Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH BIOFARMASETIKA

SEDIAAN AEROSOL

OLEH:

NAMA : ANISA

NIM : 17 3145 201 019

KELAS : A-2017

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah Biofarmasetika yang berjudul Biofarmasi Sediaan
Aerosol ini. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar
kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-qur’an
dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia. Terima kasih kepada Dosen yang
telah membantu memberikan arahan dan petunjuk untuk pembuatan makalah ini.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang
biofarmasi obat khususnya sediaan aerosol
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Makassar, 05 Juli 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
B.  Rumusan masalah
C.  Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Anatomi Fisiologi Organ Pencernaan
B. Proses Biofarmasetika Liberasi, Absorbsi, Distribusi, Metabolisme Dan
Ekskresi Sediaan Aerosol
C. Komponen Karakteristik Cairan Melalui Rute Pemberian Aerosol
D. Faktor Yang Mempengaruhi Liberasi, Distribusi Dan Absorbsi Obat
Sediaan Aerosol
E. Evaluasi Biofarmasetik Dalam Sediaan Obat Melalui Rute Pemberian
Organ Pernapasan
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem penghantaran melalui paru-paru (pulmonary drug delievery
system) merupakan salah satu alternatif penghantara obat yang bermasalah jika
melalui rute lain. Sistem penghantaran ini dinilai dapat menghantarkan obat
dengan baik sehingga bioavaibilitasnya dapat mencapai 100% karena obat
tidak mengalami metabolisme lintas pertama di hati. Selain penghantaran yang
baik, barrier yang relatif lebih tipis dan vaskularisasinya yang tinggi yang
menyelubungi paru-paru membuat obat akan mudah diserap dan masuk ke
sirkulasi sistemik.
Sistem penghantara melalui saluran pernapasan membutuhkan bentuk
sediaan yang mikrometer sehingga dikembangkan desain obat melalui
teknologi mikropartikel. Sediaan mikropartikel sendiri adalah sediaan yang
memiliki ukuran partikel sebesar 1-1000 μm, dan untuk penghantaran obat
melalui sistem pernapasan, ukuran partikel yang diharapkan adalah ¿ 10 μm
agar obat dapat terdeposit didalam daerah trakheobronkial sampai daerah
alveolus.
Sistem pernapasan atau respirasi adalah proses pengambilan napas
oksigen (O2) dari udara bebas saat menarik napas, O2 tersebut kemudian
melewati saluran napas (bronkus) dan sampai ke dinding alveoli (kantong
udara), sesampainya di kantong udara, O2 akan di transfer ke pembuluh darah
yang didalamnya mengalir sel-sel darah merah yang akan dibawah ke sel-sel
diseluruh organ tubuh lain sebagai energi dalam proses metabolisme, setelah
metabolisme, sisa-sisa metabolisme terutama karbondioksida (CO 2) akan
dibawah darah untuk dibuaang kembali ke udara bebas melalui paru-paru pada
saat membuang napas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi fisiologi organ pernapasan
2. Bagaimana proses biofarmasetika liberasi, absorbsi, distribusi, metabolisme
dan ekskresi sediaan aerosol
3. Bagaimana komponen karakteristik cairan melalui rute pemberian organ
pernapasan
4. Apa saja faktor yang mempengaruhi liberasi, distribusi, dan absorbsi obat
sediaan aerosol
5. Bagaimana evaluasi biofarmasetik dalam sediaan obat melalui rute
pemberian organ pernapasan.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi organ pencernaan
2. Untuk mengetahui proses biofarmasetika liberasi, absorbsi, metabolisme dan
ekskresi sediaan aerosol
3. Untuk mengetahui komponen karakteristik cairan melalui rute pemberian
organ pernapasan
4. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi liberasi, distribusi, dan
absorbsi obat sediaan aerosol
5. Untuk mengetahui evaluasi biofarmasetik dalam sediaan obat melalui rute
pemberian organ pernapasan.
BAB II
PEMBAHASAN

Sistem pernapasan atau respirasi adalah proses pengambilan napas


oksigen (O2) dari udara bebas saat menarik napas, O2 tersebut kemudian melewati
saluran napas (bronkus) dan sampai ke dinding alveoli (kantong udara),
sesampainya di kantong udara, O2 akan di transfer ke pembuluh darah yang
didalamnya mengalir sel-sel darah merah yang akan dibawah ke sel-sel diseluruh
organ tubuh lain sebagai energi dalam proses metabolisme, setelah metabolisme,
sisa-sisa metabolisme terutama karbondioksida (CO 2) akan dibawah darah untuk
dibuaang kembali ke udara bebas melalui paru-paru pada saat membuang napas.
Saluran-saluran udara yang dilalui oleh oksigen dan karbondioksida,
bukanlah sekedar terowongan lalu lintas udara. Saluran-saluran tersebut juga
berperan sebagai salah satu front terdepan mekanisme pertahanan tubuh. Paru-
paru memiliki permukaan yang terekspos pada dunia luar yang wilayahnya jauh
lebih luas dibandingkan bagian tubuh yang lain, termasuk kulit. Sehingga saluran
pernapasan juga harus berfungsi mengeluarkan kotoran, debu, tungau, dan bakteri
dari benda-benda asing lainnya yang merugikan.
Selama bernapas biasa, sebagian kerja yang dihasilkan oleh otot-otot
respirasi digunakan untuk mengembangkan paru-paru, sebagian kecil beberapa
persen dari total work digunakan untuk mengatasi airway resistance. Tetapi pada
pernapasan yang sangat berat, bila udara harus mengalir melalui saluran napas
dengan kecepatan yang sangat tinggi proporsi kerja yang lebih besar digunakan
untuk mengatasi airway resistance. Pada penyakit paru, semua kerja yang
berbeda-beda ini sering secara cepat bertambah. Compliance work dan tissue
resistance work akan dinaikan oleh penyakit-penyakit yang menyebabkan fibrosis
paru, sedangkan airway resistance work akan bertambah oleh penyakit-penyakit
yang menyebabkan semakin sempitnya saluran napas.
A. Anatomi Sistem Pernapasan
1. Saluran pernapasan bagian atas
a. Rongga hidung

Hidung adalah bagian yang palimh menonjol di wajah, yang


berfungsi menghirup udara pernapasan, mengatur udara, pengatur
kelembapan udara (humidifikasi), menyaring udara, menghangatkan
udara pernapasan, juga berfungsi dalam resonansi suara. Fungsi hidung
sebagai pelindung dan penyarin dilakukan oleh vibrissa, lapisan lendir,
dan enzim lisozim. Vibrissa adalah rambut pada vestibulum nasi yang
bertugas sebagai penyaring debu dan kotoran (partikel berukuran besar).
Debu-debu kecil dan kotoran (partikel kecil) yang masih dapat melewati
vibrissa akan melekat pada lapisan lendir dan selanjutnya dikeluarkan
oleh refleks bersin. Jika dalam udara masih terdapat bakteri (partikel
sangat kecil), maka enzim lisozim yang akan menghancurkannya.
Hidung merupakan alat indera manusia yang menanggapi rangsangan
berupa bau atau zat kimia berupa gas karena dalam rongga hidung
terdapat reseptor dan reseptor tersebut terletak pada cribriform plate di
dalamnya terdapat ujung dari saraf kranial I (nervous olfactorius).
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan
(kartilago). Hidung dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya
tersiri dari kartilago dan jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam
hidung merupakan suatu lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan
kanan oleh sekat (septum). Rongga hidung mengandung rambut
(fimbriae) yang berfungsi sebagai penyaring (filter) kasar terhadap benda
asing yang masuk, pada pemukaan mukosa hidung terdapat epitel bersilia
yang mengandung sel goblet, sel tersebut mengeluarkan lendir sehingga
dapat menagkap beda asing yang masuk kedalam saluran pernapasan.
b. Sinus paranasalis

Sinus paranasalis meruapak rongga berisi udara yang berbatasan


langsung dengan rongga hidung. Fungsi sinus paranasal yaitu sebagai
pertahanan tubuh terhadap kontaminasi sinus dari infeksi akibat paparan
dengan lingkungan luar melalui tiga mekanisme yaitu, terbukanya
kompleks ostiomeatal, transport mukosilia dan produksi mukus yang
normal. Kompleks ostiomeatal merupakan suatu unit yang
menghubungkan antara meatus media dan kelompok sinus bagian
anterior. Jika terjadi deformitas anatomi atau proses penyakit, hal
tersebut akan menyebabkan terjadinya obstruksi ostium sinus, stasis silia
dan infeksi sinus Sinus paranasalis dibagi menjadi dua kelompok yaitu
anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior merupakan kelompok anterior dan ostium dari sinus-sinus ini
terletak di dalam meatus media. Sedangkan sinus etmoid posterior dan
sinus sphenoid merupakan kelompok posterior dan ostium dari sinus-
sinusnya terletak di dalam meatus superior.
1. Sinus maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar, dinding
anterior terbentuk dari permukaan maksila, dinding posterior
berbatasan dengan fossa pterigopalatina, dinding medial merupakan
dinding lateral dari kavum nasi, lantai sinus adalah prosesus alveolaris
dan dinding superior sebagai lantai orbita. Nervus infraorbital
melewati lantai orbita keluar ke bagian anterior maksila melalui
formen infraorbita. Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari
ekspansi infundibulum etmoid ke dalam maksila hingga membuat
suatu massa. Ukuran standar volume sinus maksila pada orang dewasa
adalah sekitar 15 mL dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus
dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
2. Sinus etmoid
Sinus etmoid merupakan sinus yang pertama kali terbentuk
dengan sempurna. Sinus ini merupakan struktur dibagian tengah
hidung dengan anatomi yang kompleks. Sinus etmoid terdiri dari sel-
sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa
bagian lateral tulang etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan
sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Bagian
depan sinus etmoid anterior terdapat bagian yang sempit disebut
infundibulum. Terdapat pula bula etmoid yang merupakan sel etmoid
terbesar. Atap sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan
dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita
3. Sinus sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling
posterior, yaitu di dalam tulang sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Pneumatisasi tulang sfeniod terjadi selama usia anak-anak
dan prosesnya berlangsung cepat setelah usia 7 tahun dan berhenti
terbentuk pada usia 12 hingga 15 tahun. Sinus sfenoid memiliki
banyak hubungan penting dalam hal neurovaskular. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral tulang
sphenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid, sebelah superior
terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa. Bagian inferior
adalah atap nasofaring, bagian lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan arteri karotis interna. Sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
4. Sinus frontal
Sinus frontal jarang terbentuk sebelum tahun ke dua kehidupan.
Pada saat ini, sinus frontal sangat lambat menginvasi os frontal dan
sinus ini memiliki bentuk serta ukuran yang bervariasi. Dinding
anterior sinus frontal terdiri dua buah tulang dan dinding posteriornya
terdiri dari sebuah lempeng tulang yang kompak. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal yang
berhubungan dengan infudibulum etmoid.
c. Faring

Faring merupakan pipa berotot membentuk cerobong (± 13 cm)


yang letaknya bermula dari dasar tenggorokan sampai persambungannya
dengan esofagus pada ketinggian tulang rawan (kartilago). Faring
digunakan pada saat “digestion” (menelan) seperti pada saat bernapas.
Dalam faring terdapat tuba eustachii yang bermuara pada naso-faring,
tuba ini berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
membran timpani, dengan cara menelan pada daerah laringo-faring
bertemu sistem pernapasan dan pencernaan. Udara melalui bagian
anterior kedalam laring, dan makanan lewat posterior kedalam esofagus
melalui epiglotis yang fleksibel. Berdasarkan letaknya faring dibedakan
menjadi tiga yaitu dibelakang hidung (naso-faring), belakang mulut (oro-
faring), dan belakang laring (laringo-faring).
Naso-faring terdapat pada superior di area yang terdapat epitel
bersilia (pseudo stratified) dan tonsil (adenoid), serta merupakan muara
tube eustachius. Adenoid atau faringeal tonsil berada di langit-langit
naso-faring. Tenggorokan dikelilingi oleh tonsil, adenoid, dan jaringan
limfoid lainnya. Struktur tersebut penting sebagai mata rantai nodus
limfatikus untuk menjaga tubuh dari invasi organisme yang masuk ke
hidung dan tenggorokan.
Oro-faring berfungsi untuk menampung udara dari naso-faring dan
makanan dari mulut. Pada bagian ini terdapat tonsili palatina (posterior)
dan tonsili ligualis (dasar lidah).
Laringo-faring merupakan bagian terbawah faring yang
berhubungan dengan esofagus dan pita suara (vocal cord) yang berada
dalam trakhea. Laringo-faring berfungsi pada saat proses menelan dan
respirasi. Laringo-faring terletak dibagian depan pada laring, sedangkan
trakhea terdapat di belakang.
d. Laring

Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai


pembentukan suara yang terletak didepan bagian faring sampai
ketinggian vertebra servikalis dan masuk kedalam trakhea dibawahnya.
Laring merupakan kompleks organ yang berfungsi sebagai sfingter pada
pertemuan antara saluran cerna dan saluran napas dan berperan penting
dalam proteksi saluran napas, pernapasan dan fonasi. Dalam menjlankan
fungsi ini, struktur eksternal dan internal laring bekerja dibawah kontrol
pernapasan. Laring itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang
disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi
pada waktu menelan makan menutupi laring. Bagian ini merupakan
bagian atas dari laring yang bergerak posterior ke arah faring, pada
bagian dalam, glotis terlehat seperti segitiga yang terbuka ketika inspirasi
dan menutup ketika fonasi. Pada daerah glotis terdapat pita suara asli
(plika vokalis) dan superolateral dari pita suara asli terdapat pita suara
palsu (plika ventrikularis). Posterior glotis dibentuk oleh sepasang
kartilago arytenoid yang merupakan perlekatan posterior dari plika
vokalis dan plika vertikularis. Buka dan tutup glotis merupakan
koordinasi otot yang menggerakan aritenoid. Ariepiglotis fold merupakan
daerah mukosa yang berada antara aritenoid dan epiglotis. Ariepglotis
fold ini memisahkan sinus pirifomis dengan glotis.
Laring terdiri atas :
1. Epiglotis yang merupakan katup kartilago yang menutup dan
membuka selama menelan
2. Glotis merupakan lubang antara pita suara dengan laring
3. Kartilago tiroid merupakan kartilago yang terbesar pada trakhea,
terdapat bagian yang membentuk jakun (Adam, s apple)
4. Kartilago krikoid merupakan cincin kartilago yang utuh di laring
(terletak di bawah kartilago tiroid)
5. Kartilago aritenoid merupakan kartilago yang digunakan pada
pergerakan pita suara bersama dengan kartilago tiroid
6. Pita suara merupakan sebuah ligmen yang dikontrol oleh pergerakan
otot yang menghasilkan suara dan menempel pada lumen laring.
2. Saluran pernapasan bagian bawah
Saluran pernapasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri atas :
a. Saluran udara kondusif
1. Trakhea

Trakhea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian


tulang vertebrae torakal ke 7 yang bercabang menjadu dua bronkus.
Ujung cabang trakhea disebut carina. Trakhea bersifat sangat
fleksibel, berotot, dan memiliki panjang 12 cm degan cincin kartilago
berbentuk huruf C, pada cincin tersebut terdapat epitel bersilia tegak
(pseudostratifed ciliated columnar epithelium) yang mengandung
banyak sel goblet yang mensekresikan lendir (mucus). Silia-silia ini
berfungsi menyaring benda-benda asing yang masuk ke saluran
pernapasan.  Trakhea merupakan tabung udara besar yang mengarah
dari laring (kotak suara) menuju ke bronkus (saluran udara besar
bercabang yang memasuki paru-paru). Trakhea berperan penting
dalam sistem pernapasan di tubuh. Sebagai organ tubuh dalam bidang
pernapasan trakea memiliki beberapoa fungsi yaitu :
a. Akses saluran pernapasan
Sebagai penyedia akses pernapasan bagi tubuh, trakhea
menyuplai udara ke paru-paru agar udara dapat masuk dan keluar
dari paru-paru. Trakhea juga mampu menghantarkan serta
melembabkan udara yang masuk ke paru-paru, jika trakhe
tersumbat, maka udara tidak akan dapat masuk kedalam paru-paru
dengan baik.
b. Menyaring benda asing
Trakhea dapat menyaring dan mencegah masuknya benda
asing kedalam paru-paru baik itu debu, partikel-partikel kecil,
bakteri dan lain-lain. Bagian dalam trakhea dilapisi oleh jaringan
epitel, didalam jaringan epitel terdapat sel goblet yang
menghasilkan lendir. Sel goblet dalam trakhea memproduksi lendir
yang menahan benda asing, bakteri, hingga virus agar tidak masuk
kedalam paru-paru. Jaringan epitel juga memiliki rambut-rambut
kecil yang melapisi trakhea yang berfungsi untuk mendorong benda
asing, dalam bentuk dahak, dan nantinya dahak bisa dikeluarkan
melalui mulut atau masuk menuju ke saluran pencernaan.
c. Membantu mekanisme batuk
Dalam trakhea terdapat otot trakealis yang dapat
menimbulkan batuk, saat mengalami batuk, otot-otot trakhea akan
berkontraksi untuk mempersempit limen trakhea agar udara
mengalir lebih cepat melalui trakhea saat keluar, dan batuk akan
lebih kuat sehingga lendir dan partikel debu lebih mudah
dikeluarkan.
d. Membantu fungsi sistem pencernaan
Tulang rawan yang berbentuk cincin memungkinkan trakhea
menciptakan ruang besar bagi kerongkong agar bisa mengembang,
dengan demikian akan jadi lebih mudah dalam menelan makanan.
2. Bronkus
Bronkus merupakan saluran nafas yang terbentuk dari belahan
dua trakea pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima,
mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel
yang sama. Bronkus berjalan ke arah bawah dan samping menuju paru
dan bercaban menjadi dua, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.
Bronkus kanan mempunyai diameter lumen lebih lebar, ukuran lebih
pendek dan posisi lebih vertikal. Letak sedikit lebih tinggi dari arteri
pulmonalis serta mengeluarkan sebuah cabang utama yang melintas di
bawah arteri, yang disebut bronkus kanan lobus bawah. Sedangkan
bronkus kiri memiliki ukuran lebih panjang diameter lumennya lebih
sempit dibandingkan bronkus kanan dan melintas dibawah arteri
pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa cabang yang berjalan
ke lobus atas dan bawah.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi
bronkus lobaris, kemudian menjadi lobus segmentalis. Bronkus
lobaris bercabang terus menjadi bronkus yang lebih kecil dengan
ujung cabangnya yang disebut bronkiolus. Setiap bronkiolus
memasuki lobus paru dan bercabang-cabang menjadi 5-7 bronkiolus
terminalis. Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara terkecil
yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkiolus
terminalis memiliki garis tengah kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak
diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot polos
sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara kebawah
sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara
karena fungsi utamanya adalah sebagai pengantar udara ke tempat
pertukaran gas paru-paru.
Sama halnya seperti hepar, bronkus juga memiliki pembagian
segmentasi yang juga merupakan segmentasi bagi pulmo, yang
dimaksud dengan segmenta bronchopulmonalia adalah unit paru
secara anatomis, fungsi dan pembedahannya, dimana dalam masing-
masing segmenta bronkus juga berperan sebagai segmenta pada pulmo
yang memiliki ujung saluran, cabang arteria pulmonalis, aliran vena,
aliran limfe dan persarafan otonom yang berbeda-beda pada masing-
masing segmenta lainnya.
3. Bronkiolus

Bronkiolus merupakan segmen saluran kondusi yang terdapat


dalam lobulus paru. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan
maupun kelenjar dalam mukosanya tetapi rongganya masih
mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk
kubus bersilia. Selain silia, bronkiolus juga menghasilkan mukus yang
berfunsi sebagai pembersih udara. Epitelnya adalah epitel bertingkat
semu silindris bersilia dengan sel goblet (kadang-kadang). Mukosanya
berlipat dan otot polos yang mengelilingi lumenya relatif banyak.
Pada bronkiolus terdapat sel clara, sel ini tidak mempunyai silia, pada
daerah aplikasinya terdapat kelenjar sekretorik dan diketahui
mensekresi glikosaminoglikon yang mungkin melindungi lapisan
bronkiolus.
Bronkiolus juga memperlihatkan daerah-daerah spesifik yang
dinamakan badan neuropitel, badan yang dibentuk oleh kumpulan 80-
100 sel yang mengandung granul sekresi dan menerima ujung saraf
kolinergik. Fungsinya belum diketahui namun badan-badan ini
mungkin adalah kemoreseptor yang bereaksi terhadap perubahan
komposisi gas dalam jalan napas dan sekretnya aktif secara lokal.
Bronkiolus terdiri dari beberapa jenis, yaitu :
a. Bronkiolus terminalis
Bronkiolus terminalis merupakan bagian konduksi saluran
napas terkecil yang menampakan mukosa berombak dengan epitel
silindris bersilia dan sudah tidak dijumpai lagi sel goblet, lamina
propia tipis, selapis otot polos yang berkembang baik, dan masih
ada adventisia. Pada bronkiolus terminalis terdapat sel kuboid
tanpa silia yang disebut sel clara yang berfungsi mensekresi
surfaktan.
b. Bronkiolus respiratorius
Setiap bronkiolus terminalis bercabang menjadi dua atau
lebih bronkiolus respiratorius yang berfungsi sebagai peralihan
antara bagian kondusi dan bagia respirasi dari sistem pernapasan.
Bronkiolus respiratorius langsung berhubungan dengan duktus
alveolaris dan alveoli. Epitel pada bronkiolus ini adalah selapis
silindris rendah atau kuboid dan dapat bersilia dibagian proksimal,
sedikit jaringan ikat menunjang lapisan otot polos, serat
elastinlamina propia, dan pembuluh darah yang menyertainnya.
Setiap alveolus terdapat pada dinding bronkiolus respirstorius
berupa kantung-kantung kecil, jumlah alveoli makin bertambah
kearah distal, epitel dan otot polos pada bronkiolus respiratorius
distal tampak sebagai daerah trputus-putus dan kecil dimuara
alveoli. Bagian dari bronkiolus respiratorius dilapisi oleh epitel
kuboid bersilia dan sel clara, tetapi pada tepi muara alveolus, epitel
bronkiolus menyatu dengan sel-sel pelapis alveolus gepeng (sel
alveolus tipe 1), makin ke distal, makin banyak alveolusnya dan
jarak diantaranya makin kecil. Diantara alveolus, epitel
bronkiolusnya terdiri atas epitel kuboid bersilia, tetapi silia itu
hilang pada bagian yang lebih distal. Otot polos dan jaringan ikat
elastin terdapat dibawah epitel dan bronkiolus respiratorius.
c. Bronkiolus intrapulmonal
Bronkiolus intrapulmonal biasanya dikenali dari adanya
beberapa lempeng tulang rawan yang letaknya berdekatan.
Epitelnya adalah epitel bertingkat semu silinder bersilia dengan sel
goblet. Sel goblet adalah sel penghasil lendir, bentuknya mirip pila.
Sisa dindingnya terdiri dari lamina propia tipis, selapis tipis otot
polos, submukosa dengan kelenjar bronkial, lempeng tulang rawan
hialin, dan adventisia.
b. Saluran respiratorius terminal
1. Alveolus

Alveolus merupakan kantong berdinding sangat tipis pada


bronkioli terminalis, tempat terjadinya pertukaran oksigen dan
karbodioksida antara darah dan udara yang terhirup. Jumlahnya 200-
500 juta. Alveolus berbentuk bulat poligonal, septa antar alveoli
disokong oleh serat kolagen, dan elastis halus. Sel epitlnya terdiri dari
sel alveolar gepeng (sel alveolar tipe I), sel alveolar besar 9sel alveolar
tipe II). Sel alveolar gepeng (tipe I) jumlahnya hanya 10%, menempati
95% alveolar paru, sel alveolar besar (tipe II) jumlahnya 12%,
menempati 5% alveolar. Sel alveolar gepeng terletak didekat septa
alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal bulat, ditutupi mikrovili
pendek, permukaan licin, memiliki badan berlamel. Sel alveolar besar
menghasilkan surfaktan pulmonar, yang berfungsi untuk mengurangi
kolaps alveoli pada akhir ekspirasi. Jaringan antara dua lapis epitel
disebut interstisial, mengandung serat, sel septa (fibroblas), sel mast,
sedikit limfosit. Septa tipis diantara alveoli disebut poti kohn. Sel
fagosit utama dari alveolar disebut makrofag alveolar. Pada perokok
sitoplasma sel ini terisi bada besar bermembran, dan jumlah sel
makrofag melebihi jumlah sel lainnya.
2. Paru-paru

Paru-paru manusia terletak pada rongga dada, bentuk dari paru-


paru adalah berbentuk kerucut yang ujungnya berada diatas tulang iga
dan dasarnya berada pada diafragma. Paru-paru terbagi terbagi
menjadi dua bagian, yaitu paru-paru kanan dan paru-paru kiri. Paru-
paru kanan mempunyai tiga lobus, sedangkan paru-paru kiri
mempunyai dua lobus. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa
sub-bagian, terdapat sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut
bronchopulmonary segment. Paru-paru bagian kanan dan bagian kiri
dipisahkan oleh sebuah ruang yang disebut mediastinum.
Paru-paru manusia dibungkus oleh selaput tipis yang bernama
pleura. Pleura terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura pariental.
Pleura viserali yaitu selaput tipis yang langsung membungkus paru,
sedangkan pleura pariental yaitu selaput yang menempel pada rongga
dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut cavum
pleura. paru-paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis.
Dalam keadaan normal terdapat cairan tipis antara paru-paru dan
dinding dada sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding
dada karena memiliki struktur yang elastis. Tekanan yang masuk pada
ruangan antara paru-paru dan dinding dada berada dibawah tekanan
atmosfer.
Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara
darah dan atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan dan mengeluarkan karbon
dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbondioksida terus berubah sesuai
dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, akan tetapi
pernapasan harus tetap dapat berjalan agar pasokan kandungan
oksigen dan karbondioksida bisa normal.
Volume paru-paru dibagi menjadi 4, yaitu :
a. Volume tidal, yaitu volume udara yang diinspirasi dan diekspirasi
pada setiap kali pernapasan normal. Nilai dari volume tidal sebesar
± 500 ml pada rata-rata orang dewasa.
b. Volume cadangan inspirasi yaitu volume udara ekstra yang
diinspirasi setelah volume tidal, dan biasanya mencapai maksimal
± 3000 ml
c. Volume cadangan ekspirasi yaitu jumlah udara yang masih dapat
dikeluarkan dengan ekspirasi maksimal pada akhir ekspirasi
normal, pada keadaan normal besarnya adalah ± 1100 ml
d. Volume residu, yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam
paru-paru setelah ekspirasi kuat. Nilainya sebesar ± 1200 ml.
B. Proses Biofarmaseutika Liberase, Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan
Eksresi Sediaan Aerosol
Aerosol adalah sediaan yang mengandung satu atau lebih zat berkhasiat
dalam wadah yang diberi tekanan, berisi propelan atau campuran propelan
yang cukup untuk memancarkan isinya hingga habis, dapat digunakan untuk
obat luar atau obat dalam dengan menggunakan propelan yang cukup.
Adapun proses biufarmaseutika dari sediaan aerosol, yaitu :
1. Liberase
Obat inhalasi umumnya hanya digunakan untuk efek lokal.
Salurannya ialah melalui mulut ke pharyx–larynx–trakea–bronchi primer–
bronchi sekunder–bronchi terminal–bronchi respirsi–saluran alveolar–
alveoli.
Obat dapat masuk ke system pomoner berupa gas atau aerosol.
Absorpsi terjadi cepat sekali (langsung) karena luas permukaan pulmoner
yang sangat besar mekanisme absorpsi terutama berupa difusi pasif.
Beberapa kesulitan pemberian obat secara pulmoner ialah:
a. Ukuran partikel
Partikel yang masuk dapat sampai ke kantung alveolar diberikan
dalam aerosol berukuran 1-2 mikron, partikel yang lebih besar dari 10
mikron dapat menyumbt saluran pernapasan
b. Menetapkan dosis regimen
Dosis yang akurat sulit ditentukan pada penyemprotan obat dalam
bentuk aerosol. Hal terakhir ini sekarang dapat diatasi dengan
memberikan metered aerosol wadah yang berisikan 10 ml dapat
digunakan untuk 200 kali at asthma semprotan (penekanan tombol) dapat
mengeluarkan obat asthma orciprenaline sulfat sebanyak 0,75 mg.
Pemberian obat secara pulmoner terutama untuk pengobatan lokal,
misalnya aerosol pada pengobatan asma terapi berupa aerosol mengandung
Epinephrine (adrenaline) atau Isoproterinol atau Orciprenaline dan kadang-
kadang juga Dexamethasone.dalam hal ini ada infeksi broncho-pulmoner
dapat juga disertai antibiotika. Isorbide dinitrat untuk angina pectoris juga
dapat diberikan bentuk inhalasi / aerosol. Obat sudah memberikan efek
dalam waktu satu menit dan efek bertahan selama kira kira satu jam
2. Absorpsi
Obat yang cocok untuk pemakaian melalui paru-paru adalah yang
berbentuk gas. Walaupun paru-paru dengan luas permukaan alveolar yang
besar (70-100m2 ) mampu juga mengabsorpsi cairan dan zat padat. Aerosol
berfungsi terutama untuk terapi lokal dalam daerah saluran pernafasan
misalnya pada pengobatan asma bronchial. Absorpsi terjadi cepat sekali
(langsung) karena luas permukaan pulmoner yang sangat besar mekanisme
absorpsi terutama berupa difusi pasif.
3. Distribusi
Setelah proses absorbsi, obat masuk ke dalam pembuluh darah untuk
selanjutnya ditransportasikan bersama aliran darah dalam sistim sirkulasi
menuju tempat kerjanya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan
penyebarannya di dalam tubuh
a. Distribusi fase pertama
Terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya
sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
b. Distribusi fase kedua
Jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak
sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak.
Penetrasi dari dalam darah ke jaringan pada proses distribusi seperti
pada absorbsi juga sangat bergantung kepada beberapa hal, khususnya :
a. Ukuran molekul
b. Ikatan pada protein plasma
c. Kelarutan dan sifat kimia
d. Pasokan darah dari organ dan jaringan
e. Perbedaan pH antara plasma dan jaringan
Molekul obat yang mudah melintasi membran sel akan mencapai
semua cairan tubuh baik intra maupun ekstra sel, sedangkan obat yang sulit
menembus membran sel maka penyebarannya umumnya terbatas pada
cairan ekstra sel. Berdasarakan sifat fisiko kimianya, berdasarkan ruang
distribusi yang dapat dicapai, dibedakan 3 jenis bahan obat :
a. Obat yang hanya terdistribusi dalam plasma
b. Obat yang terdistribusi dalam plasma dan ruang ekstrasel sisa
c. Obat yang terdistribusi dalam ruang ekstra sel dan intra sel
Beberapa obat dapat mengalami kumulatif selektif pada beberapa
organ dan jaringan tertentu, karena adanya proses transport aktif, pengikatan
(affinitas) jaringan dengan zat tertentu atau daya larut yang lebih besar
dalam lemak. Kumulasi ini digunakan sebagai gudang obat (yaitu protein
plasma, umumnya albumin, jaringan ikat dan jaringan lemak).
Salah satu kumulasi yang terkenal adalah glikosid digitalis yang
dikumulasi secara selektif di otot jantung (sebagian kecil dalam hati dan
ginjal). Diketahuinya kumulasi obat pada jaringan ini juga bermanfaat untuk
menilai resiko efek samping dan efek toksisnya.
Selain itu ada beberapa tempat lain misalnya tulang, organ tertentu,
dan cairan trans sel yang dapat berfungsi sebagai gudang untuk beberapa
obat tertentu. Distribusi obat ke susunan saraf pusat dan janin harus
menembus sawar khusus yaitu sawar darah otak dan sawar uri (plasenta).
Obat yang mudah larut dalam lemak pada umumnya lebih mudah
menembus sawar tersebut.
4. Metabolisme (Biotransformasi)
Pada dasarnya obat merupakan zat asing bagi tubuh sehingga tubuh
akan berusaha untuk merombaknya menjadi metabolit yang tidak aktif lagi
dan sekaligus bersifat lebih hidrofil agar memudahkan proses ekskresinya
oleh ginjal. Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi lalu diangkut
melalui sistim pembuluh porta ke hati. Dalam hati seluruh atau sebagian
obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis. Enzim yang berperan
pada proses biotransformasi ini adalah enzim mikrosom di retikulum
endoplasma sel hati.
Perubahan kimiawi terhadap obat yang dapat terjadi setelah proses
metabolisme/biotransformasi adalah :
a. Molekul obat berubah menjadi metabolit yang lebih polar (hidrofil)
sehingga mudah untuk diekskresikan melalui urin pada ginjal.
b. Molekul menjadi metabolit yang tidak/kurang aktif lagi (bioinaktivasi/
detoksifikasi), proses ini disebut juga first pass efect/FPE (efek lintas
pertama). Untuk menghindari resiko FPE maka rute pemberian secara
sublingual, intrapulmonal, transkutan, injeksi dan rektal dapat digunakan.
Obat yang mengalami FPE besar, dosis oralnya harus lebih tinggi
dibandingkan dengan dosis parenteral.
c. Molekul obat menjadi metabolit yang lebih aktif secara farmakologi
(bioaktivasi). Contohnya adalah kortison yang diubah menjadi bentuk
aktif kortison, prednison menjadi prednisolon.
d. Molekul obat menjadi metabolit yang mempunyai aktifitas yang sama
(tidak mengalami perubahan). Contohnya adalah klorpromazin, efedrin,
dan beberapa senyawa benzodiazepin.
Disamping hati yang menjadi tempat biotransformasi utama, obat
dapat pula diubah di organ lain seperti di paru-paru, ginjal, dinding usus
(asetosal, salisilamid, lidokain), di dalam darah (suksinil kholin) serta di
dalam jaringan (cathecolamin).
Kecepatan proses biotransformasi/metabolisme umumnya bertambah
bila konsentrasi obat meningkat sampai konsentrasi maksimal, sebaliknya
bila konsentrasi obat melewati maka kecepatan metabolisme dapat turun.
Disamping konsentrasi obat, beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi proses metabolisme adalah :
a. Fungsi hati,
Pada gangguan fungsi hati metabolisme dapat berlangsung lebih
cepat atau lebih lambat, sehingga efek obat menjadi lebih lemah atau
lebih kuat dari yang diharapkan.
b. Usia
Pada bayi yang baru dilahirkan (neonatal) semua enzim hati belum
terbentuk dengan sempurna sehingga reaksi metabolismenya lebih
lambat, antara lain pada obat-obatan seperti kloramfenikol, sulfonamida,
diazepam dan barbital. Untuk mencegah efek toksik pada obat-obat ini
maka dosis perlu diturunkan. Sebaliknya pada bayi juga dikenal obat-
obat yang metabolismenya lebih cepat pada bayi seperti fenitoin,
fenobarbital, karbamazepin dan asam valproat.
Dosis obat-obat ini harus dinaikkan agar tercapai kadar plasma yang
diinginkan.
a. Faktor genetik
Ada orang yang tidak memiliki faktor genetik tertentu misalnya
enzim untuk asetilasi INH dan sulfadiazin. Akibatnya perombakan obat
ini dapat berjalan lebih lambat.
b. Penggunaan obat lain
Adanya pemakaian obat lain secara bersamaan, dapat mempercepat
metabolisme (induksi enzim) dan menghambat metabolisme (inhibisi
enzim).
5. Ekskresi
Ekskresi adalah pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh
terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni, dan dikeluarkan dalam
bentuk metabolit maupun bentuk asalnya. Disamping itu ada pula beberapa
cara lain, yaitu :
a. Kulit, bersama keringat, misalnya paraldehide dan bromida
b. Paru-paru, dengan pernafasan keluar, misalnya pada anestesi umum,
anestesi gas / anestesi terbang seperti halotan dan siklopropan.
c. Hati, melalui saluran empedu, misalnya fenolftalein, obat untuk infeksi
saluran empedu, penisilin, eritromisin dan rifampisin.
d. Air susu ibu (ASI), misalnya alkohol, obat tidur, nikotin dari rokok dan
alkaloid lain. Harus diperhatikan karena dapat menimbulkan efek
farmakologi atau toksis pada bayi. Usus, bersama tinja, misalnya sulfa
dan preparat besi.
C. Komponen Karakteristik Cairan melalui Rute Pemerian Organ
Pernafasan
Pemberian obat melalui rute organ pernafasan ini, produk inhalasi
sebaiknya mengandung 90% atau lebih partikel berukuran antara 0,5 dan 10
µm karena partikel ukuran tersebut mudah masuk dan larut dalam cairan
pernafasan. Banyak peneliti setuju bahwa partikel-partikel berukuran antara 3-
6 µm sangat berguna. Tetesan atau butiran kabut harus seragam dan sangat
halus untuk dapat mencapai darah pulmonary. Pada sisi lain partikel-partikel
yang sangat kecil dapat dengan mudah terekshalasi sehingga tidak terdeposisi
dalam saluran pernapasan tetapi masuk ke dalam saluran dari bagian-bagian
saluran pernafasan yang lain yang lebih kecil atau keluar dari saluran
pernapasan.
Komponen–komponen dasar sistem aerosol adalah wadah, propelan,
konsentral mengandung zat aktif, karup dan penyemprot. Sifat komponen-
komponen ini menentukan karakteristik ukuran dan distribusi partikel,
keseragaman pelepasan dari katub terukur, kecepatan pelepasan, kebasahan dan
suhu semprotan, bobot jenis busa atau kekentalan cairan.
D. Faktor yang Mempengaruhi Liberasi, Distribusi dan Absorbsi Obat
Sediaan Aerosol
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi sediaan Aerosol, yaitu:
a. Faktor yang mempengaruhi pada liberasi
Partikel yang lebih besar dari 10µm , akan cepat hilang pada saluran
udara bagian atas karena proses menelan, batuk dan mukosilar. Sedangkan
partikel dalam kisaran 0,5-5 µm dapat pecah karena mengalami tubrukan
pada saluran udara atas dan mungkin mengalami deposisi dengan
sedimentasi dan tubrukan pada daerah trakebronkial dan alveoli. Jika ukuran
partikel aerosol adalah antara 3 dan 5 µm kemudian deposisi itu terutama
terjadi di wilayah trakeobronkial. Jika partikel lebih kecil dari 3µm
kemungkinan terjadi deposisi pada alveoli.
b. Faktor yang mempengaruhi distribusi
Proses distribusi obat aerosol dapat dipengaruhi oleh posisi pasien,
formulasi obat, suhu, ukuran pipa endotrakeal, keberadaan obstruksi saluran
nafas atau ventilator yang tidak sinkron, pola aliran, laju respirasi, dosis,
dan frekuensi yang diterapkan atau posisi nebulizer dalam rangkaian.
Semakin tingginya turbulensi maka akan menyebabkan semakin rendahnya
deposisi obat pada saluran nafas distal. Pengaturan optimal dari nebulisasi
tidak dapat ditoleransi oleh banyak pasien (seperti pada pasien dengan
hipokemia yang berat berhubungan dengan sindrom gangguan pernafasan
akut atau pneumonia) dan keperluan penambahan sedasi dan relaksasi
dalam, yang akan memperpanjang durasi ventilasi mekanik. Faktor yang
mempengaruhi distribusi obat aerosol
1. Faktor fisiologis
Faktor fisiologis yang mempengaruhi penghantaran obat adalah
adanya pertahanan pada paru-paru terhadap benda asing, sehingga
menjadi barrier yang harus diatasi untuk memastikan absorbsi obat yang
efisien pada saluran pernapasan. Adapun bebrapa faktor fisiologis
tersebut, yaitu :
a. Epitel paru-paru
Paru-paru memiliki 40 jenis sel berbeda disepanjang salurannya.
Perbedaan lapisan epitel paru-paru dapat diilustrasikan dengan
menbagi strukturnya kedalam tiga kategori berdasarkan letaknya,
diantaranya :
1. Epitel bronkus
Pada lapisan epitel disepanjang daerah ini didominasi dengan
sel bersilia dan sel goblet, selain itu juga ditemukan beberapa sel
serous, sel brush, dan sel clara dengan sedikit sel kulchitsky.
2. Epitel bronkiolus
Lapisan epitel ini didominasi dengan sel cubodia bersilia.
Jumlah sel goblet dan sel serous menurun seiring semakin
dalamnya saluran pernapasan dan semakin meningkatnya sel-sel
clara. Semakin dalam paru-paru maka lapisan epitel pun semakin
tipis dan sedikit mucus yang terdapat pada bagian ini.
3. Epitel alveolus
Pada bagian ini tidak terdapat mucus dan banyak
mengandung epitel yang lebih datar sehingga membentuk lapisan
squamosa dengan ketebalan 0,1-0,5 μm. Sel-sel makrofag banyak
terdapat di daerah ini. Terdapat dua tipe sel pneumosit, yaitu
pneumosit tipe 1 dan pneumosit tipe 2. Kedua sel ini dapat
menghasilkan metabolit aktif dan berperan dalam pembentukan sel
epitel baru dan sintesis surfaktan serta fosfolipid yang dapat
mengurangi tegangan permukaan di paru-paru.
b. Lapisan cairan epitel
Partikel padat obat untuk saluran pernapasan harus ternasahi dan
terlarut sebelum dapat memberikan efek terapinya. Meski tingkat
kelembaban didalam paru-paru mendekati 100%, lapisan cairan epitel
ini kecil, ketebalanya berkisar 5-10 μm dan berangsur-angsur menurun
sepanjang saluran pernapasan sampai alveoli (0,05-0,08 μm).
c. Surfaktan paru-paru
Sel epitel tipe dua secara aktif mengeluarkan surfaktan paru-
paru. Surfaktan paru-paru terletak pada dinding internal wilayah
alveolar dan memiliki funsi utama menurunkan tegangan permukaan,
mempertahankan morfologi dan funsi pernapasan, juga pertahanan
paru-paru melawan adhesi mikroorganisme dan meningkatkan
fagositosis oleh sel makrofag.
Implikasi pada penghantaran obat, lapisan surfaktan
menyelimuti saluran napas dan lapisan cairan alveolar dengan bagian
rantai asam lemak yang menghadap ke permukaan, sehinga dapat
terjadi interaksi antara fosfolipid surfaktan dengan obat inhalasi.
Misalnya surfaktan paru-paru ditujukan untuk meningkatkan kelarutan
glukokortikosteroid, yang dapat mempengaruhi waktu tinggal steroid
dalam paru-paru. Selanjutnya, interaksi kuat dari polipeptida ditirelix
dan siklosporin A dengan fosfolipid telah dibuktikan dan telah
disarankan untuk membatasi penyerapan dari paru-paru, sehingga
menyebabkan retensi berkepanjangan obat di paru-paru. Penggunaan
surfaktan eksogen sebagai pembawa untuk pemberian obat paru-paru
telah diusulkan sebagai saran untuk meningkatkan penyebaran obat
dalam paru-paru, namun interaksi yang kompleks antara obat dan
surfaktan paru-paru harus diertimbangkan dalam pengembangan obat.

d. Mucociliary clearance
Mucociliary clearance merupakan mekanisme pertahanan paru-
paru yang paling penting. Berdasarkan dengan pergerakan silia, mucus
disapu bersihkan dari nasal dan paru-paru menuju faring dan
kemudian ditelan. Implikasinya untuk penghantaran obat, yaitu waktu
tinggal obat inhalasi dalam paru-paru tergantung pada lokasi
pengendapan. Sebuah proporsi yang signifikan dari obat dalam
mencapai paru-paru dari sediaan inhalasi adalah terperangkap dalam
lendir di saluran pernapasan. Kemampuan obat untuk menembus
penghalang lendir tergantung pada muatan partikel, kelarutan,
lipofilisitas, dan ukuran. Misalnya, mengurangi transportasi di lapisan
lendir pernapasan telah dibuktikan secara in vitro untuk kortikosteroid
dan antibiotik.
2. Faktor farmasetik
Faktor terkait formulasi yang mempengaruhi sistem penghantaran
obat adalah ukuran, bentuk, kerapatan dan stabilitas fisik partikel.
Partikel dengan ukuran lebih dari 10 μm akan bertubrukan pada saluran
saluran pernapasan baagian aatas dan mudah dikeluarkan oleh kejadian
batuk, menelan, dan proses pembersihan oleh mukosiliaris. Partikel
dengan ukuran 0,5-5 μm dapat menghindari tubrukan yang terjadi di
saluran pernapasan atas dan akan terdeposisi melalui tubrukan dan
sedimentasi di daerah trakheobronkial dan alveolar. Jika ukuran partikel
berada diantara 3-5 μm maka akan terdeposisi sepenuhnya di daerah
trakheobronkial dan jika ukurannya kurang dari 3 μm maka kemungkinan
akan terdeposisi jauh lebih dalam lagi di daerah alveolar. Sedangkan
partikel dengan ukuran submikron tidak dapat terdeposisi dan akan
terbuang saat ekspirasi sebelum terjadi sedimentasi. Partikel dengan
ukuran diameter 20 μm dan kerapatan 0,4 g/cm −3 akan secara efektif
terdeposit dalam paru-paru.

c. Faktor yang mempengaruhi pada absorbsi


1. Kecepatan Aerasol, aerasol dibentuk oleh nebulizers dan dry powder
inhalers (DPIs) diangkut ke paru-paru oleh keaktifan udara yang
terinspirasi. Dalam perbedaan, pMDIs menghailkan tetesan aerasol
dengan kecepatan lebih besar dari aliran udara inspirasi dan kerena
aerasol yang memiliki afinitas yang lebih besar untuk berdampak
diwilayah oropharyngeal.
2. Ukuran, geometric standard deviation (GSD) didefenisikan sebagai rasio
ukuran di 84,2% pada frekuensi kurva kumulatif dengan diameter
median. Sebuag monodisperse, yaitu aerasol ideal, memiliki GSD dari 1,
meskipun dalam prakteknya aerasol denga GSD dari <1,22 adalah
menggambarkan sebagai monodisperse sementara mereka aerasol dengan
GSD > 1,22 disebut sebagai polydisperse atau hetero tersebar.
3. Bentuk, partikel tidak bulat akan memiliki jumlah terkecil satu dimensi
fisik yang superior dari diameter aerodinamis.

4. Massa Jenis , partikel yang memiliki kepadatan kurang dari 1g cm 3 (unit


density) dapat memiliki diameter fisik rata-rata yang lebih besar dari
batas aerodinamis.
5. Stabiliras fisik , terapi aerasol yang sering digunakan sebenarnya tidak
stabil karena mereka memiliki konsentrasi partikel yang tinggi dan jarak
antar-partikel yang dekat dapat menyebabkan saling tolak-menolak atau
reaksi antar-paerikel lainnya.
6. Perangkat pengiriman baru, perangkat inhalasi dipisahkan menjadi tiga
kategori yang berbeda, penyempurnaan dari nebulizer dan evolusi dua
jenis kompak perangkat portabel, dry inhalers (DPI) dan metered-dose
inhaler (MDI). .
E. Evaluasi Biovarmasetik Dalam Sedian Obat Melalui Rute Pemberian
Organ Pernapasan
Pada aerosol dengan efek sistemik, dimungkinkan untuk
memprakirakan aktivitas farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar
obat dalam darah dan membandingkannya dengan kadar yang didapat dari
cara pemberian intravena atau jika mungkin dengan cara pemberian lain.
Pada aerosol efek setempat, sangat diperlukan untuk melakukan studi
ketersediaan hayati relatif dengan membandingkan berbagai formulasi yang
berbeda untuk memilih formula yang lebih setempat, efeknya lebih lama,
lebih spesifik, lebih cepat sebagai fungsi dari ukuran parrikel yang harus
sehomogen mungkin.
Terdapat beberapa parameter zat aktif yaitu :
1. Stabilitas fisik-kimia dan stabilitas terapetik dari partikel aerosol yang
halus
2. Daerah deppo dan perannya untuk menghasilkan efek terapetik yang sesuai
dan terukur
3. Laju penyerapan, metabolisme dan atau pembersihan untuk menghindari
efek sekunder
4. Pengaruh bahan tambahan dalam sediaan terhadap partikel.
Evaluasi ketersediaan hayati aerosol pada manusia mempunyai
beberapa kesulitan yang berkaitan dengan :
1. Pemilihan subjek percobaan (sakit atau sehat)
2. Efek partikel aerosol (sistemik atau setempat)
3. Pembuatan partikel yang homogen diameternya
Proses selanjutnya yang lebih penting adalah menyatakan efektivitas
pengobatan aerosol.
1. Tahap pertama
 Penilaian bagian saluran napas yang akan dicapai oleh zat aktif untuk
memberikan aksi setempat atau untuk diserap dan selanjutnya
menghasilkan efek sistemik
 Pemilihan ini tergantung pada
 Sifat pengobatan dari zat aktif
 Diameter partikel aerosol
2. Tahap kedua
Pemilihan alat untuk pembuatan sediaan aerosol sedemikian hingga
diperoleh diameter partikel yang diinginkan. Dalam hal ini, perlu
dipertimbangkan resiko hidratasi partikel yang higroskopis dan depo
prematur. Pemilihan alat harus dilengkapi dengan cara pemberian (tujuan
bukal, nasal, atau masker wajah) karena harus dihindari terjadinya depo
yang tidak dikehendaki dalam saluran napas.
3. Tahap ketiga
Penelitian in vivo pada hewan (anjing misalnya) untuk meramalkan
toksisitas dan reaksi samping yang mungkin terjadi setelah pemberian zat
aktif dalam aerosol. Pencobaan ini menggunakan pipa khusus ke berbagai
tempat disaluran napas untuk mengamati adanya reaksi-reaksi tertentu
termasuk reaksi sistemik atau setempat dan meneliti toksisitas dan
penyerapan gas pendorong pada permukaan saluran, misalnya dengan
mengevaluasi kadar dalam darah
4. Tahap keempat
Evaluasi pada subyek manusia. Dalam hal ini keadaan pemberian
dan penghirupan partikel harus tepat. Ritme pernapasan harus ditentukan
sebagai fungsi dari aksi yang diharapkan. Jumlah obat yang diberikan
harus selalu dievaluai dengan seksama terutama bila zat aktif beraksi
sangat kuat pada dosis kecil. Akhirnya, pengaruh formulasi dapat
diperkirakan dengan membandingkan sediaan terhadap suatu larutan air
dengan catatan zat aktif dapat larut dalam air
5. Tahap kelima
Diikuti dengan studi ketercampuran obat dan stabilitas zat aktif
dalam bentuk terpilih (larutan, serbuk, bentuk sediaan farmasi bertekanan
dan lain-lain).
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Organ sistem pernapasan pada manusia terdiri dari Hidung, Sinus, Faring,
Laring, Trakhea, Bronkus, Bronkiolus, Alveolus, dan Paru-Paru
2. Poses liberasi sediaan aerosol melalui mulut ke pharyx–larynx–trakea–bronchi
primer–bronchi sekunder–bronchi terminal–bronchi respirsi–saluran alveolar-
alveoli. Absorpsi terjadi cepat sekali (langsung) karena luas permukaan
pulmoner yang sangat besar mekanisme absorpsi terutama berupa difusi pasif.
Difusinya terjadi segera setelah penyerapan dan kadang juga lambat jika mencakup
jaringan yang perfusinya tidak terlalu baik. Proses metabolisme umumnya bertambah
bila konsentrasi obat meningkat sampai konsentrasi maksimal, sebaliknya bila
konsentrasi obat melewati maka kecepatan metabolisme dapat turun. pengeluaran obat
atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni, dan
dikeluarkan dalam bentuk metabolit maupun bentuk asalnya.
3. Sediaan rute pemberian organ pernapasan berbentuk gas, padat, dan cair. sebaiknya
mengandung 90% atau lebih partikel berukuran antara 0,5 dan 10 µm karena
partikel ukuran tersebut mudah masuk dan larut dalam cairan pernafasan.
4. Faktor yang mempengaruhi liberasi sediaan aerosol adalah ukuran partikel.
Faktor yang mempengaruhi distribusi yaitu epitel paru-paru, lapisan cairan
epitel, surfaktan paru-paru, dan mucociliary clearance, serta faktor farmasetik
berupa ukuran, bentuk, kerapatan, dan stabilitas partikel. Dan faktor yang
mempengaruhi absorbsi yaitu kecepatan aerosol, ukuran geometrik standar,
bentuk partikel, massa jenis, stabilitas fisik, dan perangkat pengiriman.
5. Evaluasi biofarmasetik sediaan aerosol dengan efek sistemik bisa
memprakirakan aktivitas farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar
obat dalam darah dan membandingkannya dengan kadar yang didapat dari
pemberian lain dan untuk aerosol efek setempat diperlukan untuk melakukan
studi ketersediaan hayati relatif dengan membandingkan berbagai formulasi
yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Djojodibroto D. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC

Evelyn CP. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT.
Gramedia
Gibson, Jhon. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern pada Perawat. Jakarta : EGC

Guyton AC, John EH. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC
Jayanti N. 2013. Perbandingan Kapasitas Vital Paru pada Atlet Pria Cabang
Olahraga dan Lari Cepat Persiapan Pekan Olahraga Provinsi 2013 di
Bandar Lampung. Majority Journal, 2(5):113-118

Muttaqin, Arif.2013. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.

Umar, N. 2008. Sistem Pernapasan dan Suctioning pada jalan Nafas. Sumatera
Utara : Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas.

Yunus, F. 1994. Aplikasi Klinik Pada Volume Paru: PIPKRA (Pertemuan Ilmiah
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi) Workshop Faal Paru. Blackell
Scientific Publications.Melbourne.

Rohmatillah Lela L. Pembuatan dan Karakterisasi Mikropartikel Kitosan-


Tripolifosfat yang Mengandung Diltiazem Hidroklorida untuk
Penghantaran Obat Melalui Paru-Paru. Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta

Somantri Irman. 2007. Keperawatan Medika Bedah Asuhan Keperawatan pada


Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai