Anda di halaman 1dari 4

MONEY POLITIC

Sepertinya money politik ini selalu menyertai dalam setiap pelaksanaan


pemilu. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang
cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat
diperalat. Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau
janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya
untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu
pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang
atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye.
Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan
pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum.

Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang,


sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan
tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya
untuk partai yang bersangkutan. Money politik sendiri merupakan hal kerpa
kita temui disetiap penyelenggaran pemilu. Maraknya kasus money politik
sendiri menunjukkan bahwa negeri ini sedang dilanda krisis kepercayaan diri
terutama yang dialami oleh para kandidat.

Politik uang juga tergolong kedalam kasus pelanggaran. hal ini tertuang jelas
dalam  Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi:

“Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut


undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik
supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia
menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman
penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih
yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.”
INTIMIDASI

terdapat beberapa poin penting tentang permasalahan perilaku intimidasi di


sekolah, diantaranya:

Di sekolah, intimidasi dapat terjadi dimana saja dan dapat dilakukan oleh
siapa saja. Pelaku intimidasi bisa siswa atau orang dewasa.

Pelaku intimidasi dapat beraksi sendirian atau bersama kaki tangan.

Sasaran intimidasi dapat merupakan seseorang atau sekelompok orang.

Intimidasi adalah perbuatan berulang seseorang atau sekelompok orang yang


takut kepada si pelaku intimidasi Di sini tampak terdapat ketidakseimbangan
kekuatan.

Pelaku intimidasi secara sengaja bermaksud menyakiti seseorang secara


fisik, emosi atau sosial.

Pelaku intimidasi sering merasa perbuatannya itu dapat dibenarkan.

Pelaku intimidasi sering terorganisasi dan sistematis.

Pelaku intimidasi para saksi atau penonton yang tidak akan berbuat apa pun
untuk menghentikan intimidasi itu atau malah mendukung perbuatan tersebut.

Intimidasi dapat berlangsung untuk waktu jangka pendek atau untuk waktu
yang tidak terbatas.

Ilustrasi berikut ini mungkin dapat memberikan gambaran tentang perilaku


intimidasi yang terjadi di sekolah, baik yang dilakukan siswa, guru, kepala
sekolah maupun orang tua;:

Seorang siswa yang populer, menarik dan berprestasi, yang dipandang oleh
orang dewasa sebagai sosok yang patut ditiru dan seorang pemimpin kelas,
namun dibalik itu dia memiliki pengaruh sosial untuk mendominasi,
mengendalikan dan secara selektif mengucilkan teman-temannya.

Seorang guru pekerja keras yang dimata orang tua dianggap sebagai
seorang yang profesional dan mampu mengendalikan kelas dengan
sempurna, serta memiliki standar-standar tinggi, tetapi secara berkala
membuat siswa menangis karena kata-kata kasarnya, tindakan-tindakan yang
mempermalukan dan ejekan-ejekannya.
Kepala sekolah yang dengan seksama dan sistematis melecehkan staf dan
guru yang dianggap sebagai saingannya, sementara dihadapan atasannya ia
terlihat berperilaku lembut dan penurut.

Orang tua agresif; untuk menekan perilaku agesif anaknya di rumah, tetapi
merespons luapan keagresifan terpendamnya di sekolah dengan
menyalahkan pihak sekolah secara keji dan berang, secara terus menerus
melecehkan sekolah atas setiap kecerobohan yang mereka lihat.

A. Siswa yang Mengintimidasi

Siswa yang melakukan intimidasi pada siswa lain terdorong oleh beberapa
alasan:

1. Gangguan pengendalian diri;

Siswa seperti ini merasa berselisih dengan dunia yang serba bermusuhan.
Mereka mengalami kegelisahan emosional, salah menafsirkan dan salah
memahami segala bentuk interaksi dengan orang lain, dan tidak mampu
mengendalikan dorongan-dorongan agresif; yang muncul. Mereka sering
melanggar peraturan, memulai tindakan agresif, ;merusak milik orang,
menyalahkan orang lain, dan menunjukkan kurang pengertian atau simpati
terhadap hak-hak dan perasaan orang lain.

2. Intimidasi yang dipelajari

Siswa dapat belajar mengintimidasi melalui berbagai cara, seperti:


menyaksikan perbuatan-perbuatan kejam, mendapat imbalan atas
tindakan ;agresif yang pernah dilakukannya, termasuk jika dia mendapatkan
perlakuan agresif dari orang lain.

Penggunaan hukuman fisik, hukuman yang tidak konsisten dan pemanjaan


berlebihan yang dilakukan oleh orang tua memiliki korelasi dengan perilaku
agresif anaknya.

3. Mengintimidasi untuk memperoleh sesuatu

Ketika sebagian besar anak melakukan intimidasi, mereka mempunyai tujuan


yang jelas dalam benak mereka. Mereka sengaja menggunakan kekerasan
untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dari orang lain—uang jajan,
jawaban ketika mengahadapi ujian, atau hanya sekedar kesenangan untuk
mendominasi, dan bahkan untuk memperkokoh status dan harga diri dalam
hierarki sosial

Untuk menghadapi kasus-kasus di atas, para guru mestinya dapat melihatnya


sebagai gejala dari suatu kelainan, bukanlah perbuatan atas kemauan sendiri.
Dalam hal ini, bukan berarti guru membolehkan atau memaafkan perilaku
agresif tersebut, tetapi guru harus mampu merencanakan pendekatan
manajemen kelas yang tepat, bekerja sama dengan ahli atau nara sumber
spesialis yang terlatih.
B. Guru yang Mengintimidasi

Guru pelaku intimidasi adalah guru yang menggunakan kekuasaannya untuk


menghukum, memanipulasi, atau mengolok-olok siswa, melampaui tindakan
disipliner yang masuk akal.

Guru pelaku intimidasi kadang tidak mampu melihat dirinya yang


sesungguhnya. Mereka mengartikan perlakuan agresifnya sebagai suatu
tindakan yang tegas, perkataan mereka yang kasar dianggapnya sebagai
ungkapan jujur, ketidakkonsistenan sebagai flesksibilitas, serta kekakuan dan
obsesi mereka terhadap hal-hal remeh dianggap sebagai ketelitiannya.
Pelaku-pelaku intimidasi semacam ini jarang mengakui kesalahan mereka
dan menganggap kekeliruan adalah kesalahan orang lain. Mereka merasa
penting, berkuasa, elite dan berhak. Menganggap orang lain iri, memanipulasi
dan mengeksploitasi orang lain demi kepentingan mereka sendiri, dan tidak
memiliki empati bagi target mereka. Mereka menjadi pribadi yang egois, tidak
dapat diprediksi, kritis dan pemarah. Sebagai orang dewasa, guru pelaku
intimidasi lihai dalam memilih sasaran, terutama ke samping, ke bawah, tetapi
jarang mengintimidasi ke atas.

Perilaku guru mengintimidasi meliputi: (1) kekerasan verbal melalui


penggunaan stereotip- stereotip dan penamaan yang bermuatan seksis, rasis,
kultur, sosio-ekonomi, ketidaksempurnaan fisik dan homofobik; (2) kekerasan
fisik; seperti mengguncang, mendorong, mencubit, menjambak, menjewer,
memukul dengan penggaris atau melemparkan sesuatu; (3) kekerasan
psikologis; berteriak, berbicara dengan sarkasme, menyobek hasil herja,
mengadu domba siswa, membuat ancaman-ancaman.; (4) kekerasan yang
berkaitan dengan profesionalisme; penilaian yang tidak adil, menerapkan
hukuman dengan pilih-pilih, menggunakan cara-cara pendisiplinan yang tidak
pantas, mengarahkan pada kegagalan dengan menetapkan standar yang
tidak wajar, membohongi rekan kerja, orang tua siswa, atasan mengenai
perilaku siswa, mengambil kesempatan dengan menggunakan materi-materi
atau pengayaan, mengintimidasi orang tua karena hambatan bahasa,
budaya, atau status sosial ekonomi.

C. Kepala Sekolah yang Mengintimidasi

Kepala sekolah memulai kariernya sebagai guru dan kemudian dipromosikan


melalui jenjang karier. Perkembangan itu adalah sumber dari kekuatan
terbesar mereka dan juga kelemahan terbesar mereka. Kapasitasnya sebagai
manajer, kerapkali menjadikan guru, karyawan dan siswa sebagai sasaran
kekerasan. Kepala sekolah yang suka mengintimidasi akan menghasilkan
perilaku intimidasi pula pada guru, karyawan dan bahkan siswa. Kepala
sekolah yang mengintimidasi sering mencoba meremehkan dan merusak
hasil kerja guru yang paling berbakat dan kreatif, tanpa mempertimbangkan
dampaknya terhadap sekolah. secara keseluruhan Perilaku kepala sekolah
yang mengintimidasi seringkali menjadi kontradiktif dan membingungkan.
Mereka memandang bahwa diri mereka disalahmengertikan dan diganggu.
Padahal, faktanya mereka adalah perusak dan disfungsional.

Setiap sekolah haruslah menjadi tempat dimana siswa dan seluruh komunitas
merasa aman dan tentram secara fisik maupun emosional. Intimidasi dalam
bentuk apa pun, baik yang dilakukan oleh siswa, guru atau kepala sekolah
dapat menjadi ancaman dan menghalangi proses pembelajaran. Satu-
satunya cara untuk secara tegas menghalau dan menjauhkan intimidasi
adalah dengan memaksakan keadilan bagi semua. Hanya dengan itulah
sekolah-sekolah akan menjadi lingkungan belajar yang positif, di mana proses
pembelajaran dapat dimaksimalkan dan setiap siswa merasa dihargai

Anda mungkin juga menyukai