Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Cemburu

1. Pengertian Perilaku Cemburu pada Remaja yang Berpacaran

Cemburu merupakan reaksi terhadap ancaman yang dianggap terjadi dalam suatu

hubungan (Pines, 1998). Salovey (1991) berpendapat cemburu adalah emosi yang dialami

ketika seseorang merasa hubungan dengan pasangan terancam dan mengakibatkan hilangnya

kepemilikan, biasanya ini akan timbul apabila ada pihak ketiga dalam hubungan tersebut.

Mameros (Duma, 2009) menyatakan cemburu merupakan reaksi yang terjadi pada hubungan

romantis yang sedang terancam oleh pihak ketiga, ancaman ini bersifat subyektif dan nyata.

Hal ini biasanya diikuti dengan rasa takut kehilangan pasangannya.

Menurut Surbakti (2009), cemburu timbul karena ingin memiliki sendiri pasangannya dan

perasaan terancam karena kehadiran orang lain dalam hubungannya. Saat mengalami rasa

cemburu biasanya sistem rasionalnya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Buunk and

Bringle (1987) berpendapat bahwa perilaku cemburu adalah emosi yang berpotensi merusak

dalam hubungan intim. White and Mullen (1989) mengemukakan bahwa kecemburuan

berhubungan erat dengan gaya cinta “mania,” yang dicirikan oleh ketidakpastian tentang

cinta pasangan dan oleh reaksi emosional yang ekstrem, seringkali dalam cara yang obsesif.

Tiga perasaan yang paling menggambarkan cemburu adalah hurt, fear, dan anger (Miller,

2007). Terluka (hurt) timbul dari persepsi bahwa pasangan kita tidak menghargai komitmen

pada hubungan kita, sedangkan takut (fear) dan cemas (anxiety) timbul dari ketakutan akan

diabaikan dan kehilangan. Marah (angry) timbul dari perasaan dinomorduakan dari orang

lain. Pada perwujudan terburuknya, kecemburuan dikaitkan dengan agresi dan kekerasan.

Kecemburuan telah dilaporkan sebagai motif dalam perilaku agresif terhadap pasangan.

(DeSteno, Valdesolo, & Bartlett, 2006; Paul, Foss, & Galloway, 1993). Kecemburuan yang
ekstrem atau sering disebut “kecemburuan tidak sehat” memiliki dampak dalam beberapa

kejahatan dengan hasrat membunuh (Mullen, 1993; Wilson & Daly, 1996).

Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan

masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003). Pada periode ini terjadi perubahan-

perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah,

fungsi seksual (Kartono, 1995). Dalam rangka memenuhi tugas perkembangannya, remaja

memiliki tugas membina hubungan baik dengan lawan jenis dan mempersiapkan diri untuk

memasuki perkawinan (Hurlock, 2004). Sehingga pada masa remaja, remaja mulai membina

hubungan romantis dengan lawan jenis atau yang sering disebut dengan berpacaran.

Bila di lihat dari definisinya, pacaran adalah aktifitas sosial yang membolehkan dua orang

yang berbeda jenis kelaminnya untuk terikat dalam interaksi sosial dengan pasangannya

yang tidak ada hubungan keluarga. Menurut Erickson (dalam Santrock, 2003) pengalaman

romantis pada masa remaja dipercaya memainkan peran yang penting dalam perkembangan

identitas dan keakraban. Pacaran pada masa remaja membantu individu dalam membentuk

hubungan romantis selanjutnya dan bahkan pernikahan pada masa dewasa.

Berdasarkan uraian diatas, perilaku cemburu adalah reaksi dari emosi negatif yang dialami

seseorang dalam hubungan yang merasa hubungan romantisnya merasa terancam karena

kehadiran orang lain dan perilaku tersebut bisa berujung dengan perilaku agresi kepada

pasangannya tersebut. Pada penelitian ini, perilaku cemburu yang akan diteliti adalah pada

remaja yang berpacaran. Perilaku cemburu pada remaja yang berpacaran adalah reaksi dari

emosi negatif yang dialami remaja dalam aktifitas sosial dengan pasangan lawan jenisnya

yang merasa hubungan romantisnya dalam hal ini berpacaran yang merasa terancam karena

kehadiran orang lain dan perilaku tersebut bisa berujung dengan perilaku agresi kepada

pasangannya tersebut.
2. Ciri-Ciri Perilaku Cemburu

Hauck (1994) menjelaskan bahwa ciri-ciri cemburu terhadap pasanganyaitu :

a. Rasa rendah diri adalah menganggap diri terlalu kecil. Salah satu ukuran tidak

menguntungkan yang dipakai orang pencemburu untuk menilai kepantasan itu adalah

apakah seorang pencemburu dicintai atau tidak.

b. Mentalitas Tuan-Hamba adalah sama seperti rasa rendah diri yang menjadi dasar rasa

cemburu, maka pribadi pencemburu pastilah mentalitas Tuan-Hamba. Jarang orang

pencemburu posesif mengalami letupan emosi secara diam-diam,kebanyakan orang

pencemburu menyatakan keluhannya dengan suara yang keras dan jelas.

c. Perilaku merusak diri merupakan ciri khas seorang pencemburu dan posesif. Sebenarnya

pencemburu mampu dan menonjol dalam banyak bidang kehidupan. Tetapi apabila

menyangkut orang-orang yang dicintai, seorang pencemburu dapat melakukan tindakan

seperti orang terbelakang (retarded).

d. Kesulitan menerima tanggung jawab, hampir dapat dipastikan seorang pencemburu akan

menuduh pasangan menyebabkannya malang dengan menyiksa, seorang pencemburu

jarang memandang kenyataan pada persoalan yang sebenarnya.

e. Mementingkan diri sendiri dan tidak matang adalah selalu mementingkan diri sendiri

apabila ada sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan cintanya, tidak peduli akan perasaan

siapapun kecuali perasaan sendiri, merasa bahwa orang lain tidak berhak mengubah

pikirannya.
f. Rasa takut adalah merasa terancam oleh kejadian yang sama sekali tidak mengancam.

Seorang pencemburu persaingan dan kemungkinan orang yang dicintai terus menerus

menjadi obsesi.

Menurut Dryden dan Gordon (1994), ciri-ciri orang yang cemburu yaitu :

a. Merendahkan diri sendiri : Sikap yang paling menonjol dari orang yang pencemburu

adalah rasa kurang menerima diri sendiri. Umumnya memiliki sedikit atau sama sekali

tidak ada penghargaan atau kebanggaan terhadap diri sendiri.

b. Rasa sensitif yang berlebihan, karena orang-orang pencemburu selalumerasa dikritik orang

lain, meski tidak ada orang lain yang bermaksud begitu.Apabila dikomentari sesuatu akan

menimbulkan salah paham dan komentar itu dianggap sebagai kritik terhadap tingkah

lakunya, meskipun orang lain sudah memilih kata-kata yang baik tetapi tetap saja salah

mengartikan kata-kata tersebut.

c. Pemerasan emosional adalah seorang pencemburu menganggap tidak cocok dan tidak

mempunyai harga diri, menjadi kurang keyakinan untuk mengungkapkan dan berbicara

apa yang diinginkan sehingga seorang pencemburu berusaha agar dapat diterima orang

lain dengan cara melemparkan perasaan bersalah kepada orang lain yang menjadi sasaran

dari permintaannya sendiri.

d. Bersikap terlalu curiga merupakan bagian dari gangguan mental parapen cemburu, tidak

hanya terlampau sensitif terhadap setiap kritik dan selalu menyimpulkan kritikan untuk

diri sendiri padahal sebenarnya bukan ditujukan kepada dirinya. Hal lainnya seperti

merasa curiga tanpa kejelasan terhadap sikap dan motif orang lain.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri cemburu adalah

rasa rendah diri, mentalitas tuan-hamba, perilaku merusak diri, kesulitan menerima tanggung
jawab, mementingkan diri sendiri, menyalahkan orang lain, takut, rasa sensitif yang

berlebihan, bersikap terlalu curiga, dan melampiaskan kemarahan. Dari dua teori tersebut,

peneliti akan menggunakan teori dari Sarwono. Adapun alasan peneliti menggunakan teori

dari Hauck karena uraian dari ciri-ciri perilaku cemburu yang dikemukakan lebih spesifik

dalam hal perilakunya dan konteksnya pada pasangan, sehingga lebih memudahkan peneliti

untuk membuat aitem dalam skala dibanding menurut Dyrden dan Gordon. Keenam ciri-ciri

tersebut yang nantinya peneliti gunakan menjadi acuan dalam penyusunan alat ukur untuk

membuat skala guna mengungkap tingkat perilaku cemburu.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Cemburu

Menurut Herron dan Peter (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi cemburu adalah:

a. Merasa tidak nyaman dengan diri sendiri

merasa tidak aman tentang hidup secara umum, khususnya yang berkaitan dengan

hubungan antar sesama, mungkin juga karena hidup di lingkungan orang-orang yang

kurang menghargai diri orang tersebut. Pencemburu bergantung pada orang lain untuk

bisa merasa berguna dan harus mempunyai seseorang yang mencintainya, jika orang

yang dicintai tidak memberikan perhatian lagi atau memperhatikan orang lain maka

orang yang cemburu akan melakukan sesuatu untuk mencegah agar orang yang

dicintai tidak meninggalkannya.

b. Kemungkinan memiliki pengalaman kehilangan di masa lalu

orang yang sangat takut ditinggalkan atau kehilangan cinta dan kasih sayang mungkin

dapat berasal dari masa lalu yang pernah kehilangan, seperti kehilangan orangtua,

teman atau orang yang disayangi meninggal. Ketika seseorang kehilangan orang yang

dicintai maka perasaan kehilangan itu tertancap kuat dalam ingatannya dan hal ini

membuatnya tidak ingin mengalaminya lagi, ketakutan kehilangan tersebut dapat

membuat perasaan cemburu menjadi tidak terkendali.


Menurut Surbakti (2009), hal-hal yang dapat mempengaruhi cemburu yaitu :

a. Kehadiran pihak ketiga yang identitasnya tidak jelas, hal ini merupakan ancaman bagi

pasangannya karena merasa tersaingi. Banyak para remaja yang mengakhiri masa pacaran

karena pihak ketiga yang menimbulkan kesalahpahaman.

b. Kesetiaan yang meragukan : perasaan cemburu bisa disebabkan oleh kecurigaan pada

pasangan terhadap komitmen bersama. Perasaan cinta para remaja seringkali timbul akibat

daya tarik fisik, sehingga mudah berubah jika ada pesaing yang secara fisik lebih menarik.

Hal ini menimbulkan perasaan cemburu bagi pihak yang merasa dikhianati.

c. Takut kehilangan : salah satu unsur terbesar yang sering membuat perasaan cemburu

timbul adalah takut kehilangan orang yang dicintai. Kebanyakan remaja yang sedang

berpacaran takut kehilangan pasangannya,seringkali remaja memaknai kehilangan pacar

sebagai kekalahan yang memalukan dan kehilangan harga diri. Maka dari itu, setiap

ancaman yang berpontensi mengganggu kelanggengan hubungan akan menimbulkan

perasaan cemburu.

d. Berkaitan dengan kepribadian : perasaan cemburu berkaitan dengan kepribadian seseorang.

Seseorang yang memiliki kepribadian yang tidak bersahabat, kurang memiliki empati

biasanya membuat keputusan berdasarkan prinsip pribadi bukan perasaan dan bersifat

logis. Seseorang dengan kepribadian demikian cenderung sulit mengungkapkan

perasaannya dan sering digambarkan memiliki kecenderungan alexithymia. Taylor,

Bagby & Parker (1997) mencirikan alexithymia sebagai trait merupakan

ketidakmampuan dalam mengidentifikasi perasaan dan ketidakmampuan dalam

mengenali emosi melalui sensasi tubuh, memiliki kesulitan dalam menggambarkan

perasaan terutama dalam pengungkapan perasaan yang dalam melalui kata-kata.


Kepribadian yang memiliki kecenderungan alexithymia akan mempengaruhi perilaku

cemburu pada remaja yang berpacaran.

Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku cemburu menurut Herron dan Peter (2005) ada dua, yaitu tidak nyaman dengan diri

sendiri dan kemungkinan memiliki pengalaman kehilangan di masa lalu, sedangkan menurut

Surbhakti (2009) ada empat, yaitu kehadiran pihak ketiga yang tidak jelas, kesetiaan yang

meragukan, takut kehilangan, dan berkaitan dengan kepribadian. Dari kedua teori yang

disebutkan, penulis memilih faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cemburu berdasarkan

teori dari Surbhakti (2009) karena didalamnya terdapat faktor yang berkaitan dengan

kepribadian. Kepribadian seseorang yang tertutup dan kurang memiliki empati sulit

mengidentifikasikan perasaannya sehingga akan membawa seseorang menjadi

kecenderungan alexithymia. Dalam hal ini yang akan diteliti lebih lanjut adalah faktor

kecenderungan alexithymia.

B. Kecenderungan Alexythimia

1. Pengertian Alexithymia

Nemiah & Sifneos (1970) menyatakan bahwa alexithymia adalah sindrom dengan

karakteristik kurangnya pengalaman dan ekspresi perasaan, serta kurangnya pengalaman

yang dapat diimajinasikan yang menghasilkan gaya berfikir tanpa fantasi dan kiasan. Lebih

lanjut lagi Taylor, Bagby & Parker (1997) mencirikan alexithymia sebagai trait merupakan

ketidakmampuan dalam mengidentifikasi perasaan dan ketidakmampuan dalam mengenali

emosi melalui sensasi tubuh, memiliki kesulitan dalam menggambarkan perasaan terutama

dalam pengungkapan perasaan yang dalam melalui kata-kata, serta memiliki gaya berpikir

yang terikat dengan dunia luar dan juga dicirikan sebagai karakteristik yang memiliki

keterbatasan dalam proses imajinasi serta kurang dapat berfantasi.


Lane, Ahern, Schwartz, & Kaszniak (1997) mengatakan bahwa alexithymia sebagi trait

merupakan gangguan pada kapasitas merasakan emosi secara sadar yang menghasilkan

ketidakmampuan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan pengalaman emosi. Sedangkan

Taylor (2000) mengkonseptualisasikan alexithymia sebagai trait merupakan personality trait

yang merefleksikan kekurangan pada kemampuan pemrosesan kognitif dari informasi emosi.

Lebih lanjut, Swart, Kortekaas & Aleman (2009) mengartikan alexithymia sebagai trait

merupakan kepribadian yang diasosiasikan dengan kesulitan dalam kesadaran emosi dan

meregulasi emosi.

American Journal of Psycology (2017) melaporkan, orang alexithymia dapat mengalami

kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini dikarenakan mereka sulit

memahami, merespon, dan kurang peka dengan masalah yang dialami orang lain. Oleh

karena itu, orang lain akan menilai orang alexithymia sebagai orang yang sulit berempati.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang dikemukakan para ahli, peneliti dapat

menyimpulkan kecenderungan alexithymia adalah kecenderungan seseorang mengalami

kesulitan dalam mengidentifikasikan dan mengekspresikan emosi dan perasaannya dalam

kehidupan sosial sehingga mereka sulit memahami, dan kurang empati terhadap apa yang

orang lain rasakan. Seseorang dengan kecenderungan alexithymia diasosiasikan memiliki

kepribadian yang sulit dalam meregulasi emosi.

2. Karakteristik Alexithymia

Terdapat beberapa karakteristik gejala alexithymia menurut Taylor, Bagby & Parker

(1994) sebagai berikut :

a) Kesulitan dalam mengidentifikasi perasaan


Orang dengan alexithymia sulit mengenali emosi mereka, contohnya ketika mereka

sedang marah, senang, sedih maupun kecewa, mereka tidak tahu pasti emosi apa yang

sedang mereka rasakan.

b) Kesulitan dalam mendeskripsikan perasaan

Orang dengan alexithymia memiliki kesulitan dalam mengungkapkan bagaimana

perasaan mereka. Mereka sulit menceritakan kepada orang lain emosi yang sedang

mereka rasakan terutama melalui kata-kata.

c) Cara berpikir yang cenderung mengabaikan pengalaman afektif, cenderung merespon

stimulus eksternal. Orang dengan alexithymia memiliki disposisi untuk fokus pada

eksternal daripada peristiwa internal dan sebuah pengalaman.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan menurut Taylor, Bagby, dan

Parker (1994) karakteristik alexithymia dapat dilihat dari tiga karakteristik yakni, kesulitan

dalam mengidentifikasi perasaan, kesulitan dalam mendeskripsikan perasaan, dan cara

berpikir yang cenderung mengabaikan pengalaman afektif, cenderung merespon stimulus

eksternal. Ketiga karakteristik dari Taylor, dkk (1994) tersebut nantinya akan peneliti

gunakan sebagai acuan dalam penyusunan alat ukur guna mengungkap tingkat

kecenderungan alexithymia karena penjelasan dan contohnyalebih kongkrit dan ada acuan

dari 20 items Toronto Alexithymia Scale sehingga memudahkan penulis dalam menyusun

aitem Skala Alexythimia.

B. Hubungan antara Kecenderungan Alexythimia dengan Perilaku Cemburu pada

Remaja yang Berpacaran

Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan

masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003).Pada periode ini terjadi perubahan-

perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah,

fungsi seksual (Kartono, 1995). Dalam rangka memenuhi tugas perkembangannya, remaja
memiliki tugas membina hubungan baik dengan lawan jenis dan mempersiapkan diri untuk

memasuki perkawinan (Hurlock, 2004). Sehingga pada masa remaja, remaja mulai membina

hubungan romantis dengan lawan jenis atau yang sering disebut dengan berpacaran.

Bila dilihat dari definisinya, pacaran adalah aktifitas sosial yang membolehkan dua

orang yang berbeda jenis kelaminnya untuk terikat dalam interaksi sosial dengan

pasangannya yang tidak ada hubungan keluarga. Menurut Erickson (dalam Santrock, 2003)

pengalaman romantis pada masa remaja dipercaya memainkan peran yang penting dalam

perkembangan identitas dan keakraban. Pacaran pada masa remaja membantu individu dalam

membentuk hubungan romantis selanjutnya dan bahkan pernikahan pada masa dewasa.

Sesuai dengan tugas perkembangannya, remaja memang diharapkan bergaul tidak hanya

dengan sesama jenis, tetapi juga dengan lawan jenis sehingga bergaul dengan lawan jenis

mendorong remaja untuk menjalin hubungan yang semakin dekat seperti berpacaran

(Hurlock, 2004). Melalui pacaran remaja bisa menerapkan tugas perkembangannya yaitu

membina hubungan baik dengan lawan jenis sehingga kemandirian emosi dapat tercapai

dengan mengenali dan memahami dirinya, tetapi fakta dilapangan beberapa remaja

memperlihatkan penyimpangan dalam relasinya dengan lawan jenis yang berdampak pada

perilaku cemburu yang berbahaya.

Sesuai dengan penjelasan Gregory (2003) seseorang yang selalu merasa cemburu

pikirannya akan selalu dipenuhi rasa curiga dan berdampak menjadi paranoid terhadap setiap

orang yang dekat dengan pasangannya, depresi, dan sulit mengontrol kemarahannya sehingga

mereka sulit mengotrol emosionalnya bahkan berujung melakukan kekerasan baik kepada

pasangannya ataupun kepada dirinya sendiri atau self-destructive.

Salah satu faktor yang mempengaruhi remaja memiliki perilaku cemburu yang

berbahaya adalah adanya kecenderungan alexythimia. Seseorang yang memiliki


kecenderungan alexythimian memiliki kepribadian yang tidak bersahabat, kurang memiliki

empati biasanya membuat keputusan berdasarkan prinsip pribadi bukan perasaan dan bersifat

logis. Seseorang dengan kepribadian demikian cenderung sulit mengungkapkan perasaannya

dan kesulitan mendeskripsikan perasaannya. Taylor, Bagby & Parker (1997) mencirikan

alexithymia sebagai trait merupakan ketidakmampuan dalam mengidentifikasi perasaan dan

ketidakmampuan dalam mengenali emosi melalui sensasi tubuh, memiliki kesulitan dalam

menggambarkan perasaan terutama dalam pengungkapan perasaan yang dalam melalui kata-

kata.

Seseorang dengan alexithymia mampu menampilkan emosi, namun mereka tidak

memahami perubahan emosi yang terjadi. Kondisi ini membuat seseorang dengan

alexithymia mengalami keterbatasan dalam fungsi personal dan interpersonal (Parker, Taylor,

& Bagby, 2001; Thompson, 2009) Sebagai sebuah gangguan, alexithymia dapat ditemukan

pada populasi umum, berdasarkan penelitian yang dilakukan Moriguchi dkk. (2006) yang

menunjukkan bahwa individu dengan alexithymia memiliki kerusakan pada mentalizing

(hipoaktifitas pada MPFC) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dalam memahami

perspektif orang lain. Kemampuan ini terlibat dalam proses memahami diri sendiri dan orang

lain yang berperan penting dalam pengaturan emosi.

Kecenderungan alexythimia mempengaruhi perilaku cemburu yang berbahaya karena

mereka memiliki kekurangan dalam pengaturan emosi sehingga cinta yang posesif muncul

dalam hubungan berpacaran remaja tetapi seseorang tersebut tidak bisa mengutarakan

perasaannya dan mengidentifikasikan dirinya kemudian remaja memunculkan perilaku

cemburu yang berbahaya. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Linda

Wahyuning Lestari (2016) terdapat hasil yang sangat signifikan membuktikan bahwa

kecenderungan alexythimia mempengaruhi kecemburuan dalam hubungan berpacaran.


Karakteristik gejala alexythimia yang pertama adalah kesulitan dalam

mengidentifikasi perasaan. Menurut Taylor, Bagby & Parker (1994) Orang dengan

alexithymia sulit mengenali emosi mereka, contohnya ketika mereka sedang marah, senang,

sedih maupun kecewa, mereka tidak tahu pasti emosi apa yang sedang mereka rasakan.

Perkembangan emosional merupakan perkembangan yang ada pada diri setiap manusia dan

perubahan emosi biasanya semakin cepat berkembang selama awal remaja (Hurlock, 2004).

Sulitnya remaja mengidentifikasikan perasaan mengakibatkan remaja tersebut sulit mengenali

emosi yang sedang dirasakan sehingga remaja tidak dapat menyampaikan ketidaknyamanan

yang mereka rasakan pada hubungan berpacaran, seperti perilaku cemburu yang berbahaya.

Gejala alexythimia kedua adalah kesulitan mendeskripsikan perasaan, Orang dengan

alexithymia memiliki kesulitan dalam mengungkapkan bagaimana perasaan mereka. Mereka

sulit menceritakan kepada orang lain emosi yang sedang mereka rasakan terutama melalui

kata-kata (dalam Taylor, Bagby & Parker, 1994). Sama halnya dengan gejala alexythimia

yang pertama, remaja yang kesulitan mendeskripsikan perasaannya membuat remaja tersebut

tidak dapat mengungkapkan apa yang sedang mereka rasakan sehingga mereka hanya bisa

memendam semua perasaan yang dirasakan. Semua perasaan terpendam yang tidak dapat

mereka tuangkan dengan bercerita kepada pasangan sehingga membuat mereka membentuk

cinta yang posesif. Cinta yang posesif terhadap pasangan akan memunculkan perilaku

cemburu yang berbahaya.

Gejala alexythimia ketiga adalah cara berpikir yang cenderung mengabaikan

pengalaman afektif, cenderung merespon stimulus eksternal. Menurut Taylor, Bagby &

Parker (1994) orang dengan alexithymia memiliki disposisi untuk fokus pada eksternal

daripada peristiwa internal dan sebuah pengalaman. Taylor (2000) menjelaskan bahwa orang

dengan gejala alexythimia kurang mampu dalam merefleksikan pemrosesan kognitif dari

informasi emosi. Dalam hal ini remaja yang memiliki gejala tersebut sering bertindak
memutuskan tanpa banyak pertimbangan sehingga stimulus eksternal yang diterima kurang

dapat diproses dengan baik dan sulit meregulasi emosi ketika dihadapkan dengan suatu

permasalahan. Hal tersebut tentunya menyebabkan hubungan remaja dengan pasangannya

memunculkan perilaku cemburu yang berbahaya.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diduga bahwa kecenderungan alexythimia akan

mendorong remaja untuk berperilaku cemburu yang berbahaya. Jika dalam kepribadiannya

memiliki kecenderungan alexythimia maka remaja juga akan semakin berpeluang memiliki

perilaku cemburu yang berbahaya. Semakin tinggi tingkat kecenderungan alexythimia

remaja, maka semakin tinggi pula tingkat perilaku cemburu yang berbahaya pada remaja

yang berpacaran.

C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara

kecenderungan alexithymia dengan perilaku cemburu, sehingga semakin tinggi tingkat

kecenderungan alexithymia maka perilaku cemburu pada remaja yang berpacaran semakin

tinggi, sebaliknya semakin rendah tingkat kecenderungan alexithymia maka perilaku

cemburu pada remaja yang berpacaran semakin rendah pula.

Anda mungkin juga menyukai