Anda di halaman 1dari 29

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA AJAR KEPERAWATAN BENCANA


KELAS PROGRAM KHUSUS
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH
PONTIANAK

Nama : Sumianti
NIM : SNR20215024

1. Peran dan fungsi perawat dalam menangani bencana kebakaran hutan di


Kalimantan Barat.
Salah satu dampak yang terjadi akibat adanya kebakaran hutan adalah asap
kabut. Asap kabut tersebut mendatangkan penyakit seperti Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) terutama pada anak-anak dan orang tua yang daya
tahan fisiknya sangat lemah.
a. Peran perawat di RS yang terkena dampak bencana yaitu :
Ketersediaan sumber daya, fasilitas dan pelaksanaan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh dan berkesinambungan saat bencana.
1) Sebagai manager, perawat mempunyai tugas antara lain mengelola
pelayanan gawat darurat, mengelola fasilitas, peralatan dan obat-obatan
live saving, melakukan koordinasi dengan unit RS lain
2) Sebagai leadership, memiliki tugas untuk mengelola tenaga medis,
tenaga keperawatan dan tenaga non medis, membagi jadwal dinas
3) Sebagai pemberi asuhan keperawatan (care giver), perawat harus
melakukan pelayanan siaga bencana dan memilah masalah fisik dan
psikologis yang terjadi pada pasien.

b. Peran perawat di puskesmas


Peran perawat di puskesmas saat terjadi bencana adalah melakukan
perawatan pasien ringan, pemberian obat ringan, merujuk pasien.
Peningkatan fungsi satgas kesehatan, pembukaan posko kesehatan,
pengaktifan puskesmas selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.
1) Ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan simulasi persiapan menghadapi
ancaman bencana kepada masyarakat seperti melakukan pelatihan
pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN
dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan.
2) Ikut serta dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana seperti :
a) Himbauan kepada masyarakat agar tidak membakar lahan, terutama
di musim kemarau karena dapat menimbulkan kabut asap yang
berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
b) Himbauan kepada masyarakat agar tidak keluar rumah, selalu
memakai masker, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat saat
terjadi bencana kebakaran hutan.
c) Perawat dapat juga memberikan beberapa alamat dan nomor telpon
darurat seperti rumah sakit, ambulans, dinas pemadam kebakaran
d) Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa
seperti pakaian seperlunya, radio portable, senter beserta baterai dan
lainnya.

2. Alur komunikasi seefektif mungkin antar perangkat daerah, BNPB,


POLRI dan TIM SAR serta media dalam penanganan kebakaran hutan di
Kalimantan Barat.
Pada saat keadaan darurat bencana, kepala BNPB dan kepala BPBD
berwenang mengerahkan sumber daya manusia, peralatan dan logistik dari
instansi/lembaga dan masyarakat untuk melakukan tanggap darurat yang
meliputi permintaan, penerimaan dan penggunaan sumber daya manusia,
peralatan dan logistik.
BNPB sebagai pusat komando berkoordinasi dengan BPBD dalam
pemetaan area bencana dan terdampak kemudian dilakukan juga koordinasi
dengan POLRI dan TIM SAR guna melakukan evakuasi warga atau masyarakat
yang terdampak bencana kebakaran hutan dengan disertai edukasi tentang
bahaya kebakaran hutan. BNPN juga memberikan informasi terkait
perkembangan bencana kebakaran hutan yang akurat dan terpercaya melalui
media resmi sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat.

3. 5 cara mitigasi bencana pada kelompok rentan (wanita hamil, anak-anak,


ODGJ dan lansia.
a. Wanita hamil
1) Melihat dampak bencana yang dapat terjadi, ibu hamil dan bayi perlu
dibekali pengetahuan dan keterampilan menghadapi bencana yaitu :
a) Membekali ibu hamil pengetahuan mengenai umur kehamilan,
gambaran proses kelahiran, ASI eklusif dan MPASI.
b) Melibatkan ibu hamil dalam kegiatan kesigapsiagaan bencana,
misalnya dalam simulasi bencana.
c) Menyiapkan tenaga kesehatan dan relawan yang terampil dalam
menangani kegawatdaruratan pada ibu hamil dan bayi melalui
pelatihan atau workshop.
d) Menyiapkan stok obat khusus untuk ibu hamil dalam logistik
bencana seperti tablet Fe dan obat hormonal untuk menstimulasi
produksi ASI.
2) Setelah masa bencana, ibu dan bayi mengalami kehidupan yang baru.
Pengalaman menghadapi bencana dapat menjadi pelajaran untuk ibu
dalam memperbaiki hidupnya.
a) Pemberian ASI (air susu ibu)
Pemberian ASI ekslusif bagi bayi yang berusia 0-6 bulan dan tetap
menyusui hingga 2 tahun. Pemberian susu formula hanya dapat
diberikan jika ibu bayi meninggal, tidak adanya donor ASI.
Pendistribusian susu formula dalam situasi bencana harus dengan
persetujuan dinas kesehatan setempat.
b) Pemberian MPASI berkualitas
ASI dan MPASI berkualitas bukan hanya sebagai pemenuhan
kebutuhan tubuh bayi dan anak, akan tetapi merupakan live saving
untuk keberlangsungan hidup.
c) Makanan siap saji untuk ibu menyusui pada 5 hari pertama pasca
bencana.

b. Anak-anak
1) Mengenali reaksi stress pada anak
2) Menyediakan lingkungan bermain dan beraktivitas
3) Menjelaskan fakta bencana pada anak
4) Berbagi perasaan dan pengalaman serta membantu agar mudah
mengungkapkan perasaan.
5) Mendukung anak sehingga mereka dapat melanjutkan kegiatan rutin.

c. Lanjut Usia
1) Membantu beradaptasi dengan perubahan lingkungan
2) Melakukan manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
3) Membantu rekonstruksi kehidupan
4) Mental care
5) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas

d. Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)


1) Kesehatan fisik ODGJ
Orang dengan gangguan jiwa yang berada di masyarakat dan dirawat di
RSJ mempunyai resiko yang sama dalam penularan Covid-19. Oleh
karena itu, ODGJ diberikan edukasi promosi kesehatan dan pencegahan
penularan Covid-19 oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Orang tua/caregiver mendampingi ODGJ
melakukannya.

2) Kesehatan jiwa dan psikososial pada ODGJ


Cara memberikan dukungan kepada pasien ODGJ selama wabah Covid-
19 adalah sebagai berikut :
a) Keluarga/caregiver sebaiknya selalu memperhatikan gejala-gejala
klinis yang timbul pada pasien ODGJ karena berita yang ada dan
pembatasan dalam ruang gerak individu dapat meningkatkan gejala-
gejala psikiatris pasien ODGJ. Apabila gejala psikiatris semakin
meningkat segera konsultasikan dengan penanggungjawab
pelayanan kesehatan jiwa di layanan primer atau dokter yang
merawat untuk melakukan tindakan lanjutan yang diperlukan sesuai
kondisi klinis.
b) Keluarga/caregiver mendapatkan psikoedukasi baik dalam
mengatasi gejala psikiatris oleh perawat dan dokter pelayanan
kesehatan primer yang bertanggung jawab untuk pelayanan
kesehatan jiwa.
c) Tokoh masyarakat diharapkan dapat membantu memberikan
perhatian kepada ODGJ seperti ketua RT/RW/Lurah dan kader
kesehatan jiwa di masyarakat.
d) Perawat dan dokter penanggung jawab kesehatan jiwa di puskesmas
atau pelayanan kesehatan primer memantau dan melakukan follow
up kontinuitas perawatan dan pengobatan pasien ODGJ
e) Perlakuan dan perhatian khusus terhadap ODGJ terlantar dan
gelandangan, bekerja sama dan merujuk pada pelayanan sosial
setempat.

4. Sistem penanganan terpadu manajemen bencana berdasarkan 4cs


a. Command (Komando)
Kemampuan memberikan perintah secara efektif mengenai sebuah
insiden menggunakan struktur perintah terpadu adalah kunci sukses
penanganan kondisi darurat apapun. Sistem Pengelolaan Insiden (IMS)
juga dikenal sebagai sistem komando insiden (ICS) merupakan sebuah
sistem yang dirancang untuk menangani insiden dengan sigap dalam
rentang waktu tertentu. Dalam kondisi darurat, petugas hanya dapat
secara efektif menagani 3 sampai 7 orang. Apabila unit pertama datang
maka karyawan perusahaan yang bertugas bertanggung jawab sampai
atasan mengambil alih. Jika unit pertama kewalahan dalam melakukan
upaya penyelamatan, maka karyawan perusahaan dapat menunda
mendirikan pos komando formal dengan meninggalkan pesan kepada
karyawan perusahaan berikutnya. Karena kejadian pertama telah berada
di bawah kendalinya, maka petugas masih memegang komando yang
efektif di lapangan meskipun pusat komando resmi belum didirikan.
Ketika kondisi darurat berlangsung, sumber daya tambahan akan
dikerahkan dan divisi, kelompok, atau sektor akan didirikan, masing-
masing oleh petugas sendiri.
Setiap saat jaringan komando ditambah, pergunakan kesempatan
untuk meneruskan komando pada level diatasnya. Para komandan segera
membangun sistem piramida yang memungkinkan setiap petugas hanya
berinteraksi dengan 3 sampai 7 orang. Dalam insiden skala yang sangat
besar, lima jabatan fungsional dialokasikan:
1) Komando
Komando adalah sistem yang memberikan instruksi secara
keseluruhan melalui komandan insiden (Incident Commander/IC).
Fungsi ini harus selalu dijalankan bahkan dalam satu perusahaan.
Jika kejadian berlangsung melibatkan beberapa perusahaan, IC
sering membuat sistem staf komando khusus yaitu Safety Officer
(SO) dan seorang Liaison Officer (LO). Pada insiden skala besar
sebaiknya segera mendirikan Public Information Officer (PIO) yang
bertugas mencatat peristiwa yang terjadi secara terus menerus.
Pada dasarnya wartawan baik media televisi maupun media
cetak akan senantiasa meliput cuplikan tentang kejadian2 tertentu.
Dan hal tersebut dapat kita manfaatkan untuk merekonstruksi dan
mempelajari situasi yang terjadi,untuk mencari solusi
pemecahannya.
2) Operasi
Merupakan bagian yang bertugas untuk merencanakan taktik
pada IC. Komandan operasi bekerja sama dengan kelompok yang
berusaha untuk mengatasi keadaan darurat.
3) Perencanaan
Merupakan bagian yang bertugas mengumpulkan informasi
dan menganalisis berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi
akibat dari rencana yang telah dibuat. Dan bila diperlukan membuat
modifikasi yang agar operasi dapat berjalan dengan sukses.
4) Logistik
Merupakan bagian yang bertugas untuk memastikan bahwa
sumber daya tersedia sesuai kebutuhan. Barang-barang seperti bahan
bakar, makanan, layanan medis, peralatan khusus, kendaraan
tambahan, dan personil adalah contoh dukungan yang harus
disediakan jika operasi taktis diteruskan
5) Keuangan
Merupakan fungsi yang perlu diadakan untuk kejadian yang
luar biasa/skala besar. Operasi skala besar memerlukan dokumentasi
pengeluaran fiskal, dan petugas keuangan juga dapat membantu IC
dalam perencanaan keuangan dan pengaturannya. Jika terjadi
kelalaian dalam menggunakan dana operasi hingga menyebabkan
deficit keuangan yang cukup berat, dokumentasi petugas keuangan
tentang pengeluaran departemen dapat membantu memulihkan
sebagian dari biaya operasi.

b. Control
Salah satu bidang penting yang sering terabaikan dalam penyusunan
program dan rencana persiapan bencana adalah kontrol informasi dan
pencitraan yang ditransfer kepada dunia melalui media. Kontrol terhadap
penyebaran arus informasi adalah hal yang sangat penting dan harus
menjadi bagian yang komprehensif dari penanganan gawat darurat dan
rencana persiapan penanganan bencana. Pada intinya, saat ini adalah
penting untuk mengontrol arus informasi karean setiap informasi yang
disampaikan akan mempengaruhi kehidupan perusahaan kedepannya.
Sebagai bagian dari keseluruhan kegawatdaruratan dan upaya
kesiapsiagaan bencana, perlu dipikirkan:
1) Darimana media akan mendapatkan informasi ?
2) Siapa yang akan memberikan informasi kepada media?
3) Gambar apa yang akan diberikan oleh narasumber?
4) Apa background dari narasumber saat diwawancarai?
5) Apakah rekaman video yang akan media dapatkan?
6) Apa yang media ketahui tentang perusahaan Anda atau organisasi selain
situasi bencana?
7) Apakah media akan memberikan dampak buruk terhadap upaya
kegawatdaruratan?
8) Bagaimana penampilan narasumber?
9) Apakah narasumber memiliki kapasitas yang baik dalam mewakili
perusahaan anda?
10) Apakah informasi akan disaring oleh penasihat hukum sebelum
diberikan kepada media?
11) Apa ada waktu tertentu saat media di lokasi ?
Pengendalian informasi sangat penting dalam rangka meminimalkan
dampak buruk setelah bencana. Langkah–langkah berikut dapat
dipertimbangkan untuk penanganan kegawatdaruratan secara keseluruhan
dan perencanaan penanganan bencana yaitu:
1) Menyediakan satu area terentu di areal parkir yang jauh dari area
bencana
2) Petugas keamanan ditugaskan di daerah media untuk melarang
perwakilan media masuk ke area bencana
3) Memilih seseorang sebagai perwakilan perusahaan untuk berbicara
kepada media dan tidak ijinkan karyawan lain untuk memberikan
informasi kepada media.
4) Juru bicara dipilih untuk memberikan platform yang tepat, mikrofon,
dan latar belakang perusahaan (misalnya, logo perusahaan)
5) Penampilan, nada suara, kemampuan untuk tetap tenang, dan atribut
lainnya adaah hal yang pentng dupertimabngkan untuk memilih juru
bicara
6) Media diarahkan ke area yang tepat untuk mendapatkan rekaman video.
7) Sediakan paket informasi yang akan diberikan kepada media
8) Semua informasi disaring oleh pengacara hukum sebelum presentasi
dan pertanyaan dari media dipertahankan seminimal mungkin.
9) Selalu memberikan informasi yang benar atau tidak ada informasi sama
sekali.
10) Perlu diingat deadline media. Jika memungkinkan berikan informasi
kepada media karena bila tidak ada informasi yang diterma maka media
akan mendapatkan kabar angin.
Sebagai kesimpulan, media adalah fakta kehidupan hari ini. Media
harus dikelola dengan baik. Bila tidak dikelola dengan baik maka situasi
bencana akan memiliki dampak yang panjang terhadap perusahaan anda.
Dan haruslah di ingat, semua yang telah disampaikan atau dilihat oleh
media disimpan dengan baik oleh mereka dan memiliki probabilitas
tinggi bahwa rekaman tersebut akan digunakan masa depan. Setiap aspek
dari media yang harus dikontrol dalam rangka untuk menempatkan yang
terbaik pada situasi yang buruk.
Ingatlah, ketika bencana terjadi situasi berubah menjadi panik
banyak individu yang terluka. Persiapan untuk menghandel media
haruslah dilakukan dengan tenang, kepala dingin, cara yang tepat dan
melakukan majeman bencana dengan baik.
c. Coordination
Kemampuan untuk berkomunikasi, berkoordinasi, dan bekerja secara
efektif sebagai suatu team merupakan faktor utama dalam menentukan
keberhasilan suatu rencana. Dalam suatu bencana berskala besar, maka
makin banyak sumber daya yang dibutuhkan. Kemampuan masing-masing
pihak penolong untuk mendata permasalahan, menghitung sumber daya
yang dimiliki, dan berkomunikasi antar sesama akan menentukan
keberhasilan suatu program/proyek. Ada banyak anggota masyarakat yang
akan bersedia membantu, para penegak hukum, pemadam kebakaran,
paramedis, dan lain-lain akan dengan suka rela membantu Tim
Penanggulangan Dampak Bencana. namun kemampuan mereka berbeda-
beda, sehingga tugas kita untuk mendata hal tersebut, kemudian
memberikan pelatihan dan perlengkapan yang diperlukan. kita juga harus
meyakinkan mereka bahwa kita mampu memberi bantuan yang diperlukan,
sehingga mereaka percaya pada kita.
d. Communication
Mengkomunikasikan suatu informasi tentang bencana yang berharga
kepada publik merupakan hal yang utama dalam " risk management ".
Publik perlu tahu tentang bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi,
sehingga mereka bisa melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan bila
tjadi suatu masalah. Tanpa pengetahuan yang cukup, mereka sulit untuk
melakukan persiapan-persiapan tersebut. Oleh karena itu, seorang tenaga
profesional hendaknya mengetahui sudut pandang dan kebutuhan dari
masyarakat di sekitarnya, sehingga mereka bisa memberikan pertolongan
dengan tepat. Sudah banyak programprogram yang ditawarkan untuk
mengatasi dampak suatu bencana, termasuk pemberian informasi dan
edukasi kepada publik, namun kenyataannya dibutuhkan suatu keahlian
yang tinggi untuk berkomunikasi secara efektif kepada masyarakat agar
dapat merubah sikap dan perilakunya.
5. Triase bencana. Jelaskan apa yang membedakan dengan triase di Rumah Sakit.
Triage adalah proses pengelompokkan penderita-penderita sakit atau
cedera pada kejadian massal. Triage dari bahasa Prancis yang berarti
mengambil, memilih atau menyaring. Triage memegang peranan penting dalam
pengaturan darurat melalui pengelompokan dan memprioritaskan pasien secara
efisien sesuai dengan tampilan medis pasien.
Triage bertujuan menolong korban sebanyak mungkin agar mendapat
kesempatan terbesar untuk tetap hidup, mengidentifikasi pasien yang
membutuhkan tindakan resusitasi segera, menetapkan pasien ke area perawatan
untuk memprioritaskan dalam perawatan dan untuk memulai tindakan
diagnostik/terapi.
Triage lapangan, harusnya seorang first responder (yang pertama kali
menangani bencana) menguasai triage. Pentingnya triage untuk memilih siapa
yang harus ditangani lebih awal dan siapa yang terakhir Ini menjadi kunci utama
supaya penanganan bencana mampu menyelamatkan jiwa sebanyak-
banyaknya. Dalam konsep sebagai penolong, bahwa semua korban bencana
pastinya tak akan bisa kita selamatkan, pasti ada yang tidak bisa tertolong
karena tingkat keparahannya, namun tim penolong perlu menolong yang bisa di
tolong dengan segera sehingga mampu menyelamatkan yang survive. Saat tim
penolong terlalu sibuk dengan orang yang prediksi (prognosis) kehidupannya
kecil, maka bisa jadi orang dengan prognosis kehidupan yang lebih besar akan
mengarah ke kematian. Bila Triage ini dikuasai oleh orang awam, polisi,
pemadam kebakaran, petugas kesehatan daerah, puskesmas maka besar
kemungkinan banyak korban mampu untuk diselamatkan. Tidak perlu lagi para
petugas kesehatan di rumah sakit menghabiskan waktunya untuk menampung
korban yang telah meninggal akibat ikut terbawa dalam rombongan korban
bencana.
Metode Triage START adalah sistem triase yang sederhana dan mudah
digunakan atau diterapkan dalam pemilihan menggunakan warna merah,
kuning, hijau, hitam. Triage adalah tindakan memilih korban sebelum ditangani
dengan cepat berdasarkan berat luka yang harus diprioritaskan. Triase metode
START sangat diperlukan sebelum petugas kesehatan datang untuk membantu.
Untuk triage dalam Rumah Sakit biasanya dilakukan oleh perawat atau
dokter instalasi gawat darurat. Perbedaanya adalah pada triage bencana korban
yang memiliki peluang hidup lebih besar (hijau/kuning) didahulukan karena
bertujuan menyelamatkan sebanyak-banyaknya, sedangkan triage di rumah
sakit mendahulukan korban dalam kondisi kritis (merah). Pada triage bencana
lebih berfokus pada penentuan kategori/label pasien tanpa mendahulukan
penanganan, sedangkan triage di rumah sakit mendahulukan penanganan pada
korban yang dalam kondisi kritis.
Jurnal Keperawatan Silampari
Volume 5, Nomor 1, Desember 2021
e-ISSN: 2581-1975
p-ISSN: 2597-7482
DOI: https://doi.org/10.31539/jks.v5i1.3027

KUALITAS HIDUP DAN KESIAPSIAGAAN BENCANA GEMPA BUMI


PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI PANJANG
KELURAHAN TELUK SEPANG

Nurrobikha1, Novrikasari2, Yuanita Windusari3


Universitas Sriwijaya1,2,3
novrikasari@fkm.unsri.ac.id2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas hidup dan kesiapsiagaan bencana
gempa bumi Masyarakat di wilayah Pesisir Pantai Panjang Kelurahan Teluk Sepang
Bengkulu. Metode penelitian ini menggunakan penelitian observasional analitik dengan
desain cross-sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 82 orang (82%) memiliki
kualitas hidup yang baik dan 18 orang (18%) diantaranya memiliki kualitas hidup yang
kurang baik, dan sebagian besar responden 68 orang (68%) memiliki kesiapsiagaan
yang baik, dan 32 orang (32%) memiliki kesiasiagaan yang kurang baik. Hasil analisis
diperoleh hasil yang signifikan kualitas hidup dengan kesiapsiagaan (p=0,001, OR
7,28). Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa kualitas hidup merupakan faktor paling
dominan berhubungan dengan kesiapsiagaan bencana alam gempa bumi. Simpulan,
terdapat hubungan yang bermakna antara kualitas hidup terhadap kesiapsiagaan bencana
alam gempa bumi pada masyarakat di wilayah Pesisir Pantai Panjang Kelurahan Teluk
Sepang Bengkulu

Kata Kunci: Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi, Kualitas Hidup

ABSTRACT

This study aims to analyze the community's quality of life and earthquake disaster
preparedness in the Long Coastal Coast area, Teluk Sepang Village, Bengkulu. This
research method uses an analytical observational study with a cross-sectional design.
The results showed that 82 people (82%) had a good quality of life and 18 people
(18%) of them had a poor quality of life, and most of the respondents, 68 people (68%),
had good preparedness, and 32 people (32 %) had poor preparedness. The analysis
results obtained significant results of quality of life with readiness (p = 0.001, OR
7.28). The multivariate test results showed that the quality of life was the most dominant
factor associated with earthquake preparedness. In conclusion, there is a significant
relationship between quality of life and preparedness for natural earthquake disasters
in the Long Coastal area, Teluk Sepang Village, Bengkulu.

Keywords: Earthquake Disaster Preparedness, Quality of Life

513
2021. Jurnal Keperawatan Silampari 5 (1) 513-520

PENDAHULUAN
Indonesia secara geografis dan klimatologi mempunyai tantangan untuk melindungi
dan memperkuat masyarakat dari ancaman risiko bencana. Pergerakan tiga lempeng
tektonik besar, yaitu lempeng Indo Australia di bagian selatan, Lempeng Samudera Pasifik
di sebelah timur, lempeng Eurasia di sebelah utara (dimana disebagian besar wilayah
Indonesia) dan disertai daerah aliran sungai (5.590 DAS) mengakibatkan risiko bencana
geologi seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api (129 gunung api aktif) maupun
gerakan tanah/ longsor (Setyaningrum & Setyorini, 2020; BNPB, 2018).
Daya rusak yang ditimbulkan fenomena alam tersebut bahkan bisa menghancurkan
sebagian peradaban manusia. Untuk itu penanggulangannya dalam rangka mencegah dan
mengurangi dampak bencana alam haruslah meliputi deteksi dini fenomena alam penyebab
bencana sampai dengan management saat bencana melanda. Setiap bencana, baik bencana
alam maupun bencana akibat kelalaian manusia telah meninggalkan duka, trauma, kesan,
dan sejarah, baik terhadap korban maupun pihak lain yang menyaksikan atau mengetahui
kejadian bencana tersebut. Catatan sejarah bencana diperlukan sebagai pengingat, pelajaran
sekaligus peringatan bagi umat manusia. Bencana alam yang terjadi di Indonesia dalam
kurun waktu 10 tahun belakangan ini menunjukkan perningkatan frekuensi. Bencana alam
tersebut telah memakan banyak korban, baik meninggal dunia maupun luka serta
mengakibatkan banyak warga yang kehilangan tempat tinggal dan harta bendanya.
Bencana alam itu seringkali terjadi akibat aktivitas manusia yang mengganggu
kelestarian dan keseimbangan alam seperti deforestasi yang tidak terkendali, pembakaran
hutan, tata kelola sampah yang buruk, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sekarang adalah
saatnya untuk mulai memperhatikan keseimbangan alam sebagai salah satu upaya
pencegahan bencana alam yang mungkin dapat terjadi jika keseimbangan alam terganggu
oleh ulah manusia. Selain itu, untuk bencana alam yang sangat sulit diprediksi karena
merupakan rahasia besar-Nya, sehingga kita tidak dapat mencegahnya, hendaknya
menyadarkan manusia dengan meningkatkan kehati-hatian dan kesiapsiagaan, khususnya
untuk yang bertempat tinggal di daerah yang rawan dengan tidak lupa memohon
pertolongan-Nya (BPBD, 2020).
Gempa bumi merupakan bencana alam yang cukup sering terjadi di Indonesia.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2009-2019) gempa bumi telah terjadi sebanyak
216 kali dengan jumlah korban hilang dan meninggal dunia sebanyak 637 jiwa, 8.687
korban luka-luka, 459.855 pengungsi, 602.223 unit rumah warga rusak serta 131
fasilitas umum yang juga mengalami kerusakan (Hadi et al., 2019; BNPB, 2018).
Daerah yang termasuk rawan gempa di Indonesia antara lain; Aceh, Sumatera
Utara (Simeulue), Sumatera Barat - Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten Pandeglang,
Jawa Barat, Bantar Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT,
Kepulauan Aru, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Utara, Sangir Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Kepala Burung, Papua Utara,
Jayapura, Nabire, Wamena, dan Kalimantan (BPDB, 2020).
Provinsi Bengkulu terletak di kawasan Pesisir Pantai Barat Pulau Sumatera.
Provinsi ini memiliki garis pantai 525 006m yang langsung berhubungan dengan
Samudera Hindia. Secara geografis Provinsi Bengkulu terletak diantara 02°16' -
03°31'LS dan 101°01' - 103°41'BT. Wilayahnya terdiri dari 9 kabupaten, 1 kota, 126
kecamatan, 148 desa, dan 1.294 desa. Dengan luas 19.919,33 km2 . Provinsi Bengkulu
dibagi menjadi tiga wilayah fisiografis, yaitu dataran rendah di sepanjang pantai barat,
bukit-bukit di wilayah tengah, dan pegunungan di wilayah timur yang berbatasan
dengan Jambi dan Sumatera Selatan. Bengkulu juga terletak di zona tabrakan aktif dua

514
2021. Jurnal Keperawatan Silampari 5 (1) 513-520

lempeng tektonik, yaitu Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Merujuk pada
kondisi tersebut, Bengkulu merupakan provinsi rawan gempa bencana, gelombang
pasang, banjir, dan tanah longsor (BPBD, 2020).
Gempa bumi berkekuatan 8 skala richter terjadi pada tanggal 4 Juni 2020
menimbulkan bencana paling besar di Bengkulu. Kurun waktu Januari hingga Febriari
2020, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) stasiun Geofisika
Kepahiang mencatat telah terjadi 168 kali gempa yang mengguncang Propinsi
Bengkulu. Tujuh tahun setelah gempa itu, tepatnya pada tanggal 12 Sepember 2007,
gempa berkekuatan 7,9 skala Richter mewaskan 15 orang dan merusak 67.191
bangunan. September 2018 terjadi 5 kejadian gempa di wilayah Bengkulu dan
sekitarnya, gempa terbesar terjadi pada 12 September 2018 dengan skala 5,3 richter,
dengan lokasi 127 km Barat Daya Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan (BMKG, 2020).
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa Teluk Sepang merupakan salah
satu daerah di Propinsi Bengkulu yang juga beresiko menghadapi gempa dan tsunami
karena terletak di pesisir pantai. Fenomena yang terjadi tidak membuat warga setempat
untuk melakukan migrasi ke daerah lain di karenakan penduduk setempat merupakan
penduduk asli yang telah lama menetap di kawasan tersebut, dan sebagaian besar
masyarakat bekerja sebagai nelayan dan anak buah kapal, hal tersebut membuat mereka
tidak bersedia untuk bermigrasi ke daerah yang lebih aman.
Meski telah sering menghadapai bencana dan pihak pemerintah telah memberi
edukasi mengenai kesiapsiagaan bencana serta membangun selter, namun masyarakat
Teluk Sepang belum sepenuhnya memahami dan memanfaatkan fasilitas yang telah ada,
sehingga setiap terjadi bencana gempa korban jiwa dan materi masih terus ada dalam
jumlah yang cukup banyak.
Melakukan sebuah studi kualitas hidup korban gempa menunjukkan bahwa gempa
menimbulkan dampak sosial dan psikologis pada seluruh komunitas sangat besar.
Kurangnya prediktabilitas, pengingat kehancuran dan kebutuhan untuk pindah karena
kehancuran rumah dapat mengakibatkan efek mulai dari keputusasaan hingga masalah
kesehatan mental yang serius dengan memperburuk reaksi emosional yang terkait
dengan trauma. Penelitian ini juga menggunakan Skor WHOQOL-BREF dalam
mengukur kualitas hidup yang hasilnya menunjukkan bahwa kelompok usia yang lebih
tua dan berpendidikan rendah memiliki skor yang cukup tinggi dalam skor QOL pasca
trauma. Pada kategori usia muda dan menengah tingkat hubungan sosial cenderung
menurun. Dari keseluruhan hasil penelitian disimpulkan bahwa gempa berdampak pada
menurunnya kualitas hidup masyarakat korban gempa (Ardiani et al., 2019).
Rajendran et al., (2021) menyatakan bahwa setiap pekerja mengharapkan
keselamatan di lingkungan tempat kerja. Setiap organisasi harus mengidentifikasi
bahaya dan menentukan risiko yang terkait dengannya dan merancang fasilitas untuk
mengurangi risiko tersebut. Teknologi memiliki potensi untuk memecahkan setiap
masalah yang dihadapi masyarakat dibidang kesehatan dan keselamatan kerja dan
berperan dalam mengurangi kecelakaan kerja.
Beberapa penelitian terkait yang telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa
kualitas hidup memiliki hubungan terhadap kesiapsiagaan bencana. Selain mempersiapkan
kualitas hidup masyarakat, pemerintah Kota Bengkulu berusaha untuk mempersiapkan
lingkungan pemukiman yang disesuaikan dengan keadaan Teluk Sepang yang
merupakan daerah rawan bencana, pemerintah Kota Bengkulu melakukan pembangunan
jalur evakuasi pada akhir 2014 yang menghubungkan Kelurahan Teluk Sepang dengan

515
2021. Jurnal Keperawatan Silampari 5 (1) 513-520

Padang Serai, jalur evakuasi ini dibangun atas dukungan pemerintah pusat melalui
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan di atas maka penulis merasa tertarik
untuk melakukan penelitian guna mengetahui sejauh mana kualitas hidup masyarakat di
Teluk Sepang yang kita ketahui merupakan daerah rawan gempa, apakah edukasi yang
diberikan, fasilitas dan prasarana yang telah disediakan pemerintah, tepat sasaran dan
tepat guna sehingga masyarakat telah memiliki kesiapsiagaan mengahadapi bencana.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kualitas hidup terhadap
kesiapsiagaan bencana gempa bumi pada masyarakat Pesisir Pantai Panjang Kelurahan
Teluk Sepang Bengkulu. Dari penelitian ini kita ketahui penemuan baru untuk bisa
dilanjutkan di masa mendatang, lebih dari 85 penduduk kelurahan teluk sepang
Bengkulu menggunakan air galon isi ulang dan PDAM untuk dikonsumsi, bahkan ada
yang mengkonsumsi air hujan. Air yang berasal dari sumur gali ataupun sumur bor,
jernih tetapi sedikit berasa jadi masyarakat Teluk Sepang tidak nyaman dan tidak
terbiasa meminumnya. Hal ini tentu lambat laun akan dapat mempengaruhi kesehatan
masyarakat Teluk Sepang bila ada yang memaksakan diri untuk tetap meminum air dari
sumur gali. Tetapi Alhamdulillah air tersebut digunakan untuk kebutuhan MCK dan
sangat sedikit sekali yang menggunakan untuk dijadikan air minum atau kebutuhan
memasak. Hal ini berhubungan dengan kualitas hidup, karena kesehatan juga ditentukan
dari layak tidaknya konsumsi air minum kita sehari hari. Mungkin mendatang bisa
diteliti kembali kualitas air di daerah ini.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain cross-sectional.
Penelitian ini dilakukan di Teluk Sepang Bengkulu pada bulan Oktober tahun 2021.
Sampel penelitian ini adalah 100 orang kepala keluarga yang berdomisili di Kelurahan
Teluk Sepang Kota Bengkulu dengan menggunakan teknik proportional random
sampling, yakni pengambilan sampel berdasarkan proporsi KK setiap RT di Kelurahan
Teluk Sepang. Analisis data, dilakukan dengan menggunakan analisis univariat,
bivariat, dan multivariat.

HASIL PENELITIAN
Analisis Univariat

Tabel. 1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Kepala Keluarga

Variabel N %
1. Usia
a. 25 -40 Tahun 34 34
b. 41- 65 Tahun 66 66
2. Pendidikan
a. Rendah 56 56
b. Tinggi 44 44
3. Pekerjaan
a. ABK 47 47
b. Petani 18 18
c. Pedagang 16 16
d. Buruh 9 9
e. ASN 4 4
f. Karyawan Swasta 6 6

516
2021. Jurnal Keperawatan Silampari 5 (1) 513-520

4. Kualitas Hidup
a. Baik 82 82
b. Kurang baik 18 18
5. Lingkungan Pemukiman
a. Baik 78 78
b. Kurang baik 22 22
6. Kesiapsiagaan
a. Baik 68 68
b. Kurang baik. 32 32
Total 100 100

Berdasarkan pada tabel 1 diketahui dari 100 orang responden didapati 82 orang
(82%) memiliki kualitas hidup yang baik dan 18 orang (18%) diantaranya memiliki
kualitas hidup yang kurang baik, dan sebagian besar responden 68 orang (68%)
memiliki kesiapsiagaan yang baik, dan 32 orang (32%) memiliki kesiasiagaan yang
kurang baik.

Analisis Bivariat
Hubungan Kualitas Hidup dengan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi pada
Masyarakat Pesisir Pantai Panjang Kelurahan Teluk Sepang Bengkulu
Tabel. 2
Hubungan Kualitas Hidup dengan Kesiapsiagaan
Bencana Gempa Bumi

Kesiapsiagaan
No Kualitas hidup
Baik Kurang baik p. value OR
N %
f % f %
1. Baik 65 79,2 17 20,8 82 100
2. Kurang Baik 3 16,6 15 83,4 18 100 0,001 7,280
Total 68 32 100

Berdasarkan tabel 2 diperoleh hasil bahwa dari 82 responden yang memiliki


kualitas hidup baik terdapat 65 orang (79,2%) dengan kesiapsiagaan baik dan 17 orang
(20,8%) dengan kesiapsiagaan kurang baik, sedangkan dari 18 responden yang memiliki
kualitas hidup kurang baik terdapat 3 orang (16,6%) dengan kesiapsiagaan baik dan 15
orang (83,4%) dengan kesiapsiagaan kurang baik. Hasil analisis diperoleh hasil yang
signifikan kualitas hidup dengan kesiapsiagaan (p=0,001, OR 7,28), sehingga ada
hubungan antara kualitas hidup dengan kesiapsiagaan dengan resiko7,28 responden
yang memiliki kualitas hidup baik akan memiliki kesiapsiagaan yang baik.

Analisis Multivariat

Tabel. 3
Analisis Multivariat Metode Regresi Logistik

Variabel independen B p OR 95%CI


Usia 2,453 0,032 7,286 2,453 1. 6231
Pendidikan 2,071 0,023 7,932 2,071 1.0710
Pekerjaan 2,253 0,014 7,861 2,453 1.4328
Kualitas hidup 18,585 0,001 18,000 18,585 8.3210
Lingkungan pemukiman 21,336 0,012 16,845 9,336 6.3241
Constant 1.728 2.714 3.045

517
2021. Jurnal Keperawatan Silampari 5 (1) 513-520

Pada tabel regresi logistik biner menunjukkan variabel yang paling berpengaruh
terhadap kesiapsiagaan yaitu kualitas hidup 8,321 kali responden yang memiliki kualitas
hidup baik akan memiliki kesiapsiagaan yang baik.

PEMBAHASAN
Berdasarkan pada tabel 1 diperoleh hasil sebagian besar responden kualitas hidup
responden 82 orang (82%) baik. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden yang
mengatakan bahwa dalam 2 minggu terakhir rasa sakit fisik sama sekali tidak
menghalangi untuk beraktivitas, jarang membutuhkan terapi medis untuk menjalankan
aktivitas sehari-hari sehingga sangat menikmati hidup dan merasa hidup lebih
bermakna. Selain itu, responden juga mengatakan bahwa memiliki cukup uang untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, memiliki kesempatan untuk rekreasi sehingga merasa
puas dalam tidur dan dalam menjalin hubungan sosial sehari-hari. Kepuasan terhadap
tempat tinggal, transportasi dan pelayanan kesehatan juga dirasakan oleh responden.
Responden juga mengatakan jarang merasa kesepian, putus asa, cemas ataupun depresi.
Berdasarkan kesiapsiagaan bencana diketahui bahwa 68 orang (68%) dengan
kategori baik. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden yang mengatakan bahwa ada
pembagian tugas dalam tindakan penyelamatan apabila terjadi kondisi darurat, tersedia
peta tempat jalur evakuasi keluarga dan tempat berkumpulnya keluarga apabila terjadi
bencana gempa bumi, ada kerabat/keluarga yang menyediakan tempat pengungsian
sementara apabila terjadi bencana gempa bumi. Selain itu, tersedia kotak P3K atau obat
obatan penting untuk pertolongan pertama, ada alat komunikasi dan sudah memiliki
nomor-nomor penting yang bisa dihubungi dalam keadaan darurat. Beberapa responden
juga mengatakan pernah memperoleh informasi tentang kesiapsiagaan bencana dalam
bentuk pelatihan dan penyuluhan (World Health Organization, 2018).
Kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting didalam pengelolaan
bencana alam. Termasuk didalamnya dalam menghadapi bencana alam gempa bumi.
setiap komunitas hendaknya memiliki kesiapsiagaan yang tinggi terhadap ancaman
resiko bencana. Terutama di negara kita yang notabene adalah kawasan yang memiliki
ancaman potensi bencana gempa bumi yang tinggi. Kesiapsiagaan mutlak diperlukan,
mengingat dalam penanggulangan bencana telah terjadi pergeseran paradigma dari
fatalistic responsive yang berorientasi pada respon kedaruatan akibat bencana menuju
kepada proactive preparedness yaitu penanggulangan bencana yang dilakukan sejak
dini melalui kesiapsiagaan hingga tahap pemulihan sosial. Paradigma ini menuntut
pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama melaksanakan upaya pengurangan
resiko (Anam et al., 2018; Raja et al., 2017).
Peristiwa bencana yang pernah dialami oleh seseorang bisa menjadi stimulus yang
memberikan pengalaman dan mempengaruhi tingkat kesiapan seseorang dalam
menghadapi bencana. Bencana yang diterima seseorang akan memberikan proses
pembelajaran yang bermanfaat bagi individu dalam membentuk perilaku kesiapan
dalam menghadapi bencana berikutnya. Proses pembelajaran tersebut tercermin dari
adanya langkah persiapan yang dilakukan masyarakat, sehingga dapat meminimalisir
korban dan dampak psikologis dari bencana. Perilaku kesiapan ini juga didukung oleh
kemampuan individu untuk bangkit kembali dari peristiwa trauma yang pernah terjadi.
Kemampuan inilah yang kemudian disebut dengan resiliensi. Semua orang mempunyai
risiko terhadap potensi bencana, sehingga penanganan bencana merupakan urusan
semua pihak (everybody’s business). Oleh sebab itu, perlu dilakukan berbagi peran dan
tanggung jawab (shared responsibility) dalam peningkatan kesiapsiagaan di semua

518
2021. Jurnal Keperawatan Silampari 5 (1) 513-520

tingkatan, baik anak, remaja, dan dewasa. Seperti yang telah dilakukan di Jepang, untuk
menumbuhkan kesadaran kesiapsiagaan bencana. Dalam menghadapi bencana alam ada
istilah kelompok rentan. Kelompok rentan adalah suatu keadaan atau kondisi
lingkungan dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan
ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana (Michiko, 2020).
Kerentanan bagi perempuan menjadi ganda karena peran kodrat, seperti haid,
hamil, melahirkan dan memberikan ASI yang jika tidak diprioritaskan akan berpotensi
menyebabkan ketidakadilan gender, dan juga peran gender yang diharapkan oleh
masyarakat kepada perempuan membuat mereka kehilangan akses, partisipasi, kontrol
terhadap pengambilan keputusan dan tidak mendapat manfaat dari penyelenggaraan
penanggulangan bencana (Ardiani et al., 2019).
Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu; kerentanan fisik
(infrastruktur), menggambarkan suatu kondisi fisik yang rawan terhadap bahaya
(hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indikator, antara
lain; persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan
konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi,
lingkungan pertanian, hutan, dan lain-lain. Kerentanan sosial kependudukan
menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya. Pada
kondisi sosial yang rentan, maka jika bencana terjadi dapat dipastikan akan
menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa indikator kerentanan sosial,
antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia
tua-balita dan penduduk perempuan, kelembagaan masyarakat, tingkat pendidikan, dan
lain-lain. Kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan
ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan ekonomi
diantaranya, mata pencaharian masyarakat, tingkat pengangguran, kesenjangan tingkat
kesejahteraan. Kerentanan lingkungan menggambarkan tingkat ketersediaan/kelangkaan
sumber daya (lahan, air, udara) serta kerusakan lingkungan yang terjadi (Jacob &
Sandjaya , 2018).
Berdasarkan tabel bivariat diperoleh hasil bahwa dari 82 responden yang memiliki
kualitas hidup baik terdapat 65 orang (79,2%) dengan kesiapsiagaan baik dan 17 orang
(20,8%) dengan kesiapsiagaan kurang baik, sedangkan dari 18 responden yang memiliki
kualitas hidup kurang baik terdapat 3 orang (16,6%) dengan kesiapsiagaan baik dan 15
orang (83,4%) dengan kesiapsiagaan kurang baik. Hasil analisis diperoleh hasil yang
signifikan kualitas hidup dengan kesiapsiagaan (p=0,001, OR 7,28) dengan artian ada
hubungan antara kualitas hidup dengan kesiapsiagaan dengan resiko7,28 responden
yang memiliki kualitas hidup baik akan memiliki kesiapsiagaan yang baik.
Rajendran et al., (2021) menyatakan bahwa setiap pekerja mengharapkan
keselamatan di lingkungan tempat kerja. Setiap organisasi harus mengidentifikasi
bahaya dan menentukan risiko yang terkait dengannya dan merancang fasilitas untuk
mengurangi risiko tersebut. Teknologi memiliki potensi untuk memecahkan setiap
masalah yang dihadapi masyarakat. di bidang kesehatan dan keselamatan kerja dan
berperan dalam mengurangi kecelakaan kerja.

SIMPULAN
Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas hidup, dengan kesiapsiagaan
menghadapi bencana gempa bumi pada masyarakat Teluk Sepang Kota Bengkulu.

519
2021. Jurnal Keperawatan Silampari 5 (1) 513-520

SARAN
Perlu ditingkatkannya upaya promosi kesehatan terkait kesehatan dan
keselamatan kerja dan pelatihan kesiapsiagaan menghadapi bencana serta meningkatan
kualitas sarana dan prasarana bagi masyarakat Teluk Sepang untuk mengurangi resiko
kerugian dan korban pada bencana yang mungkin akan datang di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA
Anam, K., Mutholib, A., Setiyawan, F., Andini, B, A., & Sefniwati, S. (2018). Kesiapan
Institusi Lokal dalam Menghadapi Bencana Tsunami: Studi Kasus Kelurahan Air
Manis dan Kelurahan Purus, Kota Padang. Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 6(1),
15-29. DOI: 10.14710/jwl.6.1.15-29
Ardiani, H., Lismayanti, L., & Rosnawaty, R. (2019). Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kualitas Hidup Lansia di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari
Kota Tasikmalaya Tahun 2014. Healthcare Nursing Journal, 1(1), pp. 42–50.
https://journal.umtas.ac.id/index.php/healtcare/article/view/301
BMKG. (2020). Stasiun Geofisika Kepahiang. https://www.bmkg.go.id/profil/stasiun-
upt.bmkg?id=74
BNPB. (2018). Panduan Kesiapsiagaan Bencana untuk Keluarga. Retrieved from
https://siaga.bnpb.go.id/hkb/pocontent/uploads/documents/Buku_Pedoman_Kesia
psiagaan_Keluarga_FA_A5.pdf
BPBD. (2020). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD),
Http://Bpbd.Semarangkota.Go.Id, (19). Available at:
https://sakip.bengkulukota.go.id/dok/1603268481_LKJIP BPBD Kota Bengkulu
2019 sudah final - Copy.pdf
Hadi, H., Agustina, S., & Subhani, A. (2019). Penguatan Kesiapsiagaan Stakeholder
dalam Pengurangan Risiko Bencana Gempabumi. Jurnal Geodika, 3(1), 30-40.
https://e-journal.hamzanwadi.ac.id/index.php/gdk/article/view/1476/0
Jacob, D. E., & Sandjaya, S. (2018). Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Masyarakat Karubaga District Sub District Tolikara Propinsi Papua. Jurnal
Nasional Ilmu Kesehatan (JNIK), 1(69), 1–16.
https://journal.unhas.ac.id/index.php/jnik/article/view/4281
Michiko, S. (2020). Keselamatan Kerja dalam Pelayanan Penanggulangan Bencana di
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kab Sidoarjo. DIA: Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik, 16(2), 40. DOI: 10.30996/dia.v16i2.1922
Raja, Z, D, G., Hendrawan, H., & Sunardi. S. (2017). Upaya Penanggulangan Risiko
dan Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Anacaman Bencana Tanah Longsor.
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, 8(2), 103-116.
http://jlbg.geologi.esdm.go.id/index.php/jlbg/article/view/176
Rajendran, S., Giridhar, S., Chaudhari, S., & Gupta, P. K. (2021). Technological
Advancements in Occupational Health and Safety. Measurement: Sensors.
Elsevier Ltd, 15(4), 100045. doi: 10.1016/j.measen.2021.100045
Setyaningrum, N., & Setyorini, A. (2020). Tingkat Kesiapsiagaan Kepala Keluarga
dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi di Kecamatan Pleret dan Piyungan
Kabupaten Bantul. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad, 13(1), 84-92. https://e-
jurnal.stikesalirsyadclp.ac.id/index.php/jka/article/view/61
World Health Organization (2018) Occupational Safety and Health in Public Health
Emergencies:, Ginebra, Suiza: World Health Organization. Available at:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/275385/9789241514347-eng.pdf

520
UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA AJAR KEPERAWATAN BENCANA
KELAS PROGRAM KHUSUS
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH PONTIANAK

Nama : Sumianti
NIM : SNR20215024

1. Carilah 1 jurnal berbahasa Indonesia tentang keperawatan bencana (tahun 2021)


2. Carilah lembar checklist untuk melakukan critical appraisal (berdasarkan metode
penelitian pada jurnal)
3. Lakukan critical appraisal pada jurnal tersebut
4. Simpulkan hasil critical appraisal jurnal tersebut

Jurnal
Laporan Critical Appraisal

Jurnal : Kualitas Hidup dan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi pada


Masyarakat Pesisir Pantai Panjang Kelurahan Teluk Sepang
Penulis : Nurrobikha, Novrikasari, Windusari.
Tahun : Desember 2021

Analisis PICO
Problem / patient : 100 orang kepala keluarga yang berdomisili di Kelurahan
Teluk Sepang Kota Bengkulu
Intervension : tidak dipaparkan secara jelas hanya saja di bagian diskusi
dikatakan bahwa responden menjawab beberapa pertanyaan
serta terlihat beberapa hasil observasi di lapangan.
Comparison : (-)
Outcome : menganalisis hubungan kualitas hidup terhadap kesiapsiagaan
bencana gempa bumi pada masyarakat Pesisir Pantai Panjang
Kelurahan Teluk Sepang Bengkulu.

a. Judul dan abstrak


Judul dalam jurnal ini dapat menunjukkan desain penelitian yang digunakan yaitu
penelitian observasional analitik dengan desain cross-sectional.
Pada bagian abstrak terdapat ringkasan informasi berupa tujuan penelitian, metode,
hasil dan kesimpulan. Di bagian abstrak tidak terdapat latar belakang dilakukan
penelitian.

b. Introduksi
1) Latar belakang
Teluk Sepang merupakan salah satu daerah di Propinsi Bengkulu yang juga
beresiko menghadapi gempa dan tsunami karena terletak di pesisir pantai.
Fenomena yang terjadi tidak membuat warga setempat untuk melakukan
migrasi ke daerah lain di karenakan penduduk setempat merupakan penduduk
asli yang telah lama menetap di kawasan tersebut, dan sebagaian besar
masyarakat bekerja sebagai nelayan dan anak buah kapal, hal tersebut membuat
mereka tidak bersedia untuk bermigrasi ke daerah yang lebih aman. Meski telah
sering menghadapai bencana dan pihak pemerintah telah memberi edukasi
mengenai kesiapsiagaan bencana serta membangun selter, namun masyarakat
Teluk Sepang belum sepenuhnya memahami dan memanfaatkan fasilitas yang
telah ada, sehingga setiap terjadi bencana gempa korban jiwa dan materi masih
terus ada dalam jumlah yang cukup banyak. Dari keseluruhan hasil penelitian
disimpulkan bahwa gempa berdampak pada menurunnya kualitas hidup
masyarakat korban gempa (Ardiani et al., 2019). Beberapa penelitian terkait
yang telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup memiliki
hubungan terhadap kesiapsiagaan bencana.
Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan di atas maka penulis merasa
tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui sejauh mana kualitas
hidup masyarakat di Teluk Sepang yang kita ketahui merupakan daerah rawan
gempa, apakah edukasi yang diberikan, fasilitas dan prasarana yang telah
disediakan pemerintah, tepat sasaran dan tepat guna sehingga masyarakat telah
memiliki kesiapsiagaan mengahadapi bencana.
2) Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kualitas hidup terhadap
kesiapsiagaan bencana gempa bumi pada masyarakat Pesisir Pantai Panjang
Kelurahan Teluk Sepang Bengkulu.
c. Metode
1) Study desain
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain cross-sectional.
Penelitian ini dilakukan di Teluk Sepang Bengkulu pada bulan Oktober tahun
2021.
2) Settings
Penelitian ini dilakukan di Teluk Sepang Bengkulu pada bulan Oktober tahun
2021.
3) Participant
Sampel penelitian ini adalah 100 orang kepala keluarga yang berdomisili di
Kelurahan Teluk Sepang Kota Bengkulu dengan menggunakan teknik
proportional random sampling, yakni pengambilan sampel berdasarkan
proporsi KK setiap RT di Kelurahan Teluk Sepang.
4) Variabels (tidak didapatkan pada jurnal bagian metode)
Dalam jurnal pada bagian metode ini tidak dijelaskan hasil, eksposur dan hasil
dari penelitian tersebut.
5) Data sources / measurement
Pada jurnal ini di bagian metode tidak dipaparkan proses pengumpulan data
hanya saja dikatakan bahwa analisis data, dilakukan dengan menggunakan
analisis univariat, bivariat, dan multivariat.
6) Bias
Pada jurnal ini di bagian metode tidak dijelaskan sumber-sumber yang
memberikan potensi bias dan upaya apa saja yang dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut.
7) Study sizes
Dalam jurnal ini pada bagian metode tidak ditemukan data tentang study sizes.
8) Quantitative variabels
Tidak ditemukan di bagian metode.
9) Statistical methods
Dikatakan bahwa analisis data, dilakukan dengan menggunakan analisis
univariat, bivariat, dan multivariat.

d. Hasil
1) Participants / peserta
Sampel penelitian ini adalah 100 orang kepala keluarga yang berdomisili di
Kelurahan Teluk Sepang Kota Bengkulu. Usia rata-rata Kepala Keluarga yang
menjadi sampel penelitian berkisar dari usia 41-65 tahun (66%) dimana
sebagian besar berpendidikan rendah (56%) dan mayoritas bekerja sebagai
ABK (47%).
2) Deskriptif data
Tidak dijabarkan dalam jurnal ini.
3) Hasil data
Dari 100 orang responden didapati 82 orang (82%) memiliki kualitas hidup
yang baik dan 18 orang (18%) diantaranya memiliki kualitas hidup yang kurang
baik, dan sebagian besar responden 68 orang (68%) memiliki kesiapsiagaan
yang baik, dan 32 orang (32%) memiliki kesiasiagaan yang kurang baik.
4) Hasil utama
Dari 82 responden yang memiliki kualitas hidup baik terdapat 65 orang (79,2%)
dengan kesiapsiagaan baik dan 17 orang (20,8%) dengan kesiapsiagaan kurang
baik, sedangkan dari 18 responden yang memiliki kualitas hidup kurang baik
terdapat 3 orang (16,6%) dengan kesiapsiagaan baik dan 15 orang (83,4%)
dengan kesiapsiagaan kurang baik. Hasil analisis diperoleh hasil yang
signifikan kualitas hidup dengan kesiapsiagaan (p=0,001, OR 7,28), sehingga
ada hubungan antara kualitas hidup dengan kesiapsiagaan dengan resiko7,28
responden yang memiliki kualitas hidup baik akan memiliki kesiapsiagaan yang
baik.
5) Analisis lainnya
Dari penelitian ini diketahui penemuan baru untuk bisa dilanjutkan di masa
mendatang, lebih dari 85 penduduk kelurahan teluk sepang Bengkulu
menggunakan air galon isi ulang dan PDAM untuk dikonsumsi, bahkan ada
yang mengkonsumsi air hujan. Air yang berasal dari sumur gali ataupun sumur
bor, jernih tetapi sedikit berasa jadi masyarakat Teluk Sepang tidak nyaman dan
tidak terbiasa meminumnya. Hal ini tentu lambat laun akan dapat
mempengaruhi kesehatan masyarakat Teluk Sepang bila ada yang memaksakan
diri untuk tetap meminum air dari sumur gali. Tetapi air tersebut digunakan
untuk kebutuhan MCK dan sangat sedikit sekali yang menggunakan untuk
dijadikan air minum atau kebutuhan memasak. Hal ini berhubungan dengan
kualitas hidup, karena kesehatan juga ditentukan dari layak tidaknya konsumsi
air minum kita sehari hari. Mungkin mendatang bisa diteliti kembali kualitas
air di daerah ini.

e. Diskusi
1) Key result
Diperoleh hasil sebagian besar responden kualitas hidup responden 82 orang
(82%) baik. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden yang mengatakan
bahwa dalam 2 minggu terakhir rasa sakit fisik sama sekali tidak menghalangi
untuk beraktivitas, jarang membutuhkan terapi medis untuk menjalankan
aktivitas sehari-hari sehingga sangat menikmati hidup dan merasa hidup lebih
bermakna. Selain itu, responden juga mengatakan bahwa memiliki cukup uang
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, memiliki kesempatan untuk rekreasi
sehingga merasa puas dalam tidur dan dalam menjalin hubungan sosial sehari-
hari. Kepuasan terhadap tempat tinggal, transportasi dan pelayanan kesehatan
juga dirasakan oleh responden. Responden juga mengatakan jarang merasa
kesepian, putus asa, cemas ataupun depresi.
Berdasarkan kesiapsiagaan bencana diketahui bahwa 68 orang (68%) dengan
kategori baik. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden yang mengatakan
bahwa ada pembagian tugas dalam tindakan penyelamatan apabila terjadi
kondisi darurat, tersedia peta tempat jalur evakuasi keluarga dan tempat
berkumpulnya keluarga apabila terjadi bencana gempa bumi, ada
kerabat/keluarga yang menyediakan tempat pengungsian sementara apabila
terjadi bencana gempa bumi. Selain itu, tersedia kotak P3K atau obat obatan
penting untuk pertolongan pertama, ada alat komunikasi dan sudah memiliki
nomor-nomor penting yang bisa dihubungi dalam keadaan darurat. Beberapa
responden juga mengatakan pernah memperoleh informasi tentang
kesiapsiagaan bencana dalam bentuk pelatihan dan penyuluhan (World Health
Organization, 2018).
Kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting didalam pengelolaan
bencana alam. Termasuk didalamnya dalam menghadapi bencana alam gempa
bumi. Setiap komunitas hendaknya memiliki kesiapsiagaan yang tinggi
terhadap ancaman resiko bencana.
Peristiwa bencana yang pernah dialami oleh seseorang bisa menjadi stimulus
yang memberikan pengalaman dan mempengaruhi tingkat kesiapan seseorang
dalam menghadapi bencana. Bencana yang diterima seseorang akan
memberikan proses pembelajaran yang bermanfaat bagi individu dalam
membentuk perilaku kesiapan dalam menghadapi bencana berikutnya. Proses
pembelajaran tersebut tercermin dari adanya langkah persiapan yang dilakukan
masyarakat, sehingga dapat meminimalisir korban dan dampak psikologis dari
bencana. Perilaku kesiapan ini juga didukung oleh kemampuan individu untuk
bangkit kembali dari peristiwa trauma yang pernah terjadi. Kemampuan inilah
yang kemudian disebut dengan resiliensi. Semua orang mempunyai risiko
terhadap potensi bencana, sehingga penanganan bencana merupakan urusan
semua pihak (everybody’s business). Oleh sebab itu, perlu dilakukan berbagi
peran dan tanggung jawab (shared responsibility) dalam peningkatan
kesiapsiagaan di semua tingkatan, baik anak, remaja, dan dewasa.
2) Limitations
Tidak dipaparkan tentang keterbatasan dalam penelitian ini.
3) Interpretation
Berdasarkan tabel bivariat diperoleh hasil bahwa dari 82 responden yang
memiliki kualitas hidup baik terdapat 65 orang (79,2%) dengan kesiapsiagaan
baik dan 17 orang (20,8%) dengan kesiapsiagaan kurang baik, sedangkan dari
18 responden yang memiliki kualitas hidup kurang baik terdapat 3 orang
(16,6%) dengan kesiapsiagaan baik dan 15 orang (83,4%) dengan
kesiapsiagaan kurang baik. Hasil analisis diperoleh hasil yang signifikan
kualitas hidup dengan kesiapsiagaan (p=0,001, OR 7,28) dengan artian ada
hubungan antara kualitas hidup dengan kesiapsiagaan dengan resiko7,28
responden yang memiliki kualitas hidup baik akan memiliki kesiapsiagaan yang
baik. Kesimpulan : terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas hidup,
dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi pada masyarakat
Teluk Sepang Kota Bengkulu.
4) Generalisability
Beberapa penelitian terkait yang telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa
kualitas hidup memiliki hubungan terhadap kesiapsiagaan bencana. Selain
mempersiapkan kualitas hidup masyarakat, pemerintah Kota Bengkulu
berusaha untuk mempersiapkan lingkungan pemukiman yang disesuaikan
dengan keadaan Teluk Sepang yang merupakan daerah rawan bencana,
pemerintah Kota Bengkulu melakukan pembangunan jalur evakuasi pada akhir
2014 yang menghubungkan Kelurahan Teluk Sepang dengan Padang Serai,
jalur evakuasi ini dibangun atas dukungan pemerintah pusat melalui Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pemerintah Kota Bengkulu untuk
mengetahui apakah edukasi yang diberikan, fasilitas dan prasarana yang telah
disediakan pemerintah, tepat sasaran dan tepat guna sehingga masyarakat telah
memiliki kesiapsiagaan mengahadapi bencana.

f. Informasi Lain
Pada jurnal ini tidak terdapat info lainnya mengenai sumber pendanaan, peran
penyandang dana dalam kontribusinya pada jurnal / penelitian ini.

Kesimpulan dari hasil Critical Appraisal :


Dalam jurnal penelitian ini memiliki kelemahan yaitu tidak memaparkan proses
pengumpulan data secara terperinci, alat ukur yang digunakan tidak dipaparkan secara
detail sehingga membuat pembaca bertanya-tanya akan proses pengumpulan datanya.
Diluar hal tersebut penelitian ini sangat baik karena dapat mengukur tingkat
kesiapsiagaan penduduk saat bencana.

Anda mungkin juga menyukai