Ilmu bedah
umum
veteriner
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)
Infeksi sekunder merupakan salah satu komplikasi prosedur bedah yang sangat
beresiko terjadi dan tentunya sulit untuk ditangani. Infeksi sekunder ini dapat terjadi
pada saat bedah, atau pada saat dirawat. Penting bagi dokter hewan, paramedik, serta
staf lainnya untuk memastikan infeksi sekunder tidak terjadi. Teknis bedah aseptis
dan steril merupakan cara untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi sekunder pada
saat bedah. Asepsis adalah kondisi dimana tidak ada mikroorganisme patogen, steril
merupakan kondisi bebas dari segala macam mikroorganisme. Maka dari itu teknik
sterilisasi merupakan teknik untuk ruang bedah, sementara prinsip aseptis digunakan
untuk seluruh rumah sakit.
Transmisi Mikroorganisme
Sumber mikroorganisme di suatu rumah sakit hewan adalah staf rumah sakit,
alat-alat yang terkontaminasi dan lingkungan. Transmisi dari staf rumah sakit dapat
melalui udara (airborne), droplet, dan kontak langsung. Transmisi kontak langsung
merupakan transmisi yang paling sering terjadi, berbeda dengan transmisi airborne dan
droplet, karena rendahnya kasus reverse zoonosis (transmisi penyakit dari manusia
kepada hewan).
Sumber Kontaminasi:
1. Hewan : Sumber mikroorganisme dari hewan termasuk kulit dan rambut,
nasofaring, dan ‘lubang’ lainnya seperti vulva atau anus.
2. Benda mati : Sumber utama mikroorganisme dari benda mati adalah fomites
dan udara. Fomites adalah segala benda mati yang dapat membawa
mikroorganisme infeksius. Fomites mencakup struktur bangunan rumah sakit
seperti dinding dan lantai, perabot, peralatan, implant, dan peralatan kebersihan.
Udara/airborne mengandung banyak sekali pratikel yang dapat berupa
mikroorganisme. Mikroorganisme dari udara 80-90% dapat menyebabkan
kontaminasi mikroba di luka operasi.
Prinsip teknik aseptis pada rumah sakit, lab, dan ruang bedah merupakan salah
satu prinsip yang digunakan untuk meminimalisir terjadinya infeksi sekunder ketika
operasi. Tujuan prinsip ini adalah untuk meminimalisir sumber kontaminasi dan untuk
menghambat transmisi mikroorganisme.
Teknik Sterilisasi
Seluruh prosedur operasi dilakukan dalam kondisi steril dan teknik sterilisasi
merupakan cara untuk mewujudkan kondisi tersebut. Hal ini bertujuan mencegah
transmisi mikroorganisme ke dalam tubuh ketika operasi atau prosedur invasif lain.
Prinsip sterilisasi mencakup:
1. Hanya menggunakan alat steril di dalam lingkungan yang steril
2. Personil yang steril harus menggunakan baju operasi (gown) dan sarung tangan
yang steril
3. Personil yang steril harus melakukan prosedur bedah di dalam lingkungan steril
(personil steril hanya dapat memegang alat steril di dalam area steril, dan
sebaliknya untuk yang tidak steril)
4. Kain duk steril digunakan untuk menciptakan area steril
5. Semua alat yang digunakan di area steril harus disterilisasi
6. Semua alat yang dibawa ke area steril harus dibuka, dibagikan, dan/atau
dipindahkan dengan prosedur yang dapat menjaga sterilitas dan integritas alat
7. Area steril harus selalu dijaga dan dimonitor
8. Staf bedah harus dilatih untuk mengetahui ketika mereka telah merusak prinsip
ini dan bagaimana mengatasinya
Kalau sterilitas suatu benda dipertanyakan, Benda tidak steril dan yang terkontaminasi
maka benda tersebut dianggap sudah dapat menjadi sumber kontaminasi silang
terkontaminasi
Meja steril hanya steril pada permukaan Benda yang menggantung di ujung meja
meja dianggap tidak steril karena benda tersebut di
luar dari pengawasan operator
Baju operasi adalah steril dari pertengahan Bagian belakang baju operasi tidak dianggap
dada hingga pinggang dan dari ujung jari steril
sarung tangan hingga 5 cm di atas sikut
Kain yang menutupi alat di atas meja atau Kelembaban dapat membawa bakteri dari
pasien harus tahan dari kelembaban permukaan yang tidak steril ke area steril
Ketika benda steril menyentuh ujung dari Ketika dibuka, segel dari kemasan tidak
segel kemasan benda tersebut ketika dibuka, steril lagi
maka benda tersebut dianggap
terkontaminasi
Benda steril di dalam kemasan yang rusak Kontaminasi dapat terjadi dari kemasan yang
atau basah dianggap terkontaminasi rusak atau dari kelembaban yang memasuki
kemasan tersebut
Tangan tidak boleh dilipat ke arah ketiak dan Bagian sekitar ketiak baju operasi dianggap
harus diposisikan di depan tubuh, di atas tidak steril
pinggang
Apabila anggota operator memulai operasi Area bedah yang steril hany dari tinggi
dengan posisi duduk, maka anggota harus permukaan meja hingga dada anggota
tetap duduk hingga prosedur operasi telah operator; pergerakan duduk-berdiri ketika
selesai operasi dapat menyebabkan kontaminasi
silang
Glutaraldehid
Desinfektan tingkat tinggi, yang sangat umum digunakan. Zat ini memiliki
efisiensi yang cukup terhadap spora bakteri, tetapi harus dalam paparan waktu lama.
Zat ini bersifat asam di larutan aqueous, sehingga harus dibuat menjadi lebih basa agar
efisiensinya meningkat. Glutaraldehid bersifat iritan terhadap saluran pernapasan dan
menurunkan fungsi paru. Formulasi glutaraldehid dapat berupa glutaraldehyde-
phenol-sodium, potentiated acid glutaraldehyde, dan stabilized alkaline
glutaraldehyde. Zat ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga tidak terlalu
efektif apabila digunakan pada alat-alat yang tidak kritis.
Ortho-phthalaldehyde (OPA)
Zat ini tidak terlalu iritan dan lebih efisien tanpa harus menyesuaikan pH. Zat
ini dapat mewarnai kulit dan jaringan.
Formaldehid (formalin)
Zat ini tersedia dalam larutan aqueous 37%. Formalin memiliki efisiensi yang
lebih rendah daripada glutaraldehid. Formalin juga berupa zat karsinogenik, sehingga
jarang digunakan untuk tujuan bedah.
Hidrogen peroksida
Zat ini merupakan desinfektan yang efektif terhadap sebagian besar
mikroorganisme. Mekanisme kerja zat ini adalah menghasilkan radikal bebas hidroksil
untuk mengganggu membrane dan asam nukleat. Konsentrasi hidrogen peroksida yang
tersedia di dalam pasaran tidak cukup untuk menghasilkan aktivitas antimikrobial.
Konsentrasi yang cukup efisien sebagai desinfektan adalah 7.5%. Zat ini merupakan
zat yang toksik terhadap membrane mukosa dan dapat melunturkan warna beberapa
metal.
Teknik Sterilisasi
Sterilisasi uap
Sterilisasi uap dapat membunuh mikroorganisme dengan cara koagulasi dan
denaturasi protein. Air berperan sebagai katalis terhadap reaksi kimia yang terlibat
dalam perusakan protein. Panas dipindahkan dari uap dengan proses kondensasi,
sehingga panas yang dihasilkan akan lembab. Sterilisasi uap memiliki keuntungan
yaitu relative murah, efisien (termasuk terhadap spora bakteri), tidak toksik, dan efektif
untuk material alat yang beragam. Mesin sterilisasi uap (autoklaf) beroperasi dengan
adanya keseimbangan antara uap, tekanan, suhu, dan waktu paparan uap. Tekanan
digunakan agar proses ini dapat terjadi di suhu yang tinggi. Terdapat tiga tipe sterilisasi
uap, yaitu:
1. Gravity-displacement sterilizer
Mesin autoklaf yang umumnya digunakan adalah gravity-displacement
sterilizer. Mesin ini menghasilkan uap dalam tekanan. Uap ini akan lebih ringan
daripada udara, sehingga akan tetap berada di bagian atas mesin dan
mengeluarkan udara dari katup di dasar mesin. Suhu yang umumnya digunakan
adalah 121℃ dalam 30 menit waktu paparan dan 15 hingga 30 menit untuk
pengeringan. Suhu lainnya adalah 132℃ dalam 15 menit waktu paparan dan 15
hingga 30 menit untuk pengeringan.
2. Prevacuum sterilizer
Mesin lainnya yang digunakan adalah tipe prevacuum. Mesin ini
memiliki fungsi yang serupa dengan yang sebelumnya, tetapi mesin ini
Sterilisasi plasma
Proses sterilisasi ini menggunakan energi elektromagnetik untuk menciptakan
fase plasma dari uap hidrogen peroksida, oksigen, atau asam perasetat/campuran
hidrogen peroksida. Mekanisme kerja metode ini adalah plasma yang mengandung
produk reaktif seperti radikal bebas yang akan men-deaktivasi proses selular.
Mesin sterilisasi plasma bekerja secara cepat dan efektif, tetapi relatif mahal.
Mesin ini berguna untuk barang-barang yang sensitif terhadap kelembaban dan panas,
tetapi tidak boleh digunakan untuk kain, cairan, atau material kayu.
Sterilisasi radiasi
Proses sterilisasi ini menggunakan iradiasi gamma. Penggunaan metode ini
sangat jarang karena mesin yang digunakan sangat mahal dan memiliki regulasi
keamanan untuk penggunaannya. Barang-barang yang dapat disterilisasi menggunakan
metode ini adalah benang jahit, dan beberapa implan. Akan tetapi, terdapat resiko
kerusakan oksidatif untuk implan dari materi polietilen, dan juga kerusakan obat-
obatan serta bone graft.
Indikator Sterilisasi
Penting untuk mengetahui dan memantau efisiensi dari sterilisasi. Operator dan
staf perlu mencatat adanya komplikasi dan infeksi sekunder, serta menggunakan
monitor sterilisasi. Monitor tersebut dapat berupa fisik, kimia, atau biologis. Indikator
fisik berkaitan dengan metode dan mesin sterilisasi yang digunakan dan membutuhkan
hasil grafik yang membuktikan waktu dan suhu yang dicapai saat sterilisasi.
Indikator kimia akan bereaksi terhadap parameter spesifik yang kritis pada
proses sterilisasi dengan indicator perubahan warna. Secara umum, indikator kimia
akan mengonfirmasi apakah kondisi sterilisasi telah dicapai, tetapi indikator ini tidak
dapat memastikan bahwa isi pak barang-barang telah tersterilisasi seutuhnya.
Indikator biologis merupakan indikator yang paling baik untuk mengetahui
apakah protokol sterilisasi sudah efektif. Monitor ini menggunakan kultur
mikroorganisme yang dievaluasi setelah proses sterilisasi. Secara ideal, monitor ini
dilakukan satu kali dalam satu minggu, namun monitor ini lebih mahal daripada
monitor yang lain dan perlu waktu yang lebih lama untuk dievaluasi kulturnya.
Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi lamanya kondisi steril suatu
barang, yaitu aliran udara, suhu, kelembaban, dan paparan terhadap lingkungan. Pak
barang yang steril harus disimpan di dalam lingkungan dimana aliran udara, suhu, dan
kelembabannya telah diatur. Tempat penyimpanan harus kering dan terhindar dari sinar
matahari langsung, jauh dari sumber panas, dan bebas debu.
DAFTAR PUSTAKA
Fossum TW. 2013. Small Animal Surgery 4th Edition. Missouri (US): Elsevier Mosby.
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery: Small Animal 2nd Volume.
Missouri (US): Elsevier Saunders.
Peralatan bedah atau instrumen bedah, merupakan alat yang digunakan oleh
dokter dalam melakukan tindakan pembedahan. Instrumen bedah merupakan
elemen penting yang dapat memengaruhi kelancaran dan keberhasilan
pembedahan. Persyaratan penting yang harus ada pada alat bedah apapun adalah
kemampuan untuk melakukan fungsinya dengan efisien dan presisi (tepat sasaran).
Dalam pengenalan alat bedah ini akan dijelaskan beberapa alat bedah yang umum
digunakan pada dunia kedokteran hewan.
Scalpel
Scalpel merupakan handel untuk memasangkan pisau bedah. Terdapat dua
jenis handel scalpel yaitu nomor #3 dan #4. Handel scalpel nomor #3 yang biasa
digunakan pada operasi hewan kecil, merupakan handel untuk pisau nomor 10, 11,
12, dan 15. Sedangkan handel scalpel nomor #4 digunakan untuk pisau nomor 20
sampai 25 (Lihat Gambar 1). Penggunaan scalpel untuk melakukan insisi pada
jaringan dengan trauma yang lebih minimal dibandingkan dengan insisi
menggunakan gunting.
Gambar 1 Handel scalpel nomor #3 dapat digunakan untuk mata pisau nomor 10,
11, 12, dan 15; handel scalpel nomor #4 digunakan untuk pisau nomor
20, 21, 22, dan 23
Terdapat kegunaan khusus pada setiap tipe blade. Mata pisau (blade) nomor
10 merupakan scalpel yang umum digunakan untuk insisi secara umum. Mata pisau
nomor 11 untuk tendotomy, nomor 12 berfungsi untuk membuka abses, sedangkan
mata pisau nomor 15 berguna untuk melakukan diseksi tipis.
Handel scalpel nomor #3 versi yang lebih panjang digunakan untuk operasi
di dalam rongga dada, sedangkan handel scalpel khusus berbentuk bundar (Beaver
scalpel handle) digunakan pada operasi mata (Gambar 2).
Gambar 2 Beaver surgical knife dan pisau bedah Beaver nomor 64 dan 67
Terdapat tiga tipe scalpel dan blade berdasarkan reusability-nya, yaitu scalpel
yang baik handle maupun pisaunya disposable, scalpel dengan handle yang
reusable dan pisau disposable, dan juga scalpel yang baik handle maupun pisaunya
reusable (dapat digunakan kembali).
Scissor
Scissor atau gunting operasi terbagi berdasarkan jenis bagian ujung, ukuran,
dan bentuk gunting. Berdasarkan bagian ujungnya, gunting terbagi menjadi sharp-
sharp, sharp-blunt, dan blunt-blunt. Berdasarkan bentuknya, gunting dibagi
menjadi gunting lurus (straight) dan gunting bengkok (curved). Berdasarkan
ukuran atau rasio antara handle dengan blade, gunting terbagi menjadi gunting
Mayo dan Metzenbaum.
Gunting lurus (straight) biasa digunakan untuk memotong jaringan yang
berada di permukaan. Gunting bengkok (curved), dapat digunakan untuk
menjangkau jaringan yang terletak lebih dalam (Gambar 3).
Berdasarkan ukuran atau rasio antara handle dan blade-nya, gunting dibagi
menjadi Mayo dan Metzenbaum. Gunting Mayo memiliki blade yang tebal dan
ukuran blade mencapai 1/3 dari panjang keseluruhan gunting. Jenis gunting Mayo
ini umumnya digunakan untuk menggunting jaringan yang tebal seperti fascia.
Sedangkan gunting Metzenbaum memiliki mata pisau yang tipis dan halus, ukuran
blade hanya ¼ dari ukuran gunting keseluruhan. Gunting jenis ini digunakan untuk
memotong jaringan yang lunak atau halus seperti jaringan subkutan (Gambar 4).
Tissue Forceps
Tissue forceps termasuk ke dalam grasping instruments yaitu peralatan yang
berfungsi untuk menggenggam atau memegang jaringan. Terdapat beberapa jenis
tissue forceps, yaitu:
a. Crushing tissue forceps
Crushing tissue forceps bersifat traumatis, umumnya memiliki gerigi di
ujungnya dan terdapat gerigi untuk mengunci forceps di bagian handle. Jenis
forceps ini disarankan digunakan pada jaringan yang akan dieksisi. Beberapa
jenis crushing tissue forceps yang sering ditemui adalah right angle forceps,
Babcock tissue forceps, Allis tissue forceps, dan Ochsner-Kocher forceps.
Right angle forceps umum digunakan saat melakukan diseksi pada
jaringan. Babcock, Allis, dan Ochsner-Kocher tissue forceps digunakan untuk
mencengkram atau memegang jaringan dengan trauma yang minimal.
c. Hemostatic forceps
Forceps berfungsi untuk menjepit dan menahan pembuluh darah.
Hemostatic forceps diberi nama berdasarkan penemunya yaitu Halsted
mosquito, Kelly, dan Crile hemostatic forceps. Terdapat beberapa jenis
hemostat, berdasarkan tipe ujungnya terdapat straight hemostatic forceps dan
curved hemostatic forceps; berdasarkan ukuran dan tingkat kehalusan
geriginya terdapat Mosquito hemostatic forceps dan Kelly hemostatic
forceps; berdasarkan bentuk ujungnya terdapat hemostat yang memiliki gigi
tajam di ujungnya (rat-tooth hemostatic forceps) dan hemostat yang tidak
memiliki gigi tajam di ujung.
d. Thumb forceps
Thumb forceps umumnya berbentuk lurus, dengan bagian pegangan yang
bergerigi agar tidak licin. Terdapat forceps yang memiliki gigi di ujungnya
(rat-tooth thumb forceps) dan tidak bergigi. (dressing thumb forceps). Fungsi
dari thumb forceps adalah untuk memegang jaringan secara tidak permanen.
Jenis-jenis thumb forceps khusus yang sering digunakan antara lain adalah
Brown-Adson, DeBakey, dan Adson thumb forceps.
Rat-tooth thumb forceps memiliki gigi dibagian ujung untuk
mencengkram jaringan yang tebal dan keras. Bersifat traumatis sehingga
tidak dapat digunakan untuk jaringan yang halus.
DeBakey vascular thumb forceps memiliki ujung penjepit yang kecil dan
gerigi yang halus. Forceps ini digunakan untuk memegang vaskular dan
jaringan-jaringan yang halus karena memiliki sifat atraumatis.
e. Towel clamps
Towel clamps merupakan alat yang digunakan untuk memfiksasi kain
penutup area bedah dengan kulit. Terdapat dua tipe towel clamp yaitu
penetrating dan non-penetrating towel clamp. Tipe penetrating memiliki
ujung yang tajam dan lebih bersifat traumatis pada jaringan dibandingkan
dengan tipe non-penetrating. Contoh penetrating towel clamp adalah
Backhaus towel clamp sedangkan contoh non-penetrating towel clamp adalah
Lorna towel clamp.
Retractor
Retractor merupakan alat yang digunakan untuk menarik dan menahan
jaringan. Terdapat dua jenis retractor yaitu hand-held retractor dan self-retaining
retractor.
a. Hand-held retractor
Digunakan untuk menguakkan jaringan agar wilayah operasi terlihat
jelas. Penggunaan jenis retractor ini memerlukan asisten operasi karena harus
dipegang.
b. Self-retaining retractor
Self-retaining retractor memiliki satu atau dua lengan yang terletak pada
satu bidang geser. Fungsi dari self-retaining retractor adalah untuk menahan
jaringan yang menghalangi daerah operasi secara permanen. Contoh dari self-
retaining retractor adalah Finochietto retractor, Gelpi retractor, dan
Weitlaner retractor. Finochietto retractor umum digunakan untuk menahan
tulang rusuk pada operasi di daerah dada.
A B
Gambar 26 Finochietto retractor (A), Gelpi retractor (B), dan Weitlaner retractor
(C)
Needle holder
Merupakan alat yang digunakan untuk memegang jarum pada saat proses
penjahitan. Terdapat beberapa jenis needle holder yang umum digunakan pada
operasi, yaitu Mayo-Hegar, Olsen-Hegar, dan Mathieu needle holder.
Mayo-Hegar needle holder merupakan needle holder standar yang tidak
dapat digunakan untuk menggunting. Olsen-Hegar needle holder merupakan
gabungan antara needle holder dan gunting sehingga memiliki fungsi ganda yaitu
untuk memegang jarum sekaligus untuk menggunting benang jahit. Akan tetapi,
pada proses penggunaan Olsen-Hegar needle holder, terkadang operator kesulitan
melakukan pengguntingan dikarenakan posisi gunting yang berada di belakang
bagian needle holder. Mathieu needle holder merupakan needle holder yang hanya
berfungsi untuk memegang jarum jahit seperti Mayo-Hegar needle holder. Bentuk
dari Mathieu needle holder membuat proses penguncian dan pembukaan kunci
menjadi lebih mudah dilakukan.
A B
C
Gambar 27 Mayo-Hegar needle holder (A), Mathieu needle holder (B), dan
Olsen-Hegar needle holder (C)
Rongeurs
Rongeurs termasuk ke dalam grasping instruments yaitu peralatan yang
berfungsi untuk memegang atau menjepit jaringan. Fungsi dari rongeurs adalah
untuk menjepit dan memotong bagian kecil dari organ yang keras seperti tulang,
tulang rawan, atau jaringan ikat.
Gambar 28 Rongeurs
Bone-Holding Forceps
Digunakan untuk memegang tulang saat dilakukan proses fiksasi pada tulang
(pemasangan screws, pins, wires, atau plates).
Curettes
Berbentuk seperti mangkuk yang berfungsi sebagai bone-cutting instruments
yang digunakan untuk menghancurkan bagian jaringan yang keras seperti tulang
atau tulang rawan.
Gambar 30 Curettes
Periosteal elevator
Merupakan alat yang digunakan untuk membuka jaringan ikat atau otot yang
menempel pada tulang atau gigi.
Gambar 34 Cara memegang thumb forceps saat tidak dipakai saat pembedahan
A B
Gambar 36 Posisi tangan kanan (A) dan tangan kiri (B) pada saat membuka
kunci hemostatic forceps.
DAFTAR PUSTAKA
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery: Small Animal, Volume 1.
Missouri (US): Elsevier Saunders.
Operasi memiliki resiko yang tinggi terhadap infeksi nosokomial pada pasien. Infeksi
tersebut dapat berasal dari ruang operasi, area operasi, peralatan operasi, dan lain sebagainya.
Oleh karea itu, pemeliharaan perlatan bedah bertujuan untuk meminimalisir resiko tersebut.
Seluruh instrumen bedah dan linen (towel, gown bedah, tirai, dll) harus bebas dari
kontaminasi secara menyeluruh. Instrumen harus dibersihkan secara manual atau otomatis
menggunakan peralatan ultrasonik dengan desinfektan yang sesuai sesaat setelah operasi.
Selain itu, linen harus dicuci. Sebelum dilakukan sterilisasi pada peralatan bedah tersebut,
pengemasan merupakan salah satu prosedur penting yang harus dilakukan dengan beberapa
pertimbangan.
Tabel 1 jenis dan penggunaan bahan kemasan sterilisasi dan metode sterilisasi yang tepat
untuk digunakan
Metode sterilisasi Persyaratan bahan kemasan Bahan yang dapat digunakan
peralatan bedah
Steam autoclave Uap dapat berpenetrasi ke dalam bahan Kertas
Plastik
Kain
Serat kertas pembungkus
Kaset pembungkus berlubang
Sistem kontainer steril
Ethylene Oxide (EtO) EtO harus dapat berpenetrasi ke dalam Polyethylen
bahan (bahan yang tidak dapat Serat kertas pembungkus
digunakan: nilon, polyvinyl chloride,
Plastik
polyvinil alcohol, cellophane, dan
aluminum foil)
Plasma Hydrogen Plasma dan uap plasma harus dapat Polypropylene tyvek nonwoven
Peroxida berpenetrasi ke dalam bahan (bahan yang
tidak dapat digunakan: bahan metal yang
mampu menahan gelombang radio dan
selulosa sehingga bahan dengan serat
katun tidak dapat digunakan)
Bahan untuk pengemasan harus sesuai dengan peralatan yang akan disterilisasi.
Contohnya: bahan kemasan bukan kertas digunakan untuk mengemas peralatan yang tajam
karena dapat merusak kemasan kertas, bahan penutup tambahan (staples, paper clip) yang
dapat merusak kemasan tidak boleh digunakan. Bahan pengemas peralatan bedah yang sesuai
untuk semua jenis peralatan bedah adalah sistem kontainer steril. Sistem kontainer steril
berbentuk seperti box dan kaku, terbuat dari bahan yang tahan panas dan uap sterilisasi.
Sistem ini lebih efektif dari sisi waktu dan biaya, serta melindungi sterilitas alat lebih baik
dibandingkan dengan bahan pengemas lain. Selain itu, sistem ini lebih ramah lingkungan
karena tidak memerlukan kemasan disposable atau sekali pakai serta kemasan yang harus
dicuci ulang.
Gambar 1 Sistem kontainer steril. A. Kontainer saat tertutup. B. Kontainer saat terbuka menunjukkan keranjang
dalam dan filter yang dapat diganti pada penutup (sumber: Surgical Direct)
Bahan pengemas yang biasanya digunakan adalah kain muslin. Kain ini memiliki
beberapa kelebihan yaitu, halus, dapat digunakan berulang-kali, murah, absorben yang baik,
dan mudah untuk diletakkan didalam mesin sterilisasi. Namun, karena kain ini merupakan
kain woven, bakteri dapat berpenetrasi ke dalam kain tersebut, sehingga, penggunaan kain ini
berlapis (double muslin layer) dapat meminimalisir kontaminasi pada peralatan bedah setelah
sterilisasi. Saat ini, beberapa kemasan nonwoven dari derivat cellulosa telah dikembangkan
karena lebih efektif sebagai barrier mikoorganisme dan tahan air. Contohnya: polypropylene
dari derivat cellulosa dan SMS yang merupakan campuran serat polyester dan serat kayu.
SMS sangat protektif terhadap kontaminasi mikroorganisme.
Gambar 2 Teknik melipat kemasan peralatan bedah. A. kain disiapkan dengan peralatan bedah dalam wadah
yang diposisikan di tengah kain (wadah telah dikemas dengan kain lapis pertama). B. Kain yang berada dekat
dengan sisi tubuh dilipat hingga menutupi peralatan. C. Sisi kanan dilipat, selanjutnya sisi kiri secara diagonal.
D. Ujung lainnya dilipat mendekati tubuh dan diselipkan ke dalam lipatan diagonal. E. Peralatan yang diap
untuk disterilisasi (sumber: Small Animal Surgery)
Gambar 3 teknik melipat dan mengemas gown bedah. A. Gown disiapkan dan diletakkan diatas kemasan dengan
bagian luar gown menghadap operator dan bagian dalam gown bersentuhan dengan kemasan. B. Sisi gown yang
terdekat dengan operator dilipat ketengah, lalu pada sisi terjauh juga dilipat ke tengah. C. Gown dilipat menjauhi
operator membagi dua titik tengah. D. Gown dilipat dengan tiga lipatan dengan kerah berada di lipatan luar. E.
Susun gown dengan towel yang akan digunakan (urutan susunan lengkap dari bawah ke atas: gloves, gown,
towel, sikat, masker, haircup). F. Kemasan gown dilipat seperti cara melipat kemasan peralatan bedah (sumber:
Small Animal Surgery)
Tim operasi merupakan sumber utama kontaminasi mikroba selama operasi. Tim
operasi terdiri atas tim steril/operasi dan tim nonsteril. Untuk meminimalisir kontaminasi
selama operasi seluruh personil yang bertugas di dalam ruang operasi termasuk tim
pengamat/peneliti harus mengikutri prosedur pra-oprasi yang ketat. Jika memungkinkan,
akan lebih baik lagi apabila hanya personil yang sangat dibutuhkan yang berada di dalam
ruang operasi yaitu tim anastesi dan tim operasi.
Pakaian bedah
Pakaian bedah terdiri atas gown, hair cover, masker, cover sepatu, dan gloves. Gown
yang digunakan terbuat dari woven berbahan katun dan dapat digunakan sekali atau berulang
kali. Rambut merupakan pembawa bakteri yang signifikan oleh karena itu harus ditutup
menggunakan hair cover secara menyeluruh. Begitu pula masker digunakan untuk menutupi
rambut pada wajah. Masker biasanya terbuat dari bahan yang tidak berpori serta dua lapis
filter hidrofilik untuk menyaring dan menahan droplet mikoorganisme dari mulut dan
nasopharynx saat berbicara, batuk, maupun bersin selama operasi berjalan. Selain itu, cover
sepatu juga dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi bulu hewan atau kotoran lain yang
terbawa dari ruang pre-operasi. Gloves yang digunakan dalam operasi berbahan karet latex
dengan lubricating agent yaitu Magnesium silicat (talcum) atau pati tepung jagung.
Gambar 5 Teknik mencuci tangan. A. kuku dibersihkan atau dipotong. B. Lengan dan tangan dibasahi
menggunakan air. C. Sabun diambil dalam jumlah yang cukup. D. Bagi sabun ke dalam dua tangan dan
gosokkan menggunakan ujung jari hingga berbusa. E. Gosokkan sabun ke seluruh tangan termasuk sela-sela jari,
telapak tangan, punggung tangan, hingga lengan. F. gosok dengan air mengalir. G. Bilas menggunakan air
hingga bersih dan kesat. Total waktu mencuci tangan: 2 hingga 7 menit.
gambar 6 Cara mengeringkan tangan dan lengan. Keringkan telapak tangan ke siku.
Gambar 7 Teknik mengenakan gown operasi. A. pita pada bagian belakang gown harus diikatkan oleh asisten.
B. Pita depan gown diikat bila telah mengenakan gloves
Gambar 7 Teknik menggunakan gloves. A. Buka kemasan glove dan masukkan tangan dengan hati-hati hingga
jari tangan masuk ke bagian jari gloves. B. Masukkan satu sisi tangan ke lipatan gloves di bagian dalam lipatan.
C. Kencangkan dengan menarik bagain dalam lipatan ke arah lengan. D. Bagian dalam lipatan di balik dengan
menarik lipatan ke arah lengan sehingga bagian dalam dalam lipatan menjadi bagian luar gloves yang tidak
bersentuhan dengan kulit lengan.
Flora mikroba endogen (sebagian besar Staphylococcus aureus dan Streptococcus spp)
merupakan sumber kontaminasi utama pada kasus infeksi area operasi (surgical site
infection/SSI). Infeksi ini diklasifikasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) menjadi infeksi pada luka insisi atau organ. Hal yang harus dilakukan terhadap pasien
sebelum operasi adalah pembatasan pakan, eksresi, penanganan rambut, persiapan sterilisasi
kulit, pomosisian pasien di meja operasi, dan restrain pasien.
Pembatasan pakan
Pada hewan dewasa, pakan dibatasi 6-12 jam sebelum induksi anastesi untuk mencegah
emesis dan slek pneumonia/pneumonia aspirasi selama dan setelah operasi. Pembatasan
hanya dilakukan terhadap pakan tidak terhadap air minum. Operasi pada usus besar , pakan
dibatasi selama 48 jam atau dengan pemberian antibiotik enterik ataupun keduanya. Pada
hewan muda, pembatasan pakan masimal hanya 4-6 jam untuk mencegah hipoglisemi.
Eksresi
Hewan harus dirangsang untuk defekasi atau urinasi sesaat sebelum dilakukan anastesi.
Pada operasi kolon, sebelum operasi hewan harus dibeli enema pada colon.
Gambar 8 Sterilisasi kulit area operasi. Penggunaan gauze untuk pengolesan povidone-iodine
Gambar 10 Pemasangan towel/kain lapis kedua untuk menutupi seluruh badan pasien. Pemasangan
menggunakan aliss tissue forceps hanya pada salah satu ujung.
DAFTAR PUSTAKA
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgery 4th Edition. Missouri (US): Elsevier Mosby.
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery: Small Animal 2nd Volume. Missouri
(US): Elsevier Saunders.
Mann FA, Constantinescu GM, Yoon HY. 2011. Fundamental of Small Animal Surgery.
Philadelphia (UK): John Wiley & Son.
Persiapan pasien bedah perlu dilakukan dengan teliti yang meliputi pemeriksaan fisik
lengkap dan diikuti dengan pemeriksaan laboratorium serta diagnostik pencitraan sebagai
penunjang. Sejarah pasien perlu dicermati agar mudah menentukan tindakan lanjut dalam
pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara lengkap dan sistematis. Pemeriksaan fisik lengkap
dimulai dari kepala dan leher (mata, hidung, rongga mulut), limfonodus, sistem
kardiovaskular, sistem respirasi, sistem digesti, sistem urogenital, integumen, sistem
muskuloskeletal, dan sistem saraf. Kondisi umum hewan seperti kondisi tubuh, sikap dan
perawakan serta status mental perlu dievaluasi.
Penilaian status fisik pre-anestesi adalah salah satu penentu dalam mencegah
kemungkinan keadaan darurat kardiopulmoner selama atau setelah operasi. Semakin
memburuk status fisik maka semakin tinggi risiko komplikasi anestesi dan bedah. Penilaian
status fisik pasien bedah dapat dilihat pada Tabel 1.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium bergantung pada hasil pemeriksaan fisik dan prosedur lain
yang dilakukan sebelumnya. Hewan muda dan sehat yang akan menjalani prosedur bedah
elektif (misalnya ovariohisterektomi dan declawning) serta pasien dengan penyakit lokal
(misalnya luxatio patella) cukup melakukan pemeriksaan wajib terhadap hematokrit dan total
protein. Sedangkan pada hewan yang tua (dari 5-7 tahun) meskipun nilai status fisik I dan II
(lihat tabel 1) atau memiliki tanda-tanda sistemik (misalnya dispnea, murmur jantung,
anemia, kandung kemih pecah, dilatasi dan volvulus lambung, syok, pendarahan) perlu
melakukan pemeriksaan darah lengkap (CBC), profil biokimiawi serum, dan urinalisis.
Pemeriksaan yang lengkap ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap komplikasi
selama operasi maupun post operasi.
Diagnostik Pencitraan
Pemeriksaan pasien melalui diagnosis pencitraan tidak selalu dilakukan terutama pada
prosedur bedah elektif hewan sehat. Pada kondisi lain yang membutuhkan diagnosa
penunjang maka dapat dilakukan eksplorasi melalui radiografi, ultrasonografi (USG), dan
magnetic resonance imaging (MRI). Beberapa contoh kasus bedah yang memerlukan
diagnosa penunjang pencitraan antara lain neoplasia (gambaran metastasis tumor), pasien
trauma (kecelakaan), gastric dilatation-volvulus (GDV), gangguan jantung, obstruksi saluran
pencernaan, dll.
Pada pasien trauma data yang diperoleh adalah hasil pemeriksaan laboratorium
(minimal PCV/TP, BUN, kadar gula darah, urine specific gravity) dan radiografi thoraks
dengan view right lateral serta radiografi abdomen. Beberapa kondisi yang perlu diperhatikan
yaitu keutuhan difragma, keutuhan dinding tubuh, kondisi kantung kemih, ada tidaknya
pneumothoraks, efusi pleura dan peritoneum, serta kontusio paru-paru. Pada pasien GDV,
view yang bagus digunakan adalah ortogonal right lateral untuk memudahkan dalam melihat
kodisi lambung. Pasien dengan murmur jantung perlu dilakukan radiografi toraks dengan
right lateral view dan ventrodorsal atau dorsoventral untuk melihat kondisi otot jantung dan
katupnya.
Pemeriksaan dengan USG dilakukan untuk mengamati kelainan yang terjadi pada
jaringan atau organ internal tubuh. Perbedaan struktur normal dan abnormal dari jaringan
dapat dilihat dari ekogenitasnya, yang terlihat hipoekoik atau hiperekoik. Selain itu dapat
teramati bentuk, ukuran, letak, jumlah dan batas/marginasi jaringan tersebut.
Beberapa kasus tertentu memiliki risiko prosedur bedah yang lebih besar dari manfaat
yang dapat diperoleh setelah menjalani bedah. Keputusan dalam melakukan prosedur bedah
harus mempertimbangkan kualitas hidup pasien setelah operasi terutama pada pasien dengan
status fisik parah, sangat lemah dan sulit dalam pengobatan. Misalnya pengangkatan massa
tumor jinak pada kulit pasien dengan komplikasi disfungsi hati atau ginjal tidak disarankan.
Demikian juga pasien neoplasia dengan metastasis toraks kemungkinan tidak memiliki
manfaat apabila dilakukan pengangkatan tumor primer. Akan tetapi pada beberapa pasien,
pembedahan dapat meningkatkan kualitas hidup meskipun dengan jangka waktu hidup yang
terbatas.
Komunikasi Klien
Komunikasi dengan klien sangat penting untuk memastikan kepuasan klien terhadap
prosedur operasi. Klien perlu diinformasikan terkait diagnosis, opsi operasi atau non-operasi,
potensi komplikasi, perawatan post operasi, prognosis dan estimasi biaya. Selain itu
rekomendasi tindakan operasi lain seperti kastrasi perlu disampaikan pada pasien dengan
potensi penyakit herediter. Setelah semua informasi sudah disampaikan kepada klien maka
selanjutnya dilakukan penandatanganan persetujuan prosedur operasi dengan berbagai
kemungkinan risiko anestesi dan operasi. Formulir ini juga mencakup estimasi biaya
diagnosa, perawatan pre operasi, operasi dan perawatan post operasi.
Stabilisasi Pasien
Stabilisasi pasien sangat penting dilakukan untuk menyiapkan kondisi fisik pasien
sebelum induksi anestesi dan pembedahan. Pada pasien darurat dan perlu segera dioperasi
maka minimal stabilisasi yang dilakukan adalah mengganti cairan yang hilang dan
mengoreksi abnormalitas pada keseimbangan asam basa dan elektrolit sebelum induksi
anestesi. Terapi cairan intravena diindikasikan untuk semua hewan yang dianestesi general
termasuk hewan sehat yang melakukan prosedur elektif. Kebutuhan akan antibiotik
preoperasi juga perlu dipastikan untuk memulihkan kondisi pasien.
Informasi yang diperoleh dari sejarah pasien, tanda klinis, hasil pemeriksaan fisik,
nilai elektrolit dan total CO2 dapat mambantu dalam screening penilaian ketidakseimbangan
asam-basa yang signifikan. Sedangkan untuk mengetahui secara pasti tingkat keparahan
abnormalitas keseimbangan asam basa dapat dilakukan dengan pemeriksaan pH darah,
tekanan parsial oksigen arteri (PaO2), tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) dan
konsentrasi bikarbonat. Jika pH darah pasien bersifat asam (<7.2) maka perlu meningkatkan
ventilasi dan perfusi kapiler.
Pasien dengan status gizi yang kritis dan kronis perlu diberikan larutan
hiperalimentasi secara parenteral atau enteral untuk meningkatkan status gizi. Pada pasien
yang tampak kesulitan dalam bernapas atau menunjukkan tanda-tanda kekurangan oksigen
maka perlu distabilisasi dengan terapi oksigen. Stabilisasi pasien bedah dilakukan juga dalam
kondisi tertentu yang memerlukan beberapa tindakan pre-operasi, misalnya thoracocentesis
dilakukan pada pasien yang menunjukan tanda dispnea dengan adanya penyakit pada rongga
thoraks (pneumothoraks, efusi pleura).
Terapi Cairan
Terapi cairan harus dilakukan pada pasien pendarahan dan diduga syok. Volume
darah normal anjing adalah sekitar 90 ml/kg dan kucing sekitar 70 ml/kg. Penanganan
hipovolemia akut dimaksudkan untuk menambah volume darah sehingga cukup untuk
bersirkulasi dan terjadi perfusi jaringan. Umumnya hewan yang mengalami hipovolemik
diterapi dengan pemberian intravena cairan isotonik polyionic 60-90 ml/kg untuk anjing dan
45-60 ml/kg untuk kucing pada 1 jam pertama. Namun pada pasien dengan gangguan paru-
paru, kardiovaskular, atau gangguan ginjal parah terapi akan intoleran terhadap terapi cairan
yang terlalu cepat. Biasanya seperempat hingga setengah dosis administrasi cairan diberikan
lebih dari 15-30 menit sambil diperhatikan perubahan tanda-tanda vital pasien. Berikut
merupakan jenis produk cairan dan indikasi penggunaan pada hewan (Tabel 3).
Tabel 3 Jenis produk cairan, indikasi dan dosis pada hewan kecil
Produk Indikasi Dosis
Kristaloid isotonik Syok Dog: >90 ml/kg
Cat: >60 ml/kg
Maintanance Dog: 66 ml/kg/hari (BB 10kg), 44 ml/kg/hari (BB 40
kg), 81 ml/kg.hari (BB 5 kg)
Hydroxyethyl starch Syok Dog: 5-20 ml/kg (>10-15 menit)
Cat: 5-10 ml/kg (>10-15 menit)
Hipoalbuminemia Dog: 0.4-0.8 ml/kg/hari
Cat: 0.2-0.4 ml/kg/hari
Dextram 70 Syok Dog: 10-20 ml/kg/hari (>30-60 menit)
Cat: 5-10 ml/kg/hari (>30-60 menit)
16% canine albumin Syok 1-2 g/kg/hari IV (>30-60 menit)
Hipoalbuminemia
7% hypertonic saline Syok Dog: 4-5 ml/kg (>5 menit)
Cat: 3-4 ml/kg (>5 menit)
Note: dapat diberikan dengan kristaloid isotonik
untuk memperpanjang efek: 10-20 ml/kg/jam
(maksimal 1 ml/kg/menit)
Fresh whole blood Anemia 10-22 ml/kg (2.2 ml/kg akan mencapai PVC 1%
Sesuai kebutuhan
Hemoragi
Koagulopati Jika diberikan >50 ml/kg, kontrol level kalsium (jika
Syok rendah: kalsium klorida atau glukoronat
Packed red blood Anemia 6-15 ml/kg (1 ml/kg akan mencapai PVC 1%)
cells Hemoragi
Fresh-frozen plasma Koagulopati 10-22 ml/kg
Hipoproteinemia
DIC
Preparasi daerah orientasi bedah penting dilakukan mengingat adanya mikroba pada
kulit dan rambut hewan yang dapat mengontaminasi daerah insisi maupun organ internal.
Beberapa mikroba patogen yang secara normal berada pada kulit dan folikel rambut hewan
namun berpotensi mengontaminasi area operasi antara lain Staphylococcus epidermidis,
Corynebacterium spp., Pityrosporum spp., S. aureus, S. intermedius, Echerichia coli,
Streptococcus spp., Enterobacter spp., dan Clostridium spp. Pembersihan daerah orientasi
operasi dengan antiseptik dan tindakan pereventif dengan administrasi antimikrobial dapat
dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan kontaminasi.
Posisi Hewan
Posisi hewan di meja operasi diatur sedemikian rupa hingga area operasi mudah
dijangkau oleh operator. Selanjutnya tubuh pasien difiksir menggunakan tali untuk mencegah
terjadinya gerakan yang mengganggu operasi apabila hewan tersadar. Pengekangan pada
pasien ini tetap harus memperhatikan fungsi respirasi dan sirkulasi perifer serta fungsi otot
dan saraf hewan. Alas tubuh hewan pada meja operasi sebaiknya mampu menghasilkan suhu
hangat sehingga dapat menjaga suhu tubuh pasien selama teranestesi, misalnya dengan
heating pad. Kemudian alat monitor pasien dipasangkan pada tubuh hewan.
bagian tubuh. Antiseptik yang efektif dalam mengurangi pertumbuhan bakteri pada kulit area
operasi adalah kombinasi alkohol dengan chlorhexidine (CHG) atau alkohol dengan povidone
iodine (PVI). Aplikasi kombinasi alkohol dan CHG pada kulit diulangi 2x selama 30 detik.
CHG efektif berikatan dengan keratin sehingga waktu kontak dengan kulit tidak berpengaruh
dibandingkan dengan PVI. Kombinasi alkohol dan PVI diaplikasikan masing-masing 3x
selama 5 menit.
Draping
Draping merupakan pembungkusan pasien dengan bahan steril untuk menutupi
daerah non steril. Apabila operasi menggunakan electro cauter maka beri jeda waktu antara
pembersihan kulit dengan draping. Hal ini dilakukan agar bahan antiseptik yang mudah
terbakar (alkohol, zat penghilang lemak) dapat menguap secara sempurna. Pada anjing jantan
apabila insisi hingga ke pubis maka preputium perlu difiksir (di-klem) ke satu arah. Draping
dilakukan oleh operator yang sudah menggunakan antribut steril. Secara teknis draping
dilakukan dengan meletakan kain (duk) dengan posisi lubang tengah kain pada daerah insisi
lalu kain difiksasi dengan towel clamp. Setelah kain steril dipasangkan maka kain tidak boleh
digerakkan/digoyang-goyangkan untuk mencegah pergerakan udara yang membawa partikel
non steril.
Operator dan asisten operator merupakan sumber utama kontaminasi dalam operasi
sehingga perlu dilakukan beberapa prosedur untuk mengurangi risiko kontaminasi. Terdapat
korelasi antara kejadian kontaminasi dengan jumlah orang, pergerakan orang, dan jumlah
bakteri airborne di ruang bedah. Oleh karena itu personil di ruang bedah harus dibatasi dan
sebaiknya menggunakan atribut steril.
Mencuci Tangan
Prosedur ini dilakukan untuk menjaga kesterilan operasi dengan menghilangkan
kotoran dan minyak, mengurangi bakteri pada tangan, baik yang berasal dari lingkungan
maupun bakteri normal pada kulit. Sebelum mencuci tangan semua perhiasan dan jam tangan
harus dilepaskan. Kuku tangan harus dipotong, bersih dan tidak menggunakan pewarna kuku.
Arah pencucian tangan dimulai dari jari hingga ke siku. Setelah selesai, tangan dikeringkan
dengan handuk steril dengan posisi memanjang dari jari hinggga siku. Antiseptik yang
digunakan sebaiknya yang rapid acting, berspektrum luas, mampu mengurangi populasi
bakteri, tidak menyebabkan iritasi, dan harus persisten/tahan lama (mampu berikatan dengan
keratin). Antiseptik yang mengandung alkohol sangat direkomendasikan dan dikombinasikan
dengan bahan antiseptik lain seperti chlorhexidine. Beberapa bahan antiseptik lainnya antara
lain hexachlorophene, iodophor (Povidone-iodine), parachloro-metaxylenol (PCMX), dan
triclosan.
Durasi waktu mencuci tangan pada tim operasi bervariasi dari 2-10 menit. Hal ini
tergantung efektifitas antiseptik yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)
chlorhexidine glucoronate lebih efektif dari povidone-iodine dan durasi scrubbing 2 menit
sama efektifnya dengan durasi yang lebih lama. Namun apabila tangan dan lengan cukup
kotor maka waktu menggosok harus lebih lama. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
jangan menggosok terlalu keras karena dapat menimbulkan abrasi pada kulit yang justru akan
mejadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Secara umum rekomendasi durasi
mencuci tangan adalah 5-7 menit untuk kasus bedah pertama hari itu, diikuti dengan 2-3
menit pada bedah selanjutnya.
Atribut Operasi
Atribut operasi yang digunakan oleh tim operasi meliputi baju bedah, penutup kepala
dan sarung tangan. Semua atribut ini digunakan dalam keadaan steril. Pemakaian atribut ini
dilakukan di tempat yang berbeda dari meja operasi agar tidak menyebabkan kontaminasi
akibat pergerakan operator. Secara teknis baju bedah harus dilipat dengan bagian dalam
menghadap keluar. Kemudian baju bedah diangkat perlahan lalu mundur selangkah dari meja
penyimpanan atribut untuk mendapatkan ruang yang cukup. Selanjutnya secara perlahan baju
bedah dipakai lalu meminta asisten operator untuk mengikat tali baju di bagian belakang.
Sarung tangan steril yang dilipat sedemikian rupa sehingga saat dipakai bagian luar yang
akan menyentuh pasien tidak tersentuh oleh tangan operator.
Perawatan dan tindakan lanjut post operasi sama pentingnya dengan perawatan pre
operasi dan selama operasi. Perawatan yang baik selama postoperasi akan membantu
pemulihan pasien dari anestesi ataupun persembuhan luka operasi. Hal yang perlu
diperhatikan antara lain suhu lingkungan yang hangat, menjaga perfusi dan ventilasi, nursing
care yang tepat, nutrisi yang cukup dan membatasi aktivitas untuk memungkinkan
penyembuhan luka. Selain itu perlu melakukan follow up dan menjaga komunikasi dengan
klien setelah pasien kembali ke rumah.
penilaian kecukupan ventilasi dapat dinilai dari gas darah menggunakan kapnografi. End-
tidal carbondioxide (ETCO2) diukur melalui kapnografi untuk melihat perkiraan tekanan
parsial karbondioksida dalam arteri (PaCO2). PaCO2 normal berkisar antara 35-45 mmHg.
Tingkat kesadaran harus dimonitor setidaknya tiap jam. Pemulihan yang lebih lama
dapat terjadi pada pasien kritis, hipotermia, anemia, hipokalsemia, hipoksemia, dan
hipoproteinemia. Pada pasien yang terlihat gelisah dan panik dapat diberikan sediaan
penenang (acepromazine atau dexmedetomidine) untuk menenangkan pasien dan mengurangi
risiko cedera. Namun tetap perlu pemeriksaan lebih lanjut terkait penyebab gelisah dan panik
yang ditunjukkan pasien.
Pasien dimonitor juga terkait rasa sakit dan ketidaknyamanan untuk membantu
pemulihan pasien. Reaksi rasa nyeri pada hewan umumnya ditunjukkan dengan vokalisasi,
menggigil, keengganan untuk bergerak, gelisah, menjaga daerah yang terluka (reaksi
defense), hipersalivasi, pupil melebar, hipertensi dan peningkatan laju pernapasan.
Pasien yang berpotensi mengalami hipoglikemia perlu dipantau dalam 24-48 jam.
Hipoglikemia (dalam darah kurang dari 60 mg/dL) akan memperlambat pemulihan anestesi.
Tanda-tanda umum yang ditunjukkan adalah lesu, depresi, tremor, kelemahan, ataksia, kejang
dan koma. Penanganan yang dapat dilakukan adalah pasien diberi pakan yang lembek sedikit
demi sedikit setiap 2-3 jam. Sedangkan pasien yang kesulitan makan harus diberikan cairan
dextrose intravena (2.5% atau 5% dextrose).
Hemoragi merupakan komplikasi yang sangat mungkin terjadi selama operasi. Oleh
karena itu penting dilakukan pemeriksaan status kecukupan darah pasien. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan dengan melihat tanda-tanda berupa warna selaput lendir lebih anemis
(pucat), frekuensi jantung meningkat, denyut nadi lemah, dan tekanan darah menurun. Selain
itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk memastikan kondisi pasien. Nilai PCV
optimal hewan kritis umumnya 25-35%. Apabila PCV<20% karena hemoragi atau darah
yang terdilusi maka perlu dilakukan transfusi darah, berupa whole blood apabila tidak ada
defisiensi protein, infus protein plasma apabila tidak ada anemia namun hipoproteinemia,
platelet dan faktor penggumpal. Penanganan dapat berupa terapi cairan dan transfusi darah
tergantung kebutuhan pasien (lihat Tabel 3).
Nutrisi
Komponen yang penting dalam perawatan post operasi adalah nutrisi untuk
memulihkan kondisi pasien dari kondisi lemah dan anoreksia. Apabila pasien tidak mendapat
asupan nutrisi dapat menyebabkan malnutrisi. Malnutrisi ditandai dengan hilangnya massa
tubuh secara progresif terutama lemak pada jaringan adiposa akibat kurangnya asupan nutrisi
atau tingginya kebutuhan tubuh akan protein dan kalori. Kondisi ini disebut juga protein-
calori malnutrition (PCM) dengan insidensi pada pasien bedah dengan kondisi yang parah
sekitar 24-65%. PCM terjadi karena kelaparan, anoreksia, sindrom malabsorbsi, trauma
parah, stres bedah, sepsis, dan luka bakar yang luas. Hal ini berdampak pada atrofi otot,
gangguan imunokompetensi, penyembuhan luka, anemia, hipopreteinemia, kurangnya
resistensi infeksi, bahkan kematian. Pemulihan pasien operasi membutuhkan protein dan
kalori dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena itu kebutuhan nutrisi pada pasien harus segera
terpenuhi.
Asupan pakan secara oral sangat ideal apabila pasca operasi hewan sudah bisa makan.
Namun apabila pasien tidak dapat makan selama 24 jam post operasi, perlu dilakukan
penanganan dengan metode lain. Diagnosis PCM pada pasien bedah dapat dilihat dari
penurunan bobot badan 10% dari normal, anoreksia atau hiporeksia selama lebih dari 5 hari,
kehilangan nutrisi (muntah, diare, luka parah, luka bakar), peningkatan kebutuhan nutrisi
(trauma, post operasi, infeksi, luka bakar, demam), sejarah penyakit kronis, dan
hipoalbuminemia (<2.5 g/dl).
Pasien bedah yang mengalami PCM ataupun berpotensi mengalami PCM dapat
ditangani dengan pemberian sediaan hiperalimentasi. Sediaan hiperalimentasi dapat diberikan
secara enteral melalui nasoesophageal, faringostomi, esofagostomi, gastrotomi atau
enterostomi. Selain itu dapat diberikan parenteral melalui intravena dengan sediaan total
nutrisi parenteral (TPN) yang sangat lengkap mengandung protein dan kalori atau parsial
nutrisi parenteral (PPN) yang mengandung sebagian dari kebutuhan nutrisi hewan.
Jumlah asupan nutrisi pada pasien tergantung pada kebutuhan energi, formula pakan
yang dipilih, dan rute administrasi (enteral, parenteral, atau parenteral parsial). Kebutuhan
energi hewan dihitung berdasarkan kebutuhan basal (BER) dan maintenance (MER). BER
bergantung pada berat badan hewan dan nilai MER diperoleh dengan mengalikan BER
dengan faktor arbiter untuk mengakomodasi kebutuhan energi akibat beberapa kondisi seperti
istirahat kandang, stres pascabedah, trauma, kanker, sepsis atau luka bakar mayor. Berikut
merupakan perhitungan kebutuhan kalori pasien menurut Fossum et al. (2013):
BER (kcal/hari):
BB<2kg = 70 x BB0.75
BB>2kg = (30 x BB) + 70
MER (kcal/hari):
BER x faktor arbiter
Faktor arbiter :
Istirahat kandang: 1.00 – 1.25
Stres post operasi: 1.25-1.35
Trauma/kanker: 1.35-1.50
Sepsis: 1.50-1.70
Luka bakar: 1.70-2.00
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan pada pasien, yaitu
pakan diberikan minimal 3x sehari dan pada pasien yang mengalami muntah jumlah pakan
dikurangi namun frekuensi ditingkatkan. Tanda-tanda overfeeding juga perlu diperhatikan
yaitu reaksi muntah, diare, distensi abdomen dan kram.
Aktivitas Fisik
Terapi fisik bermanfaat bagi pasien selama periode istirahat post operasi yang cukup
lama. Terapi fisik tersebut penting untuk pencegahan kontraktur otot, mencegah atrofi otot,
menjaga fungsi persendian, meningkatkan sirulasi dan membantu pemulihan fungsi bagian
tubuh yang dibedah. Aktivitas fisik ini tentu saja memperhitungkan tingkat pemulihan pasien
terutama persembuhan luka operasi. Aktivitas fisik dilakukan secara bertahap dan dibatasi
pada kandang atau ruangan kecil. Pada pasien anjing disarankan aktivitas fisik dilakukan
dalam 10-14 hari post operasi agar memungkinkan persembuhan luka. Umumnya pada pasien
bedah ortopedi membutuhkan masa pembatasan aktivitas fisik kurang lebih 6-8 minggu dan
3-4 minggu pada pasien muda. Sedangkan pasien bedah jaringan lunak, aktivitas normal
dapat dilakukan setelah jahitan dilepas.
Perawatan Lanjutan
Setelah masa pemulihan pasien post operasi, pasien tetap dipantau perkembangannya
meskipun pasien telah kembali ke rumah. Perawatan lanjutan ini dapat dilakukan dengan
informasi tertulis kepada klien, jadwal kontrol, dan komunikasi via telepon. Informasi kepada
klien harus meliputi pembatasan aktivitas fisik (berapa lama), kontrol luka insisi dan perban,
pencegahan kemungkinan pasien menjilat atau menggigit area operasi, nutrisi dan kontrol
lanjutan untuk membuka jahitan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiografi
atau tindakan lain yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Jahitan kulit biasanya dapat dibuka
setelah 10-14 hari post operasi, namun hal ini tergantung pada percepatan kesembuhan luka
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgeri Fourth Edition. St. Louis(AS): Elsevier
Health Science.
Mann FA, Constantinescu GM, Yoon HY. 2011. Fundamental of Small Animal Surgery.
Philadelphia(UK): John Wiley & Son, Ltd.
Penninck D, Anjou MA. 2015. Atlas of Small Animal Ultrasonography Second Edition.
Iowa (AS): John Wiley & Sons, Inc.
Pulse Oximetry
Pulse oximetry merupakan teknologi monitoring yang paling sering
digunakan di dunia kesehatan. Fungsi pulse oximetry adalah untuk mengukur
saturasi hemoglobin dalam arteri (SpO2). Pengukuran SpO2 secara non-invasif dan
real-time merupakan salah satu terobosan yang penting di dunia kesehatan.
Teknologi ini memungkinkan untuk mendiagnosa secara dini dari kejadian
hipoksemia, secara signifikan dapat menurunkan insidensi dan keparahan dari
kejadian hipoksemia 1.5 – 3 kali dibandingkan pasien yang tidak menggunakan
pulse oximeter. Nilai normal SpO2 adalah 96 – 99%.
Blood Pressure
Blood pressure atau tekanan darah merupakan gaya yang dihasilkan dari
darah yang menekan dinding arteri. Tekanan darah dapat diukur menggunakan alat
sphygmomanometer. Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan memberikan
tekanan ke pembuluh darah kemudian menurunkan tekanannya kembali. Suara
yang terdengar saat darah kembali mengaliri pembuluh darah merupakan penanda
tekanan darah pasien.
Gambar 2 Sphygmomanometer
Esophageal Stethoscope
Esophageal stethoscope merupakan alat yang digunakan untuk mengukur dan
memonitor suara jantung atau suara respirasi pada saat operasi. Alat ini terdiri dari
sebuah tabung (tube) yang ramping, fleksibel, dan berujung bulat tumpul yang
tersambung pada stetoskop biasa dengan adaptor plastic kecil. Keuntungan
penggunaan esophageal stethoscope adalah sifatnya yang tidak terlalu invasif dan
mudah dihandel. Akan tetapi, pada lingkungan yang bising, suara yang dihasilkan
dari esophageal stethoscope cenderung tidak jelas dan tidak terlal terdengar.
Apnea Monitor
Apnea monitor merupakan alat yang digunakan untuk memberikan
peringatan apabila terjadi kondisi berhentinya pernapasan (apnea). Selain itu, apnea
monitor juga dapat merekam frekuensi denyut jantung hewan dan pola pernapasan.
Alarm apnea monitor akan berbunyi apabila terjadi penurunan frekuensi denyut
jantung (bradikardia) atau terjadi berhentinya pernapasan dalam rentang waktu
tertentu (apnea).
Patient Monitoring
Patient monitoring memungkinkan dilakukannya observasi secara
berkelanjutan pada fungsi fisiologis untuk memandu proses pengobatan atau untuk
memonitor efektifitas dari intervensi yang diberikan. Alat ini memungkinkan
terekamnya aktivitas elektrokardiogram, tekanan darah intraarteri, dan saturasi
oksigen arteri atau pulse oximetry secara bersamaan dan berkelanjutan.
Resuscitator
Kondisi bradikardia, asystole, dan apnea membutuhkan bantuan ventilasi
secara manual. Alat yang digunakan untuk memberikan bantuan ventilasi secara
manual disebut sebagai resuscitator. Terdapat beberapa bentuk resuscitator
diantaranya adalah self-inflating bags (resuscitator manual), pulmonary or breath
powered resuscitator, dan oxygen powered resuscitator (menggunakan tekanan
oksigen).
Oxygen Chamber
Merupakan kamar yang digunakan untuk terapi oksigen. Ruangan ini
dilengkapi dengan thermometer dan hygrometer untuk mengukur suhu dan tekanan
di dalam ruangan. Oxygen chamber umum digunakan untuk pasien yang mengalami
hipoksemia dimana kadar SpO2 rendah atau pasien yang mengalami kesulitan
bernapas.
untuk melakukan heating therapy, yaktu lampu infrared, heating pad, dan
inkubator.
Infrared Lamp
Radiasi infrared merupakan seberkas energi yang tidak terlihat dalam bentuk
spektrum elektromagnetik. Energi ini berguna untuk meringankan rasa sakit, atau
untuk mengobati penyakit tertentu. Alat ini mentransfer energi dalam bentuk panas
yang dapat dikenali oleh reseptor panas di jaringan target.
Sinar infrared terbagi menjadi tiga tipe yaitu near-infrared, mid-infrared, dan
far-infrared. Jenis yang digunakan pada terapi adalah near-infrared yang memiliki
panjang gelombang 760 – 1400 nm dan mampu melakukan penetrasi ke lapisan
epidermal dan dermal, hingga menembus ke dalam jaringan subkutan. Infrared
lamp mampu meningkatkan sirkulasi darah dan metabolisme. Beberapa studi juga
menyatakan bahwa terapi menggunakan radiasi sinar infrared dapat membantu
proses persembuhan luka dengan meningkatkan sintesis kolagen, proliferasi sel,
dan motilitas keratinosit. Akan tetapi, penggunaan infrared lamp yang terlalu sering
dan lama dapat mengakibatkan pengerutan kulit. Hal ini diakibatkan paparan
infrared menyebabkan kelembapan kulit menurun dan meningkatkan pigmentasi
dan elastisitas secara signifikan.
Heating pad
Heating pad merupakan alas yang dapat menghasilkan panas melalui listrik.
Alat ini berguna untuk menghangatkan hewan pada saat cuaca yang dingin, post-
operasi, setelah melahirkan, atau pada hewan tua dengan gangguan arthritis dan
sendi. Heating pad umum digunakan pada saat pembedahan untuk menjaga suhu
tubuh hewan berada pada rentang normal.
Inkubator
Inkubator merupakan alat yang digunakan untuk memberikan lingkungan
yang steril dengan suhu alat yang konstan dan teratur, kelembapan serta aliran udara
yang terjaga. Udara yang masuk ke dalam inkubator harus melalui filtrasi
antibakteri sehingga dapat menjamin ruangan di dalam inkubator tetap steril. Alat
ini digunakan untuk membantu menyediakan lingkungan yang mendukung
terutama pada anakan yang terlahir premature dan membutuhkan pengamatan
intensif.
Gambar 11 Incubator
dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat. Selain itu, alat ini juga biasa
digunakan pada saat melakukan infus pada kuda dalam jumlah banyak dan cepat.
Infusion Pump
Infusion Pump merupakan alat yang digunakan untuk memasukkan cairan,
darah, atau obat dengan volume dan frekuensi pemberian yang telah ditentukan
secara otomatis melalui rute intravena. Terdapat alarm pada infusion pump yang
berfungsi untuk memberitahu petugas bahwa cairan tidak dapat mengalir atau
kantung cairan sudah kosong. Alat ini memastikan bahwa cairan masuk dalam
jumlah dan waktu yang tepat, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
Syringe Pumps
Syringe pumps merupakan alat yang digunakan untuk memberikan medikasi
melalui syringe menggunakan piston yang akan mendorong isi syringe sesuai
dengan flow-rate yang sudah ditentukan. Ketika kecepatan aliran telah ditentukan
pada alat, pompa akan mendorong syringe dengan kecepatan yang konstan. Alat ini
sangat berguna untuk memberikan obat dalam jumlah yang sedikit secara akurat.
Electrocardiography (ECG)
Elektrokardiografi merupakan interpretasi transtoraks terhadap gambaran
kelistrikan jantung dalam kurun waktu tertentu dan direkam melalui elektroda kulit.
Alat ini dapat mendeteksi dan menjelaskan perubahan kelistrikan pada kulit sekecil
apapun yang disebabkan oleh otot jantung yang mengalami depolarisasi dan
repolarisasi pada tiap denyutnya.
Terdapat tiga kondisi kelainan jantung yang dapat terdeteksi pada saat
dilakukan ECG yaitu:
a. Fibrilasi, yaitu kondisi jantung yang berdebar yang menghasilkan
kontraksi yang tidak jelas dan tidak efektif. Gambaran ECG yang terlihat
adalah gelombang kecil dan berdekatan.
b. Asistolik, yaitu kondisi dimana tidak ada aktifitas kelistrikan dari jantung.
Gambaran ECG yang terlihat adalah “flat line” sehingga pasien dapat
dinyatakan mati secara klinis.
c. Abnormalitas konduksi, yaitu kondisi gangguan pada arus kelistrikan
jantung. Hal ini menghasilkan gambaran ECG yang tidak seragam, yang
menunjukkan kekuatan kontraksi yang tidak konstan.
Defibrillator
Defibrilator merupakan stimulator denyut jantung yang memanfaatkan aliran
listrik bertegangan tinggi untuk memulihkan pasien yang mengalami cardiac arrest
(terhentinya kerja jantung). Alat ini harus digunakan secara hati-hati karena resiko
penggunaannya sangat tinggi. Kesalahan pemberian dosis kelistrikan pada jantung
akan sangat berbahaya bagi pasien.
Listrik yang dihantarkan oleh defibrillator akan mengakibatkan sel-sel pada
jantung berdepolarisasi secara bersamaan, kondisi ini memungkinkan SA node
untuk berfungsi kembali dan menghasilkan pola kelistrikan yang normal. Akan
tetapi, SA node ini tidak selalu berfungsi kembali setelah diberi kejutan listrik dari
defibrillator. Cara menggunakan defibrillator adalah dengan meletakan satu padel
yang berlabelkan “sternum” pada bagian kanan pasien di dekat klavikula,
sedangkan padel satunya yang berlabel “apex” diletakkan di bagian kiri dekat
tulang rusuk.
Gambar 16 Defibrillator
Electrocauter
Merupakan alat yang digunakan untuk mengatasi perdarahan pada proses
pembedahan. Mekanisme kerja alat ini adalah dengan memanfaatkan energi listrik
yang muncul dari aliran elektron. Tingginya resistensi jaringan akibat arus elektron
ini menghasilkan panas yang mengevaporasi atau mendenaturasi jaringan. Hal ini
lah yang akan menyebabkan pendarahan berhenti.
Peralatan Aspirator
Peralatan Endoskopi
Endoscope
Endoscope adalah alat untuk melakukan tindakan endoskopi. Alat ini terdiri
dari tiga bagian yaitu bagian selang tabung (scope), sumber cahaya, dan lensa.
Secara umum, endoskopi digunakan dengan cara dimasukkan ke dalam tubuh
melalui jalur nasal, oral, atau melalui sayatan kecil pada tindakan bedah dengan
tingkat invasi yang minimal (minimally invasive surgery). Keuntungan dari
penggunaan endoskopi pada bidang medis adalah dapat mengetahui secara
langsung dan dapat melakukan observasi real-time terhadap lesio yang ada pada
organ internal. Lokasi dan ukuran lesion dapat diketahui melalui gambar video
(video imaging).
Terdapat dua tipe endoscope yaitu fleksibel dan rigid. Flexible endoscope
digunakan untuk menguji kedalaman struktur yang melingkar atau bercabang
seperti lambung, intestinal, cabang bronchial, dan urethra. Contoh flexible
endoscope adalah gastroduodenoscopy, bronchoscopy, dan colonoileoscopy. Rigid
endoscope digunakan untuk menguji struktur yang cenderung linear atau tidak
bercabang dan tidak melingkar. Contoh dari rigid endoscope adalah
esophagoscopy, laryngoscopy, rhinoscopy, dan laparoscopy.
DAFTAR PUSTAKA
Injeksi Intrakutan/Intradermal
Injeksi ini dilakukan pada lapisan kulit. Pada umumnya injeksi rute ini
dilakukan untuk administrasi obat anestesi lokal.
Teknik penyuntikan:
- Penusukkan jarum suntik dilakukan dengan kemiringan 35-45⁰ dari permukaan
kulit. Hal tersebut dilakukan agar jarum suntik tidak memasuki ruang subkutan.
- Jarum suntik tepat memasuki lapisan kulit ketika terasa sedikit tekanan pada
saat larutan diinjeksikan, apabila hanya terasa sedikit hingga tidak ada tekanan,
maka jarum suntik memasuki ruang subkutan.
Venesectio
pada vena), arteriotomia (dilakukan pada arteri), dan scarification (dilakukan pada
kapiler). Venesectio ini digunakan untuk pengambilan darah volume sedikit maupun
banyak. Darah umumnya digunakan untuk pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaan kimia darah, hematologi, ulas darah, atau pemeriksaan lain. Alat yang
digunakan pada saat venesection adalah jarum (27-18G), syringe (1-25 ml), vacutainer,
tourniquet, dan kapas alkohol. Venesection juga dapat dilakukan untuk memberikan
larutan infus dengan menggunakan intravenous catheter.
Teknik venesection:
- Cukur rambut di daerah injeksi bila perlu, lalu usap bagian injeksi dengan
alkohol agar vena dilatasi dan menjadi lebih jelas
- Tourniquet dipasang atau memegang/menekan bagian kranial dari titik injeksi
sehingga vena terbendung dan terlihat lebih jelas.
- Pembuluh darah difiksasi menggunakan jari jempol, jarum diposisikan sejajar
dengan jari. Jarum ditusukkan pada vena tersebut, lalu tourniquet/tekanan
dilepas.
- Jarum diaspirasi untuk memastikan apakah jarum suntik benar-benar masuk ke
dalam vena.
- Obat diadministrasikan atau darah diambil.
- Jarum suntik dilepas, dan tempat penyuntikan ditekan beberapa saat untuk
mencegah pendarahan.
Lokasi venesection anjing dan kucing:
- V. jugular externa
- V. cephalica
- V. saphena lateralis
- V. cephalica accessorial
Lokasi venesection babi dan kelinci: v. auricularis
Lokasi venesection hewan besar:
- V. jugularis
- V. coccygeal (sapi)
Lokasi venesection pada unggas: v. axillaris, v. brachialis
HEMORAGI
Penasakan
Electrocautery
Electrocautery merupakan alat yang dapat digunakan untuk menghentikan
perdarahan. Alat ini menggunakan arus listrik. Alat electrocautery dapat digunakan
untuk mengoagulasikan darah dari pembuluh darah kecil atau memotong jaringan
menggunakan panas yang dihasilkan oleh arus listrik melalui kawat besi/probe.
DAFTAR PUSTAKA
Burns KM, Renda-Francis L. 2014. Textbook for the Veterinary Assistant. Iowa (US):
John Wiley & Sons.
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG,
Schulz KS, Willard MD. Small Animal Surgery, Fourth Edition. Iowa (US):
John Wiley & Sons.
McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Missouri
(US): Mosby ElSevier.
Mealey KL. 2019. Pharmacotherapeutics for Veterinary Dispensing. Iowa (US): John
Wiley & Sons.
Virgina Tech. 2017 SOP: Injections in dogs and cats. [Internet]. [diunduh pada 2020
Juli 3]. Tersedia pada: https://ouv.vt.edu/content/dam/ouv_vt_edu/sops/small-
animal/sop-dogs-and-cats-injections.pdf.
Material benang jahit yang ideal harus memenuhi syarat mudah dipegang (tidak
licin), reaksi jaringan minimal, menghambat pertumbuhan bakteri, aman ketika benang
diikat pada jaringan/otot, tidak menyusut di dalam jaringan, terabsorbsi dengan reaksi
yang minimal ketika jaringan sembuh, tidak kapilaritas, non alergenik, non karsinogenik
dan nonferromagnetik. Operator bedah harus mampu memilih jenis benang yang tepat
sesuai dengan prosedur maupun jaringan yang akan dijahit. Berikut merupakan
karakteristik benang yang perlu diperhatikan (Tabel 1).
multifilamen), serta asal bahan (organik, sintetik, metalik). Mekanisme absorbsi benang
pada jenis absorbable suture dilakukan melalui proses degradasi. Benang absorbable
organik, seperti catgut, akan dihancurkan oleh enzim dan terfagosit, sedangkan benang
polimer sintetis akan dihancurkan dengan proses hidrolisis. Benang non absorbable akan
terkapsulasi oleh jaringan fibrosa.
Benang monofilamen terbuat dari satu utas benang sehingga memiliki hambatan
jaringan lebih sedikit (risiko trauma jaringan minimal) dan tidak memiliki celah yang
memungkinkan untuk penyerapan cairan luka dan pertumbuhan bakteri. Penanganan
benang monofilamen harus dilakukan dengan baik (misalnya saat dijepit dengan needle
holder atau jarum) karena benang mudah rusak dan berisiko melemahkan jahitan. Benang
multifilamen terdiri dari beberapa utas benang yang dipilin sehingga risiko hambatan
pada jaringan lebih tinggi akibat permukaan yang tidak rata. Oleh karena itu beberapa
jenis benang dilapisi dengan bahan tertentu untuk mengurangi risiko ini. Benang
multifilamen umumnya lebih fleksibel dari monofilamen.
Benang Absrobable
Catgut. Benang catgut terbuat dari submukosa usus domba atau serosa usus sapi
dan mengandung sekitar 90% kolagen. Benang ini diawetkan dengan garam
chromic untuk menambah kekuatan material, menurunkan reaski inflamasi, dan
penyerapan lebih lambat. Peradangan, infeksi, dan keadaan katabolik dapat
mempercepat penyerapan benang. Kekurangan catgut yaitu handling quality yang
rendah (licin) dan kekuatan simpul/ikatan menurun pada kondisi basah. Saat ini
catgut jarang digunakan karena ketersediaan benang sintetis dengan kualitas
penyerapan yang lebih baik.
Polydioxanone. Benang sintetis monofilamen dari polimer paradioxanone.
Benang ini memiliki kekuatan tarikan yang lebih besar dibandingkan catgut dan
memiliki daya hambat jaringan yang lebih rendah dibandingkan benang
multifilamen. Benang polydioxanone memiliki handling quality yang rendah
(licin) dan kekuatan simpul yang lemah jika dibandingkan dengan benang sintetis
lainnya. Polydioxanone kehilangan kekuatan tarikannya hanya sebesar 20%
dalam 2 minggu sehingga benang ini tepat digunakan pada jaringan yang memiliki
beban regangan dalam waktu yang lama selama proses persembuhannya, seperti
linea alba.
Polygliconate. Benang ini memiliki karakteristik yang mirip dengan
polydioxanone yang mampu mempertahankan kekuatan tarikan sekitar 75%
dalam 14 hari. Namun benang jenis ini memiliki kekuatan simpul yang lebih baik
dibandingkan polydioxanone. Selain itu polygliconate hanya sedikit
menimbulkan reaksi jaringan.
Poliglecaprone. Benang sintetis monofilamen yang terbuat dari kopolimer
glikolida dan epsilon caprolakton. Kelebihan benang ini memiliki kekuatan
tarikan (tensile strength) yang tinggi di awal dan menurun dengan cepat dalam 14
hari, sehingga cocok digunakan untuk penjahitan VU dan jaringan subkutan.
Selain itu benang ini memiliki kekuatan simpul dan handling quality yang bagus
(tidak licin). Beberapa penelitian menunjukkan benang poliglecaprone dapat
menimbulkan peradangan ringan pada penjahitan linea alba kucing.
Glycomer 631. Benang sintetis monofilamen yang terbuat dari kombinasi
glikolida, dioksanon, dan trimethylene carbonate. Benang ini kehilangan 25%
kekuatan tarikan (tensile strength) dalam 2 minggu dan mempertahankan jahitan
selama 3 minggu. Glycomer 631 diserap sempurna dalam 3-6 bulan.
Polyglycolic acid (PGA). Polyglycolic acid merupakan benang sintesis
multifilamen yang lebih kuat dan lebih minimal memicu reaksi peradangan pada
jaringan jika dibandingkan dengan catgut. Benang ini dapat dipegang dengan
mudah, namun menimbulkan hambatan pada jaringan dan kekuatan simpul yang
cukup lemah. Polyglycolic acid tidak disarankan penggunaannya untuk penjahitan
jaringan di rongga mulut dan VU yang terinfeksi karena suasana pH basa akan
mempercepat proses hidrolisa benang.
Polyglactin 910. Benang Polyglactin 910 merupakan benang multifilamem yang
dipilin dan disintesis dari 90% glikolida dan 10% L-laktida. Pelapisan polyglactin
910 dengan kalsium stearat dan copolymer (polyglactin 370) dapat memperhalus
permukaan benang (mengurangi hambatan jaringan) tetapi juga mengurangi
kekuatan simpul. Polyglactin 910 paling baik digunakan pada jaringan yang
meregang, seperti VU dan saluran pencernaan. Vicryl-Rapide merupakan jenis
benang polyglactin 910 yang diradiasi untuk meningkatkan daya serap benang.
Glycolide/lactide polymer. Benang sintesis multifilamen yang dipilin dan dilapisi
dengan kopolimer caprolakton, glikolida, dan kalsium stearoil laktilat. Benang ini
dapat mempertahankan jahitan selama 3 minggu dan diserap sempurna dalam 56-
70 hari.
Benang Non-absorbable
Silk. Benang multifilamen yang terbuat dari kepompong ulat sutera. Silk dapat
menimbulkan reaksi peradangan dan memiliki kapilaritas yang tinggi. Kelebihan
benang ini yaitu murah, handling quality dan keamanan simpul yang baik.
Pelapisan dengan lilin atau silikon dapat mengurangi kapilaritas dan respon
inflamasi pada jaringan. Silk dapat menimbulkan granuloma pada jaringan/organ
yang berongga. Silk kehilangan sebagian besar kekuatan tarikannya dalam 6
bulan. Saat ini, silk masih umum digunakan dalam operasi vaskular dan ligatur
yang murah dengan kualitas yang cukup bagus.
Polyester. Benang multifilamen yang terbuat dari polietilen tereftalat. Polyester
lebih kuat dan tahan lama dari catgut dan silk. Benang ini dapat memicu
peradangan dan memiliki daya hambat yang tinggi dalam jaringan. Akan tetapi
pelapisan benang dengan polibutilat dapat mengurani hambatan jaringan dan
meningkatkan kekuatan simpul. Polyester tidak boleh digunakan untuk menjahit
jaringan yang terinfeksi.
Polybutester. Benang monofilamen yang terbuat dari polybutyline dan
polytetramethylene. Benang ini menimbulkan reaksi jaringan minimal dan
handling quality serta kekuatan simpul yang baik. Polybutester memiliki
elastisitas tinggi (lebih dari 30%) tanpa kehilangan kekuatan tarikan dan dapat
digunakan pada jaringan yang membutuhkan waktu lama dalam proses
penyembuhan, seperti linea alba dan tendon. Selain itu benang ini juga digunakan
untuk penjahitan kulit dan anastomosis vena dan arteri.
Nylon. Terbuat dari hexamethylenediamine dan asam adipat. Benang ini tersedia
dalam bentuk monofilamen dan multifilamen. Nylon merupakan benang yang
memiliki elastisitas yang baik sehingga umum digunakan untuk penjahitan kulit.
Peradangan dan edema kulit pasca operasi sering terjadi dan kondisi ini akan
semakin parah apabila penjahitan menggunakan benang yang kurang elastis.
Nylon dapat terhidrolisis dalam waktu 2-3 tahun.
Jarum Bedah
Pilihan jarum tergantung pada jenis jaringan yang akan dijahit (misalnya daya
tembus, kepadatan, elastisitas dan ketebalan), topografi luka (dalam atau dangkal),
karakteristik jarum (misalnya jenis mata jarum, panjang dan diameter). Tiga komponen
dasar jarum adalah bagian pangkal (swaged atau eye end), badan jarum (needle body),
dan ujung jarum (needle point).
Jarum dengan pangkal eye end (berlubang) dalam penggunaannya perlu
memasukkan benang terlebih dahulu sehingga akan terbentuk untai ganda benang. Untai
ganda ini akan memperbesar lubang (trauma) yang terbentuk di dalam jaringan ketika
jarum melewati jaringan tersebut. Bentuk eye end terbagi dalam 2 jenis, yaitu lubang
terutup (close) dengan tipe pangkal bulat (round), lonjong (oblong), atau persegi
(square); atau jenis French (terdapat 2 lubang dengan lubang paling luarnya terbuka).
Pemasangan benang dilakukan dengan arah dari lengkungan dalam jarum ke arah luar.
Eyed needle dalam kedokteran hewan sudah jarang digunakan dan digantikan dengan
swaged needle, mengingat trauma jaringan yang diakibatkan untai ganda benang pada
eyed needle. Jarum dan benang sudah disatukan pada jenis jarum swaged needle.
Badan jarum (needle body) tersedia dalam beberapa bentuk dan pemilihan jarum
yang tepat disesuaikan dengan jenis dan kedalaman jaringan serta ukuran luka. Badan
jarum dapat berbentuk lurus (straight), melengkung (curved), atau kombinasi keduanya.
Penggunaan jarum lurus (straight) umumnya pada jaringan yang dapat diakses dan
dikontrol dengan jari, misalnya kulit. Jarum lengkung (curved) tersedia dalam beberapa
pecahan lingkaran (5/8, ½, 3/8, ¼) dan digunakan pada penjahitan luka yang kecil atau
dalam. Jarum ¼ lingkaran digunakan untuk prosedur oftalmik. Jarum 3/8 dan ½
merupakan yang paling umum digunakan karena terkait dengan gerakan supinasi dan
pronasi tangan operator yang tidak begitu melelahkan. Kombinasi bentuk jarum lurus dan
lengkung disebut J-needle, ski-needle, atau f-needle dengan badan jarum yang lurus dan
Pola Jahitan
Pemilihan pola jahitan dapat bervariasi tergantung pada daerah yang dijahit,
panjang sayatan, ketegangan jaringan yang akan dijahit, jahitan spesifik untuk apposition,
inversi, atau eversi dari jaringan. Pola jahitan secara luas dikategorikan sebagai
interrupted atau continous. Selain itu, pola jahitan juga dikelompokan dalam tiga grup,
yaitu appositional (penyatuan), inverting (inversi) dan tension-relieving (megurangi
ketegangan jaringan). Jahitan appositional ideal digunakan pada jaringan tanpa
ketegangan berlebihan, dan umum digunakan untuk menutup luka/sayatan pada kulit,
intestin, dan VU. Penyembuhan luka akan terjadi dengan optimal dan bekas luka yang
terbentuk sangat minimal apabila penyatuan bidang sayatan terjadi dengan baik. Jahitan
inversi (inverting suture) umumnya digunakan untuk menutup visera berongga pada
operasi lambung atapun urogenital. Inversi dapat menarik jaringan dan jahitan ke dalam
sehingga permukaan luka tidak terpapar dengan jaringan di luar dan meminimalisir
kontaminasi dan pembentukan adhesi. Pola jahitan tension-relieving digunakan untuk
mengurangi tekanan pada jahitan, seperti pada operasi rekonstruksi kulit dan
herniorrhaphy.
persegi) yang dapat mendukung penyatuan jaringan luka/sayatan yang lebih baik. Simpul
ahli bedah juga tidak direkomendasikan untuk ligasi pembuluh darah.
Hemostasis
proses hemostasis. Teknik penekanan langsung dengan tampon ini dapat menghentikan
perdarahan secara permanen pada pembuluh darah kecil (kapiler) dengan tekanan darah
yang rendah. Namun pada pembuluh darah besar dengan tekanan darah yang tinggi,
teknik ini hanya bersifat sementara hingga pembuluh darah tersebut berhasil diligasi atau
ditutup dengan elektrokoagulasi.
Penjepitan pembuluh darah dengan hemostatic forcep juga dapat membantu
menghentikan perdarahan sementara atau permanen tergantung ukuran pembuluh darah.
Penggunaan hemostatic forcep harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak
jaringan terutama pembuluh darah yang dijepit. Oleh karena itu perlu diperhatikan
pemilihan forcep dengan ukuran pembuluh darah yang akan dijepit.
Electrosurgery
Electrosurgery merupakan penerapan elektrikal berfrekuensi tinggi pada
penyayatan jaringan maupun hemostasis. Gelombang elektrikal yang diaktifkan terus
menerus diterapkan pada pemotongan jaringan, sedangkan pada hemostatikum atau
koagulasi pembuluh darah diterapkan gelombang yang terputus-putus. Alat
electrosurgery memiliki pengaturan baik untuk sayatan (mode pemotongan) dan
koagulasi.
Electrosurgery jarang digunakan untuk penyayatan kulit karena dapat
menimbulkan nekrosis termal kolateral yang dapat memperlambat penyembuhan luka
dan memungkinkan dehiscence. Kombinasi penyayatan dan koagulasi pada
electrosurgery dapat menguntungkan dan efektif dalam jaringan yang banyak pembuluh
darah, seperti otot.
Elektrokoagulasi sering dikelirukan dengan electrocautery. Prinsip electrocautery
adalah memanaskan tip metal atau blade dengan voltase rendah, ampere tinggi, dan energi
dari alat ini tidak perlu melewati tubuh pasien. Panas dari metal tip atau blade
diaplikasikan secara langsung pada jaringan yang berpotensi menimbulkan nekrosa
thermal. Sedangkan pada elektrokoagulasi, energi elektrikal dari tip metal atau blade
bekerja secara langsung pada pembuluh darah. Energi elektrikal ini akan diserap oleh
jaringan pembuluh darah untuk dikonversi menjadi energi panas yang membantu
penutupan sayatan pada pembuluh darah. Elektrokoagulasi baik digunakan pada arteri
dengan diameter ≤ 1 mm dan vena berdiameter ≤ 2 mm.
Terdapat dua jenis elektrokoagulasi yaitu monopolar dan bipolar.
Elektrokoagulasi monopolar merupakan komponen electrosurgery yang paling umum
digunakan. Energi elektrikal yang keluar dari tip metal melewati tubuh pasien dan
ditangkap oleh pelat metal yang ditempatkan sebagai alas tubuh pasien. Dalam
penggunaan elektrokoagulasi monopolar, jaringan harus dalam keadaan kering untuk
memaksimalkan aplikasi dari energi elektrikal. Elektrokoagulasi bipolar menggunakan
forsep elektroda yang akan menghantarkan energi secara langsung dari salah satu sisi tip,
melewati jaringan dan ditangkap oleh sisi tip lainnya. Sehingga dalam penggunaannya,
elektrokoagulasi bipolar tidak memerlukan pelat metal sebagai alas tubuh pasien untuk
menangkap energi elektrikal yang dikeluarkan oleh forcep. Kelebihannya adalah alat ini
tetap dapat bekerja dengan baik meskipun pada jaringan yang basah dan efek yang sangat
ringan pada jaringan sekitar pembuluh darah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG,
Schulz KS, Willard MD. 2013. Small Animal Surgeri Fourth Edition. St.
Louis(AS): Elsevier Health Science.
Mann FA, Constantinescu GM, Yoon HY. 2011. Fundamental of Small Animal
Surgery. Philadelphia(UK): John Wiley & Son, Ltd.
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery Small Animal Volume One. Canada
(CA): Elsevier Saunders.
Steroid
Steroid merupakan jenis obat yang bekerja menyerupai kortikosteroid yang dihasilkan
oleh kelenjar adrenal. Steroid bekerja menekan sistem imun tubuh sehingga jika digunakan
dalam durasi yang lama akan menyebabkan imunosupresi. Beberapa efek samping yang harus
diperhatikan dari penggunaan obat ini adalah hyperglicemia, diabetes, retensi cairan tubuh,
shock anaphylaksis, dan kelemahan otot. Steroid juga menyebabkan penurunan kemampuan
tubuh untuk mengabsorbsi kalsium sehingga menyebabkan timbulnya kondisi hipokalsemia
yang berdampak terhadap metabolisme maupun fungsi vital tubuh. Beberapa jenis steroid
yang sering digunakan dalam pengobatan hewan adalah dexamethasone, prednisone, dan
hydrocortisone.
a. Dexamethasone
Dexamethasone merupakan antiinflamasi steroid yang penggunaannya luas pada hewan.
Obat ini dapat digunakan secara oral maupun parenteral dengan indikasi tick paralysis
dan pada dosis tinggi diindikasikan untuk gangguan cardiovaskular dan shock
septicaemia. Penggunaan dexamethasone perioperatif bertujuan untuk mencegah efek
samping dari operasi seperti mual dan muntah akibat penggunaan anastetikum serta
berperan sebagai analgesik postoperatif. Pemberian dexamethasone preoperatif
memberikan efek analgesik postoperatif yang sangat baik dibandingkan pemberian pada
saat intraoperatif atau postoperatif.
b. Prednisone
Prednisone merupakan antiinflamasi steroid yang biasa digunakan pada hewan
kesayangan seperti anjing dan kucing. Obat ini dapat digunakan secara oral dan memiliki
aktivitas antiinflamasi yang lebih kuat empat kali dibandingkan hydrocortisone. Obat ini
sangat efektif karena dapat menekan proses inflamasi pada berbagai level mulai dari
ringan hingga berat. Indikasi penggunakan prednisone pada umumnya untuk mengatasi
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)
NSAID dapat dengan mudah berinteraksi dengan beberapa obat lainnya karena
memiliki afinitas tinggi terhadap protein, sehingga kombinasi NSAID dengan beberapa obat
lain (cth: digoxin, cisplatin, methotrexate, antikoagulan oral) akan meningkatkan
toksisitasnya. Penggunaan kortikosteroid, aminoglycosida, dan heparin pada waktu yang
bersamaan juga akan meningkatkan efek samping NSAID. Sementara itu, NSAID akan
menurunkan efektivitas dari beberapa obat seperti diuretik, inhibitor angiotensin converting
enzyme (ACE), atau β-blocker.
NSAID hanya digunakanpada pasien muda atau dewasa yang dalam keadaan sehat,
normovolemik/hidrasi baik, dan normotensif tanpa adanya riwayat penyakit penyerta seperti
gangguan hati dan ginjal atau sindroma perdarahan diatetis. NSAID pada anjing hanya dapat
digunakan pada anjing dengan berat minimal 5 kg. NSAID pada intraoperatif
diadministrasikan bersama infus melalui intravena. Sementara itu, pemberian secara oral
lebih efektif pada saat postoperatif dibandingkan preoperatif.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam penggunaan NSAID ini adalah edukasi
klien. Riwayat pemberian obat pada pasien harus diperhatikan secara teliti untuk memastikan
penggunaan NSAID tidak dilakukan bersama dengan penggunaan kortikosteroid (termasuk
penggunaan secara topikal). NSAID harus diberikan dengan dosis yang sesuai dengan
anjuran dokter hewan. Selain itu, pemilik hewan juga harus tanggap untuk menghentikan
penggunaan NSAID pada hewannya dan segera menghubungi dokter hewan jika hewan
mengalami penurunan nafsu makan, muntah, diare, lemah.
Penggunaan Antibiotik
Pemilihan Antibiotik
DAFTAR PUSTAKA
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgery 4th Edition. Missouri (US): Elsevier Mosby.
Grimm KA, Tranquilli WJ, Lamont LA. 2011. Small Animal Anasthesia and Analgesia 2nd
Edition. Oxford(UK): Willey-Blackwell.
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery: Small Animal 2nd Volume. Missouri
(US): Elsevier Saunders.
Persembuhan Luka
Secara definitif, luka merupakan rusak atau hilangnya kontinuitas sel atau
anatomi yang mengakibatkan penurunan fungsi protektif dan fisiologis dari suatu
jaringan. Kulit, subkutis, dan lapisan otot yang ada di bawahnya merupakan
jaringan yang paling sering mengalami perlukaan. Kausa dari luka dapat
bermacam-macam, diantaranya adalah luka akibat gigitan, kecelakaan, laserasi
akibat benda tajam, penetrasi oleh benda logam, maupun cidera akibat panas.
Berdasarkan keutuhan lapisan superfisialnya, luka dapat diklasifikasikan
menjadi luka terbuka (open wound) dan luka tertutup (closed wound). Pada luka
terbuka, lapisan superfisial kulit atau membran mukus rusak atau terkuak sehingga
memungkinkan terjadinya kontaminasi pada luka. Sedangkan pada luka tertutup,
lapisan superfisial masih utuh dan mampu melindungi luka dari kontaminasi.
Open wound atau luka terbuka dapat dikategorikan berdasarkan tingkat
kontaminasi dan lama kejadian;
1. Kategori 1 “Clean wounds”
Pada kategori clean wounds, luka merupakan tipe luka non-traumatis
yang tidak melibatkan organ respiratori, orofaring, gastrointestinal,
maupun urogenital. Tidak ditemukan adanya kontaminasi pada luka dan
terjadi 0 – 6 jam pasca-operasi.
2. Kategori 2 “Clean-contaminated wounds”
Pada kategori clean-contaminated wounds, luka merupakan
nontraumatis yang melibatkan organ respiratori, orofaring,
gastrointestinal, maupun urogenital tanpa adanya tumpahan isi dari
organ. Jenis luka ini memiliki kontaminasi yang minimal (luka operasi
dengan teknik operasi yang terjadi kontaminasi minor) dan terjadi dalam
rentang 0 – 6 jam pasca-operasi.
3. Kategori 3 “Contaminated wounds”
Golongan contaminated wounds merupakan luka traumatis yang terjadi
dalam rentang 4 – 6 jam, proses inflamasi tidak terdapat eksudat purulen.
Prosedur operasi yang terkontaminasi isi organ gastrointestinal ataupun
urin yang terinfeksi, atau prosedur operasi yang tidak mengikuti prosedur
aseptik termasuk ke dalam kategori ini.
4. Kategori 4 “Infected or Dirty wounds”
Infected or dirty wounds merupakan luka traumatis yang terjadi lebih dari
4-6 jam dengan gejala-gejala infeksi yang terlihat jelas. Proses inflamasi
menghasilkan eksudat purulen atau terdapat jaringan nekrotik pada luka.
Prosedur operasi yang termasuk ke dalam kategori ini adalah operasi
dimana terjadi perforasi organ gastrointestinal atau organ urogenital yang
terinfeksi, dan terjadi kontaminasi feses yang serius. Luka yang
terkontaminasi mengandung >105 bakteri per gram jaringan.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 1 (a) Clean wounds, luka yang terjadi dalam kondisi aseptis; (b) Clean-
contaminated wounds, luka terbuka yang masih baru dan kontaminasi
minimal; (c) Contaminated wounds, luka yang masih baru tetapi
terkontaminasi pada bagian luka yang terbuka tetapi tidak ditemukan
eksudat purulen maupun jaringan nekrotik; (d) Infected wounds, luka
yang sudah lama, terlihat eksudat purulen dan jaringan nekrotik pada
daerah wilayah.
Fase Inflamatori
Segera setelah terjadi perlukaan, daerah luka akan diisi oleh darah dan cairan
limfatik dari pembuluh yang rusak. Kejadian ini akan diikuti oleh vasokonstriksi
yang dimediasi oleh katekolamin, serotonin, bradykinin, prostaglandin, dan
histamin untuk meminimalisir terjadinya kehilangan darah. Vasokonstriksi ini akan
diikuti oleh vasodilatasi yang kemudian akan mengaktivasi platelet untuk
membentuk blood clot atau penggumpalan darah di lumen pembuluh darah. Blood
clot ini merupakan komponen penting dalam respon inflamasi dan berfungsi untuk
melindungi luka.
Fase Proliferatif
Fase proliferatif umumnya dimulai 5 – 20 hari setelah perlukaan terjadi. Fase
ini terjadi dalam empat tahapan, yaitu neovaskularisasi, fibroplasia dan deposisi
kolagen, epitelisasi, dan kontraksi luka.
Neovaskularisasi merupakan tahapan pembentukan pembuluh darah baru
(neoangiogenesis). Plasminogen dan kolagenase akan dilepaskan dari sel
endothelial melalui membran basal yang terdegradasi. Sel endothelial dari
pembuluh darah akan berproliferasi dan akan menjadi sumber sel selama proses
angiogenesis. Jaringan kapiler akan terbentuk seiring dengan proliferasi sel endotel
pembuluh darah. Sel endotel yang terbentuk akan saling bersambungan mengisi
bagian-bagian kapiler yang rusak akibat luka. Kemudian, sel-sel endotel ini akan
diikat dan diperkuat oleh fibroblast. Proses ini termasuk ke dalam proses granulasi
jaringan.
Fibroplasia dan deposisi kolagen merupakan tahap granulasi jaringan
selanjutnya. Sitokin dan matriks profisional akan menstimulasi proliferasi dari
fibroblast dan mempercepat pembentukan reseptor integrin. Fibroblast akan
melepaskan enzim proteolitik dan aktivator plasminogen, interstisial collagenase,
gelatinase, dan stromelysin. Enzim-enzim ini akan melemahkan matriks ekstrasel
yang telah terbentuk dan dirubah menjadi matriks kolagen. Fase fibroplastik ini
terjadi selama 2 – 4 minggu tergantung pada besarnya luka.
Epitelisasi, merupakan proses dimana sel-sel epithelial mulai berproliferasi
dari epitel pada basal sel yang berdekatan kemudian bergerak menempel dan
menutupi permukaan luka. Aktivitas sel epithelial ini akan menghambat
Primary Closure
Primary closure atau persembuhan luka dengan kontak alami antar bagian
luka. Metode ini dilakukan dengan menjahit langsung luka yang baru terjadi. Luka
operasi atau cidera traumatis yang baru saja terjadi biasanya termasuk luka yang
ditutup dengan cara ini. Primary closure dapat dilakukan pada luka yang tidak
terkontaminasi atau kontaminasi minimal, tidak terdapat jaringan nekrotik, dan
lama perlukaan kurang dari 6 jam.
Secondary Closure
Secondary closure merupakan penutupan luka yang dilakukan setelah
terbentuknya jaringan granulasi pada luka terbuka. Tindakan ini dilakukan pada
luka yang kondisinya tidak memungkinkan untuk dilakukan delayed primary
closure seperti pada kondisi infeksi persisten, terdapat jaringan nekrotik yang
persisten dan membutuhkan perawatan lebih dari 5 hari, atau terdapat respon
inflamasi parah yang persisten.
Penutupan ini dapat dilakukan melalui dua cara: (1) membiarkan jaringan
granulasi tetap utuh dan menjahit kulit menutupi jaringan granulasi; (2) melakukan
eksisi terhadap jaringan granulasi dan dilanjutkan dengan primary closure. Cara
kedua lebih disukai oleh kebanyakan operator karena tepian luka lebih mudah untuk
ditutup, hasilnya lebih baik dari segi kosmetik, insidensi infeksi setelah eksisi
jaringan granulasi lebih rendah.
Teknik Pembalutan
medikasi agar tetap berada di tempatnya, menahan pergerakan pada bagian tubuh
yang dibalutnya, memberikan tekanan untuk mengontrol perdarahan,
menghilangkan rongga (dead spaces atau cavity), serta melindungi luka dari trauma
eksternal maupun kontaminasi.
Bandages memiliki tiga lapisan utama, yaitu lapisan primer (contact
dressing), layer sekunder (intermediate layer), layer tersier (outer layer).
Lapisan Primer
Primary/contact dressing merupakan lapisan yang bersentuhan langsung
dengan permukaan luka. Secara umum, fungsi dressing adalah menyerap dan
menahan keluarnya discharge dari luka, memberikan lingkungan yang lembab
untuk mempercepat persembuhan luka, memberikan produk yang mampu
mempercepat proses persembuhan, memberikan proteksi dari kontaminan,
menyerap bau, memberikan proteksi secara mekanis, dan memfasilitasi terjadinya
autolisis dari jaringan yang rusak pada daerah luka.
Contoh dari contact dressing yang bisa digunakan adalah kassa (dapat
digunakan langsung atau dibasahi menggunakan RL, NaCl, povidone iodine, atau
chlorhexidine sesuai kebutuhan), Telfa, polyurethane foams, atau hydrogel
dressing.
Lapisan Sekunder
Secondary layer dari proses pembalutan merupakan lapisan yang bersifat
absorptif. Lapisan ini bisa menggunakan gulungan kapas atau kassa gulung. Pada
luka dengan discharge yang sangat banyak, lapisan sekunder ini berperan menyerap
cairan berlebih dan menahan cairan keluar dari permukaan luka. Frekuensi
penggantian bandage sangat dipengaruhi oleh kelembapan luka, pada luka yang
banyak mengeluarkan discharge maka penggantian bandage akan lebih sering.
Lapisan Tersier
Tertiary layer merupakan lapisan yang berfungsi membalut dan
mengamankan lapisan-lapisan di bawahnya. Banyak produk yang dapat digunakan
untuk balutan luar, diantaranya adalah Vetrap, elastic bandage, kain blacu, self-
adherent materials, atau stoking.
Pembalutan pada daerah telinga dan kepala umumnya dilakukan pada kasus
pengobatan auricular hematoma, total ear canal ablation, trauma, atau
pengangkatan tumor.
1. Permukaan telinga dibersihkan dari rambut hingga ke tepi, kemudian
dibersihkan dan dikeringkan
2. Tepi-tepi telinga dipasangkan kassa panjang (menyerupai pita) yang
direkatkan menggunakan plester untuk membantu menahan telinga
3. Kapas tebal diletakkan di atas kepala di dekat telinga, kemudian daun
telinga diangkat keatas kepala dan pita kassa yang sudah dipasangkan tadi
dilingkarkan ke bawah kepala hingga kembali lagi ke atas dan direkatkan
kembali di bagian atas kepala menggunakan plester.
4. Outer dressing diletakkan di atas daerah insisi, kemudian lapisan
sekunder dibalutkan mulai dari bagian atas kepala terus mengelilingi
kepala
5. Setelah balutan selesai, dipasangkan plester di tepi depan dan belakang
bandage untuk mencegah balutan bergeser ke depan atau ke belakang
Pembalutan pada daerah thoraks dan abdomen ditujukan untuk menutup luka
terbuka maupun luka jahitan di wilayah thoraks, abdomen, maupun tulang
belakang. Lapisan primer dapat diberikan obat yang mempercepat persembuhan
luka terutama pada balutan untuk luka terbuka.
Metode pembalutan daerah thoraks dan abdomen:
1. Lapisan primer dipasangkan tepat di atas luka terbuka maupun luka
jahitan yang hendak ditutup, kemudian dilanjutkan dengan pembalutan
lapisan sekunder
2. Pembalutan lapisan sekunder dimulai dari bagian thoraks tepat di
belakang kaki depan melingkar beberapa kali, kemudian balutan
dilingkarkan ke antara kaki depan melingkari bahu.
3. Setelah balutan melingkari bahu, dilingkarkan ke sekeliling badan satu
kali dan kembali lagi ke antara kaki depan melingkari bahu yang lainnya,
lalu balutan dilanjutkan mengelilingi daerah thoraks hingga ke abdomen
di depan kaki belakang (pada anjing jantan, balutan berakhir di depan
preputium). Balutan dilakukan sebanyak 2 – 3 lapisan untuk menutupi
sepanjang daerah thoraks hingga abdomen.
4. Lapisan tersier (bisa menggunakan adhesive tape, kain blacu, atau elastic
bandage) dapat digunakan untuk melapisi lapisan sekunder, dibalutkan
mulai dari daerah thoraks hingga ke abdomen. Tiap putaran dilakukan
overlapping ½ hingga 1/3 bagian bandage untuk mencegah adanya bagian
dari lapisan sekunder yang tidak tertutupi.
5. Tepi-tepi bandage yang berada di antara kaki depan dan di dekat kaki
belakang dipasangkan plester untuk menghindari balutan bergeser ke
depan atau ke belakang.
rusuk, menyisakan ekor, anus, dan daerah vulva (pada betina) atau
skrotum (pada jantan).
4. Lapis tersier dipasangkan seperti pada proses pemasangan lapis sekunder,
kemudian tepi-tepi bandage diberi plester untuk mencegah bandage
bergeser ke depan atau ke belakang. Setelah itu, khusus pada anjing jantan
diberikan tanda pada daerah ujung preputium, kemudian bandage
digunting sehingga ujung preputium dapat keluar untuk memudahkan
urinasi.
Pembalutan Ekor
Bandaging pada ekor dilakukan untuk melindungi luka terbuka atau luka
jahitan dari tekanan terutama pada ujung ekor. Perlukaan pada ekor sering terjadi
pada anjing yang memiliki ekor panjang akibat anjing mengibaskan ekornya
sehingga ujung ekor mengalami trauma. Pembalutan juga dilakukan pada kasus
amputasi ekor.
Basic paw and distal limb bandage, merupakan pembalutan untuk luka yang
terdapat pada daerah distal kaki depan dan daerah telapak kaki. Pada metode ini,
seluruh telapak kaki dibalut sehingga tidak ada jari-jari yang terlihat. Langkah
pembalutan daerah distal dan telapak kaki depan:
1. Kapas dipasangkan ke sela-sela antara jari dan inter-pad untuk mencegah
kondisi lembab. Akan tetapi, apabila perlukaan terdapat di daerah ini,
maka kapas digantikan dengan lapisan primer (kassa atau bahan lainnya)
yang dipasangkan di interdigit atau inter-pad apabila perlukaan hanya di
beberapa daerah saja, sedangkan apabila mencakup seluruh daerah digit
dan carpal, maka dapat menggunakan bahan pelapis primer yang
dibungkuskan pada daerah carpal hingga digit secara langsung.
2. Bantalan dipasangkan pada daerah carpal yang menonjol (carpal pad) dan
daerah-daerah yang potensial mengalami cidera akibat tekanan dari
bandage atau gips yang dipasangkan.
3. Lapisan sekunder dipasangkan memutar dari daerah distal ke arah atas
hingga mencapai pertengahan tulang radius-ulna, kemudian kembali lagi
hingga ke digit. Kemudian balutan dilipatkan berulang-ulang di daerah
ujung jari hingga membentuk semacam bantalan pada ujung jari, lalu
Kuda terutama kuda pacu, sangat rentan mengalami perlukaan pada bagian
kaki. Pembalutan pada kuda ditujukan tidak hanya untuk terapi luka atau fraktur
saja, tetapi dapat pula digunakan sebagai pencegahan cidera. Jenis-jenis balutan
yang digunakan untuk pencegahan cidera pada kuda adalah stable bandage, polo
wraps, dan shipping bandage.
Sedangkan pembalutan yang ditujukan untuk pengobatan adalah sweat
bandages dan wound bandages. Sweat bandages dilakukan untuk mengurangi
kebengkakan pada kaki kuda. Sedangkan wound bandages diaplikasikan untuk
perlindungan pada kaki yang mengalami cidera. Berikut merupakan teknik-teknik
pembalutan wound bandages:
DAFTAR PUSTAKA
Indikasi anestesi:
- Mempertimbangkan aspek kemanusiaan yaitu untuk mengurangi penderitaan
hewan saat dilakukan tindakan medis atau invasif;
- Mempertimbangkan teknis prosedur perlakuan pada hewan, seperti saat
transportasi/pengambilan gambar radiografi dan sonografi/pemeriksaan fisik,
khususnya untuk hewan yang galak dan tidak dapat direstrain secara manual.
Penilaian Pre-Anestesi
Agen Antikolinergik
Agen antikolinergik befungsi mengatasi bradikardi dan AV-block pada
jantung yang dapat terjadi sebagai efek samping dari sediaan anestesi. Secara umum,
agen ini juga digunakan untuk mencegah hipersalivasi. Agen antikolinergik pada
umumnya sediaan parasimpatolitik karena sediaan ini mencegah efek dari syaraf
parasimpatik di sistem-sitem tubuh terutama sistem kardiovaskular dan
gastrointestinal. Premedikasi juga dapat membantu menenangkan dan imobilisasi
hewan sehingga dapat memudahkan dokter hewan atau operator dalam memasang iv,
atau menginduksi anestesi. Agen ini juga memiliki sifat analgesik.
Sediaan premedikasi anestesi yang dapat digunakan berupa atropin dan
glikopirolat. Kedua sediaan tersebut bersifat antagonis muskarinik non-selektif,
sehingga dapat mencegah sekresi kelenjar saliva dan bronkial yang berlebih.
Administrasi agen antikolinergik umumnya dapat menyebabkan sinus takikardi,
sehingga sediaan ini berbahaya bagi pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Kombinasi agen antikolinergik dan ketamin dapat mencegah terjadinya infark
miokardium.
1. Atropin
Sediaan ini dapat menembus blood-brain barrier di sistem syaraf pusat serta
memiliki sedikit efek sedasi dan dapat menembus placenta barrier. Atropin dapat
mencegah adanya muntah/emesis dan menyebabkan dilatasi pupil hingga
midriasis yang lama. Sekresi lakrimalis juga dihambat, sehingga dapat
menyebabkan kekeringan pada mata ketika anestesi, sehingga seringkali artificial
tears perlu diberikan.
Aplikasi sediaan: subkutan (sc), intramuskular (im), atau intravena (iv) dengan
dosis 0.02-0.04 mg/kgbb (anjing dan kucing).
2. Glikopirolat
Sediaan ini tidak memiliki efek sedasi. Pemberian sediaan ini tidak
menyebabkan adanya dilatasi pupil dan tidak merubah tekanan intraokular.
Berbeda dengan atropin, sediaan ini memiliki efek pada saluran pencernaan, yaitu
mengurangi motilitas usus setidaknya selama 30 menit. Pada umumnya
glikopirolat digunakan pada saat operasi berlangsung untuk mencegah bradikardia
yang parah (akibat efek samping prosedur operasi atau obat anestetikum).
Aplikasi sediaan: subkutan (sc), intramuskular (im), intravena (iv), dengan dosis
5-10 μg/kgbb.
Sedativa
Sedativa merupakan sediaan yang dapat menghasilkan efek depresi tingkat
kesadaran secara cukup, sehingga menimbulkan rasa mengantuk dan menghilangkan
kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal.
1. Phenothiazine (contoh: Acepromazine)
- Sedativa yang efektif pada kucing dan anjing.
- Blokade reseptor dopamin
- Menghambat perilaku siaga dan perilaku motorik spontan
- Dengan dosis yang tinggi: menyebabkan tremor, kekakuan, dan katalepsi
- Memiliki efek anti-emetik dan deplesi katekolamin di pusat termoregulator
(hipotalamus)
- Acepromazin umumnya dikombinasikan dengan opioid untuk menurunkan
dosis anestesi inhalasi dan untuk menjaga stadium anestesi.
- Rute: im (kucing dan anjing kecil) dosis 0.01-0.2 mg/kgbb; dosis 0.01-0.05
mg/kgbb (anjing besar)
3. Benzodiazepin
- Bekerja dengan memodulasikan neurotransmisi oleh Gammaaminobutyric acid
(GABA).
- Memiliki efek sedasi, anxiolytic, muscle relaxant, dan antikonvulsan.
- Diazepam:
o Digunakan sebagai muscle relaxant dan antikonvulsan
o Tidak bekerja efektif sebagai sedativa karena dapat menyebabkan
eksitasi, ataksia, dan perilaku agresif pada anjing dan kucing, maka dari
itu perlu dikombinasikan dengan sediaan sedativa lainnya.
o Rute: iv, im; dosis 0.2-0.4 mg/kgbb
- Midazolam
o Umumnya digunakan sebagai muscle relaxant
o Dikombinasikan dengan ketamin, etomidate, atau propofol
o Memiliki efek minimal pada sistem kardiovaskular, sehingga aman
digunakan untuk pasien tua atau pasien dengan penyakit kardiovaskular
o Rute: iv, im, sc; dosis: 0.1-0.3 mg/kgbb
1. Ketamin
Dosis 2.0 – 10.0 mg/kgbb, Rute: iv, im. Harus dikombinasikan apabila
diberikan pada anjing. Berguna untuk restraint kucing dalam waktu 5-30
menit.
2. Ketamin + Diazepam/Midazolam
Dosis: 5.5 + 0.2 mg/kgbb. Rute iv. Restraint dalam 5-10 menit, dengan efek
muscle relaxant tidak sempurna, dan analgsik
3. Ketamin + Xylazine
Dosis: 10.0 + 0.7-1.0 mg/kgbb. Rute: iv, im. Restraint dalam 20-40 menit.
4. Ketamin + Acepromazine
Dosis: 10,0 + 0.2 mg/kgbb. Restraint dalam 20-30 menit
5. Tiletamin + Zolazepam (Telazol)
Dosis: 2.0 – 8.0 mg/kgbb. Rute: iv, im. Restraint dalam 20 menit – 1 jam.
6. Thiopental
Dosis: 8.0 – 20.0 mg/kgbb. Rute: iv. Dosis rendah digunakan setelah
pemberian premedikasi.
7. Etomidate
Dosis: 0.5 – 2.0 mg/kgbb. Rute iv. Durasi 5-10 menit, akan menimbulkan efek
myoclonus dan gagging/retching.
8. Propofol
Dosis 4.0-6.0 mg/kgbb / 0.4-0.8 mg/kgbb/menit. Rute: iv. Onset cepat, durasi
5-10 menit, dan akan menimbulkan efek apnea selama beberapa menit.
9. Xylazine/Midazolam/Butorphanol
Dosis: 0.4/1.0/1.0 mg/kgbb. Rute iv. Durasi 30-40 menit, dengan onset yang
berbeda.
Anestesi Inhalasi
Terdiri dari beberapa komponen, yaitu silinder oksigen dan nitrous oxide,
regulator, flow meter, katup satu arah, rebreathing bag, carbon dioxide
absorber, katup pop-off, dan vaporizer.
Silinder nitrous oxide merupakan sistem penyerapan nitrogen dari udara untuk
menghasilkan gas dengan konsentrasi oksigen 90-96%. Regulator merupakan
komponen untuk mengatur tekanan dari silinder, yaitu menurunkan tekanan
tinggi silinder gas menjadi lebih rendah dan aman.
Flow meter merupakan komponen pengatur jumlah gas ke area tekanan rendah
dari mesin anestesi. Carbon dioxide absorber digunakan untuk menyerap
karbon dioksida yang diekspirasi. Katup pop off untuk membuang tekanan yang
berlebih.
Gambar 4 Patient monitor (untuk monitoring HR, RR, EKG, SpO2, dan suhu tubuh)
Sistem Kardiovaskular:
- Memantau sirkulasi darah tubuh pasien, dengan mengetahui capillary refill
time (CRT) pada membran mukosa. CRT yang lebih lama dari normal
menandakan bahwa terdapat vasokonstriksi dan gangguan perfusi darah,
sementara CRT yang cepat menandakan vasodilatasi.
- Memantau heart rate (HR) atau frekuensi nadi hewan, khususnya ketika ada
perubahan menjadi takikardia, bradikardia, atau aritmia.
- Memantau saturasi oksigen dalam darah, dengan cara melihat warna membran
mukosa (normal: pink/rose; oksigenasi rendah: biru (cyanosis)) atau
menggunakan alat pulse oximetry atau patient monitoring.
Sistem Respirasi
- Memantau frekuensi napas pasien
- Memastikan posisi pasien yang benar sehingga airway tidak terganggu dan
respirasi lancar.
Suhu Tubuh
- Memastikan suhu tubuh pasien tetap normal, tidak hipotermia.
- Memastikan suhu ruangan tidak terlalu dingin
- Menyediakan alas hangat dapat berupa heating pad atau diberikan penghangat
berupa latex gloves yang diisi air hangat.
Terapi Cairan
- Pasien yang teranestesi akan kesulitan untuk homeostasis, termasuk mengatur
keseimbangan cairan. Maka dari itu perlu diberikan terapi cairan. Khususnya
untuk hewan dengan kondisi gagal ginjal.
Persiapan Pre-Anestesi
- Pemeriksaan umum dan penimbangan bobot badan
- Pemeriksaan darah
- Puasa
Tabel 1 Data fisiologis hewan laboratorium (Flecknell, Richardson, dan Popovic 2007)
Mencit Tikus Kelinci Marmut
Bobot badan 25-40 300-500 2000-6000 700-1200
dewasa (g)
Suhu tubuh 37.5 38 38 38
(℃)
RR (kali/menit) 80-200 70-115 40-60 50-140
HR (kali/menit) 350-600 250-350 135-325 150-250
Anestesi
Anestesi pada hewan laboratorium dapat digunakan secara inhalasi atau
perinjeksi seperti intraperitoneal (IP), subkutan (SC), atau IM. Berbeda dengan hewan
anjing atau kucing, umumnya mamalia kecil seperti hewan laboratorium, memiliki laju
metabolisme yang tinggi, sehingga dosis yang dibutuhkan untuk anestesi akan lebih
tinggi. Ketika sediaan anestesi yang memiliki efikasi rendah seperti ketamin digunakan,
maka dosis yang diperlukan akan sangat tinggi. Maka dari itu, pada umumnya
dikombinasikan dengan acepromazine, dexmedetomidine atau opioid.
Kombinasi anestesi pada rodensia dan kelinci:
- Ketamin + Medetomidin: 75 mg/kgbb + 1mg/kg BB(IP)
- Ketamin + Xylazine: 80 mg/kgbb + 10 mg/kg BB (IP)
- Tiletamin + Zolazepam: 80-100 mg/kg BB (IM)
- Lidokain: Lidokain 1% 0.25 ml, Lidokain 2% 0.3 ml (epidural)
- Metoksifluran: inhalasi
- Isofluran: 2.5-4% inhalasi
- Eter dan karbondioksida: 1-2% atau 0.5-1% inhalasi
Persiapan anestesi yang dilakukan pada hewan eksotik sama dengan hewan lab.
Berikut merupakan nilai fisiologis beberapa hewan eksotik
Anestesi Lokal
Toksisitas
Dosis maksimum dan toksisitas sediaan anestesi lokal tergantung pada rute
administrasi, tempat injeksi, umur, status kesehatan, dan spesies hewan. Kucing lebih
sensitive terhadap sediaan anestesi lokal, dengan dosis toksiknya setengah dari dosis
toksik pada anjing. Gejala toksisitas anestesi lokal dapat berupa gejala syaraf dan
kardiovaskular. Gejala syaraf berupa berkedut, koma, hingga kegagalan respirasi,
DAFTAR PUSTAKA
Prinsip anastesi, fase anastesi, monitoring dan kontrol selama anastesi, serta
farmakologi dan fisiologi yang berhubungan dengan anstesi telah dibahas pada bab atau mata
kuliah lain. Bagian ini akan lebih terfokus pada tehnik anastesi pada hewan besar. Terdapat
beberapa tehnik anastesi yang sering dilakukan pada hewan besar yaitu, anastesi lokal atau
regional (analgesia), sedasi dan transquilizer, dan anastesi general (umum).
Anastesi Infiltrasi
Anastesi infiltrasi dilakukan dengan menginjeksikan dan menginfiltrasi sediaan anastesi
lokal di sekitar area operasi dengan menggunakan needle berukuran kecil dan panjang.
Infiltrasi pertama dilakukan pada lapisan kulit dan subkutis, jika memungkinkan infiltrasi
berikutnya dilakukan pada lapisan yang lebih dalam seperti otot dan peritoneum. Jumlah
sediaan anastesi lokal tidak boleh berlebihan jika diinfiltrasikan hingga lapisan peritoneum
untuk mencegah absorpsi vaskuler yang dapat meningkatkan toksisitasnya. Infiltrasi
dilakukan dengan arah yang lurus dengan minimal penyimpangan untuk mencegah trauma
jaringan. Injeksi berulang dilakukan bila daerah operasi kembali peka.
Anastesi infiltrasi biasanya digunakan dengan indikasi penjahitan luka atau
pengangkatan lesio pada kulit. Selain itu, indikasi anastesi ini adalah untuk prosedur
laparotomi dengan infiltrasi yang dilakukan sepanjang garis insisi. Anastesi jenis ini dapat
digunakan pada seluruh jenis hewan besar domestik.
Blokade Paravertebral
Blokade paravertebral merupakan salah satu tehnik anastesi regional yang jarang
dilakukan pada kuda. Walaupun demikian, tehnik ini sangat efektif dalam menghilangkan
sensitifitas syaraf pada area flank untuk kuda yang dioperasi dalam kondisi berdiri. Tehnik ini
lebih sering dilakukan pada ruminansia seperti sapi, kambing, dan domba. Daerah flank
memiliki inervasi syaraf yang keluar dari foramen vertebralis lateralis (T13, L1 dan L2, serta
L3). Syaraf tersebut merupakan syaraf sensoris dan motoris yang menginervasi kulit, fascia,
otot, dan peritoneum bagian flank. Blokade percabangan syaraf bagian dorsolateral L3 jarang
dilakukan pada operasi-operasi dengan tehnik flank, karena sedikit kesalahan dalam
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)
administrasi akan menyebabkan blokade pada percabangan syaraf yang keluar dari celah L4.
Saraf yang keluar dari celah L4 tersebut merupakan syaraf sensoris dan motoris yang
menginervasi kaki belakang.
Tehnik blokade paravertebral sangat sering dilakukan pada sapi dengan orientasi
administrasi pada proceccus transversus pada T13, L1 dan L2, serta L3. Administrasi
dilakukan sedekat mungkin dengan foramen vertebralis lateralis. Hal ini dilakukan agar
terjadi blokade pada badan syaraf atau setidaknya terjadi blokade pada percabangan dorsal
dan ventral dari syaraf tersebut. Proceccus transversus dari L1 menjadi titik orientasi untuk
blokade syaraf pada T13, begitu juga dengan L2 dan L3 merupakan titik orientasi untuk
blokade syaraf pada L1 dan L2. Administrasi sediaan anastesi dilakukan 3 – 5 cm ke ventral
sejajar dengan caudal dari garis tengah proceccus transversus. Needle yang digunakan dalam
administrasi sediaan anastesi adalah needle dengan ukuran 16 – 20 G dengan panjang 10 cm.
Administrasi dilakukan hingga menembus ligamentum intratransversal dengan ketebalan
kurang lebih 0,75 cm. Sediaan anastesi yang biasanya digunakan adalah lidocaine atau
mepivacaine 2% sebanyak 10 ml di ventral ligamen dan tambahan sebanyak 5 ml pada dorsal
ligamen.
Tehnik blokade paravertebral yang dilakukan pada kambing dan domba sama seperti
pada sapi. Volume sediaan lidocaine 1% yang diadministrasikan adalah 5 ml dengan dosis
total tidak melebihi 6 mg/kg. Dosis terendah yang dapat diberikan pada kambing dan domba
adalah 2 mg/kg.
Anastesi Epidural
Anastesi epidural merupakan tehnik yang sangat sering dilakukan untuk keperluan
prosedur operasi sapi dan kuda dalam keadaan berdiri, operasi caesar pada babi, operasi
urogenital pada kambing, serta analgesia postoperatif. Pemilihan sediaan anastesi dilakukan
berdasarkan spesies dan tujuan prosedur yang dilakukan (contoh: anastetikum untuk anastesi
lokal area operasi, opioid atau alpha-2-agonist untuk analgesik tanpa blokade syaraf). Domba
lebih mudah untuk di restrain secara fisik sehingga hanya memerlukan administrasi sediaan
anastesi lokal. Sementara itu, kambing dan babi lebih sulit untuk di restrain secara fisik
sehingga memerlukan administrasi sediaan yang bersifat sedativ.
Anastesi epidural dapat dilakukan pada cranial epidural maupun caudal epidural.
Cranial epidural dilakukan pada celah lumbosakral. Tehnik ini biasanya dilakukan pada
kambing, domba, dan babi. Sementara itu, caudal epidural dilakukan pada celah
sacrococcygeal. Tehnik ini biasanya dilakukan pada sapi dan kuda. Anastesi epidural ini
memungkinkan operasi dalam kondisi berdiri karena tidak berpengaruh terhadap syaraf pada
kaki belakang. Namun, anastesi epidural akan menyebabkan relaksasi sphincter ani.
Administrasi sediaan anastesi pada caudal epidural dilakukan pada 1 – 2 inchi dari
pangkal ekor. Titik orientasi didapatkan dengan cara menggerakkan ekor ke atas dan ke
bawah, persendian pertama yang ditemukan di caudal sacrum merupakan celah
intercoccygeal pertama. Setelah titik orientasi ditemukan, pangkal ekor di ikat atau dijepit
menggunakan tourniquet dan dilakukan preparasi kulit. Titik orientasi ditusuk menggukan
needle berukuran 18 – 19 G dengan panjang 3 – 5 cm (needle spinal) dengan membentuk
sudut 45o pada sapi dan 30o/60o pada kuda hingga ke dalam canalis spinalis. Posisi needle
yang tepat pada ruang epidural ditandai dengan adanya tekanan negatif. Pembuktian adanya
tekanan negatif dilakukan dengan cara aspirasi larutan steril pada needle. Selain itu, jika
posisi needle tepat di ruang epidural maka tidak akan ada hambatan dalam administrasi
sediaan anastesi. Volume sediaan anastesi yang diadministrasikan pada caudal epidural tidak
boleh lebih dari 3 ml pada kambing dan 10 ml pada sapi untuk mencegah inkoordinasi dan
rekumbensi pada kaki belakang.
Alpha2-agonist yang biasanya digunakan pada sapi untuk durasi analgesik yang
panjang adalah lidocaine 2%. Sementara itu, pada kuda penggunaan lidocaine 2% memiliki
durasi analgesik yang lebih singkat kurang lebih hanya 7.5 menit. Volume yang dinaikkan
hingga 5 – 7 ml dapat memperpanjang durasi analgesik. Alpha2-agonist yang juga sering
digunakan dalam bentuk kombinasi untuk meningkatkan durasi analgesik adalah detomidine,
medetomidine, dan xylazine. Kombinasi beberapa sediaan tersebut dapat menurunkan potensi
ataxia.
kemudian dilakukan hingga krista pterygoideus kemudian diarahkan rostral dan turun hingga
fossa pterigopalatinum pada foramen orbitorotundum. Sediaan anastesi yang
diadministrasikan sebanyak 15-20 ml pada kulit dan jaringan subkutan sepanjang cabang
zygomaticus. Bagian ujung dorsomedial canthus juga harus diinfiltrasi. Tehnik ini jarang
digunakan karena dapat berakibat fatal akibat orientasi infiltrasi yang sangat dekat dengan
arteri maxillaris interna.
Tujuan utama transquilizasi dan sedasi pada hewan besar adalah untuk keperluan
prosedur diagnostik dan terapetik, prosedur operasi minor dengan anastesi lokal, dan
prosedur medikasi preanastesi. Transquilizer yang biasanya digunakan pada kuda adalah
golongan phenothiazine yaitu acetylpromazine maleate, namun memiliki beberapa efek
samping yaitu hipotensi, takikardia, dan kelumpuhan sementara serta tidak memiliki efek
analgesik. Penggunaan alpha-2-adrenoreseptor agonist seperti xylazine hydrochlorida,
detomidine, romifidine, dan dexmedetomidine untuk menggantikan acepromazine akan
menghasilkan efek analgesik dan sedasi. Namun, penggunaan sediaan ini juga memiliki efek
samping yang bergantung pada jenis obat, dosis dan rute pemberian. efek samping yang dapat
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)
terjadi adalah penurunan denyut jantung dan cardiac output, hipertensi, serta perubahan
karakter. Efek samping tersebut dapat diminimalisir melalui kombinasi dengan opioid.
Sedativ pada babi yang biasanya digunakan adalah azeperone dan droperidol.
Kombinasi opioid dengan alpha-2-adrenoreseptor agonist menghasilkan efek sedasi
preanastesi dan analgesik yang baik. Benzodiazepam atau midazolam menghasilkan efek
sedasi yang singkat pada kambing dan domba. Sementara itu, alpha-2-adrenoreseptor agonist
memberikan efek samping pada sistem cardiopulmoner pada kambing dan domba. Opioid
seperti fentanyl dan morphine sering digunakan sebagai analgesik pada kambing dan domba.
Berbagai macam prosedur operasi pada kuda memerlukan anastesi umum berbeda
dengan sapi yang dapat dilakukan dengan kondisi berdiri atau dengan hanya menggunakan
restrain fisik maupun kimia. Anastesi umum pada ruminansia juga jarang dilakukan karena
pertimbahan karakteristik fisiologi ruminansia. Recumbensi yang lama pada ruminansia akan
menyebabkan bloating yang berakhir pada penekanan diafragma sehingga terjadi
hipoventilasi, hipoksia, hipercarbia, dan asidosis respirasi.
Evaluasi preanastesi pada hewan yang akan dianastesi secara umum harus dilakukan
dengan lengkap. Evaluasi preanastesi termasuk pemeriksaan fisik, klinis, dan complete blood
count (CBC). Selain itu monitoring selama prosedur intraoperatif hingga postoperatif juga
penting untuk dilakukan secara teliti. Hewan harus dipuasakan sebelum operasi misalnya
pada kuda 12 jam sebelum dilakukan anastesi tanpa pembatasan minum.
Premedikasi
Sedasi dan transquilizasi pada kuda dilakukan untuk memudahkan induksi anastesi
umum, namun hal ini tidak dilakukan pada sapi dan ruminansia kecil. Secara umum,
transquilizer dan sedativa memiliki efek samping terhadap fisiologi abdomen secara akut.
Pemberian transquilizer preanastesi pada anak kuda yang baru lahir juga harus dihindari
karena perkembangan sistem enzim mikrosomal pada hati belum maksimal akan
menyebabkan metabolisme obat yang sangat lama.
Alpha-2-agonist merupakan sediaan yang sering digunakan sebagai premedikasi pada
kuda dan kadang-kadang pada sapi. Sediaan yang biasanya digunakan adalah
guaifenensin+ketamine, tiletamine+zolazepam, dan xylazine+ketamine. Sediaan
antikolinergik yang digunakan atropine. Namun, penggunaan sediaan ini sangat jarang
dilakukan karena dapat menyebabkan illeus, takikardi, dan peningkatan konsumsi oksigen
mitokondrial. Antikolinergik akan mengurangi efek salivasi pada rumin namun meningkatkan
eksresi viskus mata. Atropin atau glycopyrolate sangat berguna bagi babi untuk mengkontrol
salivasi berlebihan selama anastesi umum terutama penggunaan sediaan ketamine atau
tiletamine.
Induksi Anastesi
Induksi anastesi sering dilakukan melalui intravena. Sementara itu, pada babi sulit
dilakukan sehingga induksi anastesi dilakukan dengan metode inhalasi. Thiobarbiturat
merupakan sediaan yang paling efektif untuk induksi rekumbensi pada kuda yang telah
tersedasi namun ketersediaannya sangat kurang. Oleh karena itu, sediaan ini biasanya
digantikan dengan ketamine dam tiletamine. Sementara itu, induksi menggunakan anastesi
inhalasi pada anak kuda adalah prosedur terbaik untuk menjaga stabilitas fungsi
cardiovaskular. Penggunaan kombinasi guaifenesin dengan ketamine pada sapi sering
dilakukan untuk induksi sekaligus pemeliharaan anastesi. Kombinasi yang lebih baik lagi
adalah kombinasi antara guaifenesin, ketamine, dan xylazine pada sapi yang disebut tripple
drip. Hipoksemia merupakan efek samping utama pada prosedur induksi anastesi, oleh
karena itu suplementasi oksigen yang tinggi sangat dibutuhkan.
Intubasi endotracheal dapat dilakukan sebelum atau setelah induksi anastesi dengan
efek regurgitasi minimal jika dilakukan setelah induksi anastesi. Intubasi endotracheal pada
babi sangat sulit untuk dilakukan karena babi memiliki larynx yang panjang dan tidak
terfiksir dengan baik. Penggunaan laryngoscope dapat memudahkan pemasangan intubasi
pada babi. Induksi anastesi pada hewan muda dilakukan dengan inhalasi atau menggunakan
sediaan propofol atau ketamine yang dikombinasikan dengan benzodiazepine.
Pemeliharaan Anastesi
Anastesi inhalasi merupakan metode yang paling efektif untuk memelihara kondisi
anastesi selama operasi terutama jika durasi operasi panjang. Sediaan yang dapat digunakan
adalah isoflurane, sevoflurane, dan desflurane. Metode intravena merupakan salah satu cara
untuk memelihara kondisi anastesi hewan dengan kelebihan peralatan yang sederhana dan
biaya murah. Kekurangan dari metode ini adalah memperpanjang waktu pemulihan dari
anastesi karena eksresi sediaan anastesi lebih lambat dibandingkan dengan metode inhalasi.
Selama pemeliharaan anastesi, sangat penting untuk memperhatikan kondisi vital pasien
seperti kedalaman anastesi, aktivitas refleks, serta parameter respirasi dan cardiovaskular.
DAFTAR PUSTAKA
Hendrickson DA, Baird AN. 2013. Turner and McIIwraith’s Techniques in Large Animal
Surgery 4th Edition. New Jersey (US): John Willey and Sons.
Tabel 1 Anastesi Epidural dan Analgesik pada Sapi dan Ruminansia Kecil
Obat Indikasi Dosis Keterangan
Lidocaine 2% -Anastesi epidural (cranial dan caudal) Sapi: 1 ml/10 lb atau 0.5-1 ml/100 lb Onset dan durasi singkat
-Anastesi epidural (caudal) pada kambing Kambing/domba: 2-3 ml
dan domba
Lidocaine 2% anastesi epidural (caudal) pada sapi Lidocaine: 0.22 mg/kg Onset singkat dan durasi
+ Xylazine Xylazine: 0.05 mg/kg panjang
Volume total: 5-7 ml13,72
Medetomidine -Anastesi epidural (caudal) pada sapi Sapi: 15 µg/kg diencerkan dengan 5 ml saline Durasi panjang dengan efek
-anastesi epidural (cranial) pada kambing 0.9% samping sistemik
Kambing/domba: 20 µg/kg diencerkan
dengan 5 ml steril water/water for injection
Medetomidine Anastesi epidural (caudal) pada sapi Medetomidine: 15 ug/kg Durasi panjang dengan
+ Mepivacaine Mepivacaine: 0.5-1 ml/100 lb minimal efek samping
sistemik
Morphine -Anastesi epidural 15 mg/ml morphine dilarutkan hingga 0.15- Memberikan analgesia tanpa
-painkiller postoperatif 0.20 ml/kg dengan saline 0.9% kelumpuhan
Keterangan: 1 lb = 0.453 kg
Laparotomi
Linea alba
Gambar 1 Anatomi lapisan dinding abdomen hewan (Sumber: Fossum et al. 2013)
Teknik Bedah
Pembedahan pada daerah abdomen untuk hewan kecil biasanya diinsisi
dari garis tengah (linea alba). Pembersihan area operasi harus dilakukan cukup
luas, bahkan hingga daerah inguinalis dan thoraks untuk mengantisipasi
perluasan daerah sayatan, terutama untuk eksplorai abdomen pasien yang
mengalami trauma. Sayatan dapat dilakukan sepanjang linea alba dari processus
xiphoidea hingga ke pubis jika ingin mengeksplorasi keseluruhan rongga
abdomen. Sayatan di bagian kaudal dari umbilikal hingga ke pubis biasanya
dilakukan untuk eksplorasi VU dan organ genitala, sedangkan sayatan di kranial
dari umbilikal hingga processus xiphoidea untuk eksplorasi organ hati, lambung
serta intestin. Sayatan dapat diperpanjang ke arah lateral pada processus
xiphoidea (1 cm pada kaudal tulang rusuk terakhir) untuk memudahkan
eksplorasi hati, sistem bilier, dan diafragma. Laparotomi paracostal (paralumbar)
biasanya dilakukan untuk tujuan operasi pada organ ginjal dan kelenjar adrenal;
teknik ini umum digunakan untuk unilateral adrenalektomi.
Ventral Midline Celiotomy in Cats and Female Dogs
Pasien dibaringkan dengan posisi terlentang (dorsal recumbancy) lalu
sayatan dilakukan pada garis tengah pada processus xiphoidea dan
meluas hingga ke pubis (panjang sayatan disesuaikan dengan prosedur
bedah). Sayatan dilakukan pada kulit dan jaringan subkutan hingga
fascia eksternal dari otot rektus abdominis terbuka. Kulit difiksasi
terlebih dahulu agar mudah mengeksplorasi lapisan profundal. Apabila
terdapat perdarahan pada jaringan subkutan dapat diligasi atau
dikauterisasi. Kemudian dilakukan identifikasi linea alba. Setelah itu
linea alba disayat dengan pisau bedah (scalpel) (tekanan scalpel perlu
diperhatikan agar tidak sampai melukai organ internal). Selanjutnya jari
dimasukkan ke dalam sayatan untuk mengangkat otot tersebut dan
sayatan diperluas ke kranial dan kaudal menggunakan gunting. Otot
Ventral midline
incision
Gambar 2 Orientasi sayatan ventral midline celiotomy pada kucing dan anjing betina
(Sumber: Fossum et al. 2013)
Ventral midline
incision
Gambar 3 Orientasi sayatan ventral midline celiotomy pada kucing dan anjing jantan
(Sumber: Fossum et al. 2013)
Paracostal Celiotomy
Pasien diposisikan berbaring lateral kemudian kulit disayat dari batas
ventral ossa vertebralis hingga ke garis tengan abdomemen (arah sayatan
vertikal terhadap sumbu tubuh hewan). Sayatan dilakukan sepanjang
kaudal rusuk terakhir. Kemudian sayatan diteruskan hingga ke
peritoneum dan diperluas dengan menggunakan gunting sama seperti
prosedur sebelumnya.
Eksplorasi Abdomen
Ketika rongga abdomen dalam kondisi terbuka, hal yang perlu
diperhatikan adalah kelembaban organ interna dan meminimalisir kontaminasi.
Sehingga perlu menyiapkan kassa yang dibasahi dengan larutan fisiologis steril
kemudian digunakan sebagai alas apabila organ dikeluarkan. Selain itu dapat
juga diguyur dengan larutan saline hangat untuk tetap menjaga suhu organ dan
rongga abdomen. Pada beberapa kasus, kassa sering tertinggal di dalam rongga
abdomen sehingga penting untuk memastikan jumlah kassa yang digunakan
sebelum penjahitan dinding abdomen. Berikut merupakan orientasi dan panduan
dalam eksplorasi abdomen:
Kuadran Kranial
- Pemeriksaan diafragma (termasuk hiatus esofagus) dan hati.
- Inspeksi kantong emepedu dan sistem billiary
- Pemeriksaan lambung, pylorus, duodenum proksimal dan limpa
- Pemeriksaan pankreas (palpasi dengan lembut), vena porta, arteri
hepatika, dan vena cava.
Kuadran Kaudal
- Pemeriksaan kolon desendens, VU, prostat atau uterus
- Pemeriksaan cincin inguinal
Eksplorasi Usus
- Palpasi usus dari duodenum hingga ke kolon desendens
- Observasi vaskularisasi mesenterika dan kelenjar pertahanan lokal
Eksplorasi Organ Lainnya
- Usus (mesoduodenum) ditarik ke sebelah kiri untuk memeriksa
organ di profundal. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan ginjal,
kelenjar adrenal, ureter, dan ovarium.
- Usus (kolon desendens) ditarik ke sisi kanan lalu dilakukan
pemeriksaan ginjal kiri, kelenjar adrenal ureter dan ovarium.
A B
Gambar 4 Letak organ abdomen pada hewan kecil (A) ventral view (Sumber: Jack dan Watson 2014), (B)
lateral view (Anatomy Note 2019)
Gambar 5 Anatomi lapisan dinding abdomen hewan besar (Sumber: Ames 2014)
Teknik Operasi
Pendekatan yang umum digunakan untuk operasi hewan besar adalah
insisi left/right paralumbar (laparotomi flank kiri atau kanan) dengan posisi
hewan berdiri. Operasi dilakukan dengan menyayat kulit dari ventral procesus
transversus L2 dan dilanjutkan ke arah ventral sepanjang 20 cm. Kemudian
subkutan disayat hingga menemukan lapisan otot. Kemudian lapisan otot disayat
perlahan pada tiap lapisannya, jika terjadi perdarahan maka pembuluh darah
segera dijepit dengan forcep dan diligasi dengan benang. Tekanan pada
penyayatan peritoneum perlu diperhatikan terutama pada bagian dorsal karena
dapat melukai organ interna terutama rumen apabila insisi dilakukan dari flank
kiri. Jika rongga abdomen sudah terlihat maka selanjutnya dapat dilakukan
eksplorasi untuk meneguhkan diagnosa maupun melakukan prosedur operasi
lainnya pada organ abdomen.
Eksplorasi Abdomen
Abdomen terbagi menjadi 4 bagian yaitu abdomen kanan, tengah, kiri
dan kaudal, dengan letak organ sebagai berikut:
Abdomen kanan: ginjal kanan, hati, gall bladder, abomasum, duodenum,
sisi kanan omasum, dinding abdomen kanan, dan sisi kanan diafragma.
Abdomen tengah: ginjal kiri, pembuluh darah mayor abdominal (aorta,
arteri mesenterika), usus halus, sisi medial abdomen, dan omasum.
Abdomen kiri: dinding abdomen kiri, sisi kiri abomasum, limpa,
retikulum, sisi kiri diafragma.
Abdomen kaudal: organ reproduksi, VU ureter, sekum, kolon, cincin
inguinal, dan rektum.
Eksplorasi abdomen dilakukan dengan palpasi setiap organ dan jaringan
sekitarnya dan diperhatikan lokasi, tekstur, ukuran dan kelainan pada organ.
Gambar 6 Lateral view of cow’s abdomen (A) kanan, (B) kiri (Sumber: Ames 2014)
intraperitoneal, dan antibiotik general 3-5 hari post operasi. Selain itu pakan dan
nutrisi hewan juga penting untuk diperhatikan.
Ovariohisterektomi
Salah satu tindakan bedah yang sering dilakukan pada ronga abdomen
adalah bedah saluran reproduksi. Pada hewan betina jenis pembedahan tersebut
adalah pengambilan ovarium dan uterus (ovariohisterektomi) dan pengambilan
ovarium saja (ovariektomi) atau uterus saja (histerektomi). Selain itu terdapat
juga prosedur operasi yang dilakukan dengan menyayat uterus tanpa
mengambilnya dari ruang abdomen (histerotomi), misalnya pada sectio
caesaria.
Pembedahan pada saluran reproduksi mencakup berbagai teknik yang
dapat mengubah kemampuan hewan untuk bereproduksi, membantu proses
kelahiran, dan mengobati atau mencegah penyakit organ reproduksi. Indikasi
utama untuk bedah saluran reproduksi adalah untuk mengontrol populasi,
membantu proses partus pada kasus distokia, mencegah atau mengatasi tumor
yang dipengaruhi oleh hormon reproduksi, dan tindakan terapi untuk penyakit
saluran reproduksi (misalnya pyometra, metritis).
Usia pasien untuk tindakan ovariohisterektomi yaitu minimal 6-9 bulan.
Pembedahan pada pasien pada usia yang lebih muda (mis 6-16 minggu)
berpotensi mengalami hipoglikemia, hipotermia dan perdarahan. Pasien pada
usia kurang dari 16 minggu memiliki sistem metabolisme yang belum matang
sehingga pemberian obat-obatan yang keras dapat membahayakan. Selain itu
sistem saraf simpatik yang belum matang membuat anak anjing atau kucing
berpotensi mengalami bradikardia dan hipotensi. Oleh karena itu rekomendasi
tindakan OH sangat penting mempertimbangkan usia hewan. Selain itu pada
pasien yang tua peting disarankan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui
kondisi umum pasien.
Uterus berbentuk pendek dengan adanya cornua yang lebih sempit dan
panjang. Kemudian pada bagian kaudal terdapat serviks dengan ukuran lebih
sempit dan tebal (keras). Alat penggantung uterus di dalam abdomen disebut
mesometrium. Vagina terlertak pada kaudal serviks dan terhubung dengan
saluran urinari (orifisium urethralis). Kemudian pada organ reproduksi luar pada
betina yaitu klitoris dan vulva.
Teknik Operasi
Area operasi pada bagian ventral abdomen dipersiapkan dengan dicukur
dan disinfeksi dari processus xiphoidea hingga ke pubis. Kemudian temukan
umbilikal sebagai patokan lalu kulit dan jaringan subkutan disayat sepanjang 4-8
cm ke arah kaudal. Setelah jaringan subkutan dipreparir, selanjutnya dilakukan
identifikasi linea alba. Linea alba lalu dijepit dan sedikit diangkat, kemudian
disayat hingga menembus ke rongga abdomen. Sayatan linea alba diperpanjang
ke kranial dan kaudal dengan menggunakan gunting Mayo. Otot yang sudah
disayat kemudian difiksir dengan forcep agar mudah mengakses peritoneum dan
organ-organ.
Orientasi dalam mencari organ reproduksi betina dimulai dari uterus.
Uterus dapat dengan mudah ditemukan apabila VU sedikit dikuakkan ke
samping sehingga cornua dan corpus uterus dapat terlihat. Selanjutnya melalui
cornua uterus dapat ditelusuri ke kiri dan ke kanan untuk menemukan ovarium.
Ligamentum suspensorium pada pedikulus penggantung ovarium dipalpasi dan
sedikit dirobek untuk memudahkan ligasi pedikulus (hati-hati pembuluh darah).
Selanjutnya 2-3 forcep digunakan untuk menjepit pedikulus, kemudian
pedikulus diligasi dengan benang absorbable. Jenis ligasi yang disarankan
terutama untuk pedikulus yang tebal, yaitu dengan ligasi angka delapan. Ujung
jarum terlebih dahulu ditusukkan ke tengah-tengah pedikulus lalu diligasi,
kemudian benang dililitkan lagi melingkari pedikulus dan diligasi kembali. Jenis
ligasi ini direkomendasikan untuk mencegah benang terlepas karena licin.
Selanjutnya pedikulus disayat di antara kedua forcep, lalu forcep perlahan
dilepaskan dan kemudian dipastikan tidak ada hemoragi. Teknik ligasi yang
sama juga diterapkan pada uterus dengan orientasi ligasi dan sayatan yaitu pada
coprus uterus (cranial serviks). Selanjutnya dilakukan penutupan dinding
abdomen dengan penjahitan pada tiga lapisan yaitu fasia/linea alba, subkutan
dan kulit.
Ovariohisterektomi dengan pendekatan insisi ventral midline abdomen
lebih mudah dilakukan, risiko trauma rendah, dan risiko sakit postoperasi yang
lebih ringan daripada insisi dari flank abdomen, yang mana akan menyayat otot
pada 3 lapisan sekaligus serta risiko penyayatan pada pembuluh darah. Akan
tetapi risiko komplikasi post operasi berupa hernia lebih rendah pada insisi
flank. Selain itu OH dengan insisi flank diindikasikan untuk pasien dengan
kelenjar mamari yang sedang aktif (masa laktasi) ataupun adanya neoplasia atau
hiperplasia mamari.
DAFTAR PUSTAKA
Ames NK. 2014. Noordsy’s Food Animal Surgery, Fifth Edition. Michigan
(US): John Wiley & Sons.
[Anatomy Note]. 2019. Dog digestive system anatomy. [Internet]
https://www.anatomynote.com/animal-anatomy/mammals/dog/dog-
digestive-system-anatomy/ (17 Juli 2020).
Asrat M, Melkamu S. 2018. Review on ovariohysterectomy: surgical approach,
postoperative complications and their management in bitch. Int. J. Adv.
Multidicip. Res. 5(3): 20-28.
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG,
Schulz KS, Willard MD. 2013. Small Animal Surgeri Fourth Edition. St.
Louis(AS): Elsevier Health Science.
Griffon D, Hamaide A. 2016. Complications in Small Animal Surgery. Californa
(US): John Wiley & Sons.
Jack CM, Watson PM. 2014. Veterinaru Technician’s Daily Reference Guide:
Canine and Feline, 3rd Edition. Seattle (US): Blackwell Publishing.
Fraktur
Fraktur merupakan pemecahan atau kerusakan suatu bagian dari tulang. Fraktur ini
dapat disebabkan oleh trauma/stress fisik yang kuat, atau luka lanjutan dari beberapa kondisi
atau penyakit yang melemahkan kekuatan tulang seperti osteoporosis, kanker tulang, atau
ketidaksempurnaan osteogenesis.
Klasifikasi Fraktur
Identifikasi jenis fraktur pada pasien penting dilakukan agar tepat dalam treatment
dan komunikasi kepada klien. Fraktur pada hewan dapat dideskripsikan berdasarkan:
Jumlah fragmen tulang yang patah
Konfigurasi fraktur
Lokasi fraktur pada tulang
Tulang yang mengalami fraktur
3. Lokasi Fraktur
Articular: fraktur yang terjadi pada daerah persendian (epifisis) yang
melibatkan tulang rawan artikular.
Epiphysis: lokasi fraktur pada epifisis, baik di proksimal atau distal tulang
panjang.
Physis: fraktur terjadi pada bagian phyisis, yaitu kartilago proksimal dan distal
dari tulang panjang yang terletak di antara ephyphysis dan metaphysis
Metaphysis: fraktur terjadi pada bagian metaphysis, yaitu pada proksimal dan
distal tulang yang terletak di antara physis dan diaphysis. Metaphysis memiliki
bagian korteks yang lebih tipis dari diaphysis.
Diaphysis:fraktur terjadi di bagian tengah/poros tulang, di bagian diaphysis.
Memiliki korteks yang lebih tebal dan pada medula terdapat sumsum berupa
jaringan adiposa.
Komponen tulang yang spesifik secara anatomis, misalnya supracondylar,
trochanteric, dan femoral neck.
Physis
4. Fraktur Salter-Harris
Klasifikasi fraktur yang spesifik apabila lokasi fraktur termasuk bagian physis
atau lempeng pertumbuhan yang berperan penting dalam proses osifikasi
endokondral.
metaphysis
physis
epiphysis
5. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka diklasifikasikan berdasarkan mekanisme puncture dan
keparahan cedera jaringan lunak.
Grade I : sebuah lubang tusukan (puncture) kecil pada kulit akibat tulang
yang menembus keluar. Akan tetapi tulang mungkin tidak terlihat pada luka
tersebut.
Gambar 4 Hasil radiografi fraktur terbuka grade I, terlihat adanya rongga berisi udara pada
jaringan lunak sekitar daerah fraktur (panah) (Sumber: Sylvestre 2019)
Grade II: terdapat luka pada kulit dengan ukuran yang bervariasi tergantung
keparahan fraktur, disebabkan oleh trauma eksternal.
Gambar 5 Hasil radiografi fraktur terbuka grade II dengan adanya bagian tulang yang
menusuk jaringan lunak hingga menonjol terlihat pada kulit (Sumber: Sylvestre 2019)
Grade III: terdapat beberapa fragmen tulang dan menimbulkan jaringan lunak
yang cukup luas. Kondisi ini biasanya terkait dengan fraktur comminuted
akibat trauma eksternal dari benda berkecepatan tinggi, misalnya akibat
tembakan peluru.
Gambar 6 Hasil radiografi fraktur terbuka grade II dengan terlihatnya tulang (persendian
bahu) pada area luka (panah) (Sumber: Sylvestre 2019)
Fase inflamasi: inflamasi terjadi seketika setelah terjadinya hematoma pada tulang
dan jaringan sekitarnya. Hematoma ini terjadi karena perdarahan dari ruptur tulang
dan pembuluh darah periosteal. Sistem koagulasi kemudian teraktifasi dan
melepaskan mediator vasoaktif yang dihasilkan oleh platelet. Level mediator radang
seperti sitokin (interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-!!, IL-18 dan tumor necrosis factor-α
(TNF-α) meningkat secara signifikan selama beberapa hari post trauma. Mediator
radang ini akan beperan dalam efek kemotaktik yang mengaktifkan sel-sel radang.
Makrofage akan berperan dalam fagositosis jaringan nekrosis dan mengaktifkan
growth factor dalam pembentukan tulang seperti bone morphogenic proteins, insulin-
like growth factor, dll. Semua growth factor ini berfungsi dalam proses migrasi,
rekrutmen, dan proliferasi sel stem mesenkim dan diferensiasinya menjadi angioblast,
chondroblast, fibroblast, dan osteoblast. Selama proses inflamasi, proses pembentukan
kalus primitif juga terjadi sehingga dapat mengurangi mobilitas atau gerakan pada
area fraktur.
Fase proliferatif: merupakan proses fibroplasia yang ditandai dengan pembentukan
callus dan vaskularisasi, sekresi osteoid, dan adanya serat kolagen. Fase ini meliputi
juga respon periosteal yaitu angiogenesis, pembentukan jaringan ikat dan formasi soft
callus. Selanjutnya secara bertahap digantikan oleh pembentukan anyaman tulang
yang belum matang (immature) melalui formasi tulang intramembran dan
endochondral. Kemudian sel stem mesenkim yang sebelumnya teraktifasi oleh growth
factor akan membantu proses osifikasi sehingga anyaman tulang yang immature akan
berubah menjadi lebih keras (mature) karena adanya pembentukan hard callus.
Fase remodeling: meliputi pembentukan dan mineralisasi callus yang kemudian
secara bertahap callus digantikan dengan tulang yang sudah termineralisasi. Proses ini
akan diikuti dengan pebaikan bentuk, ukuran dan kandungan biokimiawi pada tulang.
Gambar 7 Contoh hasil radiograf terhadap kondisi fraktur di tulang tibia; CT-scan terhadap fraktur pada tulang
mandibula
Gambar 8 CT-scan terhadap fraktur pada tulang mandibula (Sumber: Veterian Key 2016)
Gambar 9 Gambaran MRI terhadap fraktur pada kaki kuda (Sumber: Genton et al. 2019)
Gambar 10 Tiga cara penanganan bedah ortopedik. (kiri) Fiksasi intramedular. (tengah) Bone plating. (kanan)
Fiksasi eksternal
Terdapat beberapa kasus fraktur yang tidak direkomendasikan untuk dibedah. Kasus-
kasus tersebut adalah apabila fraktur terjadi pada os coxae, yaitu pada bagian illial wing,
tuber ischii, dan pelvic floor. Bagian-bagian tersebut merupakan tempat tautan otot, sehingga
sulit untuk dioperasi, maka dari itu kasus ini harus dirawat secara konservatif, pembatasan
gerak, dan penanganan rasa nyeri.
Bedah Ortopedik
Manajemen Pre-operasi
1. Evaluasi preoperasi
a. Hewan muda (kurang dari 5-7 tahun): harus disertai dengan beberapa uji
laboratorium seperti packed cell volume (PCV), urinalisis, pemeriksaan feses,
tergantung dengan hasil anamnesa, sinyalemen, dan pemeriksaan umum.
b. Hewan tua (lebih dari 5-7 tahun: harus diperiksa dan ditangani secara hati-
hati karena fungsi organ serta sistem muskuloskeletalnya sudah menurun. Uji
laboratorium seperti CBC, kimia darah, dan urinalisis, serta uji laboratorium
khusus (seperti uji koagulasi darah) berdasarkan hasil anamnesa, sinyalemen,
dan pemeriksaan umum.
Hasil evaluasi pre-operasi ini akan memengaruhi kepurusan dalam pemberian
sediaan premedikasi dan anestesi, terapi cairan, dan lainnya.
2. Anestesi dan manajemen rasa nyeri
- Operasi ortopedik merupakan salah satu operasi yang sangat menyakitkan, karena
banyak reseptor sensorik (nosiseptif) pada tulang. Maka dari itu perlu diberikan
sediaan analgesik sebelum operasi. Kedalaman analgesia dari sediaan tersebut
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)
harus cukup untuk menahan reseptor nyeri ketika operasi, khususnya reseptor
nosiseptif di sekitar tulang tersebut harus dapat di-block. Sediaan analgesiknya
pun harus dilanjutkan hingga post-operasi.
- Prosedur anestesi yang direkomendasikan untuk operasi ortopedik adalah
penggunaan sediaan analgesia yang juga dikombinasikan dengan sediaan anestesi
epidural (lidokain, bupivakain, atau ropivakain) untuk menurunkan respon nyeri
pada saat operasi dan juga untuk menurunkan dosis anestetikum yang dibutuhkan.
- Prosedur lain yang dapat digunakan adalah kombinasi anestesi epidural dengan
anestesi umum. Kombinasi tersebut dapat memberikan efek paralisis sementara
pada otot kaki belakang, dan menahan rasa nyeri pada kasus fraktur pelvis, femur,
dan tibia.
- Sediaan analgesik yang dapat digunakan pada pasien ortopedik adalah non-
steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID). Sediaan tersebut dapat
dikombinasikan opioid (tergantung keparahan rasa nyeri pasien, contoh: fentanyl)
atau tidak dikombinasikan.
Fracture Support
Cedera yang tidak stabil harus diberikan support agar mengurangi kerusakan jaringan
lunak dan untuk meningkatkan kenyamanan pasien. Support yang dimaksud adalah external
splint, yang dapat menyokong kaki secara sementara dan untuk menstabilkan fraktur.
Pemasangan splint yang baik dapat mencegah komplikasi. Komplikasi dapat berupa minor
atau serius. Komplikasi minor seperti kebengkakan kaki di bagian distal dari splint, splint
yang longgar, dan abrasi kulit. Komplikasi serius dapat berupa tidak menyatunya tulang-
tulang yang fraktur, nekrosa iskemik pada kaki.
2. Metal Spoon Splint (Metasplint): digunakan untuk menyokong cedera pada distal
radius dan ulna, tulang carpus/tarsus, metacarpus/metatarsus, dan phalanges.
Digunakan untuk fiksasi tulang, menurunkan stress fisik, dan mempercepat
persembuhan.
3. Soft Padded Bandages: digunakan ketika tidak perlu ada penekanan yang berlebihan
pada jaringan. Balutan ini dapat disertakan Mason metasplint, lateral splint, atau
tidak.
4. Spica splints: balutan ini akan membalut kaki yang cedera dan badan sebagai splint
sementara untuk imobilisasi fraktur humerus/femur, atau untuk stabilisasi tulang
setelah dilakukan fiksasi.
5. Ehmer Sling: dapat mencegah beban bobot badan pada tulang pelvis dan kaki
belakang. Umumnya digunakan untuk menyokong hip luxation.
6. Velpeau Sling: digunakan untuk mencegah beban bobot badan dan menstabilkan kaki
depan bagian proksimal. Umumnya digunakan untuk menyokong fraktur scapula atau
medial shoulder luxation.
Manajemen Post-Operasi
- Komunikasi dengan klien tentang perkembangan kondisi hewannya
- Penggunaan metode rehabiltasi fisik yang benar
- Check up pasien dengan teratur
- Pemakaian dan pemeliharaan bandage dan splint agar tidak terjadi komplikasi.
Pembengkakan, kegatalan, dan adanya bau busuk dari bandage harus diperhatikan
dan jika ada, bandage harus segera dilepas. Balutan harus tetap bersih dan kering.
- Radiografi post-operasi untuk melihat perkembangan cedera atau posisi implan
tulang.
- Pembatasan pergerakan pasien (exercise seperti leash walking) dan rehabilitasi
fisik
- Rehabilitasi fisik dilakukan setelah frakturanya sembuh.
DAFTAR PUSTAKA
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgery, 4th edition. Missouri (US): Elsevier
Mosby.
Genton M, Vila T, Olive J, Rossignol F. 2019. Standing MRI for surgical planning of equine
fracture repair. Veterinary Surgery. 48 (8): 1372-1381.
Oryan A, Manazzah S, Sadegh AB. 2015. Reiew bone injury and fracture healing biology.
Biomed Environ Sci. 28(1):57-71.
Sylvestre AM. 2019. Fracture Management for the Small Animal Practicioner. Hoboken
(US): John Wiley & Sons, Inc.
Teachers Pay Teachers. 2018. Bone anatomy diagrams for coloring adn labeling, with
reference and summary. [Internet]. [diunduh pada 04 Agustus 2020].
https://www.teacherspayteachers.com/Product/Bone-Anatomy-Diagrams- for-
Coloring-and-Labeling-with-Reference-and-Summary-5286917
Veterian Key. 2016. Mandibullar and maxillofacial fractures. [Internet]. [diunduh pada 27
Juli 2020]. Tersedia pada: https://veteriankey.com/mandibular-and-maxillofacial-
fractures/
KULIAH 14 FISIOTERAPI
Definisi Umum
Muskuloskeletal
Fisioterapi pada sistem muskuloskeletal biasanya disebut sebagai fisioterapi
konvensional atau tradisional. Fisioterapi ini dilakukan untuk terapi terhadap
trauma jaringan lunak (ruptur ligamen, tendn, dan otot), bursitis, trauma persendian,
fraktur, dan penyakit persendian (cth: Osteochondritis Discecans atau OCD).
Respiratori
Fisioterapi pada sistem respirasi merupakan salah satu prosedur perawatan
darurat pada hewan yang dilakukan pada beberapa prosedur atau tindakan misalnya
Orthopedik
Fisioterapi pada orthopedik biasanya sebagai tindakan rebilitatif setelah
prosedur operasi untuk memaksimalkan tingkat keberhasilan operasi. Fisioterapi
dilakukan dengan penerapan prinsip latihan dan pengurangan beban berat pada
bagian atau area yang telah dioperasi.
Neurologikal
Fisioterapi pada sistem neurologik merupakan tindakan rehabilitatif terhadap
hewan yang mengalami trauma neurologis yang dpat terjadi pada satu tungkai
maupun seluruh badan. Kerusakan neurologis dapat diterapi secara konservatif atau
fisik maupun melalui prosedur operasi. Keruskaan tersebut juga dapat disembuhkan
secara total atau sebagian dengan meninggalkan kerusakan permanen pada berbagai
bagian. Tingkat kerusakan tau banyaknya jaringan syaraf yang rusak menentukan
waktu atau lamanya fisioterapi yang akan dilakukan hingga terjadi perbaikan.
Selain fisioterapi, solusi jangka panjang terhadap kerusakan permanen yang
signifikan juga dibutuhkan seperti pemasangan roda dan sabuk pengaman atau
penyangga untuk mendukung kegiatan hewan sehari-hari.
Geriatrik
Hewan peliharaan saat ini memiliki waktu hidup yang lebih lama sehingga
dapat bertahan hingga umur yang tua. Beberapa permasalahan kesehatan yang
banyak ditemukan pada hewan peliharaan yang tua adalah gangguan pada
persendian yang disertai dengan penyakit co-morbiditi seperti diabetes yang dapat
menyebabkan komplikasi dalam proses rehabilitasi. Fisioterapi dilakukan dengan
melakukan perawatan terhadap pengurangan rasa sakit, latihan, diet penurunan
bobot baan, serta perbaikan terhadap faktor lingkungan.
anjing yang difungsikan sebagai atlet balap lari. Rehabilitasi pada trauma akibat
kegiatan olahraga pada hewan sangatlah penting, mengingat hewan tidak selalu
menunjukkan gejala kepincangan secara langsung jika mengalami kelemahan pada
ototnya, namun, hal ini akan menyebabkan perubahan performa pada hewan.
Gangguan Pertumbuhan
Banyak hewan muda yang memiliki masalah perkembangan secara genetik
pada persendian maupun tulang. Hal ini memerlukan terapi fisik sebagai terapi yang
secara signifikan bermanfaat untuk mendukung peningkatan kekuatan pada
persendian maupun tulang hewan tersebut. Kondisi seperti dislokasi persendian
piggul dan siku paling sering ditemui. Fisioterapi dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup hewan dan mencegah masalah lain atau dapat
menghindarkan hewan dari prosedur operasi relokasi persendian pinggul total.
Keuntungan Fisioterapi
Kontraindikasi Fisioterapi
a. Terapi Dingin
Terapi ini bertujuan mengontrol dan meminimalisir inflamasi yang
terjadi setelah prosedur operasi atau inflamasi akibat trauma fisik. Tubuh
akan merespon trauma melalui aktivasi reaksi inflamasi pada sel. Fase
normal inflamasi pada sel tubuh yang sehat berjalan selama kurang lebih 72
jam. Periode inilah, terapi dingin sangat direkomendasikan untuk
meminimalisir respon inflamasi. Terapi dingin dapat diaplikasikan di area
inflamasi dengan beberapa cara. Cold theraapy gel pack atau bisa
digantikan dengan potongan es batu yang dimasukkan kedalam tas tahan
panas/dingin diletakka pada area inflamasi selama 10-20 menit dan diulagi
setiap 4-6 jam agar lebih efektif. Jika terjadi hipotermia setelah operasi,
maka terapi ini dapat ditunda hingga temperatur hewan kembali normal.
Selain itu, kontraindikasi terapi ini adalah hewan yang megalami
hipersensitivitas terhadap dingin. Perlu perhatian khusus terhadap kondisi
jantung, tekanan darah yang tinggi, dan luka yang terbuka.
b. Terapi Panas
Terapi ini dilakukan pada inflamasi lanjut atau setelah 72 jam paska
trauma dengan pemberian handuk hangat-panas pada area inflamasi 10-20
menit 4-6 kali sehari. Prinsip terapi ini adalah untuk meningkatkan sirkulasi
darah pada area inflamasi dengan meningkatkan vasodilatasi pembuluh
darah sehingga aliran darah pada area inflamasi meningkat sehingga
mempercepat proses persembuhan. Terapi panas dapat digunakan untuk
mengurangi rasa sakit, kekakuan, dan spasmus pada otot. Panas akan
meningkatkan elastisitas jaringan. Kontraindikasi dari terapi ini adalah
trombus/embolisme, hipersensitiv terhadap panas, luka bakar, infeksi, dan
tumor malignan.
d. Elektroterapi
PEME atau yang biasa disebut stimulasi otot secara elektrik berfungsi
untuk mengurangi rasa sakit pada daerah tubuh yang trauma dengan
stimulasi syaraf sensoris. Tehnik ini digunakan untuk mengenbalikan atau
mengurangi atropi pada otot dengan stimulasi serabut syaraf motoris yang
dapat meningkatkan kontraksi otot.
Indikasi terapi ini adalah untuk mencegah atrofi otot pada hewan yang
mengalami kelumpuhan. Terapi ini juga dapat dilakukan sebagai terapi
tambahan preoperasi maupun postoperasi. Sementara itu, kontraindikasi
dari terapi ini adalah hewan yang sedang bunting, luka terbuka, tumor
malignan, gangguan konduksi jantung, operasi laminectomy, hewan
epilepsi, trombosis, serta pada area pharyng dan sinus carotid.
TENS merupakan terapi dengan memanfaatkan gelombang elektrik
berfrekuensi 90-130 Hz untuk menstimulasi serabut saraf besar dalam
aktivasi sistem inhibisi interneuron yang memblkade sinyal pada neuron
proyeksi yang berhubungan dengan otak sehingga terjadi blokade persepsi
rasa sakit.
Hidrotherapi
Actinotherapi/Heliotherapi
(IR). Karakteristik sinar yang dapat digunakan sebagai actinotherapy adalah sinar
yang memiliki daya kimia dalam penyembuhan penyakit.
Sinar ultraviolet dapat memperbaiki kondisi kekakuan, kelelahan, kekakuan
sendi, kebengkakan sendi, dan kekuatan genggaman (grip strength) pada manusia.
Sedangkan sinar infrared diketahui dapat menghilangkan rasa sakit (pain relief),
menghilangkan back pain, dan meningkatkan aliran darah pada daerah yang
diterapi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau di India, actinotherapy
menggunakan sinar infrared dapat menghilangkan rasa sakit lebih efektif
dibandingkan dengan sinar ultraviolet.
DAFTAR PUSTAKA
Carver D. 2016. Practical Physiotherapy for Veterinary Nurses. Oxford (UK): John
Willey and Sons.
Choudhary CK, Sharma AK, Gupta MK. 2018. Clinical and physical evaluation of
infrared and ultraviolet treatment in arthritic buffalo calves. Buffalo Buletin.
37(3): 411 – 419.
Lindley S, Watson P. 2010. BSAVA Manual of Canine and Feline Rehabilitation,
Supportive, and Palliative Care: Case Studies in Patient Management.
Quedgeley (UK): British Small Animal Veterinary Association.
Prydie D, Hewitt I. 2015. Practical Physiotherapy for Small Animal Practice.
Oxford (UK): John Willey and Sons.