Anda di halaman 1dari 52

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kecemburuan

1. Pengertian Kecemburuan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecemburuan berasal dari kata

dasar cemburu yang berarti kurang senang, curiga, kurang percaya terhadap

sesuatu. Kata kecemburuan (jealousy) berasal dari bahasa Perancis jaloux atau

jalousie yang terbentuk dari bahasa Latin zelosus dan zelos dalam bahasa Yunani

yang berarti membara, hangat, terbakar atau keinginan yang kuat (Buss, 2000).

White dan Mullen (dalam Adams dan Jones, 1999) menyatakan, bahwa

cemburu merupakan pikiran, emosi dan tindakan kompleks yang muncul karena

adanya perasaan kehilangan atau ancaman terhadap harga diri dan eksistensi atau

kualitas hubungan romantis. Senada dengan White dan Mullen, Clanton dan

Smith (1998) menyatakan, bahwa kecemburuan adalah sebuah reaksi protektif

terhadap ancaman yang datang terhadap hubungan atau kualitas hubungan

tersebut. Reaksi protektif tersebut melibatkan pikiran, emosi, atau tindakan (dalam

Stets dan Turner, 2007).

Pines (1988) menyatakan, kecemburuan adalah reaksi kompleks dalam

merespons ancaman yang akan mengakhiri atau menghancurkan suatu hubungan

yang dianggap penting. Kecemburuan merupakan reaksi terhadap ancaman akan

kehilangan kasih sayang dari seseorang yang berharga karena kasih sayang

tersebut diberikan kepada orang lain (Strongman, 2003). Menurut Daly dan

10
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

Wilson, cemburu merupakan sebuah keadaan (state) akibat adanya ancaman yang

dirasakan terhadap suatu hubungan, yang kemudian memotivasi munculnya

perilaku tertentu yang bertujuan untuk membalas kecemburuan tersebut (Buss,

2000).

Kecemburuan merupakan pengalaman emosi yang negatif akibat adanya

peluang kehilangan hubungan karena rival yang nyata maupun imajiner (Salovey,

1991). Lebih lanjut, DeSteno dan Salovey (dalam Trnka, Balcar, dan Kuska,

2011) memandang kecemburuan sebagai penyimpangan keadaan suasana hati,

yang semakin meningkat ketika hubungan terancam hancur dan ditandai dengan

perasaan marah, sedih, dan ketakutan.

Kecemburuan melibatkan banyak perasaan, namun terdapat tiga hal yang

paling tepat dalam mendefinisikan kecemburuan, yaitu perasaan sakit hati, marah

dan takut. Perasaan sakit hati, marah dan takut tersebut merupakan hasil dari

adanya ancaman akan kehilangan hubungan yang dimiliki. Perasaan sakit hati

terjadi karena adanya persepsi, bahwa pasangan tidak menghargai komitmen yang

telah disepakati; adapun perasaan takut dan cemas muncul akibat adanya

kemungkinan yang buruk akan ditinggalkan dan kehilangan pasangan (Guerrero

dan Andersen, 1998).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa kecemburuan

merupakan reaksi kompleks yang melibatkan pikiran, emosi dan perilaku sebagai

respons terhadap ancaman nyata maupun imajiner yang dirasakan pada suatu

hubungan yang dianggap berharga.


perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

2. Faktor-faktor Penyebab Kecemburuan

Faktor penyebab terjadinya kecemburuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor yang

berasal dari luar individu seperti situasi dan lingkungan sekitar, sedangkan faktor

internal meliputi faktor personal yang ada pad diri tiap-tiap individu. Adapun

faktor eksternal dan internal tersebut adalah sebagai berikut.

a. Faktor eksternal

Buss (dalam Brehm, Miller, Perlman, dan Campbell, 2002) menjelaskan

faktor eksternal berdasarkan stimulus terjadinya kecemburuan. Pada dasarnya

stimulus yang dapat menimbulkan kecemburuan diakibatkan oleh ketidaksetiaan

(infidelity) pasangan. Buss membagi stimulus tersebut dalam dua bentuk, yaitu:

1) Kecemburuan seksual

Kecemburuan terjadi karena adanya ketidaksetiaan seksual oleh pasangan.

Ketidaksetiaan seksual adalah ketidaksetiaan yang dilakukan pasangan

bersama pihak ketiga yang di dalamnya melibatkan hubungan fisik seperti

berpelukan, berciuman dan hubungan seksual.

2) Kecemburuan emosional

Kecemburuan emosional merupakan kecemburuan yang timbul karena

adanya ketidaksetiaan emosional yang dilakukan oleh pasangan.

Ketidaksetiaan emosional merupakan ketidaksetiaan oleh pasangan bersama

pihak ketiga tanpa melibatkan hubungan fisik namun lebih menekankan

kepada keakraban suatu hubungan seperti rindu atau selalu ingin berbicara

dan bertemu dengan pihak ketiga tersebut.


perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

Knox dan Scacht (2010) mengemukakan, bahwa faktor eksternal penyebab

kecemburuan adalah perilaku pasangan yang diartikan individu sebagai minat

emosional dan seksual pada seseorang atau sesuatu yang lain dan kurangnya

ketertarikan emosional maupun seksual pada pasangan utama.

b. Faktor internal

Kecemburuan juga dapat muncul bahkan meskipun tidak terdapat perilaku

esksternal yang menunjukkan adanya keterlibatan atau ketertarikan pasangan pada

orang lain. Faktor internal mengacu pada karakteristik individual yang

menempatkan mereka pada perasaan-perasaan cemburu, terlepas dari perilaku

pasangan. Menurut Pines (1988) karakteristik individual penyebab kecemburuan

tersebut adalah:

1) Ketidakpercayaan (mistrust)

Individu yang mempunyai pengalaman dikhianati pada hubungan sebelumnya

akan belajar untuk tidak terlalu mempercayai pasangan pada hubungan

selanjutnya. Knox (1984) menyatakan bahwa pengalaman hubungan romantis

seseorang di masa lalu juga dapat mempengaruhi munculnya kecemburuan pada

hubungan yang akan dan sedang dijalin. Pengalaman memiliki pasangan di masa

lalu yang tidak setia, mengalami kekecewaan pada hubungan sebelumnya dan

pengalaman-pengalaman buruk lainnya dapat menurunkan kepercayaan individu

kepada pasangannya yang sekarang. Hal ini akan berdampak pada kecenderungan

individu untuk lebih mudah merasakan kecemburuan dan curiga kepada

pasangannya. Semakin rendah kepercayaan individu terhadap pasangan, semakin

mudah individu merasakan kecemburuan.


perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

2) Harga diri rendah (low self-esteem)

Individu dengan harga diri rendah sulit mempercayai orang lain untuk

menghargai dan mencintai mereka karena kurang dimilikinya kebermaknaan diri

(Khanchandani, dalam Knox dan Scahct, 2010). Perasaan tidak berharga tersebut

memberikan kontribusi yang besar bahwa orang lain lebih berharga.

3) Kecemasan (anxiety)

Khanchandani (dalam Knox dan Scacht, 2010) menyatakan bahwa secara

umum individu dengan kecemasan yang tinggi memperlihatkan kecemburuan

yang lebih.

4) Kurangnya alternatif pasangan (lack of perceived alternatives)

Individu yang tidak memiliki alternatif pasangan yang lain atau tidak merasa

tertarik lagi pada orang lain cenderung lebih mudah merasa cemburu. Mereka

merasa demikian karena jika mereka tidak menjaga pasangannya saat ini, maka

mereka akan sendiri.

5) Perasaan tidak aman (insecurity)

Perasaan tidak aman mempunyai hubungan yang positif dengan

kecemburuan. Individu yang merasa terancam dan tidak aman (insecure) dalam

hubungan dengan pasangannya cenderung mempunyai tingkat kecemburuan yang

tinggi.

Brehm, dkk. (2002) menyatakan, terdapat lima faktor personal yang dapat

menyebabkan individu rentan mengalami kecemburuan. Adapun kelima faktor

tersebut adalah sebagai berikut:


perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

1) Ketergantungan (Dependence)

Berscheid (dalam Brehm, dkk., 2002) menyatakan, bahwa individu yang

sangat bergantung pada pasangannya meyakini bahwa hanya pasangannyalah

yang dapat membuat dirinya bahagia dan tidak ada orang lain yang dapat

menggantikannya, maka akan semakin besar pula rasa kecemburuan yang dialami

individu tersebut. Ketergantungan terhadap pasangan juga menjadi alasan individu

tetap mempertahankan hubungan meskipun menyakitkan karena individu berpikir

tidak mempunyai alternatif lain di luar hubungan tersebut (Choice dan Lamke,

dalam Miller, 2012)

Ketergantungan juga berkaitan erat dengan sikap posesif terhadap pasangan.

Individu yang sangat bergantung pada pasangannya akan berusaha sekuat

mungkin menjaga dan mengawasi setiap gerak-gerik pasangannya (Carrol dalam

Brehm, dkk., 2002).

2) Ketidakcakapan (inadequacy)

White (dalam Brehm, dkk., 2002) mengemukakan, bahwa kecemburuan

meningkat seiring dengan perasaan tidak mampu (inadequacy) dalam hubungan.

Individu yang merasa takut bahwa mereka tidak mampu memenuhi ekpektasi

pasangan atau khawatir bahwa mereka bukanlah orang yang dicari oleh

pasangannya lebih rentan mengalami cemburu daripada individu yang yakin

bahwa dirinya dapat menjaga dan memenuhi harapan pasangannya.

Secara keseluruhan kepercayaan diri dipengaruhi oleh harga diri individu itu

sendiri, namun individu dengan harga diri yang tinggi tidak selalu memiliki risiko

mengalami kecemburuan yang lebih kecil daripada individu dengan harga diri
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

rendah (Guerrero dan Andersen, 1998). Sebaliknya, persepsi individu mengenai

kemampuannya sebagai pasangan merupakan hal yang penting. Hal ini sangat

bergantung pada besarnya cinta dan kebutuhan pasangan akan individu daripada

besar individu menyukai dirinya (harga diri). Individu dengan harga diri yang

tinggi dapat rentan mengalami kecemburuan, jika mereka ragu akan kemampuan

mereka untuk menjadi pasangan yang baik.

3) Nilai yang dimiliki pasangan (mate value)

Salah satu pemicu keraguan dalam sebuah hubungan adalah perbedaan mate

value setiap individu (Buss, 2000). Mate value adalah nilai pasangan di mata

individu. Ketika individu menganggap pasangannya sebagai tipe individu yang

menarik dan diinginkan banyak orang, misalnya berpenampilan fisik menarik,

kaya, berbakat, dibandingkan dengan dirinya, individu akan lebih mudah

mengalami kecemasan bila bertemu dengan orang lain yang lebih baik darinya

untuk menjadi pendamping pasangannya. Pemikiran individu bahwa ada orang

lain yang lebih baik untuk menjadi pendamping pasangannya dibanding dengan

dirinya dapat menyebabkan munculnya perasaan tidak mampu (inadequacy) pada

diri individu.

Sebaliknya, ketika seseorang menganggap bahwa pasangannya mempunyai

kriteria yang diinginkan dan cocok dengan individu, maka individu akan semakin

takut kehilangan pasangannya. Hal ini menjadi suatu ancaman ketika individu

menyadari bahwa pasangannya dapat mendapatkan seseorang yang lebih baik

daripada mereka.
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

4) Ekslusivitas seksual (sexual exclusivity)

Karakteristik individual lainnya yang dapat mempengaruhi munculnya

kecemburuan adalah eksklusivitas seksual. Individu menginginkan dan

mengharapkan pasangannya hanya setia kepada dirinya saja, dan tidak

memperbolehkan pasangannya untuk mempunyai hubungan intim dan seksual

dengan orang lain. Individu dengan ekslusivitas seksual mempunyai tingkat

kecemburuan yang tinggi. Pada umumnya faktor ekslusivitas seksual ini berlaku

pada kebudayaan-kebudayaan tertentu.

5) Pengalaman masa lalu (past experience)

Pengalaman hubungan romantis seseorang dapat mempengaruhi munculnya

kecemburuan pada hubungan yang akan dan sedang dijalin. Individu yang

memiliki pasangan yang tidak setia dan mengalami kekecewaan pada pengalaman

sebelumnya dapat menurunkan kepercayaan individu kepada pasangannya di

masa depan. Hal ini menyebabkan individu lebuh mudah merasa cemburu dan

curiga, karena semakin rendah kepercayaan individu terhadap pasangan, maka

akan semakin mudah inividu tersebut merasakan kecemburuan.

3. Aspek Kecemburuan

White (dalam Adams dan Jones, 1999) menyatakan bahwa kecemburuan

terdiri atas tiga aspek, yaitu pikiran (cognitive), perasaan (emotional), dan perilaku

(behavioral).
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

a. Aspek kognisi (cognitive), merupakan pikiran-pikiran individu akan

kekhawatiran, kecurigaan dan pikiran yang berkaitan dengan perselingkuhan

pasangan.

b. Aspek emosi (emotional), merupakan aspek kecemburuan yang meliputi

kemarahan, perasaan tidak aman, ketakutan, dan kesedihan. Hal yang sama

dikemukakan oleh Guerrero dan Andersen (1998), berdasarkan beberapa hasil

penelitian kecemburuan berkorelasi dengan perasaan-perasaan negatif,

seperti: marah, sedih, cemas, sakit hati, terancam, merasa dikhianati, tertekan,

bingung, tidak aman, tidak tertolong, malu, merasa ditolak, ketidak-

percayaan, frustrasi, dan iri.

c. Aspek perilaku (behavioral), merupakan perilaku sebagai aksi detektif atau

protektif yang diambil seseorang ketika terdapat rival baik nyata maupun

imajiner. Tindakan detektif meliputi menanyakan, memeriksa, dan mencari

keberadaan pasangan. Tindakan protektif mencakup menjalankan strategi

guna memastikan bahwa tidak terjadi keakraban antara pasangan dengan

rival. Individu mungkin akan membahas keburukan rival atau turut serta

dalam kegiatan pasangan dengan rival sebagai cara untuk memantau dan

memastikan pasangan tidak berinteraksi dengan rival.

Aspek kognisi kecemburuan terjadi ketika seseorang sadar akan adanya

ancaman terhadap hubungan romantisnya. Emosi negatif (aspek afeksi) mengikuti

realisasi ancaman tersebut dan pada akhirnya individu menyusun strategi coping

guna mengatasi ancaman, sehingga mengurangi komponen emosional yang

negatif (White, dalam Trnka, dkk., 2011). Meskipun setuju dengan teori White
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

bahwa cemburu itu bersifat multidimensional (cognitive, emotional dan

behavioral), Pfeiffer dan Wong (1989) mempunyai pandangan yang sedikit

berbeda mengenai kerangka kerja komponen kecemburuan. Menurut White

(dalam Pfeiffer dan Wong, 1989) komponen afeksi selalu mengikuti penilaian

ancaman oleh komponen kognisi, sedangkan Pfeiffer dan Wong (1989)

berpendapat, bahwa kognisi, afeksi dan perilaku yang terdapat pada kecemburuan

tidak saling mengikuti satu dengan yang lain tetapi tidak menutup kemungkinan

untuk saling berinteraksi satu dengan yang lain. Aspek kecemburuan dari White

inilah yang akan digunakan untuk menyusun skala dalam penelitian ini.

4. Proses Kecemburuan

Kecemburuan seseorang tidak terjadi begitu saja melainkan melalui sebuah

proses dengan tahapan-tahapan. White (dalam Brehm, dkk., 2002) menjelaskan

bahwa proses kecemburuan melewati lima tahap di bawah ini:

a. Tahap awal (primary appraisal)

Tahapan awal atau primary appraisal dimulai ketika seseorang merasakan

adanya ancaman pada hubungan percintaannya. Tahap ini menunjukkan ambang

kecemburuan seseorang, yaitu titik ketika seseorang mulai merasa cemburu.

Setiap orang mempunyai ambang kecemburuan yang berbeda-beda.

Pada tahap ini, pandangan seseorang tentang hubungan percintaan dan

ancaman yang ada saling mempengaruhi. Individu yang memandang

hubungannya aman, membutuhkan ancaman yang sangat kuat untuk


perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

memunculkan cemburu. Bagi individu yang merasa tidak aman pada suatu

hubungan, kecemburuan bisa muncul meskipun ancamannya sangat lemah.

b. Tahap kedua (secondary appraisal)

Pada tahapan kedua, individu berusaha untuk memahami situasi dengan lebih

baik dan memikirkan cara mengatasi kecemburuan tersebut. Tetapi individu pada

tahap ini seringkali melibatkan pikiran catastrophis, yaitu pengambilan keputusan

secara ekstrim dan berdasarkan kemungkinan terburuk. Misalnya adalah

seseorang cemburu karena pasangannya tidak membalas pesan, lalu orang tersebut

mengambil kesimpulan bahwa pasangannya sedang bermesraan dengan orang

lain, padahal pasangannya tersebut sedang sibuk melakukan kegiatan dan tidak

dapat diganggu.

c. Tahap ketiga (emotional reaction)

Tahap ketiga merupakan tahap yang melibatkan reaksi emosional. Individu

yang sedang mengalami kecemburuan biasanya tidak menyadari bahwa yang

mereka pikirkan adalah hal yang irasional. Marah terhadap pasangan dan orang

ketiga, cemas akan kehilangan hubungan percintaannya, depresi dan sedih akan

kehilangan yang dialami merupakan perasaan-perasaan yang dialami seseorang

ketika cemburu.

d. Tahap keempat (coping strategies)

Tahap selanjutnya adalah tahap coping. Bryson (dalam Brehm, dkk., 2002)

menyebutkan bahwa perilaku coping terhadap kecemburuan dibagi menjadi dua

orientasi tujuan. Tujuan pertama adalah perilaku coping sebagai usaha untuk

mempertahankan hubungan. Usaha ini dapat menghasilkan perilaku yang


perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

konstruktif maupun destruktif. Usaha konstruktif misalnya adalah membicarakan

masalah dan bersama-sama mencari jalan keluar, sedangkan contoh usaha yang

bersifat destruktif adalah menghindari konflik dan bertindak seolah tidak ada

masalah sama sekali.

Tujuan kedua dalam perilaku coping sebagai usaha untuk mempertahankan

self-esteem. Usaha ini juga dapat bersifat konstruktif maupun destruktif. Usaha

yang bersifat konstruktif misalnya adalah memutuskan hubungan percintaan

dengan baik-baik. Menyerang pasangan baik secara verbal maupun nonverbal

merupakan usaha mempertahankan harga diri yang bersifat destruktif.

e. Tahap kelima

Tahap terakhir adalah hasil dari perilaku coping. Perilaku coping yang

bersifat konstruktif akan mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan oleh

kecemburuan dan berguna untuk efek jangka panjang serta kualitas hubungan

tersebut.

5. Tipe Kecemburuan

Berdasarkan respon individu terhadap ancaman, Brehm, dkk., (2002)

menggolongkan kecemburuan menjadi dua tipe, yaitu:

a. Kecemburuan reactive (reactive jealousy)

Kecemburuan reaktif terjadi ketika individu sadar akan adanya ancaman

aktual pada hubungan yang dianggapnya berharga (Bringle dan Buunk, 1991;

Parrot, 1991 dalam Brehm, dkk., 2002). Stimulus penyebab kecemburuan tersebut
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

mungkin tidak terjadi pada saat ini, namun juga dapat berasal dari masa lalu atau

antisipasi untuk masa yang akan datang.

b. Kecemburuan suspicious (suspicious jealousy)

Kecemburuan supsicious terjadi ketika seseorang menaruh curiga kepada

pasangan bahwa pasangannya telah melakukan kesalahan namun tidak

mempunyai bukti nyata tentang hal-hal yang dicurigai (Bringle dan Buunk, 1991;

Parrot, 1991 dalam Brehm, dkk., 2002). Kecemburuan tipe ini menyebabkan rasa

khawatir, tidak percaya, waspada dan tingkah laku memata-matai pasangan untuk

menguatkan kecurigaannya tersebut. Pada umumnya, suspicious jealousy

merupakan hasil imajinasi indivdiu itu sendiri karena rasa tidak aman dan tidak

percaya terhadap pasangan sehingga memunculkan rasa cemburu yang tidak

beralasan.

Sedangkan Mazur (dalam Duck, 2007) menggolongkan kecemburuan

berdasarkan penyebab kecemburuan individu. Kecemburuan tersebut digolongkan

menjadi lima tipe, yaitu:

a. Kecemburuan posesif (possesive jealousy)

Kecemburuan posesif merupakan cemburu yang terjadi ketika pasangan

melakukan segala kegiatan secara mandiri tanpa melibatkan individu.

b. Kecemburuan eksklusif (exclusive jealousy)

Kecemburuan eksklusif merupakan respon terhadap hilangnya kesempatan

individu untuk menjadi bagian dari pengalaman penting pasangan atau ketika

individu tidak diijinkan untuk masuk ke dalam dunia pasangannya.

c. Kecemburuan kompetitif (competitive jealousy)


perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

Kecemburuan kompetitif adalah perasaan yang muncul karena pasangan lebih

baik dibanding dengan individu dalam bidang yang menjadi minar individu.

d. Kecemburuan egoistis (egoistical jealousy)

Kecemburuan egoistis muncul karena individu merasa bahwa caranya

merupakan satu-satunya cara yang baik dan individu cenderung enggan

menyesuaikan dengan keinginan atau kebutuhan orang lain, khususnya

pasangan.

e. Kecemburuan fearful (fearful jealousy)

Kecemburuan fearful terjadi karena adanya ancaman akan kesepian atau

penolakan pasangan terhadap individu.

Barelds dan Dijkstra (dalam Knox dan Scacht, 2010) mengidentifikasi tiga

jenis kecemburuan yaitu kecemburuan reactive (reactive jealousy), kecemburuan

anxious (anxious jealousy) dan kecemburuan possesive (possesive jealousy.)

Kecemburuan reactive meliputi perasaan yang merupakan reaksi terhadap sesuatu

yang dilakukan oleh pasangan. Kecemburuan anxious merupakan pemikiran-

pemikiran mengenai dugaan perselingkuhan oleh pasangan sedangkan

kecemburuan possesive melibatkan penyerangan pada seseorang yang diduga

menjadi objek perhatian pasangan.

6. Faktor yang Mempengaruhi Kecemburuan

Demirtas dan Donmez (2006) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi kecemburuan seseorang, antara lain adalah:


perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

a. Usia

Terdapat hubungan negatif antara kecemburuan dan usia. Sullivan (dalam

Demirtas dan Donmez, 2006) menyatakan bahwa kecemburuan menurun dengan

bertambahnya usia dan kematangan.

b. Harga diri (Self-esteem)

Kecemburuan meningkat seiring dengan menurunnya harga diri individu.

Seseorang dengan harga diri yang rendah cenderung lebih mudah terluka akan

pengalaman-pengalaman yang memicu kecemburuan.

c. Lama waktu hubungan

Aune dan Comstock (dalam Demirtas dan Donmez, 2006) mengemukakan

bahwa lamanya sebuah hubungan dapat mempengaruhi tingkat kecemburuan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecemburuan berkurang seiring dengan

lamanya suatu hubungan. Semakin lamanya suatu hubungan dipercaya diikuti

dengan semakin tingginya kepercayaan pada pasangan. Namun Buunk (dalam

Demirtas dan Donmez, 2006) mengungkapkan seiring lamanya suatu hubungan,

individu akan semakin percaya bahwa pasangan akan mempertahankan hubungan

semakin kuat.

d. Kepuasan hubungan (Relationship satisfication)

Kepuasan hubungan mempunyai hubungan yang positif dengan

kecemburuan. Individu yang mempunyai kepuasan akan hubungannya akan

merasakan kehilangan yang lebih besar ketika hubungannya berakhir dan

cenderung lebih pencemburu.


perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

Banyak penelitian yang menyatakan kepuasan akan hubungan juga berkaitan

dengan strategi coping individu dalam menghadapi kecemburuan. Individu yang

memiliki kepuasan hubungan (relationship satisfication) cenderung melakukan

construstive coping strategy dalam menghadapi kecemburuan. Sebaliknya,

individu yang memiliki ketidakpuasan hubungan (relationship dissatisfication)

dalam menghadapi kecemburuan cenderung melakukan destructive coping

strategy (Demirtas dan Madran dalam Trnka, dkk., 2011).

e. Jenis hubungan

Individu yang belum menikah lebih mudah cemburu dibandingkan dengan

individu yang sudah menikah. Terlebih pada wanita, wanita yang belum menikah

mengalami tingkat kecemburuan yang lebih tinggi daripada wanita yang telah

menikah. Buunk (dalam Demirtas dan Donmez, 2006) menambahkan bahwa

pernikahan meningkatkan perasaan aman pada wanita. Tetapi wanita yang telah

menikah lebih pencemburu dibandingkan dengan pria yang sudah menikah.

f. Daya tarik fisik pasangan

Daya tarik pasangan dapat meningkatan tingkat kecemburuan individu. Daya

tarik fisik pasangan dapat menyebabkan terjadinya kekejaman penilaian terhadap

hubungan sehingga individu merasa terancam dan tidak aman. Berdasarkan

pendekatan transaksional, kecemburuan muncul sebagai hasil dari kehilangan atau

berkurangnya penghargaan dalam sebuah hubungan.


perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

B. Gaya Kelekatan Romantis

1. Pengertian Gaya Kelekatan Romantis

Kelekatan dalam hubungan romantis kerap disebut dengan kelekatan dewasa

atau kelekatan romantis. Menurut Sperling dan Berman (1994), kelekatan dewasa

adalah kecenderungan yang stabil dari individu untuk mencari dan

mempertahankan kedekatan serta kontak dengan seseorang atau beberapa orang

tertentu yang menyediakan kebutuhan rasa aman secara fisik maupun psikologis.

Hendrick (dalam McGuirk dan Pettijohn, 2008) menambahkan kelekatan pada

dewasa sebagai kelekatan romantis yang diartikan sebagai perilaku yang

melibatkan kedekatan dan ikatan dengan pasangan romantis. Kelekatan romantis

dewasa merupakan konsep kelekatan yang dibangun Hazan dan Shaver (1987)

yaitu suatu kelekatan dengan pasangan sebagai figur lekat.

Istilah attachment atau kelekatan untuk pertama kalinya dikemukakan oleh

seorang psikolog asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. Kelekatan

(attachment) mengacu kepada suatu relasi antara dua orang yang memiliki

perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk

menjalani relasi tersebut (Santrock, 2002).

Menurut Seifert dan Hoffnung (dalam Desmita, 2007) kelekatan sebagai

hubungan emosional yang intim antara dua orang, seperti pada bayi dan pengasuh,

ditandai dengan kasih sayang timbal balik dan keinginan untuk menjaga

kedekatan fisik. Cicirelli (dalam Lemme, 1995) mendefinsikan kelekatan sebagai

suatu ikatan emosional antara dua orang yang pada dasarnya untuk

mengidentifikasi satu sama lain, mencintai, dan memiliki hasrat dengan orang lain
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

dan merepresentasikan keadaan internal individu. Ainsworth (dalam Lemme,

1995) menyebut kelekatan sebagai ikatan emosi, yaitu ikatan dengan pasangan

yang merupakan individu unik dan tidak dapat tergantikan oleh orang lain dan

bersifat relatif kekal. Hubungan ini ditandai dengan adanya kebutuhan untuk

mempertahankan kedekatan, distress yang tidak dapat dipahami saat perpisahan,

senang saat bertemu dan sedih saat kehilangan. Ikatan ibu-anak, ayah-anak,

pasangan seksual, hubungan saudara kandung dan teman dekat merupakan contoh

ikatan emosi.

Hubungan kelekatan pada ibu merupakan salah satu hal penting dalam

pembentukan hubungan dengan orang lain (Ainsworth dalam Lemme, 1995).

Seifert dan Hoffnung menambahkan bahwa kegagalan membentuk keterikatan

dengan seseorang atau beberapa orang pada tahun pertama kehidupannya akan

berakibat ketidakmampuan mempererat hubungan sosial yang akrab pada masa

dewasa (dalam Desmita, 2007). Bowlby (dalam Baron dan Byrne, 2005)

berpendapat bahwa dalam interaksinya dengan pengasuh, anak mengembangkan

kesadaran berdasarkan dua sikap dasar yaitu evaluasi mengenai diri sendiri dan

sikap diri sosial yang meliputi kepercayaan dan harapan terhadap orang lain

Model kerja yang terbentuk pada masa kanak-kanak dibawa oleh individu ke

dalam hubungan baru dan memandu harapan, persepsi dan perilaku individu

dalam hubungan baru tersebut. Model kerja ini sebut sebagai mental model oleh

Hazan dan Shaver (dalam Hazan dan Shaver, 1987).

Kelekatan dewasa atau kelekatan romantis dipengaruhi oleh mental model

yang terbentuk pada masa kanak-kanak (Sperling dan Berman, 1994). Main,
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

Kaplan dan Cassidy (dalam Lemme, 1995) menambahkan bahwa gaya kelekatan

yang dikembangkan individu selama masa kanak-kanak dan remaja cenderung

stabil selama masa hidup dan mempengaruhi semua hubungan dekat individu.

Gaya kelekatan merupakan derajat akan pengalaman rasa aman dalam hubungan

antar pribadi (Baron dan Byrne, 2005). Fraley dan Shaver (2000) mengartikan

gaya kelekatan romantis sebagai pola dari berbagai harapan, kebutuhan, emosi

dan perilaku sosial sebagai hasil dari pengalaman kelekatan masa lalu, yang

biasanya diawali dari hubungan dengan orang tua.

Definisi gaya kelekatan romantis dalam penelitian ini adalah pola berbagai

harapan, kebutuhan, emosi, dan perilaku individu terhadap pasangan romantis

yang terbentuk dari pengalaman hubungan antar pribadi terhadap figur lekat di

masa lalu yang menunjukkan derajat akan rasa aman.

2. Aspek Gaya Kelekatan Romantis

Collins dan Read (1990) menyatakan, bahwa terdapat tiga aspek yang dapat

digunakan untuk mengungkap gaya kelekatan romantis individu sesuai dengan

klasifikasi gaya kelekatan romantis oleh Hazan dan Shaver (1987) yang meliputi

gaya kelekatan aman, cemas, dan menghindar. Tiga aspek kelekatan tersebut

menurut Collins dan Read (1990) yaitu:

a. Kedekatan (Closeness)

Aspek kedekatan merupakan perasaan nyaman individu akan adanya

kedekatan dan keintiman dengan orang lain.


perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

b. Ketergantungan (Dependency)

Ketergantungan merupakan kemampuan individu untuk percaya kepada orang

lain, khususnya pasangan. Individu nyaman bergantung kepada orang lain dan

mampu menjadi tempat bergantung bagi orang lain.

c. Kecemasan (Anxiety)

Kecemasan menggambarkan ketakutan atau kekhawatiran individu akan

diabaikan, ditolak dan tidak dicintai oleh orang lain.

Bartholomew dan Horowitz (dalam Duck, 2007) mengklasifikasikan gaya

kelekatan romantis menjadi empat macam, yaitu gaya kelekatan aman,

preoccupied, fearful, dan dismissing berdasarkan dua aspek kelekatan. Adapun

kedua aspek tersebut adalah sebagai berikut:

a. Model of self

Gambaran diri merupakan hasil pengalaman masa lalu individu beserta cara

orang lain memperlakukan individu. Individu dengan gambaran diri positif

mempunyai perasaan bahwa dirinya berarti atau bernilai dan berharap orang

lain merespon individu tersebut secara postif. Individu memandang dirinya

secara positif, sehingga merasa berharga serta pantas untuk mencintai dan

dicintai. Individu dengan gambaran diri negatif merasa tidak berharga, tidak

memiliki sesuatu untuk dibanggakan, sehingga merasa tidak pantas dicintai

orang lain. Gambaran diri negatif cenderung berasumsi bahwa orang lain

akan merespon secara negatif pula.


perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

b. Model of others

Gambaran mengenai orang lain juga merupakan hasil dari pengalaman masa

lalu individu yang berkaitan dengan sikap orang lain terhadap individu.

Individu yang memiliki gambaran mengenai orang lain yang positif akan

menganggap orang lain dapat dipercaya dan diandalkan serta mampu

memberikan kasih sayang sehingga pantas untuk dicintai. Individu yang

memilki gambaran yang negatif cenderung memandang orang lain sebagai

orang yang kurang dapat diandalkan, sering membuat kecewa, tidak mampu

memberikan dukungan, kasih sayang, serta kenyamanan.

Aspek gaya kelekatan romantis yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah aspek gaya kelekatan oleh Collins dan Read (1990) yang meliputi

kedekatan, ketergantungan, dan kecemasan.

3. Macam Gaya Kelekatan Romantis

Berawal dari konsep dasar pemikiran Bowlby, Ainsworth (1979) menciptakan

strange situation, yaitu sebuah studi observasi terhadap kelekatan bayi melalui

pengenalan, pemisahan, dan pertemuan kembali antara bayi dengan pengasuh dan

orang asing dalam urutan tertentu. Berdasarkan respons bayi ketika menghadapi

situasi tersebut, Ainsworth mengidentifikasi tipe dasar kelekatan, yaitu kelekatan

yang aman (secure) dan tidak aman (insecure). Gaya kelekatan tidak aman

(insecure) terdiri dari gaya kelekatan insecure-avoidant, dan insecure-ambivalent

(dalam Santrock, 2007).


perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

Hubungan pertama dengan pengasuh menjadi model kerja pada hubungan

individu dalam tahapan selanjutnya. Hazan dan Shaver (1987) menyatakan bahwa

gaya mencintai dalam hubungan romantis pada masa dewasa merupakan proses

yang serupa dan berdasarkan gaya kelekatan pada masa bayi. Berikut gaya

kelekatan romantis menurut Hazan dan Shaver (1987) berdasarkan gaya kelekatan

Ainsworth.

a. Gaya kelekatan aman (Secure attachment style)

Bayi dengan gaya kekekatan aman biasanya menggunakan ibu sebagai suatu

landasan yang aman untuk mengeksplorasi lingkungannya. Bayi biasanya akan

menyambut dengan hangat kehadiran pengasuhnya dan berusaha dekat dengan

pengasuh. Gaya kelekatan aman mengembangkan rasa kepercayaan dan keamanan

dalam keintiman ketika dewasa (Hazan dan Shaver, 1987). Gaya kelekatan aman

berkorelasi positif dengan ketiga komponen cinta, orang cenderung aman untuk

mengalami keintiman yang tinggi, gairah, dan komitmen (Brehm, dkk., 2002).

Individu dengan gaya kelekatan aman relatif mudah menjalin kedekatan

dengan orang lain, merasa nyaman bergantung pada orang lain dan sebaliknya,

mereka juga tidak merasa khawatir akan ditinggalkan atau terlalu dekat dengan

orang lain. Brehm, dkk., (2002) menyebutkan bahwa individu dengan gaya

kelekatan aman cenderung lebih percaya, berkomitmen dan puas dalam hubungan

romantis. Pada umumnya mereka juga mempunyai pengalaman cinta yang

bahagia, hangat, percaya, menerima, dan cenderung bertahan lebih lama dalam

sebuah hubungan. Mereka juga digambarkan sebagai individu yang terampil

secara sosial, ceria dan menyenangkan daripada individu dengan gaya kelekatan
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

tidak aman (Kobak dan Sceery dalam Lemme, 1995). Individu dengan gaya

kelekatan aman menggambarkan kualitas hubungan dengan orang tua yang hangat

dan penuh kasih (Lemme, 1995).

b. Gaya kelekatan cemas (Anxious-resistant/Ambivalent attachment style)

Seiffert dan Hoffnung (dalam Desmita, 2007) menjelaskan, bahwa bayi

dengan gaya kelekatan cemas memperlihatkan beberapa tanda kecemasan dan

merasa terganggu oleh peristiwa perpisahan dengan ibunya. Ketika kembali

berkumpul bersama ibunya, mereka biasanya tidak peduli, bahkan menghindari

dan menolak ibunya yang berusaha menenangkannya. Terkait dengan keintiman,

individu dengan gaya kelekatan cemas atau ambivalen merasa bahwa orang lain

enggan menjalin kedekatan seperti yang diinginkannya (Lemme, 1995), sering

merasa khawatir bahwa pasangan tidak mencintainya dengan sungguh-sungguh

dan meninggalkannya suatu saat (Hazan dan Shaver, dalam Wide dan Travis,

2008) Individu ingin menggabungkan diri dengan orang lain secara keseluruhan,

namun keinginan tersebut seringkali membuat orang lain menghindar. Hal ini

menggambarkan hubungan cinta mereka yang penuh dengan kecemburuan, emosi

yang naik dan turun, keinginan akan balasan, dan hasrat seksual yang intens.

Individu dengan gaya kelekatan cemas melihat orang tua sebagai sosok yang

tidak terduga dan tidak adil. Individu tidak memiliki rasa percaya diri dan

beranggapan bahwa orang lain tidak mau berkomitmen untuk hubungan jangka

panjang dengan dirinya. Mereka biasanya jatuh cinta dengan cepat dan mudah

namun tidak menemukan hubungan yang memuaskan (Lemme,1995).


perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

c. Gaya kelekatan menghindar (Avoidant attachment style)

Bayi dengan gaya kelekatan menghindar (avoidant) memperlihatkan

ketidakamanan dengan mengihindari ibu. Mereka jarang menangis ketika

dipisahkan dari ibunya, dan ketika berkumpul kembali, bayi memperlihatkan

tingkah laku kombinasi antara mendekati dan menolak bahkan mengabaikan

ibunya sama sekali (Seiffert dan Hoffnung dalam Desmita, 2007). Pada hubungan

intim, Hazan dan Shaver (1987) menyebutkan bahwa individu dengan gaya

kelekatan menghindar (avoidant) tidak merasa nyaman membangun hubungan

dengan seseorang, kesulitan mempercayai orang lain, sulit mengizinkan dirinya

untuk bergantung pada orang lain, dan merasa kurang nyaman apabila seseorang

mendekatinya. Ketika seseorang mendekatinya atau menginginkan hubungan

yang lebih intim, individu cenderung merasa gugup bahkan tidak nyaman. Cinta

romantis digambarkan sebagai suatu hubungan yang sulit dan jarang berlangsung

lama. Individu dengan gaya kelekatan menghindar (avoidant) melihat orang tua

sebagai sosok yang menuntut dan tidak peduli, juga menggambarkan diri sendiri

sebagai seorang yang tidak disukai orang lain dan mandiri (Lemme, 1995).

Bartholomew dan Horowitz (dalam Duck, 2007) mengajukan model

kelekatan individu dewasa berdasarkan gambaran mengenai diri mereka sendiri

(model of self) dan orang lain (model of others). Individu dengan model of self

positif mempunyai perasaan bahwa dirinya berarti atau bernilai dan berharap

orang lain merespon individu tersebut secara postif. Model of self negatif

mendorong individu ke arah harapan bahwa orang lain akan meresponnya secara
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

negatif pula. Bagian positif model of others menjelaskan harapan individu bahwa

ada orang lain yang akan mendukung dan menjalin kedekatan dengan diri mereka.

Bartholomew dan Horrowitz memperluas tiga gaya kelekatan dewasa oleh

Hazan dan Shaver menjadi empat gaya kelekatan dengan membedakan gaya

kelekatan menghindar. Bartholomew (dalam Brehm, dkk., 2002) menyatakan

bahwa gaya kelekatan menghindar bersifat lebih kompleks. Terdapat dua sudut

pandang mengenai individu dengan gaya kelekatan menghindar. Di satu sisi,

individu dengan gaya kelekatan menghindar menginginkan hubungan dengan

orang lain namun tetap waspada terhadap mereka, takut akan penolakan, dan tidak

percaya, di sisi lain, individu dapat bersikap benar-benar mandiri, memilih

otonomi dan kebebasan untuk menjalin kedekatan dengan orang lain. Adapun

empat tipe kelekatan menurut Bartholomew (dalam Baron dan Byrne, 2005)

adalah sebagai berikut.

Model of Self
(Anxiety)
Positive Negative
(Low) (High)

Positive
Secure Preoccupied
(Low)
Model of
Others
(Avoidance)
Negative
Dismissing Fearful
(High)

Gambar 1. Skema Gaya Adult Romantic Attachment Bartholomew dan Horrowitz


(Sumber: Cassidy dan Shaver, 2008)
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

a. Gaya kelekatan Aman (Secure)

Gaya kelekatan secure merupakan hasil dari kombinasi model of self dan

model of others yang positif. Sama seperti gaya kelekatan aman yang

dijelaskan Hazan dan Shaver, individu mudah dekat secara emosional dengan

orang lain. Mereka merasa nyaman menjadikan orang lain sebagai dukungan

dan bisa menjadikan dirinya sebagai sumber dukungan bagi orang lain.

Individu tidak merasa khawatir hidup sendiri atau jika orang lain tidak

menerimanya (Bartholomew, dalam Brehm, 2002). Sebagai kekasih, mereka

menikmati seksualitas dalam konteks hubungan yang penuh rasa aman dan

bersungguh-sungguh dalam menjalani komitmen. Hubungan individu dengan

gaya kelekatan aman cenderung memuaskan dan bertahan lama (Feeney,

1996; Feeney dan Noller, 1990; Simpson, dkk., 1992 dalam Myers, 2012)

b. Gaya kelekatan preoccupied

Individu yang mempunyai model of self negatif dan model of others yang

positif merupakan individu dengan gaya kelekatan preoccupied. Gaya

kelekatan preoccupied merupakan nama baru dari gaya kelekatan anxious-

ambivalent. Individu dengan gaya kelekatan ini memiliki harapan yang positif

terhadap terhadap orang lain, tetapi merasa bahwa diri mereka tidak berharga

(Myers, 2012). Mereka sangat ingin terlibat secara emosional dengan orang

lain, namun merasa bahwa orang lain enggan menginginkan kedekatan yang

sama. Individu dengan gaya kelekatan ini sangat ingin memperoleh

penerimaan oleh orang lain. Bila mendapatkan respon baik dari orang lain,

maka individu merasa akan mendapatkan rasa aman. Meskipun demikian,


perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

individu preoccupied seringkali mengalami kecemasan bahwa dirinya tidak

berharga dan dicintai (Bartholomew, dalam Brehm, dkk., 2002). Individu

anxious-ambivalent kurang memiliki rasa kepercayaan, sehingga terlihat lebih

posesif dan pencemburu. Mereka mungkun putus hubungan beberapa kali

dengan orang yang sama. Saat membahas konflik, mereka menjadi emosional

dan sering kali marah (Cassidy, 200; Simpson, dkk., dalam Myers, 2012).

c. Gaya kelekatan fearful

Gaya kelekatan fearful ditandai dengan model of self dan model of others

yang negatif. Gaya kelekatan ini merupakan turunan dari gaya kelekatan

avoidant. Menurut Bartholomew (dalam Brehm, 2002) individu cenderung

tidak nyaman bila semakin dekat dengan orang lain. Ingin memiliki

kedekatan dengan orang lain namun sulit untuk mempercayai atau bergantung

pada orang lain. Sama halnya dengan individu preoccupied, individu dengan

gaya kelekatan fearful sangat bergantung pada penerimaan orang lain dan

merasa tidak berharga dan dicintai. Individu takut dan menghindari keintiman

karena takut akan kehilangan dan penolakan (Cassidy dan Shaver, 2008).

d. Gaya kelekatan dismissing

Model of self positif dan model of others yang negatif menghasilkan gaya

kelekatan dismissing. Individu dengan gaya kelekatan ini memiliki rasa

berharga dan dicintai, namun cenderung menghindari kedekatan karena

adanya perkiraan yang negatif mengenai orang lain. individu merasa nyaman

tanpa adanya kedekatan emosional. Individu dengan gaya kelekatan

dismissing memilih untuk mandiri, tidak bergantung pada orang lain, dan
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

menjadi tempat bergantung pada orang lain. Mereka mempertahankan rasa

berharga dan kemandirian dengan meniadakan hubungan intim. Individu juga

tidak peduli bila orang lain menerima mereka atau tidak (Bartholomew,

dalam Brehm, 2002).

Gaya kelekatan romantis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

gaya kelekatan romantis menurut Hazan dan Shaver (1987) yang meliputi gaya

kelekatan aman, cemas dan menghindar.

4. Fungsi Kelekatan

Menurut Davies (2011) kelekatan mempunyai empat fungsi utama, yaitu:

a. Memberikan rasa aman

Adanya figur lekat dapat mengembalikan perasaan individu yang sedang

berada dalam keadaan tertekan kembali ke perasaan aman.

b. Mengatur keadaan perasaan (regulation of affect and arousal)

Fungsi utama kelekatan yang kedua adalah mengatur keadaan perasaan

individu. Arousal adalah perubahan keadaan subjektif seseorang yang disertai

reaksi fisiologis tertentu. Apabila peningkatan arousal tidak diikuti dengan

relief (pengurangan rasa takut, cemas, atau sakit) maka individu rentan

mengalami stres. Figur kelekatan (attachment figure) berfungsi untuk

membaca perubahan keadaan individu dan membantu mengatur arousal

individu tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

c. Sebagai saluran ekspresi dan komunikasi

Kelekatan yang terjalin antara individu dengan figur lekatnya dapat berfungsi

sebagai sarana berekspresi, berbagi pengalaman dan menceritakan perasaan.

d. Sebagai dasar untuk melakukan eksplorasi di lingkungan sekitar

Kelekatan dan perilaku eksploratif bekerja secara bersamaan. Individu yang

mendapatkan secure attachment akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi

untuk mengeksplorasi lingkungan di sekitarnya maupun suasana yang baru

karena individu percaya bahwa figur kelekatannya sungguh-sungguh

bertanggung jawab apabila sesuatu terjadi pada dirinya.

Simpson (dalam Simpson dan Rholes, 1998) menambahkan, bahwa kelekatan

dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam membina hubungan dengan

orang lain seperti aspek kepuasan, kedekatan dan kemampuan mencintai

pasangan. Kelekatan juga membantu individu dalam menginterpretasi, memahami

dan mengatasi perasaan emosi negatif selama berada di dalam situasi yang penuh

tekanan.

C. Kematangan Emosi

1. Pengertian Kematangan Emosi

Kematangan emosi diindikasikan sebagai tanda kedewasaan seseorang.

Seseorang yang telah dewasa mampu mengatasi masalah dengan baik sehingga

stabil dan tenang secara emosional. Hurlock (1980) secara umum menyatakan

bahwa kematangan emosi merupakan kemampuan menilai situasi secara kritis

terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional dan tidak lagi bereaksi tanpa
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

berpikir sebagaimana anak-anak atau individu yang belum matang. Seseorang

yang telah memiliki kematangan emosi dapat mengendalikan emosi sehingga

tidak meledakkan emosinya di hadapan orang lain dan mampu menunggu saat dan

tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya tersebut dengan cara yang

lebih diterima. Lebih lanjut Hurlock (1980) menjelaskan bahwa pada masa remaja

akhir yang merupakan masa awal dewasa, yaitu rentang usia 19-22 tahun, individu

diharapkan memiliki kematangan emosi sehingga dapat menilai situasi secara

kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional dan pada akhirnya

mampu memberikan reaksi emosional yang stabil. Oleh sebab itu, kematangan

emosi sealalu terkait dengan kedewasaan seseorang.

Kartono (1995) mengartikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan atau

kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional, oleh karena

itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan emosi seperti pada masa

kanak-kanak. Lebih jelas, Semiun (2006) mengungkapkan, bahwa kematangan

emosi mengacu pada kapasitas seseorang untuk bereaksi dalam berbagai situasi

kehidupan dengan cara-cara yang lebih bermanfaat bukan dengan cara bereaksi

seorang anak. Individu diharapkan membuat keseimbangan antara pengekangan

emosi yang berlebihan dan ungkapan emosi yang tak terkendali. Individu yang

matang secara emosi mampu bereaksi dengan tepat terhadap tuntutan-tuntutan

situasi tertentu.

Morgan (1986) mengartikan kematangan emosi sebagai keadaan emosi

seseorang yang apabila mendapatkan stimulus emosi tidak menunjukkan

gangguan emosi seperti kebingungan, kurangnya kepercayaan diri dan


perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

terganggunya kesadaran sehingga tidak dapat menggunakan pemikirannya secara

efektif dan rasional. Young (dalam Kusumawanta, 2004) memberi pengertian,

bahwa kematangan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan

mengendalikan emosinya. Seseorang yang mempunyai emosi yang sudah matang

tidak terpengaruh oleh rangsangan-stimulus baik dari dalam maupun dari luar.

Emosi yang sudah matang akan selalu belajar menerima kritik, mampu

menangguhkan respon-responnya, dan memiliki saluran sosial bagi energi

emosinya, misalnya bermain, melaksanakan hobinya dan sebagainya.

Menurut Yusuf (2004), kematangan emosi ditandai oleh adanya adekuasi

emosi dan kemampuan mengendalikan emosi. Adekuasi emosi meliputi cinta

kasih, simpati, altruis (senang menolong orang lain) dan sikap hormat atau

menghargai orang lain. Kemampuan mengendalikan emosi meliputi tidak mudah

tersinggung, tidak agresif, bersikap optimis dan tidak putus asa, dan dapat

menghadapi situasi frustrasi secara wajar.

Martin (2003) mendefiniskan kematangan emosi sebagai kemampuan

menerima hal-hal negatif dari lingkungan tanpa membalasnya dengan sikap yang

negatif pula, melainkan dengan kebijakan. Ketika seseorang menemukan situasi

negatif, orang tersebut tidak lantas membalas dengan emosi yang negatif, namun

menelaah dan memikirkan reaksi yang akan ditampilkan agar tidak berdampak

negatif sehingga emosi yang keluar adalah kebijakan (emosi positif).

Berdasarkan uraian di atas, kematangan emosi dapat diartikan sebagai kondisi

pencapaian tingkat kedewasaan perkembangan emosional seseorang sehingga


perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

individu dapat mengelola dan mengendalikan emosinya serta mengungkapkannya

dengan cara yang dapat serta mampu bereaksi secara obyektif, rasional, dan bijak.

2. Aspek-aspek Kematangan Emosi

Menurut Schneider (1960), kematangan emosi mencakup tiga aspek, yaitu:

a. Ketercukupan respon emosi, yang berarti bahwa respon emosinya harus

sesuai dengan tingkat perkembangannya. Sebagai contoh, orang dewasa yang

bertingkah laku seperti anak kecil, menangis dan meledakkan marahnya agar

keinginannya dipenuhi adalah ciri ketidakmatangan emosi.

b. Cakupan kedalam emosi, yang merupakan sebuah aspek dari perkembangan

yang cukup. Orang yang mempunyai perasaan yang dangkal sebagai contoh

orang yang kekuarangan keakraban, pertimbangan, cinta dan orang bersikap

masa bodoh adalah orang yang tidak matang emosinya.

c. Kontrol emosi. Ciri dari ketidakmatangan emosi adalah orang yang selalu

menjadi korban ketakutan atau kecemasan, kemarahan, mengamuk, cemburu

dan kebencian.

Yusuf (2004) menyebutkan, bahwa kematangan emosi mempunyai dua

aspek, yakni:

a. Adanya adekuasi emosi : cinta kasih, simpati, altruis (senang menolong orang

lain), respek (sikap hormat atau menghargai orang lain) dan ramah.

b. Dapat mengendalikan emosi : tidak mudah tersinggung, tidak agresif,

bersikap optimis, dan tidak mudah putus asa, serta dapat menghadapi situasi

frustrasi secara wajar.2


perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

Menurut Hurlock (1980), pada umumnya terdapat tiga aspek kematangan

emosi, antara lain:

a. Kontrol Emosi

Individu tidak meledakkan emosi di hadapan orang lain. Individu juga

mampu menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkaplan emosi

dengan cara yang dapat diterima secara sosial. Seseorang yang mempunyai

kematangan emosi mampu mengendalikan ekspresi emosi yang tidak dapat

diterima secara sosial atau membebaskan diri dari dari energi fisik dan mental

yang tertahan dengan cara yang dapat diterima orang lain.

b. Pemahaman diri (Self-knowledge)

Individu memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari

satu suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami

emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan mengetahui

penyebab emosi yang dihadapi tersebut.

c. Penggunaan fungsi kritis mental

Individu yang matang emosinya adalah individu yang mampu menilai situasi

secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional. Individu

tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebagaimana anak-anak atau individu yang

belum matang.

Martin (2003) menyebutkan empat aspek kematangan emosi, yaitu:

a. Emotional awareness

Emotional awareness atau kesadaran emosi adalah bentuk kesadaran terhadap

emosi yang terjadi pada diri sendiri dan orang lain. Individu yang matang
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

secara emosi akan menyadari dan merasakan emosi yang ada pada dirinya.

Kesadaran emosi mencakup toleransi individu terhadap frustrasi, mampu

mengungkapkan amarah dengan tepat, mampu mengendalikan perilaku

agresif yang merusak diri sendiri dan lingkungan, memiliki kemampuan

untuk mengatasi stres dan dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas

dalam pergaulan.

b. Emotional acceptance

Emotional acceptance merupakan penerimaan emosi yang terjadi pada diri

sendiri atau orang lain. Emotional acceptance mencakup tiga lapisan penting

yaitu kemampuan untuk menerima diri sendiri secara apa adanya,

kemampuan untuk bersyukur atas segala hal yang telah dimiliki dan

kemampuan untuk merasa bangga akan diri sendiri. Selain menerima dirinya

secara apa adanya, individu yang matang emosinya juga menerima orang lain

tanpa syarat.

c. Emotional affection

Emotional affection merupakan persaudaraan dengan diri sendiri maupun

dengan orang lain. Aspek emotional affection membahas mengenai cara

berinteraksi dengan orang lain. Interaksi yang dibangun adalah interaksi yang

menunjukkan kondisi hubungan yang melibatkan aspek pemahaman secara

emosional berdasarkan prinsip-prinsip yang mendasarinya, yaitu:

1) Individual differences,

2) Different treatment,

3) Memulai dari diri sendiri,


perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

4) Risk taking.

d. Emotional affirmation

Emotional affirmation adalah penguatan emosi baik bagi diri sendiri maupun

orang lain. Penguatan emosi mengharuskan seseorang bertindak atas emosi

yang dirasakan maupun diterimanya. Aspek ini mencakup aksi yang

membutuhkan keberanian serta kesanggupan mengambil risiko emosi.

Aspek-aspek kematangan emosi juga dikemukakan oleh Soedarsono (2000),

antara lain sebagai berikut:

a. Kontrol emosi. Individu mampu mengontrol emosi dengan baik walau dalam

keadaan marah. Individu yang mampu mengontrol emosinya tidak akan

menampakkan kemarahannya, karena individu dapat mengatur dan

memanifestasikan kemarahan tersebut.

b. Realistis. Individu mampu berpikir realistis dan mampu menerima keadaan

atau kenyataan diri sendiri dan orang lain, baik itu kelebihan maupun

kekurangan.

c. Tidak impulsif. Individu mampu merespon stimulus yang diterima dengan

cara berpikir dengan baik serta mampu mengatur pikirannya secara baik pula

untuk memberikan tanggapan terhadap stimulus tersebut. Individu yang

bersifat impulsive akan cenderung bertindak sebelum dipikirkan dengan baik.

Hal ini merupakan tanda bahwa emosinya belum matang.

d. Bersikap objektif dan mempunyai toleransi. Individu yang mempunyai aspek

ini akan bersikap sabar, pengertian, berpikir, dan bersikap secara objektif.
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

e. Tanggung jawab dan ketahanan menghadapi tekanan. Individu mempunyai

rasa tanggung jawab terhadap sesuatu yang telah dikerjakan, dapat berdiri

sendiri, tidak mudah frustrasi, dan akan menghadapi permasalahan dengan

penuh pertimbangan.

Penelitian ini menggunakan aspek kematangan yang dikemukakan oleh

Hurlock (1980) yang meliputi aspek kontrol emosi, pemahaman diri (self-

knowledge), dan penggunaan fungsi kritis mental.

3. Karakteristik Kematangan Emosi

Feinberg (2002) mengungkapkan karakteristik kematangan emosi sebagai

berikut.

a. Mampu menerima diri sendiri

Orang yang matang secara emosi, mengenal dirinya sendiri dengan lebih

baik dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Individu mampu

melihat dan menilai dirinya secara objektif.

b. Menghargai orang lain

Individu dikatakan matang jika mampu menghargai perbedaan dan tidak

mencoba untuk membentuk orang lain berdasarkan citra dirinya sendiri.

Seseorang yang menghargai dan menghormati orang lain tidak berkeinginan

untuk memanipulasi orang lain.

c. Menerima tanggung jawab

Seseorang yang belum dewasa akan merasa terbebani apabila diberikan

tanggung jawab. Berbeda dengan individu yang sudah dewasa, ia akan


perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

menerima tanggung jawab atas semua hal dan mempunyai dorongan untuk

menyelesaikan hal tersebut.

d. Percaya diri

Seseorang yang matang menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain

atau ia bisa belajar memperoleh suatu perasaan kepuasan dengan

mengembangkan potensi orang lain.

e. Sabar

Individu yang mempunyai kematangan emosi akan belajar untuk menerima

kenyataan bahwa untuk beberapa persoalan memang tidak ada penyelesaian

dan pemecahan yang mudah.

f. Mempunyai rasa humor

Humor merupakan bagian emosi yang sehat, individu yang telah matang

memiliki rasa humor tinggi yang memunculkan senyuman untuk dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya.

g. Mempunyai ketabahan, keuletan dan daya tahan

Individu matang mampu bangkit drai goncangan-goncangan hidup dan tidak

berpura-puras seolah semuanya baik. Individu menerima kenyataan bahwa

rasa sakit harus dipikul, kesalahan harus diperbaiki, dan tidak perlu

menghabiskan waktu untuk menyesali.

h. Dapat membuat keputusan-keputusan

Orang dewasa akan mengumpulkan fakta untuk memecahkan persoalan,

dapat mengambil keputusan berdasarkan data-data yang kurang lengkap dan


perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

terkadang mengambil tindakan berdasarkan keyakinan terhadap dirinya

sendiri.

i. Memiliki integritas

Individu matang bukan orang yang mudah beralih dan menyimpang karena

keingina-keinginan yang muncul tiba-tiba. Individu dapat beralih dari suatu

topik ke topik lain tanpa kacau dan bingung.

j. Senang bekerja

Seseorang yang mempunyai emosi yang sehat dan kepribadian matang tahu

cara untuk menikmati pekerjaannya. Ia tidak menyia-sikan waktu dan tidak

menunda tugas serta bermalas-malasan.

k. Mempunyai prinsip yang kuat

Individu dewasa tidak mudah goyah dalam menghadapi suatu kondisi.

Perasaan nilai yang kuat dan filsafat pokok sebagai pembimbing tingkah laku

dan tindakan merupakan kekuatan individu yang sudah matang.

l. Mempunyai suatu perasaan yang seimbang

Seseorang yang sudah matang akan mampu hidup dengan suasana hati yang

seimbang. Artinya, ketika ada peralihan dari satu situasi ke situasi yang lain

individu dapat melewatinya dengan baik. Fluktuasi emosi pada seseorang

merupakan hal yang wajar, namun perubahan emosi tersebut tidak

menjadikannya kacau.

Terdapat lima karakteristik individu yang matang secara emosi menurut

Walgito (2010), yaitu:


perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

a. Dapat menerima keadaan dirinya sendiri maupun orang lain dengan apa

adanya, sesuai dengan keadaan objektifnya. Orang yang matang emosinya

dapat berpikir secara obyektif dan baik.

b. Orang yang matang emosinya tidak bersifat impulsif. Ia akan merespon

stimulus dengan cara berpikir baik, mengatur pikirannya untuk memberikan

tanggapan terhadap stimulus yang mengenainya. Orang yang bersifat impulsif

bertindak sebelum berpikir dengan baik, sebuah pertanda bahwa emosinya

belum matang.

c. Mampu mengontrol emosi dan ekspresi emosi dengan baik. Meskipun

individu sedang dalam keadaan marah, ia mampu untuk tidak menampakkan

kemarahan tersebut keluar dan dapat memanifestasikan kemarahan tersebut.

d. Seseorang yang telah matang emosinya mampu berpikir secara obyektif

sehingga akan bersifat sabar, penuh pengertian dan mempunyai toleransi yang

baik.

e. Individu mampu bertanggung jawab dengan baik, dapat berdiri sendiri

(mandiri), tidak mudah mengalami frustrasi, dan akan menghadapi masalah

dengan penuh perhatian.

D. Pasangan Muda

Pernikahan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam,

ditandai dengan ikrar antara dua individu di depan umum berdasarkan pada

keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya (Brehm, dkk., 2002).


perpustakaan.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

Undang-Undang RI. No.1 tahun 1974, pasal 1 menyatakan bahwa pernikahan

adalah ikatan lahir-batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami

isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Walgito, 2010).

Pernikahan merupakan tahapan penting dalam kehidupan seseorang.

Berdasarkan tugas perkembangan yang diuraikan oleh Havighurst (dalam Sobur,

2003), pernikahan menjadi tugas utama individu dewasa, khususnya individu

dewasa muda. Menurut Hurlok (1980) masa dewasa muda berlangsung dari umur

18 tahun sampai dengan 40 tahun. Sejalan dengan tugas perkembangan oleh

Havighurst (dalam Sobur, 2003), undang-undang RI No.1 tahun 1974 pasal 7 ayat

1 menyatakan bahwa seseorang diizinkan melangsungkan pernikahan apabila

sudah mencapai usia 19 tahun untuk pria dan mencapai usia 16 tahun untuk

wanita (dalam Walgito, 2010). Usia 16 tahun dan 19 tahun termasuk dalam masa

remaja akhir yang merupakan masa awal dewasa muda. Pasangan muda adalah

individu yang telah mencapai usia dewasa muda dan sudah memiliki pasangan

serta terikat dalam suatu ikatan pernikahan.

Selain masa penyesuaian diri terhadap pola kehidupan dan harapan sosial

yang baru, masa dewasa muda juga merupakan masa ketegangan emosi.

Ketegangan emosi tersebut nampak dalam bentuk keresahan dan kekhawatiran

yang umumnya berpusat pada masalah perkawinan, peran sebagai orang tua atau

pekerjaan (Hurlock, 1980). Ketidakmampuan individu dalam menghadapi

keresahan-keresahan menyebabkan individu terganggu secara emosional serta

menganggu ketenangan rumah tangga. Hauck (1993) menyatakan bahwa sejatinya


perpustakaan.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id

dan Suryanti (2006) mengemukakan bahwa masa perkawinan yang masih muda

atau awal (periode awal perkawinan) merupakan masa rawan dalam perkawinan,

yaitu kurang dari sepuluh tahun. Mengenai periode awal perkawinan, sejalan

dengan Anjani dan Suryanto, Strong dan De Vault (1989) menyatakan bahwa

periode awal perkawinan berlangsung selama 10 tahun pertama.

Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan pasangan muda dalam

penelitian ini adalah individu yang telah menikah (suami atau isteri), telah

mencapai usia dewasa muda, batas minimal usia adalah 18 tahun dan tidak lebih

dari 40 tahun serta usia pernikahan yang masih tergolong dalam periode awal,

yaitu kurang dari sepuluh tahun (2-10 tahun).

E. Hubungan antara Gaya Kelekatan Romantis dan Kematangan Emosi

dengan Tingkat Kecemburuan pada Pasangan Muda

1. Hubungan antara Gaya Kelekatan Romantis dengan Tingkat

Kecemburuan pada Pasangan Muda

Kecemburuan oleh White dan Mullen (dalam Adam dan Jones, 1999)

diartikan sebagai pikiran, emosi, dan tindakan kompleks yang muncul karena

adanya perasaan kehilangan atau ancaman terhadap harga diri dan eksistensi atau

kualitas hubungan romantis tersebut. Knox dan Scacht (2010) menyatakan, bahwa

ancaman yang memunculkan kecemburuan pada individu dapat disebabkan oleh

faktor eksternal berupa perilaku pasangan yang diinterpretasikan sebagai

ketertarikan emosional dan seksual pada sesuatu atau individu lain dan kurangnya
perpustakaan.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id

ketertarikan emosional maupun seksual pada individu sebagai pasangan utama

(Knox dan Scacht, 2010). Kecemburuan juga disebabkan oleh faktor internal

kecenderungan personal individu yang menempatkan mereka pada perasaan-

perasaan negatif akibat perilaku pasangan. Misalnya ketidak percayaan individu

kepada pasangan, mempunyai harga diri yang rendah, kecemasan, ketergantungan

(Pines, 1988).

Hubungan romantis dianggap sebagai proses kelekatan pada individu dewasa,

yaitu sebuah proses biososial yang ikatan emosi antara pasangan dewasa serupa

dengan ikatan emosi yang telah terbentuk sebelumnya pada masa bayi. Cinta

dipandang sebagai bentuk kelekatan, kedekatam, dan ikatan emosional yang terus

berkembang dan berakar pada hubungan individu dengan orang tua semenjak

bayi. Kelekatan pada individu dewasa ini disebut sebagai kelekatan dewasa (adult

attachment) atau kelekatan romantis (romantic attachment). Kelekatan romantis

merupakan konsep kelekatan yang dibangun Hazan dan Shaver (1987) yaitu suatu

kelekatan dengan pasangan sebagai figur lekat. Seperti halnya kelekatan pada

masa bayi, terdapat tiga kategori gaya kelekatan yaitu tipe aman (secure), cemas

(anxious), dan menghindar (avoidant). Ditemukan bahwa individu dengan gaya

kelekatan tidak aman (avoidant dan anxious) cenderung mendeskripsikan diri

sebagai pencemburu dibanding individu dengan gaya kelekatan aman.

Gaya kelekatan paling mungkin mempengaruhi interaksi sosial sejauh

interaksi tersebut relevan dengan kepentingan interpersonal (Pietromonaco dan

Barret, dalam Baron dan Byrne, 2005). Berinteraksi dengan seseorang dalam

sebuah hubungan cinta romantis memiliki kaitan yang lebih erat dengan kelekatan
perpustakaan.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id

dibandingkan hubungan lainnya. Orang-orang dengan gaya kelekatan berbeda

mempunyai kecenderungan berpikir, merasakan dan bertindak secara spesifik

dalam hubungan mereka (Baron dan Byrne, 2005). Hal ini secara tidak langsung

menyebabkan perbedaan respon yang dimunculkan individu dalam menghadapi

segala peristiwa yang terjadi dalam hubungan romantis, termasuk peristiwa-

peristiwa yang memunculkan kecemburuan.

Sharpsteen dan Kirkpatrick (1997) menjelaskan, bahwa gaya kelekatan

romantis individu memprediksikan cara seseorang mengalami dan

mengekspresikan kecemburuan. Individu dengan gaya kelekatan cemas cenderung

untuk menolak dan mengungkapkan kemarahan dan kecemburuan mereka.

Individu dengan gaya kelekatan menghindar lebih cenderung mengungkapkan

kemarahan mereka dan menyalahkan pihak ketiga. Individu dengan gaya

kelekatan aman mengungkapkan kemarahan atau kecemburuan mereka kepada

pasangan guna mempertahankan hubungan mereka (Sharpsteen dan Kirkpatrick,

1997).

Damayanti (2010) melakukan penelitian mengenai hubungan antara gaya

kelekatan dan kecemburuan pada pasangan berpacaran mahasiswa fakultas

Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian

tersebut menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara tipe kelekatan dan

kecemburuan pada pasangan berpacaran. Penelitian serupa, dilakukan oleh Felicia

(2013) mengenai hubungan antara kecemburuan dengan pola kelekatan pada

dewasa awal berpacaran menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara pola kelekatan avoidance dengan tipe kecemburuan self-esteem dan


perpustakaan.uns.ac.id 53
digilib.uns.ac.id

paranoid dan terdapat hubungan yang signifikan antara pola kelekatan dengantipe

kecemburuan obsessionality, self esteem, fear of loss, paranoid dan

interpersonal sensitivity.

Berdasarkan penelitian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa gaya

kelekatan mempunyai peran penting dalam munculnya kecemburuan dan respon

individu terhadap kecemburuan itu sendiri pada hubungan berpacaran pada

individu dewasa awal. Demirtas dan Donmez (2006) menyatakan bahwa jenis

hubungan romantis yang dimiliki individu mempengaruhi munculnya

kecemburuan. Bertolok dari penelitian terdahulu dan pendapat tersebut, penelitian

ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara gaya kelekatan romantis dan

tingkat kecemburuan pada individu dewasa awal yang telah menikah (pasangan

muda).

2. Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Tingkat Kecemburuan

pada Pasangan Muda

Pada dasarnya kecemburuan merupakan perasaan-perasaan negatif akibat

adanya ketakutan individu akan kehilangan hubungan dan pasangannya, sejalan

dengan pernyataan Salovey (1991) bahwa kecemburuan sebagai pengalaman

emosi yang negatif akibat adanya peluang kehilangan hubungan karena rival yang

nyata maupun imajiner. Lebih lanjut DeSteno dan Salovey memandang

kecemburuan sebagai penyimpangan keadaan suasana hati, yang semakin

meningkat ketika hubungan terancam hancur dan ditandai dengan perasaan marah,

sedih dan ketakutan (dalam Trnka, dkk., 2011). Berdasarkan definisi Salovey
perpustakaan.uns.ac.id 54
digilib.uns.ac.id

(1991) dapat disimpulkan, bahwa kecemburuan bukanlah emosi tunggal

melainkan kombinasi dari beberapa emosi dan reaksi. Kecemburuan melibatkan

banyak perasaan, namun terdapat tiga hal yang paling tepat dalam mendefinisikan

kecemburuan yaitu perasaan sakit hati, marah dan takut (Guerrero dan Andersen,

1998).

Kemampuan seseorang dalam mengelola emosi-emosi negatif ketika

mengalami cemburu juga mempengaruhi kelangsungan dan kualitas suatu

hubungan. Kemampuan seseorang untuk mengelola emosi merupakan bagian dari

perkembangan yang disebut dengan kematangan emosi. Hurlock (1980)

menjelaskan, bahwa kematangan emosi merupakan bagian perkembangan ketika

akhir remaja yang ditandai dengan tidak meledaknya emosi di hadapan orang lain

melainkan menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosi

dengan cara yang lebih dapat diterima. Individu yang matang secara emosi tidak

lagi menampilkan emosi seperti pada anak-anak (Kartono, 1995).

Walgito (2010) menjelaskan, bahwa individu yang memiliki kematangan

emosi adalah individu yang dapat mengendalikan emosinya maka individu akan

berpikir secara matang, berpikir secara obyektif. Terkait dengan kecemburuan,

kematangan emosi mempengaruhi respon yang akan dimunculkan individu ketika

cemburu. Individu yang matang secara emosi cenderung dapat mengendalikan

emosinya ketika ia sedang cemburu dan dapat berpikir secara obyektif sesuai

dengan kenyataan, tidak berdasarkan asumsi semata. Individu yang tidak matang

mungkin akan menyikapi cemburu dengan penuh amarah sehingga tidak berpikir

panjang dan realistik dalam mengambil keputusan bahkan melakukan agresivitas.


perpustakaan.uns.ac.id 55
digilib.uns.ac.id

Semakin rendah kematangan emosi maka akan semakin tinggi tingkat agresivitas

yang dimiliki seseorang, dan sebaliknya semakin tinggi kematangan emosi

seseorang maka akan semakin rendah tingkat agresivitasnya (Putri, 2010). Hal ini

menjelaskan banyaknya kasus kekerasan dan pembunuhan pasangan dengan motif

cemburu. Individu tidak mampu mengontrol emosi sehingga mengambil tindakan-

tindakan irrasional.

Pasangan muda yang merupakan individu dewasa awal diharapkan sudah

memiliki kematangan emosi dalam menghadapi segala hal yang terjadi, dalam hal

ini kecemburuan yang mungkin terjadi dalam hubungan pernikahan yang dimiliki.

Adanya kematangan emosi memungkinkan individu untuk mampu mengendalikan

emosi dan mampu berpikir secara matang dan objektif terhadap peristiwa-

peristiwa yang memicu kecemburuan sehingga terbangun hubungan pernikahan

yang harmonis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan yang terjadi

antara kematangan emosi dan tingkat kecemburuan pada pasangan muda.

3. Hubungan antara Gaya Kelekatan Romantis dan Kematangan Emosi

dengan Tingkat Kecemburuan pada Pasangan Muda

Kecemburuan wajar terjadi pada hubungan akrab seperti keluarga,

pertemanan, dan persahabatan, tetapi kecemburuan kerap diidentikan dengan

hubungan romantis. Hubungan romantis biasanya dijalin oleh individu dewasa

muda yang berada pada tahap perkembangan psikolosial Erikson, intimacy versus

isolation, guna memenuhi kebutuhan akan intimacy tersebut (dalam Papalia, dkk.,

2009; Santrock, 2002; Sobur, 2003).


perpustakaan.uns.ac.id 56
digilib.uns.ac.id

Pernikahan adalah bentuk hubungan romantis yang dujalani individu dewasa

muda untuk memenuhi kebutuhan keintiman. Sebagai salah satu bentuk hubungan

romantis, kecemburuan sangat berpotensi terjadi dalam sebuah pernikahan. Afeksi

yang terlibat dalam sebuah hubungan membuat individu merasa takut kehilangan.

Rasa takut kehilangan inilah yang menyebabkan seseorang merasakan

kecemburuan (Strongman, 2003).

White dan Mullen (dalam Adams dan Jones, 1999), mengartikan

kecemburuan sebagai pikiran, emosi, dan tindakan kompleks yang muncul karena

adanya perasaan kehilangan atau ancaman terhadap harga diri dan eksistensi atau

kualitas hubungan romantis tersebut. Hubungan cinta romantis dipandang sebagai

proses kelekatan yaitu sebuah proses biososial yang ikatan emosi antara pasangan

dewasa serupa dengan ikatan emosi yang telah terbentuk sebelumnya antara bayi

dengan orang tua. Cinta dipandang sebagai bentuk kelekatan, kedekatan, dan

ikatan emosional yang terus berkembang dan berakar pada hubungan individu

dengan orang tua semenjak bayi (Hazan dan Shaver, 1987).

Kecemburuan merupakan salah satu hasil dari ancaman terhadap hubungan

romantis yang tidak lain merupakan proses kelekatan pada individu dewasa.

Beberapa penelitian terkait dengan gaya kelekatan romantis dan kecemburuan

pada individu yang berpacaran menunjukkan bahwa gaya kelekatan romantis

mempunyai peran dalam munculnya kecemburuan. Damayanti (2010) dalam

penelitiannya mengenai kecemburuan dan gaya kelekatan romantis pada

mahasiswa yang berpacaran menunjukkan adanya hubungan yang signifikan

antara gaya kelekatan romantis dan kecemburuan. Selain itu Felicia (2013)
perpustakaan.uns.ac.id 57
digilib.uns.ac.id

melakukan penelitian terkait dengan gaya kelekatan romantis dan tipe

kecemburuan pada dewasa awal berpacaran. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola kelekatan

avoidance dengan tipe kecemburuan self-esteem dan paranoid dan terdapat

hubungan yang signifikan antara pola kelekatan dengantipe kecemburuan

obsessionality, self esteem, fear of loss, paranoid dan interpersonal sensitivity.

Gaya kelekatan setiap individu dapat memprediksikan cara seseorang

mengalami dan mengekspresikan kecemburuan itu sendiri. Individu dengan gaya

kelekatan cemas cenderung untuk menolak dan mengungkapkan kemarahan dan

kecemburuan mereka. Individu dengan gaya kelekatan lebih cenderung

mengungkapkan kemarahan mereka dan menyalahkan pihak ketiga. Individu

dengan gaya kelekatan aman mengungkapkan kemarahan atau kecemburuan

mereka kepada pasangan guna mempertahankan hubungan mereka (Sharpsteen

dan Kirkpatrick, 1997).

Kecemburuan dipandang sebagai penyimpangan keadaan suasana hati yang

semakin meningkat ketika hubungan terancam hancur dan ditandai dengan

perasaan marah, sedih dan ketakutan (DeSteno dan Salovey dalam Trnka, 2011).

Kecemburuan bukanlah emosi tunggal melainkan kombinasi dari beberapa emosi

dan reaksi. Kecemburuan melibatkan banyak perasaan, namun terdapat tiga hal

yang paling tepat dalam mendefinisikan kecemburuan yaitu perasaan sakit hati,

marah dan takut (Guerrero dan Andersen, 1998). Kemampuan seseorang untuk

mengelola emosi-emosi negatif tersebut sangat dibutuhkan dalam sebuah


perpustakaan.uns.ac.id 58
digilib.uns.ac.id

hubungan romantis jika ingin hubungan romantis tersebut harmonis dan bertahan

lama.

Kemampuan seseorang untuk mengelola emosi merupakan bagian dari

perkembangan yang disebut dengan kematangan emosi. Hurlock (1980)

menjelaskan bahwa kematangan emosi merupakan bagian perkembangan ketika

akhir remaja yang ditandai dengan tidak meledaknya emosi di hadapan ornag lain

melainkan menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosi

dengan cara yang lebih dapat diterima.

Walgito (2010) menjelaskan, bahwa individu yang memiliki kematangan

emosi adalah individu yang dapat mengendalikan emosinya maka individu akan

berpikir secara matang, berpikir secara obyektif. Terkait dengan kecemburuan,,

adanya kematangan emosi memungkinkan individu untuk mampu mengendalikan

emosi dan mampu berpikir secara matang dan objektif terhadap peristiwa-

peristiwa yang memicu kecemburuan sehingga terbangun hubungan pernikahan

yang harmonis. Ketika sedang cemburu, individu yang matang secara emosi

cenderung akan mampu emosinya dan dapat berpikir secara obyektif sesuai

dengan kenyataan, tidak berdasarkan asumsi semata. Individu yang tidak matang

mungkin akan menyikapi cemburu dengan penuh amarah sehingga tidak berpikir

panjang dan realistik dalam mengambil keputusan bahkan melakukan agresivitas.

Agresivitas merupakan salah satu tanda rendahnya kematangan emosi, sesuai

dengan penelitian oleh Putri (2010) yang menyatakan bahwa semakin rendah

kematangan emosi maka akan semakin tinggi tingkat agresivitas yang dimiliki
perpustakaan.uns.ac.id 59
digilib.uns.ac.id

seseorang, dan sebaliknya semakin tinggi kematangan emosi seseorang maka akan

semakin rendah tingkat agresivitasnya (Putri, 2010).

Penelitian mengenai kecemburuan ditinjau dari gaya kelekatan romantis dan

kematangan emosi belum banyak dilakukan, namun dari uraian diatas gaya

kelekatan dan kematangan emosi yang dimiliki mempengaruhi tindakan individu

serta keputusan yang diambil terhadap konflik yang muncul dalam hubungan

romantis yang sedang dijalani. Terkait dengan kecemburuan individu dengan gaya

kelekatan aman cenderung akan menerapkan constructive coping strategies yaitu

mengambil tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan hubungan.

Individu dengan gaya kelekatan tidak aman akan cenderung menerapkan

destructive coping strategies, yaitu cenderung mengambil tindakan yang

emosional dan tidak rasional dalam menghadapi kecemburuan, sehingga

mengancam kelangsungan hubungan romantis (Demirtas dan Madran, dalam

Trnka, dkk., 2011). Dimilikinya gaya kelekatan romantis aman diantara pasangan

serta adanya kematangan emosi yang tinggi, diasumsikan individu akan semakin

bersikap postif dalam menghadapi kecemburuan, begitu pula sebaliknya. Gaya

kelekatan romantis yang aman dan kematangan emosi yang tinggi perlu dimiliki

individu, khususnya pasangan muda dalam hubungan romantis yang sedang

dijalani, dalam hal ini pernikahan sehingga dapat tercipta pernikahan yang

harmonis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa gaya kelekatan

romantis dan kematangan emosi individu berperan penting dalam sebuah

hubungan romantis terkait dengan kecemburuan. Oleh karena itu penelitian ini
perpustakaan.uns.ac.id 60
digilib.uns.ac.id

dilakukan guna melihat tingkat kecemburuan pada pasangan muda ditinjau dari

gaya kelekatan romantis dan kematangan emosi.

F. Kerangka Pemikiran

H2
Gaya Kelekatan
Romantis
H1 Tingkat
Kecemburuan

Kematangan
H3
Emosi

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian

Keterangan:

H1 : Hipotesis 1

H2 : Hipotesis 2

H3 : Hipotesis 3

G. Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara gaya kelekatan romantis dan kematangan emosi

dengan kecemburuan pasangan muda.

2. Terdapat hubungan antara gaya kelekatan romantis dengan tingkat

kecemburuan pada pasangan muda.


perpustakaan.uns.ac.id 61
digilib.uns.ac.id

3. Terdapat hubungan antara kematangan emosi dengan tingkat kecemburuan

pada pasangan muda.

Anda mungkin juga menyukai