Diajukan untuk memenuhi tugas akhir semester Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam
Disusun oleh :
Konotasi orang bila mendengar kata filsafat, maka segera akan menunjuk sesuatu
yang bersifat prinsip atau dasar. Bahkan selain itu banyak dikaitkan dengan suatu
pandangan hidup yang mengandung nilai-nilai dasar tertentu, seperti filsafat
Pancasila dan Filsafat Islam.Fi ebenarnya berasal dari kata atau bahasa Yunani
Philosophia. Dari kata philosophia ini kemudian banyak diperoleh pengertian-
pengertian filsafat, baik dari segi pengertiannya secara harfiah atau etimologi maupun
dari segi kandungannya.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, filsafat berasal dari kata Yunani yang tersusun
dari dua kata philein dalam arti cinta dan sophos dalam arti hikmat (wisdom) Orang
Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menye-
suaikannya dengan tabiat susunan kata-kata Arab, yaitu Falsafa dengan pola fa’lala,
fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya
menjadi falsafah atau filsaf. Selanjutnya kata filsafat yang banyak terpakai dalam
bahasa Indonesia, menurut Prof. Dr. Harun Nasution bukan berasal dari kata Arab
falsafah dan bukan pula dari kata Barat Philosophy. Dari pengertian secara etimologi
itu, ia memberikan definisi filsafat sebagai berikut:
Adanya pengertian atau definisi yang bermacam-macam itu terungkapkan juga oleh
Drs. Sidi Gazalba, bahwa para filosof mempunyai pengertian atau definisi tentang
filsafat sendiri-sendiri. Sebagai contoh ia mengemukakan beberapa pengertian filsafat
menurut beberapa para ahli, antara lain.
- Plato, mengatakan bahwa filsafat tidaklah lain daripada pengetahuan tentang
segala yang ada.
- Aristoteles, berpendapat bahwa kewajiban filsafat ialah menye- lidiki sebab
dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu yang umum
sekali.
- Kant, mengatakan bahwa filsafat adalah pokok dan pangkal segala
pengetahuan dan pekerjaan.
- Fichte, menyebut filsafat sebagai Wissenschaftslehre : ilmu dari ilmu-ilmu,
yakni ilmu yang umum, yang menjadi dasar segala ilmu.
Sejarah menunjukkan bahwa kini filsafat tidak lagi membawa pemikiran pada subyek
besar sebagaimana masa lalu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan terutama ilmu
pengetahuan alam telah menggoyahkan dasar-dasar pemikiran filsafat. Banyak hal
yang semula merupakan salah satu bagian dari ilmu filsafat yang mem- bahas tentang
ilmu asal (epistemologi), kini telah menjadi topik pokok perhatian dari pada ilmu-
ilmu fisiologis dan psikologis.
Pada mulanya filsafat memang diakui sebagai induk ilmu pengetahuan (the mother of
sciences). Mulanya filsafat harus mampu menjawab pertanyaan tentang segala
sesuatu dan segala macam hal. Soal-soal yang berhubungan dengan alam semesta,
manusia dengan segala problematika dan kehidupannya, dibicara- kan oleh filsafat.
Kemudian karena perkembangan dan keadaan masyarakat, banyak problem yang
tidak bisa dijawab lagi oleh filsafat. Lahirlah ilmu pengetahuan yang sanggup
memberi jawab- an terhadap problem-problem tersebut. Dengan perkembangan
metodologi ilmiah yang semakin pesat, berkembang pula ilmu pengetahuan tersebut
dalam bentuk disiplin-disiplin ilmu dengan kekhususannya masing-masing. Setiap
disiplin ilmu memiliki obyek dan saran yang berbeda-beda, yang terpisah satu sama
lain. Suatu disiplin ilmu pengetahuan mengurus dan mengembangkan bidang
garapannya sendiri-sendiri dengan tidak memperhatikan kaitan serta hubungannya
dengan bidang-bidang lainnya. Akibatnya terjadi spesialisasi dan pemisahan antar
berbagai macam disiplin ilmu tersebut, dan ilmu pengetahuan semakin kehilangan
relevansinya dengan dan dalam kehidupan masyarakat dan umat manusia dengan
segala macam problematikanya.
Dalam artinya yang sempit, pendidikan hanya mempunyai fungsi yang terbatas, yaitu
memberikan dasar-dasar dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh,
yang dalam praktek- nya identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam
situasi dan kondisi serta lingkungan belajar yang serba terkontrol. Dengan pengertian
pendidikan yang luas, berarti bahwa masalah kependidikan pun mempunyai ruang
lingkup yang luas pula, yang menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia. Memang di antara permasalahan kependidikan tersebut terdapat masalah
yang sederhana yang menyangkut praktek dan pelaksanaan sehari-hari, tetapi banyak
pula di antaranya yang menyangkut masalah yang bersifat mendasar dan mendalam,
sehingga memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain dalam memecahkan- nya. Bahkan
pendidikan juga menghadapi persoalan-persoalan yang tidak mungkin dijawab
dengan menggunakan analisa ilmiah semata-mata, tetapi memerlukan analisa dan
pemikiran yang men- dalam, yaitu analisa filsafat.
Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan tersebut, secara lebih rinci
dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Filsafat, dalam arti analisa filsafat adalah merupakan salah satu cara
pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidik- an dalam memecahkan
problematika pendidikan dan menyu- sun teori-teori pendidikannya, di
samping menggunakan metode-metode ilmiah lainnya.
(2) Filsafat, juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidik. An yang telah
dikembangkan oleh para ahlinya, yang ber- dasarkan dan menurut pandangan
dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata.
Artinya me- ngarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan
yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek
kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuh- an hidup yang juga
berkembang dalam masyarakat.
(3) Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk
memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan
menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik.
Untuk mengenal perkembangan pemikiran dunia filsafat di bawah ini akan diuraikan
garis-garis besar aliran- aliran filsafat dalam pendidikan, yaitu:
1. Aliran Progressivisme
Aliran progresivisme adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat
berpengaruh dalam abad ke 20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-
lebih di Amerika Serikat. Usaha pem- baharuan di dalam lapangan pendidikan
pada umumnya terdorong oleh aliran progressivisme ini.
2. Aliran Esensialisme
Bagi esensialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah
goyah dan kurang terarah. Karena itu esensialisme me- mandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan
lama, sehingga memberikan kesta- bilan dan arah yang jelas.
3. Aliran Perennialisme
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced
learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout
the whole year” atau “Lasting for a very long time” abadi atau kekal. Dari makna
yang terkandung dalam kata itu aliran perennialisme mengandung kepercayaan
filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal
abadi.
4. Aliran Rekonstruksionalisme
Pada dasarnya aliran rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran
perennialisme dalam hendak mengatasi krisis ke- hidupan modern. Hanya saja
jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme,
tetapi sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha membina suatu
konsen- sus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan
tertinggi dalam kehidupan manusia restore to the original form.
5. Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian
terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang
dunia kedua. Dengan demikian eksistensialisme pada hakikatnya adalah
merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat
manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Setiap orang bisa menyaksikan, bahwa alam semesta di mana kita hidup di dalamnya
ini, merupakan alam semesta yang tertib dan teratur rapi. Di dalamnya terdapat
aturan-aturan dan hukum-hukum serta tata tertib yang mengatur hubungan di antara
setiap komponen, unit dan bagian-bagiannya. Segala sesuatunya menempati posisi
sendiri-sendiri dalam kerangka suatu rencana besar yang sedang bekerja dengan cara
yang bagus dan hebat se- kali Matahari, bulan dan bintang-bintang serta semua
benda- benda langit lainnya terikat satu sama lain dengan dan dalam suatu sistem
yang sangat baik. Mereka semuanya mengikuti suatu hukum yang tetap, dan
merekapun tidak membuat penyimpangan sedikit- pun dari jalan yang telah
ditetapkan untuknya. Bumi berputar pada sumbunya dan dalam putarannya tersebut
bumi berjalan mengelilingi matahari dengan teliti dan teratur serta mengikuti garis
edaran yang telah ditetapkan baginya. Demikian pula dengan segala sesuatu yang ada
di alam semesta ini, dari elektron kecil yang selalu berputar, sampai kepada
kelompok bintang Kelom- pok bintang yang hebat, tanpa kecualinya, mereka selalu
berjalan dan mengikuti hukum-hukumnya sendiri. Materi (zat), energi (tenaga) dan
kehidupan (jiwa), semuanya mematuhi hukum-hukum yang berlaku bagi mereka.
Mereka tumbuh, berubah, hidup dan mati, sesuai dengan hukum-hukumnya masing-
masing. Bahkan dalam dunia manusia, hukum-hukum alam tersebut nampak sangat
jelas gejalanya.
Untuk memenuhi semua kebutuhan kehidupan manusia, Islam memiliki tiga inti
ajaran yang merupakan inti dasar dalam mengatur kehidupan manusia. Secara umum
dasar-dasar ajaran Islam itu meliputi aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dasar-dasar ini
terpadu menjadi satu dan merupakan bagian yang tak terpisahkan satu dengan yang
lain. Demikian juga dalam praktek, baik yang bersifat ubudiah maupun yang bersifat
amaliah lain, dasar-dasar itu berjalan secara simultan Secara garis besar, penjabaran
dari masing-masing dasar tersebut sekaligus menunjukkan sifat universalitas dan
eternalitasIs dalah sebagai berikut:
1. Aqidah
Tiap-tiap pribadi pasti memiliki kepercayaan, meskipun bentuk dan
pengungkapannya berbeda-beda. Dan pada dasarnya manusia memang
membutuhkan kepercayaan. Kepercayaan itu akan membentuk sikap dan
pandangan hidup seseorang.
2. Syari’ah
Kata Syari’at atau syari’ah adalah bentuk masdar – (infiniti- vemoodd) di
mana ia merupakan bentuk asal kata kerja yang tidak mengandung pengertian
waktu atau zaman di dalam pengertian syari’at tersebut.
3. Akhlak
Akhlak yang secara etimologis merupakan bentuk jamak (plural) dari kata
“khuluqun” diartikan sebagai perangai atau budi pekerti, gambaran batin atau
tabiat karakter. Kata akhlak serum- pun dengan kata “khalqun” yang berarti
kejadian dan bertalian dengan wujud lahir atau jasmani. Sedangkan akhlak
bertalian dengan faktor rohani, sifat atau sikap batin. Faktor lahir dan batin
adalah dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dari manusia, se- bagaimana
tidak dapat dipisahkannya jasmani dari rohani.
Manusia dilahirkan di atas dunia. La berada di dalam dunia. Akan tetapi beradanya
manusia di dalam dunia ini lain artinya dengan air di dalam gelas. Air dalam gelas
adalah dua hal yang terpisah atau yang dapat dipisahkan. Akan tetapi manusia di
dalam dunia menyatu dengan dunia. Manusia merupakan kesatuan de- ngan dunia.
Manusia tak dapat dipisahkan dari alam dunia. Hal ini berarti manusia bukan seperti
pribadi yang dari alam sekitarnya, melainkan bersama-sama dengan sekitarnya, baik
sekitar fisik, terutama sekitar sosial. Hubungan manusia dengan sekitar fisik dan
sosial ini bersifat kausal (sebab akibat). Pada satu sisi manusia menimbulkan
perubahan alam sekitar, tetapi pada sisi yang lain, manusia dipengaruhi oleh alam
sekitar. Faktor geografis, iklim, flora, dan fauna berpengaruh pada pembentukan
pribadi manusia yang tinggal di tempat itu. Namun dengan tangannya manusia pun
mampu mengubah alam sekitar dan benda-benda alam menjadi barang-barang yang
berguna bagi kehidupannya. Dengan potensi rohaninya, cipta, rasa dan karsanya
manusia menciptakan ber- bagai barang yang berarti bagi hidupnya dan
membudayakan diri dan alam sekitarnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
merupakan karya-karya manusia yang sangat penting. Makin maju cara berpikir
manusia, akan makin maju pula ilmu dan teknologi- nya dan dengan demikian akan
makin maju diri dan masyarakat- nya. Dengan begitu, alam sekitar makin dapat
dikontrol dan diken- dalikan oleh manusia. Jadi manusia tidak lagi sangat tergantung
pada alam, tetapi justru sebaliknya manusialah yang mengendalikan alam sekitarnya.
Pada zaman perkembangan manusia itu masih dalam taraf sangat sederhana atau
primitif, maka pendidikan hanya semata-mata sebagai pewarisan kebudayaan dari
nenek moyang saja. Seperti misalnya pada masyarakat petani, nelayan ataupun
pemburu, mereka sudah merasa puas, bilamana telah mengajarkan kepada anaknya,
cara-cara bercocok tanam, menangkap ikan, berburu dan lain-lainnya. Tetapi dengan
adanya kemajuan zaman, kemajuan kebudayaan, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka pendidikan seperti tersebut di atas, masih belum cukup, bahkan
masih sangat jauh dari cukup.
Adapun faktor penyebabnya adalah karena pendidikan itu bukan lagi sekadar
pewarisan nilai-nilai budaya bangsa, dari satu generasi kepada generasi berikutnya,
namun pendidikan juga me- rupakan suatu cara untuk mengembangkan pribadi dan
sosial anak. Agar dengan demikian, anak dapat menyesuaikan diri dengan ling-
kungannya dan juga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin kompleks
dan beraneka ragam. Itulah sebabnya maka pendidikan itu selalu mengalami
perkembangan dan pembaharuan dari masa ke masa, baik dalam bentuk, isi maupun
caranya, yang dilaksanakan dalam lembaga formal, non formal maupun informal.
1. Kebutuhan biologis,
2. Kebutuhan psikis,
3. Kebutuhan sosial,
4. Kebutuhan agama (spiritual),
5. Kebutuhan paedagogis (intelek).
Di antara ciri khusus sistem filsafat dalam Islam, adalah peng- gunaan Al-Quran
sebagai sumber filsafat dan pembimbing bagi ke- giatan berfilsafat. Dalam Al-Quran
bertebaran ayat-ayat yang me merintahkan, mendorong serta membimbing umat
Islam untuk lah dan sebutannya, misalnya menggunakan akal, berpikir, bertafakkur,
bertafakkuh, menggunakan ra'yu, mengadakan penye lidikan, penelitian, dan
sebagainya. Kesemuanya itu di samping mendorong untuk berfilsafat, sekaligus juga
menunjukkan bagai- mana cara atau metode berfilsafat serta bagaimana mengambil
pe- lajaran daripadanya.
Semua sistem kefilsafatan, yang menjadi pokok pengkajian dengan melalui pemikiran
yang mendalam, teliti dan bebas selalu berkisar pada masalah, yaitu Ontologi,
Epistemologi dan Axiologi. Ontologi adalah teori tentang "ada", yaitu tentang apa
yang dipi- kirkan, yang menjadi obyek filsafat. Epistemologi adalah teori
pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapat- kan pengetahuan
dari obyek yang ingin diketahui/dipikirkan. Sedangkan Axiologi adalah teori tentang
nilai, yang membahas ten tang nilai, manfaat atau fungsi sesuatu yang diketahui
tersebut dalam hubungannya dengan keseluruhan apa yang telah diketahui tersebut.
Filsafat Islam, sebagai suatu sistem kefilsafatan juga mengandung ketiga unsur
tersebut. Perbedaan antara sistem filsafat pada umumnya dengan sistem filsafat Islam,
adalah pada pandangannya yang “Sarwa Islami”.
Tasawuf atau sufisme adalah sebutan bagi mysticisme yang berkembang dalam dunia
Islam. Perkembangan sufisme atau Tasa wuf dalam dunia Islam, sejalan dengan
perkembangan filsafat pada umumnya yang banyak mendapatkan pengaruh dari dunia
mys ticisme di luar Islam. Intisari sufisme atau mysticisme adalah kesadaran akan
adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan cara
mengasingkan diri dan berkontemplasi Tasawuf dalam Islam pada dasarnya adalah
kesadaran bahwa pada hakikatnya manusia itu berasal dari Tuhan dan akan kembali
kepada-Nya. Dan oleh karenanya manusia, menurut sufisme, merasa selalu dekat
dengan Tuhan dan berusaha untuk lebih dekat kepada- Nya. Kesadaran akan
keberadaan dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk "ittihad" (bersatu)
dengan Tuhan.
Di antara tugas kekhalifahan, adalah mengembangkan potensi pembawaan tersebut di
alam, dalam kehidupan nyata. Dalam me- ngembangkan Al Asma’ tersebut, manusia
diberi petunjuk oleh Allah. Petunjuk tersebut berupa aturan-aturan, atau batasan-
batasan, atau hukum-hukum yang diciptakan oleh Tuhan, baik yang tersurat dalam
wahyu (Al-Quran) maupun yang tersirat di alam (sunnatullah). Jadi pendidikan dalam
filsafat Islam, berarti mengembangkan potensi manusiawi menurut atau di bawah
pengaruh hukum-hukum Allah, baik Al-Quran maupun Sunnatullah. Dan hal ini akan
menghasilkan kebudayaan, yang terus-menerus berkem bang. Setiap generasi tua
mewariskan kebudayaannya pada generasi mudanya dan mengarahkannya agar
kebudayaan tersebut berkembang.
Untuk dapat mendidik diri sendiri, pertama-tama manusia harus memahami dirinya
sendiri. Apa hakikat manusia, bagaimana hakikat hidup dan kehidupannya. Apa
tujuan hidupnya dan apa pula tugas hidupnya. Problema berikutnya bahwa manusia
ber hadapan dengan alam dan lingkungannya, dan manusia harus pula memahaminya.
Bagaimana hubungannya dengan alam dan lingkungan. Manusia hidup dalam
masyarakatnya, di mana ia harus menyesuaikan diri di dalamnya. Manusia hidup
bersama dengan hasil cipta rasa dan karsanya (kebudayaannya). Manusia hidup ber-
sama keyakinan dan kepercayaannya, dengan pengalaman penge tahuan yang
diperolehnya dalam proses hidupnya. Sementara itu dari masa ke masa, dari generasi
ke generasi, nampak bahwa alam lingkungannya berubah, berkembang, pengetahuan
dan kebudaya annya pun berkembang, sehingga nilai-nilai pun berubah pula. Dan
tanpa dilihat dengan nyata, ternyata kualitas hidup dan kehidupannya pun berangsur-
angsur berubah menuju pada kesempurnaan (menjadi lebih baik).
Seperti telah dikemukakan, bahwa filsafat pendidikan Islam ada yang bercorak
tradisional dan dapat pula bercorak filsafat kri- tis. Pada filsafat pendidikan Islam
yang bercorak tradisional, tentunya tidak bisa dipisahkan dengan aliran mazhab
filsafat yang per nah berkembang dalam dunia Islam. Dalam hal ini, filsafat pen
didikan Islam berusaha menganalisa pandangan aliran-aliran yang ada terhadap
masalah-masalah kependidikan yang dihadapi pada” masanya dan bagaimana
implikasinya dalam proses pendidikan.” Sedangkan pada filsafat pendidikan yang
bercorak kritis, maka dalam hal ini di samping menggunakan metode-metode filsafat
pendidikan Islam sebagaimana yang telah berkembang dalam dunia Islam, juga
menggunakan metode filsafat pendidikan yang ber- kembang dalam dunia filsafat
pada umumnya.
Kurikulum, menurut para filosof tentunya adalah segala hal yang bisa
mengembangkan akal, yaitu berupa berbagai macam ilmu pengetahuan alamiah yang
dikembangkan. Dampak positifnya dalam kehidupan masyarakat atau manusia,
adalah berkembang nya bermacam-macam ilmu pengetahuan alamiah yang
menunjang kehidupan material umat manusia. Akibat negatifnya (kalau diang gap
sebagai negatif) adalah timbulnya kehidupan yang materialistis, yang mengabaikan
kehidupan batin.
Dalam kehidupan umat Islam, pandangan filosofis yang sufistis, dan pandangan
filosofis yang rasional, nampak bere butan pengaruh dan pendukungnya. Ternyata
pandangan filo- sofis yang sufistis mendapatkan tempat dan dukungan dari umat
Islam di bagian Timur, sedangkan pandangan filosofis yang rasi- onalistis
berkembang dan mendapatkan dukungan pada umat Islam di bagian Barat wilayah
Islam. Kemudian setelah umat Islam mundur dari Eropa, ternyata pandangan filosofis
yang rasionalistis dikembangkan oleh dunia Barat, dalam arti bangsa Eropa Barat
masa itu.
Proses kehidupan umat manusia pun berjalan terus di alam dunia yang juga berproses
serta berkembang. Ternyata kehidupan umat Islam cenderung untuk mempertahankan
dan mengembang kan pola hidup sufi dan meninggalkan pola kehidupan yang
rasional. Sementara itu kehidupan orang-orang Eropa cenderung memilih dan
mengembangkan kehidupan yang rasional. Umat Islam ker ja keras dengan olah
batin, meninggalkan kehidupan material, sedangkan bangsa-bangsa Eropa Barat kerja
keras mengembangkan kehidupan materialistis yang cenderung untuk menguasai
seba- nyak-banyak dunia materi, yang akibatnya adanya kecenderungan untuk
mengadakan eksplorasi dan eksploitasi dunia materi. Bangsa- bangsa Eropa Barat
cenderung untuk menguasai dunia, sedangkan amat Islam cenderung untuk
meninggalkan kehidupan duniawi.
Terjadilah penjajahan Barat atas dunia Timur, terjadilah pen- jajahan terhadap dunia
Islam oleh dunia Barat, yang berarti bahwa pandangan filosofis rasional yang pernah
dikembangkan oleh umat Islam mengalahkan pandangan filosofis sufistis yang juga
dikem- bangkan oleh umat Islam. Terjadilah kehidupan yang tidak seim- bang di
kalangan umat Islam.
Pendidikan atau Al Tarbiyah, menurut pandangan Islam, ada lah merupakan bagian
dari tugas kekhalifahan manusia. Allah adalah Rabb al ‘alamin, juga Rabb al nas.
Tuhan adalah yang mendi dik makhluk alamiah dan juga yang mendidik manusia.
Karena manusia adalah khalifah Allah, yang berarti bahwa manusia mendapat kuasa
dan limpahan wewenang dari Allah untuk melaksanakan pendidikan terhadap alam
dan manusia, maka manusialah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
pendidikan tersebut.
Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan se- luruh aspek kepribadian
manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain pendidikan tidak hanya
berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas. Pendidikan bukan
bersifat formal saja, tetapi mencakup pula yang non formal.
Pendidikan diartikan sebagai proses timbal balik dari tiap pri badi manusia dalam
penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman, dan dengan alam semesta.
Pendidikan merupakan pula perkembangan yang terorganisasi dan kelengkapan dari
semua potensi- potensi manusia, moral, intelektual dan jasmani (fisik), oleh dan
untuk kepribadian individunya dan kegunaan masyarakatnya yang diharapkan demi
menghimpun semua aktivitas tersebut bagi tujuan hidupnya (tujuan terakhir).
Pendidikan merupakan bimbingan dan pertolongan secara sadar yang diberikan oleh
pendidik kepada anak didik sesuai dengan perkembangan jasmaniah dan rohaniah ke
arah kedewasaan. Anak didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat
bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak
dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci atau fitrah sedangkan alam sekitarnya akan
memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama anak didik.
ُنص َرانِ ِه َأوْ سانه ْ َِما ِم ْن َموْ لُو ِد ِإال يُولَ ُد َعلَى الف
َ ط َر ِة فََأبَ َواهُ يُ َمودَانِ ِه َأوْ ي
رواه مسلم
Artinya: Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah
(kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, Majusi
(H.R. Muslim)
ِ َّدين القي ُم َولَ ِك َّن َأ ْكثَر النooك الooق هللا ذلoo ِدي َل لخلoاس َعلَ ْيهَا اَل تَ ْب
اس اَل ْ َك لِلدِّي ِن َحنِيفًا ف
َ َّط َرتَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن َ َفََأقِ ْم َوجْ ه
َيَ ْعلَ ُمون
٣٠ الروم
Artinya: Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetap- kanlah
pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. Tidak
ada perubahan bagi fitrah Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.
Dari ayat dan hadis tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa
fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam
mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengn usia anak dalam pertumbuhannya. Di
sini juga jelas bagaimana pentingnya peranan orang tua untuk menanamkan
pandangan hidup keagamaan terhadap anak didiknya. Agama anak didik yang akan
dianut semata-mata bergantung pada pengaruh orang tua dan alam sekitarnya. Dasar-
dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan sejak anak didik itu masih usia
muda, karena kalau tidak demikian halnya kemungkin an mengalami kesulitan kelak
untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang diberikan pada masa dewasa.
a. Keluarga
Lembaga pendidikan keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama,
tempat anak didik pertama-tama menerima pendidikan dan bimbingan dari
orang tuanya atau anggota keluarga lainnya. Di dalam keluarga inilah tempat
meletakkan dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia yang masih muda,
karena pada usia usia ini anak lebih peka terhadap pengaruh dari pendidiknya
(orang tuanya dan anggota yang lain).
b. Sekolah adalah lembaga pendidikan yang penting sesudah keluarga, karena
makin besar kebutuhan anak, maka orang tua menyerahkan tanggung
jawabnya sebagian kepada lembaga sekolah ini. Sekolah berfungsi sebagai
pembantu keluarga dalam mendidik anak. Sekolah memberikan pendidikan
dan pengajaran kepada anak-anak mengenai apa yang tidak dapat atau tidak
ada kesempatan orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran di
dalam keluarga.
c. Masyarakat
Lembaga pendidikan masyarakat merupakan lembaga pen- didikan yang
ketiga sesudah keluarga dan sekolah. Pendidikan ini telah dimulai sejak anak-
anak untuk beberapa jam sehari lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar
sekolah. Corak ragam pendidik- an yang diterima anak didik dalam
masyarakat ini banyak sekali, yaitu meliputi segala bidang baik pembentukan
kebiasaan, pem- bentukan pengetahuan, sikap dan minat, maupun
pembentukan kesusilaan dan keagamaan.
Analisa secara filosofis mengatakan bahwa hakikat kodrat martabat manusia adalah
merupakan kesatuan integral segi atau segi potensi essensial:
Perkembangan atau aktualitas dari potensi essensial manusia secara kesatuan integral
inilah yang akan menentukan kualitas kepribadian seseorang.
Secara hakiki manusia juga sebagai makhluk sosial. Manusia dilahirkan ke dunia
dalam kondisi yang lemah tak berdaya. Dia tak mungkin bisa melangsungkan
hidupnya tanpa bantuan orang lain. Potensi potensi yang dibawa sejak lahir justru
baru bisa ber- kembang dalam pergaulan hidup sesama manusia, maka anak manusia
yang baru dilahirkan itu tak akan dapat menjadi manusia yang sebenarnya.
Dalam pergaulan ini, di samping manusia dapat memenuhi kebutuhan biologis, juga
dapat memperkembangkan potensi psikologisnya. Dengan kontak sosial secara
timbal-balik, akhirnya dia bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kelompoknya.
Dengan penyesuaian diri ini, maka anak telah mulai membelakangan kepentingan diri
pribadi, demi untuk kepentingan kelompoknya.
Analisa filsafat mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu adalah merupakan
Causa Prima, artinya sebab pertama yang mengakibatkan lahirnya seluruh kenyataan
yang ada, termasuk manusia. Di samping Tuhan Yang Maha Esa juga merupakan
arah akhir atau tujuan akhir dari perkembangan seluruh jenis kenyataan yang ada,
termasuk manusia. Maka dari itu Tuhan Yang Maha Esa juga seka- ligus merupakan
Causa finalis dari perkembangan hidup manusia.