diberi ruang dan waktu. Beberapa alasan dapat dikemukan bahwa tuntutan dunia kerja dan kepemilikan
IPTEKS merupakan perwujudan dari hasil pendidikan dan latihan yang telah diperjuangkan. Di samping
itu, IPTEKS merupakan proses pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
kesejahteraan masyarakat yang lebih luas. Apresiasi ini menunjukan semangan untuk menghargai hak dan
pluralitas, heterogenitas, dan humanitas.

Bab X tentang Kurikulum, pasal 36 ayat (3): kurikulim disusun sesuai dengan jenjang pendidikan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan (a) peningkatan iman dan
takwa, (b) peningkatan akhlak mulia, (c) peningkatan potensi, kecerdasam dan minat peserta didik, (d)
keragaman potensi daerah dan lingkungan, (e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional, (f) tuntutan
dunia kerja, (g) perkembangan ilmu, teknologi, dan seni, (h) agama, (i) dinamika perkembangan global,
(j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan (Sisdiknas, 2003: 25-26)

Kurikulum sebagai jalan yang akan ditempuh dalam melaksanakan pendidikan diatur sedemikian
rupa mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Setiap lembaga pendidikan memiliki
kekuasaan untuk menyusun kurikulumnya sendiri-sendiri sesuai dengan asas filosofis, psikologis,
sosiologis, dan organisatoris. Kurikulum tersebut paling tidak memuat tentang pencapaian tujuan
keimanan, akhlak mulia, kecerdasan, tuntutan dunia kerja dalam menghadapi perkembangan global
dengan tetap berpegang pada persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

Dari asas-asas tersebut, segala apa yang diupayakan dalam rangka mencapai visi-misi untuk
meningkatkan iman dan takwa, meningkatkan akhlak mulia, meningkatkan potensi, kecerdasan, dan
minat peserta didik, keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan
nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu, teknologi, dan seni, agama, dinamika perkembangan
global, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

Dengan demikian, jelas bahwa sistem pendidikan nasional sarat dengan penghargaan terhadap
pluralisme atas konsep persatuan nasional dan nilai nilai kebangsaan. Mengingat dalam kurikulum
sebagai rule berjalannya lembaga pendidikan dari pendidikan usia dini hingga perguruan Tinggi, maka
kurikulum yang diterapkan tidak meninggalkan nilai-nilai multikultur yang ada pada bangsa ini.

Dalam rangka memenuhi tuntutan dunia kerja dan kepemilikan IPTEKS tersebut pemerintah telah
memformat jaring-jaring kurikulum yang berdiverensiasi. Hal ini dimaksudkan untuk membangun
kemungkinan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan
potensi yang ada di daerah.
Apresiasi terhadap Perkembangan Fisik dan Psikis

Pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikis merupakan dua hal yang tidak dapat diingkari
oleh semua orang. Bahkan untuk membantu proses pertumbuhan dan perkembangan ini terdapat hak
untuk mendapatkan fasilitas dan pelayanan dalam pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai hak,
maka UU Sisdiknan pun mengatur kebutuhan masing-masing.

a. Bab XII tentang Saradan dan Prasarana Pendidikan, pasal 45 ayat (1): setiap satuan pendidikan
formal dan non-formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektuan, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik (Sisdiknas, 2003: 30).

Sarana dan prasarana merupakan media untuk membantu mencapai keberhasilan program
pendidikan yang dijalankan. Sarana dan prasarana yang tepat dapat menimbulkan sesuatu menjadi
lebih baik atas minat peserta didik, mencapai sasaran, mengatasi hambatan bahasa, merangsang
sasaran untuk melaksanakan pesan-pesan belajar lebih banyak dan cepat, meneruskan pesan-
pesan yang diterima kepada orang lain, mempermudah penyampaian, mempermudah penerimaan
informasi, mendorong keinginan untuk mengetahui, mendalami, dan membantu menegakkan
pengertian yang diperoleh.

Sarana dan prasarana digunakan untuk melancarkan berlangsungnya proses pendidikan.


Sarana dan prasarana dirancang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik,
kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Indikator yang dibangun
dari segmentasi tersebut menandai bahwa sistem pendidikan nasional sarat dengan penghargaan
atas pluralitas masyarakat Indonesia.

b. Bab III tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 4 ayat (2): pendidikan diselenggaranakn
sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

Pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik mengandung satu pengertian bahwa
dalam pendidikan terdapat keseimbangan antara pencapaian lahir dan batin, ketercapaian
hubungan yang harmonis antara manusia dan dirinya, dengan sesama, dengan alam
lingkungannya, serta dengan Tuhan semesta alam.

Pendidikan multimakna adalah proses pendidikan yang diselenggarakan dengan


berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak, dan kepribadian, serta
berbagai kecakapan hidup (Sisdiknas, 2003: 54).

Pendidikan multimakna menandai keanekaan tugas yang diembang oleh pendidikan


nasional. Dalam pendidikan nasional, pola keseimbangan lahir batin, fisik, dan psikis dirancang
bangun dalam kesatuan waktu dan ruang. Kecakapan fisik diwakili oleh pada kata orientasi pada
berbagai kecakapan hidup, sedangkan kecakapan psikis dieksplisitkan pada kata pembudayaan,
pemberdayaan, pembentukan watak, dan kepribadian.

Apresiasi terhadap keterlibatan masyarakat


Setiap usaha produk barang ataupun jasa, termasuk jasa pendidikan, pada dasarnya
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen. Hanya lembaga pendidikan yang
dapat memenuhi kebutuhan atau kepuasan pelanggan yang dapat bertahan. Masyarakat memiliki standar
kualifikasi sendiri untuk mengukur keberhasilan pendidikan yang dilakukan.

Masyarakat memiliki potensi besar untuk mewujudkan pendidikan yang mengakar pada kekhasan
agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan
untuk masyarakat. Masyarakat menghendari pendidikan yang diumpamakan tanaman yang subur di tanah
yang subur, batang pohon yang kokoh dan menghujam jauh ke dalam tanah, cabang pohon yang dapat
tumbuh di mana saja dan dalam jumlah yang tidak terbatas, dahan dan ranting yang juga dapat tumbuh di
bagian mana saja dan pohon, serta buah dan daun yang semerbak merata di seluruh kanopi pohon. Istilah
ini memberikan pengertian bahwa masyarakat memiliki harapan untuk menciptakan pendidikan yang
mengakar pada kekuatan, kemampuan, dan kemauan masyarakat, serta keterlibatan masyarakat dalam
menentukan warna pendidikan.

a. Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (16): pendidikan berbasis masyarakat adalah
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Masyarakat merupakan sumberdaya pendidikan yang memiliki potensi besar untuk


mewujudkan pendidikan yang diinginkan. Sebagai sumberdaya pendidikan, maka masyarakat
perlu mendapatkan porsi yang sepadan dengan potensi yang dimilikinya. Potensi tersebut
meliputi potensi agama, sosial, dan budaya, aspirasi, dan keterlibatan masyarakat dalam
pendidikan.

Pembahasan ini memberikan rambu-rambu terhadap pelaksanaan pendidikan yang


berbasis masyarakat dengan mengangkat harkat dan martabat masyarakat sendiri akan kekhasan
agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat. Dengan harapa hasi pendidikan adalah
pendidikan yang memasyarakat. Yaitu hasil pendidikan yang dilaksanakan sesuai dengan falsafah
masyarakat, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kebutuhan masyarakat setempat.

Bab ini mengindikasikan adanya pendidikan yang bersedikan pada kekuatan yang berasal
dari dan untuk masyarakat. Dilihat dari sisi proses, pelaksanaan pendidikan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian, proses pendidikan tersebut bukan
merupakan proses yang berbasiskan pada masyarakat benar-benar menjadi sesuatu yang
dibutuhkan oleh masyarakat.

b. Bagian XV Bagian kedua tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat, pasal 55 ayat (1): Masyarakat
berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal sesuai dengan
kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat (Sisdiknas, 2003:
36). Dalam penjelasan undang-undang ini disampaikan bahwa kekhasan satuan pendidikan yang
diselenggarakan masyarakat tetap dihargai dan dijamin oleh undang-undang ini (Sisdiknas, 2003:
70)

Jaminan undang-undang sistem pendidikan nasional terhadap penyelenggaraan


pendidikan oleh masyarakat susuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
kependingan masyarakat menandai welcome-nya multikultur sebagai basis pendidikan bagi
masyarakat. Sikap pemerintah tersebut juga sekaligus memberikan kesembpatan dan
berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan yang berbasiskan dari keragaman tersebut. Dengan
demikian, keragaman pendidikan dapat dijadikan sebagai kekayaan pendidikan yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia.

c. Bab XV tentang Peran serta Masyarakat dalam Pendidikan batian Satu, Pasal 54 ayat (1): peran
serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga,
organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan.

Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan jelas
diberi kelonggaran sepenuhnya untuk melaksanakan tugas sebagai kontrol dan keikutsertaan
dalam pelaksanaan pendidikan. Kebebasan tersebut dalam bentuk penentuan satuan-satuan dan
pengorganisasian untuk melaksanakan tugas penyelenggaraan tugas dan pengendalian mutu
pendidikan.

d. Bab XV tentang Peran serta Masyarakat dalam Pendidikan, bagian Satu Umum, Pasal 54 ayat (2):
masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan

Pemerintah memberikan peluang untuk menentukan sumber, pelaksana, dan pengguna


hasil pendidik. Dengan demikikan, masyarakat dapat membangun kekuatan untuk menentukan
kualitas pendidikan berdasarkan pada sumber dan pelaksana pendidikan yang sesuai dengan
harapannya.

e. Bab III, tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 4 ayat (6): pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Sebuah penghargaan yang bukan sekedar basa-basi. Peran serta masyarakat dalam
pelaksanaan pendidikan sekaligus dilekatkan sebagai fungsi kontrol atas mutu layanan
pendidikan. Dengan demikian, masyarakat memiliki andil besar untuk memberikan penilaian
sekaligus sebagai pengendali mutu layanan pendidikan yang dilakukan pemerintah atau
masyarakat itu sendiri.

Pengendalian mutu dengan mengukur kompetensi tamatan, bahan kajian, mata pelajaran,
dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan. Kompetensi ini dijiwai oleh semangat untuk merealisasikan penghargaan atas
pluralitas, heterogenitas, dan humanitas.

f. Bab IV tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah
bagian Dua tentang Hak dan Kewajiban Masyarakat, Pasal 8: Masyarakat berhak berperan serta
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

Pemerintah kembali memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk berperan serta


dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Kepercayaan
yang diberikan dalam rangka memberdayakan komponen masyarakat, di samping untuk
membangun kemitraan dan kerjasama yang saling melengkapi dan memperkuat. Di samping itu,
sistem pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang
menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif dalam menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah (Sisdiknas, 2003: 51).

Serangkaian perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan


yang dibangun masyarakat diorientasikan pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan
watak dan kepribadian, serta kecakapan hidup dari nilai-nilai pluralitas, heterogenitas, dan
humanitas.

Apresiasi terhadap penyelenggara lembaga pendidikan asing

Dinamika masyarakat yang melaju seiring dengan derasnya arus globalisasi, maka tuntutan masyarakat
demi kemajuan IPTEKS berupa penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh negara Asing perlu
diberi ruang gerak yang memadai. Hal ini merupakan bukti atas pengakuan pluralitas, heterogenitas, dan
humanitas yang harus diperjuangkan terus-menerus.

Bab XVIII tentang Penyelenggaraan Pendidikan oleh Lembaga Negara Lain, pasal 65 ayat (1): Lembaga
pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Sisdiknas, 2003: 41).

Perpindahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni satu di antaranya melalui jalur pendidikan.
Terbukanya pendidikan yang diselenggarakan oleh institusi asing berarti menandai kesiapan negara
Indonesia untuk beramalgasi dengan budaya luar. Tarik ulur (push and pull) memang selalu berlaku
dalam pengambilan kebijakan. Haal ini karena, langsung atau tidak langsung, akan ber.

Anda mungkin juga menyukai