Anda di halaman 1dari 169

Modul

Ilmu bedah
umum
veteriner
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 1 PRINSIP BEDAH ASEPTIS, STERILISASI, DAN


DESINFEKSI

Infeksi sekunder merupakan salah satu komplikasi prosedur bedah yang sangat
beresiko terjadi dan tentunya sulit untuk ditangani. Infeksi sekunder ini dapat terjadi
pada saat bedah, atau pada saat dirawat. Penting bagi dokter hewan, paramedik, serta
staf lainnya untuk memastikan infeksi sekunder tidak terjadi. Teknis bedah aseptis
dan steril merupakan cara untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi sekunder pada
saat bedah. Asepsis adalah kondisi dimana tidak ada mikroorganisme patogen, steril
merupakan kondisi bebas dari segala macam mikroorganisme. Maka dari itu teknik
sterilisasi merupakan teknik untuk ruang bedah, sementara prinsip aseptis digunakan
untuk seluruh rumah sakit.

Transmisi Mikroorganisme

Sumber mikroorganisme di suatu rumah sakit hewan adalah staf rumah sakit,
alat-alat yang terkontaminasi dan lingkungan. Transmisi dari staf rumah sakit dapat
melalui udara (airborne), droplet, dan kontak langsung. Transmisi kontak langsung
merupakan transmisi yang paling sering terjadi, berbeda dengan transmisi airborne dan
droplet, karena rendahnya kasus reverse zoonosis (transmisi penyakit dari manusia
kepada hewan).

Sumber Kontaminasi:
1. Hewan : Sumber mikroorganisme dari hewan termasuk kulit dan rambut,
nasofaring, dan ‘lubang’ lainnya seperti vulva atau anus.
2. Benda mati : Sumber utama mikroorganisme dari benda mati adalah fomites
dan udara. Fomites adalah segala benda mati yang dapat membawa
mikroorganisme infeksius. Fomites mencakup struktur bangunan rumah sakit
seperti dinding dan lantai, perabot, peralatan, implant, dan peralatan kebersihan.
Udara/airborne mengandung banyak sekali pratikel yang dapat berupa
mikroorganisme. Mikroorganisme dari udara 80-90% dapat menyebabkan
kontaminasi mikroba di luka operasi.

Prinsip Teknik Aseptis

Prinsip teknik aseptis pada rumah sakit, lab, dan ruang bedah merupakan salah
satu prinsip yang digunakan untuk meminimalisir terjadinya infeksi sekunder ketika

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

operasi. Tujuan prinsip ini adalah untuk meminimalisir sumber kontaminasi dan untuk
menghambat transmisi mikroorganisme.

Teknik Sterilisasi
Seluruh prosedur operasi dilakukan dalam kondisi steril dan teknik sterilisasi
merupakan cara untuk mewujudkan kondisi tersebut. Hal ini bertujuan mencegah
transmisi mikroorganisme ke dalam tubuh ketika operasi atau prosedur invasif lain.
Prinsip sterilisasi mencakup:
1. Hanya menggunakan alat steril di dalam lingkungan yang steril
2. Personil yang steril harus menggunakan baju operasi (gown) dan sarung tangan
yang steril
3. Personil yang steril harus melakukan prosedur bedah di dalam lingkungan steril
(personil steril hanya dapat memegang alat steril di dalam area steril, dan
sebaliknya untuk yang tidak steril)
4. Kain duk steril digunakan untuk menciptakan area steril
5. Semua alat yang digunakan di area steril harus disterilisasi
6. Semua alat yang dibawa ke area steril harus dibuka, dibagikan, dan/atau
dipindahkan dengan prosedur yang dapat menjaga sterilitas dan integritas alat
7. Area steril harus selalu dijaga dan dimonitor
8. Staf bedah harus dilatih untuk mengetahui ketika mereka telah merusak prinsip
ini dan bagaimana mengatasinya

Tabel 1 Peraturan umum teknik bedah aseptis


Peraturan Alasan
Anggota tim bedah harus tetap ada di dalam Pergerakan keluar dari area steril dapat
area steril menyebabkan kontaminasi silang
Berbicara seminimal mungkin Berbicara dapat mengeluarkan ludah yang
mengandung bakteri
Pergerakan di dalam ruang bedah Pergerakan di ruang operasi dapat
diminimalisir; hanya anggota yang menyebabkan aliran udara yang berantakan,
berkepentingan yang dapat memasuki ruang sehingga dapat menyebabkan kontaminasi
operasi silang
Anggota yang tidak steril tidak boleh Debu, kain, atau benda pembawa bakteri
memasuki area steril kontaminasi dapat jatuh ke area steril
Anggota steril menghadap satu sama lain dan Bagian punggung anggota dianggap tidak
area steril selama operasi berlangsung steril walaupun sudah menggunakan baju
operasi
Alat yang digunakan saat bedah harus Alat yang tidak steril dapat menjadi sumber
disterilisasi kontaminasi silang
Anggota steril hanya menggunakan dan Anggota dan alat yang tidak steril dapat
memegang alat steril, dan begitu juga menjadi sumber kontaminasi silang
sebaliknya

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Kalau sterilitas suatu benda dipertanyakan, Benda tidak steril dan yang terkontaminasi
maka benda tersebut dianggap sudah dapat menjadi sumber kontaminasi silang
terkontaminasi
Meja steril hanya steril pada permukaan Benda yang menggantung di ujung meja
meja dianggap tidak steril karena benda tersebut di
luar dari pengawasan operator
Baju operasi adalah steril dari pertengahan Bagian belakang baju operasi tidak dianggap
dada hingga pinggang dan dari ujung jari steril
sarung tangan hingga 5 cm di atas sikut
Kain yang menutupi alat di atas meja atau Kelembaban dapat membawa bakteri dari
pasien harus tahan dari kelembaban permukaan yang tidak steril ke area steril
Ketika benda steril menyentuh ujung dari Ketika dibuka, segel dari kemasan tidak
segel kemasan benda tersebut ketika dibuka, steril lagi
maka benda tersebut dianggap
terkontaminasi
Benda steril di dalam kemasan yang rusak Kontaminasi dapat terjadi dari kemasan yang
atau basah dianggap terkontaminasi rusak atau dari kelembaban yang memasuki
kemasan tersebut
Tangan tidak boleh dilipat ke arah ketiak dan Bagian sekitar ketiak baju operasi dianggap
harus diposisikan di depan tubuh, di atas tidak steril
pinggang
Apabila anggota operator memulai operasi Area bedah yang steril hany dari tinggi
dengan posisi duduk, maka anggota harus permukaan meja hingga dada anggota
tetap duduk hingga prosedur operasi telah operator; pergerakan duduk-berdiri ketika
selesai operasi dapat menyebabkan kontaminasi
silang

Tingkatan sterilitas dan desinfeksi


1. Kritis: Alat atau implan yang memasuki tubuh di bawah kulit atau membran
mukosa. Alat-alat ini memiliki resiko tinggi untuk mentransmisikan
mikroorganisme apabila terkontaminasi. Alat-alat ini harus disterilisasi.
(Contoh: alat-alat bedah, kateter, jarum, implan, dsb)
2. Semikritis: Alat yang memiliki kontak langsung dengan kulit atau membran
mukosa hanya untuk prosedur operasi tanpa memasuki tubuh. Alat-alat ini
harus disterilisasi atau didesinfeksi menggunakan desinfektan tingkat tinggi.
(Contoh: vaginoskop, laringoskop, ETT, dsb)
3. Tidak Kritis: Alat yang memiliki kontak dengan membran mukosa dan/atau
kulit yang tidak berhubungan dengan prosedur operasi. Alat-alat ini dapat
didesinfeksi menggunakan desinfektan tingkat rendah. (Contoh: stetoskop)

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Desinfeksi dan Desinfektan

Desinfeksi merupakan proses untuk menghancurkan mikroorganisme patogen.


Desinfeksi dilakukan menggunakan zat-zat desinfektan yang beragam dan dapat
dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Desinfektan tingkat tinggi, yang dapat membunuh semua mikroorganisme
kecuali spora bakteri dalam jumlah banyak
2. Desinfektan tingkat sedang, yang tidak akan membunuh spora bakteri.
3. Desinfektan tingkat rendah, akan membunuh sebagian besar bakteri vegetatif,
dan beberapa fungi serta virus.

Glutaraldehid
Desinfektan tingkat tinggi, yang sangat umum digunakan. Zat ini memiliki
efisiensi yang cukup terhadap spora bakteri, tetapi harus dalam paparan waktu lama.
Zat ini bersifat asam di larutan aqueous, sehingga harus dibuat menjadi lebih basa agar
efisiensinya meningkat. Glutaraldehid bersifat iritan terhadap saluran pernapasan dan
menurunkan fungsi paru. Formulasi glutaraldehid dapat berupa glutaraldehyde-
phenol-sodium, potentiated acid glutaraldehyde, dan stabilized alkaline
glutaraldehyde. Zat ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga tidak terlalu
efektif apabila digunakan pada alat-alat yang tidak kritis.

Ortho-phthalaldehyde (OPA)
Zat ini tidak terlalu iritan dan lebih efisien tanpa harus menyesuaikan pH. Zat
ini dapat mewarnai kulit dan jaringan.

Formaldehid (formalin)
Zat ini tersedia dalam larutan aqueous 37%. Formalin memiliki efisiensi yang
lebih rendah daripada glutaraldehid. Formalin juga berupa zat karsinogenik, sehingga
jarang digunakan untuk tujuan bedah.

Hidrogen peroksida
Zat ini merupakan desinfektan yang efektif terhadap sebagian besar
mikroorganisme. Mekanisme kerja zat ini adalah menghasilkan radikal bebas hidroksil
untuk mengganggu membrane dan asam nukleat. Konsentrasi hidrogen peroksida yang
tersedia di dalam pasaran tidak cukup untuk menghasilkan aktivitas antimikrobial.
Konsentrasi yang cukup efisien sebagai desinfektan adalah 7.5%. Zat ini merupakan
zat yang toksik terhadap membrane mukosa dan dapat melunturkan warna beberapa
metal.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Oxidizing agent peracetic acid


Zat ini memiliki efisiensi antimikrobial yang baik akan tetapi tidak stabil,
sehingga efikasi zat ini hanya mencapai 6 hari. Beberapa asam perastetat yang
dipasarkan bukan merupakan asam asetat yang toksik. Beberapa asam parasetat yang
tersedia di pasaran juga dikombinasikan dengan hydrogen peroksida yang
menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi.

Teknik Sterilisasi

Sterilisasi adalah proses untuk menghancurkan seluruh mikroorganisme


(bakteri, virus, spora, fungi, dan prion) pada suatu objek. Sterilisasi dapat dilakukan
secara kimia atau fisik. Berikut beberapa tipe sterilisasi.

Liquid Chemical Germicides (Sterilisasi dingin)


Sterilisasi ini merupakan proses merendam alat di dalam desinfektan (umumnya
desinfektan cair) untuk mencapai level mikroba yang dapat diterima. Proses ini harus
dilanjutkan dengan pembilasan kembali dengan air mengalir.

Sterilisasi uap
Sterilisasi uap dapat membunuh mikroorganisme dengan cara koagulasi dan
denaturasi protein. Air berperan sebagai katalis terhadap reaksi kimia yang terlibat
dalam perusakan protein. Panas dipindahkan dari uap dengan proses kondensasi,
sehingga panas yang dihasilkan akan lembab. Sterilisasi uap memiliki keuntungan
yaitu relative murah, efisien (termasuk terhadap spora bakteri), tidak toksik, dan efektif
untuk material alat yang beragam. Mesin sterilisasi uap (autoklaf) beroperasi dengan
adanya keseimbangan antara uap, tekanan, suhu, dan waktu paparan uap. Tekanan
digunakan agar proses ini dapat terjadi di suhu yang tinggi. Terdapat tiga tipe sterilisasi
uap, yaitu:
1. Gravity-displacement sterilizer
Mesin autoklaf yang umumnya digunakan adalah gravity-displacement
sterilizer. Mesin ini menghasilkan uap dalam tekanan. Uap ini akan lebih ringan
daripada udara, sehingga akan tetap berada di bagian atas mesin dan
mengeluarkan udara dari katup di dasar mesin. Suhu yang umumnya digunakan
adalah 121℃ dalam 30 menit waktu paparan dan 15 hingga 30 menit untuk
pengeringan. Suhu lainnya adalah 132℃ dalam 15 menit waktu paparan dan 15
hingga 30 menit untuk pengeringan.
2. Prevacuum sterilizer
Mesin lainnya yang digunakan adalah tipe prevacuum. Mesin ini
memiliki fungsi yang serupa dengan yang sebelumnya, tetapi mesin ini

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

menggunakan pompa untuk mengeluarkan udara sebelum uap dihasilkan. Hal


ini menyebabkan uap terdistribusi di dalam mesin dengan cepat dan seragam.
3. Flash Sterilizer
Flash sterilization merupakan proses sterilisasi yang sangat cepat.
Proses ini dilakukan untuk waktu yang terdesak, alat yang disterilisasi
menggunakan proses ini langsung dapat digunakan dalam kondisi sudah steril.
Proses ini menggunakan autoklaf uap yang telah deprogram untuk
menggunakan suhu yang tinggi dan waktu yang lebih pendek, yaitu 135℃
dalam waktu paparan 3 menit, dan pengeringan 1 menit.
Barang-barang di dalam ruang mesin akan tersterilisasi dari uap yang kontak
langsung pada permukaan ketika uapnya secara alami mengisi ruang dari atas ruang.
Maka dari itu, barang seperti mangkuk harus diposisikan terbalik agar tidak
memerangkap udara dingin dan menggagalkan proses sterilsasi. Pada umumnya, pak
alat yang besar, dan juga kain akan memerlukan waktu sterilisasi lebih lama.
Pintu mesin sterilisasi tidak boleh dibiarkan terbuka ketika waktu pengeringan
karena dapat mengganggu proses sterilisasi. Beberapa alat tajam, bubuk, dan material
gelas dapat rusak akibat kelembaban uap di mesin autoklaf.

Sterilisasi Kimia: Ethylene oxide (EtO)


Sterilisasi kimia menggunakan gas EtO dilakukan dalam suhu yang rendah. EtO
merupakan zat yang tidak berwarna dan tidak memiliki bau dengan titik didih 10.5℃.
Mekanisme kerja dari proses ini adalah dengan alkilasi protein dan asam nukleat,
sehingga dapat merusak metabolisme dan reproduksi sel. EtO merupakan zat yng
toksik karena bersifat karsinogenik, mutagenik, dan neurotoksik, sehingga keamanan
dalam menggunakan zat ini perlu diperhatikan.
Metode ini digunakan untuk alat-alat yang tidak dapat disterilisasi menggunakan
uap (karena tidak dapat terpapar panas). EtO merupakan zat yang mudah terbakar,
sehingga pada umumnya dikombinasikan dengan karbon dioksida atau
hidrokloroflorokarbon. Penggunaan karbon dioksida akan lebih murah dan memiliki
toksisitas yang rendah, tetapi akan membutuhkan siklus waktu yang lebih lama karena
tekanan uap dari karbon dioksida sangat berbeda dengan EtO.
EtO akan menyebar di dalam ruang sterilisasi, sehingga penataan alat di dalam
mesin tidak terlalu diperhatikan, dibandingkan dengan menggunakan gravity-
displacement autoclave, tetapi pak alat tetap harus ditata dengan diberi jarak. Material
gelas tidak dapat disterilisasi menggunakan metode ini karena gelas dapat menghambat
penetrasi EtO. Mesin sterilisasi EtO mengatur konsentrasi gas, suhu, kelembaban, dan
waktu.

Sterilisasi plasma
Proses sterilisasi ini menggunakan energi elektromagnetik untuk menciptakan
fase plasma dari uap hidrogen peroksida, oksigen, atau asam perasetat/campuran

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

hidrogen peroksida. Mekanisme kerja metode ini adalah plasma yang mengandung
produk reaktif seperti radikal bebas yang akan men-deaktivasi proses selular.
Mesin sterilisasi plasma bekerja secara cepat dan efektif, tetapi relatif mahal.
Mesin ini berguna untuk barang-barang yang sensitif terhadap kelembaban dan panas,
tetapi tidak boleh digunakan untuk kain, cairan, atau material kayu.

Sterilisasi radiasi
Proses sterilisasi ini menggunakan iradiasi gamma. Penggunaan metode ini
sangat jarang karena mesin yang digunakan sangat mahal dan memiliki regulasi
keamanan untuk penggunaannya. Barang-barang yang dapat disterilisasi menggunakan
metode ini adalah benang jahit, dan beberapa implan. Akan tetapi, terdapat resiko
kerusakan oksidatif untuk implan dari materi polietilen, dan juga kerusakan obat-
obatan serta bone graft.

Indikator Sterilisasi

Penting untuk mengetahui dan memantau efisiensi dari sterilisasi. Operator dan
staf perlu mencatat adanya komplikasi dan infeksi sekunder, serta menggunakan
monitor sterilisasi. Monitor tersebut dapat berupa fisik, kimia, atau biologis. Indikator
fisik berkaitan dengan metode dan mesin sterilisasi yang digunakan dan membutuhkan
hasil grafik yang membuktikan waktu dan suhu yang dicapai saat sterilisasi.
Indikator kimia akan bereaksi terhadap parameter spesifik yang kritis pada
proses sterilisasi dengan indicator perubahan warna. Secara umum, indikator kimia
akan mengonfirmasi apakah kondisi sterilisasi telah dicapai, tetapi indikator ini tidak
dapat memastikan bahwa isi pak barang-barang telah tersterilisasi seutuhnya.
Indikator biologis merupakan indikator yang paling baik untuk mengetahui
apakah protokol sterilisasi sudah efektif. Monitor ini menggunakan kultur
mikroorganisme yang dievaluasi setelah proses sterilisasi. Secara ideal, monitor ini
dilakukan satu kali dalam satu minggu, namun monitor ini lebih mahal daripada
monitor yang lain dan perlu waktu yang lebih lama untuk dievaluasi kulturnya.

Penyimpanan Barang Steril

Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi lamanya kondisi steril suatu
barang, yaitu aliran udara, suhu, kelembaban, dan paparan terhadap lingkungan. Pak
barang yang steril harus disimpan di dalam lingkungan dimana aliran udara, suhu, dan
kelembabannya telah diatur. Tempat penyimpanan harus kering dan terhindar dari sinar
matahari langsung, jauh dari sumber panas, dan bebas debu.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Suhu lingkungan tempat penyimpanan juga tidak boleh melebihi 24℃,


kelembaban tidak boleh melebihi 70%, dan harus ada empat kali aliran udara di dalam
satu jam dengan tekanan udara positif. Tempat penyimpanan yang direkomendasikan
untuk pak barang dan alat bedah yang steril adalah di kabinet tertutup.

DAFTAR PUSTAKA

Fossum TW. 2013. Small Animal Surgery 4th Edition. Missouri (US): Elsevier Mosby.
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery: Small Animal 2nd Volume.
Missouri (US): Elsevier Saunders.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 2 PENGENALAN PERALATAN BEDAH

Peralatan bedah atau instrumen bedah, merupakan alat yang digunakan oleh
dokter dalam melakukan tindakan pembedahan. Instrumen bedah merupakan
elemen penting yang dapat memengaruhi kelancaran dan keberhasilan
pembedahan. Persyaratan penting yang harus ada pada alat bedah apapun adalah
kemampuan untuk melakukan fungsinya dengan efisien dan presisi (tepat sasaran).
Dalam pengenalan alat bedah ini akan dijelaskan beberapa alat bedah yang umum
digunakan pada dunia kedokteran hewan.

Instrumen Dasar (Basic Instruments)

Scalpel
Scalpel merupakan handel untuk memasangkan pisau bedah. Terdapat dua
jenis handel scalpel yaitu nomor #3 dan #4. Handel scalpel nomor #3 yang biasa
digunakan pada operasi hewan kecil, merupakan handel untuk pisau nomor 10, 11,
12, dan 15. Sedangkan handel scalpel nomor #4 digunakan untuk pisau nomor 20
sampai 25 (Lihat Gambar 1). Penggunaan scalpel untuk melakukan insisi pada
jaringan dengan trauma yang lebih minimal dibandingkan dengan insisi
menggunakan gunting.

Gambar 1 Handel scalpel nomor #3 dapat digunakan untuk mata pisau nomor 10,
11, 12, dan 15; handel scalpel nomor #4 digunakan untuk pisau nomor
20, 21, 22, dan 23

Terdapat kegunaan khusus pada setiap tipe blade. Mata pisau (blade) nomor
10 merupakan scalpel yang umum digunakan untuk insisi secara umum. Mata pisau
nomor 11 untuk tendotomy, nomor 12 berfungsi untuk membuka abses, sedangkan
mata pisau nomor 15 berguna untuk melakukan diseksi tipis.
Handel scalpel nomor #3 versi yang lebih panjang digunakan untuk operasi
di dalam rongga dada, sedangkan handel scalpel khusus berbentuk bundar (Beaver
scalpel handle) digunakan pada operasi mata (Gambar 2).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 2 Beaver surgical knife dan pisau bedah Beaver nomor 64 dan 67

Terdapat tiga tipe scalpel dan blade berdasarkan reusability-nya, yaitu scalpel
yang baik handle maupun pisaunya disposable, scalpel dengan handle yang
reusable dan pisau disposable, dan juga scalpel yang baik handle maupun pisaunya
reusable (dapat digunakan kembali).

Gambar 3 Disposable scalpel

Gambar 4 Scalpel dengan reusable handle dan disposable blade

Gambar 5 Reusable scalpel

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Scissor
Scissor atau gunting operasi terbagi berdasarkan jenis bagian ujung, ukuran,
dan bentuk gunting. Berdasarkan bagian ujungnya, gunting terbagi menjadi sharp-
sharp, sharp-blunt, dan blunt-blunt. Berdasarkan bentuknya, gunting dibagi
menjadi gunting lurus (straight) dan gunting bengkok (curved). Berdasarkan
ukuran atau rasio antara handle dengan blade, gunting terbagi menjadi gunting
Mayo dan Metzenbaum.
Gunting lurus (straight) biasa digunakan untuk memotong jaringan yang
berada di permukaan. Gunting bengkok (curved), dapat digunakan untuk
menjangkau jaringan yang terletak lebih dalam (Gambar 3).

Gambar 6 Gunting bengkok (curved) dan gunting lurus (straight)

Berdasarkan ukuran atau rasio antara handle dan blade-nya, gunting dibagi
menjadi Mayo dan Metzenbaum. Gunting Mayo memiliki blade yang tebal dan
ukuran blade mencapai 1/3 dari panjang keseluruhan gunting. Jenis gunting Mayo
ini umumnya digunakan untuk menggunting jaringan yang tebal seperti fascia.
Sedangkan gunting Metzenbaum memiliki mata pisau yang tipis dan halus, ukuran
blade hanya ¼ dari ukuran gunting keseluruhan. Gunting jenis ini digunakan untuk
memotong jaringan yang lunak atau halus seperti jaringan subkutan (Gambar 4).

Gambar 7 Gunting Metzenbaum (kiri) dan gunting Mayo (kanan)

Berdasarkan bagian ujungnya, terdapat tiga jenis gunting yaitu sharp-sharp,


sharp-blunt, dan blunt-blunt. Gunting sharp-sharp bersifat traumatis terhadap
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

jaringan yang berada di sekitar bagian yang digunting. Gunting sharp-blunt


digunakan untuk menggunting jaringan atau memperluas sayatan dengan tidak
melukai jaringan di bawahnya. Sedangkan gunting dengan jenis blunt-blunt
memungkinkan untuk menggunting jaringan dengan atraumatis terhadap jaringan
di atas maupun bawahnya.

Gambar 8 Gunting sharp-sharp, sharp-blunt, blunt-blunt

Selain jenis-jenis gunting yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa


jenis gunting lainnya yang khusus sesuai fungsinya. Salah satu contoh gunting
khusus adalah Lister bandage scissor yang memiliki fungsi untuk menggunting
bandage atau kassa. Potts-Smith scissor merupakan gunting yang berbentuk sudut
yang umum digunakan pada prosedur bedah kardiovaskular.

Gambar 9 Lister bandage scissor

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tissue Forceps
Tissue forceps termasuk ke dalam grasping instruments yaitu peralatan yang
berfungsi untuk menggenggam atau memegang jaringan. Terdapat beberapa jenis
tissue forceps, yaitu:
a. Crushing tissue forceps
Crushing tissue forceps bersifat traumatis, umumnya memiliki gerigi di
ujungnya dan terdapat gerigi untuk mengunci forceps di bagian handle. Jenis
forceps ini disarankan digunakan pada jaringan yang akan dieksisi. Beberapa
jenis crushing tissue forceps yang sering ditemui adalah right angle forceps,
Babcock tissue forceps, Allis tissue forceps, dan Ochsner-Kocher forceps.
Right angle forceps umum digunakan saat melakukan diseksi pada
jaringan. Babcock, Allis, dan Ochsner-Kocher tissue forceps digunakan untuk
mencengkram atau memegang jaringan dengan trauma yang minimal.

Gambar 10 Babcock tissue forceps

Gambar 11 Allis tissue forceps

Payr pylorus clamp merupakan forceps yang digunakan untuk menahan


bagian usus yang akan dibuang (dipotong). Sifat dari forceps ini adalah
traumatis dan memiliki gigi yang tajam di bagian ujungnya.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 12 Payr pylorus clamp


b. Non-crushing tissue forceps
Forceps jenis ini memiliki sifat atraumatis terhadap jaringan. Contoh dari
forceps yang termasuk ke dalam golongan non-crushing tissue forceps
diantaranya adalah Doyen intestinal forceps dan Cooley and DeBackey
forceps.

Gambar 13 Doyen intestinal forceps (A) dan DeBakey forceps (B)

Sponge tissue forceps merupakan forceps yang berguna untuk memegang


viscera dan VU secara atraumatis. Gerigi yang dimiliki forceps ini sangat
halus sehingga memungkinkan untuk menahan jaringan halus dalam waktu
yang lama tanpa menimbulkan trauma.

Gambar 14 Sponge tissue forceps

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

c. Hemostatic forceps
Forceps berfungsi untuk menjepit dan menahan pembuluh darah.
Hemostatic forceps diberi nama berdasarkan penemunya yaitu Halsted
mosquito, Kelly, dan Crile hemostatic forceps. Terdapat beberapa jenis
hemostat, berdasarkan tipe ujungnya terdapat straight hemostatic forceps dan
curved hemostatic forceps; berdasarkan ukuran dan tingkat kehalusan
geriginya terdapat Mosquito hemostatic forceps dan Kelly hemostatic
forceps; berdasarkan bentuk ujungnya terdapat hemostat yang memiliki gigi
tajam di ujungnya (rat-tooth hemostatic forceps) dan hemostat yang tidak
memiliki gigi tajam di ujung.

Gambar 15 Kelly hemostatic forceps (kiri) dan Mosquito hemostatic


forceps (kanan)

Gambar 16 Straight dan Curved hemostatic forceps (kiri) Rat-tooth


hemostatic forceps (kanan)

Hemostat yang memiliki fungsi khusus diantaranya Rochester-Carmalt


hemostatic forceps yang sering digunakan untuk operasi ovariohisterektomi.
Hemostat ini memiliki arah gerigi longitudinal dengan gerigi menyilang di
bagian ujungnya.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 17 Rochester-Carmalt hemostatic forceps

d. Thumb forceps
Thumb forceps umumnya berbentuk lurus, dengan bagian pegangan yang
bergerigi agar tidak licin. Terdapat forceps yang memiliki gigi di ujungnya
(rat-tooth thumb forceps) dan tidak bergigi. (dressing thumb forceps). Fungsi
dari thumb forceps adalah untuk memegang jaringan secara tidak permanen.
Jenis-jenis thumb forceps khusus yang sering digunakan antara lain adalah
Brown-Adson, DeBakey, dan Adson thumb forceps.
Rat-tooth thumb forceps memiliki gigi dibagian ujung untuk
mencengkram jaringan yang tebal dan keras. Bersifat traumatis sehingga
tidak dapat digunakan untuk jaringan yang halus.

Gambar 18 Rat-tooth thumb forceps

Adson thumb forceps memiliki gerigi kecil di bagian ujungnya. Fungsi


dari forceps ini adalah untuk memegang sementara jaringan yang halus secara
atraumatis.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 19 Adson thumb forceps

Brown-Adson thumb forceps memiliki ujung penjepit yang kasar dapat


digunakan untuk menjepit jaringan dan juga sebagai pegangan saat menjahit.
Forceps ini sering digunakan pada saat proses penjahitan dan penutupan luka.

Gambar 20 Brown-Adson thumb forceps

DeBakey vascular thumb forceps memiliki ujung penjepit yang kecil dan
gerigi yang halus. Forceps ini digunakan untuk memegang vaskular dan
jaringan-jaringan yang halus karena memiliki sifat atraumatis.

Gambar 21 DeBakey vascular thumb forceps

Russian thumb forceps memiliki ujung yang berbentuk bulat dan


melengkung. Sifat forceps ini adalah traumatis karena geriginya tajam
sehingga mampu melukai jaringan seperti otot. Forceps ini baik digunakan
untuk memegang jarum.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 22 Russian thumb forceps

e. Towel clamps
Towel clamps merupakan alat yang digunakan untuk memfiksasi kain
penutup area bedah dengan kulit. Terdapat dua tipe towel clamp yaitu
penetrating dan non-penetrating towel clamp. Tipe penetrating memiliki
ujung yang tajam dan lebih bersifat traumatis pada jaringan dibandingkan
dengan tipe non-penetrating. Contoh penetrating towel clamp adalah
Backhaus towel clamp sedangkan contoh non-penetrating towel clamp adalah
Lorna towel clamp.

Gambar 23 Backhaus towel clamp (tipe penetrating)(A) dan Lorna towel


clamp (tipe non-penetrating)(B)

Retractor
Retractor merupakan alat yang digunakan untuk menarik dan menahan
jaringan. Terdapat dua jenis retractor yaitu hand-held retractor dan self-retaining
retractor.
a. Hand-held retractor
Digunakan untuk menguakkan jaringan agar wilayah operasi terlihat
jelas. Penggunaan jenis retractor ini memerlukan asisten operasi karena harus
dipegang.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Senn retractor merupakan retractor yang berbentuk lurus memanjang


dengan dua ujung yang berbeda. Ujung satunya merupakan blunt tip yang
bersifat atraumatis dan digunakan untuk menahan jaringan yang halus.
Sedangkan ujung lainnya merupakan sharp tip yang bersifat traumatis dan
digunakan untuk menahan jaringan yang keras atau fascia yang tebal.

Gambar 24 Senn retractor

Hohhman retractor merupakan retractor yang biasa digunakan pada


operasi ortopedik. Retractor ini memiliki ujung yang lancip berfungsi untuk
memisahkan jaringan yang menutupi tulang.

Gambar 25 Hohhman retractor

b. Self-retaining retractor
Self-retaining retractor memiliki satu atau dua lengan yang terletak pada
satu bidang geser. Fungsi dari self-retaining retractor adalah untuk menahan
jaringan yang menghalangi daerah operasi secara permanen. Contoh dari self-
retaining retractor adalah Finochietto retractor, Gelpi retractor, dan
Weitlaner retractor. Finochietto retractor umum digunakan untuk menahan
tulang rusuk pada operasi di daerah dada.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

A B

Gambar 26 Finochietto retractor (A), Gelpi retractor (B), dan Weitlaner retractor
(C)

Needle holder
Merupakan alat yang digunakan untuk memegang jarum pada saat proses
penjahitan. Terdapat beberapa jenis needle holder yang umum digunakan pada
operasi, yaitu Mayo-Hegar, Olsen-Hegar, dan Mathieu needle holder.
Mayo-Hegar needle holder merupakan needle holder standar yang tidak
dapat digunakan untuk menggunting. Olsen-Hegar needle holder merupakan
gabungan antara needle holder dan gunting sehingga memiliki fungsi ganda yaitu
untuk memegang jarum sekaligus untuk menggunting benang jahit. Akan tetapi,
pada proses penggunaan Olsen-Hegar needle holder, terkadang operator kesulitan
melakukan pengguntingan dikarenakan posisi gunting yang berada di belakang
bagian needle holder. Mathieu needle holder merupakan needle holder yang hanya
berfungsi untuk memegang jarum jahit seperti Mayo-Hegar needle holder. Bentuk
dari Mathieu needle holder membuat proses penguncian dan pembukaan kunci
menjadi lebih mudah dilakukan.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

A B

C
Gambar 27 Mayo-Hegar needle holder (A), Mathieu needle holder (B), dan
Olsen-Hegar needle holder (C)

Instrument Ortopedi (Orthopedic instruments)

Rongeurs
Rongeurs termasuk ke dalam grasping instruments yaitu peralatan yang
berfungsi untuk memegang atau menjepit jaringan. Fungsi dari rongeurs adalah
untuk menjepit dan memotong bagian kecil dari organ yang keras seperti tulang,
tulang rawan, atau jaringan ikat.

Gambar 28 Rongeurs

Bone-Holding Forceps
Digunakan untuk memegang tulang saat dilakukan proses fiksasi pada tulang
(pemasangan screws, pins, wires, atau plates).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 29 Berbagai tipe bone-holding forceps

Curettes
Berbentuk seperti mangkuk yang berfungsi sebagai bone-cutting instruments
yang digunakan untuk menghancurkan bagian jaringan yang keras seperti tulang
atau tulang rawan.

Gambar 30 Curettes

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Periosteal elevator
Merupakan alat yang digunakan untuk membuka jaringan ikat atau otot yang
menempel pada tulang atau gigi.

Gambar 31 Berbagai jenis periosteal elevator

Osteotome dan Chisels


Merupakan bone-cutting instruments yaitu alat yang digunakan untuk
memotong tulang. Osteotomes memiliki bidang miring di kedua sisi, sedangkan
chisels bidang miringnya hanya di satu sisi sedangkan sisi satunya lurus. Kedua alat
ini digunakan bersamaan dengan mallet (martil).

Gambar 32 Chisels (A) dan Osteotomes (B)

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Cara Memegang Instrumen Bedah

Cara memegang Thumb Forceps


Thumb forceps dipegang seperti memegang pensil (Gambar 33). Selama
pembedahan berlangsung, dressing thumb forceps sebaiknya tidak dilepas tetapi
tetap dipegang dengan dijepit menggunakan jari manis dan kelingking (Gambar
34).

Gambar 33 Cara memegang thumb forceps yang benar

Gambar 34 Cara memegang thumb forceps saat tidak dipakai saat pembedahan

Cara memegang scissors dan hemostatic forceps


Pada saat memegang scissors dan hemostat, jari tidak boleh masuk lebih dari
satu phalanx. Jari yang dimasukkan ke dalam bagian ring handle adalah ibu jari dan
jari manis. Jari telunjuk dan jari tengah digunakan untuk mengarahkan instrument.

Gambar 35 Cara memegang scissor dan hemostatic forceps yang benar

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Untuk membuka kunci hemostatic forceps dengan tangan kanan, posisi


tangan sama dengan posisi memegang forceps lalu gerakan membuka dilakukan
dengan menekan ibu jari dan jari manis yang berada di dalam ring handle ke arah
yang berlawanan. Untuk membuka kunci hemostatic forceps menggunakan tangan
kiri, dilakukan tanpa memasukan jari ke dalam ring handle tetapi dengan
meletakkan ibu jari di atas ring dan jari manis di bawah ring satunya lalu dilakukan
gerakan menekan ke arah berlawanan oleh ibu jari dan jari manis.

A B
Gambar 36 Posisi tangan kanan (A) dan tangan kiri (B) pada saat membuka
kunci hemostatic forceps.

Cara memegang scalpel dan bistouri


Scalpel dipegang seperti memegang pisau. Jari telunjuk diletakkan di atas
pisau untuk mengatur kedalaman insisi. Bagian pisau yang digunakan untuk insisi
adalah bagian perut blade bukan menggunakan bagian ujungnya. Ibu jari dan
telunjuk tangan kiri digunakan untuk membantu fiksasi kulit dan membantu
meregangkan kulit agar insisi mudah dilakukan (Gambar 37).

Gambar 37 Cara memegang scalpel dengan baik dan benar

Bistouri dipegang seperti memegang pulpen. Bagian yang digunakan untuk


menyayat adalah bagian ujung pisau. Pada proses penyayatan, pisau lebih diarahkan
vertikal dan jari kelingking tangan yang memegang pisau digunakan untuk fiksasi
posisi pisau (Gambar 38).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 38 Cara memegang bistouri


Cara memegang needle holder
Needle dipasangkan pada needle holder pada 1/3 bagian pangkal jarum.
Pemasangan jarum dilakukan 1–2 mm dari ujung needle holder. Hal yang perlu
diperhatikan pada saat memasangkan jarum adalah melihat alur gerigi dari needle
holder. Needle harus dipasangkan segaris dengan alur gerigi needle holder agar
jarum terfiksasi dengan baik.

Gambar 39 Alur pemasangan needle pada needle holder

Gambar 40 Needle dipasangkan pada needle holder di 1/3 bagian dari


pangkalnya

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

DAFTAR PUSTAKA

Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery: Small Animal, Volume 1.
Missouri (US): Elsevier Saunders.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 231)

KULIAH 3 PEMELIHARAAN PERALATAN BEDAH, PERSIAPAN


OPERATOR, RUANG OPERASI, DAN AREA OPERASI

Pemeliharaan Peralatan Bedah

Operasi memiliki resiko yang tinggi terhadap infeksi nosokomial pada pasien. Infeksi
tersebut dapat berasal dari ruang operasi, area operasi, peralatan operasi, dan lain sebagainya.
Oleh karea itu, pemeliharaan perlatan bedah bertujuan untuk meminimalisir resiko tersebut.
Seluruh instrumen bedah dan linen (towel, gown bedah, tirai, dll) harus bebas dari
kontaminasi secara menyeluruh. Instrumen harus dibersihkan secara manual atau otomatis
menggunakan peralatan ultrasonik dengan desinfektan yang sesuai sesaat setelah operasi.
Selain itu, linen harus dicuci. Sebelum dilakukan sterilisasi pada peralatan bedah tersebut,
pengemasan merupakan salah satu prosedur penting yang harus dilakukan dengan beberapa
pertimbangan.

Prosedur pengemasan peralatan bedah


Prosedur pengemasan peralatan bedah harus memperhatikan teknik sterilisasi yang
digunakan dan berapa lama peralatan tersebut akan tetap steril hingga digunakan kembali.
Bahan yang digunakan untuk pengemasan juga harus dapat ditembus oleh agen sterilisasi dan
menjaga kesterilan alat setalah sterilisasi. Bahan yang digunakan untuk pengemasan peralatan
harus memiliki disain yang sesuai dengan proses sterilisasi yang digunakan. Sementara itu,
linen hanya dapat disterilisasi dengan metode steam autoclave.

Tabel 1 jenis dan penggunaan bahan kemasan sterilisasi dan metode sterilisasi yang tepat
untuk digunakan
Metode sterilisasi Persyaratan bahan kemasan Bahan yang dapat digunakan
peralatan bedah
Steam autoclave Uap dapat berpenetrasi ke dalam bahan Kertas
Plastik
Kain
Serat kertas pembungkus
Kaset pembungkus berlubang
Sistem kontainer steril
Ethylene Oxide (EtO) EtO harus dapat berpenetrasi ke dalam Polyethylen
bahan (bahan yang tidak dapat Serat kertas pembungkus
digunakan: nilon, polyvinyl chloride,
Plastik
polyvinil alcohol, cellophane, dan
aluminum foil)
Plasma Hydrogen Plasma dan uap plasma harus dapat Polypropylene tyvek nonwoven
Peroxida berpenetrasi ke dalam bahan (bahan yang
tidak dapat digunakan: bahan metal yang
mampu menahan gelombang radio dan
selulosa sehingga bahan dengan serat
katun tidak dapat digunakan)

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 231)

Bahan untuk pengemasan harus sesuai dengan peralatan yang akan disterilisasi.
Contohnya: bahan kemasan bukan kertas digunakan untuk mengemas peralatan yang tajam
karena dapat merusak kemasan kertas, bahan penutup tambahan (staples, paper clip) yang
dapat merusak kemasan tidak boleh digunakan. Bahan pengemas peralatan bedah yang sesuai
untuk semua jenis peralatan bedah adalah sistem kontainer steril. Sistem kontainer steril
berbentuk seperti box dan kaku, terbuat dari bahan yang tahan panas dan uap sterilisasi.
Sistem ini lebih efektif dari sisi waktu dan biaya, serta melindungi sterilitas alat lebih baik
dibandingkan dengan bahan pengemas lain. Selain itu, sistem ini lebih ramah lingkungan
karena tidak memerlukan kemasan disposable atau sekali pakai serta kemasan yang harus
dicuci ulang.

Gambar 1 Sistem kontainer steril. A. Kontainer saat tertutup. B. Kontainer saat terbuka menunjukkan keranjang
dalam dan filter yang dapat diganti pada penutup (sumber: Surgical Direct)

Bahan pengemas yang biasanya digunakan adalah kain muslin. Kain ini memiliki
beberapa kelebihan yaitu, halus, dapat digunakan berulang-kali, murah, absorben yang baik,
dan mudah untuk diletakkan didalam mesin sterilisasi. Namun, karena kain ini merupakan
kain woven, bakteri dapat berpenetrasi ke dalam kain tersebut, sehingga, penggunaan kain ini
berlapis (double muslin layer) dapat meminimalisir kontaminasi pada peralatan bedah setelah
sterilisasi. Saat ini, beberapa kemasan nonwoven dari derivat cellulosa telah dikembangkan
karena lebih efektif sebagai barrier mikoorganisme dan tahan air. Contohnya: polypropylene
dari derivat cellulosa dan SMS yang merupakan campuran serat polyester dan serat kayu.
SMS sangat protektif terhadap kontaminasi mikroorganisme.

Tabel 2 Bahan kemasan berdasarkan jenis peralatan bedah


Jenis peralatan bedah Metode sterilisasi Rekomendasi bahan kemasan
Instrumen stainless steel Uap Muslin
SMS
Woven katun/Polyester
Plastik
Sistem kontainer steril
Instrumen endoscopic Plasma Plasma: SMS, polyester, plastik SMS
Ethylene oxide (EtO) EtO: muslin, SMS, polyester, kertas alumunium,
tyvek/ polimer termoplastik
Syringe kaca atau Uap Uap: plastik SMS
peralatan lain yang Ethylene oxide (EtO) EtO/plasma: kantung SMS, tyvec/polimer
terbuat dari kaca Plasma termoplastik
SMS: Spunbond Meltblown Spunbond

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 231)

Tabel 3 Kelebihan dan kekurangan setiap bahan kemasan


Bahan kelebihan kekurangan Metode Ketahanan
sterilisasi steril
Muslin katun Awet, fleksibel, Butuh pengemasan Uap, EtO 4 minggu
reusable, mudah ganda, berserat
digunakan
Nonwoven/kertas Murah Hanya sekali pakai, Uap, EtO 1 tahun
butuh pengemasan
ganda, mudah rusak,
tidak awet
Nonwoven/ Awet, fleksibel, barier Hanya sekali pakai, Uap, EtO 1 tahun
polypropylene bakteri baik, tahan, butuh pengemasan
bebas serat ganda
Kertas/plastik Awet, tahan air Mudah rusak Uap, EtO 1 tahun
tahan panas
Sistem kontainer Awet, ramah Mahal Uap 6 bulan
steril lingkungan, tahan,
mudah digunakan

Teknik melipat dan mengemas peralatan bedah


Kemasan peralatan bedah harus dilipat dengan benar sehingga mudah untuk dibuka
tanpa menyebabkan alat menjadi tidak steril.

Gambar 2 Teknik melipat kemasan peralatan bedah. A. kain disiapkan dengan peralatan bedah dalam wadah
yang diposisikan di tengah kain (wadah telah dikemas dengan kain lapis pertama). B. Kain yang berada dekat
dengan sisi tubuh dilipat hingga menutupi peralatan. C. Sisi kanan dilipat, selanjutnya sisi kiri secara diagonal.
D. Ujung lainnya dilipat mendekati tubuh dan diselipkan ke dalam lipatan diagonal. E. Peralatan yang diap
untuk disterilisasi (sumber: Small Animal Surgery)

Teknik melipat dan mengemas gown bedah


Gown bedah harus dilipat dengan benar sehingga mudah untuk dibuka tanpa
menyebabkan alat menjadi tidak steril.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 231)

Gambar 3 teknik melipat dan mengemas gown bedah. A. Gown disiapkan dan diletakkan diatas kemasan dengan
bagian luar gown menghadap operator dan bagian dalam gown bersentuhan dengan kemasan. B. Sisi gown yang
terdekat dengan operator dilipat ketengah, lalu pada sisi terjauh juga dilipat ke tengah. C. Gown dilipat menjauhi
operator membagi dua titik tengah. D. Gown dilipat dengan tiga lipatan dengan kerah berada di lipatan luar. E.
Susun gown dengan towel yang akan digunakan (urutan susunan lengkap dari bawah ke atas: gloves, gown,
towel, sikat, masker, haircup). F. Kemasan gown dilipat seperti cara melipat kemasan peralatan bedah (sumber:
Small Animal Surgery)

Penanganan peralatan steril


Peralatan yang telah disterilisasi harus diberi label tanggal sterilisasi. Peralatan
diletakkan pada rak yang steril dan ditata sedemikian rupa sehingga peralatan yang telah
disterilisasi terlebih dahulu dapat digunakan terlebih dahulu. Peralatan harus dalam keadaan
kering sebelum disimpan. Peralatan diletakan ditempat kering, transparan, dan bebas debu
atau kontaminan lain. Peralatan dengan kemasan yang terbuka walau hanya sedikit tidak
boleh digunakan lagi.

Teknik membuka peralatan yang telah steril


peralatan bedah yang telah dikemas menggunakan linen dan disterilkan dapat dibuka
selama distribusi. Peralatan dibuka dari linen pertama kemudian diletakkan diatas meja/rak
peralatan yang telah steril seperti pada gambar 4 atau di ambil oleh asisten bedah yang telah
steril.

Gambar 4 teknik membuka peralatan yang telah steril

Indikator kesterilan peralatan bedah


Kesalahan dalam sterilisasi peralatan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
a. Pembersihan secara manual yang kurang maksimal (jika peralatan tidak bersih secara
fisik maka peralatan sulit disterilisasi secara sempurna)
b. Kesalahan mekanis dari penggunaan sistem
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 231)

c. Pengetahuan yang kurang dalam menggunakan alat sterilisasi


d. Kesalahan dalam pengemasan
e. Penyusunan peralatan yang salah
f. Tidak memahami konsep sterilisasi yang benar
Indikator kesterilan suatu alat berfungsi untuk mengetahui efektifitas sterilisasi yang
dilakukan. Terdapat beberapa indikator yaitu indikator kimia yang dapat digunakan untuk
mengecek kesterilan suatu alat yang disterilisasi menggunaan uap, gas, plasma. Indikator ini
berbentuk paper strip yang akan berubah warna jikamencapai temperatur sterilisasi tertentu.

Persiapan Operator dan Ruang Operasi

Tim operasi merupakan sumber utama kontaminasi mikroba selama operasi. Tim
operasi terdiri atas tim steril/operasi dan tim nonsteril. Untuk meminimalisir kontaminasi
selama operasi seluruh personil yang bertugas di dalam ruang operasi termasuk tim
pengamat/peneliti harus mengikutri prosedur pra-oprasi yang ketat. Jika memungkinkan,
akan lebih baik lagi apabila hanya personil yang sangat dibutuhkan yang berada di dalam
ruang operasi yaitu tim anastesi dan tim operasi.

Pakaian bedah
Pakaian bedah terdiri atas gown, hair cover, masker, cover sepatu, dan gloves. Gown
yang digunakan terbuat dari woven berbahan katun dan dapat digunakan sekali atau berulang
kali. Rambut merupakan pembawa bakteri yang signifikan oleh karena itu harus ditutup
menggunakan hair cover secara menyeluruh. Begitu pula masker digunakan untuk menutupi
rambut pada wajah. Masker biasanya terbuat dari bahan yang tidak berpori serta dua lapis
filter hidrofilik untuk menyaring dan menahan droplet mikoorganisme dari mulut dan
nasopharynx saat berbicara, batuk, maupun bersin selama operasi berjalan. Selain itu, cover
sepatu juga dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi bulu hewan atau kotoran lain yang
terbawa dari ruang pre-operasi. Gloves yang digunakan dalam operasi berbahan karet latex
dengan lubricating agent yaitu Magnesium silicat (talcum) atau pati tepung jagung.

Teknik mencuci tangan pre-operasi


Seluruh tim yang melaksanakan operasi harus mencuci tangan hingga lengan sebelum
menggunakan pakaian operasi. Jika prosedur ini telah dilakukan tim operasi tidak dapat
memegang benda-benda nonsteril hingga operasi selesai. Selama dan setelah mencuci tangan,
tangan harus tetap berada lebih tinggi dari siku. Teknik ini dilakukan dua kali sebelum dan
setelah mengenakan hair cover serta masker.

Gambar 5 Teknik mencuci tangan. A. kuku dibersihkan atau dipotong. B. Lengan dan tangan dibasahi
menggunakan air. C. Sabun diambil dalam jumlah yang cukup. D. Bagi sabun ke dalam dua tangan dan
gosokkan menggunakan ujung jari hingga berbusa. E. Gosokkan sabun ke seluruh tangan termasuk sela-sela jari,
telapak tangan, punggung tangan, hingga lengan. F. gosok dengan air mengalir. G. Bilas menggunakan air
hingga bersih dan kesat. Total waktu mencuci tangan: 2 hingga 7 menit.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 231)

gambar 6 Cara mengeringkan tangan dan lengan. Keringkan telapak tangan ke siku.

Teknik mengenakan gown operasi


Gown berfungsi sebagai barier antara kulit tim operasi dengan pasien. Gown didisain
menggunakan bahan yang tahan terhadap cairan, regangan, tekanan, dan gesekan. Gown dan
gloves harus dikenakan sebelum preparasi pasien di meja operasi.

Gambar 7 Teknik mengenakan gown operasi. A. pita pada bagian belakang gown harus diikatkan oleh asisten.
B. Pita depan gown diikat bila telah mengenakan gloves

Gambar 7 Teknik menggunakan gloves. A. Buka kemasan glove dan masukkan tangan dengan hati-hati hingga
jari tangan masuk ke bagian jari gloves. B. Masukkan satu sisi tangan ke lipatan gloves di bagian dalam lipatan.
C. Kencangkan dengan menarik bagain dalam lipatan ke arah lengan. D. Bagian dalam lipatan di balik dengan
menarik lipatan ke arah lengan sehingga bagian dalam dalam lipatan menjadi bagian luar gloves yang tidak
bersentuhan dengan kulit lengan.

Persiapan Area Operasi

Flora mikroba endogen (sebagian besar Staphylococcus aureus dan Streptococcus spp)
merupakan sumber kontaminasi utama pada kasus infeksi area operasi (surgical site
infection/SSI). Infeksi ini diklasifikasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) menjadi infeksi pada luka insisi atau organ. Hal yang harus dilakukan terhadap pasien
sebelum operasi adalah pembatasan pakan, eksresi, penanganan rambut, persiapan sterilisasi
kulit, pomosisian pasien di meja operasi, dan restrain pasien.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 231)

Pembatasan pakan
Pada hewan dewasa, pakan dibatasi 6-12 jam sebelum induksi anastesi untuk mencegah
emesis dan slek pneumonia/pneumonia aspirasi selama dan setelah operasi. Pembatasan
hanya dilakukan terhadap pakan tidak terhadap air minum. Operasi pada usus besar , pakan
dibatasi selama 48 jam atau dengan pemberian antibiotik enterik ataupun keduanya. Pada
hewan muda, pembatasan pakan masimal hanya 4-6 jam untuk mencegah hipoglisemi.

Eksresi
Hewan harus dirangsang untuk defekasi atau urinasi sesaat sebelum dilakukan anastesi.
Pada operasi kolon, sebelum operasi hewan harus dibeli enema pada colon.

Penanganan rambut hewan dan sterilisasi kulit


Hewan harus dimandikan sehari sebelum operasi, dan dikurangi atau dihilangkan
rambut yang rontok, debris, dan parasit eksternal dari tubuhnya. Rambut hewan harus dicukur
sesaat sebelum operasi, dan pencukuran dilakukan diluar ruang operasi. Pencukuran rambut
sehari sebelum operasi dapat meningkatkan infeksi kulit bagian superfisial. Panduan umum
dalam pencukuran rambut hewan pada area operasi adalah 20 cm dari seluruh sisi daerah
insisi. Pencukuran dapat dilakukan dengan efektiv menggunakan electric clipper dan clipper
blade No.40. hewan dengan rambut yang lebat dan panjang dapat dicukur terlebih dahuku
menggunakan coarser blade No.10. setelah dicukur, area operasi dibersihkan menggunakan
vacuum atau menggunakan air. Setelah itu, area operasi dicuci menggunakan sabun yang
bersifat germisidal untuk menghilangkan debris dan menurunkan jumlah bakteri, lalu
diberikan antiseptic (iodophors, clhlorhexidine, alcohol, hexachlorphone, atau garam
amonium quartener). Selain pada area operasi, dilakukan juga pemberian salep antibiotik atau
lubricant pada mata yaitu pada kornea dan konjungtiva.

Gambar 8 Sterilisasi kulit area operasi. Penggunaan gauze untuk pengolesan povidone-iodine

Pemosisian dan restrain pasien pada meja operasi


Hewan diletakkan di meja operasi dengan posisi yang memudahkan tindakan operasi
oleh operator, dan pemosisian ini juga diikuti dengan tindakan restrain. Tindakan restrain
yang dilakukan adalah dengan mengikat kaki hewan dengan tali, penggunaan sandbags, atau
alat vacuum-activated posisitioning. Jika restrain telah dilakukan, selanjutnya adalah alat
monitoring segera dipasang dan diperiksa kembali. hewan juga harus diletakkan diatas
heating pad dengan atau tanpa selimut penghangat diatas pasien untuk menjaga kenormalan
suhu pasien selama operasi berlangsung. Jika menggunakan electrocauter maka ground plate
harus diletakkan dibawah meja pasien. Selain area operasi, bagian tubuh lain harus ditutup
menggunakan towel/kain yang bersih.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 231)

Gambar 9 Pemasangan towel/kain dengan towel clamp

Gambar 10 Pemasangan towel/kain lapis kedua untuk menutupi seluruh badan pasien. Pemasangan
menggunakan aliss tissue forceps hanya pada salah satu ujung.

DAFTAR PUSTAKA
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgery 4th Edition. Missouri (US): Elsevier Mosby.
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery: Small Animal 2nd Volume. Missouri
(US): Elsevier Saunders.
Mann FA, Constantinescu GM, Yoon HY. 2011. Fundamental of Small Animal Surgery.
Philadelphia (UK): John Wiley & Son.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 4 PROSEDUR PRE OPERASI, OPERASI, DAN POST


OPERASI

Pre Operasi Kondisi Pasien

Persiapan pasien bedah perlu dilakukan dengan teliti yang meliputi pemeriksaan fisik
lengkap dan diikuti dengan pemeriksaan laboratorium serta diagnostik pencitraan sebagai
penunjang. Sejarah pasien perlu dicermati agar mudah menentukan tindakan lanjut dalam
pemeriksaan fisik dan laboratorium.

Pemeriksaan Sejarah/anamnesa Hewan


Sejarah pasien merupakan sumber informasi yang penting untuk mengevaluasi
perjalanan penyakit dan abnormalitas lainnya yang dapat berpengaruh pada proses operasi.
Informasi tersebut meliputi sinyalemen, diet, aktivitas fisik hewan, lingkungan, sejarah
penyakit lainnya, dan sejarah pengobatan dan reaksi terhadap obat tertentu (anti inflamasi,
antimikroba, terapi yang berpotensi nefrotoksik atau hepatotoksik).
Beberapa pertanyaan dapat diajukan untuk memperoleh informasi terkait penyakit
pasien, antara lain gejala apa saja yang teramati dan waktu gejala teramati pertama kali,
frekuensi terjadinya gejala penyakit, dan apakah kondisi pasien semakin memburuk.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara lengkap dan sistematis. Pemeriksaan fisik lengkap
dimulai dari kepala dan leher (mata, hidung, rongga mulut), limfonodus, sistem
kardiovaskular, sistem respirasi, sistem digesti, sistem urogenital, integumen, sistem
muskuloskeletal, dan sistem saraf. Kondisi umum hewan seperti kondisi tubuh, sikap dan
perawakan serta status mental perlu dievaluasi.
Penilaian status fisik pre-anestesi adalah salah satu penentu dalam mencegah
kemungkinan keadaan darurat kardiopulmoner selama atau setelah operasi. Semakin
memburuk status fisik maka semakin tinggi risiko komplikasi anestesi dan bedah. Penilaian
status fisik pasien bedah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Penilaian status fisik pasien bedah


Status Kondisi Hewan Contoh
Fisik
I Sehat, tidak ada penyakit jelas Ovariohisterektomi, declawing, kastrasi
II Sehat, ada penyakit lokal atau sistemik yang Luxatio patella, tumor kulit, cleft palate
ringan tanpa pneumonia
III Penyakit sistemik parah Pnemumonia, demam, dehidrasi,
murmur jantung, anemia
IV Penyakit sistemik parah yang mengancam Gagal jantung, gagal ginjal, gagal hati,
nyawa hypovolemia, hemoragi
V Moribund (hampir mati), waktu hidup Syok endotoksik, gagal multiorgan,
kurang dari 24 jam dengan atau tanpa operasi trauma parah

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium bergantung pada hasil pemeriksaan fisik dan prosedur lain
yang dilakukan sebelumnya. Hewan muda dan sehat yang akan menjalani prosedur bedah
elektif (misalnya ovariohisterektomi dan declawning) serta pasien dengan penyakit lokal
(misalnya luxatio patella) cukup melakukan pemeriksaan wajib terhadap hematokrit dan total
protein. Sedangkan pada hewan yang tua (dari 5-7 tahun) meskipun nilai status fisik I dan II
(lihat tabel 1) atau memiliki tanda-tanda sistemik (misalnya dispnea, murmur jantung,
anemia, kandung kemih pecah, dilatasi dan volvulus lambung, syok, pendarahan) perlu
melakukan pemeriksaan darah lengkap (CBC), profil biokimiawi serum, dan urinalisis.
Pemeriksaan yang lengkap ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap komplikasi
selama operasi maupun post operasi.

Diagnostik Pencitraan
Pemeriksaan pasien melalui diagnosis pencitraan tidak selalu dilakukan terutama pada
prosedur bedah elektif hewan sehat. Pada kondisi lain yang membutuhkan diagnosa
penunjang maka dapat dilakukan eksplorasi melalui radiografi, ultrasonografi (USG), dan
magnetic resonance imaging (MRI). Beberapa contoh kasus bedah yang memerlukan
diagnosa penunjang pencitraan antara lain neoplasia (gambaran metastasis tumor), pasien
trauma (kecelakaan), gastric dilatation-volvulus (GDV), gangguan jantung, obstruksi saluran
pencernaan, dll.
Pada pasien trauma data yang diperoleh adalah hasil pemeriksaan laboratorium
(minimal PCV/TP, BUN, kadar gula darah, urine specific gravity) dan radiografi thoraks
dengan view right lateral serta radiografi abdomen. Beberapa kondisi yang perlu diperhatikan
yaitu keutuhan difragma, keutuhan dinding tubuh, kondisi kantung kemih, ada tidaknya
pneumothoraks, efusi pleura dan peritoneum, serta kontusio paru-paru. Pada pasien GDV,
view yang bagus digunakan adalah ortogonal right lateral untuk memudahkan dalam melihat
kodisi lambung. Pasien dengan murmur jantung perlu dilakukan radiografi toraks dengan
right lateral view dan ventrodorsal atau dorsoventral untuk melihat kondisi otot jantung dan
katupnya.
Pemeriksaan dengan USG dilakukan untuk mengamati kelainan yang terjadi pada
jaringan atau organ internal tubuh. Perbedaan struktur normal dan abnormal dari jaringan
dapat dilihat dari ekogenitasnya, yang terlihat hipoekoik atau hiperekoik. Selain itu dapat
teramati bentuk, ukuran, letak, jumlah dan batas/marginasi jaringan tersebut.

Determinasi Risiko Operasi


Setelah memperoleh informasi yang cukup melalui sejarah penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnostik pencitraan maka dapat disimpulkan diagnosa,
risiko operasi dan prognosis terhadap pasien. Determinasi risiko operasi dilakukan untuk
mengetahui keefektifan prosedur operasi dan manfaat serta komplikasi yang dapat
diakibatkan oleh prosedur tersebut. Hal ini selanjutnya dapat menjadi dasar dalam
mengedukasi klien. Berikut merupakan beberapa pengelompokan prognosis terhadap pasien
bedah (Tabel 2).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 2 Pengelompokan prognosis pada pasien bedah


Prognosis Kriteria
Sangat baik o Potensi komplikasi sangat minimal
o Peluang pasien sembuh total (kembali ke kondisi normal) tinggi
Baik o Ada beberapa kemungkinan komplikasi
o Peluang sembuh total tinggi
Sedang o Komplikasi yang serius mungkin terjadi tetapi kasusnya jarang
o Recovery pasien mungkin akan lama
o Fungsi bagian tubuh yang dipoperasi mungkin tidak kembali seperti semula
Buruk o Terdapat beberapa komplikasi penyakit lain
o Recovery pasien dipastikan lama
o Ada kemungkinan kematian pasien selama operasi dan post operasi
o Fungsi bagian tubuh yang dioperasi dipastikan tidak dapat kembali seperti
semula
Guarded o Hasil operasi tidak dapat dipastikan atau memiliki kemungkinan yang sangat
bervariasi

Beberapa kasus tertentu memiliki risiko prosedur bedah yang lebih besar dari manfaat
yang dapat diperoleh setelah menjalani bedah. Keputusan dalam melakukan prosedur bedah
harus mempertimbangkan kualitas hidup pasien setelah operasi terutama pada pasien dengan
status fisik parah, sangat lemah dan sulit dalam pengobatan. Misalnya pengangkatan massa
tumor jinak pada kulit pasien dengan komplikasi disfungsi hati atau ginjal tidak disarankan.
Demikian juga pasien neoplasia dengan metastasis toraks kemungkinan tidak memiliki
manfaat apabila dilakukan pengangkatan tumor primer. Akan tetapi pada beberapa pasien,
pembedahan dapat meningkatkan kualitas hidup meskipun dengan jangka waktu hidup yang
terbatas.

Komunikasi Klien
Komunikasi dengan klien sangat penting untuk memastikan kepuasan klien terhadap
prosedur operasi. Klien perlu diinformasikan terkait diagnosis, opsi operasi atau non-operasi,
potensi komplikasi, perawatan post operasi, prognosis dan estimasi biaya. Selain itu
rekomendasi tindakan operasi lain seperti kastrasi perlu disampaikan pada pasien dengan
potensi penyakit herediter. Setelah semua informasi sudah disampaikan kepada klien maka
selanjutnya dilakukan penandatanganan persetujuan prosedur operasi dengan berbagai
kemungkinan risiko anestesi dan operasi. Formulir ini juga mencakup estimasi biaya
diagnosa, perawatan pre operasi, operasi dan perawatan post operasi.

Stabilisasi Pasien
Stabilisasi pasien sangat penting dilakukan untuk menyiapkan kondisi fisik pasien
sebelum induksi anestesi dan pembedahan. Pada pasien darurat dan perlu segera dioperasi
maka minimal stabilisasi yang dilakukan adalah mengganti cairan yang hilang dan
mengoreksi abnormalitas pada keseimbangan asam basa dan elektrolit sebelum induksi
anestesi. Terapi cairan intravena diindikasikan untuk semua hewan yang dianestesi general

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

termasuk hewan sehat yang melakukan prosedur elektif. Kebutuhan akan antibiotik
preoperasi juga perlu dipastikan untuk memulihkan kondisi pasien.
Informasi yang diperoleh dari sejarah pasien, tanda klinis, hasil pemeriksaan fisik,
nilai elektrolit dan total CO2 dapat mambantu dalam screening penilaian ketidakseimbangan
asam-basa yang signifikan. Sedangkan untuk mengetahui secara pasti tingkat keparahan
abnormalitas keseimbangan asam basa dapat dilakukan dengan pemeriksaan pH darah,
tekanan parsial oksigen arteri (PaO2), tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) dan
konsentrasi bikarbonat. Jika pH darah pasien bersifat asam (<7.2) maka perlu meningkatkan
ventilasi dan perfusi kapiler.
Pasien dengan status gizi yang kritis dan kronis perlu diberikan larutan
hiperalimentasi secara parenteral atau enteral untuk meningkatkan status gizi. Pada pasien
yang tampak kesulitan dalam bernapas atau menunjukkan tanda-tanda kekurangan oksigen
maka perlu distabilisasi dengan terapi oksigen. Stabilisasi pasien bedah dilakukan juga dalam
kondisi tertentu yang memerlukan beberapa tindakan pre-operasi, misalnya thoracocentesis
dilakukan pada pasien yang menunjukan tanda dispnea dengan adanya penyakit pada rongga
thoraks (pneumothoraks, efusi pleura).

Pembatasan Diet (Puasa) dan Ekskresi Pre Operasi


Puasa pre operasi pada hewan dewasa umumnya dilakukan dalam 6-12 jam sebelum
induksi anestesi untuk menghindari emesis dan aspirasi pneumonia selama operasi ataupun
post operasi. Sedangkan pada hewan muda puasa sebaiknya tidak dilakukan lebih dari 4-6
jam karena berpotensi menyebabkan hipoglikemia. Beberapa kasus pengecualian terjadi pada
operasi usus besar yang memerlukan beberapa persiapan khusus misalnya puasa selama 48
jam dan/atau administrasi antibiotik enterik per oral (misalnya kanamisin, neomisin, penisilin
G, metronidazole).
Hewan sebaiknya dibiarkan defekasi dan urinasi sebelum induksi anestesi. Operasi
yang dilakukan pada kolon perlu pengosongan lumen dengan dibantu sediaan lubrikan
(enema) untuk melancarkan proses defekasi. Pengosongan kandung kemih dapat dilakukan
dengan urinasi secara alami ataupun dengan kateterisasi. Kandung kemih yang kosong dapat
memberi ruang yang cukup untuk melakukan prosedur bedah abdominal.

Terapi Cairan
Terapi cairan harus dilakukan pada pasien pendarahan dan diduga syok. Volume
darah normal anjing adalah sekitar 90 ml/kg dan kucing sekitar 70 ml/kg. Penanganan
hipovolemia akut dimaksudkan untuk menambah volume darah sehingga cukup untuk
bersirkulasi dan terjadi perfusi jaringan. Umumnya hewan yang mengalami hipovolemik
diterapi dengan pemberian intravena cairan isotonik polyionic 60-90 ml/kg untuk anjing dan
45-60 ml/kg untuk kucing pada 1 jam pertama. Namun pada pasien dengan gangguan paru-
paru, kardiovaskular, atau gangguan ginjal parah terapi akan intoleran terhadap terapi cairan
yang terlalu cepat. Biasanya seperempat hingga setengah dosis administrasi cairan diberikan
lebih dari 15-30 menit sambil diperhatikan perubahan tanda-tanda vital pasien. Berikut
merupakan jenis produk cairan dan indikasi penggunaan pada hewan (Tabel 3).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 3 Jenis produk cairan, indikasi dan dosis pada hewan kecil
Produk Indikasi Dosis
Kristaloid isotonik Syok Dog: >90 ml/kg
Cat: >60 ml/kg
Maintanance Dog: 66 ml/kg/hari (BB 10kg), 44 ml/kg/hari (BB 40
kg), 81 ml/kg.hari (BB 5 kg)
Hydroxyethyl starch Syok Dog: 5-20 ml/kg (>10-15 menit)
Cat: 5-10 ml/kg (>10-15 menit)
Hipoalbuminemia Dog: 0.4-0.8 ml/kg/hari
Cat: 0.2-0.4 ml/kg/hari
Dextram 70 Syok Dog: 10-20 ml/kg/hari (>30-60 menit)
Cat: 5-10 ml/kg/hari (>30-60 menit)
16% canine albumin Syok 1-2 g/kg/hari IV (>30-60 menit)
Hipoalbuminemia
7% hypertonic saline Syok Dog: 4-5 ml/kg (>5 menit)
Cat: 3-4 ml/kg (>5 menit)
Note: dapat diberikan dengan kristaloid isotonik
untuk memperpanjang efek: 10-20 ml/kg/jam
(maksimal 1 ml/kg/menit)
Fresh whole blood Anemia 10-22 ml/kg (2.2 ml/kg akan mencapai PVC 1%
Sesuai kebutuhan
Hemoragi
Koagulopati Jika diberikan >50 ml/kg, kontrol level kalsium (jika
Syok rendah: kalsium klorida atau glukoronat
Packed red blood Anemia 6-15 ml/kg (1 ml/kg akan mencapai PVC 1%)
cells Hemoragi
Fresh-frozen plasma Koagulopati 10-22 ml/kg
Hipoproteinemia
DIC

Preparasi Daerah Orientasi Bedah

Preparasi daerah orientasi bedah penting dilakukan mengingat adanya mikroba pada
kulit dan rambut hewan yang dapat mengontaminasi daerah insisi maupun organ internal.
Beberapa mikroba patogen yang secara normal berada pada kulit dan folikel rambut hewan
namun berpotensi mengontaminasi area operasi antara lain Staphylococcus epidermidis,
Corynebacterium spp., Pityrosporum spp., S. aureus, S. intermedius, Echerichia coli,
Streptococcus spp., Enterobacter spp., dan Clostridium spp. Pembersihan daerah orientasi
operasi dengan antiseptik dan tindakan pereventif dengan administrasi antimikrobial dapat
dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan kontaminasi.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Preparasi Rambut dan Kulit Pasien


Pada beberapa kasus, hewan dapat dimandikan sehari sebelum operasi untuk
menghilangkan rambut rontok, debris dan ektoparasit. Namun prosedur ini perlu
mempertimbangkan status kesehatan hewan. Pencukuran rambut dilakukan setelah daerah
orientasi bedah sudah ditentukan. Pencukuran rambut sebaiknya dilakukan mendekati waktu
operasi. Pencukuran yang dilakukan sehari atau beberapa jam sebelum operasi dapat
meningkatkan infeksi pada superfisial kulit.
Luas area yang akan dicukur sebaiknya cukup untuk mengakomodasi kemungkinan
perpanjangan sayatan, sayatan tambahan (jika diperlukan) dan kemungkinan adanya area
drainase. Secara umum pencukuran dilakukan setidaknya 20 cm dari setiap sisi sayatan.
Rambut dapat dicukur dengan menggunakan clipper atau blade no. 40. Pencukuran dilakukan
berlawanan arah dengan pola pertumbuhan rambut agar rambut terpotong cukup pendek.
Metode preparasi rambut dengan menggunakan bahan kimia (krim) sangat meminimalisir
traumatis namun dapat menginduksi reaksi limfositik kulit ringan. Pisau cukur umum juga
digunakan terutama untuk mencukur rambut pada area sekitar mata namun penggunaan pisau
cukur sangat berpotensi menyebabkan mikrolaserasi sehingga terjadi iritasi dan infeksi pada
area tersebut.
Selanjutnya area operasi yang sudah dicukur dibersihkan dari sisa-sisa rambut,
kotoran dan minyak. Pembersihan dilakukan dengan menggunakan sabun antiseptik sekaligus
untuk mengurangi populasi bakteri pada kulit. Beberapa antiseptik yang umum digunakan
antara lain iodofor, chlorhexidine, alkohol, hexachlorophene, dan kuartener garam amonium.
Selain pembersihan area operasi, preparasi hewan juga dilakukan dengan memberikan salep
antibiotik pada mata pasien.

Posisi Hewan
Posisi hewan di meja operasi diatur sedemikian rupa hingga area operasi mudah
dijangkau oleh operator. Selanjutnya tubuh pasien difiksir menggunakan tali untuk mencegah
terjadinya gerakan yang mengganggu operasi apabila hewan tersadar. Pengekangan pada
pasien ini tetap harus memperhatikan fungsi respirasi dan sirkulasi perifer serta fungsi otot
dan saraf hewan. Alas tubuh hewan pada meja operasi sebaiknya mampu menghasilkan suhu
hangat sehingga dapat menjaga suhu tubuh pasien selama teranestesi, misalnya dengan
heating pad. Kemudian alat monitor pasien dipasangkan pada tubuh hewan.

Preparasi Kulit Steril


Preparasi kulit area orientasi bedah dilakukan setelah hewan diposisikan di meja
operasi. Secara teknis pembersihan menggunakan spons harus dilakukan secara steril dengan
memegang spons menggunakan forceps steril atau tangan dengan gloves steril. Kemudian
tangan yang dominan digunakan untuk melakukan sterilisasi sedangkan tangan yang kurang
dominan digunakan untuk mengambil spons dari area non steril. Penggosokkan kulit
dilakukan dengan gerakan melingkar dari daerah insisi (tengah) ke pinggir dan tidak boleh
kembali ke tengah.
Antiseptik yang digunakan harus mampu membunuh bakteri, jamur, virus, protozoa,
dan spora; hipoalergenik, tidak beracun, tidak diserap, dan aman digunakan pada semua

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

bagian tubuh. Antiseptik yang efektif dalam mengurangi pertumbuhan bakteri pada kulit area
operasi adalah kombinasi alkohol dengan chlorhexidine (CHG) atau alkohol dengan povidone
iodine (PVI). Aplikasi kombinasi alkohol dan CHG pada kulit diulangi 2x selama 30 detik.
CHG efektif berikatan dengan keratin sehingga waktu kontak dengan kulit tidak berpengaruh
dibandingkan dengan PVI. Kombinasi alkohol dan PVI diaplikasikan masing-masing 3x
selama 5 menit.

Draping
Draping merupakan pembungkusan pasien dengan bahan steril untuk menutupi
daerah non steril. Apabila operasi menggunakan electro cauter maka beri jeda waktu antara
pembersihan kulit dengan draping. Hal ini dilakukan agar bahan antiseptik yang mudah
terbakar (alkohol, zat penghilang lemak) dapat menguap secara sempurna. Pada anjing jantan
apabila insisi hingga ke pubis maka preputium perlu difiksir (di-klem) ke satu arah. Draping
dilakukan oleh operator yang sudah menggunakan antribut steril. Secara teknis draping
dilakukan dengan meletakan kain (duk) dengan posisi lubang tengah kain pada daerah insisi
lalu kain difiksasi dengan towel clamp. Setelah kain steril dipasangkan maka kain tidak boleh
digerakkan/digoyang-goyangkan untuk mencegah pergerakan udara yang membawa partikel
non steril.

Persiapan Tim Operasi

Operator dan asisten operator merupakan sumber utama kontaminasi dalam operasi
sehingga perlu dilakukan beberapa prosedur untuk mengurangi risiko kontaminasi. Terdapat
korelasi antara kejadian kontaminasi dengan jumlah orang, pergerakan orang, dan jumlah
bakteri airborne di ruang bedah. Oleh karena itu personil di ruang bedah harus dibatasi dan
sebaiknya menggunakan atribut steril.

Mencuci Tangan
Prosedur ini dilakukan untuk menjaga kesterilan operasi dengan menghilangkan
kotoran dan minyak, mengurangi bakteri pada tangan, baik yang berasal dari lingkungan
maupun bakteri normal pada kulit. Sebelum mencuci tangan semua perhiasan dan jam tangan
harus dilepaskan. Kuku tangan harus dipotong, bersih dan tidak menggunakan pewarna kuku.
Arah pencucian tangan dimulai dari jari hingga ke siku. Setelah selesai, tangan dikeringkan
dengan handuk steril dengan posisi memanjang dari jari hinggga siku. Antiseptik yang
digunakan sebaiknya yang rapid acting, berspektrum luas, mampu mengurangi populasi
bakteri, tidak menyebabkan iritasi, dan harus persisten/tahan lama (mampu berikatan dengan
keratin). Antiseptik yang mengandung alkohol sangat direkomendasikan dan dikombinasikan
dengan bahan antiseptik lain seperti chlorhexidine. Beberapa bahan antiseptik lainnya antara
lain hexachlorophene, iodophor (Povidone-iodine), parachloro-metaxylenol (PCMX), dan
triclosan.
Durasi waktu mencuci tangan pada tim operasi bervariasi dari 2-10 menit. Hal ini
tergantung efektifitas antiseptik yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

chlorhexidine glucoronate lebih efektif dari povidone-iodine dan durasi scrubbing 2 menit
sama efektifnya dengan durasi yang lebih lama. Namun apabila tangan dan lengan cukup
kotor maka waktu menggosok harus lebih lama. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
jangan menggosok terlalu keras karena dapat menimbulkan abrasi pada kulit yang justru akan
mejadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Secara umum rekomendasi durasi
mencuci tangan adalah 5-7 menit untuk kasus bedah pertama hari itu, diikuti dengan 2-3
menit pada bedah selanjutnya.

Atribut Operasi
Atribut operasi yang digunakan oleh tim operasi meliputi baju bedah, penutup kepala
dan sarung tangan. Semua atribut ini digunakan dalam keadaan steril. Pemakaian atribut ini
dilakukan di tempat yang berbeda dari meja operasi agar tidak menyebabkan kontaminasi
akibat pergerakan operator. Secara teknis baju bedah harus dilipat dengan bagian dalam
menghadap keluar. Kemudian baju bedah diangkat perlahan lalu mundur selangkah dari meja
penyimpanan atribut untuk mendapatkan ruang yang cukup. Selanjutnya secara perlahan baju
bedah dipakai lalu meminta asisten operator untuk mengikat tali baju di bagian belakang.
Sarung tangan steril yang dilipat sedemikian rupa sehingga saat dipakai bagian luar yang
akan menyentuh pasien tidak tersentuh oleh tangan operator.

Perawatan Post Operasi

Perawatan dan tindakan lanjut post operasi sama pentingnya dengan perawatan pre
operasi dan selama operasi. Perawatan yang baik selama postoperasi akan membantu
pemulihan pasien dari anestesi ataupun persembuhan luka operasi. Hal yang perlu
diperhatikan antara lain suhu lingkungan yang hangat, menjaga perfusi dan ventilasi, nursing
care yang tepat, nutrisi yang cukup dan membatasi aktivitas untuk memungkinkan
penyembuhan luka. Selain itu perlu melakukan follow up dan menjaga komunikasi dengan
klien setelah pasien kembali ke rumah.

Monitoring Kondisi Pasien


Monitoring dasar post operasi untuk semua pasien bedah antara lain suhu tubuh dan
menilai parameter kardiovaskular, fungsi pernapasan, tingkat kesadaran dan rasa nyeri/sakit.
Pasien yang teranestesi tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri terutama pada hewan
yang ukuran tubuhnya lebih kecil. Pasien dengan tubuh yang kecil memiliki rasio luas
permukaan dengan massa tubuh yang tinggi sehingga akan mudah kehilagan panas tubuh.
Suhu tubuh sebaiknya diperiksa setiap 30-60 menit hingga mencapai suhu normal dan tetap
dibantu dengan sumber panas dari luar, misalnya lampu atau heating pad.
Parameter yang sederhana untuk menilai kecukupan perfusi dan sirkulasi darah yaitu
dengan frekuensi jantung, frekuensi nafas, warna selaput lendir dan capillary refill time
(CRT). Parameter ini harus dipantau setiap jam hingga pasien sadar dari pengaruh anestesi,
lalu dilanjutkan setiap 6-12 jam sesudahnya tergantung kasus yang ditangani. Selain itu
tingkat oksigenasi dapat pula dinilai melalui tekanan parsial oksigen arteri . Sedangkan
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

penilaian kecukupan ventilasi dapat dinilai dari gas darah menggunakan kapnografi. End-
tidal carbondioxide (ETCO2) diukur melalui kapnografi untuk melihat perkiraan tekanan
parsial karbondioksida dalam arteri (PaCO2). PaCO2 normal berkisar antara 35-45 mmHg.
Tingkat kesadaran harus dimonitor setidaknya tiap jam. Pemulihan yang lebih lama
dapat terjadi pada pasien kritis, hipotermia, anemia, hipokalsemia, hipoksemia, dan
hipoproteinemia. Pada pasien yang terlihat gelisah dan panik dapat diberikan sediaan
penenang (acepromazine atau dexmedetomidine) untuk menenangkan pasien dan mengurangi
risiko cedera. Namun tetap perlu pemeriksaan lebih lanjut terkait penyebab gelisah dan panik
yang ditunjukkan pasien.
Pasien dimonitor juga terkait rasa sakit dan ketidaknyamanan untuk membantu
pemulihan pasien. Reaksi rasa nyeri pada hewan umumnya ditunjukkan dengan vokalisasi,
menggigil, keengganan untuk bergerak, gelisah, menjaga daerah yang terluka (reaksi
defense), hipersalivasi, pupil melebar, hipertensi dan peningkatan laju pernapasan.
Pasien yang berpotensi mengalami hipoglikemia perlu dipantau dalam 24-48 jam.
Hipoglikemia (dalam darah kurang dari 60 mg/dL) akan memperlambat pemulihan anestesi.
Tanda-tanda umum yang ditunjukkan adalah lesu, depresi, tremor, kelemahan, ataksia, kejang
dan koma. Penanganan yang dapat dilakukan adalah pasien diberi pakan yang lembek sedikit
demi sedikit setiap 2-3 jam. Sedangkan pasien yang kesulitan makan harus diberikan cairan
dextrose intravena (2.5% atau 5% dextrose).
Hemoragi merupakan komplikasi yang sangat mungkin terjadi selama operasi. Oleh
karena itu penting dilakukan pemeriksaan status kecukupan darah pasien. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan dengan melihat tanda-tanda berupa warna selaput lendir lebih anemis
(pucat), frekuensi jantung meningkat, denyut nadi lemah, dan tekanan darah menurun. Selain
itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk memastikan kondisi pasien. Nilai PCV
optimal hewan kritis umumnya 25-35%. Apabila PCV<20% karena hemoragi atau darah
yang terdilusi maka perlu dilakukan transfusi darah, berupa whole blood apabila tidak ada
defisiensi protein, infus protein plasma apabila tidak ada anemia namun hipoproteinemia,
platelet dan faktor penggumpal. Penanganan dapat berupa terapi cairan dan transfusi darah
tergantung kebutuhan pasien (lihat Tabel 3).

Nutrisi
Komponen yang penting dalam perawatan post operasi adalah nutrisi untuk
memulihkan kondisi pasien dari kondisi lemah dan anoreksia. Apabila pasien tidak mendapat
asupan nutrisi dapat menyebabkan malnutrisi. Malnutrisi ditandai dengan hilangnya massa
tubuh secara progresif terutama lemak pada jaringan adiposa akibat kurangnya asupan nutrisi
atau tingginya kebutuhan tubuh akan protein dan kalori. Kondisi ini disebut juga protein-
calori malnutrition (PCM) dengan insidensi pada pasien bedah dengan kondisi yang parah
sekitar 24-65%. PCM terjadi karena kelaparan, anoreksia, sindrom malabsorbsi, trauma
parah, stres bedah, sepsis, dan luka bakar yang luas. Hal ini berdampak pada atrofi otot,
gangguan imunokompetensi, penyembuhan luka, anemia, hipopreteinemia, kurangnya
resistensi infeksi, bahkan kematian. Pemulihan pasien operasi membutuhkan protein dan
kalori dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena itu kebutuhan nutrisi pada pasien harus segera
terpenuhi.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Asupan pakan secara oral sangat ideal apabila pasca operasi hewan sudah bisa makan.
Namun apabila pasien tidak dapat makan selama 24 jam post operasi, perlu dilakukan
penanganan dengan metode lain. Diagnosis PCM pada pasien bedah dapat dilihat dari
penurunan bobot badan 10% dari normal, anoreksia atau hiporeksia selama lebih dari 5 hari,
kehilangan nutrisi (muntah, diare, luka parah, luka bakar), peningkatan kebutuhan nutrisi
(trauma, post operasi, infeksi, luka bakar, demam), sejarah penyakit kronis, dan
hipoalbuminemia (<2.5 g/dl).
Pasien bedah yang mengalami PCM ataupun berpotensi mengalami PCM dapat
ditangani dengan pemberian sediaan hiperalimentasi. Sediaan hiperalimentasi dapat diberikan
secara enteral melalui nasoesophageal, faringostomi, esofagostomi, gastrotomi atau
enterostomi. Selain itu dapat diberikan parenteral melalui intravena dengan sediaan total
nutrisi parenteral (TPN) yang sangat lengkap mengandung protein dan kalori atau parsial
nutrisi parenteral (PPN) yang mengandung sebagian dari kebutuhan nutrisi hewan.
Jumlah asupan nutrisi pada pasien tergantung pada kebutuhan energi, formula pakan
yang dipilih, dan rute administrasi (enteral, parenteral, atau parenteral parsial). Kebutuhan
energi hewan dihitung berdasarkan kebutuhan basal (BER) dan maintenance (MER). BER
bergantung pada berat badan hewan dan nilai MER diperoleh dengan mengalikan BER
dengan faktor arbiter untuk mengakomodasi kebutuhan energi akibat beberapa kondisi seperti
istirahat kandang, stres pascabedah, trauma, kanker, sepsis atau luka bakar mayor. Berikut
merupakan perhitungan kebutuhan kalori pasien menurut Fossum et al. (2013):
BER (kcal/hari):
 BB<2kg = 70 x BB0.75
 BB>2kg = (30 x BB) + 70
MER (kcal/hari):
BER x faktor arbiter
Faktor arbiter :
 Istirahat kandang: 1.00 – 1.25
 Stres post operasi: 1.25-1.35
 Trauma/kanker: 1.35-1.50
 Sepsis: 1.50-1.70
 Luka bakar: 1.70-2.00
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan pada pasien, yaitu
pakan diberikan minimal 3x sehari dan pada pasien yang mengalami muntah jumlah pakan
dikurangi namun frekuensi ditingkatkan. Tanda-tanda overfeeding juga perlu diperhatikan
yaitu reaksi muntah, diare, distensi abdomen dan kram.

Aktivitas Fisik
Terapi fisik bermanfaat bagi pasien selama periode istirahat post operasi yang cukup
lama. Terapi fisik tersebut penting untuk pencegahan kontraktur otot, mencegah atrofi otot,
menjaga fungsi persendian, meningkatkan sirulasi dan membantu pemulihan fungsi bagian
tubuh yang dibedah. Aktivitas fisik ini tentu saja memperhitungkan tingkat pemulihan pasien
terutama persembuhan luka operasi. Aktivitas fisik dilakukan secara bertahap dan dibatasi
pada kandang atau ruangan kecil. Pada pasien anjing disarankan aktivitas fisik dilakukan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

dalam 10-14 hari post operasi agar memungkinkan persembuhan luka. Umumnya pada pasien
bedah ortopedi membutuhkan masa pembatasan aktivitas fisik kurang lebih 6-8 minggu dan
3-4 minggu pada pasien muda. Sedangkan pasien bedah jaringan lunak, aktivitas normal
dapat dilakukan setelah jahitan dilepas.

Perawatan Lanjutan
Setelah masa pemulihan pasien post operasi, pasien tetap dipantau perkembangannya
meskipun pasien telah kembali ke rumah. Perawatan lanjutan ini dapat dilakukan dengan
informasi tertulis kepada klien, jadwal kontrol, dan komunikasi via telepon. Informasi kepada
klien harus meliputi pembatasan aktivitas fisik (berapa lama), kontrol luka insisi dan perban,
pencegahan kemungkinan pasien menjilat atau menggigit area operasi, nutrisi dan kontrol
lanjutan untuk membuka jahitan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiografi
atau tindakan lain yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Jahitan kulit biasanya dapat dibuka
setelah 10-14 hari post operasi, namun hal ini tergantung pada percepatan kesembuhan luka
pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgeri Fourth Edition. St. Louis(AS): Elsevier
Health Science.
Mann FA, Constantinescu GM, Yoon HY. 2011. Fundamental of Small Animal Surgery.
Philadelphia(UK): John Wiley & Son, Ltd.
Penninck D, Anjou MA. 2015. Atlas of Small Animal Ultrasonography Second Edition.
Iowa (AS): John Wiley & Sons, Inc.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 5 APLIKASI PERALATAN PENUNJANG BEDAH

Dalam melakukan tindakan pembedahan, perlu ditunjang dengan berbagai


peralatan yang dapat membantu dokter dalam proses pembedahan. Peralatan ini
ditujukan untuk melancarkan proses pembedahan, mengatasi kondisi perdarahan,
mengetahui kondisi vital pasien secara real-time, serta untuk mengatasi kondisi-
kondisi gawat darurat lainnya. Beberapa alat yang umum diperlukan untuk
menunjang pembedahan adalah peralatan patient monitor, peralatan resusitasi
oksigen, peralatan heating therapy, peralatan fluid therapy, monitor kelistrikan
jantung (ECG), peralatan penghentian perdarahan, peralatan aspirator, dan
endoskopi.

Peralatan Patient Monitoring

Peralatan penunjang bedah yang penting adalah patient monitoring. Alat-alat


ini memungkinkan dokter mengetahui kondisi vital pasien secara real-time dan
akurat sehingga dapat dengan mudah mengontrol kondisi pasien selama
pembedahan. Tanda vital yang penting diamati selama pembedahan adalah saturasi
oksigen (SpO2), tekanan darah, frekuensi jantung, frekuensi napas, dan suhu. Alat-
alat berikut ini merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengamati kondisi vital
pasien:

Pulse Oximetry
Pulse oximetry merupakan teknologi monitoring yang paling sering
digunakan di dunia kesehatan. Fungsi pulse oximetry adalah untuk mengukur
saturasi hemoglobin dalam arteri (SpO2). Pengukuran SpO2 secara non-invasif dan
real-time merupakan salah satu terobosan yang penting di dunia kesehatan.
Teknologi ini memungkinkan untuk mendiagnosa secara dini dari kejadian
hipoksemia, secara signifikan dapat menurunkan insidensi dan keparahan dari
kejadian hipoksemia 1.5 – 3 kali dibandingkan pasien yang tidak menggunakan
pulse oximeter. Nilai normal SpO2 adalah 96 – 99%.

Gambar 1 Pulse oximetry

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Blood Pressure
Blood pressure atau tekanan darah merupakan gaya yang dihasilkan dari
darah yang menekan dinding arteri. Tekanan darah dapat diukur menggunakan alat
sphygmomanometer. Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan memberikan
tekanan ke pembuluh darah kemudian menurunkan tekanannya kembali. Suara
yang terdengar saat darah kembali mengaliri pembuluh darah merupakan penanda
tekanan darah pasien.

Gambar 2 Sphygmomanometer

Esophageal Stethoscope
Esophageal stethoscope merupakan alat yang digunakan untuk mengukur dan
memonitor suara jantung atau suara respirasi pada saat operasi. Alat ini terdiri dari
sebuah tabung (tube) yang ramping, fleksibel, dan berujung bulat tumpul yang
tersambung pada stetoskop biasa dengan adaptor plastic kecil. Keuntungan
penggunaan esophageal stethoscope adalah sifatnya yang tidak terlalu invasif dan
mudah dihandel. Akan tetapi, pada lingkungan yang bising, suara yang dihasilkan
dari esophageal stethoscope cenderung tidak jelas dan tidak terlal terdengar.

Gambar 3 Esophageal stethoscope

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Apnea Monitor
Apnea monitor merupakan alat yang digunakan untuk memberikan
peringatan apabila terjadi kondisi berhentinya pernapasan (apnea). Selain itu, apnea
monitor juga dapat merekam frekuensi denyut jantung hewan dan pola pernapasan.
Alarm apnea monitor akan berbunyi apabila terjadi penurunan frekuensi denyut
jantung (bradikardia) atau terjadi berhentinya pernapasan dalam rentang waktu
tertentu (apnea).

Gambar 4 Apnea monitor

Patient Monitoring
Patient monitoring memungkinkan dilakukannya observasi secara
berkelanjutan pada fungsi fisiologis untuk memandu proses pengobatan atau untuk
memonitor efektifitas dari intervensi yang diberikan. Alat ini memungkinkan
terekamnya aktivitas elektrokardiogram, tekanan darah intraarteri, dan saturasi
oksigen arteri atau pulse oximetry secara bersamaan dan berkelanjutan.

Gambar 5 Patient monitoring

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Peralatan Resusitasi Oksigen

Denyut jantung yang lemah, ketidakmampuan bernapas, dan saturasi oksigen


darah yang rendah merupakan kondisi yang perlu ditangani secara cepat.
Keterlambatan pemberian resusitasi oksigen pada pasien yang mengalami hal-hal
tersebut dapat membahayakan hidup pasien. Peralatan berikut dapat membantu
memberikan oksigen secara langsung ke dalam tubuh pasien dan mengoreksi
kondisi hipoksemia pada pasien:

Resuscitator
Kondisi bradikardia, asystole, dan apnea membutuhkan bantuan ventilasi
secara manual. Alat yang digunakan untuk memberikan bantuan ventilasi secara
manual disebut sebagai resuscitator. Terdapat beberapa bentuk resuscitator
diantaranya adalah self-inflating bags (resuscitator manual), pulmonary or breath
powered resuscitator, dan oxygen powered resuscitator (menggunakan tekanan
oksigen).

Gambar 6 Ambu-bag (manual resuscitator)

Oxygen Chamber
Merupakan kamar yang digunakan untuk terapi oksigen. Ruangan ini
dilengkapi dengan thermometer dan hygrometer untuk mengukur suhu dan tekanan
di dalam ruangan. Oxygen chamber umum digunakan untuk pasien yang mengalami
hipoksemia dimana kadar SpO2 rendah atau pasien yang mengalami kesulitan
bernapas.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 7 Oxygen chamber untuk hewan


Nebulizer
Nebulizer merupakan alat bantu pemberian obat untuk pengobatan gangguan
respirasi. Alat ini memanfaatkan tekanan udara pada mesin yang dialirkan pada
wadah (cup) yang berisi cairan obat yang akan dihubungkan pada cungkup (mask)
yang dipasangkan pada pasien. Udara dari mesin nebulizer akan melalui selang
menuju kepada wadah yang berisi obat dan mengubah cairan obat menjadi mist
berukuran kecil yang akan masuk ke saluran pernapasan pasien. Terdapat beberapa
tipe nebulizer yaitu air compressed nebulizer dan ultrasonic nebulizer. Perbedaan
dari kedua tipe nebulizer ini terletak pada cara mengubah cairan obat menjadi
butiran-butiran air berukuran kecil (mist). Air compressed nebulizer menggunakan
tekanan udara untuk mengubah cairan obat menjadi mist, sedangkan pada
ultrasonic nebulizer memanfaat kan tenaga ultrasonik untuk membuat cairan obat
menjadi mist. Keuntungan penggunaan nebulizer ini adalah aplikasinya mudah
pada hewan, tidak mengendap di dalam darah, dan efek sampingnya minimal.

Gambar 8 Air compressed nebulizer

Peralatan Heating Therapy

Heating therapy merupakan terapi yang memanfaatkan panas yang dapat


meningkatkan suhu jaringan, aliran darah, metabolisme, dan meningkatkan
ekstensibilitas dari jaringan ikat. Terdapat beberapa alat yang dapat digunakan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

untuk melakukan heating therapy, yaktu lampu infrared, heating pad, dan
inkubator.

Infrared Lamp
Radiasi infrared merupakan seberkas energi yang tidak terlihat dalam bentuk
spektrum elektromagnetik. Energi ini berguna untuk meringankan rasa sakit, atau
untuk mengobati penyakit tertentu. Alat ini mentransfer energi dalam bentuk panas
yang dapat dikenali oleh reseptor panas di jaringan target.
Sinar infrared terbagi menjadi tiga tipe yaitu near-infrared, mid-infrared, dan
far-infrared. Jenis yang digunakan pada terapi adalah near-infrared yang memiliki
panjang gelombang 760 – 1400 nm dan mampu melakukan penetrasi ke lapisan
epidermal dan dermal, hingga menembus ke dalam jaringan subkutan. Infrared
lamp mampu meningkatkan sirkulasi darah dan metabolisme. Beberapa studi juga
menyatakan bahwa terapi menggunakan radiasi sinar infrared dapat membantu
proses persembuhan luka dengan meningkatkan sintesis kolagen, proliferasi sel,
dan motilitas keratinosit. Akan tetapi, penggunaan infrared lamp yang terlalu sering
dan lama dapat mengakibatkan pengerutan kulit. Hal ini diakibatkan paparan
infrared menyebabkan kelembapan kulit menurun dan meningkatkan pigmentasi
dan elastisitas secara signifikan.

Gambar 9 Infrared lamp

Heating pad
Heating pad merupakan alas yang dapat menghasilkan panas melalui listrik.
Alat ini berguna untuk menghangatkan hewan pada saat cuaca yang dingin, post-
operasi, setelah melahirkan, atau pada hewan tua dengan gangguan arthritis dan
sendi. Heating pad umum digunakan pada saat pembedahan untuk menjaga suhu
tubuh hewan berada pada rentang normal.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 10 Heating pad

Inkubator
Inkubator merupakan alat yang digunakan untuk memberikan lingkungan
yang steril dengan suhu alat yang konstan dan teratur, kelembapan serta aliran udara
yang terjaga. Udara yang masuk ke dalam inkubator harus melalui filtrasi
antibakteri sehingga dapat menjamin ruangan di dalam inkubator tetap steril. Alat
ini digunakan untuk membantu menyediakan lingkungan yang mendukung
terutama pada anakan yang terlahir premature dan membutuhkan pengamatan
intensif.

Gambar 11 Incubator

Peralatan Fluid Therapy

Peralatan berikut ini digunakan untuk membantu memasukkan cairan ke


dalam tubuh pasien dalam volume dan waktu tertentu. Selain cairan, alat-alat ini
juga dapat membantu memberikan medikasi secara berkesinambungan dan dengan
dosis yang akurat.

Infusser Cuffs / Infussion Cuff


Infussion cuff berguna untuk membantu mendorong cairan dalam botol infus
agar dapat keluar lebih cepat. Alat ini biasa digunakan pada saat melakukan flushing

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat. Selain itu, alat ini juga biasa
digunakan pada saat melakukan infus pada kuda dalam jumlah banyak dan cepat.

Gambar 12 Infusion cuff

Infusion Pump
Infusion Pump merupakan alat yang digunakan untuk memasukkan cairan,
darah, atau obat dengan volume dan frekuensi pemberian yang telah ditentukan
secara otomatis melalui rute intravena. Terdapat alarm pada infusion pump yang
berfungsi untuk memberitahu petugas bahwa cairan tidak dapat mengalir atau
kantung cairan sudah kosong. Alat ini memastikan bahwa cairan masuk dalam
jumlah dan waktu yang tepat, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.

Gambar 13 Infusion pump

Syringe Pumps
Syringe pumps merupakan alat yang digunakan untuk memberikan medikasi
melalui syringe menggunakan piston yang akan mendorong isi syringe sesuai
dengan flow-rate yang sudah ditentukan. Ketika kecepatan aliran telah ditentukan
pada alat, pompa akan mendorong syringe dengan kecepatan yang konstan. Alat ini
sangat berguna untuk memberikan obat dalam jumlah yang sedikit secara akurat.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 14 Syringe pumps

Monitor Kelistrikan Jantung

Electrocardiography (ECG)
Elektrokardiografi merupakan interpretasi transtoraks terhadap gambaran
kelistrikan jantung dalam kurun waktu tertentu dan direkam melalui elektroda kulit.
Alat ini dapat mendeteksi dan menjelaskan perubahan kelistrikan pada kulit sekecil
apapun yang disebabkan oleh otot jantung yang mengalami depolarisasi dan
repolarisasi pada tiap denyutnya.
Terdapat tiga kondisi kelainan jantung yang dapat terdeteksi pada saat
dilakukan ECG yaitu:
a. Fibrilasi, yaitu kondisi jantung yang berdebar yang menghasilkan
kontraksi yang tidak jelas dan tidak efektif. Gambaran ECG yang terlihat
adalah gelombang kecil dan berdekatan.
b. Asistolik, yaitu kondisi dimana tidak ada aktifitas kelistrikan dari jantung.
Gambaran ECG yang terlihat adalah “flat line” sehingga pasien dapat
dinyatakan mati secara klinis.
c. Abnormalitas konduksi, yaitu kondisi gangguan pada arus kelistrikan
jantung. Hal ini menghasilkan gambaran ECG yang tidak seragam, yang
menunjukkan kekuatan kontraksi yang tidak konstan.

Gambar 15 Mesin electrocardiogram

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Peralatan Penanganan Cardiac Arrest

Cardiac arrest merupakan kondisi dimana fungsi mekanis jantung melemah.


Kondisi ini umumnya terjadi akibat terjadi disfungsi kelistrikan pada sel-sel jantung
yang mengakibatkan disorganisasi dari ritme jantung hingga gagal jantung. Apabila
kondisi ini terjadi, resusitasi kardiopulmonar (CPR) sangat penting untuk segera
dilakukan. Jika syok terjadi, defibrilasi harus segera diberikan pada pasien
menggunakan alat defibrillator.

Defibrillator
Defibrilator merupakan stimulator denyut jantung yang memanfaatkan aliran
listrik bertegangan tinggi untuk memulihkan pasien yang mengalami cardiac arrest
(terhentinya kerja jantung). Alat ini harus digunakan secara hati-hati karena resiko
penggunaannya sangat tinggi. Kesalahan pemberian dosis kelistrikan pada jantung
akan sangat berbahaya bagi pasien.
Listrik yang dihantarkan oleh defibrillator akan mengakibatkan sel-sel pada
jantung berdepolarisasi secara bersamaan, kondisi ini memungkinkan SA node
untuk berfungsi kembali dan menghasilkan pola kelistrikan yang normal. Akan
tetapi, SA node ini tidak selalu berfungsi kembali setelah diberi kejutan listrik dari
defibrillator. Cara menggunakan defibrillator adalah dengan meletakan satu padel
yang berlabelkan “sternum” pada bagian kanan pasien di dekat klavikula,
sedangkan padel satunya yang berlabel “apex” diletakkan di bagian kiri dekat
tulang rusuk.

Gambar 16 Defibrillator

Peralatan Penanganan Perdarahan

Electrocauter
Merupakan alat yang digunakan untuk mengatasi perdarahan pada proses
pembedahan. Mekanisme kerja alat ini adalah dengan memanfaatkan energi listrik
yang muncul dari aliran elektron. Tingginya resistensi jaringan akibat arus elektron
ini menghasilkan panas yang mengevaporasi atau mendenaturasi jaringan. Hal ini
lah yang akan menyebabkan pendarahan berhenti.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Terdapat unipolar electrocauter dimana diperlukan return electrode monitor


(REM) yang diletakkan di bawah tubuh pasien yang akan meneruskan arus dari
elektroda melalui tubuh pasien kembali ke generator. Sedangkan bipolar
electrocauter memiliki dua elektroda yang berbentuk seperti ujung forceps, satu
elektroda berfungsi untuk mengalirkan arus dan elektroda satunya berguna
mengalirkan kembali arus ke generator.

Gambar 17 Bipolar dan unipolar electrocauter

Peralatan Aspirator

Aspirator (Suction Unit)


Alat yang digunakan sebagai pompa penghisap cairan pada saat pembedahan.
Cairan dihisap agar lapang pandang pembedahan lebih jelas dan tidak tertutup darah
maupun cairan lainnya.

Gambar 18 Suction unit

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Peralatan Endoskopi

Endoscope
Endoscope adalah alat untuk melakukan tindakan endoskopi. Alat ini terdiri
dari tiga bagian yaitu bagian selang tabung (scope), sumber cahaya, dan lensa.
Secara umum, endoskopi digunakan dengan cara dimasukkan ke dalam tubuh
melalui jalur nasal, oral, atau melalui sayatan kecil pada tindakan bedah dengan
tingkat invasi yang minimal (minimally invasive surgery). Keuntungan dari
penggunaan endoskopi pada bidang medis adalah dapat mengetahui secara
langsung dan dapat melakukan observasi real-time terhadap lesio yang ada pada
organ internal. Lokasi dan ukuran lesion dapat diketahui melalui gambar video
(video imaging).
Terdapat dua tipe endoscope yaitu fleksibel dan rigid. Flexible endoscope
digunakan untuk menguji kedalaman struktur yang melingkar atau bercabang
seperti lambung, intestinal, cabang bronchial, dan urethra. Contoh flexible
endoscope adalah gastroduodenoscopy, bronchoscopy, dan colonoileoscopy. Rigid
endoscope digunakan untuk menguji struktur yang cenderung linear atau tidak
bercabang dan tidak melingkar. Contoh dari rigid endoscope adalah
esophagoscopy, laryngoscopy, rhinoscopy, dan laparoscopy.

Gambar 19 Rigid endoscope

Gambar 20 Flexible endoscope

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

DAFTAR PUSTAKA

[ATS] American Thoracic Society. 2020. Nebulizer breathing treatments at home.


New York (US): AJRCCM Articles in Press.
Abdel-Magied N, Ahmed AG, Shedid SM. 2018. Near-infrared heat lamp
therapeutic effect on paraoxonase 1 and myeloperoxidase as potential
biomarkers of redox state changes induced by γ-irradiation in albino rats.
Journal of Photochemistry and Photobiology. 179: 105 – 112.
Baura G. 2008. A Biosystems Approach to Industrial Patient Monitoring and
Diagnostic Devices. Connecticut (US): Morgan & Claypool Publishers.
Judah V. 2014. Veterinary Clinical Procedures in Small Animal Practice. Stamford
(US): Cengage Learning.
Kim C, Hwang DH, Lee S, Kim SJ. 2016. Water-head pumps provide precise and
fast microfluidic pumping and switching versus syringe pumps. Microfluid
Nanofluid. 20(1): 1 – 8.
Kim SJ, Park J, Kim J. 2017. Changes in dermatological characteristics of skin
caused by electroluminescent infrared heating lamp in healthy Korean man.
Toxicology and Environmental Health Sciences. 9(2): 141 – 151.
Nezhat CR, Siegler AM, Nezhat FR, Nezhat CH, Seidman DS, Luciano AA. 2000.
Operative Gynecologic Laparoscopy: Principles and Techniques, 2nd Edition.
New York (US): McGraw-Hill Companies.
Parsaei H, Vakily A, Shafiei AM. 2017. A wireless electronic esophageal
stethoscope for continuous monitoring of cardiovascular and respiratory
systems during anesthesia. J. Biomed. Phys. Eng. 7(1): 69 – 78.
Setyowati H. 2019. Uji kinerja dan tingkat akurasi alat defibrilator dengan
menggunakan defibrillator analyzer [tesis]. Banjarmasin (ID): Universitas
Islam Kalimantan.
Shin YJ, Borges VA, Souza HP. 2020. Comparison between amiodarone and
lidocaine for ventricular fibrillation treatment during cardiopulmonary
resuscitation: a systemic review. Rev. Med. 99(1): 46 – 55.
Tracy M, Maheswari R, Shah D, Hinder M. 2016. Can ambu self-inflating bag and
neopuff infant resuscitator provide adequate and safe manual inflations for
infants up to 10 kg weight?. Archives of Diseases in Childhood-Fetal and
Neonatal Edition. 102(4): 333 – 338.
Tusman G, Bohm SH, Suarez-Sipmann F. 2017. Advanced uses of pulse oximetry
for monitoring mechanically ventilated patients. Anesthesia and Analgesia.
124(1): 62 – 71.
Wirayuda IDM, Wisana IDGH, Nugraha PC. 2019. Apnea monitor based on
Bluetooth with android interface. IJEEMI. 1(2): 50 – 56.
Yaz M, Kilicarslan KC. 2019. Incubator automation and medical thermal image
control system design for newborn. El-Cezeri Journal of Science and
Engineering. 6(1): 868 – 880.
Zhang K, Wang H, Yuan B, Wang L. 2017. An image enhancement technique using
nonlinear transfer function and unsharp masking in multispectral endoscope.
Proceeding of SPIE. 10245:

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 6 APLIKASI OBAT PARENTERAL, VENESECTION,


HEMORRHAGI, DAN PENASAKAN DARAH

Aplikasi Obat Oral

Aplikasi obat oral merupakan pemberian obat melalui mulut dengan


menggunakan tangan atau dengan alat. Obat-obat yang dimasukkan melalui oral
merupakan obat yang akan diabsorbsi di saluran pencernaan seperti lambung dan usus.
Pemberian obat oral ini dapat diberikan setelah makan apabila obat bersifat asam, dan
dapat diberikan sebelum makan.
Bentuk dan cara pemberian obat oral:
- Tablet, kaplet, kapsul: dimasukkan ke dalam mulut hewan menggunakan
tangan atau pelontar kapsul/tablet. Kepala hewan didongakkan (tangan dari atas
kepala hewan), dan sudut mulut hewan dipegang menggunakan hari jempol dan
telunjuk dari tangan yang sama. Obat dipegang di tangan lain menggunakan
jempol dan telunjuk, lalu mulut dibuka dengan cara menarik rahang bawah
dengan jari tengah. Obat ditaruh di pangkal mulut, lalu mulut hewan segera
ditutup hingga hewan menelan obatnya.
- Sirup/eliksir: dapat diberikan dengan menggunakan syringe yang dilepas
jarumnya. Mulut dibuka sama seperti dengan cara yang sebelumnya, lalu ujung
syringe disisipkan dari sudut mulut, lalu obat disemprotkan. Obat yang
berbentuk cairan juga dapat diberikan menggunakan sonde lambung/intubasi
lambung.

Aplikasi Obat Parenteral

Obat-obatan yang diberikan secara injeksi disebut sebagai obat parenteral.


Administrasi obat ini dilakukan dengan cara injeksi melalui intrakutan/intradermal,
subkutan (SC), intramuskular (IM), intraperitoneal (IP), dan intravena (IV).

Gambar 1 Teknik injeksi parenteral

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Injeksi Intrakutan/Intradermal
Injeksi ini dilakukan pada lapisan kulit. Pada umumnya injeksi rute ini
dilakukan untuk administrasi obat anestesi lokal.
Teknik penyuntikan:
- Penusukkan jarum suntik dilakukan dengan kemiringan 35-45⁰ dari permukaan
kulit. Hal tersebut dilakukan agar jarum suntik tidak memasuki ruang subkutan.
- Jarum suntik tepat memasuki lapisan kulit ketika terasa sedikit tekanan pada
saat larutan diinjeksikan, apabila hanya terasa sedikit hingga tidak ada tekanan,
maka jarum suntik memasuki ruang subkutan.

Injeksi Subkutan (SC)


Subkutan merupakan lapisan kulit yang berbentuk ruang di bawah kulit dan
tepat di atas otot. Ruang subkutan ini dapat digunakan untuk administrasi obat dengan
volume yang tinggi dalam satu injeksi (contoh: administrasi cairan untuk mencegah
atau mengobati pasien dehidrasi). Bioavailabilitas obat yang diadministrasikan secara
subkutan akan lebih lama dibandingkan dengan obat yang diadministrasikan secara
intravena. Hal ini terjadi karena obat terlebih dahulu diserap oleh lemak sebelum
memasuki aliran darah dan ke target organ.
Teknik penyuntikan:
- Mencubit lipatan kulit hewan kecil di daerah tengkuk, atau sepanjang punggung,
lalu diangkat.
- Jarum dapat dimasukkan secara perpendikular pada lipatan kulit tersebut.
- Sebelum obat dimasukkan, syringe terlebih dahulu diaspirasikan untuk
memastikan tidak ada darah dan terdapat tekanan negatif.
- Lepas cubitan kulit secara perlahan ketika obat sudah diadministrasikan, lalu
area penyuntikan dimasase secara perlahan.

Injeksi Intramuskular (IM)


Injeksi melalui rute ini memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan
rute SC. Resiko tersebut adalah mengenai pembuluh darah atau syaraf yang menempel
pada otot. Penyuntikan ini juga akan menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi pasien,
sehingga pasien akan lebih sering bergerak, dan dapat meningkatkan resiko kerusakan
jaringan. Injeksi melalui rute ini tidak bisa digunakan untuk obat dengan volume yang
terlalu banyak dibandingkan dengan rute sc.
Volume maksimal obat yang diinjeksikan pada satu titik:
- 2 ml pada kucing dan anjing ras kecil
- 5 ml pada anjing ras sedang hingga besar.
Tempat injeksi hewan kecil:
- Otot hamstring: M. semitendinosus dan m. semimembranosus
- Otot triceps: M. triceps brachii caput lateral, m. biceps

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

- Otot quadriceps: kranial dari trochanter femur.


- Otot lumbar: M. lumbosacral lateral. Situs injeksi adalah pada vertebrae
lumbalis ke-3 hingga ke-5
- M. latissimus dorsi
Tempat injeksi hewan besar:
- M. trapezius (area segitiga pada leher di bawah ligamentum nuchae)
- M. biceps
- M. gluteus medius
- Otot hamstring
- M. deltoideus pars scapularis
- M. ommotransfersarius

Injeksi Intraperitoneal (IP)


Injeksi rute ini dilakukan pada ruang abdominal. Pada umumnya administrasi
obat melalui rute ini dilakukan ketika injeksi iv atau im tidak dapat dilakukan. Hal
tersebut terjadi ketika obat dalam jumlah banyak dan perlu diabsorpsi secara cepat.

Injeksi Intravena (IV)


Obat yang diinjeksi melalui rute ini dilakukan dengan menginjeksinya ke vena,
atau dapat juga arteri (dapat juga disebut intraarterial). Rute ini membuat obat
memasuki aliran darah, melewati jantung dan didistribusi ke target jaringan melalui
pembuluh darah. Rute pemberian intraarterial pada umumnya digunakan untuk obat
dengan konsentrasi tinggi, sehingga dapat memasuki target jaringan dengan cepat
melalui arteri yang spesifik.
Tempat injeksi hewan kecil:
- V. brachialis
- V. cephalica antebrachia dorsalis
- V. saphena lateralis
- V. cephalica accessorial
- V. auricularis (kelinci, babi, marmur)
Tempat injeksi hewan besar:
- V. jugularis (1/3 dorsal leher)
- V. cephalica antebrachii dorsalis
- V. brachialis
- V. saphena
- V. femoralis

Venesectio

Venesectio merupakan teknik pengambilan darah untuk keperluan


pengambilan sampel darah. Terdapat tiga tipe venesectio, yaitu phlebotomia (dilakukan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

pada vena), arteriotomia (dilakukan pada arteri), dan scarification (dilakukan pada
kapiler). Venesectio ini digunakan untuk pengambilan darah volume sedikit maupun
banyak. Darah umumnya digunakan untuk pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaan kimia darah, hematologi, ulas darah, atau pemeriksaan lain. Alat yang
digunakan pada saat venesection adalah jarum (27-18G), syringe (1-25 ml), vacutainer,
tourniquet, dan kapas alkohol. Venesection juga dapat dilakukan untuk memberikan
larutan infus dengan menggunakan intravenous catheter.
Teknik venesection:
- Cukur rambut di daerah injeksi bila perlu, lalu usap bagian injeksi dengan
alkohol agar vena dilatasi dan menjadi lebih jelas
- Tourniquet dipasang atau memegang/menekan bagian kranial dari titik injeksi
sehingga vena terbendung dan terlihat lebih jelas.
- Pembuluh darah difiksasi menggunakan jari jempol, jarum diposisikan sejajar
dengan jari. Jarum ditusukkan pada vena tersebut, lalu tourniquet/tekanan
dilepas.
- Jarum diaspirasi untuk memastikan apakah jarum suntik benar-benar masuk ke
dalam vena.
- Obat diadministrasikan atau darah diambil.
- Jarum suntik dilepas, dan tempat penyuntikan ditekan beberapa saat untuk
mencegah pendarahan.
Lokasi venesection anjing dan kucing:
- V. jugular externa
- V. cephalica
- V. saphena lateralis
- V. cephalica accessorial
Lokasi venesection babi dan kelinci: v. auricularis
Lokasi venesection hewan besar:
- V. jugularis
- V. coccygeal (sapi)
Lokasi venesection pada unggas: v. axillaris, v. brachialis

HEMORAGI

Hemoragi/perdarahan dapat terjadi apabila terdapat gangguan pada endotelium


dari pembuluh darah, platelet, dan faktor koagulasi darah. Hemoragi dapat disebabkan
oleh endotoksemia, agen infeksius, bahan kimia, trauma, dan penyakit lain. Endotoksin
yang dihasilkan dari bakteri Gram negatif dapat menyebabkan kerusakan endotel
sehingga terjadi hemoragi secara luas. Agen infeksius yang dapat menyebabkan
hemoragi contohnya adalah canine adenovirus-1 atau feline panleukopenia. Bahan
kimia yang dapat menyebabkan kerusakan endotelium contohnya adalah uremic toxin.
Proses hemoragi:

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

- Per-rhexis: terjadi kerusakan (robekan) pada pembuluh darah sehingga banyak


darah yang keluar dari pembuluh darah.
- Per-diapedesis: ketika terjadi gangguan pada pembuluh darah sehingga sedikit
darah yang keluar dari pembuluh darah.
Tipe Hemoragi berdasarkan ukuran:
- Petechie: hemoragi berukuran 1-2 mm seperti titik-titik (kerusakan pembuluh
darah kecil)
- Ekimosis: berukuran diameter 2-3 cm (kerusakan pembuluh darah yang lebih
besar)
- Suffusive: berukuran besar
- Hematoma: Hemoragi yang terjadi secara lokal di dalam jaringan, dan
umumnya terjadi kebengkakan (sering terjadi sebagai efek samping dari
venesectio).

Gambar 2 Perdarahan ekimosa dan suffusive

Penasakan

Penasakan merupakan upaya untuk menghentikan perdarahan sehingga terjadi


hemostasis. Proses hemostasis pada pembuluh darah melibatkan aktivasi platelet dan
faktor pembeku darah yang bersirkulasi dalam pembuluh darah. Hemostasis
merupakan respon fisiologis dari adanya kerusakan pembuluh darah. Proses ini
melibatkan penutupan kembali pembuluh darah yang rusak dan pencegahan kehilangan
darah dalam jumlah yang banyak.
Proses hemostasis terdiri dari hemostasis primer, sekunder, retraksi thrombus,
dan perbaikan jaringan.
1. Hemostasis primer: Terjadi vasokonstriksi dari pembuluh darah tersebut
beberapa saat setelah terjadinya kerusakan endotelium. Vasokonstriksi terjadi
akibat adanya pelepasan hormone adrenalin/epinefrin dari SSP saat terjadi
kerusakan pada hemoragi. Proses ini dapat membuat sel endotel dari tepi
kerusakan dapat kontak dengan endotel lainnya. Kontak tersebut akan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

menyebabkan adanya adesi dari endotel tersebut sehingga dapat mengurangi


volume darah yang keluar dari daerah kerusakan. Platelet pada saat itu juga
datang ke daerah kerusakan dan membantu adesi dari endotel.
2. Hemostasis sekunder: Pembentukan fibrin terjadi dari proses pembekuan darah
sehingga terbentuk thrombus fibrin-platelet pada daerah kerusakan.
3. Retraksi thrombus (thrombolysis): Proses meluruhnya thrombus fibrin-platelet
untuk membentuk patch sementara pada daerah kerusakan.
Kegagalan dalam proses hemostasis secara alami dapat disebabkan oleh adanya
gangguan dalam sekresi hormone adrenalin/epinefrin, kekurangan vitamin K dan ion
Ca, lukanya terlalu besar, dan juga apabila menderita penyakit (contoh: hemofilia).
Teknik penasakan
- Hemoragi tekanan kecil: dapat dihentikan dengan menekan titik perdarahan
menggunakan kassa atau tampon
- Hemoragi dari pembuluh darah kecil: penggunaan hemostatic tissue forceps
selama beberapa menit
- Hemoragi dari pembuluh darah besar: ligasi/penjahitan pembuluh darah harus
dilakukan
- Penggunaan alat electrocautery
- Penggunaan bahan kimia (Fe, Cl3, AgNO3, CuSO4, adrenalin/epinefrin, vitamin
K)

Electrocautery
Electrocautery merupakan alat yang dapat digunakan untuk menghentikan
perdarahan. Alat ini menggunakan arus listrik. Alat electrocautery dapat digunakan
untuk mengoagulasikan darah dari pembuluh darah kecil atau memotong jaringan
menggunakan panas yang dihasilkan oleh arus listrik melalui kawat besi/probe.

DAFTAR PUSTAKA

Burns KM, Renda-Francis L. 2014. Textbook for the Veterinary Assistant. Iowa (US):
John Wiley & Sons.
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG,
Schulz KS, Willard MD. Small Animal Surgery, Fourth Edition. Iowa (US):
John Wiley & Sons.
McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Missouri
(US): Mosby ElSevier.
Mealey KL. 2019. Pharmacotherapeutics for Veterinary Dispensing. Iowa (US): John
Wiley & Sons.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Virgina Tech. 2017 SOP: Injections in dogs and cats. [Internet]. [diunduh pada 2020
Juli 3]. Tersedia pada: https://ouv.vt.edu/content/dam/ouv_vt_edu/sops/small-
animal/sop-dogs-and-cats-injections.pdf.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 7 BIOMATERIAL BENANG JAHIT, JARUM, POLA


PENJAHITAN, DAN HOMEOSTASIS

Biomaterial Benang Jahit

Material benang jahit yang ideal harus memenuhi syarat mudah dipegang (tidak
licin), reaksi jaringan minimal, menghambat pertumbuhan bakteri, aman ketika benang
diikat pada jaringan/otot, tidak menyusut di dalam jaringan, terabsorbsi dengan reaksi
yang minimal ketika jaringan sembuh, tidak kapilaritas, non alergenik, non karsinogenik
dan nonferromagnetik. Operator bedah harus mampu memilih jenis benang yang tepat
sesuai dengan prosedur maupun jaringan yang akan dijahit. Berikut merupakan
karakteristik benang yang perlu diperhatikan (Tabel 1).

Tabel 1 Karakteristik benang jahit dalam prosedur bedah


Karekteristik Keterangan
Ukuran benang Standar ukuran benang jahit:
 United States Pharmacopeia (USP): klasifikasi benang dari yang
sangat halus (diameter kecil) hingga benang kasar menurut skala
numerik. Benang ukuran 12-0 adalah yang terkecil, ukuran 10 adalah
yang terbesar.
 European Pharmacopeia (EP): klasifikasi ukuran benang (ketebalan
milimeter) berdasarkan sistem angka desimal
Fleksibilitas Ditentukan oleh kekakuan dan diameter benang tersebut. Benang
dengan diameter besar akan lebih kaku atau kurang fleksibel. Benang
yang fleksibel digunakan untuk menjahit pembuluh darah dan pada jenis
jahitan continous.
Karakteristik Permukaan luar benang memengaruhi kemudahannya dalam melewati
permukaan benang jaringan sehingga tidak menimbulkan trauma. Benang multifilamen
yang dipilin memiliki lebih banyak hambatan pada permukaannya
dibandingkan benang monofilamen, sehingga perlu dilapisi dengan
bahan halus (tujuan lain: mengurangi kapilaritas).
Kapilaritas Merupakan proses di mana cairan luka dan bakteri dapat masuk ke
celah-celah benang multifilamen sehingga dapat menyebabkan infeksi
pada luka. Untuk menurunkan kapilaritasnya, benang multifilamen
perlu dilapisi dengan bahan tertentu.
Kekuatan tarikan Kekuatan benang dalam menahan luka harus sekuat jaringan normal
(tensile strength) namun tarikan dalam penjahitan tidak boleh terlalu kuat. Keamanan
benang dan simpul ditentukan oleh kapasitas material benang dalam
keamanan simpul mempertahankan simpul.

Material benang jahit diklasifikasikan berdasarkan kemampuan penyerapannya


pada jaringan (absorbable dan non-absorbable), struktur benang (monofilamen dan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

multifilamen), serta asal bahan (organik, sintetik, metalik). Mekanisme absorbsi benang
pada jenis absorbable suture dilakukan melalui proses degradasi. Benang absorbable
organik, seperti catgut, akan dihancurkan oleh enzim dan terfagosit, sedangkan benang
polimer sintetis akan dihancurkan dengan proses hidrolisis. Benang non absorbable akan
terkapsulasi oleh jaringan fibrosa.
Benang monofilamen terbuat dari satu utas benang sehingga memiliki hambatan
jaringan lebih sedikit (risiko trauma jaringan minimal) dan tidak memiliki celah yang
memungkinkan untuk penyerapan cairan luka dan pertumbuhan bakteri. Penanganan
benang monofilamen harus dilakukan dengan baik (misalnya saat dijepit dengan needle
holder atau jarum) karena benang mudah rusak dan berisiko melemahkan jahitan. Benang
multifilamen terdiri dari beberapa utas benang yang dipilin sehingga risiko hambatan
pada jaringan lebih tinggi akibat permukaan yang tidak rata. Oleh karena itu beberapa
jenis benang dilapisi dengan bahan tertentu untuk mengurangi risiko ini. Benang
multifilamen umumnya lebih fleksibel dari monofilamen.

Tabel 2 Jenis dan karakteristik benang jahit


Karakteristik Nama Generik Nama Paten Lama
Penyerapan
(hari)
Organik, absorbable, Catgut - 60
multifilamen
Sintetis, absorbable, Polydioxane PDS II 180
monofilamen Polyglyconate Maxon 180
Poliglecaprone 25 Monocryl 90-120
Glycomer 631 Biosyn 90-110
Polyglytone 6211 Caprosyn 56
Sintetis, absorbable, Polyglactin 910 Vicryl, Vicryl Plus 56-70
multifilamen Polyglycoic acid Dexon “S” (uncoated) 60-90
Dexon II (coated)
Glycolide/lactide Polysorb 60
polymer
Sintetis, nonabsorbable, Polyamide (nylon) Ethilon, Nurolon, -
monofilamen Dermalon
Polypropylene Prolene, Surgilene, -
Fluorofil
Polybutester Novafil -
Sintetis, nonabsorbable, Polymerized Supramid, -
multifilamen caprolactam Braunamid,
Vetcassette II
Polyamide (nylon) Surgilon -
Metal, nonabsorbable, Stainless steel wire Flexon (multifilamen) -
monofilamen atau
multifilamen

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Benang Absrobable
 Catgut. Benang catgut terbuat dari submukosa usus domba atau serosa usus sapi
dan mengandung sekitar 90% kolagen. Benang ini diawetkan dengan garam
chromic untuk menambah kekuatan material, menurunkan reaski inflamasi, dan
penyerapan lebih lambat. Peradangan, infeksi, dan keadaan katabolik dapat
mempercepat penyerapan benang. Kekurangan catgut yaitu handling quality yang
rendah (licin) dan kekuatan simpul/ikatan menurun pada kondisi basah. Saat ini
catgut jarang digunakan karena ketersediaan benang sintetis dengan kualitas
penyerapan yang lebih baik.
 Polydioxanone. Benang sintetis monofilamen dari polimer paradioxanone.
Benang ini memiliki kekuatan tarikan yang lebih besar dibandingkan catgut dan
memiliki daya hambat jaringan yang lebih rendah dibandingkan benang
multifilamen. Benang polydioxanone memiliki handling quality yang rendah
(licin) dan kekuatan simpul yang lemah jika dibandingkan dengan benang sintetis
lainnya. Polydioxanone kehilangan kekuatan tarikannya hanya sebesar 20%
dalam 2 minggu sehingga benang ini tepat digunakan pada jaringan yang memiliki
beban regangan dalam waktu yang lama selama proses persembuhannya, seperti
linea alba.
 Polygliconate. Benang ini memiliki karakteristik yang mirip dengan
polydioxanone yang mampu mempertahankan kekuatan tarikan sekitar 75%
dalam 14 hari. Namun benang jenis ini memiliki kekuatan simpul yang lebih baik
dibandingkan polydioxanone. Selain itu polygliconate hanya sedikit
menimbulkan reaksi jaringan.
 Poliglecaprone. Benang sintetis monofilamen yang terbuat dari kopolimer
glikolida dan epsilon caprolakton. Kelebihan benang ini memiliki kekuatan
tarikan (tensile strength) yang tinggi di awal dan menurun dengan cepat dalam 14
hari, sehingga cocok digunakan untuk penjahitan VU dan jaringan subkutan.
Selain itu benang ini memiliki kekuatan simpul dan handling quality yang bagus
(tidak licin). Beberapa penelitian menunjukkan benang poliglecaprone dapat
menimbulkan peradangan ringan pada penjahitan linea alba kucing.
 Glycomer 631. Benang sintetis monofilamen yang terbuat dari kombinasi
glikolida, dioksanon, dan trimethylene carbonate. Benang ini kehilangan 25%
kekuatan tarikan (tensile strength) dalam 2 minggu dan mempertahankan jahitan
selama 3 minggu. Glycomer 631 diserap sempurna dalam 3-6 bulan.
 Polyglycolic acid (PGA). Polyglycolic acid merupakan benang sintesis
multifilamen yang lebih kuat dan lebih minimal memicu reaksi peradangan pada
jaringan jika dibandingkan dengan catgut. Benang ini dapat dipegang dengan
mudah, namun menimbulkan hambatan pada jaringan dan kekuatan simpul yang
cukup lemah. Polyglycolic acid tidak disarankan penggunaannya untuk penjahitan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

jaringan di rongga mulut dan VU yang terinfeksi karena suasana pH basa akan
mempercepat proses hidrolisa benang.
 Polyglactin 910. Benang Polyglactin 910 merupakan benang multifilamem yang
dipilin dan disintesis dari 90% glikolida dan 10% L-laktida. Pelapisan polyglactin
910 dengan kalsium stearat dan copolymer (polyglactin 370) dapat memperhalus
permukaan benang (mengurangi hambatan jaringan) tetapi juga mengurangi
kekuatan simpul. Polyglactin 910 paling baik digunakan pada jaringan yang
meregang, seperti VU dan saluran pencernaan. Vicryl-Rapide merupakan jenis
benang polyglactin 910 yang diradiasi untuk meningkatkan daya serap benang.
 Glycolide/lactide polymer. Benang sintesis multifilamen yang dipilin dan dilapisi
dengan kopolimer caprolakton, glikolida, dan kalsium stearoil laktilat. Benang ini
dapat mempertahankan jahitan selama 3 minggu dan diserap sempurna dalam 56-
70 hari.

Benang Non-absorbable
 Silk. Benang multifilamen yang terbuat dari kepompong ulat sutera. Silk dapat
menimbulkan reaksi peradangan dan memiliki kapilaritas yang tinggi. Kelebihan
benang ini yaitu murah, handling quality dan keamanan simpul yang baik.
Pelapisan dengan lilin atau silikon dapat mengurangi kapilaritas dan respon
inflamasi pada jaringan. Silk dapat menimbulkan granuloma pada jaringan/organ
yang berongga. Silk kehilangan sebagian besar kekuatan tarikannya dalam 6
bulan. Saat ini, silk masih umum digunakan dalam operasi vaskular dan ligatur
yang murah dengan kualitas yang cukup bagus.
 Polyester. Benang multifilamen yang terbuat dari polietilen tereftalat. Polyester
lebih kuat dan tahan lama dari catgut dan silk. Benang ini dapat memicu
peradangan dan memiliki daya hambat yang tinggi dalam jaringan. Akan tetapi
pelapisan benang dengan polibutilat dapat mengurani hambatan jaringan dan
meningkatkan kekuatan simpul. Polyester tidak boleh digunakan untuk menjahit
jaringan yang terinfeksi.
 Polybutester. Benang monofilamen yang terbuat dari polybutyline dan
polytetramethylene. Benang ini menimbulkan reaksi jaringan minimal dan
handling quality serta kekuatan simpul yang baik. Polybutester memiliki
elastisitas tinggi (lebih dari 30%) tanpa kehilangan kekuatan tarikan dan dapat
digunakan pada jaringan yang membutuhkan waktu lama dalam proses
penyembuhan, seperti linea alba dan tendon. Selain itu benang ini juga digunakan
untuk penjahitan kulit dan anastomosis vena dan arteri.
 Nylon. Terbuat dari hexamethylenediamine dan asam adipat. Benang ini tersedia
dalam bentuk monofilamen dan multifilamen. Nylon merupakan benang yang
memiliki elastisitas yang baik sehingga umum digunakan untuk penjahitan kulit.
Peradangan dan edema kulit pasca operasi sering terjadi dan kondisi ini akan
semakin parah apabila penjahitan menggunakan benang yang kurang elastis.
Nylon dapat terhidrolisis dalam waktu 2-3 tahun.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

 Polymerized caprolactam. Benang multifilamen yang dilapisi dengan polietilen


untuk meminimalkan kapilaritas. Benang ini memiliki kekuatan tarikan (tensile
strength) yang lebih baik dibandingkan nilon, catgut, dan silk. Reaksi jaringan
yang diakibatkan oleh material benang ini adalah pembengkakan dan
pembentukan sinus, sehingga hanya diindikasikan untuk menjahit kulit.
 Polypropylene. Benang sintesis yang non-absorbable yang hambatan
jaringannya minimal dan kekuatan simpul yang cukup baik. Polypropylene
merupakan salah satu benang trombogenik yang baik digunakan dalam operasi
vaskular.
 Stainless steel. Material ini biasa digunakan dalam bedah ortopedi dalam bentuk
implan stainless steel. Benang stainless steel tersedia dalam bentuk monofilamen
atau multifilamen. Benang ini dapat melukai jaringan dan menyebabkan
fragment, namun stabil pada luka yang terkontaminasi. Meskipun benang
stainless steel tidak umum digunakan untuk penutupan jaringan lunak, staples
kulit berbahan stainless steel makin populer digunakan.

Pemilihan Jenis Benang untuk Penjahitan


Kulit. Benang yang tepat digunakan dalam penjahitan kulit adalah benang
berstruktur monofilamen dengan kapilaritas yang rendah sehingga tidak terjadi
perpindahan bakteri dari permukaan kulit ke lapisan kulit dalam. Benang sintetik
monofilamen yang nonabsorbable (mis. nilon dan polypropylene) relatif tidak ada
kapilaritas dan memiliki kekuatan simpul yang baik.
Abdomen. Fascia pada abdomen biasanya dijahit dengan simple interrupted atau
continous. Jika menggunakan jenis jahitan continous, maka pilihan benang yang
digunakan adalah benang nonabsorbable yang kuat atau benang absorbable monofilamen
dan mampu menahan simpul dengan baik (mis. polypropylene, polybutester,
poludioxanone, polyglyconate).
Otot dan Tendon. Otot memiliki kekuatan menahan yang buruk dan sulit dijahit.
Benang yang digunakan dapat berupa benang absorbable maupun nonabsorbable.
Sedangkan material benang yang digunakan untuk menjahit tendon harus kuat,
nonabsorbable, dan reaktif yang minimal. Jenis jarum yang digunakan untuk penjahitan
tendon juga harus diperhatikan, trauma yang diakibatkan jarum seminimal mungkin
sehingga direkomendasikan jenis jarum taper atau taper-cut.
Organ Parenkim. Penjahitan organ parenkim seperti hati, limpa dan ginjal
umumnya menggunakan benang monofilamen absorbable. Penggunaan benang
multifilamen hanya akan merusak jaringan organ akibat permukaan benang yang tidak
rata dan menimbulkan hambatan jaringan.
Organ Berongga. Benang monofilamen absorbable umumnya
direkomendasikan untuk organ berongga, seperti trakea, traktus gastriontestinal, atau VU,
untuk mencegah retensi jaringan akibat benda asing apabila luka jahitan telah sembuh.
Penggunaan benang nonabsorbable ketika menjahit VU atau kantung empedu berpotensi

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

menimbulkan pembentukan calculi (calculogenic) dan dapat menyembul ke arah lumen


apabila digunakan untuk menjahit intestin.
Luka Infeksi/Kontaminasi. Penjahitan pada jaringan yang terinfeksi parah harus
dihindari karena benang yang tidak reaktif sekalipun dapat memperparah kondisi jaringan
terutama apabila terinfeksi E. coli atau Staphylococcus aureus. Benang multifilamen
nonabsorbable tidak boleh digunakan karena berpotensi memperparah infeksi dan
menimbulkan fistula. Benang yang direkomendasikan adalah material yang absorbable,
namun penggunaan catgut harus dihindari karena penyerapannya akan sulit pada jaringan
terinfeksi.
Pembuluh Darah dan Anastomosis Vaskular. Pembuluh darah harus dijahit
dengan material absorbable. Sedangkan anastomosis vaskular dilakukan dengan benang
monofilamen nonabsorbable seperti polypropylene. Benang nonabsorbable juga
digunakan untuk cangkok pembuluh darah.

Jarum Bedah

Pilihan jarum tergantung pada jenis jaringan yang akan dijahit (misalnya daya
tembus, kepadatan, elastisitas dan ketebalan), topografi luka (dalam atau dangkal),
karakteristik jarum (misalnya jenis mata jarum, panjang dan diameter). Tiga komponen
dasar jarum adalah bagian pangkal (swaged atau eye end), badan jarum (needle body),
dan ujung jarum (needle point).
Jarum dengan pangkal eye end (berlubang) dalam penggunaannya perlu
memasukkan benang terlebih dahulu sehingga akan terbentuk untai ganda benang. Untai
ganda ini akan memperbesar lubang (trauma) yang terbentuk di dalam jaringan ketika
jarum melewati jaringan tersebut. Bentuk eye end terbagi dalam 2 jenis, yaitu lubang
terutup (close) dengan tipe pangkal bulat (round), lonjong (oblong), atau persegi
(square); atau jenis French (terdapat 2 lubang dengan lubang paling luarnya terbuka).
Pemasangan benang dilakukan dengan arah dari lengkungan dalam jarum ke arah luar.
Eyed needle dalam kedokteran hewan sudah jarang digunakan dan digantikan dengan
swaged needle, mengingat trauma jaringan yang diakibatkan untai ganda benang pada
eyed needle. Jarum dan benang sudah disatukan pada jenis jarum swaged needle.
Badan jarum (needle body) tersedia dalam beberapa bentuk dan pemilihan jarum
yang tepat disesuaikan dengan jenis dan kedalaman jaringan serta ukuran luka. Badan
jarum dapat berbentuk lurus (straight), melengkung (curved), atau kombinasi keduanya.
Penggunaan jarum lurus (straight) umumnya pada jaringan yang dapat diakses dan
dikontrol dengan jari, misalnya kulit. Jarum lengkung (curved) tersedia dalam beberapa
pecahan lingkaran (5/8, ½, 3/8, ¼) dan digunakan pada penjahitan luka yang kecil atau
dalam. Jarum ¼ lingkaran digunakan untuk prosedur oftalmik. Jarum 3/8 dan ½
merupakan yang paling umum digunakan karena terkait dengan gerakan supinasi dan
pronasi tangan operator yang tidak begitu melelahkan. Kombinasi bentuk jarum lurus dan
lengkung disebut J-needle, ski-needle, atau f-needle dengan badan jarum yang lurus dan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

ujung yang melengkung. J-shape direkomendasikan untuk penjahitan endoskopik di


dalam tubuh. Badan jarum yang lurus memudahkan untuk dipegang oleh endoscopic
needle drivers.
Ujung jarum (needle point) tersedia dalam beberapa jenis, yaitu tumpul (blunt),
lancip (taper), dan cutting. Jarum tumpul (blunt) digunakan untuk jaringan yang rapuh,
namun pada jaringan yang normal jarum ini sulit digunakan. Jarum lancip (taper)
memiliki ujung tajam yang dapat menembus ke dalam jaringan dengan mudah. Jarum ini
tepat digunakan pada jaringan halus seperti organ pencernaan, lemak, kandung kemih,
dan otot.
Pada jaringan yang keras atau berserat seperti kulit, periosteum, dan fascia; jarum
dengan tipe cutting sangat tepat digunakan karena kelebihannya dalam penetrasi ke dalam
jaringan. Jarum cutting standar adalah tipe triangular yang memiliki permukaan tajam
pada lengkungan dalam jarum (bagian konkaf) sehingga memudahkan penyayatan
jaringan yang berserat. Namun bagian yang tajam pada konkaf jarum akan menyayat
jaringan ke arah superfisial sehingga bepotensi menipiskan jaringan. Hal ini dapat
menimbulkan risiko terputusnya jahitan (terutama apabila jarum tidak ditancapkan cukup
dalam). Oleh karena itu jenis jarum lainnya yaitu reverse cutting diharapkan dapat
mengatasi persoalan ini dengan bagian yang tajam berada di lengkungan luar jarum
(konveks). Jarum tapercut merupakan kombinasi dari jarum lancip (taper) dan cutting.
Jarum tapercut memiliki kelebihan dalam penetrasi jarum ke dalam jaringan karena ujung
yang lancip dan bagian yang tajam pada konkaf jarum.
Teknik dan posisi memegang jarum menentukan kekuatan jarum dalam
menembus jaringan. Jarum umumnya dijepit tegak lurus dengan sumbu memanjang dari
needle holder. Beberapa posisi memegang jarum yang umumnya digunakan adalah (a) di
dekat ujung jarum (needle point) untuk mendapatkan daya mendorong dan melewati
jaringan yang paling kuat, (b) di tengah jarum untuk penjahitan yang paling umum
digunakan, (c) di dekat pangkal jarum untuk menjahit jaringan yang halus dan jika jahitan
tersebut membutuhkan jarak yang lebar.

Pola Jahitan

Pemilihan pola jahitan dapat bervariasi tergantung pada daerah yang dijahit,
panjang sayatan, ketegangan jaringan yang akan dijahit, jahitan spesifik untuk apposition,
inversi, atau eversi dari jaringan. Pola jahitan secara luas dikategorikan sebagai
interrupted atau continous. Selain itu, pola jahitan juga dikelompokan dalam tiga grup,
yaitu appositional (penyatuan), inverting (inversi) dan tension-relieving (megurangi
ketegangan jaringan). Jahitan appositional ideal digunakan pada jaringan tanpa
ketegangan berlebihan, dan umum digunakan untuk menutup luka/sayatan pada kulit,
intestin, dan VU. Penyembuhan luka akan terjadi dengan optimal dan bekas luka yang
terbentuk sangat minimal apabila penyatuan bidang sayatan terjadi dengan baik. Jahitan
inversi (inverting suture) umumnya digunakan untuk menutup visera berongga pada

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

operasi lambung atapun urogenital. Inversi dapat menarik jaringan dan jahitan ke dalam
sehingga permukaan luka tidak terpapar dengan jaringan di luar dan meminimalisir
kontaminasi dan pembentukan adhesi. Pola jahitan tension-relieving digunakan untuk
mengurangi tekanan pada jahitan, seperti pada operasi rekonstruksi kulit dan
herniorrhaphy.

Tabel 3 Pola jahitan appotitional (penyatuan)


Pola Jahitan Kelebihan/kekurangan Kegunaan
Simple interrupted -Mudah dilakukan Kulit, fascia otot,
-Mampu menutup luka dengan aman traktus gastrointestinal
-Ketegangan yang sama di seluruh luka
-Dapat menyebabkan eversi tepi jika
pengikatan benang pada simpul terlalu
ketat
Interrupted cruciate -Penutupan luka lebih kuat dibandingkan Kulit, fascia otot
and figure of eight simple interrupted
sutures -Potensi eversi kulit lebih minimal
dibandingkan simple interrupted
Interrupted Pola deep superficial-superficial deep Penyatuan kulit
intradermal (dengan simpul yang
(subcuticular) terbenam dalam kulit)
Simple continous -Cepat dan ekonomis Subkutan, linea alba,
-Menyatukan kedua sisi sayatan dengan perut, dan small
rapat (apposition) dan relatif kedap udara intestine
serta cairan
-Kerusakan pada salah satu loop jahitan
atau simpul dapat merusak keseluruhan
jahitan
Continous intrademral -Pola horisontal atau vertikal Kulit
(subcuticular) -Apabila diaplikasikan dengan baik
maka terjadi penyatuan (aposisi) yang
baik pada sayatan dan aesthetic
Ford interlocking Lebih aman apabila terjadi kerusakan Kulit
jahitan (mis. benang putus pada salah
satu loop)
Gambee -Modifikasi dari simple interrupted Aposisi usus halus
-Mencegah eversi mukosa

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 4 Pola jahitan inverting (inversi)


Pola Jahitan Keterangan Kegunaan
Lambert -Mirip dengan jahitan mattress vertikal Menutup organ berongga
yang bersifat menginversi jaringan Fascia imbrication
-Interrupted ataupun continous
Cushing -Tampilan jahitan seperti sejajar Menutup organ berongga
dengan luka (sayatan)
-Tidak penetrasi hingga ke mukosa
Connell -Mirip dengan jahitan cushing, namun Menutup organ berongga
penetrasi hingga ke mukosa
Halsted -Variasi dari jahitan interrupted Fascia imbrication
lembert (seperti kombinasi dari
Lembert dan horizontal mattress) yang
menghasilkan inversi jaringan
Purse-string -Variasi jahitan Lembert -Penjahitan di sekitar ostomy tube
- Jahitan membentuk lingkaran - Penutupan sementara lubang anus
untuk mencegah kontaminasi feses
selama operasi dan untuk
penanganan prolaps rektum

Tabel 5 Pola jahitan tension-relieving (megurangi ketegangan jaringan)


Pola Jahitan Keterangan Kegunaan
Interrupted -Bersifat mengeversi (jaringan terkuak) -Penjahitan kulit, mukosa
vertical mattress namun tetap dapat menyatukan luka mulut dan fascia
sayatan apabila dilakukan dengan hati-jati
Horizontal -Berpotensi menurunkan suplai darah -Penjahitan kulit, subkutis,
mattress pada jaringan yang dijahit fascia
-Interrupted ataupun continous
Mayo mattress -Tumpang tindih ujung jaringan yang satu -Herniorrhaphy (seperti
dengan yang lainnya perbaikan dehiscnce linea
alba)
Near and far -Dapat menyebabkan eversi -Kulit dan fasia
variation -Mengurangi ketegangan tepi luka

Simpul benang pada akhir jahitan perlu diperhatikan untuk menunjang


keberhasilan hemostasis dan penutupan luka. Pemilihan teknik simpul yang tepat dapat
mencegah komplikasi dehiscence jahitan. Faktor-faktor yang memengaruhi keamanan
simpul adalah material benang, panjang ujung benang yang dipotong, dan struktur
konfigurasi simpul. Konfigurasi simpul yang paling direkomendasikan adalah
superimposisi pada squared knot.
Surgeon’s knot (simpul ahli bedah) dililitkan dua kali pada ikatan yang pertama
sehingga tidak mudah dikencangkan dan berpotensi mengendurkan jahitan. Jenis simpul
ini sering digunakan pada jaringan yang tegang, namun tidak dianjurkan apabila material
benang yang digunakan adalah benang yang dilapisi (coated) atau monofilamen. Pada
jaringan yang seperti ini, jenis simpul yang dianjurkan adalah squared knot (simpul

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

persegi) yang dapat mendukung penyatuan jaringan luka/sayatan yang lebih baik. Simpul
ahli bedah juga tidak direkomendasikan untuk ligasi pembuluh darah.

Gambar 1 Jenis simpul benang jahit operasi

Material benang multifilamen umumnya menghasilkan kekuatan ikatan yang


lebih baik dari benang monofilamen. Akan tetapi pelapisan benang (coated) menurunkan
kekuatan simpul dari benang multifilamen. Benang tidak boleh ditarik terlalu kencang
kecuali pada ligasi pembuluh darah (hemostasis). Jahitan kulit yang terlalu kencang dapat
menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien sehingga pasien akan berusaha melepaskan
atau membuka jahitan.

Hemostasis

Hemostasis secara fisiologis merupakan proses yang kompleks meliputi interaksi


antara dinding pembuluh darah, platelet, dan agen koagulasi lainnya yang menginisasi
pembentukan plug platelet dan fibrin pada saat terjadinya perlukaan pembuluh darah.
Perdarahan selama bedah terjadi apabila penyayatan jaringan sekaligus merobek
pembuluh darah. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa teknik hemostasis yang
dilakukan oleh operator.

Tekanan langsung dan hemostatic forceps


Tekanan langsung menggunakan tampon pada pembuluh darah yang bocor
merupakan metode hemostasis yang paling cepat. Penekanan tidak boleh dilakukan
terlalu kuat karena dapat menghambat mobilisasi trombosit dan faktor koagulasi. Selain
itu tampon tidak boleh digosok-gosok pada daerah perdarahan karena dapat menghambat

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

proses hemostasis. Teknik penekanan langsung dengan tampon ini dapat menghentikan
perdarahan secara permanen pada pembuluh darah kecil (kapiler) dengan tekanan darah
yang rendah. Namun pada pembuluh darah besar dengan tekanan darah yang tinggi,
teknik ini hanya bersifat sementara hingga pembuluh darah tersebut berhasil diligasi atau
ditutup dengan elektrokoagulasi.
Penjepitan pembuluh darah dengan hemostatic forcep juga dapat membantu
menghentikan perdarahan sementara atau permanen tergantung ukuran pembuluh darah.
Penggunaan hemostatic forcep harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak
jaringan terutama pembuluh darah yang dijepit. Oleh karena itu perlu diperhatikan
pemilihan forcep dengan ukuran pembuluh darah yang akan dijepit.

Ligasi pembuluh darah


Pembuluh darah yang besar disarankan untuk diligasi dengan benang untuk
menghentikan perdarahan. Ligasi ganda bahkan disarankan terutama pada arteri besar.
Arteri dan vena harus diligasi secara terpisah untuk mencegah terbentuknya fistula
arterivenous.
Jenis benang yang umum digunakan untuk ligasi pembuluh darah adalah benang
monofilamen maupun multifilamen yang dapat diserap (absorbable) seperti
poliglecaprone 25, polyglactin 910, dan chromic gut. Penggunaan silk juga umum pada
ligasi pembuluh darah karena benang ini cukup mudah dalam handling dan kekuatan
simpulnya. Simpul yang disarankan untuk ligasi pembuluh darah adalah square knot.

Electrosurgery
Electrosurgery merupakan penerapan elektrikal berfrekuensi tinggi pada
penyayatan jaringan maupun hemostasis. Gelombang elektrikal yang diaktifkan terus
menerus diterapkan pada pemotongan jaringan, sedangkan pada hemostatikum atau
koagulasi pembuluh darah diterapkan gelombang yang terputus-putus. Alat
electrosurgery memiliki pengaturan baik untuk sayatan (mode pemotongan) dan
koagulasi.
Electrosurgery jarang digunakan untuk penyayatan kulit karena dapat
menimbulkan nekrosis termal kolateral yang dapat memperlambat penyembuhan luka
dan memungkinkan dehiscence. Kombinasi penyayatan dan koagulasi pada
electrosurgery dapat menguntungkan dan efektif dalam jaringan yang banyak pembuluh
darah, seperti otot.
Elektrokoagulasi sering dikelirukan dengan electrocautery. Prinsip electrocautery
adalah memanaskan tip metal atau blade dengan voltase rendah, ampere tinggi, dan energi
dari alat ini tidak perlu melewati tubuh pasien. Panas dari metal tip atau blade
diaplikasikan secara langsung pada jaringan yang berpotensi menimbulkan nekrosa
thermal. Sedangkan pada elektrokoagulasi, energi elektrikal dari tip metal atau blade
bekerja secara langsung pada pembuluh darah. Energi elektrikal ini akan diserap oleh
jaringan pembuluh darah untuk dikonversi menjadi energi panas yang membantu

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

penutupan sayatan pada pembuluh darah. Elektrokoagulasi baik digunakan pada arteri
dengan diameter ≤ 1 mm dan vena berdiameter ≤ 2 mm.
Terdapat dua jenis elektrokoagulasi yaitu monopolar dan bipolar.
Elektrokoagulasi monopolar merupakan komponen electrosurgery yang paling umum
digunakan. Energi elektrikal yang keluar dari tip metal melewati tubuh pasien dan
ditangkap oleh pelat metal yang ditempatkan sebagai alas tubuh pasien. Dalam
penggunaan elektrokoagulasi monopolar, jaringan harus dalam keadaan kering untuk
memaksimalkan aplikasi dari energi elektrikal. Elektrokoagulasi bipolar menggunakan
forsep elektroda yang akan menghantarkan energi secara langsung dari salah satu sisi tip,
melewati jaringan dan ditangkap oleh sisi tip lainnya. Sehingga dalam penggunaannya,
elektrokoagulasi bipolar tidak memerlukan pelat metal sebagai alas tubuh pasien untuk
menangkap energi elektrikal yang dikeluarkan oleh forcep. Kelebihannya adalah alat ini
tetap dapat bekerja dengan baik meskipun pada jaringan yang basah dan efek yang sangat
ringan pada jaringan sekitar pembuluh darah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG,
Schulz KS, Willard MD. 2013. Small Animal Surgeri Fourth Edition. St.
Louis(AS): Elsevier Health Science.
Mann FA, Constantinescu GM, Yoon HY. 2011. Fundamental of Small Animal
Surgery. Philadelphia(UK): John Wiley & Son, Ltd.
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery Small Animal Volume One. Canada
(CA): Elsevier Saunders.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 8 ANALGESIK, ANTIINLAMASI, DAN PEMILIHAN


ANTIBIOTIK DALAM RANGKA MENGURANGI INFEKSI PASCA
BEDAH

Penggunaan Analgesik dan Antiinflamasi

Analgesik dan antiinflamasi bedah diperlukan pada perioperatif (preoperatif,


intraoperatif, maupun postoperatif). Analgesik merupakan jenis obat yang digunakan untuk
tujuan analgesia atau mengurangi rasa sakit. Analgesik bekerja pada beberapa jalur syaraf
perifer maupun pusat. Analgesik yang digunakan pada postoperatif biasanya adalah golongan
opioid (cth: morphine, fentanyl, hydromorphone, buprenorphine, butorphanol, methadon),
Non-Steroid Antiinflamatory Drugs (NSAID), dan obat lain (cth: tramadol, gabapentin,
amitryptiline). Antiinflamasi merupakan golongan obat yang memiliki aktivitas penekanan
terhadap peradangan. Antiinflamasi bekerja sebagai mediator kimia kecil yang dihasilkan
secara endogenus atau autocoid yang berperan dalam mengendalikan laju peradangan
dengan menghambat proliferasi sel polimorfonuklear dan meningkatkan aktivitas monosit
nonphlogistic. Obat antiinflamasi terdiri dari steroid dan NSAID.

Steroid
Steroid merupakan jenis obat yang bekerja menyerupai kortikosteroid yang dihasilkan
oleh kelenjar adrenal. Steroid bekerja menekan sistem imun tubuh sehingga jika digunakan
dalam durasi yang lama akan menyebabkan imunosupresi. Beberapa efek samping yang harus
diperhatikan dari penggunaan obat ini adalah hyperglicemia, diabetes, retensi cairan tubuh,
shock anaphylaksis, dan kelemahan otot. Steroid juga menyebabkan penurunan kemampuan
tubuh untuk mengabsorbsi kalsium sehingga menyebabkan timbulnya kondisi hipokalsemia
yang berdampak terhadap metabolisme maupun fungsi vital tubuh. Beberapa jenis steroid
yang sering digunakan dalam pengobatan hewan adalah dexamethasone, prednisone, dan
hydrocortisone.
a. Dexamethasone
Dexamethasone merupakan antiinflamasi steroid yang penggunaannya luas pada hewan.
Obat ini dapat digunakan secara oral maupun parenteral dengan indikasi tick paralysis
dan pada dosis tinggi diindikasikan untuk gangguan cardiovaskular dan shock
septicaemia. Penggunaan dexamethasone perioperatif bertujuan untuk mencegah efek
samping dari operasi seperti mual dan muntah akibat penggunaan anastetikum serta
berperan sebagai analgesik postoperatif. Pemberian dexamethasone preoperatif
memberikan efek analgesik postoperatif yang sangat baik dibandingkan pemberian pada
saat intraoperatif atau postoperatif.
b. Prednisone
Prednisone merupakan antiinflamasi steroid yang biasa digunakan pada hewan
kesayangan seperti anjing dan kucing. Obat ini dapat digunakan secara oral dan memiliki
aktivitas antiinflamasi yang lebih kuat empat kali dibandingkan hydrocortisone. Obat ini
sangat efektif karena dapat menekan proses inflamasi pada berbagai level mulai dari
ringan hingga berat. Indikasi penggunakan prednisone pada umumnya untuk mengatasi
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

dermatitis allergika, eczeme, reaksi alergi yang menyebabkan bronkokonstriksi (asthma),


peradangan pada mata dan telinga, hingga peradangan pada persendian maupun bursa.
c. Hydrocortisone
Hydrocortisone merupakan pilihan terbaik dalam kasus addison disease pada hewan
maupun manusia. Selain itu, hydrocortisone juga digunakan dengan indikasi
hipercalcemia, thyroiditis, dermatitis, asthma, dan Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD). Obat ini juga banyak ditemukan dalam bentuk salep mata yang
dicampur dengan antibiotik. Namun, hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat
ini adalah ulserasi pada kornea mata. Obat ini tidak dapat diberikan sebagai salep mata
maupun obat tetes mata jika terdapat ulserasi pada kornea karena dapat memperburuk
kondisi ulserasi pada mata. Kortikosteroid ini akan menyebabkan ulser pada kornea
berkembang menjadi keratokonjungtivitis.

Non-Steroid Antiinflamatory Drugs (NSAID)


NSAID merupakan jenis obat yang bekerja secara perifer pada penghambatan enzim
Cyclooxigenase (COX-1) atau inflamatory cyclooxygenase (COX-2). COX-1 diketahui
berperan sebagai renoprotektif, gastroprotektif, dan pembekuan darah. sehingga, pemberian
NSAID ini memiliki efek samping yaitu gastric ulser, kegagalan ginjal, dan menyebabkan
kegagalan pembekuan darah (diskrasia darah). sementara itu, COX-2 diketahui berperan
dalam inisiasi reaksi peradangan, sehingga pemberian NSAID yang menghambat COX-2
dapat dikategorikan sebagai antiinflamasi sekaligus analgesik. Inhibitor COX-2 lebih bersifat
gastroprotektif, namun memiliki efek samping terhadap fungsi ginjal, otak, mata, dan saluran
pencernaan. NSAID pada akhirnya bekerja menurunkan prostaglandin (PGE2) dan
prostasiklin (PGI2) yang merupakan mediator inflamasi.
United state telah memperbolehkan penggunaan beberapa jenis NSAID perioperatif
pada hewan kecil khususnya anjing dan kucing. NSAID yang dapat digunakan pada tindakan
perioperatif untuk anjing adalah carprofen dan deracoxib. Sementara itu, pada kucing NSAID
yang diperbolehkan hanya meloxicam. Penggunaan NSAID perioperatif ini berfungsi untuk
mengurangi penggunaan analgesik, memudahkan penanganan hewan, dan menurunkan
mordibitas postoperasi.

Tabel 1 NSAID yang sering digunakan pada hewan kecil (US)


NSAID Indikasi Dosis Formulasi
Carprofen Perioperatif Anjing: 1-2mg/kg PO q12-24hr atau 4 mg/kg SC Tablet kunyah, kaplet,
injeksi
Carprofen Osteoarthritis Anjing: 1-2mg/kg PO q12-24hr atau 4 mg/kg SC Tablet kunyah, kaplet,
injeksi
Deracoxib Perioperatif Anjing: 3-4mg/kg PO q24hr selama 7 hari Tablet kunyah
Deracoxib Osteoarthritis Anjing: 1-2mg/kg PO q24hr Tablet kunyah
Etodolac Osteoarthritis Anjing: 10-15mg/kg PO q24hr Tablet
Firocoxib Osteoarthritis Anjing: 5mg/kg PO q24hr Tablet kunyah
Meloxicam Osteoarthritis Anjing: 0.2 mg/kg PO, SC diikuti 0.1mg/kg PO Suspensi, injeksi
q24hr
Meloxicam Perioperatif Kucing: 0.05-0.1 mg/kg SC Injeksi
Tepoxalin Osteoarthritis Anjing: 10-20mg/kg PO diikuti 10mg/kg q24hr Tablet troches

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

NSAID dapat dengan mudah berinteraksi dengan beberapa obat lainnya karena
memiliki afinitas tinggi terhadap protein, sehingga kombinasi NSAID dengan beberapa obat
lain (cth: digoxin, cisplatin, methotrexate, antikoagulan oral) akan meningkatkan
toksisitasnya. Penggunaan kortikosteroid, aminoglycosida, dan heparin pada waktu yang
bersamaan juga akan meningkatkan efek samping NSAID. Sementara itu, NSAID akan
menurunkan efektivitas dari beberapa obat seperti diuretik, inhibitor angiotensin converting
enzyme (ACE), atau β-blocker.
NSAID hanya digunakanpada pasien muda atau dewasa yang dalam keadaan sehat,
normovolemik/hidrasi baik, dan normotensif tanpa adanya riwayat penyakit penyerta seperti
gangguan hati dan ginjal atau sindroma perdarahan diatetis. NSAID pada anjing hanya dapat
digunakan pada anjing dengan berat minimal 5 kg. NSAID pada intraoperatif
diadministrasikan bersama infus melalui intravena. Sementara itu, pemberian secara oral
lebih efektif pada saat postoperatif dibandingkan preoperatif.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam penggunaan NSAID ini adalah edukasi
klien. Riwayat pemberian obat pada pasien harus diperhatikan secara teliti untuk memastikan
penggunaan NSAID tidak dilakukan bersama dengan penggunaan kortikosteroid (termasuk
penggunaan secara topikal). NSAID harus diberikan dengan dosis yang sesuai dengan
anjuran dokter hewan. Selain itu, pemilik hewan juga harus tanggap untuk menghentikan
penggunaan NSAID pada hewannya dan segera menghubungi dokter hewan jika hewan
mengalami penurunan nafsu makan, muntah, diare, lemah.

Penggunaan Antibiotik

Antibiotik biasanya digunakan sebagai terapi profilaksis atau terapeutik. Antibiotik


sebagai terapi profilaksis sebelum dilakukan operasi harus digunakan berdasarkan ada
tidaknya risiko signifikan terhadap infeksi serta pemilihannya harus berdasarkan jenis flora
bakteri pada jaringan target. Semantara itu, pemilihan antibiotik sebagai terapi terapeutik
yang digunakan setalah operasi idealnya harus berdasarkan hasil kultur bakteri dan uji
kepekaan bakteri. Namun, hal ini membutuhkan waktu yang lama, sehingga biasanya
pemilihan antibiotik untuk tujuan terapeutik hanya berdasarkan dugaan flora bakteri pada
jaringan target dan uji sensitivitas pasien terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik yang
tidak tepat menyebabkan penggunaan antibiotik menjadi tidak efektif atau menyebabkan
meningkatnya mordibitas dan mortalitas pasien akibat toksisitas antibiotik maupun
perkembangan bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Selain itu, penggunaan antibiotik
juga akan menunjukkan hasil yang lebih baik jika luka atau jaringan target mendapatkan
perawatan yang benar (debridisasi luka, drainase luka, dan pembersihan luka dari seluruh
benda asing)

Mekanisme Kerja Antibiotik


Bakteriostatik merupakan antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri.
Bakterisidal merupakan antibiotik yang membunuh bakteri. Perbedaan antara bakteriostatik
dan bakterisidal berdasarkan pada rasio antara Minimum Bactericidal Concentration (MBC)

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

dan Minimum Inhibitory Concentration (MIC). Antibiotik diklasifikasikan berdasarkan


mekanisme kerjanya.
a. Merusak dinding sel bakteri
Antibiotik golongan β-lactam (penicillin, chepalosporin, carbapenem, monobactam),
vancomycin, bacitracin, polymixin, nystatin, amphotericin B, dan imidazole merupakan
antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri.
b. Inhibisi sintesis protein
Antibiotik golongan chloramphenicol, tetracyclin, erythromycin, dan clyndamicin
bekerja dengan menempel pada ribosom bakteri menyebabkan inhibisi yang bersifat
reversibel pada proses sintesis protein.
c. Inhibisi sintesis DNA
Antibiotik golongan floroquinolone (enrofloxacin, difloxacin, ciprofloxacin, ofloxacin,
marbofloxacin) dan sulfa (trimetropim-sulfa) bekerja dengan menghambat sintesis DNA.
Floroquinolon bekerja dengan menghambat DNA gyrase sehingga menghambat
transkripsi mRNA. Floroquinolone juga merupakan bakterisidal yang bekerja cepat serta
efektif untuk infeksi pada jaringan lunak, pneumonia, osteomyelitis, dan infeksi saluran
kemih yang disebabkan oleh bakteri gram-negatif dan staphylococcus spp.

Faktor yang Memengaruhi Kesuksesan Penggunaan Antibiotik


Kesuksesan penggunaan antibiotik sebagai terpai bergantung pada konsentrasi
antibiotik yang cukup untuk membunuh atau menghambat perkembangan bakteri pada area
infeksi. Faktor yang menyebabkan kegagalan terapi menggunakan antibiotik, yaitu:
a. Dosis yang tidak tepat (cth: kurang atau lebih)
b. Frekuensi pemberian
c. Rute administrasi
d. Durasi penggunaan yang tidak tepat
e. Pemilihan antibiotik yang tidak tepat (cth: tidak berdasarkan kultur bakteri maupun uji
kepekaan dan sensitivitas)
f. Penyebab infeksi yang persisten (cth: benda asing atau implan)
g. Ketidakmampuan antibiotik untuk menjangkau jaringan target pada dosis yang cukup
(cth: tidak mampu melewati blood brain barrier)
h. Resistensi antibiotik
i. Imunosupresi (cth: penyakit kronis)
j. Farmakokinetik antibiotik
k. Reaksi antibiotik
l. Antagonis antibiotik
m. Diagnosa yang tidak tepat

Mekanisme Resistensi Antibiotik


Terdapat beberapa mekanisme resistensi antibiotik oleh bekteri, yaitu:
a. Enzimatik
Resistensi antibiotik akibat bakteri memproduksi enzim yang mampu merusak antibiotik
(cth: β-lactamase yang menghambat β-lactam).
b. Perubahan permeabilitas
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Resistensi antibiotik akibat perubahan permeabilitas dinding sel bakteri terhadap


antibiotik (cth: streptococcus memiliki barrier permeabilitas alami terhadap
aminoglycosida).
c. Perubahan pada struktur target antibiotik
Resistensi antibiotik akibat perubahan struktur target antibiotik (cth: perubahan
komposisi ribosom bakteri yang berfungsi sebagai target reseptor dari antibiotik
aminoglycosida)
d. Perubahan pada jalur metabolisme yang berkembang menjadi reaksi antagonis terhadap
partikel antibiotik

Klasifikasi Jenis Luka Operasi


Luka operasi diklasifikasikan berdasarkan derajat kontaminasi untuk membantu
memerkirakan kemungkinan perkembangan infeksi. Infeksi bakteri merupakan infeksi
dengan jumlah bakteri lebih dari 105 per gram jaringan. Infeksi pada luka operasi
berhubungan dengan tiga faktor resiko utama (durasi operasi, jumlah tim operasi di dalam
ruang operasi, dan kebersihan area operasi) dan satu faktor perlindungan (antibiotik
profilaksis). Oleh karena itu, jenis luka operasi akan menentukan penggunaan antibiotik
secara tepat
Tabel 2 Klasifikasi Luka
Klasifikasi Luka Deskripsi Contoh Tipe Prosedur Bedah
Bersih Nontraumatis, luka operasi non-inflamasi -Laparotomi eksplorasi
tanpa pembukaan organ atau bagian pada -Cauterisasi
saluran respirasi, gastrointestinal,-Reposisi sendi pinggul total
genitourinari, dan oropharyngeal -Rekonstruksi Patent Ductus
Arteriosus (PDA)
Bersih- -Luka operasi dengan kondisi pembukaan -Bronchoskopi
Terkontaminasi organ atau bagian pada saluran respirasi, -Cholecystectomi
gastrointestinal, genito-urinari, dan -Reseksi usus halus
oropharyngeal yang terkontrol tanpa -Enterotomi
kontaminasi
-Luka operasi yang bersih dengan adanya
sistem drainase pada luka
Kontaminasi -Luka terbuka, segar, yang sifatnya tidak -Cholecystotomi
disengaja -Pembukaan rongga thorax
-Luka yang terkontaminasi oleh urin serta -Cystotomi
cairan atau subtansi dari
salurangastrointestinal
Kotor -Luka yang dibiarkan dalam waktu lama -Eksisi atau drainase abses
dengan discharge purulen -Penanganan peritonitis
-Luka dengan jaringan nekrotik atau jaringan -Penanganan perforasi usus
yang telah membusuk (gangrenosa) halus
-Luka dengan kontaminasi benda asing -Penanganan ruptur kantung
-Luka akibat tusukan benda asing empedu akibat Cholelitiasis
-Luka dengan kontaminasi feses -Osteotomi bullae pada
penanganan otitis media

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Pencegahan Infeksi pada Luka Operasi


Pencegahan infeksi pada luka operasi merupakan tujuan utama prinsip operasi aseptik
untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Faktor yang menjadi predisposisi infeksi
adalah penggunaan antibiotik yang berlebihan, penggunaan kateter (cth: intravena atau
urinary), prosedur diagnostik (cth: swab trachea, thorachocentesis, dan abdominocentesis),
umur (cth: diatas 10 tahun), dan penyakit penyerta kronis. Pencegahan infeksi nosokomial
memerlukan kontrol terhadap flora endogenous pasien, minimaliris transmisi bakteri,
protokol sterilisasi, dan penggunaan antibiotik yang sesuai berdasarkan kultur bakteri dan uji
sensitivitas. Selain penggunakan antibiotik sebagai profilaksis dan terapeutik, risiko infeksi
pada luka operasi dapat diminimalisir dengan menghindari beberapa aspek berikut:
a. Durasi operasi berkepanjangan: faktor resiko operasi dengan risiko infeksi yang akan
berlipat ganda setiap 70 menit
b. Kondisi area operasi yang buruk: keberadaan jaringan nekrotik, hematoma, kantung
serum, infeksi lokal, dan benda asing akan meningkatkan laju proliferasi bakteri dan
menghambat respon imun tubuh
c. Durasi anastesi berkepanjangan: faktor resiko infeksi luka setelah operasi
d. Hipotermi perioperatif: menurunkan kekebalan alami tubuh terhadap infeksi
e. Persiapan operator, peralatan, dan ruangan operasi yang buruk
f. Penggunaan peralatan dalam perawatan luka operasi yang tidak sesuai

Pemilihan Antibiotik

Pemilihan antibiotik harus berdasarkan tujuan penggunaannya sebagai terpai profilaksis


atau terapi terapeutik.

Penggunaan antibiotik profilaksis


Antibiotik sebagai terapi profilaksis harus diberikan pada area operasi untuk mencegah
perkembangan bakteri kontaminan yang bersifat patogen. Indikasi umum penggunaan
antibiotik sebagai terapi profilaksis adalah operasi dengan durasi lebih dari 90 menit,
prosedur implantasi prosthesis (cth: mesh, pacemaker, prosthesis vaskular, dan bone
cement), prosedur pengangkatan implant, operasi luka trauma atau luka dengan kontaminasi
berat. Terdapat beberapa prosedur yang memerlukan antibiotik sebagai terapi profilaksis
diantara adalah prosedur operasi orthopedic, respiratory, gastrointestinal, dan urogenital.
Antibiotik profilaksis dengan rute intravena harus diberikan minimal 30 menit sebelum
prosedur operasi dilakukan dan penggunaannya harus dihentikan sesaat setelah operasi
selesai atau paling lambat 24 jam setelah operasi. Berikut merupakan beberapa pertimbangan
dalam pemilihan dan administrasi antibiotik profilaksis:
a. Pemilihan antibiotik
Pemilihan berdasarkan target flora mikroorganisme umum pada area operasi atau
pemilihan antibiotik berspektrum luas (cth: cefazolin dapat digunakan untuk mencegah
pertumbuhan bakteri kontaminan pada umumnya).
b. Waktu administrasi antibiotik

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Antibiotik diadministrasikan kepada pasien minimal 30 menit hingga 1 jam sebelum


operasi.
c. Perhatikan dosis antibiotik
d. Rute administrasi antibiotik
Administrasi antibiotik profilaksis pada umumnya dilakukan melalui intravena dan harus
diulangi setiap 1.5 hingga 2 jam tergantung durasi operasi.
e. Durasi administrasi antibiotik
Pemberian antibiotik profilaksis harus dihentikan sesaat setelah penutupan area operasi
atau paling lambat 24 jam setelah operasi.

Penggunaan antibiotik terapeutik


Penggunaan antibiotik terapetik harus berdasarkan justifikasi klinis, pengetahuan
mengenai mekanisme kerja antibiotik, dan faktor mikrobiologis. Tujuan dari penggunaan
antibiotik sebagai terapetik ini adalah untuk mencegah terjadinya infeksi akibat kontaminasi
mikroorganisme dengan toksisitas yang rendah, membunuh bakteri tepat pada area luka, dan
tidak memiliki efek yang negatif terhadap sistem imun pasien. Indikasi antibiotik sebagai
terapi terapetik pada pasien operasi adalah mencegah infeksi sistemik (cth: septicemia atau
bacterimia) dan mengobati infeksi pada luka operasi atau rongga tubuh. Secara umum, terapi
antibiotik ini dilakukan sebelum operasi dan dilanjutkan hingga 2-3 hari setelah operasi
tergantung kondisi pasien dan toksisitas obat yang digunakan. Penggunaan antibiotik
terapetik juga memerlukan perawatan tambahan agar terapi lebih efektif. Perawatan tersebut
antara lain adalah drainase akumulasi serum, pus, atau darah dari luka operasi atau rongga
tubuh; debridisasi jaringan nekrotik; dan bersihkan luka atau implantasi dari benda asing.
Berikut merupakan beberapa pertimbangan dalam pemilihan dan administrasi antibiotik
terapetik:
a. Pemilihan antibiotik
Pemilihan berdasarkan target flora mikroorganisme umum pada area operasi atau
berdasarkan kultur bakteri serta uji kepekaan dan sensitifitas antibiotik (cth: kultur
cairan, jaringan, implants, debri nekrotik). Selain itu antibiotik juga harus dipastikan
dapat mencapai jaringan target. Jika terdapat beberapa antibiotik yang efektif maka pilih
antibiotik dengan harga yang lebih murah, toksisitas lebih rendah, dan yang lebih mudah
untuk diadministrasikan.
b. Waktu administrasi antibiotik
Secepatnya setelh kultur bakteri telah terkonfirmasi atau berdasarkan pengalaman klinis.
c. Perhatikan dosis antibiotik
d. Rute administrasi antibiotik
Rute administrasi berdasarkan jenis antibiotik yang digunakan.
e. Durasi administrasi antibiotik
Durasi pemberian bergantung efek antibiotik, toksisitas, penyakit pada pasien, dan
diberikan minimal 2-3 hari setelah operasi.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

DAFTAR PUSTAKA

Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgery 4th Edition. Missouri (US): Elsevier Mosby.
Grimm KA, Tranquilli WJ, Lamont LA. 2011. Small Animal Anasthesia and Analgesia 2nd
Edition. Oxford(UK): Willey-Blackwell.
Tobias KM, Johnston SA. 2012. Veterinary Surgery: Small Animal 2nd Volume. Missouri
(US): Elsevier Saunders.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 9 PERSEMBUHAN LUKA DAN TEKNIK PEMBALUTAN PADA


PASIEN BEDAH

Persembuhan Luka

Secara definitif, luka merupakan rusak atau hilangnya kontinuitas sel atau
anatomi yang mengakibatkan penurunan fungsi protektif dan fisiologis dari suatu
jaringan. Kulit, subkutis, dan lapisan otot yang ada di bawahnya merupakan
jaringan yang paling sering mengalami perlukaan. Kausa dari luka dapat
bermacam-macam, diantaranya adalah luka akibat gigitan, kecelakaan, laserasi
akibat benda tajam, penetrasi oleh benda logam, maupun cidera akibat panas.
Berdasarkan keutuhan lapisan superfisialnya, luka dapat diklasifikasikan
menjadi luka terbuka (open wound) dan luka tertutup (closed wound). Pada luka
terbuka, lapisan superfisial kulit atau membran mukus rusak atau terkuak sehingga
memungkinkan terjadinya kontaminasi pada luka. Sedangkan pada luka tertutup,
lapisan superfisial masih utuh dan mampu melindungi luka dari kontaminasi.
Open wound atau luka terbuka dapat dikategorikan berdasarkan tingkat
kontaminasi dan lama kejadian;
1. Kategori 1 “Clean wounds”
Pada kategori clean wounds, luka merupakan tipe luka non-traumatis
yang tidak melibatkan organ respiratori, orofaring, gastrointestinal,
maupun urogenital. Tidak ditemukan adanya kontaminasi pada luka dan
terjadi 0 – 6 jam pasca-operasi.
2. Kategori 2 “Clean-contaminated wounds”
Pada kategori clean-contaminated wounds, luka merupakan
nontraumatis yang melibatkan organ respiratori, orofaring,
gastrointestinal, maupun urogenital tanpa adanya tumpahan isi dari
organ. Jenis luka ini memiliki kontaminasi yang minimal (luka operasi
dengan teknik operasi yang terjadi kontaminasi minor) dan terjadi dalam
rentang 0 – 6 jam pasca-operasi.
3. Kategori 3 “Contaminated wounds”
Golongan contaminated wounds merupakan luka traumatis yang terjadi
dalam rentang 4 – 6 jam, proses inflamasi tidak terdapat eksudat purulen.
Prosedur operasi yang terkontaminasi isi organ gastrointestinal ataupun
urin yang terinfeksi, atau prosedur operasi yang tidak mengikuti prosedur
aseptik termasuk ke dalam kategori ini.
4. Kategori 4 “Infected or Dirty wounds”
Infected or dirty wounds merupakan luka traumatis yang terjadi lebih dari
4-6 jam dengan gejala-gejala infeksi yang terlihat jelas. Proses inflamasi
menghasilkan eksudat purulen atau terdapat jaringan nekrotik pada luka.
Prosedur operasi yang termasuk ke dalam kategori ini adalah operasi
dimana terjadi perforasi organ gastrointestinal atau organ urogenital yang
terinfeksi, dan terjadi kontaminasi feses yang serius. Luka yang
terkontaminasi mengandung >105 bakteri per gram jaringan.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 1 (a) Clean wounds, luka yang terjadi dalam kondisi aseptis; (b) Clean-
contaminated wounds, luka terbuka yang masih baru dan kontaminasi
minimal; (c) Contaminated wounds, luka yang masih baru tetapi
terkontaminasi pada bagian luka yang terbuka tetapi tidak ditemukan
eksudat purulen maupun jaringan nekrotik; (d) Infected wounds, luka
yang sudah lama, terlihat eksudat purulen dan jaringan nekrotik pada
daerah wilayah.

Proses Persembuhan Luka

Proses persembuhan luka terdiri dari empat tahapan. Fase-fase persembuhan


luka ini bisa dipercepat, diperlambat, bahkan dihambat prosesnya tergantung
kepada tipe dan klasifikasi luka. Fase dalam proses persembuhan terdiri dari fase
inflamatori (inflammatory phase), fase reparasi atau proliferasi (reparation or
proliferation phase), dan fase remodeling atau maturasi (remodeling or maturation
phase). Proses persembuhan luka ini sebagian besar diregulasi oleh cytokine.

Fase Inflamatori
Segera setelah terjadi perlukaan, daerah luka akan diisi oleh darah dan cairan
limfatik dari pembuluh yang rusak. Kejadian ini akan diikuti oleh vasokonstriksi
yang dimediasi oleh katekolamin, serotonin, bradykinin, prostaglandin, dan
histamin untuk meminimalisir terjadinya kehilangan darah. Vasokonstriksi ini akan
diikuti oleh vasodilatasi yang kemudian akan mengaktivasi platelet untuk
membentuk blood clot atau penggumpalan darah di lumen pembuluh darah. Blood
clot ini merupakan komponen penting dalam respon inflamasi dan berfungsi untuk
melindungi luka.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Platelet juga akan menginisiasi lepasnya mediator vasoaktif dan faktor


kemotaktik (chemotactic factors; sitokin dan growth factor) untuk merekrut
leukosit (makrofag, polymorphonuclear cells (PMN), dan limfosit). Selanjutnya,
fibrinolisis akan diaktivasi dan akan memfasilitasi migrasi sel ke daerah luka.
Setelah 30–60 menit, terjadi marginasi leukosit ke endothelium pembuluh di daerah
luka. Jarak antar endotel yang terjadi memungkinkan cairan dan makromolekul
(protein plasma, komplemen, antibodi, elektrolit, air, dan substansi humoral yang
bersirkulasi) untuk keluar secara diapedesis. Neutrofil selanjutnya akan diaktivasi
dan merilis molekul elastase dan kolagenase. Proteinase juga akan dirilis oleh
neutrofil yang sudah diaktivasi untuk mendegradasi jaringan nekrotik. Neutrofil
akan memfagositosis bakteri yang mengontaminasi daerah luka dan akan
mengalami apoptosis setelah beberapa hari apabila tidak terjadi infeksi pada luka.
Makrofag yang berada di dalam luka akan merilis proteinase dan enzim yang
akan merusak blood clot dan jaringan debris, kemudian membentuk kanal untuk
masuknya fibroblas dan sel endothelial ke dalam luka. Growth factor yang berasal
dari makrofag akan menginisiasi pembentukan jaringan baru, termasuk proses
fibroplasia dan angiogenesis. Makrofag juga akan merilis laktat ke dalam luka
untuk menstimulasi fibroplasia yang dilanjutkan dengan produksi kolagen.
Fase inflamatori ini berlangsung sekitar 5 hari. Gejala umum inflamasi seperti
kemerahan, bengkak, panas, dan rasa sakit akan muncul sebagai akibat dari
vasodilatasi, keluarnya cairan ke jaringan, dan obstruksi dari kanal limfatik di
sekitar daerah luka. Rasa sakit diakibatkan oleh tekanan, stimulasi kimia, dan
peregangan pada ujung-ujung syaraf. Pada luka yang bersifat kronis, fase
inflamatori akan diperpanjang secara abnormal.

Fase Proliferatif
Fase proliferatif umumnya dimulai 5 – 20 hari setelah perlukaan terjadi. Fase
ini terjadi dalam empat tahapan, yaitu neovaskularisasi, fibroplasia dan deposisi
kolagen, epitelisasi, dan kontraksi luka.
Neovaskularisasi merupakan tahapan pembentukan pembuluh darah baru
(neoangiogenesis). Plasminogen dan kolagenase akan dilepaskan dari sel
endothelial melalui membran basal yang terdegradasi. Sel endothelial dari
pembuluh darah akan berproliferasi dan akan menjadi sumber sel selama proses
angiogenesis. Jaringan kapiler akan terbentuk seiring dengan proliferasi sel endotel
pembuluh darah. Sel endotel yang terbentuk akan saling bersambungan mengisi
bagian-bagian kapiler yang rusak akibat luka. Kemudian, sel-sel endotel ini akan
diikat dan diperkuat oleh fibroblast. Proses ini termasuk ke dalam proses granulasi
jaringan.
Fibroplasia dan deposisi kolagen merupakan tahap granulasi jaringan
selanjutnya. Sitokin dan matriks profisional akan menstimulasi proliferasi dari
fibroblast dan mempercepat pembentukan reseptor integrin. Fibroblast akan
melepaskan enzim proteolitik dan aktivator plasminogen, interstisial collagenase,
gelatinase, dan stromelysin. Enzim-enzim ini akan melemahkan matriks ekstrasel
yang telah terbentuk dan dirubah menjadi matriks kolagen. Fase fibroplastik ini
terjadi selama 2 – 4 minggu tergantung pada besarnya luka.
Epitelisasi, merupakan proses dimana sel-sel epithelial mulai berproliferasi
dari epitel pada basal sel yang berdekatan kemudian bergerak menempel dan
menutupi permukaan luka. Aktivitas sel epithelial ini akan menghambat

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

pembentukan jaringan granulasi dan mencegah pembentukan jaringan granulasi


yang berlebihan. Lama durasi pembentukan epitelisasi dapat bervariasi dari
beberapa hari hingga beberapa minggu. Hal ini ditentukan oleh luas permukaan
luka dan kondisi dari jaringan granulasi.
Kontraksi luka, merupakan proses dimana myofibroblast menempel pada
bagian dermis di bawah tepi luka kemudian menarik tepi luka yang berdekatan
mengarah ke bagian tengah luka. Proses ini akan berhenti ketika ketegangan dari
kulit di sekitarnya sudah sangat tinggi atau ketika ujung-ujung luka bertemu satu
sama lain. Apabila terjadi kontraksi luka berlebihan, akan mengakibatkan wound
contracture dimana terjadi pemendekan dan pengerasan jaringan. Hal ini
merupakan proses patologis yang berakibat pada pergerakan yang terbatas dari
struktur di bawahnya. Faktor yang dapat menghambat kontraksi luka adalah
tekanan pada luka.

Fase Maturasi dan Remodelling


Saat proses transisi dari jaringan granulasi menuju maturasi luka, terjadi
remodeling kolagen. Proses ini terjadi deposisi kolagen dan katabolisme kolagen
yang seimbang. Kolagen tipe III secara bertahap digantikan dengan kolagen tipe I
yang lebih kuat. Ikatan kolagen akan semakin tebal dan jumlah ikatan kolagen dan
fiber akan meningkat. Deposisi kolagen ini berpengaruh langsung terhadap
tensilitas (kekuatan regangan) dari luka. Fase maturasi dan remodeling ini terjadi
mulai dari 20 – 365 hari (1 tahun) setelah terjadi perlukaan.

Penutupan Luka (Wound Closure)

Pemilihan opsi penutupan luka dapat dilakukan berdasarkan klasifikasi dari


kondisi luka tersebut. Terdapat empat pilihan dasar dalam penutupan luka, yaitu
primary closure (persembuhan luka per primam), delayed primary closure,
secondary closure, dan healing by second intention (persembuhan per secundam).

Primary Closure
Primary closure atau persembuhan luka dengan kontak alami antar bagian
luka. Metode ini dilakukan dengan menjahit langsung luka yang baru terjadi. Luka
operasi atau cidera traumatis yang baru saja terjadi biasanya termasuk luka yang
ditutup dengan cara ini. Primary closure dapat dilakukan pada luka yang tidak
terkontaminasi atau kontaminasi minimal, tidak terdapat jaringan nekrotik, dan
lama perlukaan kurang dari 6 jam.

Delayed Primary Closure


Delayed primary closure, merupakan luka yang tidak ditutup secara langsung
akan tetapi diobati sebagai luka terbuka hingga luka bersih dan tidak terbentuk
jaringan granulasi. Penutupan biasanya dilakukan 3 – 5 hari setelah timbulnya luka.
Delayed closure memungkinkan luka untuk mengering, menurunnya kontaminasi,
dan memungkinkan terbentuknya batas yang jelas antara jaringan yang masih hidup
dengan jaringan nekrotik.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Secondary Closure
Secondary closure merupakan penutupan luka yang dilakukan setelah
terbentuknya jaringan granulasi pada luka terbuka. Tindakan ini dilakukan pada
luka yang kondisinya tidak memungkinkan untuk dilakukan delayed primary
closure seperti pada kondisi infeksi persisten, terdapat jaringan nekrotik yang
persisten dan membutuhkan perawatan lebih dari 5 hari, atau terdapat respon
inflamasi parah yang persisten.
Penutupan ini dapat dilakukan melalui dua cara: (1) membiarkan jaringan
granulasi tetap utuh dan menjahit kulit menutupi jaringan granulasi; (2) melakukan
eksisi terhadap jaringan granulasi dan dilanjutkan dengan primary closure. Cara
kedua lebih disukai oleh kebanyakan operator karena tepian luka lebih mudah untuk
ditutup, hasilnya lebih baik dari segi kosmetik, insidensi infeksi setelah eksisi
jaringan granulasi lebih rendah.

Healing by Second Intention (per secundam)


Merupakan persembuhan dengan memanfaatkan kontraksi luka dan
epitalisasi. Metode ini umum digunakan di dunia kedokteran hewan untuk menutup
luka yang bermasalah. Dengan manajemen luka yang tepat, proses kontraksi luka
oleh myofibroblast dan migrasi sel epithelial dapat dipercepat. Pilihan persembuhan
per secundam ini umum dilakukan pada luka yang kotor dan terinfeksi yang tidak
memungkinkan penutupan menggunakan tiga metode lainnya, defek cutaneous
yang tidak mencukupi untuk dilakukan penutupan menggunakan teknik operasi
konvensional, defek yang mengakibatkan kompresi dari sirkulasi di distal daerah
perlukaan.

Faktor yang Menghambat Persembuhan Luka

1. Malnutrisi, pasien malnutrisi memiliki resiko tinggi mengalami hambatan


dalam persembuhan luka dan mudah mengalami infeksi. Suplementasi protein
sangat penting dalam pembentukan kolagen dan jaringan ikat yang berperan
dalam persembuhan luka.
2. Medikasi, pemberian obat-obatan yang mengganggu nafsu makan dan fungsi
gastrointestinal, seperti adrenal kortikosteroid, kloramfenikol, sulfonamide,
diuretic, salisilat, tetrasiklin, dan trimethophim.
3. Hipovolemia dan anemia, kondisi dehidrasi dapat mengakibatkan kerusakan
jaringan, nafsu makan yang buruk, konstipasi, dan kerusakan ginjal.
Hipovolemia akan menurunkan sirkulasi ke lokasi luka sehingga oksigen dan
nutrisi yang dibutuhkan untuk persembuhan tidak tercukupi.

Teknik Pembalutan

Bandage dan dressing merupakan bagian yang dibutuhkan dalam manajemen


luka. Dressing merupakan bahan/material yang digunakan untuk menutup
permukaan luka secara langsung. Beberapa jenis dressing dapat berdiri sendiri dan
tidak membutuhkan penahan apapun, tetapi pada umumnya dressing membutuhkan
lapisan penahan untuk mencegah dressing bergerak/bergeser dari tempatnya.
Bandage merupakan lapisan yang digunakan untuk membalut luka dan melapisi
dressing. Fungsi utama dari bandage adalah menahan dressing yang sudah diberi

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

medikasi agar tetap berada di tempatnya, menahan pergerakan pada bagian tubuh
yang dibalutnya, memberikan tekanan untuk mengontrol perdarahan,
menghilangkan rongga (dead spaces atau cavity), serta melindungi luka dari trauma
eksternal maupun kontaminasi.
Bandages memiliki tiga lapisan utama, yaitu lapisan primer (contact
dressing), layer sekunder (intermediate layer), layer tersier (outer layer).

Lapisan Primer
Primary/contact dressing merupakan lapisan yang bersentuhan langsung
dengan permukaan luka. Secara umum, fungsi dressing adalah menyerap dan
menahan keluarnya discharge dari luka, memberikan lingkungan yang lembab
untuk mempercepat persembuhan luka, memberikan produk yang mampu
mempercepat proses persembuhan, memberikan proteksi dari kontaminan,
menyerap bau, memberikan proteksi secara mekanis, dan memfasilitasi terjadinya
autolisis dari jaringan yang rusak pada daerah luka.
Contoh dari contact dressing yang bisa digunakan adalah kassa (dapat
digunakan langsung atau dibasahi menggunakan RL, NaCl, povidone iodine, atau
chlorhexidine sesuai kebutuhan), Telfa, polyurethane foams, atau hydrogel
dressing.

Lapisan Sekunder
Secondary layer dari proses pembalutan merupakan lapisan yang bersifat
absorptif. Lapisan ini bisa menggunakan gulungan kapas atau kassa gulung. Pada
luka dengan discharge yang sangat banyak, lapisan sekunder ini berperan menyerap
cairan berlebih dan menahan cairan keluar dari permukaan luka. Frekuensi
penggantian bandage sangat dipengaruhi oleh kelembapan luka, pada luka yang
banyak mengeluarkan discharge maka penggantian bandage akan lebih sering.

Lapisan Tersier
Tertiary layer merupakan lapisan yang berfungsi membalut dan
mengamankan lapisan-lapisan di bawahnya. Banyak produk yang dapat digunakan
untuk balutan luar, diantaranya adalah Vetrap, elastic bandage, kain blacu, self-
adherent materials, atau stoking.

Casts dan Splints


Penggunaan gips dan splint adalah untuk perlukaan untuk meminimalkan atau
meniadakan pergerakan pada daerah luka. Material ini umumnya dipakai untuk
menstabilkan fraktur agar tulang dapat menyatu kembali atau agar hewan dapat
ditransportasikan dengan nyaman.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Teknik Pembalutan Kepala dan Telinga

Pembalutan pada daerah telinga dan kepala umumnya dilakukan pada kasus
pengobatan auricular hematoma, total ear canal ablation, trauma, atau
pengangkatan tumor.
1. Permukaan telinga dibersihkan dari rambut hingga ke tepi, kemudian
dibersihkan dan dikeringkan
2. Tepi-tepi telinga dipasangkan kassa panjang (menyerupai pita) yang
direkatkan menggunakan plester untuk membantu menahan telinga
3. Kapas tebal diletakkan di atas kepala di dekat telinga, kemudian daun
telinga diangkat keatas kepala dan pita kassa yang sudah dipasangkan tadi
dilingkarkan ke bawah kepala hingga kembali lagi ke atas dan direkatkan
kembali di bagian atas kepala menggunakan plester.
4. Outer dressing diletakkan di atas daerah insisi, kemudian lapisan
sekunder dibalutkan mulai dari bagian atas kepala terus mengelilingi
kepala
5. Setelah balutan selesai, dipasangkan plester di tepi depan dan belakang
bandage untuk mencegah balutan bergeser ke depan atau ke belakang

Gambar 2 Metode pembalutan kepala dan telinga

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Teknik Pembalutan Daerah Thoraks, Abdomen, dan Pelvis

Pembalutan pada daerah thoraks dan abdomen ditujukan untuk menutup luka
terbuka maupun luka jahitan di wilayah thoraks, abdomen, maupun tulang
belakang. Lapisan primer dapat diberikan obat yang mempercepat persembuhan
luka terutama pada balutan untuk luka terbuka.
Metode pembalutan daerah thoraks dan abdomen:
1. Lapisan primer dipasangkan tepat di atas luka terbuka maupun luka
jahitan yang hendak ditutup, kemudian dilanjutkan dengan pembalutan
lapisan sekunder
2. Pembalutan lapisan sekunder dimulai dari bagian thoraks tepat di
belakang kaki depan melingkar beberapa kali, kemudian balutan
dilingkarkan ke antara kaki depan melingkari bahu.
3. Setelah balutan melingkari bahu, dilingkarkan ke sekeliling badan satu
kali dan kembali lagi ke antara kaki depan melingkari bahu yang lainnya,
lalu balutan dilanjutkan mengelilingi daerah thoraks hingga ke abdomen
di depan kaki belakang (pada anjing jantan, balutan berakhir di depan
preputium). Balutan dilakukan sebanyak 2 – 3 lapisan untuk menutupi
sepanjang daerah thoraks hingga abdomen.
4. Lapisan tersier (bisa menggunakan adhesive tape, kain blacu, atau elastic
bandage) dapat digunakan untuk melapisi lapisan sekunder, dibalutkan
mulai dari daerah thoraks hingga ke abdomen. Tiap putaran dilakukan
overlapping ½ hingga 1/3 bagian bandage untuk mencegah adanya bagian
dari lapisan sekunder yang tidak tertutupi.
5. Tepi-tepi bandage yang berada di antara kaki depan dan di dekat kaki
belakang dipasangkan plester untuk menghindari balutan bergeser ke
depan atau ke belakang.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 3 Metode pembalutan daerah thoraks dan abdomen

Pembalutan pada daerah pelvis diindikasikan untuk menutup luka pada


daerah kaudal lumbar dan sacral, baik luka terbuka maupun luka bekas jahitan.
Balutan ini dapat melindungi luka dari kontaminasi maupun dari jilatan hewan
lainnya. Lapisan primer dapat digunakan untuk memberikan obat yang dapat
mempercepat persembuhan luka terbuka. Balutan ini sangat berguna terutama pada
kondisi luka terbuka yang luas di daerah pelvis atau kaudal tulang belakang
(contoh: luka bakar).
Metode pembalutan daerah abdomen dan pelvis:
1. Lapisan primer diletakkan menutupi seluruh permukaan luka diikuti
dengan lapisan sekunder yang bersifat absorptive.
2. Pembalutan lapisan sekunder dimulai dari bagian abdomen di depan kaki
belakang (pada anjing jantan, balutan dimulai di atas preputium) memutar
ke arah belakang sebanyak dua hingga tiga lapisan, kemudian balutan
dibawa mengelilingi salah satu kaki belakang sebanyak 2 – 3 lapisan
kemudian dilanjutkan ke bagian kaudal abdomen sebanyak 1 – 2 lapisan.
3. Balutan dibawa melalui bagian atas pelvis menuju ke kaki belakang yang
lainnya dan dilingkarkan seperti yang dilakukan pada kaki lainnya hingga
balutan sepenuhnya menutupi daerah abdomen, pelvis, dan kaudal tulang

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

rusuk, menyisakan ekor, anus, dan daerah vulva (pada betina) atau
skrotum (pada jantan).
4. Lapis tersier dipasangkan seperti pada proses pemasangan lapis sekunder,
kemudian tepi-tepi bandage diberi plester untuk mencegah bandage
bergeser ke depan atau ke belakang. Setelah itu, khusus pada anjing jantan
diberikan tanda pada daerah ujung preputium, kemudian bandage
digunting sehingga ujung preputium dapat keluar untuk memudahkan
urinasi.

Gambar 4 Metode pembalutan daerah abdomen belakang dan pelvis

Pembalutan Daerah Ekstremitas, Pemasangan Gips, dan Splinting

Pembalutan Ekor
Bandaging pada ekor dilakukan untuk melindungi luka terbuka atau luka
jahitan dari tekanan terutama pada ujung ekor. Perlukaan pada ekor sering terjadi
pada anjing yang memiliki ekor panjang akibat anjing mengibaskan ekornya
sehingga ujung ekor mengalami trauma. Pembalutan juga dilakukan pada kasus
amputasi ekor.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Teknik pembalutan ekor:


1. Daerah proksimal dan profundal luka dicukur dan didesinfeksi terlebih
dahulu, terutama pada hewan yang berambut panjang
2. Lapisan primer diletakkan di atas luka yang hendak ditutup, tepi-tepi
kassa yang digunakan sebagai lapisan primer difiksasi menggunakan
plester agar tidak berpindah tempat. Lapisan sekunder diletakkan
memanjang sejajar dengan ekor dan memutar dari bagian dorsal ke bagian
profundal.
3. Fiksasi lapisan sekunder dilakukan dengan plester yang dipasangkan
seperti pemasangan lapis sekunder dan dilanjutkan dengan lapisan baru
yang memutari ekor dari bagian proksimal luka terus memutar hingga ke
ujung ekor.
4. Apabila dibutuhkan perlindungan lebih, dapat menggunakan splint
berukuran kecil sebelum diberikan lapisan tersier untuk mencegah
tekanan dan gesekan pada luka.

Gambar 5 Metode pembalutan pada ekor

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Pembalutan pada Daerah Kaki Depan


Basic soft padded limb bandage, merupakan metode pembalutan yang umum
digunakan pada kaki depan. Metode pembalutan ini ditujukan untuk membantu
memberikan tumpuan, membatasi pergerakan, dan kompresi untuk perlukaan atau
luka jahitan yang terjadi pada daerah kaki depan. Langkah pembalutan metode ini:
1. Hewan dibaringkan lateral dengan kaki yang hendak dibalut berada di
atas. Kaki diposisikan sesuai dengan sudut sendi yang terluka (neutral
angulation), sela-sela jari dan sela diantara pad dipisahkan menggunakan
kapas sebelum dibalut. Pemasangan kapas diantara interdigit dan inter-
pad ini ditujukan untuk menghindari lembab pada daerah tersebut
sehingga dapat mencegah pertumbuhan bakteri.
2. Lapisan primer diletakkan di atas luka yang hendak ditutup, kemudian
bantalan yang dibuat dari gulungan kapas atau beberapa lapis kassa
dipasangkan pada daerah metacarpal hingga digit untuk menghindari
tekanan pada daerah tersebut
3. Lapisan sekunder dipasangkan dengan cara memutar dimulai dari daerah
distal kaki depan (dekat digit) ke arah atas (setiap putaran bandage
dilakukan overlapping ½ bagian dari bandage untuk mencegah balutan
bergeser dari tempatnya) hingga di bawah bahu kemudian tepi atas lapis
sekunder dipasangkan plester untuk mencegah bandage turun. Apabila
diperlukan pemakaian gips, maka lapisan sekunder diganti menjadi gips
terlebih dahulu sebelum dibalut dengan elastic bandage.
4. Lapisan tersier berupa elastic bandage dipasangkan mulai dari daerah
digit memutar ke atas hingga di bawah bahu kemudian difiksasi
menggunakan plester.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 6 Metode pembalutan basic soft padded limb

Basic paw and distal limb bandage, merupakan pembalutan untuk luka yang
terdapat pada daerah distal kaki depan dan daerah telapak kaki. Pada metode ini,
seluruh telapak kaki dibalut sehingga tidak ada jari-jari yang terlihat. Langkah
pembalutan daerah distal dan telapak kaki depan:
1. Kapas dipasangkan ke sela-sela antara jari dan inter-pad untuk mencegah
kondisi lembab. Akan tetapi, apabila perlukaan terdapat di daerah ini,
maka kapas digantikan dengan lapisan primer (kassa atau bahan lainnya)
yang dipasangkan di interdigit atau inter-pad apabila perlukaan hanya di
beberapa daerah saja, sedangkan apabila mencakup seluruh daerah digit
dan carpal, maka dapat menggunakan bahan pelapis primer yang
dibungkuskan pada daerah carpal hingga digit secara langsung.
2. Bantalan dipasangkan pada daerah carpal yang menonjol (carpal pad) dan
daerah-daerah yang potensial mengalami cidera akibat tekanan dari
bandage atau gips yang dipasangkan.
3. Lapisan sekunder dipasangkan memutar dari daerah distal ke arah atas
hingga mencapai pertengahan tulang radius-ulna, kemudian kembali lagi
hingga ke digit. Kemudian balutan dilipatkan berulang-ulang di daerah
ujung jari hingga membentuk semacam bantalan pada ujung jari, lalu

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

balutan diputar kembali ke atas hingga pertengahan tulang radius-ulna.


Setelah itu, dipasangkan plester pada tepi atas untuk memfiksasi agar
balutan tidak bergeser. Hasil akhir balutan akan menutupi seluruh telapak
kaki.
4. Kemudian dipasangkan lapisan tersier (misal adhesive tape atau elastic
bandage) menutupi seluruh permukaan lapisan sekunder. Pada tepi
bagian atas, lapisan tersier dilebihkan satu kali balutan agar separuh
bagian yang lengket menempel pada kulit. Hal ini akan membantu
bandage tetap berada di tempatnya dan tidak bergeser.

Gambar 7 Metode pembalutan pada daerah distal kaki depan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Velpeau sling, merupakan metode pembalutan yang berfungsi untuk


mencegah pemberian beban pada kaki yang mengalami cidera. Metode pembalutan
ini juga berguna sebagai manajemen luksasio persendian bahu secara konvensional.
Langkah pembalutan velpeau sling adalah:
1. Aplikasi velpeau sling dimulai dari pemasangan cast padding (gips) di
daerah metacarpus hingga ke carpus sebanyak 2 – 3 lapisan, kemudian
kaki ditahan menekuk mendekati thoraks dan gulungan gips dibawa ke
arah dorsal hewan dan kembali ke kaki untuk menahan posisi kaki hewan
tetap menekuk di dekat thoraks, dibalutkan sebanyak 2 – 3 lapisan.
2. Pembalutan dilanjutkan dengan lapisan berikutnya menggunakan kassa
gulung atau plester untuk melapisi gips yang dipasangkan. Kassa
dibalutkan dengan cara yang sama dengan cast padding, perlu dipastikan
bahwa bagian depan carpus tertutup dengan baik agar kaki tidak dapat
bergeser keluar dari arah kranial.
3. Terakhir, diberikan lapisan pelindung menggunakan elastic bandage
dengan metode pembalutan yang sama dengan lapisan-lapisan
sebelumnya.

Gambar 8 Metode pembalutan Velpeau sling

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Pembalutan pada Daerah Kaki Belakang


Basic soft padded limb bandage, merupakan metode pembalutan dasar pada
kaki. Balutan ini dilakukan dengan cara yang sama dengan pembalutan dasar pada
kaki depan. Pada metode ini, pemasangan gips dapat dilakukan apabila diperlukan
pembatasan gerak pada kaki yang cidera. Umumnya, pemasangan gips dapat
mempercepat persembuhan pada beberapa tipe fraktura dan juga dapat digunakan
untuk mengurangi pergerakan pada kaki post-operasi. (Langkah pembalutan sama
dengan basic soft padded limb bandage pada kaki depan)
Ehmer sling, metode ini digunakan untuk menjaga kepala femur tetap berada
di dalam acetabulum akibat luxatio persendian coxofemoral ke arah cranio-dorsal.
Akan tetapi, pembalutan ini tidak boleh digunakan pada luxatio coxofemoral ke
arah ventral. Langkah pembalutan Ehmer sling adalah:
1. Lapisan primer berupa gulungan kassa dipasangkan sebanyak 2 – 3 lapis
di sekeliling daerah metatarsus sebagai padding, kemudian difiksasi
menggunakan plester agar lapisan dasar tersebut tidak bergeser.
2. Kemudian lapisan sekunder berupa elastic bandage atau adhesive tape
dibalutkan mulai dari bagian metatarsal sebanyak 2 lapisan. Balutan
dibawa ke arah medial dari persendian femorotibial, kemudian turun
kembali ke daerah metatarsus melalui bagian menonjol dari tulang tarsus.
Pembalutan diulang 2 – 3 kali untuk memastikan balutan cukup kuat
untuk menahan beban kaki belakang.
3. Setelah itu, balutan dibawa dari daerah metatarsus ke arah dorsal dan
melingkari bagian abdomen belakang untuk memfiksasi kaki belakang
yang dibalut. Lapisan diulangi 2 – 3 kali untuk memastikan kaki belakang
sudah benar-benar terangkat dengan posisi kaki terabduksi dan terlipat
dengan sedikit rotasi ke arah dalam.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 9 Metode pembalutan Ehmer sling

Pembalutan pada Hewan Besar (Kuda)

Kuda terutama kuda pacu, sangat rentan mengalami perlukaan pada bagian
kaki. Pembalutan pada kuda ditujukan tidak hanya untuk terapi luka atau fraktur
saja, tetapi dapat pula digunakan sebagai pencegahan cidera. Jenis-jenis balutan
yang digunakan untuk pencegahan cidera pada kuda adalah stable bandage, polo
wraps, dan shipping bandage.
Sedangkan pembalutan yang ditujukan untuk pengobatan adalah sweat
bandages dan wound bandages. Sweat bandages dilakukan untuk mengurangi
kebengkakan pada kaki kuda. Sedangkan wound bandages diaplikasikan untuk
perlindungan pada kaki yang mengalami cidera. Berikut merupakan teknik-teknik
pembalutan wound bandages:

Pembalutan daerah Persendian Fetlock


1. Lapisan primer dibalutkan mulai dari atas persendian coffin kemudian
melingkar naik hingga persendian fetlock.
2. Lapis sekunder dibalutkan dengan cara yang sama sebanyak 2 – 3 lapisan
sampai bagian heels belakang tertutupi sedikit.
3. Kemudian kaki diangkat dan lapisan tersier dipasangkan menutupi
keseluruhan bandage yang sudah dipasang dan juga bagian bawah kaki.
4. Waterproof adhesive tape dipasangkan untuk mencegah kerusakan pada
bandage yang sudah dipasangkan. Pemasangan plester dilakukan pada
bagian sol kaki kuda secara menyilang berulang sebanyak 2 – 3 lapisan.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 10 Metode pembalutan daerah distal kaki kuda

Pemasangan Bandage pada Daerah Carpus


Hal yang perlu diperhatikan pada pemasangan balutan di daerah lutut adalah
tekanan yang diberikan pada persendian carpus. Tekanan yang berlebihan dapat
mengakibatkan perlukaan yang sulit disembuhkan.
1. Lapisan primer dipasangkan di atas luka yang hendak dibalut. Lapis
sekunder (kassa gulung) dibalutkan mulai dari persendian carpus secara
memutar tepat di atas lapis primer untuk menahan lapisan primer tetap
pada tempatnya.
2. Pembalutan dilanjutkan dengan Gerakan memutar angka 8 dengan
menghindari tuber calcanei yang menonjol keluar.
3. Gulungan kapas dibalutkan pada daerah carpus sebanyak 2 – 3 lapisan
dengan memberikan lubang pada bagian tulang yang menonjol agar
tulang carpus aksesori tersebut tidak tertutup balutan.
4. Bandage lapis tersier dipasangkan diatas gulungan kapas dengan cara
yang sama dengan pemasangan gulungan kassa yaitu dengan Gerakan
memutar angka 8 dengan menghindari tulang carpus aksesori. Fiksasi
bandage dapat dilakukan dengan memasangkan plester pada bagian atas
dan bawah bandage.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 11 Metode pembalutan daerah persendian carpus kuda

Pemasangan Bandage pada Daerah Tarsus


Seperti pada pembalutan di daerah persendian carpus, tekanan yang
berlebihan pada daerah tarsus juga dapat mengakibatkan cidera pada balutan.
Metode pembalutan daerah tarsus yaitu:
1. Lapisan primer dipasangkan di atas luka yang hendak dibalut. Lapis
sekunder (kassa gulung) dibalutkan mulai dari persendian tarsus secara
memutar tepat di atas lapis primer untuk menahan lapisan primer tetap
pada tempatnya.
2. Pembalutan dilanjutkan dengan Gerakan memutar angka 8 dengan
menghindari tulang calcaneus yang menonjol keluar.
3. Gulungan kapas dibalutkan pada daerah tarsus sebanyak 2 – 3 lapisan
dengan memberikan lubang pada bagian tulang yang menonjol agar
tulang calcaneus tersebut tidak tertutup balutan.
4. Bandage lapis tersier dipasangkan diatas gulungan kapas dengan cara
yang sama dengan pemasangan gulungan kassa yaitu dengan Gerakan
memutar angka 8. Fiksasi bandage dapat dilakukan dengan memasangkan
plester pada bagian atas dan bawah bandage.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 12 Metode pembalutan daerah persendian tarsus kuda

DAFTAR PUSTAKA

Kirpensteijn J, ter Haar G. 2013. Reconstructive Surgery and Wound Management


of the Dog and Cat. London (UK): Manson Publishing.
Knottenbelt DC, Malalana F. 2015. Saunders Equine Formulary, Second Edition.
London (UK): Elsevier Saunders.
Pavletic MM. 2018. Atlas of Small Animal Wound Management and Reconstructive
Surgery, Fourth Edition. New Jersey (US): Wiley Backwell.
Swaim SF, Renberg WC, Shike KM. 2011. Small Animal Bandaging, Casting, and
Splinting Techniques. Iowa (US): Blackwell Publishing.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

MATERI 10 ANESTESI PADA HEWAN KECIL, LABORATORIUM, DAN


EKOSTIK

Sediaan anestesi merupakan sediaan yang digunakan untuk menghilangkan rasa


nyeri, memberikan efek relaksasi otot pada saat prosedur bedah, dan untuk
menenangkan rasa takut dan gelisah, serta menimbulkan amnesia pada waktu tersebut.
Anestesi pada pasien bertujuan menyediakan ketidaksadaran yang reversibel, amnesia,
analgesia (mencegah respon terhadap nyeri), dan imobilitas (relaksasi otot skelet) pada
saat prosedur medis yang bersifat invasif. Penggunaan anestesi pada pasien perlu
menggunakan persetujuan dari wali/pemilik hewan tersebut. Sebuah rumah sakit atau
klinik harus menyediakan formulir persetujuan (inform consent) yang diisi oleh
pemilik hewan. Inform consent tidak hanya diisi sebelum prosedur anestesi, akan tetapi
prosedur invasif lainnya seperti prosedur operasi juga perlu diberikan kepada pemilik
hewan. Pemilik hewan memiliki hak untuk menyetujui atau menolak prosedur medis
tersebut. Orang yang mengisi formulir harus berusia minimal 18 tahun sehingga dapat
mempertimbangkan prosedur medis dari sisi pemilik hewan.

Indikasi anestesi:
- Mempertimbangkan aspek kemanusiaan yaitu untuk mengurangi penderitaan
hewan saat dilakukan tindakan medis atau invasif;
- Mempertimbangkan teknis prosedur perlakuan pada hewan, seperti saat
transportasi/pengambilan gambar radiografi dan sonografi/pemeriksaan fisik,
khususnya untuk hewan yang galak dan tidak dapat direstrain secara manual.

Anestesi yang baik/ideal:


- Mekanisme detoksifikasi yang baik
- Induksi cepat dan kedalaman anastesi dapat cepat dirubah
- Recovery cepat
- Depresi yang minimal terhadap sistem kardiovaskular dan respirasi
- Tidak iritan terhadap jaringan
- Tidak mahal, stabil, tidak korosif/mudah terbakar/meledak
- Tidak perlu peralatan mahal untuk aplikasinya

Prinsip umum dalam manajemen anestesi


Terlepas dari spesies dan prosedur, pedoman ini harus diterapkan pada semua pasien:
1. Evaluasi dari anamnesa, pemeriksaaan fisik, dan data laboratorium.
2. Menimbang manfaat dari prosedur terhadap potensi efek merugikan anestesi.
3. Stabilisasi dan koreksi semua abnormalitas yang terjadi akibat anestesi.
4. Minimalisasi waktu pemberian anestesi.
5. Mengidentifikasi dan mempersiapkan potensi komplikasi.
6. Memilih protokol anestesi berdasarkan pasien dan abnormalitas yang ada.
7. Membuat akses intavena bila memungkinkan dan layak.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

8. Mengamankan dan memelihara saluran udara jika memungkinkan dan layak.


9. Menggunakan oksigen tambahan berdasarkan pasien dan durasi prosedur.
10. Menggunakan cara hidup perawatan yang dapat meminimalisasi efek samping.
11. Menyediakan ventilatory support
12. Monitor sistem vital tubuh, termasuk kardiovaskular, respirasi, dan sistem saraf
pusat.
13. Mengidentifikasi dan mengoreksi abnormalitas yang timbul ketika anestesi
14. Melanjutkan monitoring dan support hingga tanda vital stabil.
15. Menggunakan anestesia yang sesuai dan sedasi post-operasi untuk
meminimalkan sakit dan stres

Penilaian Pre-Anestesi

Penilaian status kesehatan hewan sangat penting dilakukan sebelum diberi


tindakan anestesi. Hal ini bertujuan mempertimbangkan resiko tindakan anestesi dan
pemilihan sediaan anestesinya. Penilaian-penilaian yang perlu dilakukan adalah:
- Anamnesa:
o Gejala klinis yang perlu diperhatikan: diare, muntah, poliuri/polidipsi,
epilepsi, batuk dan abnormalitas suara napas
o Anestesi yang pernah diberikan
o Sejarah alergi
o Kapan makan terakhir kali sebelum diperiksa
- Pemeriksaan umum
- Uji laboratorium tambahan:
o Complete Blood Count (CBC) (terutama Packed Cell Volume (PCV)
dan konsentrasi plasma protein);
o Urinalisis;
o Kimia darah (untuk mengetahui fungsi hati dan ginjal);
o EKG;
o Waktu beku darah dan jumlah platelet
o Pemeriksaan feses
o Radiografi/ultrasonografi
Diagnosa status fisik hewan kemudian harus diklasifikasi menjadi status
kesehatan umum menurut klasifikasi American Society of Anesthesiologist (ASA). Hal
ini dapat membantu dokter untuk mengevaluasi kondis pasien sehingga dapat memilih
sediaan anestesi yag tepat.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 1 Klasifikasi status kesehatan umum (ASA)


Kategori Status Fisik Contoh
I Pasien normal sehat Tidak ada penyakit; pasien operasi steril
(OH/Kastrasi)
II Pasien dengan penyakit sitemik ringan Tumor kulit, fraktur tanpa shock, hernia tanpa
komplikasi
III Pasien dengan penyakit sitemik parah Demam, dehidrasi, anemia, kaheksia,
hipovolemik moderat
IV Pasien dengan penyakit sistemik parah Uremia, toksemia, hipovolemi dan dehidrasi
yang dapat beresiko kematian parah, anemia, demam tinggi
V Pasien yang tidak dapat bertahan 1 hari Shock dan dehidrasi berat, trauma parah,
dengan/tanpa operasi penyakit terminal
Sumber: Muir WW. 2007. Lumb and Jones’ Veterinary Anesthesia and Analgesia, 4th ed. Iowa (US):
Blackwell Publishing.

Preparasi Pasien Pre-Anastesi:


- Puasa: Induksi anestesi tidak boleh dilakukan pada pasien dengan kondisi
lambung yang penuh. Puasa lebih baik dilakukan minimal 12 jam sebelum
tindakan anestesi. Induksi anestesi pada hewan dengan keadaan lambung yang
penuh akan berbahaya karena terdapat resiko makanan akan teraspirasi ke
saluran pernapasan.
- Terapi cairan pre-anestesi: terutama pada pasien dehidrasi. Pemberian terapi
cairan pada saat anestesi akan menjaga volume darah tetap normal dan juga
membantu produksi urin, serta memudahkan administrasi sediaan obat lain.
- Pemberian antibiotik profilaktik khususnya sebelum tindakan operasi. Hal ini
bertujuan mengantisipasi apabila terdapat kontaminasi ketika operasi
berlangsung.
- Oksigenasi dan ventilasi khususnya bagi pasien yang memiliki penyakit saluran
respirasi, atau bagi pasien yang diberikan anestesi inhalasi. Hal ini bertujuan
melancarkan airway pasien dan menjaga respirasi pasien tetap baik pada saat
teranestesi.

Pertimbangan pemilihan sediaan anastesi dan analgesik:


- Spesies, ras, dan umur pasien
- Status present pasien
- Waktu yang dibutuhkan, tipe dan keparahan kondisi hewan untuk prosedur
medis/operasi, dan kehandalan operator
- Pengalaman dalam penggunaan teknik anestesi yang akan digunakan
- Ketersediaan personal dan peralatan pendukung

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Premedikasi Anestesi Dan Sedativa

Premedikasi merupakan obat yang diberikan sebagai persiapan sebelum


prosedur bedah atau prosedur invasif lainnya. Premedikasi merupakan sediaan yang
dapat membantu mengurangi efek samping dari anestesi yang diberikan pada pasien.

Agen Antikolinergik
Agen antikolinergik befungsi mengatasi bradikardi dan AV-block pada
jantung yang dapat terjadi sebagai efek samping dari sediaan anestesi. Secara umum,
agen ini juga digunakan untuk mencegah hipersalivasi. Agen antikolinergik pada
umumnya sediaan parasimpatolitik karena sediaan ini mencegah efek dari syaraf
parasimpatik di sistem-sitem tubuh terutama sistem kardiovaskular dan
gastrointestinal. Premedikasi juga dapat membantu menenangkan dan imobilisasi
hewan sehingga dapat memudahkan dokter hewan atau operator dalam memasang iv,
atau menginduksi anestesi. Agen ini juga memiliki sifat analgesik.
Sediaan premedikasi anestesi yang dapat digunakan berupa atropin dan
glikopirolat. Kedua sediaan tersebut bersifat antagonis muskarinik non-selektif,
sehingga dapat mencegah sekresi kelenjar saliva dan bronkial yang berlebih.
Administrasi agen antikolinergik umumnya dapat menyebabkan sinus takikardi,
sehingga sediaan ini berbahaya bagi pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Kombinasi agen antikolinergik dan ketamin dapat mencegah terjadinya infark
miokardium.

1. Atropin
Sediaan ini dapat menembus blood-brain barrier di sistem syaraf pusat serta
memiliki sedikit efek sedasi dan dapat menembus placenta barrier. Atropin dapat
mencegah adanya muntah/emesis dan menyebabkan dilatasi pupil hingga
midriasis yang lama. Sekresi lakrimalis juga dihambat, sehingga dapat
menyebabkan kekeringan pada mata ketika anestesi, sehingga seringkali artificial
tears perlu diberikan.
Aplikasi sediaan: subkutan (sc), intramuskular (im), atau intravena (iv) dengan
dosis 0.02-0.04 mg/kgbb (anjing dan kucing).

2. Glikopirolat
Sediaan ini tidak memiliki efek sedasi. Pemberian sediaan ini tidak
menyebabkan adanya dilatasi pupil dan tidak merubah tekanan intraokular.
Berbeda dengan atropin, sediaan ini memiliki efek pada saluran pencernaan, yaitu
mengurangi motilitas usus setidaknya selama 30 menit. Pada umumnya
glikopirolat digunakan pada saat operasi berlangsung untuk mencegah bradikardia
yang parah (akibat efek samping prosedur operasi atau obat anestetikum).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Aplikasi sediaan: subkutan (sc), intramuskular (im), intravena (iv), dengan dosis
5-10 μg/kgbb.

Sedativa
Sedativa merupakan sediaan yang dapat menghasilkan efek depresi tingkat
kesadaran secara cukup, sehingga menimbulkan rasa mengantuk dan menghilangkan
kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal.
1. Phenothiazine (contoh: Acepromazine)
- Sedativa yang efektif pada kucing dan anjing.
- Blokade reseptor dopamin
- Menghambat perilaku siaga dan perilaku motorik spontan
- Dengan dosis yang tinggi: menyebabkan tremor, kekakuan, dan katalepsi
- Memiliki efek anti-emetik dan deplesi katekolamin di pusat termoregulator
(hipotalamus)
- Acepromazin umumnya dikombinasikan dengan opioid untuk menurunkan
dosis anestesi inhalasi dan untuk menjaga stadium anestesi.
- Rute: im (kucing dan anjing kecil) dosis 0.01-0.2 mg/kgbb; dosis 0.01-0.05
mg/kgbb (anjing besar)

2. Alpha-2 adrenergic agonist (Xilazin, Medetomidin, Dexmedetomidin)


- Memiliki efek sedasi, analgesik, dan muscle relaxant
- Medetomidine, Dexmedetomidine:
o Administrasi iv, im
o Metabolisme di hati, dan diekskresikan melalui urin
o Onset cepat, durasi tergantung dari dosis yang diberikan
o Anjing: Dosis 0.01-0.05 mg/kgbb (onset: 5 menit; durasi: 1-2 jam)
o Kucing: Dosis 0.05-0.12 μg/kgbb (onset 15 menit; durasi: 1-2 jam)
- Xylazine:
o Memiliki efek sedasi, analgesic, dan muscle relaxant
o Rute: iv, im, dosis 0.3-2.2 mg/kgbb

3. Benzodiazepin
- Bekerja dengan memodulasikan neurotransmisi oleh Gammaaminobutyric acid
(GABA).
- Memiliki efek sedasi, anxiolytic, muscle relaxant, dan antikonvulsan.
- Diazepam:
o Digunakan sebagai muscle relaxant dan antikonvulsan
o Tidak bekerja efektif sebagai sedativa karena dapat menyebabkan
eksitasi, ataksia, dan perilaku agresif pada anjing dan kucing, maka dari
itu perlu dikombinasikan dengan sediaan sedativa lainnya.
o Rute: iv, im; dosis 0.2-0.4 mg/kgbb

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

- Midazolam
o Umumnya digunakan sebagai muscle relaxant
o Dikombinasikan dengan ketamin, etomidate, atau propofol
o Memiliki efek minimal pada sistem kardiovaskular, sehingga aman
digunakan untuk pasien tua atau pasien dengan penyakit kardiovaskular
o Rute: iv, im, sc; dosis: 0.1-0.3 mg/kgbb

Stadium/Tahapan Anestesi General

Tahap 1: Amnesia dan Analgesia / Voluntary Movement


Tahapan sesaat setelah hewan diinduksi anestesi hingga hewan kehilangan
kesadaran. Pada tahap ini, rasa sakit masih dapat dirasakan pasien, akan tetapi respon
rasa sakit pasien dikurangi.

Tahap 2: Delirium / Involuntary Movement


Tahap ini dimulai saat pasien kehilangan kesadaran hingga pernafasan pasien
kembali teratur. Pada tahap ini, reflex kelopak mata sudah tidak ada, Tahap ini
merupakan tahap eksitasi, sehingga memulai prosedur medis pada tahap ini akan
berbahaya. Pada tahap ini, pasien masih dapat bergerak secara spontan, hiperventilasi,
dan lainnya.

Tahap 3: Surgical Anesthesia


Tahap ini dimulai saat pasien sudah memiliki pola respirasi teratur hingga
penurunan respirasi. Kedalaman tahap ini dibagi empat yaitu: plane 1, plane 2, plane
3, dan plane 4.

Tahap 4: Medullary Paralysis


Tahap ini dimulai saat sudah terjadi penurunan respirasi hingga kegagalan
sirkulasi. Hal ini terjadi karena sistem syaraf pusat sudah terdepresi secara berlebihan.

Cotoh Sediaan Anestesi dan Kombinasinya

1. Ketamin
Dosis 2.0 – 10.0 mg/kgbb, Rute: iv, im. Harus dikombinasikan apabila
diberikan pada anjing. Berguna untuk restraint kucing dalam waktu 5-30
menit.
2. Ketamin + Diazepam/Midazolam
Dosis: 5.5 + 0.2 mg/kgbb. Rute iv. Restraint dalam 5-10 menit, dengan efek
muscle relaxant tidak sempurna, dan analgsik
3. Ketamin + Xylazine

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Dosis: 10.0 + 0.7-1.0 mg/kgbb. Rute: iv, im. Restraint dalam 20-40 menit.
4. Ketamin + Acepromazine
Dosis: 10,0 + 0.2 mg/kgbb. Restraint dalam 20-30 menit
5. Tiletamin + Zolazepam (Telazol)
Dosis: 2.0 – 8.0 mg/kgbb. Rute: iv, im. Restraint dalam 20 menit – 1 jam.
6. Thiopental
Dosis: 8.0 – 20.0 mg/kgbb. Rute: iv. Dosis rendah digunakan setelah
pemberian premedikasi.
7. Etomidate
Dosis: 0.5 – 2.0 mg/kgbb. Rute iv. Durasi 5-10 menit, akan menimbulkan efek
myoclonus dan gagging/retching.
8. Propofol
Dosis 4.0-6.0 mg/kgbb / 0.4-0.8 mg/kgbb/menit. Rute: iv. Onset cepat, durasi
5-10 menit, dan akan menimbulkan efek apnea selama beberapa menit.
9. Xylazine/Midazolam/Butorphanol
Dosis: 0.4/1.0/1.0 mg/kgbb. Rute iv. Durasi 30-40 menit, dengan onset yang
berbeda.

Anestesi Inhalasi

Sediaan anestesi ini diadministrasikan dan diekskresikan dari tubuh


menggunakan paru-paru. Anestesi inhalasi merupakan anestesi yang sering digunakan
karena kedalaman anestesinya dapat diatur secara cepat. Sediaan ini tidak perlu
mekanisme detoksifikasi tubuh, aman untuk bedah toraks, aman untuk bedah dengan
durasi yang panjang, dan recovery pasien cepat. sediaan anestsi ini harus dilakukan
dengan penggunaan oksigen, dan beberapa peralatan seperti endotracheal tube/face
mask untuk membantu mengeluarkan karbon dioksida.
Terdapat standar umum untuk penggunaan anestesi inhalasi, yaitu Minimum
Alveolar Concentration (MAC). MAC merupakan konsentrasi anestesi yang
diperlukan untuk mencegah terjadinya gerakan otot terhadap rangsangan/stimulus rasa
nyeri. Tahap anestesi akan dicapai ketika konsentrasi anestesi sama atau lebih besar
dari nilai MAC. Nilai dosis ED95 (95% individu teranestesi) adalah 20-40% lebih tinggi
daripada MAC.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Peralatan Anestesi Inhalasi


1. Endotracheal tube (ETT) dan Laryngoscope

Gambar 1 ETT dan laryngoscope

Laryngoscope digunakan untuk membantu pemasangan ETT ketika


intubasi. Alat ini digunakan untuk mempermudah operator dalam melihat laring,
sehingga ETT dapat dimasukkan dengan tepat. ETT merupakan alat yang
digunakan untuk mempertahankan airway pada pasien anestesi inhalasi.
Intubasi ETT dilakukan segera setelah induksi anestesi oleh sediaan yang
bersifat menghilangkan reflek menelan seperti ketamin dan
tiletamine/zolazepam.

Gambar 2 ETT tipe cuffed Murphy dan tipe Cole

ETT memiliki berbagai ukuran yang harus disesuaikan dengan ukuran


pasien. Ukuran ETT umumnya ditentukan oleh diameter internal dari tubenya.
Terdapat dua tipe ETT yang umumnya digunakan pada hewan, yaitu tipe cuffed
Murphy dan tipe Cole and guarded. Tipe cuffed Murphy merupakan tipe ETT
yang paling umum digunakan, dan dapat digunakan pada hewan kecil maupun
besar. Tipe Cole and guarded tidak memiliki cuff, memiliki diameter yang lebih
kecil pada bagian distal daripada proksimalnya. Bagian distal dari tube tersebut
yang dimasukkan ke dalam trakea hingga mencapai laring. Tipe ini umumnya
digunakan pada pasien yang sangat kecil dan untuk intubasi jangka pendek. Hal
ini dikarenakan tube ini tidak memiliki cuff, sehingga tidak dapat menjamin
tube ini terpasang dalam waktu yang lama.

2. Medical Gas Supply dan mesin anestesi inhalasi

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Terdiri dari beberapa komponen, yaitu silinder oksigen dan nitrous oxide,
regulator, flow meter, katup satu arah, rebreathing bag, carbon dioxide
absorber, katup pop-off, dan vaporizer.

Gambar 3 Mesin anestesi inhalasi (vetlandmedical.com 2017)

Silinder nitrous oxide merupakan sistem penyerapan nitrogen dari udara untuk
menghasilkan gas dengan konsentrasi oksigen 90-96%. Regulator merupakan
komponen untuk mengatur tekanan dari silinder, yaitu menurunkan tekanan
tinggi silinder gas menjadi lebih rendah dan aman.
Flow meter merupakan komponen pengatur jumlah gas ke area tekanan rendah
dari mesin anestesi. Carbon dioxide absorber digunakan untuk menyerap
karbon dioksida yang diekspirasi. Katup pop off untuk membuang tekanan yang
berlebih.

Sediaan Anestesi Inhalasi


1. Isofluran
Isofluran memiliki onset dan pemulihan dari anestesi yang lambat, dan
kedalaman anestesi dapat diubah dengan mudah dan cepat. Sediaan ini bersifat

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

non-iritan, noneksplosif dan tidak mudah terbakar. Isofluran menghasilkan


depresi pernafasan moderat dan sistem kardiovaskular. Sediaan ini umumnya
digunakan untuk mempertahankan kondisi anestesi pasien, bukan untuk induksi
anestesi.
2. Sevofluran
Sevofluran memiliki onset dan pemulihan dari anestesi lebih cepat
daripada isofluran, dan kedalaman anestesi dapat diubah dengan sangat mudah
dan cepat. Sediaan ini bersifat non-eksplosif dan tidak mudah terbakar. Berbeda
dengan isoflurane, sediaan ini dapat digunakan untuk induksi anestesi, akan
tetapi sediaan ini relatif mahal. Produk breakdown dapat menyebabkan
kerusakan pada ginjal, tetapi konsentrasi dihasilkan sangat rendah dalam
keadaan normal.
3. Desflurane
Onset dan pemulihan dari anestesi dengan desfluran adalah yang paling
cepat dari anestesi volatil. Desflurane relatif mahal dan memerlukan tekanan
dan temperatur yang terkontrol karena titik didih yang sangat rendah. Sediaan
ini memiliki bau yang kuat dan dapat mengiritasi saluran pernapasan. Sediaan
ini juga tidak cocok untuk digunakan sebagai induksi anestesi.
4. Halotan
Sediaan ini mudah menguap, dan induksi dan pemulihan yang cepat (1-
3 menit). Ini adalah anestesi kuat, non-iritan dan tidak mudah terbakar atau
meledak. Halotan memiliki efek depresan pada sistem kardiovaskular.
Hipotensi moderat diproduksi pada tingkat bedah anestesi karena pengurangan
cardiac output dan vasodilatasi perifer. Halotan juga dapat depresi sistem
respires, tergantung konsentrasi yang digunakan. Selain itu, halotan juga
bersifat hepatotoksik.
5. Enfluran
Induksi dan pemulihan dari anestesi yang cepat, sehingga kedalaman
anestesi dapat diubah dengan mudah dan cepat. Enfluran tidak mudah terbakar,
non-eksplosif dan non-iritan. Enfluran menghasilkan depresi kardiovaskular
dan pernafasan. Enfluran sebagian besar dihilangkan melalui paru-paru, dan
tidak seperti halotan, sangat sedikit dimetabolisme di hati. Penggunaan sediaan
ini dengan dosis yang tidak tepat akan menyebabkan kejang.
6. Metoksifluran
Metoksiflurana adalah non-iritasi, tidak mudah terbakar dan non-
eksplosif dalam udara atau oksigen. Ini memiliki efek analgesik kuat.
Metoksifluran menghasilkan depresi pernafasan dan sistem kardiovaskular.
Hasil metabolisme methoxyflurane dapat menyebabkan kerusakan ginjal
(nefrotoksik).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Monitoring Pasien Anestesi

Anestesi akan menyebabkan depresi pada sistem kardiovaskular dan respirasi,


maka dari itu, pasien harus terus dimonitor keadaannya. Tindakan monitoring yang
perlu dilakukan adalah kedalaman sedasi, sistem kardiovaskular, sistem respirasi, suhu
tubuh, dan gula darah. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa pasien masih tetap
aman. Tindakan tersebut juga terkadang dilakukan bersama dengan tindakan suportif
seperti pemberian oksigen, terapi cairan, dan menjaga suhu tubuh.

Gambar 4 Patient monitor (untuk monitoring HR, RR, EKG, SpO2, dan suhu tubuh)

Sistem Kardiovaskular:
- Memantau sirkulasi darah tubuh pasien, dengan mengetahui capillary refill
time (CRT) pada membran mukosa. CRT yang lebih lama dari normal
menandakan bahwa terdapat vasokonstriksi dan gangguan perfusi darah,
sementara CRT yang cepat menandakan vasodilatasi.
- Memantau heart rate (HR) atau frekuensi nadi hewan, khususnya ketika ada
perubahan menjadi takikardia, bradikardia, atau aritmia.

Gambar 5 Pulse oximeter

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

- Memantau saturasi oksigen dalam darah, dengan cara melihat warna membran
mukosa (normal: pink/rose; oksigenasi rendah: biru (cyanosis)) atau
menggunakan alat pulse oximetry atau patient monitoring.

Sistem Respirasi
- Memantau frekuensi napas pasien
- Memastikan posisi pasien yang benar sehingga airway tidak terganggu dan
respirasi lancar.

Gambar 6 Apnea monitor (membunyikan alarm ketika hewan tidak bernapas)

- Menggunakan alat capnography, patient monitoring; atau apnea monitor untuk


mengetahui frekuensi napas pasien.

Suhu Tubuh
- Memastikan suhu tubuh pasien tetap normal, tidak hipotermia.
- Memastikan suhu ruangan tidak terlalu dingin

Gambar 7 Heating pad

- Menyediakan alas hangat dapat berupa heating pad atau diberikan penghangat
berupa latex gloves yang diisi air hangat.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Terapi Cairan
- Pasien yang teranestesi akan kesulitan untuk homeostasis, termasuk mengatur
keseimbangan cairan. Maka dari itu perlu diberikan terapi cairan. Khususnya
untuk hewan dengan kondisi gagal ginjal.

Anestesi Hewan Lab

Persiapan Pre-Anestesi
- Pemeriksaan umum dan penimbangan bobot badan
- Pemeriksaan darah
- Puasa

Tabel 1 Data fisiologis hewan laboratorium (Flecknell, Richardson, dan Popovic 2007)
Mencit Tikus Kelinci Marmut
Bobot badan 25-40 300-500 2000-6000 700-1200
dewasa (g)
Suhu tubuh 37.5 38 38 38
(℃)
RR (kali/menit) 80-200 70-115 40-60 50-140
HR (kali/menit) 350-600 250-350 135-325 150-250

Anestesi
Anestesi pada hewan laboratorium dapat digunakan secara inhalasi atau
perinjeksi seperti intraperitoneal (IP), subkutan (SC), atau IM. Berbeda dengan hewan
anjing atau kucing, umumnya mamalia kecil seperti hewan laboratorium, memiliki laju
metabolisme yang tinggi, sehingga dosis yang dibutuhkan untuk anestesi akan lebih
tinggi. Ketika sediaan anestesi yang memiliki efikasi rendah seperti ketamin digunakan,
maka dosis yang diperlukan akan sangat tinggi. Maka dari itu, pada umumnya
dikombinasikan dengan acepromazine, dexmedetomidine atau opioid.
Kombinasi anestesi pada rodensia dan kelinci:
- Ketamin + Medetomidin: 75 mg/kgbb + 1mg/kg BB(IP)
- Ketamin + Xylazine: 80 mg/kgbb + 10 mg/kg BB (IP)
- Tiletamin + Zolazepam: 80-100 mg/kg BB (IM)
- Lidokain: Lidokain 1% 0.25 ml, Lidokain 2% 0.3 ml (epidural)
- Metoksifluran: inhalasi
- Isofluran: 2.5-4% inhalasi
- Eter dan karbondioksida: 1-2% atau 0.5-1% inhalasi

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Anestesi Hewan Eksotik

Persiapan anestesi yang dilakukan pada hewan eksotik sama dengan hewan lab.
Berikut merupakan nilai fisiologis beberapa hewan eksotik

Tabel 2 Data fisiologis beberapa hewan eksotik


Iguana hijau Kura-kura Merpati Lovebird
mediteran
Bobot badan 900-1500 1000-2500 260-350 50-70
dewasa (g)
Suhu tubuh 26-36 20-35 40-42 40-42
(℃)
RR 10-30 2-10 30-50 60-100
(kali/menit)
Pulsus 30-60 40-60 150-300 250-400
(kali/menit)

Sediaan Preanestesi pada hewan eksotik:


- Reptil:
o Atropin: 0.01-0.04 mg/kg BB (IM)
o Glikopirolat: 0.01 mg/kg BB (IM)
o Butorpanol: 0.4 mg/kg BB (IM)
o Butorpanol + Midazolam: 0.4 + 2 mg/kg BB (IM)
- Aligator
o Diazepam: 0.22-0.62 mg/kg BB (IM)
- Kura-kura
o Midazolam: 2 mg/kg BB
Sediaan Anestesi pada hewan eksotik:
- Reptil
o Ketamin: 22-44 mg/kg BB (IM) untuk sedasi. Untuk anestesi: 55-88
mg/kg BB (IM)
o Alfaxalone/alfadolone: 6-9 mg/kg BB (IV), 9-15 mg/kg BB (IV)
o Succinylcholine: 0.5-1 mg/kg BB (IM)
- Iguana
o Propofol: 10 mg/kg BB (IM)
Sediaan Anestesi Inhalasi pada hewan eksotik:
- Halotan: Chelonia (4-5%), kadal (5 ml/2840 cm3 )
- Isofluran: 0.3%

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Anestesi Lokal

Anestesi lokal dan regional bermaksud untuk menghilangkan sensasi pada


suatu bagian tubuh atau wilayah tubuh tertentu. Sediaan anestesi lokal merupakan
sediaan yang dapat mengikat sodium channels dan menghentikan konduksi impuls di
serabut syaraf secara reversibel. Induksi anestesi lokal memberikan efek berupa
mencegah atau mengurangi rasa nyeri atau input nosiseptif ketika dan setelah tindakan
operasi. Sediaan ini umumnya digunakan apabila tindakan operasi harus dilakukan
dalam kondisi pasien yang sadar atau apabila nyeri yang terkait dengan trauma atau
peradangan harus dikurangi. Penggunaan anestesi lokal juga akan memberikan
keuntungan bagi pasien agar tidak dianestesi general, atau untuk mengurangi dosis
anestesi general.

Sediaan anestesi lokal:


1. Lidokain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, intra-artikular, dan
epidural
2. Prilokain: untuk infiltasi jaringan lokal, nerve blocks, dan epidural
3. Etidokain: untuk infiltasi jaringan lokal, nerve blocks, dan epidural
4. Mepivakain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, intra-artikular, dan
epidural
5. Bupivakain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, epidural, dan
subaraknoid
6. Levbupivakain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, epidural, dan
subaraknoid
7. Ropivakain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, epidural, dan
subaraknoid
8. Artikain: untuk infiltrasi jaringan lokal, nerve blocks, epidural, anestesi
regional, intravena
9. Kokain: untuk pemakaian topikal
10. Benzokain: untuk pemakaian topikal
11. Prokain: untuk infiltasi jaringan lokal, nerve blocks, dan epidural
12. Kloroprokain: untuk infiltasi jaringan lokal, nerve blocks, dan epidural
13. Tetrakain: untuk pemakaian topikal, subaraknoid

Toksisitas
Dosis maksimum dan toksisitas sediaan anestesi lokal tergantung pada rute
administrasi, tempat injeksi, umur, status kesehatan, dan spesies hewan. Kucing lebih
sensitive terhadap sediaan anestesi lokal, dengan dosis toksiknya setengah dari dosis
toksik pada anjing. Gejala toksisitas anestesi lokal dapat berupa gejala syaraf dan
kardiovaskular. Gejala syaraf berupa berkedut, koma, hingga kegagalan respirasi,

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

sedangkan gejala kardiovaskular berupa aritmia, bradikardia, vasodilatasi, dan


kegagalan jantung.

Aplikasi Anestesi Lokal


1. Dental Nerve Block: situs injeksi di foramen infraorbitale (infraorbital), bagian
nervus zigomatikus (maxillary), syaraf inferior alveolar (di bagian syaraf
mandibular), dan foramen mentale.
2. Nerve block kaki depan: situs injeksi di plexus brachialis dan syaraf radialis
3. Epidural: situs injeksi di ruang antara tulang lumbosakralis. Desensitisasi
bagian kaudal abdomen, kaki belakang, dan perineum.
4. Nerve block kaki belakang: situs injeksi di syaraf femoralis, syaraf sciatic.

DAFTAR PUSTAKA

Amboss. 2020. Inhalational anesthetics (Volatile anesthetics). [Internet]. [Diunduh


pada 2020 Juli 19]. Tersedia pada:
https://www.amboss.com/us/knowledge/Inhalational_anesthetics
Flecknell PA, Richaardson CA, Popovic A. 2007. Lumb and Jones’ Veterinary
Anesthesia and Analgesia, 4th ed. Iowa (US): Blackwell Publishing.
Grimm KA, Tranquilli WJ, Lamont LA. 2011. Essentials of Small Animal Anesthesia
and Analgesia, Second Edition. Iowa (US): John Wiley & Sons, Inc.
Keating S. 2020. Small animal local and regional anesthesia. [Internet]. [diunduh pada
2020 Juli 19]. Tersedia pada: https://vetmed.illinois.edu/wp-
content/uploads/2016/09/75.-Keating-Local-and-Regional-Anesthesia-in-
Small-Animals.pdf
Vetland Medical Sale & Services. 2017. EX3000 Electronic veterinary anesthesia
machine. [Internet]. [Diunduh pada 2020 Juli 19]. Tersedia pada:
https://vetlandmedical.com/vet_products/vetland-ex-3000-2/ex3000-labeled-
fb/

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 11 ANASTESI PADA HEWAN BESAR

Tehnik Anastesi Pada Hewan Besar

Prinsip anastesi, fase anastesi, monitoring dan kontrol selama anastesi, serta
farmakologi dan fisiologi yang berhubungan dengan anstesi telah dibahas pada bab atau mata
kuliah lain. Bagian ini akan lebih terfokus pada tehnik anastesi pada hewan besar. Terdapat
beberapa tehnik anastesi yang sering dilakukan pada hewan besar yaitu, anastesi lokal atau
regional (analgesia), sedasi dan transquilizer, dan anastesi general (umum).

Anastesi Lokal dan Regional (Analgesia)

Anastesi regional dilakukan dengan menghilangkan sensitifitas syaraf sensoris pada


area tertentu. Anastesi regional dapat dilakukan dengan tehnik infiltrasi pada lokasi tertentu
atau blokade syaraf sensoris yang menginervasi regio tertentu. Kedua tehnik tersebut
bertujuan untuk menghilangkan sensitifitas saraf pada daerah operasi. Berdasarkan durasi
anastesi, sediaan anastesi lokal yang biasanya digunakan adalah lidocaine hydrochlorida
(onset dan durasi anastesi singkat), mepivacaine hydrochlorida, dan bupivacaine
hydrochlorida (onset dan durasi anastesi panjang). Penggunaan bupivacaine hanya terbatas
untuk administrasi epidural dan perineural karena bersifat toksik pada jantung. Penggunaan
lidocaine dan mepivacaine lebih luas karena dapat diadministrasikan melalui beberapa rute.
Sediaan yang paling efektif untuk digunakan pada tehnik anastesi ini adalah mepivacaine
karena memiliki onset yang singkat, durasi yang cukup panjang, dan reaktivitas yang rendah
terhadap jaringan. Anastesi regional lebih sering digunakan pada ruminansia dengan
tambahan sedasi. Sementara itu, pada kuda, anastesi regional merupakan tehnik tambahan
dari anastesi umum.

Tehnik Anastesi Lokal dan Regional

Anastesi Infiltrasi
Anastesi infiltrasi dilakukan dengan menginjeksikan dan menginfiltrasi sediaan anastesi
lokal di sekitar area operasi dengan menggunakan needle berukuran kecil dan panjang.
Infiltrasi pertama dilakukan pada lapisan kulit dan subkutis, jika memungkinkan infiltrasi
berikutnya dilakukan pada lapisan yang lebih dalam seperti otot dan peritoneum. Jumlah
sediaan anastesi lokal tidak boleh berlebihan jika diinfiltrasikan hingga lapisan peritoneum
untuk mencegah absorpsi vaskuler yang dapat meningkatkan toksisitasnya. Infiltrasi
dilakukan dengan arah yang lurus dengan minimal penyimpangan untuk mencegah trauma
jaringan. Injeksi berulang dilakukan bila daerah operasi kembali peka.
Anastesi infiltrasi biasanya digunakan dengan indikasi penjahitan luka atau
pengangkatan lesio pada kulit. Selain itu, indikasi anastesi ini adalah untuk prosedur

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

laparotomi dengan infiltrasi yang dilakukan sepanjang garis insisi. Anastesi jenis ini dapat
digunakan pada seluruh jenis hewan besar domestik.

Anastesi Infiltrasi Pola L


Anastesi infiltrasi pola L merupakan tehnik paling sederhana dalam anastesi lokal dan
regional dengan indikasi untuk prosedur laparotomi dan laparoskopi pada hewan besar.
Tehnik ini biasanya digunakan dalam prosedur operasi dengan tehnik flank atau paramedian.
Sediaan anastesi diadministrasikan dengan infiltrasi berpola L dengan tujuan untuk
memblokade syaraf yang terdapat pada area operasi. Tehnik anastesi ini menggunakan needle
berukuran 16 – 18 G dengan panjang 8 – 10 cm. Secara umum, dosis anastetikum yang
direkomendasikan adalah 2 mg/kg. Namun, pada kuda dan sapi dewasa membutuhkan
lidocaine 2% hingga 100 ml (4 mg/kg untuk hrwan dengan berat 500 kg). lokasi administrasi
adalah sisi vertikal di caudal dari os costae terakhir dan sisi horizontal dari proceccus
transversus dari os vertebrae lumbalis terakhir. Area operasi akan teranastesi secara lokal 10
– 15 menit setelah administrasi sediaan anastesi. Toksisitas sistemik sediaan anastesi akibat
absorbsi vaskuler pada kambing dan domba dapat diminimalisir dengan mengencerkan
sediaan anastesi sehingga konsentrasinya menjadi lebih rendah.

Gambar 1 Tehnik Anastesi Infiltrasi Pola L

Blokade Paravertebral
Blokade paravertebral merupakan salah satu tehnik anastesi regional yang jarang
dilakukan pada kuda. Walaupun demikian, tehnik ini sangat efektif dalam menghilangkan
sensitifitas syaraf pada area flank untuk kuda yang dioperasi dalam kondisi berdiri. Tehnik ini
lebih sering dilakukan pada ruminansia seperti sapi, kambing, dan domba. Daerah flank
memiliki inervasi syaraf yang keluar dari foramen vertebralis lateralis (T13, L1 dan L2, serta
L3). Syaraf tersebut merupakan syaraf sensoris dan motoris yang menginervasi kulit, fascia,
otot, dan peritoneum bagian flank. Blokade percabangan syaraf bagian dorsolateral L3 jarang
dilakukan pada operasi-operasi dengan tehnik flank, karena sedikit kesalahan dalam
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

administrasi akan menyebabkan blokade pada percabangan syaraf yang keluar dari celah L4.
Saraf yang keluar dari celah L4 tersebut merupakan syaraf sensoris dan motoris yang
menginervasi kaki belakang.
Tehnik blokade paravertebral sangat sering dilakukan pada sapi dengan orientasi
administrasi pada proceccus transversus pada T13, L1 dan L2, serta L3. Administrasi
dilakukan sedekat mungkin dengan foramen vertebralis lateralis. Hal ini dilakukan agar
terjadi blokade pada badan syaraf atau setidaknya terjadi blokade pada percabangan dorsal
dan ventral dari syaraf tersebut. Proceccus transversus dari L1 menjadi titik orientasi untuk
blokade syaraf pada T13, begitu juga dengan L2 dan L3 merupakan titik orientasi untuk
blokade syaraf pada L1 dan L2. Administrasi sediaan anastesi dilakukan 3 – 5 cm ke ventral
sejajar dengan caudal dari garis tengah proceccus transversus. Needle yang digunakan dalam
administrasi sediaan anastesi adalah needle dengan ukuran 16 – 20 G dengan panjang 10 cm.
Administrasi dilakukan hingga menembus ligamentum intratransversal dengan ketebalan
kurang lebih 0,75 cm. Sediaan anastesi yang biasanya digunakan adalah lidocaine atau
mepivacaine 2% sebanyak 10 ml di ventral ligamen dan tambahan sebanyak 5 ml pada dorsal
ligamen.

Gambar 2 Tehnik Blokade Paravertebral

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tehnik blokade paravertebral yang dilakukan pada kambing dan domba sama seperti
pada sapi. Volume sediaan lidocaine 1% yang diadministrasikan adalah 5 ml dengan dosis
total tidak melebihi 6 mg/kg. Dosis terendah yang dapat diberikan pada kambing dan domba
adalah 2 mg/kg.

Anastesi Epidural
Anastesi epidural merupakan tehnik yang sangat sering dilakukan untuk keperluan
prosedur operasi sapi dan kuda dalam keadaan berdiri, operasi caesar pada babi, operasi
urogenital pada kambing, serta analgesia postoperatif. Pemilihan sediaan anastesi dilakukan
berdasarkan spesies dan tujuan prosedur yang dilakukan (contoh: anastetikum untuk anastesi
lokal area operasi, opioid atau alpha-2-agonist untuk analgesik tanpa blokade syaraf). Domba
lebih mudah untuk di restrain secara fisik sehingga hanya memerlukan administrasi sediaan
anastesi lokal. Sementara itu, kambing dan babi lebih sulit untuk di restrain secara fisik
sehingga memerlukan administrasi sediaan yang bersifat sedativ.
Anastesi epidural dapat dilakukan pada cranial epidural maupun caudal epidural.
Cranial epidural dilakukan pada celah lumbosakral. Tehnik ini biasanya dilakukan pada
kambing, domba, dan babi. Sementara itu, caudal epidural dilakukan pada celah
sacrococcygeal. Tehnik ini biasanya dilakukan pada sapi dan kuda. Anastesi epidural ini
memungkinkan operasi dalam kondisi berdiri karena tidak berpengaruh terhadap syaraf pada
kaki belakang. Namun, anastesi epidural akan menyebabkan relaksasi sphincter ani.
Administrasi sediaan anastesi pada caudal epidural dilakukan pada 1 – 2 inchi dari
pangkal ekor. Titik orientasi didapatkan dengan cara menggerakkan ekor ke atas dan ke
bawah, persendian pertama yang ditemukan di caudal sacrum merupakan celah
intercoccygeal pertama. Setelah titik orientasi ditemukan, pangkal ekor di ikat atau dijepit
menggunakan tourniquet dan dilakukan preparasi kulit. Titik orientasi ditusuk menggukan
needle berukuran 18 – 19 G dengan panjang 3 – 5 cm (needle spinal) dengan membentuk
sudut 45o pada sapi dan 30o/60o pada kuda hingga ke dalam canalis spinalis. Posisi needle
yang tepat pada ruang epidural ditandai dengan adanya tekanan negatif. Pembuktian adanya
tekanan negatif dilakukan dengan cara aspirasi larutan steril pada needle. Selain itu, jika
posisi needle tepat di ruang epidural maka tidak akan ada hambatan dalam administrasi
sediaan anastesi. Volume sediaan anastesi yang diadministrasikan pada caudal epidural tidak
boleh lebih dari 3 ml pada kambing dan 10 ml pada sapi untuk mencegah inkoordinasi dan
rekumbensi pada kaki belakang.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 3 Tehnik Anastesi Epidural pada Sapi

Gambar 4 Tehnik Anastesi Epidural pada Kuda

Alpha2-agonist yang biasanya digunakan pada sapi untuk durasi analgesik yang
panjang adalah lidocaine 2%. Sementara itu, pada kuda penggunaan lidocaine 2% memiliki
durasi analgesik yang lebih singkat kurang lebih hanya 7.5 menit. Volume yang dinaikkan
hingga 5 – 7 ml dapat memperpanjang durasi analgesik. Alpha2-agonist yang juga sering
digunakan dalam bentuk kombinasi untuk meningkatkan durasi analgesik adalah detomidine,
medetomidine, dan xylazine. Kombinasi beberapa sediaan tersebut dapat menurunkan potensi
ataxia.

Anastesi Regional pada Mata


Tehnik anastesi regional pada mata memiliki indikasi utama untuk analgesia pada
daerah orbital. Tehnik yang paling mudah dan sangat memuaskan adalah blokade infiltrasi
retrobulbar (empat titik). Tehnik ini digunakan untuk prosedur enukleasi bola mata. Tehnik
lain yang dapat digunakan adalah blokade peterson pada pertemuan antara proceccus
zygomaticus dan tepi cranial dari proceccus coronoideus dari os mandibulla. Infiltrasi
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

kemudian dilakukan hingga krista pterygoideus kemudian diarahkan rostral dan turun hingga
fossa pterigopalatinum pada foramen orbitorotundum. Sediaan anastesi yang
diadministrasikan sebanyak 15-20 ml pada kulit dan jaringan subkutan sepanjang cabang
zygomaticus. Bagian ujung dorsomedial canthus juga harus diinfiltrasi. Tehnik ini jarang
digunakan karena dapat berakibat fatal akibat orientasi infiltrasi yang sangat dekat dengan
arteri maxillaris interna.

Anastesi Regional pada Tanduk


Tehnik blokade cornual merupakan tehnik yang sangat sederhana dengan indikasi
prosedur dehorning pada sapi dan kambing. Infiltrasi pada sapi dilakukan pada lateral
canthus mata kemudian sepanjang krista dorsalis pangkal tanduk hingga fossa temporalis.
Sebelum mencapai pangkal tanduk, infiltrasi sediaan dilakukan melalui m. Frontalis. Needle
yang digunakan berukuran 18G dengan panjang 2.5 cm. Sediaan anastesi yang biasanya
digunakan adalah lidocaine 2% dengan volume sebanyak 5 ml. Berbeda dengan sapi,
kambing memiliki dua percabangan syaraf cornual, satu berasal dari n.lacrimalis dan lainnya
berasal dari n.infrathrochlearis.infiltrasi pada kambing dilakukan blokade subkutan pada
pertengahan kepala bagian frontal diatas mata hingga krista fascialis.

Anastesi Intravena pada Kaki Ruminansia


Tehnik anastesi intravena pada kaki bagian distal lebih efektif dibandingkan dengan
anastesi blokade atau ring blokade. Tehnik ini dilakukan dengan administrasi sediaan anastesi
lokal pada vena superficial di bagian distal kaki yang telah di tourniquet. Torniquet dipasang
di distal dari carpus atau persendian carpus. Administrasi biasanya dilakukan pada vena
digitalis communis lateralis III di metacarpus atau cabang cranial dari vena saphena lateralis
di metatarsus. Volume sediaan yang diadministrasikan adalah 10 – 20 ml lidocaine atau
mepivacaine 2%. Pada kambing dan sebagian domba volume pemberian terbatas sebanyak 2
– 3 ml (tidak melebihi dosis 2 mg/kg). hal penting lain yang harus diperhatikan adalah,
kombinasi lidocaine dengan epinefrin harus dihindari karena akan menyebabkan
vasokonstriksi regional serta pelepasan epinefrin secara sistemik setelah pelepasan
tourniqueti akan menyebabkan timbulnya efek samping. Torniquet harus dilepaskan perlahan
pada akhir prosedur operasi dan fungsi motoris kaki bagian distal akan kembali normal dalam
waktu 5 menit.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 5 Tehnik Anastesi Intravena Distal Kaki Sapi

Anastesi Blokade Saraf lain


Tehnik blokade syaraf dan ring blocksi biasanya digunakan untuk diagnosis
kepincangan dan penanganan luka pada kaki. Blokade syaraf spesifik dan analgesia
intrarticular merupakan prosedur yang sangat penting untuk diagnosis kepincangan.

Transquilizasi dan Sedasi

Tujuan utama transquilizasi dan sedasi pada hewan besar adalah untuk keperluan
prosedur diagnostik dan terapetik, prosedur operasi minor dengan anastesi lokal, dan
prosedur medikasi preanastesi. Transquilizer yang biasanya digunakan pada kuda adalah
golongan phenothiazine yaitu acetylpromazine maleate, namun memiliki beberapa efek
samping yaitu hipotensi, takikardia, dan kelumpuhan sementara serta tidak memiliki efek
analgesik. Penggunaan alpha-2-adrenoreseptor agonist seperti xylazine hydrochlorida,
detomidine, romifidine, dan dexmedetomidine untuk menggantikan acepromazine akan
menghasilkan efek analgesik dan sedasi. Namun, penggunaan sediaan ini juga memiliki efek
samping yang bergantung pada jenis obat, dosis dan rute pemberian. efek samping yang dapat
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

terjadi adalah penurunan denyut jantung dan cardiac output, hipertensi, serta perubahan
karakter. Efek samping tersebut dapat diminimalisir melalui kombinasi dengan opioid.
Sedativ pada babi yang biasanya digunakan adalah azeperone dan droperidol.
Kombinasi opioid dengan alpha-2-adrenoreseptor agonist menghasilkan efek sedasi
preanastesi dan analgesik yang baik. Benzodiazepam atau midazolam menghasilkan efek
sedasi yang singkat pada kambing dan domba. Sementara itu, alpha-2-adrenoreseptor agonist
memberikan efek samping pada sistem cardiopulmoner pada kambing dan domba. Opioid
seperti fentanyl dan morphine sering digunakan sebagai analgesik pada kambing dan domba.

Anastesi Umum (Anastesi General)

Berbagai macam prosedur operasi pada kuda memerlukan anastesi umum berbeda
dengan sapi yang dapat dilakukan dengan kondisi berdiri atau dengan hanya menggunakan
restrain fisik maupun kimia. Anastesi umum pada ruminansia juga jarang dilakukan karena
pertimbahan karakteristik fisiologi ruminansia. Recumbensi yang lama pada ruminansia akan
menyebabkan bloating yang berakhir pada penekanan diafragma sehingga terjadi
hipoventilasi, hipoksia, hipercarbia, dan asidosis respirasi.
Evaluasi preanastesi pada hewan yang akan dianastesi secara umum harus dilakukan
dengan lengkap. Evaluasi preanastesi termasuk pemeriksaan fisik, klinis, dan complete blood
count (CBC). Selain itu monitoring selama prosedur intraoperatif hingga postoperatif juga
penting untuk dilakukan secara teliti. Hewan harus dipuasakan sebelum operasi misalnya
pada kuda 12 jam sebelum dilakukan anastesi tanpa pembatasan minum.

Premedikasi
Sedasi dan transquilizasi pada kuda dilakukan untuk memudahkan induksi anastesi
umum, namun hal ini tidak dilakukan pada sapi dan ruminansia kecil. Secara umum,
transquilizer dan sedativa memiliki efek samping terhadap fisiologi abdomen secara akut.
Pemberian transquilizer preanastesi pada anak kuda yang baru lahir juga harus dihindari
karena perkembangan sistem enzim mikrosomal pada hati belum maksimal akan
menyebabkan metabolisme obat yang sangat lama.
Alpha-2-agonist merupakan sediaan yang sering digunakan sebagai premedikasi pada
kuda dan kadang-kadang pada sapi. Sediaan yang biasanya digunakan adalah
guaifenensin+ketamine, tiletamine+zolazepam, dan xylazine+ketamine. Sediaan
antikolinergik yang digunakan atropine. Namun, penggunaan sediaan ini sangat jarang
dilakukan karena dapat menyebabkan illeus, takikardi, dan peningkatan konsumsi oksigen
mitokondrial. Antikolinergik akan mengurangi efek salivasi pada rumin namun meningkatkan
eksresi viskus mata. Atropin atau glycopyrolate sangat berguna bagi babi untuk mengkontrol
salivasi berlebihan selama anastesi umum terutama penggunaan sediaan ketamine atau
tiletamine.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Induksi Anastesi
Induksi anastesi sering dilakukan melalui intravena. Sementara itu, pada babi sulit
dilakukan sehingga induksi anastesi dilakukan dengan metode inhalasi. Thiobarbiturat
merupakan sediaan yang paling efektif untuk induksi rekumbensi pada kuda yang telah
tersedasi namun ketersediaannya sangat kurang. Oleh karena itu, sediaan ini biasanya
digantikan dengan ketamine dam tiletamine. Sementara itu, induksi menggunakan anastesi
inhalasi pada anak kuda adalah prosedur terbaik untuk menjaga stabilitas fungsi
cardiovaskular. Penggunaan kombinasi guaifenesin dengan ketamine pada sapi sering
dilakukan untuk induksi sekaligus pemeliharaan anastesi. Kombinasi yang lebih baik lagi
adalah kombinasi antara guaifenesin, ketamine, dan xylazine pada sapi yang disebut tripple
drip. Hipoksemia merupakan efek samping utama pada prosedur induksi anastesi, oleh
karena itu suplementasi oksigen yang tinggi sangat dibutuhkan.
Intubasi endotracheal dapat dilakukan sebelum atau setelah induksi anastesi dengan
efek regurgitasi minimal jika dilakukan setelah induksi anastesi. Intubasi endotracheal pada
babi sangat sulit untuk dilakukan karena babi memiliki larynx yang panjang dan tidak
terfiksir dengan baik. Penggunaan laryngoscope dapat memudahkan pemasangan intubasi
pada babi. Induksi anastesi pada hewan muda dilakukan dengan inhalasi atau menggunakan
sediaan propofol atau ketamine yang dikombinasikan dengan benzodiazepine.

Pemeliharaan Anastesi
Anastesi inhalasi merupakan metode yang paling efektif untuk memelihara kondisi
anastesi selama operasi terutama jika durasi operasi panjang. Sediaan yang dapat digunakan
adalah isoflurane, sevoflurane, dan desflurane. Metode intravena merupakan salah satu cara
untuk memelihara kondisi anastesi hewan dengan kelebihan peralatan yang sederhana dan
biaya murah. Kekurangan dari metode ini adalah memperpanjang waktu pemulihan dari
anastesi karena eksresi sediaan anastesi lebih lambat dibandingkan dengan metode inhalasi.
Selama pemeliharaan anastesi, sangat penting untuk memperhatikan kondisi vital pasien
seperti kedalaman anastesi, aktivitas refleks, serta parameter respirasi dan cardiovaskular.

DAFTAR PUSTAKA

Hendrickson DA, Baird AN. 2013. Turner and McIIwraith’s Techniques in Large Animal
Surgery 4th Edition. New Jersey (US): John Willey and Sons.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

DAFTAR PENGGUNAAN SEDIAAN ANASTESI PADA HEWAN BESAR

Tabel 1 Anastesi Epidural dan Analgesik pada Sapi dan Ruminansia Kecil
Obat Indikasi Dosis Keterangan
Lidocaine 2% -Anastesi epidural (cranial dan caudal) Sapi: 1 ml/10 lb atau 0.5-1 ml/100 lb Onset dan durasi singkat
-Anastesi epidural (caudal) pada kambing Kambing/domba: 2-3 ml
dan domba
Lidocaine 2% anastesi epidural (caudal) pada sapi Lidocaine: 0.22 mg/kg Onset singkat dan durasi
+ Xylazine Xylazine: 0.05 mg/kg panjang
Volume total: 5-7 ml13,72
Medetomidine -Anastesi epidural (caudal) pada sapi Sapi: 15 µg/kg diencerkan dengan 5 ml saline Durasi panjang dengan efek
-anastesi epidural (cranial) pada kambing 0.9% samping sistemik
Kambing/domba: 20 µg/kg diencerkan
dengan 5 ml steril water/water for injection
Medetomidine Anastesi epidural (caudal) pada sapi Medetomidine: 15 ug/kg Durasi panjang dengan
+ Mepivacaine Mepivacaine: 0.5-1 ml/100 lb minimal efek samping
sistemik
Morphine -Anastesi epidural 15 mg/ml morphine dilarutkan hingga 0.15- Memberikan analgesia tanpa
-painkiller postoperatif 0.20 ml/kg dengan saline 0.9% kelumpuhan
Keterangan: 1 lb = 0.453 kg

Tabel 2 Anastesi Epidural (Caudal) pada Kuda


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Detomidine Sedasi/analgesi 20-60 µg/kg dilarutkan ke dalam saline 0.9% Analgesi poten dengan ataxia ringan
hingga volume total 10-15 ml
Detomidine+ Sedasi/analgesi Detomidine: 20-40 µg/kg Analgesi durasi panjang
Morphine Morphine: 0.1-0.2 mg/kg dilarutkan ke dalam
saline 0.9% hingga volume total 10-15 ml
Xylazine+ Sedasi/analgesi Lidocaine: 0.22 mg/kg Lebih baik jika dikombinasikan dengan alpha-2-
Lidocaine 2% Xylazine: 0.17 mg/kg agonist
Mepivacaine 2% Anastesi 4-4.5 ml Onset cepat dan durasi sedang
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 3 Anastesi Epidural pada Babi


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Detomidine Anastesi epidural (cranial) 0.05-0.1 mg/kg dengan 5 ml Onset 10 menit dan durasi 30 menit
saline 0.9%
Lidocaine 2% Anastesi epidural (cranial) 0.5-1 mg/kg Sering digunakan untuk prosedur kastrasi kuda jantan
dan caesaria pada betina
Xylazine Anastesi epidural (cranial) 1-2 mg/kg dengan 5 ml saline Durasi panjang
0.9%
Xylazine 10%+ Anastesi epidural (cranial) Xylazine: 1 mg/kg Durasi panjang
Lidocaine 2% Lidocaine: 10 ml

Tabel 4 Transquilizer dan Sedativ pada Sapi


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Detomidine Sedasi posisi berdiri 0.01-0.03 mg/kg IV Tidak menimbulkan residu pada susu serta tidak
meningkatkan resiko aborsi
Medetomidine Sedasi yang dalam dengan 0.002-0.01 mg/kg IV Dosis rendah menyebabkan sedasi yang dalam dan
posisi rekumbensi dan dosis tinggi menyebabkan rekumbensi
dosis tinggi
Xylazine Sedasi posisi berdiri 0.11-0.22 mg/kg IM Dosis tinggi pada pemberian IM menyebabkan
0.055-0.11 mg/kg IV rekumbensi dan meningkatkan resiko aborsi spontan
Xylazine+ Sedasi posisi berdiri Xylazine: 0.2 mg/kg IV Dosis tinggi pada pemberian IM menyebabkan
Butorphanol Butorphanol: 0.05-0.07 mg/kg IV rekumbensi dan meningkatkan resiko aborsi spontan
Xylazine+ Ketamine stun Xylazine: 0.02-0.05 mg/kg Dosis tinggi pada pemberian IM menyebabkan
Butorphanol+ Butorphanol: 0.01-0.025 mg/kg rekumbensi dan meningkatkan resiko aborsi spontan
Ketamine Ketamine: 0.04-0.1 mg/kg

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 5 Transquilizer dan Sedativ pada Kuda


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Acepromazine (tunggal Sedasi Acepromazine: 0.03–0.06 mg/kg tidak dapat digunakan bersamaan
atau kombinasi dengan Butorphanol: 0.01–0.04 mg/kg, IV/IM dengan pemberian anthelmintik
opioid lain) Morphine: 0.03–0.09 mg/kg IV/IM golongan organophospat
Detomidin Sedasi 4-20 µg/kg IV Durasi panjang (60-120 menit)
Detomidine + opioid
Medetomidine Sedasi 5 µg/kg IV Durasi lebih sedikit panjang
dibandingkan xylazine
Romifidine Sedasi 40-120 µg/kg IV Kedalaman sedasi yang sama dengan
detomidine dan lebih panjang dari
xylazine
Xylazine Premedikasi dan sedasi Premedikasi: 0.3-0.6 mg/kg IV Menyebabkan bradikardia dan aritmia
posisi berdiri Sedasi: 1.1 mg/kg IV
Xylazine + Acepromazine Sedasi Xylazine: 0.5 mg/kg Sedasi yang baik
Ace: 0.05 mg/kg IV
Xylazine + Butorphanol Sedasi Xylazine: 0.3–1 mg/kg Sedasi yang baik
tartat Butorphanol: 0.01–0.05 mg/kg IV

Xylazine + Morphine sedasi Xylazine: 0.3–1 mg/kg Sedasi yang baik


Morphine: 0.03–0.9 mg/kg IV
80,81

Tabel 6 Transquilizer dan Sedativ pada Babi


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Acepromazine Transquilizasi 1-8 mg/kg Babi hutan tidak lebih 1 mg/kg
Droperidol Transquilizasi 0.1-0.4 mg/kg Sedasi sama dengan azaperon
Ketamine + Diazepam Sedasi Ketamine: 10-15 mg/kg; Diazepam: 0.5-2.0 mg/kg IM Sedasi dalam dan durasi panjang
Ketamine + Midazolam Sedasi Ketamine: 10-20 mg/kg; Diazepam: 0.1-0.5 mg/kg IM Sedasi dalam dan durasi panjang
Xylazine Sedasi dan analgesi 1-2 mg/kg IM bisa dikombinasi dengan opioid Sedasi dalam dan durasi panjang
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Tabel 7 Transquilizer dan Sedativ pada Ruminansia Kecil


Obat Indikasi Dosis Keterangan
Acepromazine Sedasi ringan 0.05–0.1 mg/kg IM Restrain pada induksi
Ketamine + Diazepam Sedasi Ketamine: 2–5 mg/kg Dosis tinggi untuk anastesi
Diazepam: 0.1–0.2 mg/kg IV
Ketamine + Midazolam Sedasi Ketamine: 2–5 mg/kg, Dosis tinggi untuk anastesi dan midazolam dapat
Midazolam: 0.1–0.2 mg/kg IM dikombinasikan dengan opioid
Xylazine Sedasi 0.1–0.4 mg/kg pada kambing Efek negatif terhadap sistem kardiopulmoner
0.05–0.1 mg/kg IV

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

KULIAH 12 BEDAH JARINGAN LUNAK

Laparotomi

Laparotomi atau celiotomy merupakan prosedur bedah dengan melakukan insisi


pada dinding rongga abdomen. Laparotomi diindikasikan untuk diagnostik (mis. biopsi
organ) dan tindakan terapeutik. Beberapa kondisi pasien yang mengancam nyawa
(misalnya gastric dilatation volvulus (GDV), perforasi kolon, internal bleeding yang
parah) harus segera ditangani dengan pembedahan. Keputusan untuk melakukan
laparotomi harus berdasarkan sejarah dan temuan pemeriksaan fisik, radiografi,
ultrasonografi dan analisa laboratorium. Namun beberapa kondisi dari hasil
pemeriksaan ini tidak cukup meggambarkan kondisi pasien. Pada beberapa kasus,
pemeriksaan fisik dan berbagai pemeriksaan penunjang tidak cukup menggambarkan
kondisi pasien sehingga laparotomi dapat dijadikan pilihan untuk mengetahui kondisi
internal abdomen pasien.
Hal yang perlu diperhatikan pada manajemen pre operasi laparotomi antara lain
kondisi umum pasien (sikap, postur, suhu, laju pernapasan, frekuensi jantung dan
ritme); auskultasi, perkusi dan palpasi abdomen; pemeriksaan rektal. Selain itu
pemantauan pasien terus menerus penting dilakukan untuk mengamati ada tidaknya
penurunan kondis pasien yang progresif.

Prosedur Laparotomi Hewan Kecil


 Anestesi dan Antibiotik
Pemilihan sediaan dan rute anestetikum disesuaikan dengan kondisi
pasien dan penyakit yang diderita pasien. Hewan yang tidak mengalami syok
dapat diberikan sediaan premedikasi benzodiazepine, serta opioid dan induksi
yaitu propofol, ketamine, atau etomidate secara intravena.
Penggunaan antibiotik yang tepat pada pasien yang menjalani laparotomi
tergantung pada penyakit, kondisi umum pasien, durasi serta jenis prosedur
bedah. Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi
akibat infeksi bakteri.
 Anatomi
Lapisan dinding rongga abdomen yang akan disayat dimulai dari kulit,
jaringan subkutan (lemak), otot dan peritoneum. Terdapat 4 lapisan otot pada
dinding abdomen dari luar ke dalam, yaitu otot abdominal oblique eksternal, otot
abdominal oblique internal, rektus abdominis, dan transversus abdominis. Pada
garis tengah, di antara lapisan otot abdomen kanan dan kiri terdapat linea alba
dengan vaskularisasi yang paling sedikit sehingga risiko perdarahan lebih rendah
jika sayatan dilakukan di daerah ini (ventral midline). Terdapat beberapa organ
dan sistem organ yang ditemukan di dalam rongga abdomen yaitu, pencernaan,
limfatik, urinari dan reproduksi.
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

Linea alba

Gambar 1 Anatomi lapisan dinding abdomen hewan (Sumber: Fossum et al. 2013)

 Teknik Bedah
Pembedahan pada daerah abdomen untuk hewan kecil biasanya diinsisi
dari garis tengah (linea alba). Pembersihan area operasi harus dilakukan cukup
luas, bahkan hingga daerah inguinalis dan thoraks untuk mengantisipasi
perluasan daerah sayatan, terutama untuk eksplorai abdomen pasien yang
mengalami trauma. Sayatan dapat dilakukan sepanjang linea alba dari processus
xiphoidea hingga ke pubis jika ingin mengeksplorasi keseluruhan rongga
abdomen. Sayatan di bagian kaudal dari umbilikal hingga ke pubis biasanya
dilakukan untuk eksplorasi VU dan organ genitala, sedangkan sayatan di kranial
dari umbilikal hingga processus xiphoidea untuk eksplorasi organ hati, lambung
serta intestin. Sayatan dapat diperpanjang ke arah lateral pada processus
xiphoidea (1 cm pada kaudal tulang rusuk terakhir) untuk memudahkan
eksplorasi hati, sistem bilier, dan diafragma. Laparotomi paracostal (paralumbar)
biasanya dilakukan untuk tujuan operasi pada organ ginjal dan kelenjar adrenal;
teknik ini umum digunakan untuk unilateral adrenalektomi.
 Ventral Midline Celiotomy in Cats and Female Dogs
Pasien dibaringkan dengan posisi terlentang (dorsal recumbancy) lalu
sayatan dilakukan pada garis tengah pada processus xiphoidea dan
meluas hingga ke pubis (panjang sayatan disesuaikan dengan prosedur
bedah). Sayatan dilakukan pada kulit dan jaringan subkutan hingga
fascia eksternal dari otot rektus abdominis terbuka. Kulit difiksasi
terlebih dahulu agar mudah mengeksplorasi lapisan profundal. Apabila
terdapat perdarahan pada jaringan subkutan dapat diligasi atau
dikauterisasi. Kemudian dilakukan identifikasi linea alba. Setelah itu
linea alba disayat dengan pisau bedah (scalpel) (tekanan scalpel perlu
diperhatikan agar tidak sampai melukai organ internal). Selanjutnya jari
dimasukkan ke dalam sayatan untuk mengangkat otot tersebut dan
sayatan diperluas ke kranial dan kaudal menggunakan gunting. Otot

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

kemudian difiksasi untuk memudahkan eksplorasi organ abdominal.


Peritoneum kemudian disayat, lalu organ abdomen selanjutnya dapat
dieksplorasi.

Ventral midline
incision

Gambar 2 Orientasi sayatan ventral midline celiotomy pada kucing dan anjing betina
(Sumber: Fossum et al. 2013)

 Ventral Midline Celiotomy in Male Dogs


Prosedur berbeda pada laparotomi pada ventral midline anjing jantan
dikarenakan adanya preputium yang akan sedikit menggeser sayatan.
Preputium biasanya dijepit ke sisi lateral. Sayatan dilakukan dengan
orientasi bagian kranial yaitu dari processus xiphoidea dan berlanjut ke
kaudal hingga preputium. Lalu sayatan bergeser ke lateral preputium
pada sisi yang berlawanan dengan arah penjepitan preputium. Jaringan
subkutan dan otot preputialis disayat hingga mencapai fascia otot
abdomen. Hal yang perlu diperhatikan pada anjing jantan adalah adanya
cabang vena yang cukup besar yaitu vena epigastrikum superfisial kaudal
pada preputium sehingga perlu diligasi atau dikauter. Selanjutnya
dilanjutkan dengan prosedur yang sama seperti pada laparotomi hewan
betina.

Ventral midline
incision

Gambar 3 Orientasi sayatan ventral midline celiotomy pada kucing dan anjing jantan
(Sumber: Fossum et al. 2013)

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

 Paracostal Celiotomy
Pasien diposisikan berbaring lateral kemudian kulit disayat dari batas
ventral ossa vertebralis hingga ke garis tengan abdomemen (arah sayatan
vertikal terhadap sumbu tubuh hewan). Sayatan dilakukan sepanjang
kaudal rusuk terakhir. Kemudian sayatan diteruskan hingga ke
peritoneum dan diperluas dengan menggunakan gunting sama seperti
prosedur sebelumnya.
 Eksplorasi Abdomen
Ketika rongga abdomen dalam kondisi terbuka, hal yang perlu
diperhatikan adalah kelembaban organ interna dan meminimalisir kontaminasi.
Sehingga perlu menyiapkan kassa yang dibasahi dengan larutan fisiologis steril
kemudian digunakan sebagai alas apabila organ dikeluarkan. Selain itu dapat
juga diguyur dengan larutan saline hangat untuk tetap menjaga suhu organ dan
rongga abdomen. Pada beberapa kasus, kassa sering tertinggal di dalam rongga
abdomen sehingga penting untuk memastikan jumlah kassa yang digunakan
sebelum penjahitan dinding abdomen. Berikut merupakan orientasi dan panduan
dalam eksplorasi abdomen:
 Kuadran Kranial
- Pemeriksaan diafragma (termasuk hiatus esofagus) dan hati.
- Inspeksi kantong emepedu dan sistem billiary
- Pemeriksaan lambung, pylorus, duodenum proksimal dan limpa
- Pemeriksaan pankreas (palpasi dengan lembut), vena porta, arteri
hepatika, dan vena cava.
 Kuadran Kaudal
- Pemeriksaan kolon desendens, VU, prostat atau uterus
- Pemeriksaan cincin inguinal
 Eksplorasi Usus
- Palpasi usus dari duodenum hingga ke kolon desendens
- Observasi vaskularisasi mesenterika dan kelenjar pertahanan lokal
 Eksplorasi Organ Lainnya
- Usus (mesoduodenum) ditarik ke sebelah kiri untuk memeriksa
organ di profundal. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan ginjal,
kelenjar adrenal, ureter, dan ovarium.
- Usus (kolon desendens) ditarik ke sisi kanan lalu dilakukan
pemeriksaan ginjal kiri, kelenjar adrenal ureter dan ovarium.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

A B

Gambar 4 Letak organ abdomen pada hewan kecil (A) ventral view (Sumber: Jack dan Watson 2014), (B)
lateral view (Anatomy Note 2019)

 Penjahitan Dinding Abdomen


Setelah melakukan eksplorasi rongga abdomen maka selanjutnya
dilakukan penutupan kembali dengan menjahit linea alba. Jahitan yang
direkomendasikan untuk linea alba adalah jahitan simple interrupted atau simple
continous. Jahitan simple continous memiliki risiko yang lebih rendah terhadap
kemungkinan merenggang atau terbukanya luka jahitan (apabila simpul dan
material benangnya tepat) dan memungkinkan luka menutup lebih cepat. Jenis
benang yang digunakan sebaiknya yang kuat, mudah diserap (misalnya
polydioxanone (PDS), poliglikonat (Maxon), poliglicaprone 25 (Monocryl),
glycomer 631 (Biosyn) dapat digunakan untuk jahitan simple continous serta 6-8
simpul ditempatkan di setiap ujung sayatan. Jika menggunakan jenis jahitan
simple interrupted, maka jarak antar loop jahitan yang dianjurkan adalah antara
5-10 mm tergantung ukuran tubuh hewan. Tiap loop jahitan dikencangkan
secukupnya untuk menyatukan sisi sayatan dan tidak berlebihan karena dapat
mempengaruhi penyembuhan luka. Peritoneum jangan sampai ikut terjahit
bersama linea alba. Penjahitan subkutan dengan jahitan simple continous dengan
bahan benang yang mudah diserap. Lalu yang terakhir adalah penjahitan kulit
dengan pola jahitan simple interrupted maupun dengan simple contious.
Kemampuan jaringan untuk menahan jahitan tergantung pada kekuatan
jaringan dan serat kolagennya. Kulit dan fasia umumnya lebih kuat dari otot dan
lemak. Peritoneum dapat sembuh dengan cepat dari sayatan dan tidak
berpengaruh pada kekuatan jahitan dan proses penyembuhan luka operasi. Oleh
karena itu penjahitan pada peritoneum hewan kecil tidak dilakukan. Berdasarkan
eksperimental dan studi klinis pada anjing menunjukkan bahwa penjahitan
peritoneum memungkinkan terjadinya komplikasi pasca operasi berupa adhesi
intraabdominal.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

 Perawatan dan Komplikasi Post Operasi


Jahitan perlu diperiksa dua kali sehari untuk mengamati ada tidaknya
kemerahan, bengkak dan discharge. Jika hewan menjilat atau mengigit perban
daerah sayatan maka perlu dipasangkan Ellizabeth collar. Tanda awal adanya
gangguan pada proses penyembuhan luka adalah peradangan dan edema.
Pembengkakan dan adanya discharge serosanguineous dari sayatan adalah tanda
dehiscence insisi akut. Dehiscence atau terbukanya jahitan biasanya terjadi 3-5
hari post operasi. Namun hal ini dapat terjadi lebih awal apabila simpul tidak
diikat dengan dengan benar. Eviserasi isi abdomen dapat menyebabkan sepsis
dan kehilangan darah yang parah. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan
antara lain pembalutan luka, terapi cairan dan terapi antibiotik spektrum luas
sebelum operasi dilakukan. Gangguan luka yang terjadi 10-21 hari post operasi
dapat menyebabkan pembentukan hernia dan eviserasi.
Dehiscence (hernia insisional) dan eviserasi dapat terjadi jika
menggunakan teknik bedah yang tidak tepat. Penyebab dehiscence pada perode
awal post operasi biasanya adalah kerusakan jahitan dan longgarnya simpul.
Risiko dehiscence yang lebih tinggi dapat terjadi pada luka infeksi,
ketidakseimbangan cairan atau elektrolit, anemia, hipoproteinemia, penyakit
metabolisme (mis. hyperadrenocortocism, diabetes melitus), imunosupresi (mis.
FIV), leukemia, perut kembung, atau pada pasien yang sedang dalam
pengobatan dengan kortikosteroid, agen kemoterapi, atau radiasi. Selain itu
penggunaan benang nonabsorbable pada penjahitan linea alba atau subkutan
dapat menimbulkan pembentukan sinus (rongga) pada jahitan.

Prosedur Laparotomi Hewan Besar


 Anesthesi dan Persiapan Pre Operasi
Pada operasi daerah abdomen hewan besar anesthesi yang dilakukan
adalah epidural dan lokal pada daerah sayatan menggunakan sediaan anesthesi
lokal. Kemudian area orientasi sayatan dicukur dan didisinfeksi dari dorsal
midline hingga ke seluruh flank dan dari caudal costae 12 hingga tuber coxae.
 Anatomi
Lapisan otot dinding abdomen hewan dari luar ke dalam terdiri dari kulit,
subkutan, m. abdominal oblique eksternus, m. abdominal oblique internus, m.
abdominal transversus, dan peritoneum. Di dalam rongga abdomen dapat
ditemukan organ pencernaan, limfatik, urinari, dan reproduksi.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

Gambar 5 Anatomi lapisan dinding abdomen hewan besar (Sumber: Ames 2014)

 Teknik Operasi
Pendekatan yang umum digunakan untuk operasi hewan besar adalah
insisi left/right paralumbar (laparotomi flank kiri atau kanan) dengan posisi
hewan berdiri. Operasi dilakukan dengan menyayat kulit dari ventral procesus
transversus L2 dan dilanjutkan ke arah ventral sepanjang 20 cm. Kemudian
subkutan disayat hingga menemukan lapisan otot. Kemudian lapisan otot disayat
perlahan pada tiap lapisannya, jika terjadi perdarahan maka pembuluh darah
segera dijepit dengan forcep dan diligasi dengan benang. Tekanan pada
penyayatan peritoneum perlu diperhatikan terutama pada bagian dorsal karena
dapat melukai organ interna terutama rumen apabila insisi dilakukan dari flank
kiri. Jika rongga abdomen sudah terlihat maka selanjutnya dapat dilakukan
eksplorasi untuk meneguhkan diagnosa maupun melakukan prosedur operasi
lainnya pada organ abdomen.
 Eksplorasi Abdomen
Abdomen terbagi menjadi 4 bagian yaitu abdomen kanan, tengah, kiri
dan kaudal, dengan letak organ sebagai berikut:
 Abdomen kanan: ginjal kanan, hati, gall bladder, abomasum, duodenum,
sisi kanan omasum, dinding abdomen kanan, dan sisi kanan diafragma.
 Abdomen tengah: ginjal kiri, pembuluh darah mayor abdominal (aorta,
arteri mesenterika), usus halus, sisi medial abdomen, dan omasum.
 Abdomen kiri: dinding abdomen kiri, sisi kiri abomasum, limpa,
retikulum, sisi kiri diafragma.
 Abdomen kaudal: organ reproduksi, VU ureter, sekum, kolon, cincin
inguinal, dan rektum.
Eksplorasi abdomen dilakukan dengan palpasi setiap organ dan jaringan
sekitarnya dan diperhatikan lokasi, tekstur, ukuran dan kelainan pada organ.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

Gambar 6 Lateral view of cow’s abdomen (A) kanan, (B) kiri (Sumber: Ames 2014)

 Penjahitan Dinding Abdomen


Penjahitan dindin abdomen hewan besar dilakukan pada 3 lapisan, yaitu:
 Lapisan 1: jahit peritoneum dan m. abdominal oblique internus serta m.
abdominal transversus sekaligus. Pola jahitan yaitu simple continous
dengan benang monofilamen absorbable atau catgut No 2 atau 3.
 Lapisan 2: jahit m. abdominal oblique eksternus dan subkutan sekaligus
dengan tetap menautkannya pada m. abdominal oblique internus untuk
mencegah terbentuknya rongga. Pola jahitan simple continous dengan
benang monofilamen absorbable atau catgut No 2 atau 3.
 Lapisan 3: penjahitan kulit dengan pola jahitan continous interlocking.
Jenis benang yaitu sintetis nonabsorbable, material noncapillary No. 3.
 Perawatan Post Operasi
Medikasi untuk perawatan hewan operasi abdomen yang
direkomendasikan yaitu antibiotik yang diberikan preoperasi, administrasi

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

intraperitoneal, dan antibiotik general 3-5 hari post operasi. Selain itu pakan dan
nutrisi hewan juga penting untuk diperhatikan.

Ovariohisterektomi

Salah satu tindakan bedah yang sering dilakukan pada ronga abdomen
adalah bedah saluran reproduksi. Pada hewan betina jenis pembedahan tersebut
adalah pengambilan ovarium dan uterus (ovariohisterektomi) dan pengambilan
ovarium saja (ovariektomi) atau uterus saja (histerektomi). Selain itu terdapat
juga prosedur operasi yang dilakukan dengan menyayat uterus tanpa
mengambilnya dari ruang abdomen (histerotomi), misalnya pada sectio
caesaria.
Pembedahan pada saluran reproduksi mencakup berbagai teknik yang
dapat mengubah kemampuan hewan untuk bereproduksi, membantu proses
kelahiran, dan mengobati atau mencegah penyakit organ reproduksi. Indikasi
utama untuk bedah saluran reproduksi adalah untuk mengontrol populasi,
membantu proses partus pada kasus distokia, mencegah atau mengatasi tumor
yang dipengaruhi oleh hormon reproduksi, dan tindakan terapi untuk penyakit
saluran reproduksi (misalnya pyometra, metritis).
Usia pasien untuk tindakan ovariohisterektomi yaitu minimal 6-9 bulan.
Pembedahan pada pasien pada usia yang lebih muda (mis 6-16 minggu)
berpotensi mengalami hipoglikemia, hipotermia dan perdarahan. Pasien pada
usia kurang dari 16 minggu memiliki sistem metabolisme yang belum matang
sehingga pemberian obat-obatan yang keras dapat membahayakan. Selain itu
sistem saraf simpatik yang belum matang membuat anak anjing atau kucing
berpotensi mengalami bradikardia dan hipotensi. Oleh karena itu rekomendasi
tindakan OH sangat penting mempertimbangkan usia hewan. Selain itu pada
pasien yang tua peting disarankan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui
kondisi umum pasien.

Anatomi Saluran Reproduksi Betina


Saluran reproduksi betina mencakup ovarium, oviduk, uterus, vagina,
dan vulva. Ovarium terletak di dalam kantung peritoneum dengan bursa ovarium
terletak di kaudal ginjal. Ovarium kanan terletak lebih kranial yaitu pada dorsal
dudenum descendens, sedangkan ovarium kiri terletak pada dorsal kolon
descendes dan lateral limpa. Apabila medial mesoduodenum atau mesokolon
dikuakkan maka ovarium dapat terlihat. Penggantung ovarium di dalam ruang
abdomen (mesovarium) terdiri dari ligamentum suspensori, arteri dan vena,
lemak dan jaringan ikat. Pada anjing, penggantung ovarium memiliki banyak
lapisan lemak sehingga cukup sulit untuk melihat pembuluh darah.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

Uterus berbentuk pendek dengan adanya cornua yang lebih sempit dan
panjang. Kemudian pada bagian kaudal terdapat serviks dengan ukuran lebih
sempit dan tebal (keras). Alat penggantung uterus di dalam abdomen disebut
mesometrium. Vagina terlertak pada kaudal serviks dan terhubung dengan
saluran urinari (orifisium urethralis). Kemudian pada organ reproduksi luar pada
betina yaitu klitoris dan vulva.

Teknik Operasi
Area operasi pada bagian ventral abdomen dipersiapkan dengan dicukur
dan disinfeksi dari processus xiphoidea hingga ke pubis. Kemudian temukan
umbilikal sebagai patokan lalu kulit dan jaringan subkutan disayat sepanjang 4-8
cm ke arah kaudal. Setelah jaringan subkutan dipreparir, selanjutnya dilakukan
identifikasi linea alba. Linea alba lalu dijepit dan sedikit diangkat, kemudian
disayat hingga menembus ke rongga abdomen. Sayatan linea alba diperpanjang
ke kranial dan kaudal dengan menggunakan gunting Mayo. Otot yang sudah
disayat kemudian difiksir dengan forcep agar mudah mengakses peritoneum dan
organ-organ.
Orientasi dalam mencari organ reproduksi betina dimulai dari uterus.
Uterus dapat dengan mudah ditemukan apabila VU sedikit dikuakkan ke
samping sehingga cornua dan corpus uterus dapat terlihat. Selanjutnya melalui
cornua uterus dapat ditelusuri ke kiri dan ke kanan untuk menemukan ovarium.
Ligamentum suspensorium pada pedikulus penggantung ovarium dipalpasi dan
sedikit dirobek untuk memudahkan ligasi pedikulus (hati-hati pembuluh darah).
Selanjutnya 2-3 forcep digunakan untuk menjepit pedikulus, kemudian
pedikulus diligasi dengan benang absorbable. Jenis ligasi yang disarankan
terutama untuk pedikulus yang tebal, yaitu dengan ligasi angka delapan. Ujung
jarum terlebih dahulu ditusukkan ke tengah-tengah pedikulus lalu diligasi,
kemudian benang dililitkan lagi melingkari pedikulus dan diligasi kembali. Jenis
ligasi ini direkomendasikan untuk mencegah benang terlepas karena licin.
Selanjutnya pedikulus disayat di antara kedua forcep, lalu forcep perlahan
dilepaskan dan kemudian dipastikan tidak ada hemoragi. Teknik ligasi yang
sama juga diterapkan pada uterus dengan orientasi ligasi dan sayatan yaitu pada
coprus uterus (cranial serviks). Selanjutnya dilakukan penutupan dinding
abdomen dengan penjahitan pada tiga lapisan yaitu fasia/linea alba, subkutan
dan kulit.
Ovariohisterektomi dengan pendekatan insisi ventral midline abdomen
lebih mudah dilakukan, risiko trauma rendah, dan risiko sakit postoperasi yang
lebih ringan daripada insisi dari flank abdomen, yang mana akan menyayat otot
pada 3 lapisan sekaligus serta risiko penyayatan pada pembuluh darah. Akan
tetapi risiko komplikasi post operasi berupa hernia lebih rendah pada insisi
flank. Selain itu OH dengan insisi flank diindikasikan untuk pasien dengan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP321)

kelenjar mamari yang sedang aktif (masa laktasi) ataupun adanya neoplasia atau
hiperplasia mamari.

Manajemen Post Operasi


Hewan yang menjalani prosedur operasi saluran reproduksi harus
diperhatikan rasa sakit post operasi, hemoragi, dan infeksi. Analgesik
postoperasi diindikasikan dengan dosis opioid. Jahitan diperiksa setidaknya dua
kali sehari terhadap ada tidaknya kemerahan, bengkak atau discharge. Aktivitas
pasien dibatasi setidaknya 10-14 hari post operasi. Air minum dapat diberikan 4-
6 jam postoperasi dan jika tidak ada muntah makan pakan dapat diberikan dalam
6-12 post operasi. Pada pasien bedah OH non elektif misalnya pada kasus
pyometra, penting untuk diberikan treatment lainnya seperti terapi cairan,
elektrolit, dan keseimbangan asam-basa. Untuk melindungi jahitan maka perlu
diperban dan pasien menggunakan Elizaberthan collar.

DAFTAR PUSTAKA

Ames NK. 2014. Noordsy’s Food Animal Surgery, Fifth Edition. Michigan
(US): John Wiley & Sons.
[Anatomy Note]. 2019. Dog digestive system anatomy. [Internet]
https://www.anatomynote.com/animal-anatomy/mammals/dog/dog-
digestive-system-anatomy/ (17 Juli 2020).
Asrat M, Melkamu S. 2018. Review on ovariohysterectomy: surgical approach,
postoperative complications and their management in bitch. Int. J. Adv.
Multidicip. Res. 5(3): 20-28.
Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG,
Schulz KS, Willard MD. 2013. Small Animal Surgeri Fourth Edition. St.
Louis(AS): Elsevier Health Science.
Griffon D, Hamaide A. 2016. Complications in Small Animal Surgery. Californa
(US): John Wiley & Sons.
Jack CM, Watson PM. 2014. Veterinaru Technician’s Daily Reference Guide:
Canine and Feline, 3rd Edition. Seattle (US): Blackwell Publishing.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 13 BEDAH ORTOPEDIK PADA HEWAN

Fraktur

Fraktur merupakan pemecahan atau kerusakan suatu bagian dari tulang. Fraktur ini
dapat disebabkan oleh trauma/stress fisik yang kuat, atau luka lanjutan dari beberapa kondisi
atau penyakit yang melemahkan kekuatan tulang seperti osteoporosis, kanker tulang, atau
ketidaksempurnaan osteogenesis.

Klasifikasi Fraktur
Identifikasi jenis fraktur pada pasien penting dilakukan agar tepat dalam treatment
dan komunikasi kepada klien. Fraktur pada hewan dapat dideskripsikan berdasarkan:
Jumlah fragmen tulang yang patah
Konfigurasi fraktur
Lokasi fraktur pada tulang
Tulang yang mengalami fraktur

1. Jumlah Fragmen Tulang yang Patah


 Dua fragmen: terdapat satu garis patahan yang membagi dua tulang tersebut menjadi
2 fragmen yang besar. Jenis fraktur ini adalah yang paling sederhana dan mudah
untuk diterapi.
 Dua fragmen dengan satu patahan kecil yang dapat direposisi: fraktur dengan dua
fragmen besar disertai adanya fragmen kecil yang cukup mengganggu namun masih
dapat direposisi dalam proses rekonstruksi tulang.
 Dua fragmen dengan beberapa patahan kecil yang sulit direposisi: rekonstruksi tulang
menjadi seperti sedia kala akan sulit dilakukan dan dapat terjadi cacat tulang.
 Multiple fragmen atau kompleks: fraktur dengan lebih dari 3 fragmen besar.
2. Konfigurasi Fraktur
 Incomplete atau greenstick: fraktur dengan retakan yang terjadi pada satu korteks dan
tidak benar-benar membagi tulang menjadi dua bagian. Jenis fraktur ini umum terjadi
pada hewan muda.
 Transverse: garis fraktur tegak lurus terhadap sumbu panjang dari tulang.
 Oblique: garis fraktur yang miring terhadap sumbu panjang dari tulang. Terbagi
menjadi short oblique jika kemiringan kurang dari 45º dan long oblique jika
kemiringan lebih dari 45º.
 Spiral: garis fraktur yang mengelilingi tulang dengan bentuk spiral.
 Avulsion: fraktur yang terjadi pada tonjolan tulang di mana tendon besar menempel
seperti akromion, tuberositas supraglenoid, olecranon, tuberositas tibialis dan
kalkaneus. Tingkat keparahan tetap bergantung pada jumlah garis fraktur yang
terbentuk.
 Comminuted: fraktur dengan multipel garis. Fraktur yang terjadi membagi tulang
menjadi tiga fragmen (butterfly fragment) hingga banyak fragmen.
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 1 Klasifikasi fraktur berdasarkan konfigurasi dan garis fraktur

3. Lokasi Fraktur
 Articular: fraktur yang terjadi pada daerah persendian (epifisis) yang
melibatkan tulang rawan artikular.
 Epiphysis: lokasi fraktur pada epifisis, baik di proksimal atau distal tulang
panjang.
 Physis: fraktur terjadi pada bagian phyisis, yaitu kartilago proksimal dan distal
dari tulang panjang yang terletak di antara ephyphysis dan metaphysis
 Metaphysis: fraktur terjadi pada bagian metaphysis, yaitu pada proksimal dan
distal tulang yang terletak di antara physis dan diaphysis. Metaphysis memiliki
bagian korteks yang lebih tipis dari diaphysis.
 Diaphysis:fraktur terjadi di bagian tengah/poros tulang, di bagian diaphysis.
Memiliki korteks yang lebih tebal dan pada medula terdapat sumsum berupa
jaringan adiposa.
 Komponen tulang yang spesifik secara anatomis, misalnya supracondylar,
trochanteric, dan femoral neck.

Physis

Gambar 2 Anatomi tulang panjang (sumber: Teachers Pay Teachers 2018)

4. Fraktur Salter-Harris
Klasifikasi fraktur yang spesifik apabila lokasi fraktur termasuk bagian physis
atau lempeng pertumbuhan yang berperan penting dalam proses osifikasi
endokondral.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

 SH I : fraktur terjadi pada physis atau istilah lainnya “slipped physis”


 SH II : fraktur terjadi pada physis dan metaphysis
 SH III : fraktur terjad pada fraktur terjadi pada physis dan epiphysis, yang
mana akan menjadi fraktur persendian. Kasus ini jarang terjadi.
 SH IV : fraktur terjadi dengan arah tegak lurus terhadap physis, dari
permukaan persendian (epiphysis) hingga ke metaphysis. Kasus ini
umumnya terjadi pada bagian siku (fraktur lateral condylar pada hewan
muda)
 SH V : fraktur yang terjadi akibat kompresi pada tulang yang menekan
physis sehingga terkadang tidak teramati pada radiografi. Namun
kelainan pada tulang akan terlihat pada beberapa minggu setelahnya
akibat fungsi physis yang berhenti. Fraktur ini sering terjadi pada distal
ulnar.

metaphysis
physis

epiphysis

Gambar 3 Klasifikasi fraktur Salter-Harris

5. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka diklasifikasikan berdasarkan mekanisme puncture dan
keparahan cedera jaringan lunak.
 Grade I : sebuah lubang tusukan (puncture) kecil pada kulit akibat tulang
yang menembus keluar. Akan tetapi tulang mungkin tidak terlihat pada luka
tersebut.

Gambar 4 Hasil radiografi fraktur terbuka grade I, terlihat adanya rongga berisi udara pada
jaringan lunak sekitar daerah fraktur (panah) (Sumber: Sylvestre 2019)

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

 Grade II: terdapat luka pada kulit dengan ukuran yang bervariasi tergantung
keparahan fraktur, disebabkan oleh trauma eksternal.

Gambar 5 Hasil radiografi fraktur terbuka grade II dengan adanya bagian tulang yang
menusuk jaringan lunak hingga menonjol terlihat pada kulit (Sumber: Sylvestre 2019)

 Grade III: terdapat beberapa fragmen tulang dan menimbulkan jaringan lunak
yang cukup luas. Kondisi ini biasanya terkait dengan fraktur comminuted
akibat trauma eksternal dari benda berkecepatan tinggi, misalnya akibat
tembakan peluru.

Gambar 6 Hasil radiografi fraktur terbuka grade II dengan terlihatnya tulang (persendian
bahu) pada area luka (panah) (Sumber: Sylvestre 2019)

Proses Persembuhan Tulang


Proses persembuhan tulang merupakan proses biologis pada kartilago dan tulang yang
akan mengembalikan kontinuitas jaringan sehingga dapat berfungsi kemabali. Tujuan dari
treatmen fraktur adalah untuk meningkatkan proses persembuhan, mengembalikan fungsi
tulang dan jaringan sekitar, serta memperbaiki penampilan kosmetis. Tujuan ini
mempengaruhi jenis manajemen treatmen yang dipilih.
Faktor-faktor yang memengaruhi proses persembuhan tulang, terbagi atas faktor
biologis dan faktor mekanis. Fakor biologis meliputi lokasi fraktur pada tulang, jenis tulang,
kartilago, respon seluler, sistem sirkulasi, dan keparahan kerusakan jaringan. Faktor mekanis
yang mempengaruhi adalah stabilitas segmen tulang setelah dilakukan fiksasi.
Proses persembuhan tulang pada kejadian fraktur meliputi tiga fase, yaitu fase
inflamasi, fase proliferatif, dan fase remodeling.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

 Fase inflamasi: inflamasi terjadi seketika setelah terjadinya hematoma pada tulang
dan jaringan sekitarnya. Hematoma ini terjadi karena perdarahan dari ruptur tulang
dan pembuluh darah periosteal. Sistem koagulasi kemudian teraktifasi dan
melepaskan mediator vasoaktif yang dihasilkan oleh platelet. Level mediator radang
seperti sitokin (interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-!!, IL-18 dan tumor necrosis factor-α
(TNF-α) meningkat secara signifikan selama beberapa hari post trauma. Mediator
radang ini akan beperan dalam efek kemotaktik yang mengaktifkan sel-sel radang.
Makrofage akan berperan dalam fagositosis jaringan nekrosis dan mengaktifkan
growth factor dalam pembentukan tulang seperti bone morphogenic proteins, insulin-
like growth factor, dll. Semua growth factor ini berfungsi dalam proses migrasi,
rekrutmen, dan proliferasi sel stem mesenkim dan diferensiasinya menjadi angioblast,
chondroblast, fibroblast, dan osteoblast. Selama proses inflamasi, proses pembentukan
kalus primitif juga terjadi sehingga dapat mengurangi mobilitas atau gerakan pada
area fraktur.
 Fase proliferatif: merupakan proses fibroplasia yang ditandai dengan pembentukan
callus dan vaskularisasi, sekresi osteoid, dan adanya serat kolagen. Fase ini meliputi
juga respon periosteal yaitu angiogenesis, pembentukan jaringan ikat dan formasi soft
callus. Selanjutnya secara bertahap digantikan oleh pembentukan anyaman tulang
yang belum matang (immature) melalui formasi tulang intramembran dan
endochondral. Kemudian sel stem mesenkim yang sebelumnya teraktifasi oleh growth
factor akan membantu proses osifikasi sehingga anyaman tulang yang immature akan
berubah menjadi lebih keras (mature) karena adanya pembentukan hard callus.
 Fase remodeling: meliputi pembentukan dan mineralisasi callus yang kemudian
secara bertahap callus digantikan dengan tulang yang sudah termineralisasi. Proses ini
akan diikuti dengan pebaikan bentuk, ukuran dan kandungan biokimiawi pada tulang.

Cara Diagnosis Frakktur


1. Anamnesa
2. Pemeriksaan umum
- Status present dari hewan (suhu, pulsus, frekuensi napas dan jantung)
- Rangkaian pemeriksaan umum
- Gejala: Rasa nyeri karena kerusakan tulang (kerusakan periosteum dengan/tanpa
endosteum, karena banyak nosiseptor), kebengkakan (edema) di sekitar jaringan
lunak akibat perdarahan dari pembuluh darah, dan spasmus otot.
Kepincangan harus diperhatikan. Kepincangan yang jelas terlihat, mengurangi
beban di kaki yang terpengaruh (rasa nyeri), kelainan otot (atrofi atau
perkembangan otot yang abnormal). Dapat diobservasi dengan cara membiarkan
hewan ketka berjalan atau berdiri. Apakah kepincangan terjadi unilateral atau
bilateral.
3. Penunjang Diagnosa
- Radiografi (x-ray)
- MRI
- CT scan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 7 Contoh hasil radiograf terhadap kondisi fraktur di tulang tibia; CT-scan terhadap fraktur pada tulang
mandibula

Gambar 8 CT-scan terhadap fraktur pada tulang mandibula (Sumber: Veterian Key 2016)

Gambar 9 Gambaran MRI terhadap fraktur pada kaki kuda (Sumber: Genton et al. 2019)

Pilihan Penanganan Kasus Fraktur


Terdapat tiga cara utama untuk mengatasi kasus fraktur, yaitu fiksasi intramedular,
bone plating, dan fiksasi eksternal. Fiksasi intramedular merupakan cara dimna implan
dimasukkan ke dalam kanal intramedular dari tulang. Implan yang dimaksud berupa pin, rod,
wire, dan nail. Bone plating merupakan cara menstabilisaikan tulang dengan menempelkan
lempengan kuat sepanjang garis fraktur menggunakan ‘sekrup’. Fiksasi eksternal merupakan
cara menstabilkan fraktur dengan implan pada kulit.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 10 Tiga cara penanganan bedah ortopedik. (kiri) Fiksasi intramedular. (tengah) Bone plating. (kanan)
Fiksasi eksternal

Terdapat beberapa kasus fraktur yang tidak direkomendasikan untuk dibedah. Kasus-
kasus tersebut adalah apabila fraktur terjadi pada os coxae, yaitu pada bagian illial wing,
tuber ischii, dan pelvic floor. Bagian-bagian tersebut merupakan tempat tautan otot, sehingga
sulit untuk dioperasi, maka dari itu kasus ini harus dirawat secara konservatif, pembatasan
gerak, dan penanganan rasa nyeri.

Gambar 11 Fraktura pada tuber ischia (tanda panah)

Bedah Ortopedik
 Manajemen Pre-operasi
1. Evaluasi preoperasi
a. Hewan muda (kurang dari 5-7 tahun): harus disertai dengan beberapa uji
laboratorium seperti packed cell volume (PCV), urinalisis, pemeriksaan feses,
tergantung dengan hasil anamnesa, sinyalemen, dan pemeriksaan umum.
b. Hewan tua (lebih dari 5-7 tahun: harus diperiksa dan ditangani secara hati-
hati karena fungsi organ serta sistem muskuloskeletalnya sudah menurun. Uji
laboratorium seperti CBC, kimia darah, dan urinalisis, serta uji laboratorium
khusus (seperti uji koagulasi darah) berdasarkan hasil anamnesa, sinyalemen,
dan pemeriksaan umum.
Hasil evaluasi pre-operasi ini akan memengaruhi kepurusan dalam pemberian
sediaan premedikasi dan anestesi, terapi cairan, dan lainnya.
2. Anestesi dan manajemen rasa nyeri
- Operasi ortopedik merupakan salah satu operasi yang sangat menyakitkan, karena
banyak reseptor sensorik (nosiseptif) pada tulang. Maka dari itu perlu diberikan
sediaan analgesik sebelum operasi. Kedalaman analgesia dari sediaan tersebut
DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

harus cukup untuk menahan reseptor nyeri ketika operasi, khususnya reseptor
nosiseptif di sekitar tulang tersebut harus dapat di-block. Sediaan analgesiknya
pun harus dilanjutkan hingga post-operasi.
- Prosedur anestesi yang direkomendasikan untuk operasi ortopedik adalah
penggunaan sediaan analgesia yang juga dikombinasikan dengan sediaan anestesi
epidural (lidokain, bupivakain, atau ropivakain) untuk menurunkan respon nyeri
pada saat operasi dan juga untuk menurunkan dosis anestetikum yang dibutuhkan.
- Prosedur lain yang dapat digunakan adalah kombinasi anestesi epidural dengan
anestesi umum. Kombinasi tersebut dapat memberikan efek paralisis sementara
pada otot kaki belakang, dan menahan rasa nyeri pada kasus fraktur pelvis, femur,
dan tibia.
- Sediaan analgesik yang dapat digunakan pada pasien ortopedik adalah non-
steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID). Sediaan tersebut dapat
dikombinasikan opioid (tergantung keparahan rasa nyeri pasien, contoh: fentanyl)
atau tidak dikombinasikan.

 Fracture Support
Cedera yang tidak stabil harus diberikan support agar mengurangi kerusakan jaringan
lunak dan untuk meningkatkan kenyamanan pasien. Support yang dimaksud adalah external
splint, yang dapat menyokong kaki secara sementara dan untuk menstabilkan fraktur.
Pemasangan splint yang baik dapat mencegah komplikasi. Komplikasi dapat berupa minor
atau serius. Komplikasi minor seperti kebengkakan kaki di bagian distal dari splint, splint
yang longgar, dan abrasi kulit. Komplikasi serius dapat berupa tidak menyatunya tulang-
tulang yang fraktur, nekrosa iskemik pada kaki.

 Tipe external splint:


1. Robert Jones Bandages: pada umumnya digunakan sebelum atau sesudah bedah
ortopedik. Balutan ini menggunakan micropore tape, kapas, kassa, dan perekat
elastik. Balutan ini menggunakan kapas sebagai bantalan dan juga berfungsi untuk
menekan jaringan lunak dan mencegah tulang yang fraktur untuk bergerak, tanpa
menyebabkan penekanan pembuluh darah.

Gambar 12 Pemasangan Robert Jones Bandages

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

2. Metal Spoon Splint (Metasplint): digunakan untuk menyokong cedera pada distal
radius dan ulna, tulang carpus/tarsus, metacarpus/metatarsus, dan phalanges.
Digunakan untuk fiksasi tulang, menurunkan stress fisik, dan mempercepat
persembuhan.

Gambar 13 Pemasangan metal spoon splint (lingkaran merah)

3. Soft Padded Bandages: digunakan ketika tidak perlu ada penekanan yang berlebihan
pada jaringan. Balutan ini dapat disertakan Mason metasplint, lateral splint, atau
tidak.
4. Spica splints: balutan ini akan membalut kaki yang cedera dan badan sebagai splint
sementara untuk imobilisasi fraktur humerus/femur, atau untuk stabilisasi tulang
setelah dilakukan fiksasi.

Gambar 14 Spica splint

5. Ehmer Sling: dapat mencegah beban bobot badan pada tulang pelvis dan kaki
belakang. Umumnya digunakan untuk menyokong hip luxation.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 15 Ehmer sling pada kasus hip luxation

6. Velpeau Sling: digunakan untuk mencegah beban bobot badan dan menstabilkan kaki
depan bagian proksimal. Umumnya digunakan untuk menyokong fraktur scapula atau
medial shoulder luxation.

Gambar 16 Velpeau sling pada kasus fraktur scapula

Manajemen Post-Operasi
- Komunikasi dengan klien tentang perkembangan kondisi hewannya
- Penggunaan metode rehabiltasi fisik yang benar
- Check up pasien dengan teratur
- Pemakaian dan pemeliharaan bandage dan splint agar tidak terjadi komplikasi.
Pembengkakan, kegatalan, dan adanya bau busuk dari bandage harus diperhatikan
dan jika ada, bandage harus segera dilepas. Balutan harus tetap bersih dan kering.
- Radiografi post-operasi untuk melihat perkembangan cedera atau posisi implan
tulang.
- Pembatasan pergerakan pasien (exercise seperti leash walking) dan rehabilitasi
fisik
- Rehabilitasi fisik dilakukan setelah frakturanya sembuh.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

DAFTAR PUSTAKA

Fossum TW, Dewey CW, Horn CV, Johnson AL, MacPhail CM, Radlinsky MG, Schulz KS,
Willard MD. 2013. Small Animal Surgery, 4th edition. Missouri (US): Elsevier
Mosby.
Genton M, Vila T, Olive J, Rossignol F. 2019. Standing MRI for surgical planning of equine
fracture repair. Veterinary Surgery. 48 (8): 1372-1381.
Oryan A, Manazzah S, Sadegh AB. 2015. Reiew bone injury and fracture healing biology.
Biomed Environ Sci. 28(1):57-71.
Sylvestre AM. 2019. Fracture Management for the Small Animal Practicioner. Hoboken
(US): John Wiley & Sons, Inc.
Teachers Pay Teachers. 2018. Bone anatomy diagrams for coloring adn labeling, with
reference and summary. [Internet]. [diunduh pada 04 Agustus 2020].
https://www.teacherspayteachers.com/Product/Bone-Anatomy-Diagrams- for-
Coloring-and-Labeling-with-Reference-and-Summary-5286917
Veterian Key. 2016. Mandibullar and maxillofacial fractures. [Internet]. [diunduh pada 27
Juli 2020]. Tersedia pada: https://veteriankey.com/mandibular-and-maxillofacial-
fractures/

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

KULIAH 14 FISIOTERAPI

Definisi Umum

Fisioterapi didefinisikan sebagai terapi yang menggunakan agen atau sarana


fisik seperti pemijatan atau pemberian latihan untuk memberikan terapi pada
beberapa penyakit maupun trauma fisik. Tujuan dari fisioterapi adalah untuk
mengembalikan fungsi gerak atau mobilitas dan meningkatkan kualitas hidup
pasien. Fisioterapi dilakukan dengan prinsip stimulasi pada proses penyembuhan
jaringan yang trauma, meningkatkan kekuatan muskuloskeletal, meningkatkan
keseimbangan tubuh, memperbaiki sistem kardiorespirasi, neurologi, dan
muskuloskeletal. Fisioterapi juga berperan dalam mengoptimalkan performa tubuh
serta berperan sebagai tindak pencegahan trauma pada hewan yang berfungsi
sebagai pekerja. Fisioterapi dapat dilakukan di hewan besar maupun hewan kecil,
namun kebanyakan kasus yang membutuhkan fisioterapi adalah kasus pada praktisi
hewan kecil terutama anjing.
Fisioterapi juga merupakan tindak lanjut dalam proses rehabilitasi pasien
setelah prosedur pembedahan untuk memperbaiki atau mengurangi komplikasi
antar sistem yang trjadi. Salah satu contoh pemanfaatan fisioterapi sebagai tindakan
rehabilitatif pasien adalah fisioterapi terhadap pasien yang mendapatkan prosedur
operasi Tibial Tuberosity Advancement (TTA). Fisioterapi dilakukan untuk melatih
pasien agar dapat berdiri seperti postur semula.
Fisioterapi digunakan secara luas pada berbagai kondisi pasien. Secara
tradisional fisioterapi dibagi menjadi beberapa spesialisasi yaitu:
a. Muskuloskeletal
b. Respiratori
c. Orthopedik
d. Neurologikal
e. Geriatrik
f. Medis olah fisik (Atletik)
g. Gangguan Pertumbuhan

Muskuloskeletal
Fisioterapi pada sistem muskuloskeletal biasanya disebut sebagai fisioterapi
konvensional atau tradisional. Fisioterapi ini dilakukan untuk terapi terhadap
trauma jaringan lunak (ruptur ligamen, tendn, dan otot), bursitis, trauma persendian,
fraktur, dan penyakit persendian (cth: Osteochondritis Discecans atau OCD).

Respiratori
Fisioterapi pada sistem respirasi merupakan salah satu prosedur perawatan
darurat pada hewan yang dilakukan pada beberapa prosedur atau tindakan misalnya

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

rehabilitasi post-anastesi atau penanganan hewan yang membutuhkan ventilasi


akibat trauma. Fisioterapi bertujuan untuk mengatur sekresi, tekanan pada rongga
thorax, mencegah athelektasis, menurunkan frekuensi respirasi yang berlebihan,
dan optimalisasi rasio ventilasi atau perfusi jaringan untuk meningkatkan saturasi
oksigen tubuh hewan. Fisioterapi dilakukan dengan perbaikan posisi hewan,
pemberian getaran untuk meningkatkan laju pengeluaran sekresi, penekanan rongga
thorax untuk meningkatkan kapasitas paru, dan ventilasi manual.

Orthopedik
Fisioterapi pada orthopedik biasanya sebagai tindakan rebilitatif setelah
prosedur operasi untuk memaksimalkan tingkat keberhasilan operasi. Fisioterapi
dilakukan dengan penerapan prinsip latihan dan pengurangan beban berat pada
bagian atau area yang telah dioperasi.

Neurologikal
Fisioterapi pada sistem neurologik merupakan tindakan rehabilitatif terhadap
hewan yang mengalami trauma neurologis yang dpat terjadi pada satu tungkai
maupun seluruh badan. Kerusakan neurologis dapat diterapi secara konservatif atau
fisik maupun melalui prosedur operasi. Keruskaan tersebut juga dapat disembuhkan
secara total atau sebagian dengan meninggalkan kerusakan permanen pada berbagai
bagian. Tingkat kerusakan tau banyaknya jaringan syaraf yang rusak menentukan
waktu atau lamanya fisioterapi yang akan dilakukan hingga terjadi perbaikan.
Selain fisioterapi, solusi jangka panjang terhadap kerusakan permanen yang
signifikan juga dibutuhkan seperti pemasangan roda dan sabuk pengaman atau
penyangga untuk mendukung kegiatan hewan sehari-hari.

Geriatrik
Hewan peliharaan saat ini memiliki waktu hidup yang lebih lama sehingga
dapat bertahan hingga umur yang tua. Beberapa permasalahan kesehatan yang
banyak ditemukan pada hewan peliharaan yang tua adalah gangguan pada
persendian yang disertai dengan penyakit co-morbiditi seperti diabetes yang dapat
menyebabkan komplikasi dalam proses rehabilitasi. Fisioterapi dilakukan dengan
melakukan perawatan terhadap pengurangan rasa sakit, latihan, diet penurunan
bobot baan, serta perbaikan terhadap faktor lingkungan.

Medis Olah Fisik (Atletik)


Fisioterapi pada bidang ini dilakukan untuk membantu para pelatih hewan
agar hewan yang difungsikan sebagai hewan atlet terhindar dari permasalahan fisik.
Fisioterapi dilakukan dengan menggabungkan latihan fisik, skill, dan
kardiovaskuler. Bidang olahraga hewan yang berbeda akan menuntut terapi fisik
yang berbeda pada setiap hewan. Misalnya pelatihan untuk meningkatkan daya
tahan pada anjing yang difungsikan sebagai atlet kereta luncur berbeda dengan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

anjing yang difungsikan sebagai atlet balap lari. Rehabilitasi pada trauma akibat
kegiatan olahraga pada hewan sangatlah penting, mengingat hewan tidak selalu
menunjukkan gejala kepincangan secara langsung jika mengalami kelemahan pada
ototnya, namun, hal ini akan menyebabkan perubahan performa pada hewan.

Gangguan Pertumbuhan
Banyak hewan muda yang memiliki masalah perkembangan secara genetik
pada persendian maupun tulang. Hal ini memerlukan terapi fisik sebagai terapi yang
secara signifikan bermanfaat untuk mendukung peningkatan kekuatan pada
persendian maupun tulang hewan tersebut. Kondisi seperti dislokasi persendian
piggul dan siku paling sering ditemui. Fisioterapi dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup hewan dan mencegah masalah lain atau dapat
menghindarkan hewan dari prosedur operasi relokasi persendian pinggul total.

Keuntungan Fisioterapi

Fisioterapi dapat memberikan keuntungan bagi hewan, namun demikian,


pemilihan terapi harus sesuai dengan penyakit utama dan memperhatikan penyakit
penyerta. Kesuksesan fisioterapi ditentukan oleh kebiasaan hewan, tingkat
pengetahuan owner, agresivitas hewan, serta keadaan hewan. keuntungan utama
dari fisioterapi adalah pengurangan rasa sakit pada, perbaikan gerak, peningkatan
kemampuan berdiri, penigkatan kekuatan dan fungsi otot tanpa penggunaan bahan
atau obat kimia sehingga tidak ada bahaya yang terjadi. Selain itu target fisioterapi
juga dapat terbatas pada daerah yang bermasalah atau secara menyeluruh pada
tubuh. Selain terapi pada hewan, edukasi kepada owner juga penting untuk
dilakukan untuk membantu proses rehabilitasi melalui program latihan di rumah
maupun strategi manajemen individu.

Kontraindikasi Fisioterapi

Terdapat beberapa kontaindikasi spesifik terhadap tehnik fisioterapi tertentu.


Ada beberapa kondisi-kondisi tertentuyang memerlukan kehati-hatian dalam
melakukan fisioterapi, yaitu:
a. Bunting: tehnik terapi dengan menggunakan energi elektromagnetik
pulsed harus dihindari karena dapat mengganggu perkembangan jaringan
yang sedang bertumbuh
b. Cancer: tehnik elektroterapi harus dihindari pada pasien dengan tumor
metastatik karena dapat menyebabkan pasien mudah lelah
c. Gangguan sirkulasi: jika fisioterapi menyebabkan tidak adanya
penyembuhan yang signifikan sebaiknya terapi dihentikan

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

d. Myopati: fisioterapi tidak dapat dilakukan pada penderita myastenia


gravis dan rhabdomyelosis exertional
e. Sikap Agresiv: fisioterapi pada hewan yang aggresiv dapat menimbulkan
sakit dan menurunkan laju progres persembuhan karena hewan agresiv
cenderung memberontak ketika dilakukan terapi

Teknik Fisioterapi pada Sistem Muskuloskeletal dan Neurologis

Fisioterapi pada sistem muskuloskeletal dilakukan berdasarkan hasil


pemeriksaan fisik, sejarah klinis, analisis cara berjalan/kelumpuhan, dan
penyusunan program terapi. Kelumpuhan yang terjadi pada hewan dapat bersifat
patologis (cth: osteoarthritis pada hewan ras besar) atau kongenital (cth:
abnormalitas chondrodistropik/valgus pada dachsund). Terdapat beberapa tehnik
fisioterapi pada sistem muskuloskeletal diantaranya adalah terapi dingin, terapi
panas, perbaikan posisi/postur hewan, pemberian alat bantu, elektroterapi (pulsed
electromagnetic energy/PEME, laser, transcutaneus electrical nerve stimulation/
TENS), dan latihan (gerakan pasif/passive range of motion exercise/PROM,
peregangan, pergerakan aktif), serta pemijatan.

a. Terapi Dingin
Terapi ini bertujuan mengontrol dan meminimalisir inflamasi yang
terjadi setelah prosedur operasi atau inflamasi akibat trauma fisik. Tubuh
akan merespon trauma melalui aktivasi reaksi inflamasi pada sel. Fase
normal inflamasi pada sel tubuh yang sehat berjalan selama kurang lebih 72
jam. Periode inilah, terapi dingin sangat direkomendasikan untuk
meminimalisir respon inflamasi. Terapi dingin dapat diaplikasikan di area
inflamasi dengan beberapa cara. Cold theraapy gel pack atau bisa
digantikan dengan potongan es batu yang dimasukkan kedalam tas tahan
panas/dingin diletakka pada area inflamasi selama 10-20 menit dan diulagi
setiap 4-6 jam agar lebih efektif. Jika terjadi hipotermia setelah operasi,
maka terapi ini dapat ditunda hingga temperatur hewan kembali normal.
Selain itu, kontraindikasi terapi ini adalah hewan yang megalami
hipersensitivitas terhadap dingin. Perlu perhatian khusus terhadap kondisi
jantung, tekanan darah yang tinggi, dan luka yang terbuka.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 1 Ice Packs

b. Terapi Panas
Terapi ini dilakukan pada inflamasi lanjut atau setelah 72 jam paska
trauma dengan pemberian handuk hangat-panas pada area inflamasi 10-20
menit 4-6 kali sehari. Prinsip terapi ini adalah untuk meningkatkan sirkulasi
darah pada area inflamasi dengan meningkatkan vasodilatasi pembuluh
darah sehingga aliran darah pada area inflamasi meningkat sehingga
mempercepat proses persembuhan. Terapi panas dapat digunakan untuk
mengurangi rasa sakit, kekakuan, dan spasmus pada otot. Panas akan
meningkatkan elastisitas jaringan. Kontraindikasi dari terapi ini adalah
trombus/embolisme, hipersensitiv terhadap panas, luka bakar, infeksi, dan
tumor malignan.

Gambar 2 Warming Pad

c. Perbaikan Postur dan Pemberian Alat Bantu


Terapi dengan metode ini bertujuan menjaga stabilitas otot dan
menyagga kaki atau bagian tubuh yang mengalami kelumpuhan atau
luka/trauma. Selain itu, terapi ini juga diperuntukkan bagi hewan yang
kehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi gerak pada kaki setelah
prosedur operasi relokasi maupun fraktur. Hewan akan mendapatkan alat
bantu gerak atau hanya sekedar penyangga untuk membantu aktivitasnya
sehari-hari.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

d. Elektroterapi
PEME atau yang biasa disebut stimulasi otot secara elektrik berfungsi
untuk mengurangi rasa sakit pada daerah tubuh yang trauma dengan
stimulasi syaraf sensoris. Tehnik ini digunakan untuk mengenbalikan atau
mengurangi atropi pada otot dengan stimulasi serabut syaraf motoris yang
dapat meningkatkan kontraksi otot.

Gambar 3 Elektroterapi pada Kucing

Indikasi terapi ini adalah untuk mencegah atrofi otot pada hewan yang
mengalami kelumpuhan. Terapi ini juga dapat dilakukan sebagai terapi
tambahan preoperasi maupun postoperasi. Sementara itu, kontraindikasi
dari terapi ini adalah hewan yang sedang bunting, luka terbuka, tumor
malignan, gangguan konduksi jantung, operasi laminectomy, hewan
epilepsi, trombosis, serta pada area pharyng dan sinus carotid.
TENS merupakan terapi dengan memanfaatkan gelombang elektrik
berfrekuensi 90-130 Hz untuk menstimulasi serabut saraf besar dalam
aktivasi sistem inhibisi interneuron yang memblkade sinyal pada neuron
proyeksi yang berhubungan dengan otak sehingga terjadi blokade persepsi
rasa sakit.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 4 Aplikasi TENS pada Anjing

Terapi laser juga merupakan bagian dari elektroterapi yang


memanfaatkan panjang gelombang laser 600-940 nm untuk penetrasi ke
dalam jaringan. Terdaat beberapa kelas laser, pada kedokteran hewan, laser
yang digunakan adalah laser kelas 4 (>500 mW) dengan kegunaan pada
prosedur operasi dan rehabilitasi. Namun, penggunaan laser kelas ini
memiliki resiko tinggi terhadap kerusakan jaringan dan dapat menyebabkan
jaringan terbakar. Kontraindikasi penggunaan laser adalah hewan bunting,
tidak dapat digunakan pada mata, thyroid, dan jaringan neoplasia.
Terapi menggunakan laser memiliki prinsip meningkatkan laju
metabolisme sel dengan meningkatkan siklus kreb pada mitokondria
sehingga terjadi peningkatan jumlah ATP jaringan. Hal ini dapat berefek
baik pada peningkatan laju produksi komponen pembangun sel seperti
fibroblast yang menghasilkan kolagen dan chondrocyte yang menghasilkan
matriks kartilago. Selain itu pemberian laser juga dapat meningkatkan laju
persembuhan serabut syaraf yang mengalami trauma. Laser juga dapat
menurunkan jumlah mikroorganisme dengan meningkatkan produksi
limfosit yang berfungsi dalam granulasi luka (cth: otitis eksterna).

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Gambar 5 Alat Laser kelas 4


e. Pemijatan
Pemijatan merupakan tehnik fisioterapi tambahan yang tidak hanya
bekerja pada kulit dan otot, namun juga bekerja pada sistem sirkulasi dan
syaraf. Persembuhan atau pengembalian fungsi normal tubuh tidak dapat
dicapai hanya dengan terapi pemijatan. Terapi pemijatan merupakan salah
satu tehnik fisioterapi dengan pengembangan kemampuan palpasi para
terapis sehingga mampu membedakan bagian tubuh yang normal atau
abnormal, atrofi atau hipertrofi, kebengkakan, dan penebalan jaringan.
Pemijatan memiliki beberapa keuntungan diantaranya adanya mengurangi
rasa stress dengan memberikan efek penenang melalui aktivasi saraf
sensoris, penurunan produksi ACTH (meningkatkan oksitosin yang
menghambat pelepasan ACTH), memperbaiki sistem peredaran limfatik
dan sistem sirkulasi, merelaksasi otot dengan meningkatkan fleksibilitas
otot, dan mengurangi rasa sakit, serta meningkatkan performa tubuh.
Indikasi pemijatan adalah untuk masalah orthopedik kronis,
postoperasi, atrofi otot, meningkatkan aliran limfatik dan darah,
mengurangi rasa sakit, dan mengurangi pembentukan jaringan ikat pada
luka. Kontraindikasi dari pemijatan adalah adanya tumor malignant pada
tubuh hewan, atherosclerosis/arteriosklerosis, thrombosis, shock, dan
penyakit infeksius seperti adanya gejala demam, serta hewan agresiv. Hal
tersebut menjadi kontraindikasi karena sifat pemijatan yang meningkatkan
aliran darah. sementara itu hewan yang agresiv dapat membahayakan
terapis.

Hidrotherapi

Beberapa tahun terakhir, hydroterapi merupakan terapi yang banyak dipilih


untuk hewan. Hydroterapi bekerja melalui berbagai cara (temperatur, daya apung,
efek hidrostatik, dan viskositas) untuk mengembalikan fungsi normal tubuh.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

Temperatur air untuk hidroterapi di atur antara 29 – 32 oC. Temperatur tersebut


dapat meningkatkan aliran darah pada tubuh dan merelaksasi pasien. Air yang
hangat tersebut dapat menstimulasi syaraf sensoris yang penting untuk kasus-kasus
spinal (cth: Intervertebral Disc Disease/IVDD, Wobler Syndrome). Daya apung
dapat membantu latihan pergerakan hewan karena sebagian berat tubuh hewan
ditopang oleh adanya daya apung pada air. Efek hidrostatik atau tekanan hidrostatik
dapat membantu mengurangi kebengkakan dan kongesti vena pada tulang bagian
subkondrial yang menjadi penyebab utama arthritis pada persendian yang sangat
sakit. Viskositas air dapat membantu pembentukan sel-sel otot yang mengalami
trauma dan memperbaiki posturberdiri hewan akibat dislokasi persendian pinggul.
Selain itu, hidroterapi juga kadang dikombinasikan dengan letihan aktiv atau
mobilisasi menggunakan tredmil (Underwater Treadmil/UWTM).

Gambar 6 Underwater Treadmill

Hidroterapi memiliki beberapa kontraindikasi diantaranya adalah hewan yang


mengalami gagal jantung, luka terbuka, hewan yang dalam masa penyembuhan
luka operasi, hewan dengan penyakit kulit, dan hewan yang mengalami diare.
Kondisi lain yang memerlukan perhatian khusus adalah hewan dengan penyakit
respirasi.

Actinotherapi/Heliotherapi

Actinotherapy merupakan terapi penyakit menggunakan sinar baik sinar


alami maupun sinar buatan. Sumber sinar alami yaitu matahari, sedangkan sumber
sinar buatan yang sering digunakan adalah radiasi ultraviolet (UV) atau infrared

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB
ILMU BEDAH UMUM VETERINER (KRP 321)

(IR). Karakteristik sinar yang dapat digunakan sebagai actinotherapy adalah sinar
yang memiliki daya kimia dalam penyembuhan penyakit.
Sinar ultraviolet dapat memperbaiki kondisi kekakuan, kelelahan, kekakuan
sendi, kebengkakan sendi, dan kekuatan genggaman (grip strength) pada manusia.
Sedangkan sinar infrared diketahui dapat menghilangkan rasa sakit (pain relief),
menghilangkan back pain, dan meningkatkan aliran darah pada daerah yang
diterapi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau di India, actinotherapy
menggunakan sinar infrared dapat menghilangkan rasa sakit lebih efektif
dibandingkan dengan sinar ultraviolet.

DAFTAR PUSTAKA

Carver D. 2016. Practical Physiotherapy for Veterinary Nurses. Oxford (UK): John
Willey and Sons.
Choudhary CK, Sharma AK, Gupta MK. 2018. Clinical and physical evaluation of
infrared and ultraviolet treatment in arthritic buffalo calves. Buffalo Buletin.
37(3): 411 – 419.
Lindley S, Watson P. 2010. BSAVA Manual of Canine and Feline Rehabilitation,
Supportive, and Palliative Care: Case Studies in Patient Management.
Quedgeley (UK): British Small Animal Veterinary Association.
Prydie D, Hewitt I. 2015. Practical Physiotherapy for Small Animal Practice.
Oxford (UK): John Willey and Sons.

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN IPB

Anda mungkin juga menyukai