Anda di halaman 1dari 140

Pengelola

Penerbit MAARIF Institute for Culture and Humanity


Penanggung Jawab Ahmad Syafii Maarif
Jeffrie Geovanie
Rizal Sukma
Pemimpin Umum Fajar Riza Ul Haq
Pemimpin Redaksi Muhammad Abdullah Darraz
Dewan Redaksi Clara Juwono
Moeslim Abdurrahman
M. Amin Abdullah
Haedar Nashir
M. Deddy Julianto
Luthfi Assyaukanie
Ahmad-Norma Permata
Hilman Latief
Ahmad Najib Burhani
Sekretaris Redaksi M. Supriyadi
Redaktur Pelaksana Endang Tirtana, Khelmy K. Pribadi
Desain Layout Harhar, benang komunikasi
Keuangan Henny Ridhowati
Sirkulasi Deni Murdiani, Awang S.
Alamat Redaksi MAARIF Institute for Culture and Humanity,
Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta, 12810
Telp. +62-21 8379 4554, Fax. +62-21 8379 5758
Website : www.maarifinstitute.org
e-mail : maarif@maarifinstitute.org;
darrazophy@yahoo.com
Rekening Penyaluran Donasi
Yayasan Ahmad Syafii Maarif
BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara)
0114179273

Redaksi mengundang para cendekiawan, agamawan, peneliti, dan aktivis untuk mengirimkan tulisan
baik berupa hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute for Culture
and Humanity. Tulisan merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Penulisan
mengacu pada standar ilmiah yang telah ditetapkan oleh redaksi dengan panjang tulisan 1.500 – 2.000
kata (5-7 halaman, 1 spasi, A4). Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa mengurangi atau
menghilangkan substansi. Jurnal MAARIF terbit 3 kali setahun (April, Agustus, Desember).

1
1111 Jurnal.indb 1 19/11/2011 14:48:51
Daftar Isi

Indonesia dalam Perubahan Geopolitik Global:


Pengantar Jurnal MAARIF...................................................... 3
Muhd. Abdullah Darraz

Politik Ekonomi Indonesia


Di Antara Cina Dan Kekuatan–Kekuatan Baru Lainya......... 11
Bambang Cipto

Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:


Antara Persepsi dan Pilihan.................................................... 28
Adinda Tenriangke Muchtar

Garuda Di Antara Raja Elang dan Geliat Naga...................... 59


Fajar Riza Ul Haq

Nasionalisme–Pragmatis:
Pilihan Model Kapitalisme a la Cina...................................... 73
Budi Asyhari-Afwan

Kaum Muda, Kelas Kreatif,


dan Masa Depan Perekonomian Indonesia............................ 86
Fahd Pahdepie

Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:


Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme............ 98
Choirul Mahfud

Dari “Manusia Pesakitan” Menuju “Bangsa Kuat”:


Mengintip Kebangkitan China Lewat Olah Raga................... 117
Wahyudi Akmaliah Muhammad

Film “Mata Tertutup” untuk Membuka Mata*....................... 130


Maria Hartiningsih

Profil Penulis . ......................................................................... 133


Profil Media ............................................................................ 135
Petunjuk dan Format Penulisan Artikel ................................. 139

2
1111 Jurnal.indb 2 19/11/2011 14:48:52
Indonesia dalam Perubahan
Geopolitik Global:
Pengantar Jurnal MAARIF
Muhd. Abdullah Darraz

Fenomena krisis keuangan global yang mengguncang


ekonomi Amerika Serikat dua tahun terakhir ini dimaknai
sebagai sebuah tanda surutnya kedigdayaan kekuatan negara
adidaya tersebut dan matinya sistem politik di dalamnya. Hal
ini diamini oleh para intelektual Amerika Serikat seperti
Fareed Zakaria dan Francis Fukuyama.
Fareed Zakaria, seorang kolumnis dan analis geopolitik
terkemuka, menyatakan, telah terjadi pergeseran yang
signifikan dalam peta geopolitik dan geoekonomi global saat
ini. Dimana kedigdayaan Amerika Serikat semakin diimbangi
oleh munculnya kekuatan-kekuatan baru yang menandingi
–bahkan bisa jadi melebihi– kedigdayaan Amerika Serikat di
masa depan. Kekuatan baru tersebut diisi oleh Kebangkitan Dengan
Cina, India, Brazil dan Rusia. bermunculannya
Dengan bermunculannya kekuatan-kekuatan baru ini, kekuatan-kekuatan
Amerika Serikat tidak bisa lagi dipandang sebagai satu-satunya baru ini, Amerika
pemain yang dominan dalam kancah percaturan ekonomi- Serikat tidak bisa lagi
politik global. Titik puncak moment unipolar kekuatan dipandang sebagai
Amerika Serikat adalah saat-saat setelah tragedi 9/11, 10 satu-satunya pemain
tahun yang lalu. Dimana Amerika Serikat dengan kekuatan yang dominan dalam
ekonomi dan militernya melakukan upaya berlebihan kancah percaturan
dalam kebijakan luar negerinya. Fundamentalisme Islam ekonomi-politik
yang berujung pada stigma terorisme Islam “diciptakan” global.

3
1111 Jurnal.indb 3 19/11/2011 14:48:52
Pengantar Redaksi

dan dijadikan panggung show of force bagi kedigdayaan Amerika Serikat.


Hal ini dilakukan terhadap Irak yang dulu pernah menjadi anak-emas
negeri Paman Sam tersebut, dan Afganistan. Invasi ke Irak dan perang
Afganistan telah dijadikan pembuktian tentang kuatnya ekonomi dan
militer Amerika Serikat.
Namun kedua perang itu (Irak dan Afganistan), bagi Fukuyama, menjadi
pertanda bagi hari-hari terakhir Amerika Serikat sebagai negara adidaya.
Hegemoni dua dasawarsa Amerika Serikat akan berakhir. Pemerintah
Amerika Serikat tidak terlihat memiliki kekuatan maupun keinginan
untuk mempertahankan hegemoninya. Pembagian sumber daya bergeser,
daya beli dan kekuatan militer berkurang drastis. (Fukuyama, 2008)
Kini moment unipolar itu telah bergeser, karena pola hubungan
global menjadi multipolar, hal ini berimbas pada terjadinya pengikisan
kedigdayaan sebuah kekuatan, dan diimbangi oleh kekuatan-kekuatan
baru yang memberikan harapan sekaligus tantangan yang berbeda.

Kebangkitan ekonomi Cina belum Peralihan kekuatan itu kini disambut


oleh Cina. Saat ini negeri Tirai
tentu akan mendorong Negara ini Bambu itu adalah debitur terbesar
menjadi sebuah Negara Superpower. Amerika Serikat. Cina merupakan
satu di antara Negara yang saat ini
Alasannya, Cina hingga saat tengah memainkan peranan sebagai
ini belum memiliki pandangan negara dengan perekonomian
terkuat di dunia. Kebangkitan yang
kepemimpinan yang jelas dalam peta
terus tampak dalam berbagai sektor,
politik dunia, bahkan belum nampak terutama ekonomi, telah menaikkan
posisi tawar negeri Tiongkok itu
adanya ambisi yang kuat dari negeri
menandingi kedigdayaan Amerika
Tembok Besar itu untuk menjadi Serikat. Proyeksi Goldman Sachs,
pada 2050 mendatang menyatakan
Negara superpower secara geopolitik
bahwa perekonomian Cina akan
mengalahkan perekonomian Amerika Serikat, dan berada pada puncak
perekonomian terbesar di dunia, sedangkan India berada pada posisi
ketiga. (Martin Jacques, 2009)
Meskipun kekuatan ekonomi Cina semakin dahsyat, namun hal itu, bagi
Zakaria, belum tentu berpengaruh secara signifikan bagi terbentuknya
kekuatan politik dan geopolitik bangsa tersebut. Oleh karena itu

4 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 4 19/11/2011 14:48:52


Pengantar Redaksi

kebangkitan ekonomi Cina belum tentu akan mendorong Negara ini


menjadi sebuah Negara Superpower. Alasannya, Cina hingga saat ini
belum memiliki pandangan kepemimpinan yang jelas dalam peta politik
dunia, bahkan belum nampak adanya ambisi yang kuat dari negeri
Tembok Besar itu untuk menjadi Negara superpower secara geopolitik.
(Fareed Zakaria, 2011).
Meski demikian, bukan sebuah kemustahilan bagi Cina untuk
mengembangkan dan menjadikan dirinya sebagai sebuah Negara
adidaya yang didukung bukan hanya oleh kekuatan ekonomi, namun
juga kekuatan politik dan militer. Karena dua kekuatan terakhir ini
akan sangat bertumpu pada kekuatan ekonomi yang semakin gemilang
dimiliki Cina. Karakteristik negeri tirai bambu ini sebagai Negara
adidaya di masa depan agak unik dan berbeda. Tidak seperti macan Asia
lainnya, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan, Cina tidak pernah
menjadi Negara bawahan dari Amerika Serikat. Secara kultur dan
ideologi, Cina sama sekali berbeda dengan Amerika. Kebangkitannya
bertumpu pada kemandirian bangsa dengan jumlah penduduk terbesar
pertama di dunia.
Namun jikalau benar kedigdayaan itu menjadi milik Cina di masa depan,
bagaimanakah kebijakan luar negeri yang akan diterapkan Cina terhadap
negeri-negeri lain, terutama negeri Muslim, baik di Asia maupun di
Timur Tengah. Bagaimana relasi itu akan dilakukan? Akankah Cina
menerapkan pola yang sama dalam kebijakan luar negerinya sebagaimana
pola ekspansionis yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada 1-2 dekade
terakhir? Karakter dan sikap dasar Cina terhadap perbedaan merupakan
faktor kuat yang menentukan bagaimana Cina berperilaku sebagai
sebuah kekuatan global di masa mendatang.

Islam, Cina, dan Posisi Indonesia


Hubungan Islam Nusantara (Indonesia) dan Cina dalam lintasan sejarah
menunjukkan sebuah hubungan yang signifikan bagi keberadaan dua
kebudayaan ini. Dalam beberapa literature penelitian yang relative lebih
baru, dinyatakan bahwa islamisasi di Indonesia terjadi melalui peran
masyarakat Cina yang melakukan kegiatan ekonomi (perdagangan) di
Nusantara. Cina menunjukkan peran yang kian penting saat kaisar
Ming mengirim Laksamana Cheng-Ho dan penerjemahnya, Ma Huan—

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


5
1111 Jurnal.indb 5 19/11/2011 14:48:52
Pengantar Redaksi

keduanya beragama Islam—dalam ekspedisi ke Nusantara beberapa kali


sepanjang abad XIV untuk menjalin hubungan politik dan ekonomi.
Kini, Indonesia sebagai salah satu representasi ekspresi masyarakat
muslim di dunia dihadapkan pada tantangan dalam menghadapi berbagai
perubahan global ini. Sebagai sebuah Negara dengan komunitas muslim
terbesar di dunia, sepatutnya hal ini menjadi modal yang kuat untuk
memainkan perannya sebagai sebuah kekuatan kultural dalam menjalin
hubungan yang dinamis dengan berbagai kekuatan-kekuatan politik-
ekonomi baru dunia yang semakin bermunculan.
Namun lebih lanjut, kita bisa mempertanyakan, dimanakah posisi
Indonesia saat ini, di tengah perubahan peta politik global dan munculnya
kekuatan-kekuatan baru dunia? Adakah Indonesia memiliki posisi tawar
dalam perubahan peta politik dan ekonomi dunia? Bisakah Indonesia
memanfaatkan momentum yang penuh harapan ini menjadikan dirinya
masuk dalam persaingan yang lebih terbuka di antara Negara-negara
tersebut?
Merujuk pada proyeksi Goldman Sach, perekonomian Indonesia
di tahun 2050 berpotensi menyalip perekonomian Jepang. Dengan
berjalannya konsolidasi demokrasi di internal Indonesia, stabilitas
politik, pengelolaan berbagai konflik secara produktif dan konstruktif,
tentu hal ini menjadi modal yang baik untuk menciptakan Indonesia
mampu bersaing dengan berbagai kekuatan baru yang bermunculan ini.
Tentu Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia tidak mau jika Asia
didominasi dan dikuasai oleh satu kekuatan dominan, termasuk oleh Cina
sendiri, baik dalam hubungan ekonomi, politik, dan militer. Sebagaimana
Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa tidak menginginkan hal tersebut.
Karena itu tentu akan mengurangi dominasi superioritas Amerika dan
Negara-negara Barat di kawasan Asia. Begitupun dengan Indonesia,
India, Jepang, dan Australia, yang sama sekali tidak menghendaki adanya
dominasi dari sebuah negara adidaya di kawasan Asia. (Fareed Zakaria,
2011).
Wibawa Amerika Serikat tentu belum akan surut dalam beberapa tahun
ke depan ini. Hegemoni dan cengkraman kekuatannya di berbagai
kawasan masih akan terus berlanjut. Apa yang terjadi beberapa hari
yang lalu terkait perhelatan ASEAN Summit di Bali, 17-20 November

6 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 6 19/11/2011 14:48:52


Pengantar Redaksi

2011 ini, yang secara khusus dihadiri oleh Presiden Barack Obama, bisa
ditafsirkan sebagai belum akan surutnya dominasi Amerika di kawasan
Asia, terutama Asia Tenggara. Munculnya Cina sebagai Superpower
ekonomi bisa menjadi kekuatan penyeimbang bagi hegemoni yang saat
ini terus diupayakan oleh Amerika Serikat di kawasan ini, meskipun
kemunculan Cina ini memunculkan ekses-ekses lain bagi negara-negara
di kawasan tersebut.
Bergulirnya perubahan peta geopolitik dan geoekonomi dunia ini jelas
memberikan harapan baru yang perlu disambut sekaligus memberikan
tantangan bagi Indonesia. Jikalau Indonesia berhasil melewati tantangan
tersebut, tidak menutup kemungkinan perekonomian Indonesia dapat
bersaing dan disejajarkan dengan kekuatan-kekuatan baru yang sedang
bangkit itu.

Perubahan Geopolitik-Ekonomi dalam Beberapa Perspektif


Dalam edisi kali ini, Jurnal MAARIF akan mengulas masa depan
Indonesia di tengah perubahan peta geopolitik (dan geoekonomi)
yang selama ini telah melahirkan kekuatan-kekuatan baru yang sangat
gemilang dan signifikan, terutama direpresentasikan oleh munculnya
Cina dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, dan kaitannya dengan
pengaruh Amerika di kawasan Asia.
Untuk mengupas tema besar ini, beberapa analisis secara sengaja
diarahkan pada beberapa perspektif di bawah ini:
Perspektif Politik: Kebangkitan Cina dan Masa Depan Geopolitik Dunia.
Subtema ini ingin meneropong sejauh mana kekuatan ekonomi Cina
dapat menjadi faktor pendorong bagi kekuatan politik dan militer negeri
tirai bambu tersebut. Bagaimanakah kebijakan luar negeri Cina, apakah
Cina akan melakukan ekspansi-ekspansi politik sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Amerika Serikat? Subtema ini juga membahas persoalan
perubahan peta politik dunia dan kaitannya dengan isu terorisme dan
keamanan dunia. Bagaimanakah sikap Cina terhadap perkembangan
Islam di dunia? Mungkinkah tesis Huntington tentang “benturan
antar peradaban” akan digunakan oleh Cina dalam kaitannya dengan
hubungan internasional terhadap Negara-negara Islam, sebagaimana
selama satu decade terakhir ini tesis tersebut telah dijadikan pembenaran

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


7
1111 Jurnal.indb 7 19/11/2011 14:48:52
Pengantar Redaksi

oleh pemerintah Amerika Serikat (di bawah kepemimpinan George Bush


Jr.) dalam menjalankan politik luar negerinya atas nama peperangan
melawan terorisme.
Perspektif Ekonomi: Peta Perekonomian Indonesia di antara Cina
dan Kekuatan-kekuatan Baru lainnya.
Subtema ini akan melihat perekonomian Indonesia dalam peta
perekonomian Asia Tenggara, Asia, dan global. Bagaimanakah seharusnya
Indonesia menyikapi munculnya kekuatan-kekuatan baru ekonomi
terutama Kebangkitan Ekonomi Cina? Sebesar apakah potensi yang
dimiliki Indonesia dalam kaitannya dengan melesatnya pertumbuhan
perekonomian Negara-negara yang tengah bangkit tersebut.
Perspektif Kultural: Karakteristik Ideologis dan Kultural Cina
dalam Kancah Politik Global.
Subtema ini akan mengulas kajian tentang dasar ideologis dan kultural
yang dimiliki oleh Cina sebagai modal bagi kebangkitan (ekonomi,
politik, militer) negeri Tirai Bambu tersebut, dan pijakan bagi sikapnya
terhadap dunia internasional. Sejauhmana karakteristik-karakteristik
ideologis dan kultural tersebut mempengaruhi keberadaan Cina dewasa
ini dan di masa yang akan datang.
Beberapa tulisan yang hadir di hadapan pembaca ini mencoba
meneropong fenomena perubahan geopolitik dan geoekonomi global
ini melalui beberapa perspektif (sebagaimana dijelaskan di atas), di
antaranya adalah perspektif politik-ekonomi yang diwakili oleh tulisan
Prof. Bambang Cipto berjudul “Politik Ekonomi Indonesia di antara Cina
dan Kekuatan-kekuatan Baru lainya” dan Adinda Tenriangke Muchtar
dengan judul “Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina: Antara Persepsi
dan Pilihan”.
Dalam perspektif cultural-peradaban, tulisan Fajar Riza Ul Haq
menganalisis secara tajam potensi “benturan-benturan” antar peradaban
semakin terbuka pasca surutnya era hubungan politik unipolar menuju
hubungan multipolar. Dengan munculnya Cina, India, Rusia dan
Brasil sebagai kekuatan-kekuatan baru membuka adanya kutub-kutub
keseimbangan dalam hubungan geopolitik-ekonomi global. Namun ia
menggarisbawahi benturan-benturan tersebut tidak akan terjadi pada
level “hard power”, namun akan terkristal pada unjuk “soft power” dari
berbagai peradaban yang tengah bangkit saat ini.

8 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 8 19/11/2011 14:48:52


Pengantar Redaksi

Tulisan Budi Asyhari-Afwan yang berjudul “Nasionalisme-Pragmatis:


Pilihan Model Kapitalisme a la Cina” mendedah inspirasi-inspirasi lokal-
kultural yang dimiliki China yang menyebabkan Negeri Tirai Bambu itu
mengalami kebangkitan terutama di bidang ekonomi. Adapun tulisan
Choirul Mahfud memberikan analisa mendalam mengenai peran kultural-
ideologis sebagai modal utama bagi kebangkitan dan kemajuan negeri
Tiongkok ini. Ia melakukan kajian perbandingan antara 3 ideologi yang
selama ini dipandang melekat berada dalam kehidupan social China,
yakni komunisme, kapitalisme dan konfusianisme.
Adapun tulisan Fahd Pahdepie, secara optimis memandang
pertumbuhan perekonomian Indonesia di masa depan di tengah gejolak
perubahan peta ekonomi dunia. Secara lebih spesifik, ia mengaitkan
optimisme tersebut dengan peran-peran yang ditonjolkan generasi
muda Indonesia beberapa tahun terakhir dalam menumbuhkan
semangat kreativitas secara konkret di sektor-sektor riil yang disebut
sebagai industri kreatif. Baginya pengembangan secara khusus di sektor
ini berprospek dapat membantu perekonomian Indonesia bersaing
dengan para raksasa perekonomian lainnya.
Sedangkan tulisan Wahyudi Akmaliah menyoroti proses kebangkitan
sebuah bangsa melalui perspektif olah raga. Baginya sektor olah raga
merupakan gerbang masuk yang efektif untuk membangkitkan kemajuan
sebuah bangsa. Dan itu bagi Wahyudi, telah dibuktikan oleh China mela-
lui berbagai keunggulan di berbagai ajang olah raga internasional yang
berpengaruh bagi kebangkitan di sektor lain, terutama sektor ekonomi.
Peran tersebut terakhir dilakukan melalui Olimpiade Beijing 2008.
Pada bagian akhir jurnal ini, Imam Cahyono melakukan review terhadap
karya mutakhir Henry Kissinger yang berjudul On China. (ini masih akan
dilengkapi satu paragraph lagi…)
Akhirnya, kami persembahkan pelbagai tesis dan analisa-analisa yang
berkembang dalam jurnal MAARIF edisi kali untuk ditafsirkan secara
luas oleh sidang pembaca sekalian. Kami berterima kasih atas sambutan
yang hangat selama ini terhadap terbitnya jurnal ini. Sekali lagi, terima
kasih, dan selamat membaca.


MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011
9
1111 Jurnal.indb 9 19/11/2011 14:48:52
10
1111 Jurnal.indb 10 19/11/2011 14:48:52
Politik Ekonomi Indonesia
Di Antara Cina Dan Kekuatan–
Kekuatan Baru Lainya
Bambang Cipto

Abstrak
Kehadiran Cina sebagai raksasa Asia mengundang decak kagum dunia saat
Barat sedang terjerat kesulitan ekonomi. Kemampuan Cina mengatasi berbagai
gejolak ekonomi dunia dan mengubahnya menjadi keuntungan merupakan
prestasi yang memang patut dicontoh. Demikian pula India yang selama
beberapa tahun terakhir berlari di belakang Cina sebagai raksasa Asia lain.
Cina mengawali perubahan dramatis ini dengan pernyataan visioner Deng Xiao
Ping tentang keutamaan pragmatisme. Stabilitas politik, pragmatisme ekonomi
dan kerjasama internasional merupakan prinsip dasar penggerak ekonomi Cina.
Perencanaan terkontrol, dominasi perusahaan negara, dan penguatan SDM
berkualitas internasional mempercepat tercapainya status raksasa ekonomi Asia.
India mengambil jalan agak berbeda. Demokrasi India menuntut pelembagaan
perdebatan pendapat yang cenderung membangun birokrasi yang relatif lambat.
Namun India menjadikan sektor swasta sebagai penggerak utama perekonomian
India. Sebagaimana Cina, India juga menjadikan pembangunan SDM berkualitas
internasional sebagai motor penggerak perekonomiannya. Indonesia ditantang
untuk menciptakan stabilitas politik dalam periode tertentu, membangun SDM
berkualitas internasional dan memutuskan untuk memilih sektor swasta atau
perusahaan negara yang akan dijadikan energizer ekonomi masa depan.
Kata Kunci: raksasa ekonomi, asia, stabilitas politik, pragmatisme,
sektor swasta, elit visioner.

11
1111 Jurnal.indb 11 19/11/2011 14:48:52
Politik Ekonomi Indonesia Di Antara Cina
Dan Kekuatan-Kekuatan Baru Lainya

Pengantar
Sejarah memberi kita pelajaran yang bijak bahwa setiap bangsa akan
mengalami pasang surut dalam perkembanganya. Dalam proses pasang
surut tersebut ada kekuatan internal dan eksternal yang mempengaruhinya.
Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut dapat menjadi salah satu pedoman
kemajuan setiap bangsa. Namun nilai-nilai yang mulia harus senantiasa
dikedepankan jika suatu bangsa menghendaki tetap bertahan dalam
jangka waktu yang panjang. Jika sebaliknya, maka bangsa tersebut akan
menghadapi persoalan besar yang kelak akan membawanya ke situasi
yang menyurutkan perkembanganya. Itulah yang terjadi pada bangsa-
bangsa besar maupun kecil di masa lalu yang dapat kita simak dari buku-
buku sejarah maupun kitab-kitab suci.
Dewasa ini kita sedang menghadapi situasi terjadi berulang kali di
masa lalu dimana negara yang besar dan kuat seperti Amerika sedang
menghadapi kesulitan untuk mempertahankan posisinya sebagai negara
adidaya. Pada saat yang sama telah bermunculan pula raksasa-raksasa
baru yang semakin hari semakin sulit diabaikan. Cina, India, Brazil,
dan Rusia (BRIC) kini menjadi primadona pembicaraan dalam berbagai
diskusi, seminar, maupun karya-karya akademik yang menjadi bacaan
para pengambil keputusan di negara-negara industri terkemuka saat ini.
Bahkan Indonesia yang dihantam krisis pada tahun 1998 sepuluh tahun
kemudian menjadi bagian dari negara-negara G20. Kehadiran G20 dalam
percaturan ekonomi dunia menjadi pertanda melorotnya pamor G7
yang semula merupakan kelompok eksklusif negara-negara kaya. Padahal
pada saat krisis finansial Asia menimpa Indonesia, dan dipaksa menelan
mentah-mentah resep IMF yang dalam kenyataan justru memperburuk
keadaan. Situasi saat ini berbalik cepat, Indonesia dinilai sukses menjaga
stabilitas perekonomian dalam negeri saat Amerika dan Eropa terguncang
sendi-sendi perekonomiannya oleh
Sejarah memberi kita pelajaran krisis kredit macet di Amerika
tahun 2008 lalu. Bahkan Eropa pun
yang bijak bahwa setiap bangsa kini menghadapi krisis ekonomi
akan mengalami pasang surut yang tidak jelas kapan akan
dalam perkembanganya. Dalam berakhir. Ini bisa diartikan bahwa
Indonesia dengan segala kelebihan
proses pasang surut tersebut ada
dan kekuranganya berhasil selamat
kekuatan internal dan eksternal yang melewati tahap krisis ekonomi
mempengaruhinya global tahun 2008 yang membuat

12 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 12 19/11/2011 14:48:52


Bambang Cipto

Amerika dan Eropa terus terjerat dalam himpitan ekonomi sekalipun


mereka tetap yakin akan mampu bertahan dan berhasil menghadapi
krisis. Rangkaian krisis ekonomi global sejak 1998 hingga 2008 secara
mengejutkan justru memperteguh kehadiran raksasa-raksasa ekonomi
Asia termasuk pengakuan dunia terhadap kepiawaian manajemen
ekonomi Indonesia. Dapatkah Indonesia memanfaatkan peluang emas
dari pergeseran geopolitik-ekonomi global ini untuk menempatkan
dirinya pada posisi yang semakin baik di masa depan? Menurut asumsi
penulis, Indonesia hanya akan berhasil memanfaatkan peluang-peluang
ini jika mampu merumuskan kebijakan inovatif dan berorientasi ke
depan. Namun sebelum pertanyaan tersebut dijawab lebih detail saya
akan membandingkan lebih dahulu dengan pengalaman Cina dan India
yang telah terbukti mampu memanfaatkan secara maksimal setiap peluang
yang muncul dari pergeseran geopolitik-ekonomi global saat ini.

Kebangkitan Ekonomi Cina


Hingga saat ini fenomena kebangkitan Cina masih menimbulkan pro
dan kontra di kalangan akademisi Barat khususnya Amerika.1 Kedua
kelompok berusaha mengajukan fakta dan argumen mutakhir yang
mendukung posisi masing-masing.2 Kedua kubu pengamat Cina pada
umumnya berusaha meyakinkan publik dan para pengambil keputusan
bahwa apa yang terjadi di negeri Panda ini adalah serius dan harus segera
disikapi. Namun tampaknya para pengambil keputusan di Barat cenderung
konservatif dalam menghadapi perkembangan baru (kebangkitan Cina)
yang sesungguhnya tak mereka kehendaki. Oleh karena itu, kebijakan
Barat, khususnya Amerika, terhadap Cina cenderung tidak menentu dan
tanpa pola yang jelas. Yang pasti adalah bahwa hutang Amerika semakin
menumpuk dan ketergantungan terhadap devisa pemerintah Cina
semakin tak terhindarkan.
Kontroversi tentang kebangkitan Cina mulai merebak sudah sejak
dekade 80-an, kurang dari 10 tahun sejak Deng Xiao Ping menanggalkan
ekonomi komunistik dan mencanangkan modernisasi. Pada saat itu

1 Yan Xuetong, “The Rise of China and its Power Status,” The Chinese Journal of
International Politics, Volume 1, Number 1, summer 2011, http://cjip.oxfordjournals.org/
content/1/1/5.full
2 Baca artikel Arvind Subramanian, “The Inevitable Superpower,” Foreign Affairs, Vol. 90,
No. 5 (September/October 2011) dan Salvatore Babones, “The Middling Kingdom,”
Foreign Affairs, Vol. 90, No. 5 (September/October 2011).

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


13
1111 Jurnal.indb 13 19/11/2011 14:48:53
Politik Ekonomi Indonesia Di Antara Cina
Dan Kekuatan-Kekuatan Baru Lainya

Pertengahan tahun 2010 Cina Amerika sedang memulai debutnya


benar-benar mengejutkan dunia sebagai negara penghutang (debitor)
untuk pertama kalinya sejak abad
saat Jepang yang semula berada
ke-18.3 Dalam periode ini Amerika
di urutan kedua sebagai kekuatan mulai terancam oleh ekonomi Jepang
ekonomi terbesar di dunia harus dan negara Asia Timur lainya. Krisis
menerima posisinya bergeser ke finansial Asia tahun 1997-98 adalah
titik balik perekonomian Amerika. Saat
urutan ketiga di belakang Cina
itu, Amerika menolak keras prakarsa
Jepang untuk membentuk Asian Monetary Fund. Amerika sesungguhnya
berusaha memanfaatkan resesi ekonomi tersebut untuk mendongkrak
ekonomi dalam negeri Amerika.4 Pada saat inilah Cina tampil sebagai
negara Asia yang sama sekali tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi.
Kelak negara-negara Asia Tenggara menyadari bahwa Cina tidak hanya
kuat secara ekonomi namun juga tidak sungkan memberikan bantuan
saat beberapa negara ASEAN kesulitan. Sebuah sikap yang berbeda
dengan Amerika yang menggunakan tangan IMF untuk menekan negara-
negara ASEAN yang membutuhkan dana talangan. Kemampuan Cina
menghadapi krisis merupakan sebuah anugerah. Sejak krisis ekonomi
melanda ASEAN, volume perdagangan antara Cina dan Jepang terus
meningkat melampaui perdagangan Jepang dengan Amerika. Hal serupa
juga terjadi dalam hubungan perdagangan antara Cina dengan Korea
Selatan, Thailand, Singapura dan Malaysia.5 Krisis finansial Asia justru
semakin memperkokoh posisi Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia
yang semakin tak terbendung.
Pertengahan tahun 2010 Cina benar-benar mengejutkan dunia saat
Jepang yang semula berada di urutan kedua sebagai kekuatan ekonomi
terbesar di dunia harus menerima posisinya bergeser ke urutan ketiga
di belakang Cina.6 Sekalipun kesejahteraan belum merata ke seluruh
penduduk Cina, sementara penduduk Jepang dan Amerika pada
umumnya hidup sejahtera, namun ini menunjukkan kemampuan

3 Philip S. Golup, “China, the New Economic Giant,” Le monde diplomatique, October 2003,
http://mondediplo.com/2003/10/08china
4 Golup, Ibid.
5 Golup, Ibid.
6 Joe MacDonald, “China surgess past Japan as No. 2 economy; US next?, AP, 16 Agustus
2010, http://finance.yahoo.com/news/China-surges-past-Japan-as-No-apf-3259091683.
html?x=0

14 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 14 19/11/2011 14:48:53


Bambang Cipto

ekonomi Cina mendapat dukungan penuh dunia. Perubahan dramatis


ini akan membuat perhatian seluruh dunia tertuju ke Cina. Bagi Amerika
tampaknya tinggal menunggu waktu sebelum pada akhirnya akan turun
statusnya sebagai kekuatan ekonomi terbesar di seluruh dunia.
Pada awal tahun 2011 semakin Negara adidaya tak bisa diukur,
banyak pengamat yang mendukung
lanjutnya, dari kemampuan militer
kebangkitan Cina sebagai
kekuatan raksasa ekonomi baru. semata-mata karena kedigdayaan
Dale Jorgenson dari Harvard
militer akan surut dengan sendirinya jika
memprediksi bahwa ekonomi Cina
akan menduduki posisi setara negara bersangkutan terbelit hutang
dengan Amerika pada tahun 2020.
luar negeri seperti Inggris di akhir PD II
Dale mengajukan alasan bahwa
kemungkinan dapat terjadi karena pada saat ini pasar di Asia merupakan
pasar paling dinamis dibandingkan dengan pertumbuhan pasar di Brasil
dan Rusia yang cenderung monoton di tengah lambatnya pertumbuhan
ekonomi dunia. Simon Johnson, pakar ekonomi internasional dari
Massachuset Institute of Technology, memperkuat argumen di atas
dengan menyatakan bahwa dalam dua dekade mendatang Yuan akan
menjadi mata uang dunia.7
Pengamat lain menyatakan kebangkitan Cina harus diakui karena Cina
kini menyandang predikat sebagai kekuatan ekonomi dan eksportir
terbesar kedua di dunia. Bahkan separuh dari gedung-gedung pencakar
langit saat ini dibangun di Cina.8 Arvind Subramanian, pakar ekonomi
internasional MIT, dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa
kebangkitan Cina saat ini akan membawa negara tersebut ke posisi
negara adidaya pada tahun 2030 adalah hal yang tak terelakkan. Negara
adidaya tak bisa diukur, lanjutnya, dari kemampuan militer semata-
mata karena kedigdayaan militer akan surut dengan sendirinya jika
negara bersangkutan terbelit hutang luar negeri seperti Inggris di akhir
PD II. Dengan menggunakan kajian sejarah Subramanian menyatakan
bahwa Cina berpeluang menjadikan dirinya sebagai negara dengan

7 Mark Felsenthal, “Economists foretell of U.S. decline, China’s ascension,” Sun Jan 9, 2011,
http://www.reuters.com/article/idUSTRE7082BL20110109
8 Elisabeth C. Economy, “The Game Changer: Coping With China’s Foreign Policy
Revolution,” Foreign Affairs, November/December 2010, http://www.foreignaffairs.com/
articles/66865/elizabeth-c-economy/the-game-changer?page=show

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


15
1111 Jurnal.indb 15 19/11/2011 14:48:53
Politik Ekonomi Indonesia Di Antara Cina
Dan Kekuatan-Kekuatan Baru Lainya

kemajuan Cina kekuatan ekonomi dominan, paling tidak, karena faktor


perdagangan (trade) dan statusnya sebagai net creditor
terletak pada
(pemberi pinjaman).9 Dalam hal ini semua negara
kemauan keras mengakui Cina adalah eksportir terbesar kedua di dunia.
Cina juga merupakan negara dengan cadangan devisa
bangsa Cina
sangat besar sehingga Amerika tergantung pada hutang
untuk berubah luar negeri yang diberikan Cina.
Apa sesungguhnya yang menjadikan Cina sebagai raksasa ekonomi Asia
saat ini? Dengan penduduk berjumlah 1,3 milyar sudah merupakan
raksasa di dunia saat ini. Namun penduduk tidak akan banyak artinya
jika tidak disertai dengan kebijakan yang tepat. Sampai dengan tahun
1978 Cina dikenal sebagai negara tirai bambu yang miskin dengan
jumlah penduduk sangat banyak. Namun sejak tahun tersebut Cina
dengan cepat mengubah dirinya dari negara komunis menjadi negara
kapitalis dengan karakter Cina.
Perubahan pesat dimulai dengan pernyataan Deng Xiao Ping yang
menyatakan bahwa kemajuan Cina terletak pada kemauan keras bangsa
Cina untuk berubah. Ia memberikan nasehat bahwa sejak sekarang
tidak lagi penting apakah warna kucing itu hitam atau putih. Selama
kucing itu dapat menangkap tikus maka dia adalah kucing yang baik.
Kalimat ini merupakan ungkapan perubahan dari ideologi ekonomi
sosialis ke ekonomi kapitalis yang sangat bernuansa Cina. Dalam arti
bahwa Deng dengan tegas menyatakan selamat tinggal kepada ideologi
ekonomi sosialis komunis dan menyambut hangat ideologi kapitalis
yang dijalankan dengan cara khas Cina. Deng yakin bahwa Cina harus
bergerak cepat untuk mencapai kemajuan sebagaimana negara-negara
lain. Tak mau ketinggalan dari negara-negara Barat Deng terus berusaha
meyakinkan bangsanya dengan menyatakan bahwa “menjadi kaya adalah
terhormat.” Pernyataan ini sangat dramatis karena selama puluhan
tahun ideologi komunis telah mengajarkan rakyat Cina untuk hidup apa
adanya. Sama rasa sama rata. Namun Deng merevolusi ideologi komunis
dan menjadikan Cina sebagai raksasa ekonomi 20 tahun kemudian.
Cina berhasil, antara lain, karena tidak semata-mata mengikuti semua
resep Barat dengan membabi buta. Cina tegas berniat menjadi negara

9 Arvind Subramanian, “The Inevitable Superpower,” Foreign Affairs, Vol. 90, No. 5
(September/October 2011)

16 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 16 19/11/2011 14:48:53


Bambang Cipto

maju untuk memakmurkan bangsanya namun tidak bersedia mengikuti


jalan Barat yang dianggap tidak seluruhnya sesuai dengan budaya dan
tradisi Cina. Oleh karena itu, Cina mengembangkan sendiri model
pembangunan ekonomi kapitalis yang berkarakter Cina. Dalam pidatonya
di Georgetown University tahun 2005 duta besar Zhou Wenzhong
menyatakan bahwa Cina menekankan tiga hal dalam membangun
negerinya. Pertama, menjadikan teknologi tinggi dan efisiensi ekonomi
untuk mendorong perekonomian nasional. Kedua, menanggalkan
ideologi dan mengutamakan perdamaian, pembangunan, kerjasama
dengan seluruh bangsa di dunia. Ketiga, membangun masyarakat sosialis
yang harmonis dengan memperhatikan masalah-masalah lapangan kerja,
pengurangan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.10
Politik dalam negeri Cina sangat kuat menekankan keutamaan
kepentingan nasional sebagai pondasi stabilitas politik domestik.
Pemerintah Cina tidak mentolerir semua bentuk oposisi maupun
gerakan disintegratif yang dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas
domestik. Gerakan oposisi di Cina biasanya akan dihadapi dengan tangan
besi. Pemerintah Amerika paling rajin mengkritik berbagai pelanggaran
HAM di Cina namun tak memiliki kelebihan diplomasi untuk menekan
negara tersebut.
Kebijakan represif ini tidak jarang diterapkan juga dalam bidang ekonomi.
Di negeri ini investor asing sangat dimanjakan. Jika seorang investor
datang ke suatu daerah dan berminat membangun di sebuah kawasan
pemukiman penduduk. Maka dalam sebulan kawasan itu dijamin akan
bersih. Kemudahan yang disediakan pemerintah Cina membuat negara
ini paling favorit bagi penanam modal asing. India sering merasa iri
dengan kemampuan Cina menarik investor asing yang jauh melampaui
jumlah investasi asing di India.
Sekalipun demikian, pemerintah Cina banyak dipuji karena sangat
berhasil mengangkat ratusan juta warganya dari kemiskinan.
Pembangunan kawasan pantai timur adalah sedemikian luar biasa
sehingga berjuta warga Cina saat ini menikmati hidup sebagai warga
kelas menengah. Sukses pembangunan ekonomi Cina sangat didukung

10 Zhou Wenzhong, “China’s Strategy of Peaceful Development and the Future of China
– US Relations,” Georgetown University, Washington, D.C., 2005, http://www.china-
embassy.org/eng/xw/t215310.htm

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


17
1111 Jurnal.indb 17 19/11/2011 14:48:53
Politik Ekonomi Indonesia Di Antara Cina
Dan Kekuatan-Kekuatan Baru Lainya

Kebangkitan Cina menjadi negara oleh kebijakan pendidikan tingginya.


raksasa didorong juga oleh Dewasa ini Cina adalah pemasok
mahasiswa asing terbesar di dunia.
kecenderungan menerapkan Jumlah mahasiswa asing terbesar di
pragmatisme dalam implementasi Amerika saat ini berasal dari Cina.
Kebijakan ini sejalan dengan strategi
kebijakan dalam dan luar negerinya pembangunan Cina yang menekankan
pada penerapan teknologi tinggi dan
efisiensi ekonomi. Untuk mencapainya pengiriman mahasiswa ke luar
negeri menjadi perhatian utama pemerintah. Beberapa tahun terakhir
pemerintah Cina juga mengundang kembali para pakar Cina yang sukses
berkarir di negara-negara Barat untuk membantu pusat-pusat penelitian
guna mendongkrak ekonomi Cina.
Kebangkitan Cina menjadi negara raksasa didorong juga oleh
kecenderungan menerapkan pragmatisme dalam implementasi kebijakan
dalam dan luar negerinya. Mahbubani menyebut bahwa pragmatisme
adalah salah satu prasyarat untuk global leadership.11 Sebagaimana
dicanangkan Deng pada saat mengawali reformasi, pemerintah Cina
memilih jalan pragmatis untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Sepanjang periode 2001 hingga 2008 Barat fokus pada upaya memerangi
ancaman terorisme yang berakhir dengan kesulitan ekonomi di negara-
negara tersebut. Sementara Cina dengan tenang menghabiskan periode
tersebut untuk memperluas jaringan perdagangan dengan negara-negara
di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Pragmatisme meratakan jalan Cina dalam berhubungan dengan semakin
banyak negara baik kawan maupun lawan Barat. Cina dapat dengan
mudah berhubungan dengan Iran, Korea Utara, Sudan, Brazil dan
Venezuela yang dikenal kurang disukai Barat. Berbeda dengan Amerika
yang menjalankan politik luar negeri dengan kadar ideologi yang kuat,
Cina justru meninggalkan ideologi jauh-jauh untuk mencapai tujuan
politik luar negerinya. Perbedaan diplomasi ini membuat Cina jauh
lebih mudah mendapatkan akses minyak dari negara penghasil minyak
seperti Iran. Bertahun-tahun Cina mendukung Iran dalam diplomasi
nuklir dengan hasil mendapatkan jaminan suplai minyak dari Iran.

11 Kishore Mahbubani, The New Asian Hemisphere: The Irresistible of Global Power to the
East, New York: Public Affairs, 2008.

18 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 18 19/11/2011 14:48:53


Bambang Cipto

Walaupun konflik dengan Amerika Pada saat Barat sibuk memburu teroris,
sering tak terhindarkan. Cina juga Cina memperkuat perekonomian
tidak kesulitan mendekati Korea
domestik dan memperlebar jaringan
Utara karena tidak menerapkan
prinsip ideologi yang kaku seperti perdagangan internasional untuk
Amerika. Hubungan Cina dengan mematahkan dominasi Jepang sebagai
Brazil menguntungkan perdagangan
eksporter kelas dunia
kedua negara.
Perusahaan negara milik pemerintah Cina memainkan peran strategis
dalam menopang dan mendorong perdagangan internasional. Perusahaan-
perusahaan ini menjadi motor penggerak ekonomi Cina untuk memasuki
pasar-pasar internasional di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Mereka
melebarkan sayap selebar-lebarnya saat Barat menghabiskan triliunan
dolar AS untuk mengejar Saddam Hussein dan Osama bin Laden.
Pada waktu bersamaan Cina dengan bersemangat membuat perjanjian
perdagangan, mengimpor minyak dan bahan industri, membantu negara-
negara kecil yang membutuhkan. Semua ini dilakukan dengan semangat
kerjasama antar bangsa tanpa memperdulikan ideologi atau isu politik di
negara tujuan. Pragmatisme politik luar negeri Cina dalam sepuluh tahun
terakhir menghasilkan raksasa ekonomi baru yang benar-benar di luar
perkiraan Amerika. Bisa dikatakan bahwa pada saat Barat menyibukkan
dirinya memburu teroris, Cina justru memperkuat perekonomian
domestik dan memperlebar jaringan perdagangan internasional untuk
mematahkan dominasi Jepang sebagai eksporter kelas dunia. Kini
tinggal Amerika yang menjadi satu-satunya rival Cina dalam pertarungan
memperebutkan dominasi ekonomi dunia.

Kebangkitan India
India adalah raksasa ekonomi lain dari Asia. India dan Cina saat ini
bersaing keras untuk memperebutkan posisi terbaik dalam dominasi
ekonomi dunia. Namun dalam banyak hal India masih di belakang Cina.
Sekalipun demikian tidak sedikit yang dapat kita pelajari dari India.
Berbeda dengan Cina yang dikenal sebagai negara central planning, India
adalah negara demokrasi dalam artian formal.12 Di India perubahan

12 Konflik Hindu vs Muslim hingga kini belum sepenuhnya terselesaikan dan setiap saat
dapat kembali membara bila faktor pencetus dan pendukungnya bertemu.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


19
1111 Jurnal.indb 19 19/11/2011 14:48:53
Politik Ekonomi Indonesia Di Antara Cina
Dan Kekuatan-Kekuatan Baru Lainya

India memiliki tidak kurang dari berlangsung dalam suasana demokratis.


300 juta kelas menengah yang Debat dan diskusi terjadi di gedung
merupakan motor penggerak parlemen maupun birokrasi untuk
perekonomian India menentukan sebuah kebijakan. Jika
pemerintahan yang berkuasa adalah
pemerintahan koalisi maka dijamin proses pengambilan keputusan akan
semakin lambat. Ini merupakan kebalikan dari Cina di mana pemerintah
dapat mengatur sebuah perubahan di masyarakat dalam waktu singkat
tanpa banyak protes dari rakyat. Kalau pemerintah Cina menyatakan
gerakan Falun Gong dilarang maka tak ada kekuatan dalam maupun
luar negeri yang dapat menghentikan larangan tersebut.
Kondisi politik India dengan jumlah penduduk 1,2 milyar dan mayoritas
miskin membuat pemerintah berhati-hati dan cenderung lambat dalam
mengambil keputusan. Namun India memiliki tidak kurang dari 300 juta
kelas menengah yang merupakan motor penggerak perekonomian India.
India adalah negara yang dianugerahi keuntungan tak terduga karena
cukup lama dijajah Inggris. Sistem pendidikan Inggris di masa penjajahan
diwarisi bangsa India hingga sekarang. Sejak taman kanak-kanak orang
India telah terbiasa dengan bahasa Inggris. Saat mereka lulus perguruan
tinggi orang India sama sekali tidak menemui kesulitan untuk mengikuti
arus globalisasi. Mereka memasuki perguruan tinggi terkemuka di Barat
yang berbahasa Inggris. Kelak ketika mereka bekerja banyak perusahaan
internasional yang menerima dengan hangat kehadiran sarjana India di
perusahaan mereka semata-mata karena keahlian dan penguasaan bahasa
Inggris yang merupakan bahasa global saat ini.
Sekalipun pemerintah India terkesan lambat namun sektor swasta India
menjadi tulang punggung perekonomian negeri ini. India dikenal memiliki
populasi pengusaha yang terus bertambah dari waktu ke waktu.13 Mereka
tidak peduli jika pemerintahnya tidak sehebat pemerintah negara maju.
Kreatifitas dan produktifitas membuat kelemahan pemerintah bukan
penghalang bagi mereka untuk menembus perdagangan dunia. India
memiliki perusahaan-perusahaan kelas dunia yang sangat kompetitif
seperti Tata dan Infosys yang memiliki jaringan internasional.
India dikenal memiliki populasi dengan keahlian dalam Information
Technology (IT) yang jauh lebih banyak dibanding Cina. Indian Institute

13 Fareed Zakaria, The Post-American World, New York: W.W. Norton Company, 2008, hal. 137.

20 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 20 19/11/2011 14:48:53


Bambang Cipto

of Technology (IIT) juga sangat populer Baik Cina maupun India menjalankan
dengan lulusannya yang berkelas. IIT kebijakan liberalisasi ekonomi untuk
sangat sedikit menerima mahasiswa
baru bahkan jauh lebih baik dari mengundang masuk investor asing
Harvard dan Stanford dalam hal rasio
calon mahasiswa dan mahasiswa yang diterima. Hasil dari rekrutmen yang
sangat selektif ini membuat lulusan IIT mudah mendapatkan pekerjaan
di perusahaan multinasional. Tersedianya tenaga IT yang cukup banyak
mengundang perusahaan multinasional untuk melakukan investasi di
India. Sebagai contoh, GE Medical memiliki cabang di Bangalore yang
dilengkapi dengan laboratorium yang sama canggihnya dengan lab di
Amerika. Alasan utama pengalihan industri IT ke India adalah murahnya
gaji insinyur India dibanding insinyur Amerika dengan kualitas yang
nyaris tak berbeda. Seorang insinyur lulusan IIT mendapatkan gaji
10.000 US dolar pertahun yang sama dengan seperdelapan gaji karyawan
yang sama di Amerika.14 Sudah barang tentu kondisi ini membuat India
semakin menarik bagi investor dalam bidang IT. Akibatnya India saat ini
beberapa tahun lebih maju dalam bidang software dibandingkan Cina.
Demikian pula dalam sektor farmasi karena separuh dari kebutuhan
vaksin PBB dibeli dari sebuah perusahaan India.15
Strategi yang dijalankan India sebenarnya mirip dengan strategi yang
dijalankan Cina. Intinya adalah bagaimana memanfaatkan globalisasi
yang tidak mengenal batas-batas wilayah, bangsa, dan bahasa ini dapat
dieksploitasi untuk sebanyak mungkin keuntungan bangsa. Baik Cina
maupun India menjalankan kebijakan liberalisasi ekonomi untuk
mengundang masuk investor asing. Mereka berharap investasi asing
dapat dimanfaatkan untuk mendorong perekonomian dalam negeri.
Kedua negara juga sangat fokus dalam mengembangkan SDM yang
berkualitas. Cina sangat agresif mengirim mahasiswanya ke luar negeri.
India diuntungkan karena memiliki IIT yang berkualitas dunia dalam arti
sesungguhnya. Sebagai ilustrasi, gambaran kampus-kampus di Amerika
adalah banyaknya mahasiswa berkulit hitam dari India dan berkulit
kuning dari Cina.

14 “The Rise of India,” Business Week, 8 Desember 2005, http://www.businessweek.com/


print/magazine/content/03_49/b3861001_mz001.htm?chan=mz
15 http://www.indiadaily.org/entry/india-vs-chinawho-is-the-next-economic-giant/

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


21
1111 Jurnal.indb 21 19/11/2011 14:48:53
Politik Ekonomi Indonesia Di Antara Cina
Dan Kekuatan-Kekuatan Baru Lainya

Perbedaan dasar kedua negara adalah Cina merupakan negara sosialis


otoriter sementara India adalah negara demokrasi. Di Cina perubahan
tidak memerlukan waktu lama karena keputusan pemerintah dianggap
mengikat apapun akibatnya. Kelebihan sistem otoriter ini adalah
menghemat waktu, tenaga, dan pikiran dalam proses akselerasi menuju
raksasa ekonomi dunia. Sudah tentu tidak sedikit korban berjatuhan
karena pemerintah bisa sangat represif jika oposisi menentang kehendak
pemerintah. Pendek kata, demokrasi dianggap tidak akan menyelesaikan
masalah bagi bangsa yang berpenduduk 1,3 milyar. Bagaimana mungkin
demokrasi Amerika dibangun di atas milyaran manusia yang sebagian
besar miskin? Sementara India relatif lebih demokratis karena tradisi
Inggris sudah tertanam kuat di India. Namun pemerintah India dikenal
konservatif dan kolot dan sulit mengikuti perkembangan.

Apa Yang Harus Dilakukan Indonesia?


Keanggotaan Indonesia di G20 adalah sebuah awal penghargaan dunia
maju bagi bangsa ini. Namun semua ini tidak cukup untuk menempatkan
Indonesia ke posisi lebih baik di masa depan. Setelah mempelajari cerita
sukses kedua raksasa ekonomi Asia tersebut ada beberapa langkah yang
harus segera ditempuh agar Indonesia dapat memanfaatkan momentum
globalisasi ini untuk kepentingan bangsa ini. Pertama, Indonesia dituntut
untuk mengembangkan visi masa depan yang jelas disertai tujuan dan
jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua,
merumuskan tujuan tersebut ke dalam kebijakan jangka menengah dan
jangka panjang.
Salah satu persoalan dasar bangsa ini adalah lemahnya visi kepemimpinan
nasional. Suksesi kepemimpinan selama ini lebih banyak diwarnai
dengan isu perebutan kekuasaan dan pembagian roti nasional di
kalangan elit. Pemilihan presiden yang
Salah satu persoalan dasar
diikuti pembentukan pemerintahan
bangsa ini adalah lemahnya
(koalisi) lebih dimotivasi oleh upaya
visi kepemimpinan nasional. mengamankan kemenangan pemilu yang
Suksesi kepemimpinan selama di tengah jalan diresuffle guna memenuhi
ini lebih banyak diwarnai dengan target pemerintahan lima tahun. Sangat
isu perebutan kekuasaan dan sedikit terdengar adanya renungan
pembagian roti nasional di mendalam tentang rencana yang akan
kalangan elit dilakukan oleh elit puncak sejak masa

22 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 22 19/11/2011 14:48:53


Bambang Cipto

kampanye hingga terbentuknya pemerintahan baru. Oleh karena itu,


ketika Indonesia masuk ke dalam G20 kemungkinan besar disebabkan
karena alasan geografis (bagian dari emerging Asian market), populasi yang
besar, serta kepentingan Amerika untuk mengepung Cina. Walaupun
hal ini tetap harus disyukuri karena memang Indonesia terhindar dari
hempasan badai ekonomi global tahun 2008.
Untuk mempertahankan momentum ini Indonesia dituntut untuk
menghasilkan elit-elit puncak yang visioner, tegas, dan terbuka dalam
menyatakan tujuannya sehingga seluruh komponen bangsa merasakan
dampak dari visi tersebut. Sukses Cina, antara lain, karena pernyataan
revolusioner dan pragmatis dari Deng Xiao Ping tentang masa depan
bangsanya. Visi Deng ini menjadi acuan bagi pejabat di level bawah
dalam merumuskan tujuan dan mengimplementasikan kebijakan
masing-masing. Dengan demikian siapapun yang memimpin bangsa
ini dituntut untuk menjabarkan visi misinya sebelum mereka terpilih
sebagai presiden. Rakyat harus tahu seberapa jauh calon pemimpin akan
melangkah sebelum mereka menjatuhkan pilihanya.
Oleh karena itu langkah berikutnya merumuskan kebijakan inovatif
dan kreatif dalam politik dan ekonomi. Perumusan dalam bidang ini
terdapat dua opsi. Opsi pertama adalah model Cina. Opsi ini bertujuan
untuk melakukan pembangunan ekonomi dalam waktu cepat bahkan
sebenarnya sangat cepat dari negara miskin tahun 1978 menjadi
raksasa ekonomi Asia pada tahun 2010. Akselerasi pembangunan ini
membutuhkan dukungan stabilitas politik dalam negeri yang ekstra
besar. Pemerintah Cina menutup telinga rapat-rapat dari semua kritik
masyarakat dunia, khususnya Barat, atas ekses negatif, seperti pelanggaran
HAM, yang terjadi karena menerapkan rejim otoriter. Hasilnya memang
luar biasa sebagaimana kita lihat saat ini. Meskipun demikian demokrasi
dikorbankan dan pembangunan adalah panglima. Dalam waktu 22
tahun Cina memiliki kereta dan jaringan kereta super cepat dan pesawat
tak berawak yang menggemparkan seluruh dunia.
Untuk semua itu Cina menjadikan perusahaan negara sebagai energizer
dan menggalakkan pembangunan knowledge based economy. Cina tidak
pernah ragu untuk sungguh-sungguh mengembangkan SDM yang
sangat berkualitas. Pada tahun 2009 terdapat 421.100 mahasiswa Cina
yang tersebar diberbagai negara maju dan berkembang. Jumlah ini jauh
diatas India (153.300), Korea Selatan (105.300), Jerman (77.500), Jepang

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


23
1111 Jurnal.indb 23 19/11/2011 14:48:54
Politik Ekonomi Indonesia Di Antara Cina
Dan Kekuatan-Kekuatan Baru Lainya

Cina tidak pernah ragu untuk (54.500). Sementara itu, jumlah


sungguh-sungguh mengembangkan mahasiswa asing terbesar di Amerika
adalah Cina (130.000), India (120.00)
SDM yang sangat berkualitas,
dan Korea Selatan (70.000)16 Ketiga
pada tahun 2009 terdapat 421.100 negara inilah yang sekarang menjadi
mahasiswa Cina yang tersebar motor penggerak ekonomi Asia. Perlu
diberbagai negara maju dan dicatat di sini bahwa peningkatan
pengiriman mahasiswa Cina dan India
berkembang
terjadi pada tahun 2005-2006 saat
kampanye perang melawan teror sedang dikobarkan mantan Presiden
Bush. Dari sini terlihat bahwa Cina dan India paham betul manfaat
pengembangan SDM sehingga saat dunia ramai membahas terorisme
mereka justru sibuk mengirimkan mahasiswanya ke Amerika. Mereka
memetik hasilnya saat Amerika tidak lagi bersemangat perang melawan
terorisme karena lesunya perekonomian dalam negeri akibat krisis
ekonomi 2008.
Opsi kedua adalah akselerasi pembangunan model India. India adalah
sistem demokrasi sehingga proses dan prosedur harus berjalan sesuai
dengan kesepakatan politik. Pemerintah India tak dapat mengambil
keputusan dalam waktu satu malam. Semua orang harus terlibat dalam
proses pengambilan keputusan atau tidak ada keputusan yang diambil.
Jika deadlock berkelanjutan dapat berakibat pecahnya koalisi dan suksesi
pemerintahan di tengah jalan. Inilah demokrasi India, lambat, kusam, dan
sangat repot karena ratusan juta warganya hidup dalam kemiskinan.
Namun pemerintah India membuka pintu bagi sektor swasta untuk
mengeksplorasi kemampuan India untuk menuju raksasa Asia. Sistem
pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan kelas dunia, paling tidak,
fasih berbahasa Inggris, membuat lulusan perguruan tinggi India sangat
percaya diri dan dipercaya korporasi internasional. Peran sektor swasta
ini menjadi penentu utama sukses India saat ini sehingga mampu berlari
di belakang raksasa ekonomi Cina.
Berdasarkan opsi di atas maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa
jika Indonesia menghendaki berlari cepat seperti Cina maka diperlukan

16 Dikutip dari power point Dr. Shawn Chen, “International Education for a Better World,”
Pendiri dan Rektor SIAS International University, Cina yang disampaikan dalam 30th
AUAP Board Meeting and Conference, Daegu, Korea Selatan, Juli 2011.

24 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 24 19/11/2011 14:48:54


Bambang Cipto

keberanian mental dari pemimpin untuk mendisain kembali arsitektur


sistem politik kita. Itu berarti kita mengerem kadar demokrasi dan
mempush kadar ekonomi atau ekonomi menjadi panglima. Pemerintah
dituntut memainkan peran ekonomi lebih besar, meningkatkan peran
BUMN di dalam maupun di luar negeri. Memperluas pasar internasional
dengan sendirinya menuntut peran aktif dan strategis pemerintah yang
ditopang SDM berkelas dunia. Resikonya akan terjadi kemunduran
demokrasi namun mungkin kemajuan ekonomi beberapa langkah lebih
cepat sebagaimana terjadi di Cina, Singapura, dan Malaysia.
Jika kita memutuskan memilih opsi India maka demokrasi akan terus
berkembang namun harus ada keberanian mental untuk menopang
peran sektor swasta. Berikan sektor swasta peluang yang semakin
besar guna membangun perekonomian bangsa. India mampu karena
politisi dan pejabat pemerintahan India tidak hidup mewah seperti di
Indonesia. Gaji Perdana Menteri India sangat jauh dibawah gaji Presiden
RI dan mobil mereka pun sederhana. Tampaknya politisi Indonesia akan
meninggalkan opsi ini karena mereka sudah gandrung menikmati pola
hidup serba mewah dan serba enak.
Oleh karena itu yang paling penting adalah membangun kembali dengan
cepat sistem politik yang memiliki daya tahan lama. Jika selama 10
tahun berturut-turut Indonesia mampu bertahan tanpa adanya resuffle
di tengah jalan itu sudah cukup untuk membangun pondasi yang kuat.
Jika 10 tahun berikutnya kondisi politik tetap stabil maka kita mungkin
akan mengakhiri dua dekade yang produktif dan siap untuk bergabung
dengan raksasa Asia lain.
Perlu dicatat bahwa semangat para
Perlu dicatat bahwa semangat para
politisi di DPR untuk membangun
SDM berkelas dunia nyaris tidak ada politisi di DPR untuk membangun
sama sekali. Tak pernah terdengar SDM berkelas dunia nyaris tidak ada
sekalipun pernyataan dari anggota
sama sekali. Tak pernah terdengar
DPR kita yang terhormat tentang apa
yang harus dilakukan dengan SDM sekalipun pernyataan dari anggota
Indonesia. Sebenarnya Kementerian DPR kita yang terhormat tentang apa
Pendidikan Nasional cukup serius
yang harus dilakukan dengan SDM
dengan menganggarkan 3000 dosen
per tahun untuk belajar ke luar negeri. Indonesia

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


25
1111 Jurnal.indb 25 19/11/2011 14:48:54
Politik Ekonomi Indonesia Di Antara Cina
Dan Kekuatan-Kekuatan Baru Lainya

Namun jumlah ini sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk


Indonesia. Apalagi jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa yang
dikirim Korea, India atau Cina ke luar negeri, maka angka ini sangat
rendah. Sudah tentu kemampuan Kemendiknas menyusun anggaran
ditentukan oleh kemauan politik DPR tentang visi pengembangan SDM
kita. Selama DPR kurang peduli terhadap aspek ini maka selama itu pula
Indonesia akan tertatih-tatih menanggung beban berat sebagai anggota
G20 namun sebenarnya seperti mancan ompong yang berjalan bersama
macan-macan garang Asia lainya.
Pengiriman mahasiswa dan dosen ke luar negeri adalah untuk memperoleh
lulusan dengan keahlian (skills) bertaraf internasional yang amat sangat
dibutuhkan dalam era globalisasi dan oleh karenanya Cina dan India
menjalankan kebijakan pengembangan SDM yang jelas, fokus, dan
didukung dana besar. Mengapa ke luar negeri karena perguruan tinggi
kita belum siap betul untuk menciptakan tenaga profesional bertaraf
internasional. PT di Indonesia pada umumnya masih berorientasi pada
peningkatan kuantitas mahasiswa dan masih jauh dari upaya peningkatan
kualitas riset. Sementara di negara-negara maju karena gaji yang sangat
cukup membuat dosen banyak melakukan riset sehingga menjamin
kualitas, profesinalisme, dan skills lulusannya.
Lebih lanjut dapat dikatakan di sini bahwa era globalisasi saat ini
memerlukan cara berpikir yang berbeda dengan era sebelumnya. Dalam
era ini capital dan skills bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain
di seluruh dunia. Bukan zamannya lagi orang mengandalkan kekayaan
alam, kecuali minyak dan gas alam yang memang langka, untuk
membangun negerinya. Cina, India, dan Korea Selatan tidak sepenuhnya
mengandalkan kekayaan alam namun saling mempertukarkan kekayaan
masing-masing melalui pertukaran modal dan skill. Tanpa modal dan
skill yang cukup jangan berharap mampu bersaing di era global saat ini.
Jika skills bertaraf internasional hanya bisa diperoleh dengan mengirim
mahasiswa ke luar negeri. Maka modal dapat diperoleh melalui investasi
asing. Dapatkah Indonesia menerima logika ini? Hingga saat ini Cina
dan India berebut untuk menaikkan jumlah investasi asing langsung.
Sementara Indonesia selalu ribut jika ada investor asing masuk ke
Indonesia.

26 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 26 19/11/2011 14:48:54


Bambang Cipto

Cina mengijinkan Amerika mendirikan perguruan tinggi di negerinya


karena diharapkan akan menulari PT domestik. Demikian pula negara-
negara Arab beberapa tahun terakhir agresif membuka cabang PT Barat
untuk menciptakan kelas menengah berkualitas. Sedangkan Indonesia
menghapus Badan Hukum Pendidikan (BHP) dengan alasan, antara
lain, akan membuka pintu masuk bagi perguruan tinggi asing. Kita selalu
ragu dan takut melakukan langkah besar sementara Cina dan India
sudah lama melakukan langkah-langkah tersebut untuk mendongkrak
perekonomian mereka. Keberanian bertindak dan mengambil resiko
tampak dalam alam pikiran kita. Semua harus dilakukan dengan semangat
konservatif dan hati-hati serta menjaga agar kepentingan masing-masing
tetap terpelihara. Akibatnya negara tetangga bergerak cepat melangkah
ke depan dan kita selalu puas berjalan di belakangya.
Akhirnya kita membutuhkan pemimpin dan pemerintahan yang kuat,
visioner dan mampu mengelola perubahan ekonomi yang berlangsung
cepat dalam era globalisasi. Kita juga perlu DPR yang bervisi ke depan
dan berorientasi global. Kita pun perlu lembaga penegak hukum yang
tegas dan efektif mengerem laju korupsi.



Akhirnya kita membutuhkan


pemimpin dan pemerintahan
yang kuat, visioner dan mampu
mengelola perubahan ekonomi
yang berlangsung cepat dalam era
globalisasi. Kita juga perlu DPR yang
bervisi ke depan dan berorientasi
global. Kita pun perlu lembaga
penegak hukum yang tegas dan
efektif mengerem laju korupsi.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


27
1111 Jurnal.indb 27 19/11/2011 14:48:54
Kebangkitan dan Kebijakan
Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan
Adinda Tenriangke Muchtar
Program Director The Indonesian Institute Center
for Public Policy Research

Abstrak
Kebangkitan Cina dalam politik global telah dilihat sebagai salah satu faktor
yang menguatirkan, jika bukan ancaman bagi negara-negara adidaya maupun
bagi negara-negara tetangga Cina, khususnya di Asia. Kebangkitan Cina,
khususnya dalam kapabilitas ekonomi dan militer juga telah membawa dinamika
tersendiri dalam politik global, terutama dalam upaya mewujudkan tata dunia
yang lebih representatif dan mendorong peran Cina yang lebih aktif. Dalam
artikel ini, penulis fokus pada isu apakah kebangkitan ekonomi dan militer Cina
akan membuat Cina melakukan ekspansi politik atau menerapkan power-nya
secara agresif? Penulis berargumen bahwa terlepas dari kebangkitan Cina, Cina
akan menggunakan power-nya dengan berhati-hati untuk menghindari konflik
dengan negara-negara lain. Pertimbangan ini didasarkan pada kesadaran Cina
akan kesalingtergantungannya dengan negara-negara lain dalam sistem yang
multipolar dan bahwa Cina menjunjung tinggi lima prinsip hidup berdampingan
dengan damai dalam politik global. Di sisi lain, dalam beberapa kasus tertentu,
khususnya terkait kedaulatan dan wilayah, kebijakan luar negeri Cina terlihat
konsisten dan tidak menutup kemungkinan bagi Cina untuk menggunakan
kekuatan ekonomi dan militernya, seperti yang telah terbukti dalam perjalanan
sejarahnya. Namun, Cina juga akan berhati-hati dalam tindakannya di kancah
internasional dan tidak akan melakukan tindakan yang beresiko yang dapat
mengancam kepentingan nasionalnya sendiri, selain kapabilitas dan pencapaian
yang sudah diraihnya selama ini.
Kata Kunci: Cina, kebijakan luar negeri, kedaulatan, persepsi, tujuan,
kapabilitas, kepentingan nasional.

28
1111 Jurnal.indb 28 19/11/2011 14:48:54
Adinda Tenriangke Muchtar

Pendahuluan
Pembangunan strategis dan kemajuan dramatis Cina yang dimulai sejak
tahun 1979 di bawah kepemimpinan Deng Xiao Ping telah melahirkan
Cina sebagai salah satu pemain utama dalam hubungan internasional.
Kebijakan keterbukaan yang diterapkan Deng Xiao Ping telah menciptakan
kebangkitan Cina baik di bidang ekonomi maupun militer.
Di satu sisi, persepsi optimis dan Kebangkitan Cina dilihat sebagai
positif terhadap peran Cina dalam
kancah global disertai perubahan kesempatan emas untuk membawa
situasi internasional dapat mendorong Cina dalam pergaulan masyarakat
akomodasi yang dapat dilakukan internasional yang didasarkan pada
terhadap Cina. Misalnya masa
pemerintahan Nixon dan Clinton, norma-norma internasional.
dimana Amerika Serikat mencoba melibatkan Cina dalam masyarakat
internasional, seperti dengan masuk ke World Trade Organization (WTO).1
Kebangkitan Cina dilihat sebagai kesempatan emas untuk membawa
Cina dalam pergaulan masyarakat internasional yang didasarkan pada
norma-norma internasional. Cina diharapkan dapat ikut berperan aktif
dalam mengatasi permasalahan internasional dengan kapabilitas yang
dimilikinya, selain mengeruk keuntungan dengan bergabung dalam
lembaga-lembaga internasional.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, kehadiran Cina dilihat sebagai
ancaman, tidak hanya bagi negara-negara maju, namun juga negara-
negara tetangga Cina, khususnya di kawasan Asia. Kebangkitan Cina
dikuatirkan akan berjalan seperti Jerman dan Jepang yang menimbulkan
konflik yang tidak dapat dihindari.2 Cina dinilai akan menggunakan
kapabilitas ekonomi dan militernya untuk menekan negara-negara lain
demi mencapai kepentingan nasionalnya.
Dalam artikel ini, penulis memulai dengan pembahasan umum tentang
kebijakan luar negeri Cina dan karakteristik-karakteristik utamanya,
yang dijunjung tinggi oleh Cina dalam hubungan internasionalnya.
Penting untuk mengetahui kedua hal yang saling terkait ini paling tidak
karena dua alasan. Pertama, untuk lebih memahami bagaimana Cina

1 Tony Saich, Governance and Politics of China, Palgrave, New York, 2001, hal. 273.
2 Ibid.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


29
1111 Jurnal.indb 29 19/11/2011 14:48:54
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

melihat dan menempatkan dirinya dalam peta geopolitik dunia, dengan


mempertimbangkan kapabilitas yang dimilikinya.
Pemahaman ini juga akan didasarkan pada perspektif yang terkait dengan
konsep power, maupun peran power dalam mempengaruhi kebijakan
luar negeri suatu negara; serta konsep lain seperti rejim, kelembagaan,
maupun kesalingtergantungan.3 Dengan demikian, hal ini juga merujuk
pada pentingnya kajian untuk menilai apakah kebangkitan Cina akan
mempengaruhi secara otomatis keinginannya untuk melakukan ekspansi
politik dan menggunakan power-nya dalam rangka mencapai kepentingan
nasional.
Kedua, untuk memahami lebih dalam tentang pilihan Cina dalam
menerapkan strategi atau pendekatan berkaitan dengan kebijakan
luar negerinya. Sebagai akibatnya, sangat penting untuk menganalisa
bagaimana Cina memposisikan dirinya dalam hubungan internasional
dan jenis pendekatan pragmatis yang digunakan Cina sebagai bagian
dari strategi kebijakan luar negerinya. Berkaitan dengan itu, pertanyaan
utama penulis dalam artikel ini adalah bagaimana Cina melihat dirinya
dalam politik global melalui kebijakan luar negerinya sebagai alat untuk
mencapai kepentingan nasionalnya?
Artikel ini dibuat dengan susunan sebagai berikut. Di bagian awal, penulis
memulai dengan pendahuluan umum dan ringkas tentang kebijakan
luar negeri Cina berikut dengan karakteristik-karakteristik utama yang
mendasarinya, serta bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi posisi
Cina terhadap pelbagai isu dalam hubungan internasional, terutama
yang berkaitan dengan Cina. Dalam bagian utama artikel ini, penulis
membahas beberapa contoh penerapan kebijakan luar negeri Cina dan
karakteristik utama terkait yang diterapkan, yang menggarisbawahi
konsistensi Cina dalam menerapkan prinsip-prinsip utama kebijakan
luar negerinya untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

3 Richard Rosecrance, “Power and International Relations: The Rise of China and Its
Effects”, dalam International Studies Perspectives, 7, Oxford: Blackwell Publishing, 2006,
hal. 31-33; Avery Goldstein, 1997/1998, “Great Expectations: Interpreting China’s
Arrival”, The Rise of China: An International Security Reader, diedit oleh Michael E. Brown,
Owen R. Cote, Jr., Sean M. Lynn-Jones, and Steven E. Miller, Cabridge: The MIT Press,
2000, hal. 29-39; Geoffrey Murray, China, The Next Superpower: Dilemmas in Change and
Continuity, Richmond: China Library, 1998, hal. 170-177. Lihat juga, Jonathan Holslag
and Gustaaf Geeraerts, “Discussion paper: Will China redefine great power politics?”,
BICCS, http://www.vub.ac.be/biccs/site/assets/files/Events/Discussion%20paper.pdf (5
Oktober 2011), hal. 6-9.

30 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 30 19/11/2011 14:48:54


Adinda Tenriangke Muchtar

Di bagian selanjutnya, penulis mengelaborasi dan memberikan analisa


tentang penerapan kebijakan luar negeri Cina, pilihan kebijakan yang
diambil, maupun konteks kasus terkait dengan mempertimbangkan
keterlibatan Cina dalam kancah politik global, kapabilitas ekonomi dan
militernya, maupun reaksi negara-negara lain di kawasan maupun dalam
organisasi internasional, hubungan Cina dengan negara-negara lain,
serta faktor-faktor domestik, khususnya terkait faktor kepemimpinan
Cina, masalah dalam negeri, serta konteks sejarah yang mengikutinya.
Terakhir, penulis menyimpulkan dengan menjawab pertanyaan utama
dalam artikel ini, dengan berargumen bahwa terlepas dari peningkatan
kepemilikan kapabilitas Cina, khususnya dalam aspek ekonomi maupun
militer, Cina akan berhati-hati dalam menggunakan power-nya untuk
mencapai kepentingan nasional, apalagi dengan cara-cara yang ekspansif
maupun mengundang konflik. Di sisi lain, untuk hal mendasar seperti
kedaulatan dan wilayah, serta pencapaiannya selama ini, Cina seperti
yang terbukti dalam perjalanan sejarahnya, juga tidak akan sungkan
menggunakan kapabilitas ekonomi dan militer yang dimilikinya.
Namun, dengan segala kapabilitas yang dimilikinya dan eksistensinya
dalam pelbagai kancah internasional, Cina juga mengambil peran
internasional yang lebih aktif dalam kancah geopolitik dunia dan pelbagai
isu-isu internasional, terutama mewakili negara-negara berkembang.
Misalnya, keterlibatan Cina di ASEAN, ARF, maupun APEC. Meskipun
Cina menduduki posisi sebagai Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB
dan Jiang Zemin pernah membicarakan tentang diplomasi ‘negara besar’,
kepentingan Cina lebih banyak bersifat regional.4
Pada akhirnya kebijakan luar negeri Cina dan penggunaan kapabilitasnya
akan tergantung pada interaksi antara faktor domestik dan internasional
yang mempengaruhi persepsi, keinginan, tujuan, serta tindakan Cina
dalam politik global.

Kebijakan luar negeri Cina


Cina menganut kebijakan luar negeri damai yang independen. Tujuan
dasar dari kebijakan luar negeri Cina ini adalah menjaga kemandirian
nasional dan kedaulatan negara, serta menciptakan lingkungan

4 Saich, op.cit, hal. 284; “China’s Independent Foreign Policy of Peace”, http://www.fmprc.
gov.cn/eng/wjdt/wjzc/t24881.htm (4 Oktober 2011). Lihat juga, Murray, op.cit., hal. 190.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


31
1111 Jurnal.indb 31 19/11/2011 14:48:54
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

internasional yang mendukung Cina untuk melakukan beragam upaya


untuk perubahan, pembukaan diri, serta modernisasi. Dalam hal ini,
Cina juga menegaskan komitmennya untuk memelihara perdamaian
dunia dan memajukan pembangunan.5
Terkait dengan pembangunan, serta tata ekonomi dan politik dunia
yang baru, Cina mengharapkan dunia internasional bisa damai dalam
jangka waktu panjang yang dapat mendukung pembangunan semua
negara di dunia. Untuk itu, Cina juga menegaskan komitmennya untuk
mendukung lima prinsip hidup berdampingan secara damai, yaitu saling
menghormati kedaulatan dan integritas wilayah; tidak saling menyerang;
tidak mencampuri urusan dalam negeri; kesetaraan dan keuntungan
bersama; dan hidup berdampingan secara damai.6
Perkembangan kebijakan luar negeri Cina sendiri secara signifikan
dipengaruhi oleh dua peristiwa besar seiring Cina memasuki tahun
1990an. Pertama, dampak sanksi negara-negara Barat terhadap Cina
akibat represi terhadap demonstrasi tahun 1989. Kedua, rubuhnya
Tembok Berlin dan kehancuran Partai Komunis Soviet. Hal ini membuat
Cina mencapai kepentingan nasionalnya lewat kebijakan luar negeri yang
bebas tanpa mengacu kepada negara adidaya maupun pertimbangan
ideologis. Intinya, Cina memfokuskan keterlibatannya dalam kancah
global karena kebutuhan ekonomi pragmatis daripada faktor ideologis
yang mendesak.7

Karakteristik-karakteristik utama kebijakan luar negeri Cina


Ada beberapa karakteristik yang melandasi kebijakan luar negeri Cina.
Karakteristik ini juga pernah diutarakan kembali dalam pidato Perdana
Menteri Cina Li Peng di Konferesi Antar Parlemen pada 19 September
1996. Berikut karakteristik kebijakan luar negeri Cina:
a. Menjaga kemandirian. Cina menentukan posisi dan kebijakannya
sesuai dengan nilai masing-masing kasus. Cina juga tidak akan
menyerah pada tekanan dari major powers, maupun masuk dalam
aliansi dengan kekuatan besar maupun blok manapun.

5 “Main Characteristics of China’s Foreign Policy”, http://www.china-embassy.org/eng/


zmgz/zgwjzc/t35077.htm (4 Oktober 2011).
6 “China Wants New World Order”, http://www.china-embassy.org/eng/zmgx/zgwjzc/
t35080.htm (4 Oktober 2011).
7 Saich, op.cit., hal. 276-277.

32 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 32 19/11/2011 14:48:54


Adinda Tenriangke Muchtar

b. Memelihara perdamaian dunia. Dalam hal ini, Cina tidak


melakukan perlombaan senjata atau melakukan ekspansi militer.
Cina juga menentang hegemonisme, agresi, ekspansi dalam berbagai
bentuknya.
c. Hubungan yang bersahabat dan kerja sama. Cina tidak pernah
mendasarkan hubungannya pada sistem sosial atau ideologi apapun.
d. Bertetangga baik dan hubungan yang bersahabat. Dalam hal ini
Cina menjunjung upaya damai untuk menyelesaikan permasalah
perbatasan maupun wilayah, baik melewati negosiasi dan konsultasi.
e. Meningkatkan kesatuan dan kerja sama dengan negara-negara
berkembang. Cina selalu melihat faktor ini sebagai batu loncatan
kebijakan luar negerinya dengan melakukan kerja sama yang saling
melengkapi dengan negara-negara berkembang, baik dalam bidang
ekonomi, perdagangan, teknologi, maupun ilmiah.
f. Kebijakan yang terbuka, dimana Cina membuka dirinya untuk kerja
sama dengan negara-negara maju dan berkembang berdasarkan
kesetaraan dan manfaat bersama dalam rangka mendorong
pembangunan bersama dalam upaya membangun tata ekonomi dan
politik dunia baru yang adil dan sejajar berdasarkan perdamaian dan
stabilitas.8

Karakteristik-karakteristik tersebut dapat dilihat dalam beberapa contoh


penerapan kebijakan luar negeri Cina. Misalnya saja, terkait kebijakan
yang menentang hegemoni dan keberpihakan pada negara lain, dimana
Cina pernah mengalaminya pada masa Perang Dingin dengan Uni Soviet
saat itu. Atau tentang pentingnya hubungan baik dengan negara-negara
berkembang juga ditunjukkan oleh komitmen Cina yang ditegaskan
juga pada masa pimpinan Deng Xiao Ping, yang menekankan bahwa
Cina sosialis milik negara Dunia Ketiga dan akan selalu membela Dunia
Ketiga dengan memperkuat persatuan dan kerja sama dengan negara-
negara berkembang.9
Atau terkait hubungan yang bersahabat dengan negara tetangga dan
negara berkembang, dimana Cina membuktikannya dengan ikut
menandatangi Declaration of Code of Conduct (DOC) dengan negara-negara

8 “Main Characteristics of China’s Foreign Policy”, op.cit.


9 “Liu Huaqiu on China’s Foreign Policy”, http://www.china-embassy.org/eng/zmgx/
zgwjzc/t35078.htm (4 Oktober 2011). Lihat juga, “China’s Stand on South-South
Cooperation”, http://www.fmprc.gov.cn/eng/wjdt/wjzc/t24884.htm, (4 Oktober 2011).
Lihat juga, Jonathan Hoslag and Gustaaf Geeraerts, op.cit., hal. 3.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


33
1111 Jurnal.indb 33 19/11/2011 14:48:55
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

anggota ASEAN terkait dengan upayanya untuk mengatasi permasalahan


sengketa territorial di Laut Cina Selatan secara damai.10
Cina juga berperan aktif dalam upaya memelihara perdamaian dunia.
Misalnya, terkait upaya Cina untuk menciptakan perdamaian antara
Korea Utara dan Korea Selatan, selain kepentingan Cina untuk mencapai
demiliterisasi dan mengawasi militerisme Jepang, serta kehadiran pasukan
Amerika Serikat di Korea, juga mencegah masalah rejim di Korea Utara
yang dapat menimbulkan arus pengungsi ke perbatasan Cina.11 Selain itu,
sebagai anggota PBB dan Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB, Cina
juga terbilang aktif berpartisipasi dalam mengirim pasukan pemelihara
perdamaian untuk misi-misi perdamaian PBB.12
Cina juga tidak lagi menempatkan faktor ideologis dalam kebijakan luar
negerinya dan mengutamakan kepentingan pragmatisnya. Pertimbangan
Cina adalah kepentingan dan kemajuan bersama melalui hubungan
kerja sama yang setara. Hal ini ditunjukkan oleh kerja sama Cina dengan
pelbagai negara, baik maju maupun berkembang dan dalam pelbagai
bidang, sebagai wujud karakteristik kemandirian dan keterbukaan Cina
dalam hubungan internasional.
Lebih jauh, Cina menempatkan ketegasannya terkait butir kemandirian
dalam kebijakan luar negerinya. Cina melihat kemandirian sebagai hal
yang paling penting dalam kiprahnya di kancah global, dimana posisi dan
kebijakannya akan tergantung pada konteks yang ada. Hal ini pulalah
yang tercermin dalam posisi Cina yang tegas, terutama terkait masalah
kedaulatan dan wilayah, serta masalah dalam negeri.
Hal ini juga konsisten ditunjukkan oleh Cina, misalnya terkait masalah
Taiwan, yang dinilai Cina sebagai masalah dalam negerinya; selain isu
hak asasi manusia yang menurut Cina merupakan kebijakan masing-
masing negara yang tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun, atas
nama apapun.

10 Ernie Bower and Lie Nathanael Santoso, 23 August 2011, “A Year Later, Reduced
Tensions at the ASEAN Regional Forum”, http://cogitasia.com/a-year-later-reduced-
tensions-at-the-asean-regional-forum-arf-china, (5 Oktober 2011).
11 Saich, op.cit., hal. 285-286.
12 Robert Benewick and Stephanie Hemelryk Donald, The State of China Atlas: Mapping the
World’s Fastest-Growing Economy, Revised and Updated, Berkeley, Los Angeles: University
of California Press, 2009, hal. 18. Lihat juga “China’s Foreign Affairs and International
Relations”, 25 August 2008, http://al.china-embassy.org/eng/zggk/t514667.htm, (4
Oktober 2011).

34 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 34 19/11/2011 14:48:55


Adinda Tenriangke Muchtar

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Cina konsisten dan memegang


teguh karakteristik-karakteristik kebijakan luar negerinya serta dalam
praktek penerapannya. Keberadaan karekteristik-karakteristik tersebut
juga tidak lepas dari sejarah perjalanan panjang Cina sejak lahir sebagai
suatu negara maupun dalam kerangka hubungan internasional.

Kebangkitan dan Pilihan Kebijakan Luar Negeri Cina


Analisa tentang pilihan kebijakan luar negeri Cina tidak lepas dari
pertimbangan profil kapabilitas ekonomi dan militernya, selain faktor
penting lainnya yang menjadi tantangan bagi peran Cina di arena global,
seperti kepemimpinan Cina, masalah domestik terkait stabilitas Cina,
serta konteks sejarah yang mengikutinya. Faktor kapabilitas menjadi
acuan yang signifikan sekaligus menakar keterlibatan, serta keinginan
Cina untuk berperan aktif dan optimal dalam kancah politik global.

Potret Umum Keberhasilan Ekonomi Cina


Kinerja ekonomi Cina telah meningkat sejak akhir tahun 1990an dan
terus berlanjut hingga dewasa ini. Dalam enam bulan pertama di tahun
2008, saat masa krisis akibat kredit, Cina bertanggung jawab atas sepertiga
pertumbuhan GDP. Meskipun Cina mengalami pertumbuhan ekonomi
sebesar 12 persen sebelumnya, dan bahkan pada saat ekonomi global
mengalami masalah, Cina masih menikmati pertumbuhan sebesar 8
persen. Di sini Cina berhasil memainkan peran ganda sebagai penyelamat
dan manufaktur terbesar dunia.13
Sampai tahun 2006, Cina bersama dengan Hong Kong merupakan
negara terbesar kedua yang berdagang di dunia, naik dari peringkat
kelimabelas sebelumnya di tahun 1990. Meskipun mengimpor miliaran
dolar bahan mentah untuk kebutuhan sektor industri manufakturnya,
Cina mempertahankan surplus perdagangannya secara keseluruhan.
Data dari WDI online menunjukkan total surplus perdagangan Cina
mencapai $1,760 miliar pada tahun 2006. Di sisi lain, Amerika Serikat
meskipun merupakan negara pedagang terbesar di dunia mengalami
defisit sebesar $2,958 miliar pada tahun 2006. Sementara, pada tahun
2007, total ekspor Cina sebesar $1,218 miliar dengan 47 persen ekspor
ke Asia, 24 persen ekspor ke Eropa, dan 21 persen ekspor ke Amerika

13 Benewick and Donald, op.cit., hal. 13-15.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


35
1111 Jurnal.indb 35 19/11/2011 14:48:55
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

Latin. Di tahun yang sama, total impor Cina sebesar $956 miliar dengan
65 persen impor dari Asia; 15 persen impor dari Eropa; dan 8 persen dari
Amerika Utara.14
Kapabilitas ekonomi Cina yang Terkait defisit perdagangan ada per-bedaan
mendasar tentang bagaimana defisit perda-
semakin berkembang dan lebih
gangan dihitung, apakah struktural atau
terintegrasi dengan perdagangan terus meningkat. Majalah FEER edisi 29
April 1999: 62-63, mengulas hasil kajian
dan lingkungan global telah independen Lawrence Lau dan Fung Kwok-
membuat Cina melihat chiu yang menggunakan data-data Amerika
Serikat yang dapat diandalkan. Mereka
perubahan perannya dari obyek memperbaiki angka-angka terkait tiga faktor
ke subyek ekonomi internasional utama perdagangan, yaitu pengapalan dan
biaya transportasi lain, seperti asuransi; re-
ekspor lewat Hong Kong (setengah dari perdagangan bilateral); dan mark-
ups harga-harga barang lewat Hong Kong, yang menunjukkan bahwa de-
fisit perdagangan lebih rendah dari statistik yang diinformasikan Amerika
Serikat. Saat itu, angka resmi Amerika Serikat menyebutkan defisit sekitar
$60 miliar, sementara Cina mengklaim antara $20 sampai $25 miliar.15
Cina juga menikmati jumlah investasi asing langsung/foreign direct
investment (FDI) yang terus meningkat dan lebih besar secara signifikan
dibandingkan negara-negara tetangganya di Asia. Ketersediaan tenaga
kerja yang melimpah, tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen
dalam beberapa tahun, serta pasar modal yang masih muda merupakan
beberapa faktor yang mengundang masuknya perusahaan-perusahaan
asing ke Cina. Terlebih setelah Cina masuk dalam WTO pada tahun
2001. Di sisi lain, investasi langsung Cina di luar negeri juga berpengaruh
besar terhadap ekonomi global, serta memberi dampak politik, tidak
hanya di Afrika, namun juga Amerika Serikat, dan Australia.16
Kapabilitas ekonomi Cina yang semakin berkembang dan lebih terintegrasi
dengan perdagangan dan lingkungan global telah membuat Cina melihat
perubahan perannya dari obyek ke subyek ekonomi internasional. Dari
aktor ekonomi yang ingin mengundang investasi asing dan memperluas
pasar, sampai lahir sebagai pemain utama di pertengahan tahun 1990an,

14 Benewick and Donald, op.cit., hal. 13-15.


15 FEER, seperti dikutip dalam Saich, 2001, hal. 280-281.
16 Benewick and Donald, op.cit., hal. 16-17.

36 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 36 19/11/2011 14:48:55


Adinda Tenriangke Muchtar

yang melakukan negosiasi lebih agresif sebagai upaya untuk masuk ke


WTO tanpa melepaskan status sebagai negara berkembang. Dalam hal
ini, Partai Komunis Cina menekankan kekuatan ekonominya sebagai alat
diplomasi terutama dalam menghadapi tekanan ekonomi dari Amerika
Serikat, misalnya dengan keterlibatan Cina dalam APEC.17
Kesalingterkaitan kepentingan ekonomi Cina dalam ekonomi
internasional juga membuat pilihan kebijakan luar negeri Cina juga
akan lebih berhati-hati, terutama ketika akan mengundang reaksi negatif
dari Amerika Serikat, karena Amerika Serikat merupakan pasar ekspor
terbesar Cina (yang membeli kurang lebih 20 persen total ekspor Cina)
dan Cina juga meminjamkan sebagian besar dollar yang dimilikinya dari
perdagangan dengan pemerintah Amerika Serikat. Jika Amerika Serikat
menerapkan sanksi dan Cina membalas dengan menjual miliaran dollar
yang dimilikinya, maka suku bunga Amerika Serikat akan melonjak, dan
resesi global dapat terjadi.18
Dari potret umum kapabilitas ekonomi ini dapat dilihat bahwa Cina
bisa memberikan peluang sekaligus ancaman dalam hubungannya
dengan negara lain. Misalnya peluang dalam hal ekspor dan impor, serta
investasi. Namun, Cina juga bisa menjadi ancaman dengan menggunakan
kekuatan dan tekanan ekonomi, terutama jika Cina merasa diancam
atau dikenakan sanksi, melalui investasi dan bantuan internasional yang
diberikannya. Dengan demikian, konteks dan dampak dari kebijakan
luar negeri Cina pun harus dilihat dua arah, tidak hanya Cina, namun
kaitannya dengan negara lain yang berhubungan dengan Cina.

Potret Umum Kapabilitas Militer Cina


Jumlah personel angkatan bersenjata regular Cina 2,1 juta orang (9
persen dari total jumlah personel angkatan bersenjata di dunia). Cina
juga memiliki 800,000 pasukan cadangan dan polisi militer sejumlah
1,5 juta personel. Terlepas dari kapasitas militer yang dimilikinya, Cina
masih menghadapi tantangan dalam hal persenjataan berteknologi tinggi.
Berdasarkan data dari IISS: The Military Balance (2008), belanja militer
Cina pada tahun 2006 $122 miliar, yang masih jauh dibandingkan
Amerika Serikat ($536 miliar) dan total dari anggota negara NATO
lainnya ($268 miliar), yaitu $122 miliar.19

17 Goldstein, op.cit., hal. 25-26.


18 Susan L. Shirk, China: Fragile Superpower, New York: Oxford University Press, 2008, hal. 5.
19 Benewick and Donald, op.cit, hal. 18.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


37
1111 Jurnal.indb 37 19/11/2011 14:48:55
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

Cina juga melakukan perdagangan persenjataan dengan negara-negara


di kawasan Asia, Timur Dekat, Amerika Latin, dan Afrika, dimana nilai
kesepakatan perdagangan senjata tertinggi terjadi dengan negara-negara
di kawasan Asia, yaitu sebesar $2,700 (1999-2002) dan $2,200 (2003-
2006) berdasarkan data dari Grimmet RF (2007). Nilai transaksi terbesar
kedua dengan negara-negara di Timur Dekat, yaitu sebesar $900 (1999-
2002) dan $1,300 (2003-2006). Selanjutnya, negara-negara di kawasan
Afrika, dengan total nilai kesepakatan $800 (1999-2002) dan $900 (2003-
2006); lalu negara-negara di kawasan Amerika Latin, yaitu sejumlah $100
selama periode tahun 1999-2002 dan 2003-2006.20
Di satu sisi, transaksi perdagangan senjata yang dilakukan Cina tersebut
juga dilihat sebagai faktor ancaman yang menguatirkan, karena Cina
dinilai mengancam stabilitas dan perdamaian internasional. Keterbukaan
Cina dalam hal ini ditunjukkan lewat transaksi produk pertahanan
dengan berbagai negara dengan menawarkan produk yang berkualitas
dan diakui dunia dengan harga ekspor yang lebih murah dibandingkan
versi aslinya. Beberapa negara yang membeli produk pertahanan dari Cina
adalah Iran, Banglades, Mesir, Malaysia, Maroko, Srilanka, Myanmar,
dan Nigeria.21
Cina juga dinilai meraup keuntungan dengan memanfaatkan konflik.
Bahkan Cina juga dituduh telah melakukan transaksi senjata dengan
loyalis Khadafi di Libya, meskipun Cina membantahnya.22 Di sisi lain,
terkait transaksi produk militer, Cina juga menunjukkan penolakan dan
keberatannya, terutama atas penjualan senjata yang dilakukan Amerika
Serikat kepada Taiwan, yang dinilai Cina sangat sensitif dalam hubungan
Cina dan Amerika Serikat selama ini.23
Dalam hal ini, Cina kembali menunjukkan ketegasan karakteristik
kebijakan luar negerinya yang mandiri, terbuka, dan pragmatis
menentukan pilihannya dalam berhubungan dengan negara-negara lain.

20 Ibid.
21 “Menaguk Untung dari Konflik”, 21 September 2011, http://www.intelijen.co.id/
wawasan/1375-menaguk-untung-dari-konflik (19 Oktober 2011).
22 “China Sangkal Jual Senjata ke Libya”, 5 September 2011, http://international.okezone.
com/read/2011/09/05/413/498957/china-sangkal-jual-senjata-ke-libya (19 Oktober
2011).
23 “China Keberatan AS Jual Senjata ke Taiwan “, 7 September 2011, http://internasional.
kompas.com/read/2011/09/07/19090360/China.Keberatan.AS.Jual.Senjata.ke.Taiwan
(19 Oktober 2011).

38 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 38 19/11/2011 14:48:55


Adinda Tenriangke Muchtar

Di sisi lain, ketika menyangkut permasalahan yang sangat sensitif, seperti


kedaulatan, dan khususnya tentang Taiwan, Cina tidak akan sungkan
untuk menunjukkan posisi dan ketegasannya sebagai reaksi dari kebijakan
luar negeri yang dilakukan oleh negara lain.
Cina juga mempunyai kapasitas nuklir yang membuatnya menjadi salah
satu negara yang patut dipertimbangkan kapasitas militernya. Lebih jauh,
dengan kapasitas militernya, Cina menjadi lebih aktif dalam memainkan
perannya di kancah global. Misalnya, dengan keterlibatan sekitar 2,000
tentara, insinyur dan staf medisnya dalam misi pemeliharaan perdamaian
selama tahun 2008. Ini termasuk misi-misi PBB dan Uni Afrika di Sudan.
Namun, Cina tetap dikritik karena transaksi persenjataannya ke negara-
negara berkembang, khususnya pemerintah Sudan.24
Peran militer Cina dalam kancah global juga melalui perjalanan sejarah
yang panjang dan perubahan yang berkesinambungan. Dari tertinggal
dan didominasi negara-negara adidaya saat Perang Dingin; negara
yang bertahan dengan kapabilitas terbatas; menyesuaikan diri dalam
lingkungan yang berbahaya. Setelah Perang Dingin, Cina juga melihat
dirinya sebagai negara yang berjuang dengan pendekatan ganda, yaitu
mewujudkan ekonomi yang mandiri dan kekuatan militer; sampai menjadi
negara yang berupaya memperkuat diri sendiri dan menggunakan jalur
diplomasi.25
Kapabilitas Cina dan uji kekuatan Cina sendiri dapat dilihat dari
keputusannya yang tegas untuk bertindak terkait pilihan kebijakan luar
negeri. Misalnya saat Perang Korea, krisis di Selat Taiwan tahun 1954-
1955 dan 1958; sengketa perbatasan dengan Uni Soviet tahun 1969;
serta invasi singkat ke Vietnam tahun 1979.26

Tantangan Kebijakan Luar Negeri Cina: Faktor Domestik


Terlepas dari kapabilitas ekonomi dan militernya yang signifikan dan
patut dipertimbangkan, serta kiprah Cina dalam hubungan internasional
dan level global, Cina juga menghadapi tantangan dalam menerapkan

24 Benewick and Donald, op.cit., hal. 18; “China’s Foreign Affairs and International
Relations”, op.cit.
25 Goldstein, op.cit., hal. 26. Lihat juga Murray, op.cit., hal. 169.
26 Goldstein, op.cit., hal. 28.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


39
1111 Jurnal.indb 39 19/11/2011 14:48:55
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

kebijakan luar negerinya. Hal ini tidak lepas dari permasalahan domestik
yang dihadapinya.
Tantangan Cina untuk menjadi Beberapa diantaranya adalah masalah
superpower juga berhadapan kesenjangan antara daerah perkotaan
dengan permasalahan domestik dan perdesaan, dimana dikotomi antara
masyarakat terdidik di perkotaan dan
yang menghambat kemajuannya,
masyarakat petani telah memiliki sejarah
seperti kesenjangan antara panjang, dimana mayoritas masyarakat
populasi dan sumber daya; ledakan miskin Cina berada di pedesaan, dan
potensial konflik etnonasionalisme keistimewaan terbatas di daearah-daerah
karena permasalah sosial, politik, metropolitan. Hal ini pula yang membuat
demografi, lingkungan. negara yang berpenduduk lebih dari 1,3
miliar orang ini (20 persen dari total
populasi dunia 6,5 miliar sesuai data WDI online database tahun 2006)
mengalami persebaran penduduk yang tidak merata di seluruh provinsinya,
dan lebih padat di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk Cina sesuai
jam populasi juga menunjukkan tantangan terhadap solusi yang ada.27
Cina juga mengalami tantangan protes dan kerusuhan terkait penentangan
pengambilalihan tanah, korupsi dan isu lingkungan dari 10,000 peristiwa
di tahun 1994 hingga 90,000 kasus di tahun 2006 seperti data dari
Economist. Cina juga menghadapi masalah seperti pemberontakan etnik
minoritas di Tibet dan Xinjiang; kontrol pemerintah atas informasi
terlepas dari promosi penggunaan internet.28 Terkait politik domestik,
ada tiga hal yang mempengaruhi perilaku eksternal Cina, yaitu suksesi
politik; kerentanan sistemik; dan desentralisasi kontrol politik dari pusat
ke aktor dan unit subnasional.29
Tantangan Cina untuk menjadi superpower juga berhadapan dengan
permasalahan domestik yang menghambat kemajuannya, seperti
kesenjangan antara populasi dan sumber daya; ledakan potensial
konflik etnonasionalisme karena permasalah sosial, politik, demografi,
lingkungan.30

27 Benewick and Donald, op.cit., hal. 26.


28 Ibid., hal. 72.
29 David Shambaugh, 1996, “Containment or Engagement of China? Calculating Beijing’s
Responses”, The Rise of China: An International Security Reader, diedit oleh Michael E.
Brown, Owen R. Cote, Jr., Sean M. Lynn-Jones, and Steven E. Miller, Cabridge: The MIT
Press, 2000, hal. 215-236.
30 Samuel S. Kim, “China As a Great Power”, China Reader: The Reform Era, edited by Orville
Schell and David Shambaugh, New York: Vintage Books, 1999, hal. 451.

40 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 40 19/11/2011 14:48:55


Adinda Tenriangke Muchtar

Dengan demikian, sebelum memenuhi keinginannya untuk berkiprah


lebih aktif dalam kancah global, Cina juga harus mengerahkan
sumberdayanya agar bisa fokus mencari jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan dalam negerinya. Apalagi permasalahan yang ada
melibatkan berbagai aspek tidak hanya ekonomi, namun sosial dan juga
politik. Permasalahan ini juga menjadi tantangan serius bagi otoritas
kepemimpinan Cina, khususnya Partai Komunis Cina.
Terlebih di era globalisasi dan posisi Cina yang merupakan bagian dari
masyarakat internasional, serta kesalingterkaitan kepentingan Cina
dengan negara-negara lain, permasalahan domestik juga menjadi sorotan
masyarakat internasional, bahkan sanksi, terhadap Cina, terutama
bagaimana otoritas Cina menangani permasalahan domestiknya.
Beberapa isu terkait diantaranya adalah peristiwa Tiananmen; masalah
gejolak di Tibet, Xinjiang; kontrol internet; dan sebagainya.
Dalam hal ini, pilihan kebijakan luar negeri Cina juga tidak lepas dari
faktor kepemimpinan atau faktor politik domestik Cina itu sendiri, serta
kepentingan yang mereka ingin perjuangkan ketika memutuskan untuk
menjadikan Cina sebagai pemain aktif dan memegang peran utama di
kancah global.
Misalnya, politik domestik Cina pada masa Jiang Zemin dan Perdana
Menteri Zhu Rongji yang membutuhkan masuknya Cina ke WTO pada
tahun 2011 dalam rangka mendorong kemajuan ekonomi. Hal ini juga
menjadi kebanggaan nasional bagi Cina, selain keinginan Jiang Zemin
untuk mewujudkan status great power untuk Cina, selain kebutuhan
ekonomi pragmatis saat itu, dimana foreign direct investment (FDI) Cina
pada tahun 1999 tengah menurun.31 Pragmatisme Cina juga ditunjukkan
oleh kerja sama dengan berbagai negara di berbagai kawasan yang
melingkupi berbagai bidang.32
Sementara pada masa Deng Xiaoping, Deng menganjurkan pada rekan
dan penerusnya untuk tidak mengambil peran sebagai pemimpin dalam
hubungan internasional, bergantung pada Amerika Serikat, dan fokus
pada pembangunan ekonomi. Meskipun hal ini sulit untuk psikologi
Cina yang menekankan pada superioritias budaya Cina dan melihat peran

31 Saich, op.cit., hal. 273.


32 “China’s Foreign Affairs and International Relations”, op.cit.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


41
1111 Jurnal.indb 41 19/11/2011 14:48:55
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

sebagai pemimpin internasional yang harus diraih kembali. Sementara


pertimbangan Deng saat itu adalah karena Partai Komunis Cina tidak
berhasil dalam mewujudkan pemerintahan transnasional. Misalnya
pada tahun 1960an dan 1970an saat Cina mencoba membangun koalisi
longgar untuk menentang hegemonisme Amerika Serikat dan saat
gagalnya revisionisme Uni Soviet.33
Cina juga pernah ada dalam masa anti asing dan xenophobic karena
pemboman yang tidak sengaja oleh NATO ke Kedutaan Besar Cina di
Beograde pada 7 Mei 1999, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan
Cina. Terlebih sejak tahun 1989, para pemimpin Cina telah berhasil
memanipulasi opini publik terkait nasionalisme demi kepentingan
stabilitas rejimnya.34
Hal tersebut pulalah yang membuat dalam beberapa hal tertentu, Cina
dipersepsikan sebagai negara yang tidak ramah dan menjadi ancaman,
apalagi dengan landasan nasionalisme dan tudingan kesalahan kepada
pihak lain di level internasional ketika Cina mengalami kegagalan, yang
didengungkan oleh para pemimpin Cina.

Analisa tentang Persepsi dan Pilihan Kebijakan Luar Negeri Cina


Analisa tentang persepsi dan kebijakan luar negeri Cina tidak lepas
dari bagaimana Cina mempersepsi dirinya dan perannya di kancah
internasional, dengan kapabilitas yang dimilikinya dan kepentingan
nasional yang diperjuangkannya. Analisa ini menurut penulis juga tidak
lepas dari persepsi dan reaksi dari negara-negara lain terhadap posisi,
peran, kapabilitas, serta kepentingan nasional Cina dalam hubungan
internasional yang dijalinnya, dan sebaliknya.
Untuk itu, penerapan dan pilihan kebijakan luar negeri Cina juga dapat
menjadi acuan dan refleksi dari persepsi dan kepentingan Cina dalam
hubungan internasional. Peristiwa seperti aksi latihan militer Cina di
Selat Taiwan pada periode 1995-1996 merupakan salah satu reaksi ekstrim
Cina, karena Cina merasakan adanya ancaman dan tantangan terhadap
kedaulatannya, yaitu saat Presiden Taiwan saat itu Lee Teng Hui diundang
ke Cornell University, Amerika Serikat. Cina merasa Amerika Serikat
telah menghianati dan tidak menghormati kedaulatan dan masalah

33 Saich, op.cit., hal. 274.


34 Ibid., hal. 275.

42 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 42 19/11/2011 14:48:56


Adinda Tenriangke Muchtar

dalam negeri Cina. Lebih jauh, Cina juga menunda pembicaraan dengan
Taiwan dan menunjukkan ketidaksenangan diplomatiknya dengan
Amerika Serikat. Bahkan Cina meluncurkan misilnya di Selat Taiwan
saat Presiden Lee kampanye untuk menjadi presiden Taiwan yang terpilih
secara demokratik untuk pertama kalinya.35
Kasus lain adalah saat Presiden Clinton mengajukan syarat standar hak
asasi manusia di tengah proses upaya Cina masuk dalam WTO. People’s
Daily terbitan 6 Desember 1999, halaman 7, memberitakan bahwa Cina
langsung menanggapi dengan mengambil posisi bahwa standar hak
asasi manusia adalah urusan dalam negeri masing-masing negara dan
tidak boleh dicampuri atas nama HAM, dan bahwa apa yang dilakukan
oleh Amerika Serikat lewat pernyataan Clinton merupakan bagian dari
proteksi perdagangan yang tersembunyi.36
Di sini terlihat jelas, bahwa untuk isu Untuk isu kedaulatan, wilayah,
kedaulatan, wilayah, dan stabilitas,
Cina cenderung konsisten dan tegas, dan stabilitas, Cina cenderung
serta berani mengambil tindakan yang konsisten dan tegas, serta berani
dapat menyampaikan pesan bahwa
Cina tidak menghendaki campur mengambil tindakan yang dapat
tangan negera lain, termasuk AS menyampaikan pesan bahwa Cina
dalam hubungan dalam negerinya. Hal
ini juga merupakan refleksi dari salah tidak menghendaki campur tangan
satu karakteristik hidup berdampingan negera lain, termasuk AS dalam
secara damai yang dijunjung tinggi
Cina, yang menekankan pada aspek hubungan dalam negerinya
kemandirian dan tidak mencampuri
urusan dalam negeri.
Dalam menganalisis kebangkitan ekonomi dan militer Cina, maka
harus digarisbawahi bahwa keinginan Cina untuk berperan aktif dan
agresif dalam hubungan internasional perlu didudukkan dengan
mempertimbangkan perceived power dan kepentingan nasional Cina, serta
konteks isu yang ada. Termasuk didalamnya faktor domestik politik Cina,
seperti masalah domestik Cina dan kepemimpinan Cina. Cina juga harus
mempertimbangan faktor eksternal, termasuk persepsi, kepentingan, dan
reaksi negara lain terhadap kebijakan luar negeri Cina.

35 Saich, op.cit., hal. 282.


36 People’s Daily, seperti dikutip dalam Saich, 2001, hal. 275.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


43
1111 Jurnal.indb 43 19/11/2011 14:48:56
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

Dalam hal ini, kembali ke acuan konteks, Cina juga akan mempertim-
bangkan kapabilitas power militernya. Meskipun dalam sejarahnya
Cina telah menunjukkan determinasinya untuk menggunakan dan
menunjukkan kekuatan militernya, Cina juga harus mempertimbang-
kan kadar kapabilitasnya, serta faktor dan reaksi Amerika Serikat
yang tidak dapat Cina tandingi dengan mudah. Misalnya ketika
harus berhadapan dengan Amerika Serikat atau Taiwan yang sistem
persenjataannya dapat mengalahkan Cina dengan mudah.37
Terkait kapasitas nuklirnya, Cina merupakan anggota klub nuklir eksklusif,
yang memiliki arsenal nuklir ketiga terbesar di dunia, dan personel
angkatan bersenjata 3 juta orang. Namun, tetap sulit memastikan akurasi
data ini secara universal karena kurangnya transparansi dan perbedaan
gap kategori inklusif dan ekslusif. Meskipun secara kuantitas dan kualitas
meningkat, Cina harus memastikan bahwa ia memiliki kemampuan
yang memadai untuk melakukan penangkalan dan memperoleh status
superpower.38 Dalam hal ini, Cina harus mempertimbangkan benar,
bahwa ada kesenjangan kapasitas dan kualitas militer yang signifikan,
tidak hanya dari sisi belanja militer, namun juga dari tingkat teknologi
persenjataan yang dimilikinya.
Intinya, meskipun Cina memiliki keinginan untuk berperan aktif dalam
kancah global, Cina harus benar-benar mempertimbangkan pengaruh
penerapan kebijakan luar negerinya terutama yang dinilai ekspansionis
dan agresif terhadap aktor-aktor lain, serta kapabilitas dan kepentingan
yang dimilikinya. Apalagi Cina juga menyadari bahwa kapabilitas dan
kemajuan yang diperolehnya tidak lepas dari keberhasilan pembangunan
ekonomi dan kebijakan Cina yang terbuka dalam hubungan luar
negeri.
Begitu banyak kepentingan ekonomi pragmatis yang saling terkait
dengan sistem global yang membuat Cina tidak akan mempertaruhkan
keberhasilannya selama ini. Selain itu, akan sangat kecil kemungkinannya
Cina bertindak agresif-ekspansionis karena Cina ingin lebih terlihat
berwajah ramah, meskipun terbilang memiliki kekuatan ekonomi dan
militer yang relatif signifikan.
Menurut Shirk (2008), saat ini Cina dilihat lebih ramah dan dikenal,
tidak terlalu totaliter, lebih kapitalis, tidak terlalu monolitik dan lebih

37 Goldstein, op.cit., hal. 19 dan 28.


38 Kim, op.cit., hal. 451-452.

44 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 44 19/11/2011 14:48:56


Adinda Tenriangke Muchtar

beragam, tidak terlalu terkucil, lebih terglobalisasi, meskipun di sisi lain


tetap ada kontrol politik dari para pemimpinnya.39
Dalam beberapa pernyataan para akan sangat kecil kemungkinannya
pemimpin Cina, tampak jelas Cina Cina bertindak agresif-ekspansionis
ingin menyampaikan pesan tentang
karena Cina ingin lebih terlihat
Cina yang bersahabat dan bertanggung
jawab, serta aktif dalam kancah berwajah ramah, meskipun terbilang
hubungan internasional. Dalam memiliki kekuatan ekonomi dan
hal ini, keikutsertaan Cina dalam
militer yang relatif signifikan
upaya perdamaian di Semenanjung
Korea; penandatanganan DOC terkait permasalahan sengketa wilayah
di Laut Cina Selatan dengan negara-negara anggota ASEAN; bantuan
internasional maupun investasi langsung yang diberikan Cina, dan
sebagainya menunjukkan keengganan Cina untuk melakukan tindakan
agresif dan ekspansionis, yang dapat menempatkan kepentingan
nasionalnya yang sedemikian rupa sudah terintegrasi dengan sistem
ekonomi politik internasional dalam resiko.
Di sisi lain, konsistensi kebijakan luar negeri Cina juga mempertimbang-
kan faktor kepentingan nasionalnya. Khususnya terkait dengan
kedaulatan, dimana Cina cenderung bereaksi lebih cepat dan tegas.
Misalnya saat Cina menolak ruang internasional untuk Taiwan dan
menghukum negara-negara yang bersimpati terhadap Taiwan. New York
Times pada edisi 26 Februari 1999, halaman 11, pernah memberitakan
bahwa Cina menggunakan hak vetonya dalam Dewan Keamanan PBB
pada bulan Februari 1999 tentang keberlanjutan pengerahan pasukan
di Macedonia karena negara tersebut mengakui Taiwan pada bulan
Januari. Qin Huasun, Duta Besar Cina untuk PBB tidak mengutarakan
alasan ini, namun hanya mengatakan bahwa Macedonia ‘tampak
stabil’ dalam beberapa tahun terakhir, sehingga pasukan pemelihara
perdamaian tidak diperlukan lagi.40
Dengan demikian, dalam kondisi krisis atau akan krisis, Cina akan
menampilkan wajah yang lebih agresif dan muncul dengan potensi yang
berbahaya, apalagi ketika isu yang ada melibatkan Jepang, Taiwan, atau

39 Shirk, op.cit., hal. 5. Lihat juga Murray, op.cit., hal. 16; dan Holslag and Geeraerts, op.cit.,
hal. 1, 4-7.
40 New York Times, seperti dikutip dalam Saich, 2001, hal. 276.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


45
1111 Jurnal.indb 45 19/11/2011 14:48:56
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

Amerika Serikat, dimana Partai Komunis Cina akan menggunakan


nasionalisme sebagai dasar untuk menyuarakan adanya peningkatan
ancaman dari luar Cina.41

Dalam kondisi krisis atau akan krisis, Dari beberapa kasus terkait isu
kedaulatan dan stabilitas di atas, da-
Cina akan menampilkan wajah yang pat dilihat bahwa Cina bahkan tidak
lebih agresif dan muncul dengan sungkan menggunakan otoritasnya
dalam forum multilateral, seperti PBB,
potensi yang berbahaya, apalagi dengan menggunakan hak vetonya se-
bagai anggota tetap Dewan Keamanan
ketika isu yang ada melibatkan
PBB untuk memperjuangkan kepen-
Jepang, Taiwan, atau Amerika Serikat tingannya. Di sisi lain, Cina juga tidak
akan mempertaruhkan pencapaiannya
dalam bidang ekonomi yang makin terintegrasi dengan sistem ekono-
mi internasional dan hubungannya dengan negara-negara lain dengan
menerapkan kebijakan luar negeri yang agresif dan eskpansionis.
Cina dan negara-negara lain juga sudah belajar dari sejarah perang,
serta melihat bahwa perdamaian dan kerja sama lebih baik daripada
konflik maupun perang akibat kebijakan luar negeri yang menggunakan
pendekatan kekerasan dan ekspansionis. Dengan kata lain, Cina akan
menggunakan pendekatan kebijakan luar negeri yang pragmatis dan
berwajah ramah sesuai dengan kepentingan nasionalnya.
Terkait dengan itu, keanggotaan Cina di lembaga-lembaga internasional
juga menahan Cina untuk menentang aturan yang ada, terkecuali jika
bertentangan dengan dan mengancam kedaulatan dan kepentingan
ekonomi Cina. Meskipun, keinginan Cina untuk menjadi penentu dan
pelaku dalam standar tata kelola internasional juga terbatas, mengingat
Cina hanya memiliki beberapa personel administrasi yang dapat bekerja
efektif di organisasi internasional sesuai kepentingan Cina.42 Dari sini,
dapat dilihat kembali bahwa faktor kapasitas dan kualitas sumber daya
juga berpengaruh dalam menakar keinginan Cina untuk melakukan
kebijakan luar negeri yang agresif.
Pragmatisme Cina dalam kebijakan luar negerinya, dapat dilihat misalnya
lewat masuknya Cina dalam WTO. Hal ini dilakukan tidak lepas
dari kepentingan Cina untuk memperluas akses pasarnya di pelbagai

41 Shirk, op.cit., hal. 12.


42 Saich, op.cit., hal. 274.

46 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 46 19/11/2011 14:48:56


Adinda Tenriangke Muchtar

kawasan, termasuk Eropa, Jepang, dan Pragmatisme Cina dalam kebijakan


Amerika Serikat; selain mendorong luar negerinya, dapat dilihat
peningkatan jumlah investasi langsung misalnya lewat masuknya Cina
dari Amerika Serikat dan Eropa ke Cina;
dalam WTO. Hal ini dilakukan tidak
serta menghindari aksi unilateral, seperti
penerapan kuota tekstil yang dapat lepas dari kepentingan Cina untuk
dikenakan terhadap Cina oleh negara memperluas akses pasarnya di
lain.43 Karakteristik Cina yang muncul pelbagai kawasan, termasuk Eropa,
di sini adalah menciptakan hubungan Jepang, dan Amerika Serikat
baik dan kerja sama, serta menerapkan
prinsip kebijakan yang terbuka melalui kerja sama dengan berbagai
negara untuk mendapatkan manfaat bersama.
Di sisi lain, terlepas dari keuntungan yang diperoleh, Cina juga
menunjukkan ketidaknyamanannya dengan biaya penyesuaian kembali
untuk bidang-bidang seperti sosial, politik, dan budaya. Apalagi
kesepakatan Amerika Serikat dan Cina untuk masuknya Cina ke WTO
juga diikuti oleh penandatangan Konvensi HAM oleh Cina pada tahun
1997-1998. Dengan demikian, secara tidak langsung Cina mengakui
dan memperbolehkan pengawasan internasional tidak hanya terhadap
praktek ekonomi, namun juga perilaku politiknya.44 Keanggotaan Cina
dalam WTO lebih jauh juga menghendaki adanya sistem hukum yang
mandiri dengan tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel,
dan pluralistik.45
Di sini Cina memperlihatkan kesiapan dan kebersediaannya untuk
bergabung dalam masyarakat internasional dan bermain sesuai dengan
norma-norma internasional yang ada, terlepas dari ketidaknyamanannya
untuk isu-isu tertentu yang Cina nilai sangat sensitif terkait kedaulatannya.
Namun, pertimbangan pragmatis, khususnya manfaat yang diperoleh
Cina, juga membuat Cina menerima ketentuan yang berlaku dalam
sistem ekonomi politik internasional.
Dalam hal ini, Cina juga mengharapkan agar keanggotaannya dalam lembaga-
lembaga internasional tidak hanya sebagai aktor yang ikut serta, namun
juga sebagai pelaku dan penentu aturan-aturan dalam tata pemerintah-
an internasional. Hal ini ditunjukkan dari jumlah organisasi internasional

43 Saich, op.cit., hal. 291-292. Lihat juga “China’s Independent Foreign Policy of Peace”,
op.cit.
44 Ibid., hal. 272.
45 Ibid., hal. 274.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


47
1111 Jurnal.indb 47 19/11/2011 14:48:56
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

Cina juga mengharapkan agar pemerintah yang dibentuk pemerintah


keanggotaannya dalam lembaga- yang diikuti Cina dari tahun 1997
sampai tahun 1996, yang meningkat
lembaga internasional tidak hanya dari 21 ke 51 organisasi. Sementara
sebagai aktor yang ikut serta, keanggotaan Cina dalam organisasi
internasional non-pemerintah me-
namun juga sebagai pelaku dan ningkat dari 71 ke 1079 organisasi.46
penentu aturan-aturan dalam tata Melalui forum-forum inilah, Cina
berupaya untuk memainkan peran yang
pemerintahan internasional aktif dalam hubungan internasional
dengan menggunakan kapabilitas yang dimilikinya.

Cina: Great Power? Ancaman atau peluang?


Pandangan tentang Cina sebagai great power (ancaman atau peluang atau
keduanya) menjadi relatif dan harus dilihat dengan mempertimbangkan
berbagai hal, baik faktor internal maupun eksternal negara Tirai Bambu
tersebut. Misalnya saja, faktor internal Cina terkait permasalahan
domestik; kapabilitas ekonomi dan militernya; kepemimpinan dan
dinamika politik Cina; kepentingan nasional Cina; serta persepsi dan
reaksi Cina dalam memposisikan dirinya di kancah internasional.
Begitu pula persepsi negara lain terhadap Cina, dan sebaliknya
mempertimbangkan aspek-aspek yang serupa dan relevan dengan
kepentingan Cina. Apalagi paska Perang Dingin, Cina juga memandang
sistem internasional sebagai sistem yang multipolar dan Amerika
Serikat tidak lagi menjadi aktor utama. Meskipun Cina mengakui
masih dominannya Amerika Serikat. Namun Cina juga melihat adanya
negara-negara lain, seperti India, Afrika Selatan, Brazil, Rusia, Jepang,
dan sebagian besar negara-negara di Eropa yang mulai muncul dan
berpengaruh sebagai kekuatan di kawasan. Cina juga memandang dirinya
telah bertransformasi menjadi salah satu kekuatan yang bangkit dengan
kapabilitas ekonomi, politik, diplomatik, dan militernya.47
Selain itu, memasukkan Cina dalam kategori great power, juga harus
mempertimbangkan definisi dari konsep itu sendiri. Samuel S. Kim

46 Ibid.
47 Holslag and Geeraerts, op.cit., hal. 3.

48 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 48 19/11/2011 14:48:56


Adinda Tenriangke Muchtar

(1999) menyebutkan bahwa great power Persepsi Cina yang negatif


adalah negara yang dengan mudah terhadap Amerika Serikat
masuk peringkat lima besar dalam yang menerapkan pendekatan
struktur global utama, baik ekonomi, misionaris untuk membentuk
militer, pengetahuan, menikmati
Cina yang sesuai dengan
kepekaan dan kerentanan relatif, serta
ekspektasi atau arahan Amerika
kesalingtergantungan yang rendah
karena memiliki sumber daya yang masif dan keahlian yang beragam dan
keterpenuhan ekonomi yang relatif. Intinya, negara kuat yang mampu
mengerahkan sumberdayanya dalam melayani persepsi dunia maupun
memenuhi tujuan kebijakannya, dimana status ini juga memiliki syarat
normatif dan perilaku.48
Misalnya, persepsi Cina yang negatif terhadap Amerika Serikat yang
menerapkan pendekatan misionaris untuk membentuk Cina yang sesuai
dengan ekspektasi atau arahan Amerika;49 atau saat Amerika Serikat
mengintensifkan kerja sama pertahanan dengan Jepang di Asia Timur
yang dinilai Cina sebagai upaya untuk mempertahankan hegemoni
Amerika Serikat di Asia Timur dan membendung Cina lewat kerja sama
dengan Jepang.
Cina juga memiliki persepsi negatif dan kecurigaan terhadap forum kerja
sama multilateral. Sebagai pendatang yang datang terlambat, Cina tidak
dapat berpartisipasi sejak awal dalam merancang ‘aturan main’ di level
internasional. Dengan demikian, Cina cenderung mempersepsikan tata
pemerintahan internasional dikendalikan oleh agenda dan kepentingan
negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.50
Hal tersebut juga membuat Cina lebih memilih diplomasi bilateral,
misalnya terkait definisi dan isu kedaulatan dan wilayah. Dalam hal ini,
Cina lebih menerima rejim ekonomi internasional dan tidak terlalu
bersemangat pada kerangka kerja sama regional maupun global yang akan
menerapkan pembatasan yang nyata pada kapabilitas militer Cina.51

48 Kim, op.cit., hal. 449-450.


49 David Shambaugh, “The US and China: Cooperation or Confrontation”, dalam China
Reader: The Reform Era, edited by Orville Schell and David Shambaugh, 1999, New York:
Vintage Books, hal. 471-472.
50 Saich, op.cit, hal. 274.
51 Economy and Oksenberg; Swaine and Jonston seperti dikutip dalam Saich, 2001, hal.
275-276.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


49
1111 Jurnal.indb 49 19/11/2011 14:48:56
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

Persepsi Cina terhadap status great power juga diciptakan oleh empat
faktor, yaitu konteks sejarah yang membuat Cina layak berada dalam
status great power; pertimbangan peningkatan kapabilitas ekonomi dan
militer; modernisasi kapabilitas militer; serta peristiwa katalis, seperti
keputusan International Monetary Fund (IMF) untuk merubah kekayaan
nasional dari nilai tukar ke purchasing power parity, yang menempatkan
Cina sebagai negara dengan peringkat ketiga GDP terbesar di dunia;
serta reaksi ekstrim Cina di Taiwan tahun 1995-1996, dimana Cina
memamerkan kekuatannya dan siap menggunakan kapabilitas militernya
atas nama kepentingan internasionalnya.52
Di sisi lain, pendapat apakah Cina menjadi great power juga harus
mempertimbangkan faktor eksternal, seperti persepsi negara-negara
lain dalam melihat Cina dan mendefinisikan makna dari great powers
itu sendiri. Serta kapabilitas dan kepentingan mereka dalam kaitannya
dengan hubungan bersama Cina. Misalnya, saat Presiden Clinton akhirnya
mengumumkan ‘three-nos’, yang tidak mendukung adanya dua Cina; tidak
mengakui kemerdekaan Taiwan, dan tidak mendorong masuknya Cina
ke organisasi internasional pada saat kunjungannya ke Cina tahun 1998.
Hal ini menjadi pilihan sikap Clinton karena Amerika Serikat lebih
kuatir terhadap terjadinya peperangan daripada memberikan dukungan
kemerdekaan pada Taiwan, terutama setelah melihat reaksi Cina yang
ekstrim terkait isu Taiwan.53
Terkait dengan itu, Cina juga harus menakar kapabilitasnya. Misalnya,
terkait alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan pada tahun
2004. Cina mengalokasikan $103 miliar, sebelumnya $17,9 miliar di
tahun 1995. Jumlah ini mendekati Jepang yang mengalokasikan $113
miliar di tahun yang sama, meskipun jumlah alokasi tersebut kurang dari
sepertiga dana yang dialokasikan oleh Amerika Serikat.54
Selain itu, dari aspek ekonomi, Ma Kai, perencana ekonomi terkemuka
Cina, meramalkan di bulan Februari 2006, China masih akan mempunyai
100 juta penduduk miskin yang hidup di bawah $1 per hari, meskipun
berdasarkan data Bank Dunia, sejak tahun 1979, reformasi Cina telah

52 Goldstein, op.cit., hal. 21-25.S


53 Saich, op.cit., hal. 282.
54 Shirk, op.cit., hal. 16.

50 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 50 19/11/2011 14:48:56


Adinda Tenriangke Muchtar

mengangkat 400 juta orang miskin.55 tidak dapat dipungkiri bahwa dengan
Tidak mudah bagi Cina untuk menjadi kebangkitan Cina, dan kapabilitas
negara adidaya dengan lebih dari
militer dan politiknya selama ini,
seperempat penduduknya (350 juta
orang miskin) dan 100 jutaan penduduk opini internasional terhadap image
dari desa yang berpindah-pindah untuk dan status Cina dapat masuk dalam
mendapatkan hidup yang lebih baik. 56
kategori great power
Cina juga relatif lemah dan rentan
dalam kekuatan pengetahuan dan tidak berada di 15 kekuatan paten.57
Dengan demikian, status great power dengan berbagai dimensi dan
kriterianya tidak mudah dipenuhi dan disandang Cina secara lengkap
dan sempurna begitu saja. Aspek kapabilitas militer maupun ekonomi
Cina meskipun dikatakan pesat, juga menghadapi tantangan di aspek
tertentu lainnya. Hal ini membuat kekuatan ekonomi dan militer Cina
menjadi sangat relatif dibandingkan negara lain, terutama Amerika
Serikat dan Jepang.
Pun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kebangkitan Cina,
dan kapabilitas militer dan politiknya selama ini, opini internasional
terhadap image dan status Cina dapat masuk dalam kategori great power.
Namun, hal ini juga tetap perlu dilihat dalam konteks tidak hanya
kapabilitas, tapi juga tindakan nyata Cina baik dalam menunjukkan
perilaku dan posisinya, serta kemampuannya untuk menggunakan
kapabilitasnya secara nyata seperti layaknya kriteria great power.
Sementara, apakah Cina merupakan ancaman atau tidak dengan persepsi
status dan image great power yang dimilikinya, tidak hanya dilihat dari
kemampuannya saja (tingkat pertumbuhan, kemajuan teknologi, atau
belanja militer). Keinginan Cina dan bagaimana Cina menggunakan
kekuatannya akan membedakan dampak dari posisi dan peran Cina,
apakah mengarah ke perang atau perdamaian. Secara umum Cina
bertindak hati-hati, sebagai kekuatan yang bertanggung jawab. Cina juga
sibuk dengan masalah internal, serta bermaksud untuk menghindari
konflik yang mengganggu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.58

55 Ibid., hal. 17.


56 Kim, op.cit., hal. 451.
57 Ibid., hal. 453.
58 Shirk, op.cit., hal. 10. Lihat juga, Murray, 1998, hal. 170-177.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


51
1111 Jurnal.indb 51 19/11/2011 14:48:57
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

Lebih jauh, dengan kondisi pembangunan intensif yang masih terus


berlanjut, pertumbuhan ekonomi secara umum lebih disukai daripada
pendekatan militer dan ekspansi yang ekstensif. Selain pertimbangan
kesalingtergantungan, prinsip pemilihan fokus pada pertumbuhan
ekonomi ini juga diadopsi oleh negara-negara, seperti Jerman, Jepang,
Cina, dan lainnya di Asia Timur sejak Perang Dunia Kedua, yang
membuat mereka mencapai kesejahteraan.59
Cina berkepentingan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi setidaknya
7 persen setiap tahun; menciptakan lapangan pekerjaan; mencegah
pengangguran tersebar dan demonstrasi tenaga kerja dalam skala
besar; meningkatkan kerja sama dengan negara-negara tetangga untuk
menciptakan lingkungan yang bagus untuk pertumbuhan ekonomi;
serta menekan ketegangan suku dan agama di Tibet, Xinjiang, dan
Mongolia Dalam.60 Dari sini dapat dilihat bahwa faktor domestik juga
memainkan peran yang penting dalam mempengaruhi keinginan Cina
untuk berperan dalam kancah global dan pilihan kebijakan luar negeri
Cina, terutama dalam mengerahkan kapabilitas ekonomi dan militernya
dalam hubungan internasional.
Lebih jauh, kebangkitan Cina juga seharusnya dapat dilihat secara
optimis dan positif sebagai peluang. Apalagi sejak tahun 1990an, Cina
memiliki reputasi yang bagus dalam mendukung WTO, Non Proliferation
Treaty (NPT), organisasi multilateral, perdagangan bebas dengan kawasan
Asia Tenggara, Korea Selatan, Jepang; serta membangun forum-forum
baru untuk kerja sama, misalnya gas dan minyak dengan Vietnam dan
Filipina; serta upaya mencegah konflik di daerah Laut Cina Selatan.
Cina juga memainkan peran aktif dalam memediasi Amerika Serikat
dan Korea Utara dalam program nuklir. Cina juga bergabung dengan
Dewan Keamanan PBB untuk memberikan sanksi nuklir kepada Korea
Utara yang melakukan uji coba nuklir.61
Dari kesemua faktor yang ada, analisa tentang kapabilitas, persepsi,
pilihan, serta kebijakan luar negeri Cina, serta proyeksi dampak dan
reaksinya juga akan tergantung pada teori yang digunakan untuk
menganalisa hal tersebut, serta konsep-konsep utama apa yang digunakan

59 Rosecrance, op.cit., hal. 33-35.


60 Shirk, op.cit., hal. 10-11. Lihat juga Murray, 1998, hal. 21-22.
61 Shirk, op.cit., hal. 11.

52 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 52 19/11/2011 14:48:57


Adinda Tenriangke Muchtar

untuk mengkaji Cina dan kebijakan luar negerinya, serta faktor-faktor


apa yang mempengaruhi pilihan kebijakan luar negeri Cina.
Perspektif-perspektif, seperti interdependence liberalists, institutional
liberalist, maupun nuclear peace misalnya, lebih memandang positif
dan optimis kebangkitan Cina dalam kancah global karena adanya
kesalingtergantungan yang membuat konflik atau perang menjadi hal
yang lebih baik dihindari karena terlalu beresiko dan mahal. Berbeda
dengan perspektif tentang regime dan power, serta teori yang fokus
pada ancaman Cina, yang melihat negatif dan pesimis kebangkitan
Cina dalam hubungan internasional karena melihat kebangkitan Cina
menjadi kekuatan bagi Cina untuk menggunakan kapabilitasnya untuk
menekan negara lain maupun untuk bertindak agresif dan ekspansionis
demi mencapai kepentingan nasionalnya.62
Dalam artikel ini, penulis cenderung menggunakan perspektif
konstruktivis, dimana sifat dasar politik great power membutuhkan tidak
hanya kesadaran akan kesalingtergantungan material, namun juga transisi
yang lebih dalam tentang kepercayaan tentang sifat dasar kepentingan,
identitas negara dan hubungan antarnegara. Dalam hal ini, terdapat
prinsip bahwa pertumbuhan adalah tentang pertukaran dan bukan
tentang kekerasan. Cina juga telah belajar dari sejarah dan kesalahan
dari negara-negara adidaya sebelumnya yang telah runtuh. Pelajaran
utama yang didapat oleh Cina adalah melakukan pembangunan secara
damai dan partisipatif dalam tatanan internasional yang ada merupakan
pilihan yang lebih efektif daripada merusak tatanan yang ada.63
Hal tersebut juga terlihat jelas dari pentingnya menganalisa Cina dan
kebijakan luar negerinya dengan mempertimbangkan faktor internal,
eksternal, dan keterkaitan diantara faktor-faktor tersebut dalam
mempengaruhi persepsi dan perilaku, serta tindakan Cina dalam
hubungan internasional.

62 Holslag and Geeraerts, op.cit., hal. 6-8; Murray, op.cit., hal. 170-178; Goldstein, op.cit., hal.
29-39.
63 Ibid., hal. 7-8.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


53
1111 Jurnal.indb 53 19/11/2011 14:48:57
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

Penutup
Kebangkitan Cina, terutama dari aspek politik dan ekonomi telah
melahirkan beragam persepsi tentang status Cina dalam kancah global,
terutama tentang status great power, maupun kebangkitan Cina yang
dilihat sebagai ancaman ataupun peluang bagi negara-negara lain.
Kapabilitas Cina yang meningkat pesat, khususnya dalam aspek ekonomi,
dan upaya Cina untuk melakukan modernisasi militernya harus diakui
mempengaruhi kiprah dan keterlibatan Cina dalam kancah global.
Cina menjadi alternatif, jika tidak disebut sebagai great power yang patut
dipertimbangkan dalam sistem ekonomi politik internasional.
Lompatan jauh Cina juga tidak lepas dari sejarah panjangnya, terutama
kebijakan terbuka yang diterapkan pada masa kepemimpinan Deng
Xiao Ping. Hubungan internasional Cina sendiri juga dalam perjalanan
dan dinamikanya mengalami transisi beragam yang awalnya kental
oleh nuansa kepentingan negara adidaya karena konteks perang dingin
dan faktor ideologis, sampai ke kebijakan luar negeri yang independen
dan pragmatis yang dijunjung tinggi Cina lewat prinsip kebijakan luar
negerinya yang mendorong upaya mewujudkan hidup berdampingan
secara damai.
Dengan kapabilitas ekonomi dan militer yang sedemikian masif, posisi Cina
sebagai Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB, maupun keanggotaan dan
partisipasi aktif Cina dalam pelbagai komitmen dan lembaga internasional,
Cina mencoba menunjukkan bahwa sebesar apapun kapabilitasnya,
Cina tetap menunjukkan wajah yang ramah dan berperilaku baik dan
bertanggung jawab terhadap permasalahan global. Hal ini diantaranya
dibuktikan dengan peran aktifnya dalam memediasi upaya perdamaian di
Semenanjung Korea; pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian untuk
misi perdamaian PBB; maupun melalui berbagai kerja sama internasional
dan bantuan Cina untuk negara-negara lain.
Cina dengan kapabilitas ekonomi dan militernya juga memberikan
peluang yang luas dan menarik bagi negara-negara lain untuk melakukan
kerja sama. Misalnya dalam hal investasi, kerja sama militer, ekspor-
impor, dan sebagainya. Kesalingtergantungan Cina dengan negara-
negara lain dalam sistem politik dan ekonomi internasional juga secara
langsung maupun tak langsung telah menjadi pertimbangan bagi Cina
untuk berhati-hati dalam menerapkan kebijakan luar negeri yang agresif
dan mengancam stabilitas dan keamanan internasional.

54 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 54 19/11/2011 14:48:57


Adinda Tenriangke Muchtar

Cina telah melalui perjalanan sejarah Lompatan jauh Cina juga tidak
panjang yang beragam dengan berbagai lepas dari sejarah panjangnya,
negara, dan berbagai konteks dan
terutama kebijakan terbuka
kepentingan, yang membuat Cina akan
berpikir panjang untuk menempatkan yang diterapkan pada masa
keberhasilannya selama ini dalam bahaya. kepemimpinan Deng Xiao Ping
Keterlibatan Cina dalam berbagai
organisasi internasional juga membuat Cina mau tidak mau menerima
standar dan norma internasional. Seperti yang dikatakan Susan L. Shirk
(2008), wajah Cina menjadi lebih mudah dipahami dan tidak terlalu
totaliter, lebih kapitalis, serta lebih beragam.
Namun untuk isu tertentu yang mendasar terkait sejarah, kedaulatan,
dan stabilitas, serta wilayah, Cina cenderung lebih sigap, jika tidak reaktif,
dan tegas dalam menunjukkan posisinya. Bahkan Cina tidak sungkan
untuk menggunakan tekanan ekonomi dan militer, serta politik, seperti
lewat hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk memperjuangkan
kepentingannya.
Bagi Cina, prinsip hidup berdampingan dengan damai juga harus
menjunjung tinggi semangat untuk tidak saling mencampuri urusan
dalam negeri. Cina juga akan bersikap reaktif dan menunjukkan
ketidaknyamanannya ketika ada kerja sama pertahanan, seperti antara
Amerika Serikat dan Jepang di kawasan Asia Timur yang dipersepsikan
Cina sebagai upaya untuk membendung Cina dan memelihara hegemoni
Amerika Serikat dan para pendukungnya di Asia Timur.
Di sisi lain, reaksi Cina yang agresif dan reaktif tersebut tetap menuntut
Cina untuk menakar kemampuannya. Seperti yang dikatakan Kim
(1999), status Cina untuk menjadi great power belum lengkap dan
masih dalam posisi tidak puas terhadap kekuatan status quo yang ada.
Pertimbangan lain adalah bahwa Cina juga masih harus fokus dalam
membenahi permasalahan domestiknya, dari gejolak sosial, kesenjangan
ekonomi, protes isu HAM, pengangguran, korupsi, maupun terkait
politik dalam negerinya sendiri. Dengan demikian, fokus Cina untuk
memenuhi status dan tugas, serta ekspektasi terhadap Cina sebagai great
power juga terbatas dan terbagi, tidak hanya karena takaran kapabilitas
dan kualitas kekuatannya, namun juga permasalahan domestik yang
harus ditangani Cina.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


55
1111 Jurnal.indb 55 19/11/2011 14:48:57
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

Terkait dengan itu, seperti yang dikatakan oleh Kim (1999), hal yang patut
dicatat adalah status great power tidak hanya kaku didasarkan dan terbatas
pada kapabilitas ekonomi dan militer, serta pengaruh politik, namun
juga pada adanya kemauan dan kemampuan negara yang bersangkutan
untuk mengerahkan segala kapabilitasnya untuk memainkan peran
sebagai great power tidak hanya untuk kepentingan nasionalnya, namun
juga kepentingan internasional.
Dalam hal ini, identitas Cina sebagai great power juga tergantung
pada bagaimana Cina didefinisikan dan apa yang Cina lakukan, serta
kapasitasnya terkait kekuatan material maupun normatif. Masa depan
Cina sebagai great power masih belum lengkap dan belum dapat ditentukan
karena belum sepenuhnya puas dengan kekuatan status quo yang ada.
Kajian tentang Cina sebagai great power lebih pada perilaku daripada power
sesuai dengan bagaimana Cina merealisasikan penggunaan kekuatannya
dan untuk tujuan apa.64
Dengan kata lain, faktor persepsi Cina baik internal maupun eksternal
ikut berpengaruh dalam pilihan kebijakan luar negeri yang diambil Cina
dan tindakan nyata yang dilakukan Cina dalam menerapkan kebijakannya
tersebut, terlepas dari kapabilitas yang dimilikinya. Misalnya, bagaimana
tindakan Cina yang memamerkan kekuatan misilnya di Selat Taiwan
pada tahun 1995-1996 juga mengundang reaksi dari Amerika Serikat
yang juga bersekutu dengan Taiwan, dan berkomitmen untuk melindung
Taiwan.
Analisa mengenai persepsi tentang pilihan kebijakan luar negeri dan peran
Cina dalam kancah global sebagai great power harus dilihat dari beberapa
faktor, yaitu tekanan ganda yang dihadapi dari eksternal maupun internal,
terkait berkurangnya kedaulatan, globalisasi dan lokalisasi; apakah
persepsi dan kredibilitas kekuatan nasional sepenting kenyataannya;
keberadaan negara adidaya dengan kebangkitan Jepang, kepahlawanan
Amerika namun tidak efektif dalam klaim kepemimpinan global, baik
dari sisi biaya maupun tanggung jawab; serta ‘three worldization’ bekas
Uni Soviet; serta yang tidak kalah pentingnya bahwa power harus dilihat
secara sintetis, seiring dengan dinamika dan kesalingtergantungan.65

64 Kim, op.cit., hal. 455-458.


65 Kim, op.cit., hal. 449-450.

56 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 56 19/11/2011 14:48:57


Adinda Tenriangke Muchtar

Di sinilah perspektif konstruktivis status great power tidak hanya


menjadi alat yang relevan dan penting kaku didasarkan dan terbatas pada
untuk mengkaji status great power, kapabilitas ekonomi dan militer, serta
kapabilitas, keinginan, persepsi,
pengaruh politik, namun juga pada
maupun kepentingan Cina dalam
kancah global, baik dari faktor internal, adanya kemauan dan kemampuan
eksternal, maupun interaksi antara negara yang bersangkutan untuk
faktor-faktor tersebut. mengerahkan segala kapabilitasnya
Pada akhirnya, kebijakan luar negeri untuk memainkan peran sebagai
Cina dan penggunaan kapabilitasnya great power tidak hanya untuk
akan tergantung pada interaksi antara kepentingan nasionalnya, namun
faktor domestik dan internasional juga kepentingan internasional
yang mempengaruhi keinginan dan
maksud, serta tindakan atau Cina dalam politik global. Faktor lain
yang tidak kalah pentingnya adalah persepsi dan bagaimana persepsi
mempengaruhi penggunaan kapabilitas Cina dan pemilihan kebijakan
luar negeri Cina.

Daftar Pustaka
Benewick, Robert and Stephanie Hemelryk Donald. The State of China
Atlas: Mapping the World’s Fastest-Growing Economy. Revised and Updated.
Berkeley: University of California Press, 2009.
Bower, Ernie and Lie Nathanael Santoso. “A Year Later, Reduced Tensions
at the ASEAN Regional Forum”. 23 August 2011. http://cogitasia.
com/a-year-later-reduced-tensions-at-the-asean-regional-forum-arf-china,
(5 Oktober 2011).
Goldstein, Avery. 1997/1998. “Great Expectations: Interpreting China’s
Arrival”. The Rise of China: An International Security Reader. Diedit oleh
Michael E. Brown, Owen R. Cote, Jr., Sean M. Lynn-Jones, and Steven
E. Miller. Cabridge: The MIT Press, 2000: 3-40.
Hoslag, Jonathan and Gustaaf Geeraerts, “Discussion paper: Will China
redefine great power politics?”. BICCS. http://www.vub.ac.be/biccs/
site/assets/files/Events/Discussion%20paper.pdf (5 Oktober 2011).
Hal. 1-13.
Kim, Samuel S. “China As a Great Power”. China Reader: The Reform Era.
Diedit oleh Orville Schell and David Shambaugh. New York: Vintage
Books, 1999: 448-458.
Murray, Geoffrey. China, The Next Superpower: Dilemmas in Change and
Continuity. Richmond: China Library, 1998.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


57
1111 Jurnal.indb 57 19/11/2011 14:48:57
Kebangkitan dan Kebijakan Luar Negeri Cina:
Antara Persepsi dan Pilihan

Rosecrance, Richard. “Power and International Relations: The Rise of China


and Its Effects”. International Studies Perspective. 7. (2006). Oxford:
Blackwell Publishing: 31-35.
Saich, Tony. Governance and Politics of China. Palgrave: New York, 2001.
Shambaugh, David. 1996. “Containment or Engagement of China?
Calculating Beijing’s Responses”. The Rise of China: An International
Security Reader. Diedit oleh Michael E. Brown, Owen R. Cote, Jr., Sean
M. Lynn-Jones, and Steven E. Miller. Cabridge: The MIT Press, 2000:
207-236.
Shambaugh, David. “The US and China: Cooperation or Confrontation”.
China Reader: The Reform Era, edited by Orville Schell and David
Shambaugh. New York: Vintage Books, 1999: 470-479.
Shirk, Susan L. China: Fragile Superpower. New York: Oxford University Press,
2008.

Websites
“China’s Foreign Affairs and International Relations”. 25 August 2008.
http://al.china-embassy.org/eng/zggk/t514667.htm, (4 Oktober 2011).
“China’s Independent Foreign Policy of Peace”. http://www.fmprc.gov.cn/
eng/wjdt/wjzc/t24881.htm (4 Oktober 2011).
“China Keberatan AS Jual Senjata ke Taiwan”. 7 September 2011. http://
internasional.kompas.com/read/2011/09/07/19090360/China.
Keberatan.AS.Jual.Senjata.ke.Taiwan (19 Oktober 2011).
“China Sangkal Jual Senjata ke Libya”. 5 September 2011. http://
international.okezone.com/read/2011/09/05/413/498957/china-
sangkal-jual-senjata-ke-libya (19 Oktober 2011).
“China Wants New World Order”. http://www.china-embassy.org/eng/zmgx/
zgwjzc/t35080.htm (4 Oktober 2011).
“Liu Huaqiu on China’s Foreign Policy”. http://www.china-embassy.org/eng/
zmgx/zgwjzc/t35078.htm (4 Oktober 2011). Lihat juga, “China’s Stand
on South-South Cooperation”. http://www.fmprc.gov.cn/eng/wjdt/
wjzc/t24884.htm, (4 Oktober 2011).
“Main Characteristics of China’s Foreign Policy”. http://www.china-embassy.
org/eng/zmgz/zgwjzc/t35077.htm (4 Oktober 2011).
“Menaguk Untung dari Konflik”. 21 September 2011. http://www.intelijen.
co.id/wawasan/1375-menaguk-untung-dari-konflik (19 Oktober 2011).

58 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 58 19/11/2011 14:48:57


Garuda Di Antara
Raja Elang dan Geliat Naga
Fajar Riza Ul Haq
Direktur Eksekutif MAARIF Institute
for Culture and Humanity

Abstrak
Tulisan ini bertujuan membahas perkembangan hubungan Amerika dan China
di abad ke-21 dan kaitanya dengan posisi Indonesia dalam perspektif budaya.
Hubungan kedua negara yang sedang berebut pengaruh ekonomi dan politik
di Asia ini memiliki dampak bagi kepentingan Indonesia untuk membangun
kerjasama. Pada saat yang sama, persepsi masyarakat Muslim Indonesia
terhadap Amerika dan China juga mempengaruhi dinamika hubungan segi tiga
Indonesia-Amerika-China.
Kata kunci: Amerika, China, Indonesia, Persepsi.

Pengantar
Menjelang akhir tahun 2011, setidaknya ada dua perhelatan besar di
kawasan Asia-Pasifik, yaitu the Asian-Pacific Economic Cooperation (APEC)
yang digelar di Hawai’i , 12-14 November, dan ASEAN Summit di Bali, 17-
20 November. Meskipun kedua event itu guna membahas peningkatan
kerjasama perdagangan di antara negara-negara Asia Pasifik, Amerika
adalah negara yang sangat berkepentingan untuk meloloskan agenda
pemulihan ekonominya melalui pembentukan Trans-Pacific Partnership
(TPP). Kepentingan negara Paman Sam ini tercermin dari pidato
Presiden Obama dalam pertemuan APEC, “No region will do more to shape
our economic future than the Asia-Pacific regions. We are going to continue to be
firm, to ensure that they- China - will operate the same rules (as) everyone else1.

1 Obama touts cooperation with Asia, call out China, http://edition.cnn.


com/2011/11/14/politics/obama-apec-summit/?hpt=hp_t1, 14 November 2011.

59
1111 Jurnal.indb 59 19/11/2011 14:48:57
Garuda Di Antara Raja Elang dan Geliat Naga

Pernyataan Obama tersebut sangat jelas mengisyaratkan bahwa kawasan


Asia Pasifik merupakan tulang punggung perekonomian Amerika Serikat
dewasa ini dan Cina adalah kompetitor utamanya. Banyak pihak sepakat
bahwa abad ke-21 merupakan abad Asia. Oleh karenanya, tidak sedikit
pula yang meramalkan Asia merupakan medan perang baru dalam
pertarungan kekuatan-kekuatan ekonomi-politik regional bahkan global.
Pada satu sisi, Cina sedang mengalami transformasi ekonomi sangat
cepat dan berada pada fase pertumbuhan “remaja” yang membuatnya
membutuhkan ruang yang lebih luas untuk tumbuh dewasa. Pada sisi
lain, Amerika tetap bertekad mempertahankan dominasi globalnya di
tengah krisis ekonomi yang menimpanya. Pejabat Washington sudah
mengkonfirmasi bahwa Amerika tidak akan merubah postur anggaran
militernya di Asia meski ada pemotongan anggaran di dalam negeri.
Tarik-menarik kedua negara paling dominan ini berpusat pada kompetisi
penguasaan pasar di Asia-Pasifik. Persaingan ekonomi regional akan
berdampak langsung pada dinamika politik, militer bahkan budaya yang
merupakan elemen penting dalam diplomasi “soft power”. Dalam peta
global semacam ini, banyak orang Indonesia menganggap negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia ini berada di antara persaingan
kekuatan-kekuatan besar, utamanya Amerika dan Cina2.
Tulisan ini akan mengangkat persepsi masyarakat Indonesia terhadap
Amerika dan Cina dengan menekankan perspektif budaya. Analisis
tulisan dibangun di atas pergeseran lanskap ekonomi-politik global
dimana Amerika dan Cina merupakan dua pemain terpentingnya.
Tulisan ini akan mengajukan terorisme sebagai kasus dalam melihat
persepsi masyarakat Muslim terhadap Amerika dan Cina. Sebagai data
pendukung, akan disinggung persepsi para pemimpin Muslim Indonesia
terhadap Cina berdasarkan penelitian MAARIF Institute3.

2 Irman Lanti, “Indonesia in Triangular Relations with China and the United States”,
dalam China, the United States, and Southeast Asia, Evelyn Goh dan Sheldon W. Simon,
Routledge, 2008: 130.
3 Lih. Ahmad Norma Permata, et. all., Persepsi Pimpinan Ormas Islam Terhadap
Australia Terkait Isu-isu Internasional dan Domestik, MAARIF Institute, 2009 (tidak
dipublikasikan)

60 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 60 19/11/2011 14:48:57


Fajar Riza Ul Haq

Memperebutkan Asia
Sejumlah murid perempuan berjilbab putih dan laki-laki dengan
semangat mengeja tulisan hanzi mengikuti sang guru bahasa Mandarin.
Proses belajar di satu kelas ini mewakili pemandangan umum di sekolah-
sekolah di Kabupaten Lamongan sejak 20074. Potret di daerah pantai utara
Jawa itu tidak semata menggambarkan denyut perubahan namun juga
pergeseran pusat orientasi ekonomi dalam percaturan regional bahkan
global. Negara Cina adalah kiblat baru perekonomian dunia seiring krisis
keuangan menimpa Amerika dan negara-negara Uni Eropa.
Pada satu sisi, Fareed Zakaria melihat Negara Cina adalah kiblat baru
bahwa dominasi pada bidang
ekonomi (economic superpower) perekonomian dunia seiring krisis
tidak selalu diterjemahkan dan keuangan menimpa Amerika dan
berdampak langsung pada dominasi
kekuatan geo-politik. Menurutnya, negara-negara Uni Eropa.
Cina tidak mempunyai kekuatan
politik maupun geopolitik untuk menjadi negara super power 5. Pada
sisi lain, Robert Kagan menilai bahwa model kepemimpinan Cina
memandang dunia dalam kaca mata Kaisar Wilhelm II seabad yang
lalu. Para pemimpin Negara Naga ini akan diselimuti kekhawatiran
sehingga mereka tergerak untuk merubah sistem tatanan global sebelum
sistem itu merubah mereka6. Seorang ahli Cina, seperti dikutip Nye, Jr.,
memprediksikan, “cepat atau lambat, jika tren sekarang terus berlanjut,
kutub perang kemungkinan akan beralih ke Asia7”.
Tidak bisa dibantah, abad-21 adalah abad Asia setelah dua ratus tahun di
bawah supremasi Eropa dan Amerika. Menanjaknya kebangkitan Cina
sebagai kekuatan utama dunia menandai berakhirnya universalisme nilai-
nilai, norma, dan institusi Barat8. Menurunnya universalisme Barat tidak
semata-mata disebabkan kebangkitan Cina namun sebuah konsekwensi
dari perubahan tata ekonomi-politik dunia yang semakin multipolar

4 Edward Wong, “Indonesian Seek Words to Attract China’s Favor”, The New York Times,
1/5/10.
5 Fareed Zakaria, “GPS tracking of the Middle East, China, and Indonesia” dalam Strategic
Review, Agustus 2011/Vol. 1, Nomor 1, hal. 131
6 Joseph S. Nye, Jr., The Future of Power (New York: Public Affairs, 2011), hal. 154
7 Lih. Nye, Jr., hal. 153
8 Martin Jacques, When China Rules The World, Terjemahan. Jakarta: Kompas, 2011: 481

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


61
1111 Jurnal.indb 61 19/11/2011 14:48:58
Garuda Di Antara Raja Elang dan Geliat Naga

dan perkembangan modernitas yang beragam. Dengan ungkapan lain,


Sinosentrisme tidak serta merta menggantikan Westernisme9.
Kekuatan politik unipolar Amerika
cepat atau lambat, jika tren sekarang secara pasti menurun dan tergantikan
terus berlanjut, kutub perang oleh fenomena multipolar global
seiring kebangkitan kekuatan
kemungkinan akan beralih ke Asia ekonomi baru non Barat, utamanya
Cina, India, dan Brasil10. Pusat
kekuatan politik global akan semakin terdistribusi meski Amerika
masih tetap merupakan kekuatan dominan, khususnya dalam bidang
militer11. Masa depan kontestasi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik
tersebut akan banyak ditentukan oleh sejauhmana masing-masing pihak
mengefektifkan diplomasi “soft power” ketimbang “hard power”12. Dalam
jangka waktu 20-30 tahun ke depan, kekuatan ekonomi dunia akan oleh
dikuasai tiga negara, yaitu Amerika, Cina, dan India.
Dari sisi sejarah, kemunculan dua kekuatan dari Asia pada abad ini
memiliki akar kesejarahan yang kokoh karena tiga dari peradaban kuno
dunia berasal-usul Asia, yakni Peradaban India dari lembah Sungai
Gangga, Peradaban Cina dari lembah Sungai Kuning, dan Peradaban Arab
dari lembah Sungai Tigris dan Eufrat13. Sen menyimpulkan bahwa pada
mulanya Asia merupakan tempat kelahiran peradaban kemanusiaan.

Budaya Modernitas Pasca Amerika


Joseph Nye, Jr.14, dan Zakaria mendefinisikan “dunia pasca Amerika”
sebagai kondisi yang mengharuskan Amerika menyesuaikan dirinya
dengan kebangkitan negara-negara lain. Amerika harus menerima
kenyataan untuk berbagi kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan baru
tersebut meski masih menguasai sumber-sumber kekuasaan global,
utamanya militer. Meminjam Jacques, modernitas pasca Amerika akan

9 Idem., hal. 482


10 Lih. Nye, Jr.,
11 Nye, Jr., dan Jacques
12 Nye, Jr.,
13 Tan Ta Sen, Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara (Jakarta: Kompas, 2010),
hal.3
14 Lih. Nye, Jr., hal. 234

62 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 62 19/11/2011 14:48:58


Fajar Riza Ul Haq

memaksa Barat untuk memandang dirinya lebih pada kerangka relatif,


harus belajar dari dan tentang dunia lain tanpa beranggapan superior15.
Dalam perspektif kebudayaan, modernitas pasca Amerika akan
kemunculan Cina, India, Brasil,
Indonesia, Rusia, Korea Selatan, memaksa Barat untuk memandang
Taiwan, dan Turki - mengikuti dirinya lebih pada kerangka relatif,
konsep Emerging and Growth-
Leading Economies (EAGLEs)16- harus belajar dari dan tentang dunia lain
sebagai kekuatan ekonomi baru tanpa beranggapan superior
di awal abad ke-21 mengingatkan
kita pada tesis besar yang dikemukakan Samuel Huntington, benturan
peradaban. Peradaban dibedakan oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi,
dan yang paling penting adalah agama. Berger memahami budaya sebagai
representasi nilai-nilai, keyakinan, dan gaya hidup orang-orang biasa
dalam kehidupan kesehariannya17.
Menurut Huntington, sumber konflik fundamental dalam tatanan
dunia baru lebih didominasi faktor budaya. Adapun faktor ideologis dan
ekonomi bukanlah faktor utama. Namun beberapa intelektual Cina tidak
setuju dengan teori benturan budaya ini. Li Shenzhi (Presiden China
Association for American Studies) dan Tan Yijie (Peking University)
meyakini meningkatnya kontak ekonomi di antara negara-negara di era
globalisasi telah membongkar tapal batas negara, pada saat bersamaan,
peradaban yang berbeda akan saling membentur dan melebur18.
Studi sosiologi globalisasi memperlihatkan bahwa kehadiran fenomena
budaya-budaya alternatif sebagai respon terhadap hegemoni global
kebudayaan Barat merupakan ekspresi intensif19. Diversifikasi budaya
menjadi ekspresi kebudayaan terpenting. Budaya globalisasi ditandingi
budaya-budaya regional yang berakar pada sistem budaya lokal. Menurut
Berger, kondisi politik sangat berperan mendorong ketegangan antara

15 Lih. Jacques, hal. 164


16 New Terms for Economies Emerging is Suggested, http://www.nytimes.
com/2010/11/16/business/global/16eagles.html, 10/10/2010
17 Peter L. Berger & Samual P. Huntington, ed., Many Globalizations: Cultural Diversity in
the Contemporary World, (New York: Oxford University Press, 2002), hal. 2
18 Sen, hal. 2
19 Berger dan Huntington, hal. 12

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


63
1111 Jurnal.indb 63 19/11/2011 14:48:58
Garuda Di Antara Raja Elang dan Geliat Naga

budaya global Barat dan budaya lokal berujung pada apa yang disebut
Huntington sebagai “benturan peradaban”. Namun pada saat bersamaan,
konflik-konflik budaya di kalangan internal masyarakat akan berpotensi
meningkat20. Sen melihat proses kontak budaya harus mempertimbangkan
kompleksitas sosio-politik dan kewilayahan. Sikap dari kelas/kekuatan
dominan menjadi faktor determinan dalam menentukan perubahan
budaya tersebut21.
Studi sosiologi dan antropologi globalisasi membentangkan satu fakta
bahwa budaya modernitas tidak homogen, justru yang terjadi adalah
heterogenitas, variasi dan diferensiasi sebagaimana ditunjukan Berger,
Friedman22, dan Sharot23. Kemunculan kutub-kutub ekonomi dan politik
pasca Amerika akan berpengaruh pada proses dan produk kontak budaya
pada level regional dan global. Berbeda dengan konsep modernitas Barat
yang menarik garis pemisah antara pramodernitas dan modernitas,
modernitas Asia Timur menempatkan masa lalu dan masa kini dalam
ruang yang sama, tidak terpenggal24. Dijembatani oleh kontinuitas. Jadi,
Cina adalah “remaja yang tidak sabar ingin cepat menjadi dewasa. Ia
selalu berprilaku seperti lebih tua dari usia sebenarnya dan terus menerus
melupakan realitas dari situasi yang dihadapinya”, mengutip Gao-Rui-
Qian, profesor filsafat Universitas Nasional Cina Timur25.
Pada kerangka ini, sejumlah karakteristik Cina memperlihatkan
bahwa modernitas Cina akan sangat berbeda dari modernitas Barat.
Meskipun Kissinger mengidentifikasi ideologi politik Cina tidak
berwatak agresif26, Jacques berkeyakinan Cina akan mengubah dunia
secara lebih mendasar ketimbang kekuatan global mana pun dalam
kurun waktu dua abad terakhir.27 Karakter penting Cina yang akan
menentukan pola hubungannya di Asia Timur adalah sistem negara

20 Idem., hal. 15
21 Sen, hal. 9
22 Jonathan Friedman, Cultural Identity & Global Process (London: Sage Publications,
1994)
23 Stephen Sharot, A Comparative Sociology of World Religions ( New York: New York
University Press, 2001)
24 Jacques, hal. 119
25 Ibid., hal. 119
26 Lih. Kissinger, hal. 17
27 Jacques, hal. 477

64 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 64 19/11/2011 14:48:58


Fajar Riza Ul Haq

upeti yang berakar kuat pada Konfusianisme. Sistem upeti ditandai


oleh ketimpangan sangat tajam antara Cina dan negara-negara
tetangganya. Sistem upeti mengekspresikan keyakinan Cina terhadap
superioritas budaya dan ras Cina28.
Dari sisi tradisi keagamaan, masyarakat Cina tidak bisa diidentifikasikan
pada satu agama tertentu. Mayoritas penduduk Cina menganut keyakinan
yang bersifat sinkretik yang bersumber pada tiga tradisi besar, yaitu
Konfusianisme, Taoisme, Buddhisme, dan juga unsur-unsur kepercayaan
lokal29. Karakter budaya dan orang Cina dibentuk oleh peradaban yang
berkembang di Dataran Tengah. Dalam sejarah panjang Cina, humanisme
merupakan tema utama dalam pemikiran orang Cina30.
Kebangkitan fenomenal Cina yang dalam waktu sangat cepat menyalip
Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomer dua di dunia sulit dicarikan
bandingannya dalam sejarah manusia. Dalam paradigma negara-bangsa
Westphalian, kebangkitan kekuatan ekonomi Cina akan mengganggu
dominasi politik-ekonomi Amerika di kawasan Asia. Namun Pemerintah
Beijing selalu menekankan, kebangkitan Cina adalah kebangkitan damai.
Bukan merupakan ancaman. Terlebih, kebijakan politik internasional
Cina berakar pada doktrin singularitas yang mengedepankan pendekatan
budaya dalam memperluas jangkauan pengaruhnya, tidak bersifat
misionaris sebagaimana Amerika31.
Meskipun demikian, Liu Mingfu dalam “China Dream” mengingatkan,
konflik bersifat inheren dalam hubungan Amerika dan Cina, terlepas
dari seberapa besar komitmen Cina terhadap kebangkitan damai
itu. Hubungan kedua negara ini akan lebih menyerupai perlombaan
marathon dan pertarungan abad ke-2132. Kompetisi pengaruh antara
Amerika dan Cina akan berdampak langsung pada hubungan kedua
negara tersebut dengan negara-negara di Asia. Untuk sekian lama, Jepang
dan Australia adalah sekutu Amerika di wilayah Asia-Pasifik. Masa depan
persepsi kedua negara tersebut terhadap negara-negara lain akan dapat
diteropong dengan memahami kebijakan politik domestiknya masing-

28 Ibid., 466
29 Sharat, hal. 70
30 Sen, hal. 73
31 Kissinger, hal. 529
32 Ibid., hal. 521

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


65
1111 Jurnal.indb 65 19/11/2011 14:48:58
Garuda Di Antara Raja Elang dan Geliat Naga

Dalam paradigma negara-bangsa masing33. Dalam ungkapan lain,


Westphalian, kebangkitan kekuatan prilaku politik sebuah negara dalam
memperlakukan warga negaranya
ekonomi Cina akan mengganggu
akan mencerminkan karakter
dominasi politik-ekonomi Amerika di politik luar negerinya.
kawasan Asia. Namun Pemerintah
Ciri fundamental politik Cina ter-
Beijing selalu menekankan, kebangkitan letak pada tekanannya yang sangat
Cina adalah kebangkitan damai kuat pada kesatuan negara dan sta-
bilitas politik34. Sebuah pemikiran
politik yang berakar kuat pada Konfusianisme. Mempertimbangkan ka-
rakter Cina dan kemungkinannya untuk berkembang di luar paradigma
negara-bangsa Westphalian, Cina akan terus memantapkan dirinya se-
bagai kekuatan dominan di Asia Timur dengan menonjolkan dimensi
Sinosentrisnya.

Amerika dan Cina dalam Persepsi Masyarakat Muslim


Sebuah studi yang dilakukan Freedom Institute dan PPIM UIN Jakarta
tentang relevansi tesis Huntington menyimpulkan bahwa tingkat
kebencian masyarakat Muslim terhadap orang Kristen berkorelasi
positif dengan persepsinya terhadap Amerika35. Semakin tinggi tingkat
intoleransinya terhadap orang Kristen maka akan semakin tinggi pula
tingkat kebenciannya pada Amerika. Penjelasan yang dapat diberikan
terkait temuan ini adalah adanya fakta sejarah dan sosiologis Amerika
dibangun oleh dua mitos yang saling berkaitan, yaitu Amerika-Kristen
dan Amerika-Sekuler36. Persepsi demikian ini tidak bisa dilepaskan dari
fluktuasi hubungan Muslim dan Kristen yang dipengaruhi secara kuat
oleh kebijakan politik luar negeri Pemerintah Amerika terhadap isu-isu
Islam.
Kebijakan politik luar negeri Amerika, khususnya di Timur Tengah seperti
yang tercermin dalam Perang Irak, Perang Afghanistan serta konflik
Palestina dan Israel, telah menciptakan kondisi-kondisi yang menyuburkan

33 Lih. Nye, Jr., dan Jacques


34 Jacques, hal. 233
35 Saiful Mujani, et. all, Benturan Peradaban: Sikap dan Prilaku Islamis Indonesia Terhadap
Amerika (Jakarta: Freedom Institute dan PPIM UIN, 2005)
36 Alwi Shihab, Examining Islam in the West (Jakarta: Gramedia, 2004), hal. 22

66 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 66 19/11/2011 14:48:58


Fajar Riza Ul Haq

kekecewaan psikologis-politis, pandangan fundamentalisme agama,


dan keyakinan akan kekerasan sebagai cara terbaik membela Tuhan di
kalangan sekelompok Muslim. Dalam peta politik global semacam inilah
paradigma politik luar negeri Amerika mencapai penampakan yang
sempurna pada periode pemerintahan Goerge W. Bush Jr.
Patut dicatat, pengenalan masya- Kebijakan politik luar negara Presiden
rakat Amerika terhadap agama
Bush merespon serangan teror telah
Islam sangat rendah, jauh berbeda
pasca serangan terorisme ke memaksa masyarakat Muslim dunia
Gedung WTC, 11 September
pada posisi semakin tersudut
2001. Kebijakan politik luar negara
Presiden Bush merespon serangan teror telah memaksa masyarakat
Muslim dunia pada posisi semakin tersudut. Kelompok-kelompok
Muslim di pelbagai belahan dunia memprotes keras kebijakan “war
on terror” Pemerintah Bush. Beberapa kelompok Muslim di Indonesia
menuduh kebijakan tersebut ditujukan kepada umat Muslim37.
Menurut Alwi Shihab, aksi 11 September itu telah berdampak luar biasa
terhadap hubungan Muslim dan Kristen serta Islam dan Amerika. Pada
situasi inilah persepsi masyarakat Muslim Indonesia terhadap Cina
berkorelasi positif. Irman Lanti mencatat korelasi positif hubungan
Indonesia-Cina akan berdampak pada intensitas hubungan Indonesia-
Amerika, begitu juga sebaliknya. Misalnya, hubungan diplomatik
Indonesia-Cina mencapai masa bulan madu pada periode Presiden
Soekarno melalui pembentukan poros Jakarta-Peking. Namun terjadi
titik balik pada masa Soeharto pasca tragedi 31 September 1965.
Indonesia adalah sekutu terpenting Amerika di Asia Tenggara pada era
Soeharto38.
Seperti disebutkan Kissinger di awal, DNA ideologi politik Amerika
adalah politik missionari yang ekspansionis. Karakter politik ini
membuat negara Paman Sam ini berkepentingan langsung terhadap
“implantasi” nilai-nilai demokrasi liberal, ekonomi kapitalisme, dan
HAM di negara-negara non Barat. Menurut hemat saya, kemunculan
beberapa ideologi kekerasan dan terorisme –yang tidak hanya ditemukan
pada agama tertentu– merupakan bentuk tentangan terhadap efek

37 Lih. Permata, et. all.,


38 Lanti dalam Goh dan Simon, hal. 137

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


67
1111 Jurnal.indb 67 19/11/2011 14:48:58
Garuda Di Antara Raja Elang dan Geliat Naga

samping ketidakadilan ekonomi-politik sistem demokrasi liberal dan


kapitalisme global. Adapun perkembangan politik luar negeri Cina
menunjukkan karakter sebaliknya. Negara-Peradaban di Asia Timur ini
lebih berkepentingan agar dimensi kultural Cina mewarnai kebudayaan
lain. Meski demikian, Jacques mengingatkan DNA politik kebudayaan
Cina juga dibangun di atas ego superiotas ras dan hirarki sosial. Suatu
kondisi yang akan menentukan pola hubungan Cina dengan negara lain
di masa mendatang.
Dalam kaitan inilah, saya ingin meletakkan diskursus terorisme global
dalam konteks dinamika dan pergeseran kekuatan-kekuatan geo-politik
global tersebut. Perang melawan terorisme tidak bisa dipisahkan dari
amunisi politik luar negeri Amerika untuk mengamankan kepentingannya
di tengah ancaman Al-Qaidah. Huntington mengingatkan Fukuyama,
kemenangan ideologi politik Amerika bukanlah takdir abadi karena
kebangkitan peradaban lain merupakan keniscayaan. Eksistensi Peradaban
Islam, Kunfusian (Cina), dan Hindu (India) membawa ancaman abadi
bagi keberlangsungan hegemoni peradaban Barat-Kristen.

kemenangan ideologi politik Tiga dasawarsa lalu, Amerika tidak


terlalu merisaukan Cina. Kala
Amerika bukanlah takdir abadi itu, Cina baru memulai reformasi
karena kebangkitan peradaban ekonomi pada tahun 1978 di era
Deng Xiaoping. Justru kekuatan
lain merupakan keniscayaan. ideologi Islam adalah potensi
Eksistensi Peradaban Islam, ancaman terdekat yang mereka
lihat. Islam yang dipahami dalam
Kunfusian (Cina), dan Hindu kaca mata politik Amerika adalah
(India) membawa ancaman abadi Islam produk sejarah Timur Tengah.
Padahal ekspresi sosial-politik
bagi keberlangsungan hegemoni masyarakat Muslim di kawasan itu
peradaban Barat-Kristen tidak mewakili universalitas Islam
itu sendiri. Paradigma unipolar
politik Amerika berkontribusi terhadap pandangan politiknya yang
menihilkan Islam yang lain dari Timur Tengah. Asosiasi Islam sebagai
ideologi utama yang bertanggungjawab di balik serangan WTC dan
aksi-aksi teror lainnya merupakan produk dari psikologi keterancaman
Amerika dalam kesadaran politik unipolar tersebut.

68 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 68 19/11/2011 14:48:58


Fajar Riza Ul Haq

Setelah satu dasawarsa tragedi 9/11 tersebut, kini Amerika mendapati


kebangkitan mengagumkan Cina sebagai kekuatan ekonomi terkuat
ke-2 dunia, menyalip Jepang. Pada saat bersamaan, paradigma missionari
politik luar negeri Amerika yang sudah dianutnya puluhan tahun
meninggalkan problem psikologis-politis antara Amerika dan Islam. Satu
kondisi yang tidak dialami Cina. Hubungan Cina dan masyarakat Muslim
Indonesia pada posisi yang lebih menguntungkan Cina dalam konteks
kontestansi Amerika dan Cina. Penelitian MAARIF Institute (2009)
mengenai persepsi tokoh-tokoh organisasi Islam terhadap Amerika dan
Cina menunjukkan sejumlah respon yang konsisten dengan pendapat di
atas39.
Pertama, responden kelompok Muslim inklusif cenderung melihat
bantuan dari Amerika secara positif, sebagai upaya kemanusiaan dan
kerjasama antar-negara, meskipun mereka ini juga mengakui adanya
kemungkinan kepentingan Amerika di balik bantuan-bantuan tersebut.
Adapun kelompok eksklusif cenderung menyatakan bahwa bantuan
tersebut bersifat negatif, baik dengan alasan politik ekonomi; kamuflase
Amerika untuk melakukan eksploitasi; ataupun alasan ideologis: bahwa
Amerika adalah musuh dunia Islam yang bantuannya tidak boleh
diterima. Sementara, pengetahuan kelompok Muslim, baik yang inklusif
maupun eksklusif, mengenai bantuan dari Cina sangat minim. Secara
umum mereka tidak memiliki kecurigaan apa pun terhadap bantuan dari
Cina; dan tidak ada laporan negatif tentang ini.
Kedua, sebagian besar dari responden percaya bahwa Amerika merupakan
ancaman militer bagi Indonesia. Responden ini melihat bahwa Amerika
sudah terbukti melakukan invasi militer ke negara-negara yang dianggap
tidak sejalan dengan kepentingannya, terutama negeri-negeri Muslim.
Hanya sedikit yang menyatakan tidak yakin, atau tidak percaya bahwa
Amerika merupakan ancaman militer bagi Indonesia. Berbanding
terbalik, tidak ada responden yang menyatakan bahwa Cina merupakan
kekuatan ancaman militer terhadap Indonesia.
Ketiga, Sebagian besar responden meyakini Amerika telah melakukan
intervensi politik di Indonesia, seperti pada pemilihan presiden,
penyusunan UU desentralisasi, pinjaman luar negeri, perdagangan,
pendidikan, kebudayaan, dan operasi intelijen. Sisanya bersikap

39 Poin-poin ini diringkas dari temuan penelitian dimaksud, hal. 135-148.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


69
1111 Jurnal.indb 69 19/11/2011 14:48:58
Garuda Di Antara Raja Elang dan Geliat Naga

sebaliknya. Terhadap Cina, tidak ada responden yang mengaku percaya


ada intervensi politik Cina di Indonesia.
Keempat, kurang dari separoh responden menyatakan pelaksanaan
demokrasi di Amerika sangat baik, terbuka, pemilu yang jujur, pers
yang kritis. Apalagi sekarang dengan terpilihnya Barack Obama sebagai
presiden, Amerika dianggap menjadi contoh demokrasi yang maju.
Namun lebih dari separoh responden menyatakan bahwa demokrasi
di Amerika tidak baik: pertama, karena masih banyak diskriminasi
terhadap orang kulit hitam dan imigran; kedua, demokrasi Amerika
hanya ke dalam saja, sementara kebijakan luar negeri mereka sangat
bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Pada kasus Cina, semua
responden menyatakan bahwa tidak ada demokrasi di Cina. Mereka
menyatakan hal itu sebagai sesuatu yang negatif dan bukan sistem yang
sejalan dengan Islam.
Kelima, sedikit responden yang percaya bahwa HAM di Amerika berjalan
dengan baik. Sebagian besar responden menganggap bahwa HAM di
Amerika masih semu atau bermuka dua (double standard): warga kulit
hitam dan imigran masih mengalami diskriminasi berat; dan kebijakan
luar negeri Amerika juga banyak melanggar HAM. Pada sisi lain, semua
responden menyatakan yakin tidak ada HAM di Cina.
Keenam, sebagian besar responden percaya bahwa Indonesia memiliki
potensi besar untuk bekerjasama dengan Amerika seperti dalam bidang
teknologi, ekonomi, perdagangan, industri, pendidikan. Ada beberapa
responden yang menggarisbawahi, untuk tidak menjalin kerjasama
dalam studi agama dengan Amerika. Ada sekitar sepertiga responden
yang menganggap bahwa potensi kerjasama dengan Amerika kecil, atau
tidak baik. Dan ada beberapa responden yang menganggap potensi
kerjasama dengan Amerika bersifat negatif: pertama, dengan alasan politik
ekonomi, bahwa kerjasama itu hanya akan menjadi proses eksploitasi
mereka terhadap kita; kedua, alasan ideologis bahwa Amerika adalah
musuh dunia Islam sehingga tidak boleh bekerjasama dengan musuh.
Pada saat yang sama, lebih dari separoh responden percaya ada peluang
kerjasama Indonesia dengan Cina, terutama untuk bidang perdagangan.
Dan seperempat responden mengatakan tidak ada peluang kerjasama.
Sedangkan sisanya mengaku tidak tahu pasti.

70 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 70 19/11/2011 14:48:58


Fajar Riza Ul Haq

Penutup
Salah satu poin penting dalam tulisan ini adalah masyarakat Muslim
Indonesia memandang Cina relatif lebih bersahabat ketimbang Amerika.
Negara Paman Sam ini dipersepsikan memberikan ancaman pada bidang
militer, politik, ekonomi, dan budaya. Keterbatasan informasi mengenai
Cina dan tidak adanya kebijakan politik luar negeri Cina yang berkaitan
langsung dengan kepentingan masyarakat Muslim merupakan dua
faktor utama penyebab terbangunnya persepsi tersebut. Padahal ekspansi
perekonomian Cina ke pasar Indonesia merupakan ancaman serius.
Pada level ini, Cina relatif tidak memiliki beban politis dalam menjalin
hubungan dengan Indonesia.
Saya ingin katakan bahwa kampanye perang melawan terorisme global
yang dijalankan Pemerintah Amerika, utamanya pada periode sebelum
Presiden Obama, telah menimbulkan sejumlah korelasi negatif dalam
upaya Amerika mempertahankan dominasi globalnya ditengah
kebangkitan ekonomi Cina. Apa yang menjadi kebijakan politik
Pemerintahan Presiden Obama kini guna memperbaiki hubungan
Amerika dengan dunia Muslim menjadi tidak mudah. Kepentingan
Obama untuk membangun Trans-Pasific Partnership dan menahan laju
pengaruh Cina harus mempertimbangkan tingkat persepsi masyarakat di
kawasan ASEAN dan kebijakan politik luar negeri yang tidak merugikan
kepentingan masyarakat Muslim.



kampanye perang melawan terorisme


global yang dijalankan Pemerintah
Amerika, utamanya pada periode
sebelum Presiden Obama, telah
menimbulkan sejumlah korelasi negatif
dalam upaya Amerika mempertahankan
dominasi globalnya ditengah
kebangkitan ekonomi Cina

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


71
1111 Jurnal.indb 71 19/11/2011 14:48:59
Garuda Di Antara Raja Elang dan Geliat Naga

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter L. & Samual P. Huntington, ed., Many Globalizations: Cultural


Diversity in the Contemporary World. New York: Oxford University Press,
2002.
Friedman, Jonathan. Cultural Identity & Global Process. London: Sage
Publications, 1994.
http://edition.cnn.com/2011/11/14/politics/obama-apec-summit/?hpt=hp_
t1, Obama touts cooperation with Asia, call out China, 14 November
2011.
Jacques, Martin. When China Rules the World, Terjemahan. Jakarta: Kompas,
2011
Lanti, Irman. “Indonesia in Triangular Relations with China and the United
States”, dalam China, the United States, and Southeast Asia, Evelyn Goh
dan Sheldon W. Simon, Routledge, 2008
Mujani, Saiful, et. All. Benturan Peradaban: Sikap dan Prilaku Islamis Indonesia
Terhadap Amerika. Jakarta: Freedom Institute dan PPIM UIN, 2005.
Nye, Jr., Joseph S. The Future of Power. New York: Public Affairs, 2011.
Permata, Ahmad Norma et. all.. Persepsi Pimpinan Ormas Islam Terhadap
Australia Terkait Isu-isu Internasional dan Domestik, MAARIF Institute,
2009 (tidak dipublikasikan)
Sharot, Stephen. A Comparative Sociology of World Religions. New York: New
York University Press, 2001.
Shihab, Alwi. Examining Islam in the West. Jakarta: Gramedia, 2004.
Tan Ta Sen. Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara. Jakarta: Kompas,
2010.
Wassener, Bettina. New Terms for Economies Emerging is Suggested. http://
www.nytimes.com/2010/11/16/business/global/16eagles.html,
10/10/2010
Wong, Edward. “Indonesian Seek Words to Attract China’s Favor”. The New
York Times, 1/5/10.
Zakaria, Fareed. “GPS tracking of the Middle East, China, and Indonesia”
dalam Strategic Review. Agustus 2011/Vol. 1, Nomor 1

72 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 72 19/11/2011 14:48:59


Nasionalisme–Pragmatis:
Pilihan Model Kapitalisme a la Cina
Budi Asyhari-Afwan

Abstrak
Tulisan ini ingin menyajikan model kapitalisme yang dipilih Cina sebagai
negara sosialis. Bagaimana pada akhirnya, Cina mampu menunjukkan dirinya
sebagai kekuatan baru ekonomi dunia. Sementara banyak pihak memandang
sebelah mata dan mengesampingkan Cina dalam percaturan ekonomi, dan
lebih menyorot pada Amerika Serikat dan Barat umumnya yang demokratis.
Kapitalisme dianggap identik dengan Negara-negara demokrasi. Cina kemudian
hadir menjungkirbalikkan pandangan dunia bahwa meskipun sebagai negara
sosialis, ia justru mampu melebihi kedigdayaan kapitalisme di negara dengan
sistem demokrasi. Kepesatan Cina tidak dapat dilepaskan dari inspirasi kultural
dan politik. Inspirasi kultural ditunjukkan dengan kekayaan nilai tradisi yang
dimiliki, yang hal ini tidak demikian dimanfaatkan oleh Indonesia. Sementara
inspirasi politik diperoleh dari trauma historis Perang Candu dan serapan
ideologi marxisme-leninisme. Inspirasi-inspirasi tersebut kemudian berbenturan
dengan sentimen nasionalisme dan tantangan dunia global. Titik temu yang
diperoleh kemudian adalah nasionalisme-pragmatis. Sebuah pilihan sengaja yang
terbukti dalam perjalanannya membuktikan Cina sebagai kekuatan yang sangat
diperhitungkan dalam percaturan ekonomi dan politik dunia.
Kata Kunci: Cina, konfusianisme, nasionalisme, marxisme-leninisme,
dunia global, nasionalisme-pragmatis.

73
1111 Jurnal.indb 73 19/11/2011 14:48:59
Nasionalisme–Pragmatis:
Pilihan Model Kapitalisme a la Cina

‘ideologi bekerja seperti sejenis semen sosial,


yang mengikat kesatuan anggota masyarakat dengan
menyediakan nilai dan norma yang dihayati bersama…’
(Thompson 1984, 5)

Tulisan ini akan menggunakan perspektif kultural tentang fenonema


Cina yang bukan hanya menggeser Jepang, Korea Selatan, Singapura,
dan Indonesia dalam percaturan ekonomi dan politik dunia ketiga, tetapi
justru membalikkan pandangan umum tentang kehebatan kapitalisme
yang selama ini dikaitkan dengan Amerika Serikat dan Eropa. Semua
mata melihat perkembangan Cina yang dalam waktu sangat cepat
berhasil “mengalahkan” ekonomi dan gaya pasar bebas yang berkiblat
pada kapitalisme Amerika Serikat. Apa sebenarnya yang terjadi di Cina.
Kebijakan politik dan ekonomi apa yang diterapkan Cina dalam waktu
kurang lebih tiga dekade? Cina menjadi fenomena unik dalam melihat
bagaimana kapitalisme bekerja dalam negara yang belum hilang pengaruh
Marxisme-Leninismenya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan dijawab dalam tulisan ini.
Tulisan ini akan fokus pada inspirasi-inspirasi yang diperoleh Cina
dalam mengambil pilihan dan kebijakan. Pilihan tersebut berimplikasi
pada strategi ekonomi dan politik baik untuk kepentingan dalam negeri
maupun dalam rangka membuka diri terhadap dunia luar.

Pengantar
Secara geografis, Cina terletak di timur laut benua Asia. Ia berbatasan
dengan Mongolia dan Rusia di utara. Di bagian selatan, ia berbatasan
dengan beberapa negara: Vietnam, Laos, Nepal, Buthan, Myanmar,
India, Buthan, dan Pakistan. Cina berbatasan dengan Korea dan Jepang
di sebelah Timur, Philipina di tenggara, serta Tadzikistan, Kirghiztan,
dan Kazakhztan di sebelah Barat. Gugusan posisi geogafis Cina tersebut
sudah menggambarkan bagaimana letak Cina sangat strategis dalam
konteks geo-ekonomi maupun politik, termasuk juga persinggungan
etnik dan budaya dengan beberapa negara tetangganya.
Harus diakui, sebagai sebuah Negara, Cina memiliki sejarah yang tidak
pendek, dari beratus bahkan beribu tahun lampau. Negara Cina yang
tampak sekarang merupakan babak akhir dari peperangan dan konflik di
antara banyak kerajaan kecil. Peperangan berakhir dengan integrasi negara-

74 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 74 19/11/2011 14:48:59


Budi Asyhari-Afwan

negara kecil menjadi satu negara: Cina. Secara resmi, sistem pemerintahan
Selama kurang lebih limapuluh tahun, Cina berdasarkan komunisme, tetapi
setelah perang dunia kedua, Cina
adalah negara yang menerapkan sistem dalam praktik ekonominya menganut
ekonomi tertutup. Hal ini merupakan kapitalisme dengan model sendiri.
konsekuensi dari langkah dan strategi
politik yang dianut oleh rezim penguasa. Baru pada saat dipimpin Deng
Xiao Ping, pada tahun 1978 Cina menggunakan sistem ekonomi terbuka.
Investasi asing diizinkan masuk ke Cina. Dampak positifnya langsung
terasa, dimana dalam dua dekade terakhir ekonomi Cina tumbuh dengan
cepat dan reformasi kelembagaan berlangsung secara drastis.
Pada era krisis moneter pada penghujung akhir abad ke-20, ada satu
perkembangan ironis efek dari krisis moneter dunia adalah berhasilnya
Partai Komunis Cina menjadi satu-satunya partai berkuasa mutlak di
Cina dalam mengendalikan krisis perekonomian negara. Keberhasilan
ini jauh melebihi kesuksesan pemerintah yang dipilih secara demokratis
di Amerika Serikat dan negara barat lainnya. Cina mengeluarkan biaya
besar untuk membiayai infrastruktur perekonomian secara otoriter. Model
otoriter ini ternyata justru mampu menumbuhkan perekonomiannya.
Pengendalian dan pengawasan perekonomian bebas di negara-negara barat
umumnya jauh lebih susah daripada negara yang dikontrol sepenuhnya
oleh pemerintah seperti Cina. Penduduk Cina yang tiga dekade lalu
masih tergolong miskin di dunia, dalam waktu singkat berhasil terangkat
tarap hidupnya. Tidak ada satu pun negara penganut sistem kapitalisme
yang sampai sekarang berhasil mencetuskan prestasi demikian tinggi
dan sangat dihargai dalam percaturan ekonomi-politik dunia. Meskipun
pada awalnya banyak kritik yang dicibirkan kepada Cina yang sebagian
besarnya bermuatan politis.
Secara resmi, sistem pemerintahan Cina berdasarkan komunisme, tetapi
dalam praktik ekonominya menganut kapitalisme dengan model sendiri.
Model unik yang sama sekali berbeda dengan sistem kerja kapitalisme
di belahan dunia mana pun. Sistem yang dipilih Cina ini terbukti lebih
efektif daripada Amerika Serikat dalam hal mengatasi perubahan dan
perkembangan ekonomi dan memecahkan persoalan lowongan kerja. Hal
ini berhasil dilakukan karena semua keputusan, hukum, dan peraturan
hanya diambil dan ditentukan oleh satu pihak, yaitu pemerintah (Partai
Komunis Cina). Kekuasaan yang dipegang oleh satu partai yang dikenal
dengan otoritarianisme menjadi satu keuntungan, sehingga tidak harus

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


75
1111 Jurnal.indb 75 19/11/2011 14:48:59
Nasionalisme–Pragmatis:
Pilihan Model Kapitalisme a la Cina

bertele-tele dalam mengambil keputusan dan kebijakan sebagaimana hal


itu tidak terjadi di Negara-negara dengan sistem demokrasi.
Keberhasilan Olimpiade Musim Selama beberapa dekade Amerika
Serikat (terutama di dunia perbankan)
Panas di Beijing 2008 lalu, yang telah memprogandakan kapitalisme
secara tidak langsung mengantarkan dimana pergerakan perekonomian
harus bebas sepenuhnya tanpa
Cina sebagai superior baru dalam pengawasan dan campur tangan
sistem politik dan ekonomi pemerintah. Hanya, di masa krisis
moneter yang dimulai Juni 2007,
neo-kapitalis, meskipun Cina dunia perbankan collaps dan goncang,
tiba-tiba para penganut kapitalisme
masih menganut “komunisme”.
berteriak meminta agar pemerintah
turun tangan memberikan dukungan jaminan kredit dan langkah-langkah
taktis lainnya. Jika penganut kapitalisme di Amerika Serikat betul-
betul konsisten dan yakin dengan sistem kapitalisme, maka seharusnya
mereka menolak strategi demikian dan tidak akan meminta pemerintah
turun tangan. Akan tetapi mengapa pemerintah turun tangan? Hal itu
dilakukan tak lebih karena jika pemerintah tidak segera turun tangan
untuk menyelamatkan perekonomian dan perbankan, maka akan
merusak kewibawaan pemerintah di mata dunia dan perekonomian
Amerika Serikat akan semakin memburuk.
Kondisi seperti itu berkebalikan dengan Cina yang dengan percaya diri
menata sistem ekonomi dan politiknya. Ketika ekonomi dalam negeri
sudah mampu menaikkan taraf hidup warga negara, Cina baru berani
menatap dunia luar dengan lebih percaya diri. Ia membuka pintu untuk
para investor berinvestasi di Cina. Pada titik inilah, Cina terbukti mampu
menunjukkan kepada dunia tentang kehebatan pilihan sistem dan
model yang dianutnya. Sebagai salah satu buktinya adalah keberhasilan
Olimpiade Musim Panas di Beijing 2008 lalu, yang secara tidak langsung
mengantarkan Cina sebagai superior baru dalam sistem politik dan
ekonomi neo-kapitalis, meskipun Cina masih menganut “komunisme”.

Macan Baru Dunia


Menyoroti perkembangan Cina memang menarik, apalagi mengingat
Cina sedang menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan
pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Cina Tidak hanya mencapai
pertumbuhan ekonomi yang masif, melainkan pengaruh politiknya

76 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 76 19/11/2011 14:48:59


Budi Asyhari-Afwan

dalam berbagai institusi internasional Periode keberhasilan Cina, sebagai


pun mulai signifikan. Perkembangan tahap lanjut dari periode manata
yang menakjubkan tersebut
menjadikan Cina sebagai kekuatan diri, tidak lepas dari dukungan yang
yang hadir sebagai lawan utama muncul di kalangan menengah yang
bagi kedigdayaan Amerika Serikat.
Padahal, jika mau ditelisik lebih lanjut, makmur. Makin makmurnya kalangan
Cina merupakan pemain yang sangat menengah ini memungkinkan
baru dalam kancah internasional
jika dibandingkan dengan Amerika tercegahnya ketegangan sosial
Serikat yang telah menghegemoni di masyarakat dan bahkan
dunia sejak masa Perang Dunia II.
memungkinkan adanya satu faktor
Di saat Amerika Serikat sedang jaya
di dunia internasional, Cina justru sosial yang penting di Cina.
masih menerapkan sistem politik dan
perekonomian yang tertutup. Pada masa kepemimpinan Mao Zedong,
sekitar tahun 1949-1976, politik luar negeri Cina masih diarahkan
sepenuhnya untuk mengembalikan kekuatan Cina dengan melakukan
pendekatan terhadap negara-negara sosialis lain untuk melawan Amerika
Serikat. Cina pada masa Mao sangat curiga dengan kekuatan imperialis,
sehingga politik luar negeri Cina selalu diarahkan melawan Amerika
Serikat. Cina bahkan pernah menerapkan politik isolasionisme pada
masa dominasi Mao ini.
Periode keberhasilan Cina, sebagai tahap lanjut dari periode manata
diri, tidak lepas dari dukungan yang muncul di kalangan menengah yang
makmur. Makin makmurnya kalangan menengah ini memungkinkan
tercegahnya ketegangan sosial di masyarakat dan bahkan memungkinkan
adanya satu faktor sosial yang penting  di Cina. Kelompok inilah yang
sekarang menjadi mayoritas dan sangat penting peranannya di Cina.
Pada dasarnya, selama ada bahan makanan dan tidak kelaparan, maka
rakyat tidak akan mengkritik atau berontak. Mereka tidak mempunyai
minat terhadap persoalan politik, sehingga situasi ini menjamin lahirnya
suasana tenang dalam negeri. Perusahaan partikelir dan para industriawan
di Cina tidak akan melakukan penggerogotan kekuasan pemerintah/
partai komunis.
Kebangkitan Cina sebagai kekuatan ekonomi dan politik global
merupakan momen transformatif yang menuntut perhatian khusus
negara-negara maju lainnya, termasuk negara berkembang di wilayah

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


77
1111 Jurnal.indb 77 19/11/2011 14:48:59
Nasionalisme–Pragmatis:
Pilihan Model Kapitalisme a la Cina

Sebagai macan baru dunia, jika Asia Pacific, untuk memahami lebih
jelas “tantangan Cina” yang datang
dilihat dari perspektif perdagangan
menyusul keberhasilan ekonomi
internasional, Cina dikenal dengan domestiknya. Lebih jauh, Cina,
bagaimana pun, sudah menjadi
sebutan walled world.
“ancaman” bagi kemapanan yang
selama beberapa dekade menjadi milik Amerika Serikat dan Eropa.
Cina telah bermetamorfosis menjadi macan baru dunia. Sebagai macan
baru dunia, jika dilihat dari perspektif perdagangan internasional, Cina
dikenal dengan sebutan walled world. Cina melakukan perdagangan
dengan bebas dalam pasar global, namun ia juga sekaligus mengendalikan
masa depan ekonomi, sistem politik, dan kebijakan luar negerinya. Walled
world merupakan tantangan ideologis terhadap filosofi flat world Amerika
Serikat dan paham multilateralisme liberal di Eropa.
Model pembangunan yang dilakukan Cina menawarkan kepada negara
yang sedang membangun sebuah alternatif dari norma yang berlaku di
Barat. Keberhasilan sistem pasar bebas yang bersifat otoritarian adalah
tantangan untuk menghubungkan nilai-nilai tradisional antara pasar
bebas dan keberhasilan demokrasi. Kerangka budaya Cina menekankan
pada kedaulatan negara, suatu hal yang tidak lagi diperhatikan negara-
negara Barat, dan hal ini dapat memulihkan rasa kebanggaan negara
sedang berkembang yang merasakan kedaulatan mereka tidak dihormati
oleh negara maju.

Inspirasi Kultural Kebangkitan Cina


Simbol-simbol budaya Cina sangat kaya dan selama ini simbol-simbol
tersebut telah memberi landasan kuat dalam menopang aktivitas
keseharian maupun aktivitas ekonomi dan politik. Dalam tulisan ini
akan disebutkan tentang kuatnya etika bisnis Cina yang mampu memacu
agresifitas sekaligus kelembutan dalam menerobos pasar. Kemudian
juga akan dikupas mengenai tradisi Cina tradisional yang harus diakui
dapat mengendalikan bukan warga negara Cina, tetapi juga orang Cina
yang berada di mana pun di belahan dunia. Bagian ini otomatis akan
mengkaji tentang konfusianisme yang sangat mengakar kuat dalam tradisi
masyarakat Cina, dan ini sangat berbeda dengan kultur di Indonesia.
Pada bagian akhir ini, nilai budaya yang ada dalam konfusianisme akan
dibandingkan dengan nilai yang ada dalam pewayangan Jawa. Ini sangat

78 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 78 19/11/2011 14:48:59


Budi Asyhari-Afwan

penting dikaji untuk melihat bagaimana kemajuan yang terjadi begitu


pesat di Cina tidak sertamerta menanggalkan nilai-nilai tradisional,
sebagaimana hal itu tidak terjadi di Indonesia. Padahal, Indonesia juga
tidak kalah kaya memiliki warisan nilai-nilai budaya di seantero negeri,
terutama pulau Jawa yang kental dengan dunia pewayangannya.

Etika Bisnis Cina


Kunci keberhasilan Cina dalam melakukan bisnis didasari oleh tiga
etika sekaligus strategi bisnis, yakni Guanxi (jaringan usaha), Ganqing
(menghormati dan menjaga ikatan perasaan/hubungan batin yang
dalam), dan Xinyong (jaringan personal berkaitan dengan reputasi).
Guanxi secara literal berarti relasi (relationships). Dalam dunia bisnis Cina,
Guanxi juga distribusi sebagai jaringan di antara berbagai pihak yang
bekerja sama dan mendukung satu sama lain. Mentalitas pelaku bisnis
Cina kurang lebih mesti saling tukar jasa, yang diharapkan dilakukan
secara normal dan atas dasar keikhlasan. Guanxi merupakan konsep
penting untuk memahami apakah seseorang dapat diterima secara efektif
dalam masyarakat Cina. Guanxi berpengaruh besar terhadap kesuksesan
bisnis. Penerapan Guanxi secara benar, dapat meminimalisir risiko.
Guanxi sering juga dimanfaatkan dalam menjalin relasi dengan pejabat
pemerintah yang, tentu saja, dimaksudkan untuk memperoleh posisi
bisnis yang lebih baik, meretas hambatan, memudahkan dalam segala
urusan perizinan maupun operasional perusahaan.
Ganqing bermakna perasaan. Dalam budaya bisnis Cina konsep ganqing
berhubungan dekat dengan guanxi. Ganqing merefleksikan suasana umum
dari hubungan sosial dari dua orang
Kunci keberhasilan Cina dalam
atau dua badan yang saling berinteraksi.
Seseorang dapat dikatakan memiliki melakukan bisnis didasari oleh tiga
ganqing yang baik jika hubungannya
etika sekaligus strategi bisnis, yakni
dengan orang lain tersebut baik, selain
track-record hubungan yang baik di Guanxi (jaringan usaha), Ganqing
antara keduanya. Sedangkan ganqing
(menghormati dan menjaga ikatan
yang mendalam adalah terdapatnya
ikatan hubungan batin yang dalam pada perasaan/hubungan batin yang
hubungan sosial itu sendiri. Konsep dalam), dan Xinyong (jaringan
ganqing juga dekat sekali maknanya
dengan konsep “muka” dalam budaya personal berkaitan dengan reputasi).

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


79
1111 Jurnal.indb 79 19/11/2011 14:48:59
Nasionalisme–Pragmatis:
Pilihan Model Kapitalisme a la Cina

Cina. Konsep ‘muka’ dalam kebudayaan Cina mengacu kepada dua hal
yang berbeda tapi saling berhubungan: mianzi dan lianzi. Lian adalah
kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi
merepresentasikan persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep
menjaga muka sangat penting halnya dalam hubungan sosial masyarakat
Cina karena muka mewakili kekuasaan dan pengaruh. Kehilangan lian
berakibat hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang. Kehilangan
mianzi berakibat hilangnya wibawa dan wewenang.
Masyarakat Cina sedapat mungkin menghindari konflik dalam
melanggengkan hubungan sesamanya. Ketika menghindari konflik,
orang Cina selalu berusaha tidak menyebabkan seseorang kehilangan
mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan yang
memalukan atau aib ke publik. Sebaliknya, ketika ingin menantang suatu
wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, mereka
akan berusaha menghilangkan lian atau mianzi orang tersebut. Xinyong
bermakna sebuah jaringan antar pribadi. Kepercayaan antarpribadi
adalah hal terpenting. Pengusaha Cina biasanya hanya berhubungan
komersial dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu,
reputasi seseorang penting artinya bagi transaksi bisnis. Para pebisnis
Cina secara pribadi akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan
bisnisnya. Pondasi ini menjelaskan mengenai jaringan bisnis yang terjadi
hingga kini di perusahaan-perusahaan milik etnis Cina di Asia Tenggara,
seperti Singapura, Malaysia, atau Indonesia.

Budaya Cina Tradisional: Konfusianisme


Budaya Cina tradisional banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai
Konfusianisme. Dalam ajaran Konfusian, masyarakat dibentuk dalam
hirarki berdasarkan profesi dan peran mereka dalam masyarakat. Hirarki
tertinggi ditempati oleh para intelektual, pemuka masyarakat dan mereka
yang bekerja sebagai pejabat pemerintah. Lapisan kedua, kaum atau
golongan petani yang menghasilkan bahan makanan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk. Kasta ketiga, perajin, tukang kayu, tukang batu,
dan profesi semacam itu. Dan hirarki terakhir adalah pedagang, pemain
teater, dan tentara. Pembagian strata di atas menunjukkan betapa
struktur masyarakat Cina dibangun berdasar satu organisasi sosial yang
otokratis, hirarkis, dan tidak demokratis. Kemakmuran bersama dicapai
dari hasil-hasil pertanian. Kestabilan suatu negara dapat dijamin dengan
struktur sosial yang jelas. Kelas yang lebih rendah taat kepada kelas yang

80 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 80 19/11/2011 14:48:59


Budi Asyhari-Afwan

lebih tinggi. Sementara yang lebih tinggi menunjukkan kemurahan hati


sebagai balasan terhadap kesetiaan tersebut. Nilai-nilai ini bekerja dengan
sangat efektif di Cina.
Sekedar ingin membandingkan, mari Keberhasilan Cina sangat
melihat bagaimana dengan nilai yang
ditentukan bukan hanya oleh
ada dalam kesenian tradisional Jawa:
pewayangan. Seperti halnya dalam kekayaan nilai budaya dalam
ajaran Konfusianisme, pewayangan juga
menyajikan strata sosial yang didasarkan Konfusianisme maupun nilai
status sosial seseorang. Pewayangan kultur Cina, tetapi juga oleh beban
Jawa menyajikan peran setiap kelasnya.
Misalnya, dalam pewayangan Jawa tidak sejarah yang sangat menyakitkan
akan pernah dilewatkan penyajian peran yang pernah dialami Cina.
kelas brahmana, raja, ksatria, dan kawula.
Uniknya, dan ini yang berbeda dengan strata sosial yang ada dalam
Konfusianisme dan barangkali yang mendasari mengapa Indonesia tidak
kunjung ada jalinan kuat antara pengusaha dan pemerintah selain kolusi
dan korupsi, adalah tidak adanya kelas pedagang dalam pewayangan
Jawa. Sementara dalam Konfusianisme, pedagang dimasukkan dalam
pembagian kasta, meskipun sebagai kasta terakhir. Ketiadaan pedagang
dalam ajaran pewayangan Jawa bisa jadi menjadi salah satu rujukan nilai
tentang penilaian masyarakat (khususnya aristokrat Jawa) dalam melihat
“nilai” pedagang atau pengusaha dalam masyarakat. Akibatnya, selalu
ada pertentangan antara pemerintah dan pengusaha, kalau tidak malah
ada kooptasi di antara mereka.

Inspirasi Politik: dari Perang Candu ke Nasionalisme-Pragmatis


Keberhasilan Cina sangat ditentukan bukan hanya oleh kekayaan nilai
budaya dalam Konfusianisme maupun nilai kultur Cina, tetapi juga oleh
beban sejarah yang sangat menyakitkan yang pernah dialami Cina. Titik
kulminasi untuk segera bangkit barangkali dimulai setelah merasa dihina
dalam Perang Candu yang terjadi di pertengahan abad ke-19 (1839 – 1842
dan 1856 – 1860), atau juga disebut dengan perang Anglo-Cina. Dalam
peperangan ini, Cina kalah oleh Inggris dengan dipaksa menandatangani
sebuah perjanjian yang tidak menguntungkan bahkan menginjak-injak
harga diri Cina.
Pengalaman inilah yang memacu dan seakan memendam kebencian
kepada Barat. Cina pun kemudian menerapkan sistem isolasionisme.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


81
1111 Jurnal.indb 81 19/11/2011 14:49:00
Nasionalisme–Pragmatis:
Pilihan Model Kapitalisme a la Cina

Cina hanya berhubungan dengan Negara-negara sosialis yang memiliki


“sentimen” yang sama, memusuhi kapitalisme. Pada tahap ini pula,
dapat dipahami ketika Cina kemudian di tengah abad ke-20 mengambil
Marxisme dan Leninisme menjadi ideologi yang dianut, sebagai
ideologi perlawanan terhadap Barat. Pilihan tersebut dicerminkan
dalam kebijakan-kebijakan tertutup. Cina sibuk mengurus ekonomi
dan politik dalam negeri sambil menata kepercayaan diri dengan
mengambil banyak nilai kultur dan ideologi yang dimiliki, baik dari
lahirnya semangat nasionalisme sebagai akibat dari kekalahan dan
harga diri yang direndahkan pada Perang Candu maupun ajaran
Konfusianisme dan kultur tradisionalnya sendiri yang kaya.

Nasionalisme-Pragmatis: Pilihan Terbaik


Transformasi Cina menjadi salah satu negara yang mulai mendapat
sorotan dalam sistem internasional terjadi pada masa kepemimpinan
Deng Xiaoping (tahun 1979-1989). Saat itu, Cina mulai mengadopsi
kebijakan yang pragmatis dengan menjadikan ekonomi domestik sebagai
fokus utama politik luar negerinya. Cina mulai menerapkan “Open Door
Policy”. Jika sebelumnya Cina selalu menjadi kekuatan triangular dalam
hubungan AS dengan Soviet, kini Cina mulai melancarkan politik luar
negerinya yang independen. Berbagai perubahan total dilakukan pada
masa ini, baik perubahan yang sifatnya domestik maupun perubahan
dengan melibatkan sistem internasional. Pada sisi domestik, peningkatan
pertumbuhan ekonomi domestik menjadi fokus utama politik luar
negeri Cina kala ini. Pada sisi internasional, Cina mulai menjalin
hubungan baik dengan dunia internasional, terutama dengan negara-
negara di Asia Tenggara untuk menjamin terciptanya lingkungan yang
kondusif bagi pertumbuhan ekonomi Cina. Transformasi Cina dari yang
tadinya sempat menerapkan praktek isolasionisme kemudian fokus pada
politik luar negerinya untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi sukses
melahirkan Cina baru. Keberadaan Cina sebagai salah satu “great power”
mulai diperhitungkan. Selepas masa kepemimpinan Deng Xiaoping, Cina
kemudian dipimpin oleh Jiang Zemin (tahun 1989-2002). Pada masa ini
perubahan dalam alur politik luar negeri Cina tidak terlalu signifikan.
Cina masih tetap fokus pada pertumbuhan ekonomi, sambil terus aktif
dalam berbagai institusi internasional. Pada era ini, terjadi penafsiran
sosialisme menjadi sesuatu yang lebih liberal, dimana fokus politik luar

82 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 82 19/11/2011 14:49:00


Budi Asyhari-Afwan

negeri Cina diarahkan pada penciptaan


Pada era ini, arah politik luar
tatanan internasional yang multipolar.
Perekonomian Cina pun, seperti pada negeri Cina pun semakin jelas:
era Deng Xiaoping, lebih bersifat
Cina ingin menciptakan situasi
liberal dengan AS sebagai porosnya.
Revolusi yang dilakukan Cina paska internasional yang kondusif bagi
Mao melahirkan kesadaran pada Cina pertumbuhan ekonominya dengan
akan pentingnya elemen pasar, namun
kewenangan negara tetaplah unsur yang cara menghindari konfrontasi.
krusial dalam politik luar negeri Cina.
Era selanjutnya setelah kepemimpinan Jiang Zemin adalah era
kepemimpinan Hu Jintao (2002-sekarang). Pada era ini, Cina sudah
menjadi major power, terutama dalam hal perekonomian. Pertumbuhan
ekonomi terjadi sangat pesat. Cina pun semakin gencar mempromosikan
globalisasi ekonomi dan multipolarisme. Pada era ini, arah politik
luar negeri Cina pun semakin jelas: Cina ingin menciptakan situasi
internasional yang kondusif bagi pertumbuhan ekonominya dengan
cara menghindari konfrontasi. Partisipasi aktif Cina dalam institusi
internasional pun makin terasa, terutama melalui bergabungnya Cina
dalam  World Trade Organization  (WTO) pada 2001. Tidak hanya aktif
secara global, Cina pun mulai aktif dan membangun berbagai kerja sama
kawasan, salah satunya adalah melalui kerjasama ekonomi Cina, Jepang
dan Korea Selatan dengan negara-negara ASEAN melalui ASEAN+3. Jika
ingin dicermati lebih lanjut, dalam segala bentuk partisipasinya melalui
institusi regional dan global, Cina jarang sekali memberikan komitmen
yang dapat mengikat kebebasan Cina sebagai negara non-konfrontatif.
Cina cenderung mengambil posisi aman sambil tetap fokus pada usaha
pembangunan ekonomi nasionalnya.
Gambaran panjang di atas ingin memberikan sederet perjalanan
kemajuan Cina. Akan tetapi, dinamika Cina terjadi sangat ditentukan
oleh pilihan yang sengaja dan komitmen atas pilihannya. Sejak trauma
nasional atas Perang Candu, Cina berbenah membangkitkan sentimen
nasionalisme di level pemerintah dan rakyatnya. Oleh karena itu, pilihan
yang tepat adalah mengambil ideologi marxisme-leninisme. Ideologi
untuk membangkitkan kesadaran “kelas” sekaligus doktrinasi perlawanan
terhadap kapitalisme yang telah mempermalukan Cina. Meskipun
demikian, tetap ada kesadaran tentang nilai budaya yang dimiliki, yakni

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


83
1111 Jurnal.indb 83 19/11/2011 14:49:00
Nasionalisme–Pragmatis:
Pilihan Model Kapitalisme a la Cina

konfusianisme. Ajaran konfusianisme seakan menjadi pijakan moral,


sementara ideologi marxisme-leninisme menjadi pembimbing arah
revolusi ekonomi dan politik Cina.
Meskipun demikian, dalam perjalanannya, Cina bukan tidak mengalami
pertentangan batin dengan pilihan yang dipilih. Satu sisi, Cina memegang
kuat ajaran konfusianisme, menganut ideologi marxisme-leninisme, dan
rasa nasionalisme yang kuat. Sisi lain, tantangan dunia global dianggap
sangat penting bukan hanya untuk ekspansi perdagangan tetapi sekaligus
untuk menunjukkan kepada dunia luar mengenai eksistensi keselamatan
ekonomi dalam negeri. Dilema ini, jika dilihat dari sisi kultur orang
Cina, dengan mudah dapat diatasi. Pada dasarnya, orang Cina adalah
pragmatis. Oleh karena itu, pencarian titik temu yang mengikatkan
ajaran konfusianisme, nasionalisme, dan marxisme-leninisme dengan
dunia global dapat dipahami dan dilakukan dengan perspektif pragmatis,
meskipun tidak egois.
Titik temu atau pilihan yang diambil Cina adalah dengan nasionalisme-
pragmatis. Pilihan ini dianggap sebagai jalan tengah yang mempertemukan
nilai yang dianut, nasionalisme yang tidak boleh luntur, marxisme-
leninisme yang tidak akan dilepas sebagai ideologi, dan tantangan
dunia global. Pilihan ini terbukti telah “menelan” kebesaran kapitalisme
yang tidak melibatkan pemerintah di dalamnya, sebagaimana telah dan
sedang dilakukan Amerika Serikat, dan Barat pada umumnya. Dengan
kontrol negara, kapitalisme di bawah naungan nasionalisme-pragmatis
a la Cina tidak saja telah menaikkan harkat hidup rakyatnya tetapi juga
menjadi kekuatan baru yang “mengkhawatirkan” Barat. Kebijakan dalam
nasionalisme-pragmatis selalu mesti lebih besar mempertimbangkan
kepentingan dalam negeri ketimbang sekedar melakukan ekspansi.
Melihat Cina, mengingatkan pada pernyataan Steven I. Levin yang
mengatakan bahwa ‘persepsi dan ideologi’ sangat berperan dalam
mempengaruhi hubungan luar negeri setiap negara, dan Cina tentu
saja bukan merupakan kekecualian dari aturan ini.1 Lebih jauh lagi,
Fukuyama meyakinkan kita bahwa Cina menjadi salah satu bukti dari
salahnya pandangan bahwa di luar liberalisme tidak ada lagi ideologi
yang berpengaruh.2

1 Steven I. Levin, “Perception and Ideology in Chinese Foreign Policy”, dalam Thomas
W. Robinson and David Shambaugh (eds.), Chinese Foreign Policy: Theory and Practice
(Oxford: Clarendon Press), 1998, hlm. 45.
2 Francis Fukuyama, “The End of History?”, The National Interest, 16, Summer, 1989, hlm.
3-18.

84 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 84 19/11/2011 14:49:00


Budi Asyhari-Afwan

Catatan Penutup
Keberhasilan Cina disokong oleh banyak faktor. Selain pemerintah yang
berkomitmen membangun bangsa, para pengusaha tidak tinggal diam
untuk melakukan upaya perdagangan yang dapat memperkuat misi
negara. Demikian halnya dengan peran masyarakatnya. Meskipun hal
itu bukan berarti tidak ada gejolak dan pertentangan di dalam negeri
Cina. Sentimen nasionalisme yang kuat di kalangan rakyat Cina menjadi
pondasi yang sangat kokoh untuk bersama-sama menghilangkan trauma
sejarah masa lampau. Sentimen tersebut kemudian memacu kolektivitas
dan keseriusan dalam membangun negaranya, dengan “menghilangkan”
kepentingan diri sendiri. Sekarang, bagaimana dengan Indonesia?
Mampukah Indonesia mengikuti jalan Cina? Jika pada era Orde Baru,
Indonesia pernah diidamkan sebagai Macan Asia, meskipun tertatih-
tatih, sudah semestinya sekarang adalah saat yang tepat untuk belajar
sampai ke negara Cina.

Daftar Pustaka
Fukuyama, Francis. “The End of History?”, The National Interest, 16,
Summer, 1989
Levin, Steven I. “Perception and Ideology in Chinese Foreign Policy”,
dalam Thomas W. Robinson and David Shambaugh (eds.).
Chinese Foreign Policy: Theory and Practice. Oxford: Clarendon
Press, 1998.
Thompson, John B. Studies in the Theory of Ideology. Berkeley: University
California Press, 1984.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


85
1111 Jurnal.indb 85 19/11/2011 14:49:00
Kaum Muda, Kelas Kreatif,
dan Masa Depan Perekonomian
Indonesia
Fahd Pahdepie

Abstrak
Saat ini dunia tengah mengalami pergeseran geopolitik dan sekaligus geoekonomi
di mana Cina dan India menjadi kekuatan ekonomi baru. Kedua negara tersebut
telah memberikan inspirasi bagi sejumlah negara lain di berbagai belahan dunia
untuk bangkit. Dengan berbagai potensi yang dimilikinya, apakah Indonesia
hanya akan menjadi negara medioker yang tidak melakukan apa-apa atau bangkit
membuktikan dirinya menjadi calon pemimpin ekonomi dunia di masa depan?
Sektor apa yang bisa diandalkan Indonesia untuk bangkit dan menjadi kekuatan
besar ekonomi dunia? Tulisan ini akan mengupas secara singkat mengenai potensi
yang dimiliki Indonesia dalam sektor ekonomi kreatif. Ia bertujuan memberikan
gambaran (deskripsi) bagaimana industri kreatif Indonesia mampu memberikan
kontribusi signifikan terhadap roda perekonomian nasional serta peluang yang
mesti diambil untuk menjadikannya sebagai sektor unggulan. Tulisan ini juga
akan mengelaborasi peran “kelas kreatif” (creative class) Indonesia yang
digerakkan kaum muda dalam mendorong dan mengembangkan sektor ekonomi
kreatif. Tulisan ini tidak memberikan analisis yang dalam (in depth), tetapi
berupaya memberikan pemaknaan dan analisis singkat terhadap data-data yang
diperoleh dari penelitian terdahulu.
Kata kunci: ekonomi kreatif, industri kreatif, kelas kreatif

86
1111 Jurnal.indb 86 19/11/2011 14:49:00
Fahd Pahdepie

Pendahuluan
Perlahan namun pasti, dominasi Amerika Serikat sebagai satu-satunya
negara superpower dunia mulai surut. Sementara perekonomian Jepang
dan Eropa masih terus stagnan—bahkan perekonomian Eropa diambang
kebangkrutan, munculnya pemain-pemain penting baru dalam peta
perekonomian global seperti Cina, India, Brazil dan Rusia kian
menegaskan pergeseran peta kekuatan global yang semula cenderung
bersifat unipolar (sejak berakhirnya perang dingan, 1991) menjadi
multipolar.
Bukan sekadar gertak sambal, Momentum kebangkitan ekonomi
Cina dengan PDB per kapita dan Asia (yang sering digambarkan
pertumbuhan ekonomi yang terus
meroket, buah dari kebijakan industri dengan kebangkitan Chindia, Cina
dan perdagangan yang berorientasi dan India) justru merupakan peluang
pada penguatan sektor ekonomi lokal, tersendiri bagi Indonesia untuk
benar-benar telah menjadi pemain
menjadi kekuatan alternatif (untuk
penting di medan perekonomian
global. India dengan inovasi teknologi tidak menyebutnya underdog).
dan kekuatan pasarnya yang solid
menyusul sebagai kekuatan lain. Sementara itu, raksasa tidur Rusia
perlahan mulai siuman dan berusaha mengembalikan kejayaannya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kita patut berbangga bahwa Indonesia turut diprediksi sebagai the next
economics leader in the world, calon pemimpin ekonomi dunia, dengan
empat alasan: (1) wilayah yang luas serta populasi penduduk yang tinggi.
Artinya, di samping Indonesia masih memiliki kekayaan yang berlimpah,
Indonesia juga merupakan pasar yang sangat besar (big country, big
opportunity, big market). (2) Pertumbuhan ekonomi yang positif (pernah
mencapai angka di atas 5% per tahun pasca krisis). (3) PDB per kapita
Indonesia yang terus tumbuh (pada tahun 2009 sekitar US$3.900 atau
lebih baik dari India yang hanya US$2.900). (4) Fiskal Indonesia tergolong
sehat dengan defisit hanya 1,6%, lebih kecil dari defisit anggaran Rusia
sebesar 6%, Brasil 3,3%, India 10% dan Cina 2,2%.1
Dengan empat alasan tersebut, jika didukung dengan penguatan sistem
politik dan tata-kelola pemerintahan yang baik, serta stabilitas keamanan

1 Data bulan November 2010, diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), disarikan dari http://fokus.vivanews.com/news/read/186419-indonesia--calon-
kekuatan-ekonomi-baru-dunia diakses pada tanggal 22 September 2011 Pukul 13.20
WITA.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


87
1111 Jurnal.indb 87 19/11/2011 14:49:00
Kaum Muda, Kelas Kreatif,
dan Masa Depan Perekonomian Indonesia

yang terjamin, bukan mustahil prediksi kejayaan perekonomian


Indonesia di masa depan akan terwujud. Momentum kebangkitan
ekonomi Asia (yang sering digambarkan dengan kebangkitan Chindia,
Cina dan India) justru merupakan peluang tersendiri bagi Indonesia
untuk menjadi kekuatan alternatif (untuk tidak menyebutnya underdog).
Jika Cina mengandalkan penguatan industri lokal dalam skala yang
sangat massif dan India mengandalkan inovasi dan teknologi, lalu apa
yang bisa diandalkan Indonesia?

“ekonomi kreatif” merupakan pilar Memperkuat sektor tambang,


pertanian, industri dan perdagangan
lain yang kelak akan membawa
serta pariwisata memang masih perlu
kegemilangan perekonomian dilakukan pemerintah Indonesia.
Indonesia di masa yang akan datang. Namun, “ekonomi kreatif” merupakan
pilar lain yang kelak akan membawa
kegemilangan perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. Sektor
ekonomi kreatif dan atau ekonomi kebudayaan diprediksi sebagi sektor
yang paling akan menentukan di masa depan serta menjadi panglima
perekonomian dunia, setidaknya berdasarkan empat alasan.
Pertama, karena ekonomi kreatif tidak akan habis (terbarukan). Kedua,
karena ekonomi kreatif mampu memberikan nilai tambah ratusan,
ribuan, bahkan jutaan kali lipat bagi sektor-sektor produksi dan jasa.
Ketiga, karena ekonomi kreatif memiliki daya cipta pasarnya sendiri.
Keempat, ekonomi kreatif tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi
(PDB, lapangan pekerjaan, ekspor-impor, dan lainnya) tetapi juga sektor
lainnya seperti seni, kebudayaan, politik, dan seterusnya.2
Menurut rilis yang dikeluarkan UNESCO yang berjudul Understanding
Creative Industry: Cultural Statistics for Public Policy Making, ekonomi kreatif
akan menjadi sektor yang sangat penting di masa yang akan datang
karena keunggulannya yang sangat luas serta nilai tambahnya. “…Creative
economy… Not only are they thought to account for higher than average growth
and job creation, they are also vehicles of cultural identity that play an important
role in fostering cultural diversity.” Barangkali inilah alasan mendasar
mengapa hampir seluruh negara dan bangsa di dunia saat ini berlomba-
lomba mengembangkan dan memperkuat sektor ekonomi kreatif.3

2 Kelompok Kerja Indonesia Design Power Departemen Perdagangan, Pengembangan


Ekonomi Kreatif Indonesai 2025 – Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia
2009-2015, Jakarta, Departemen Perdagangan RI, 2008. Hal. 17
3 Kelompok Kerja Indonesia Design Power Departemen Perdagangan, Op.Cit.

88 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 88 19/11/2011 14:49:00


Fahd Pahdepie

Pertanyaannya, bagaimana peluang Indonesia di era ekonomi kreatif?


Indonesia memiliki modal yang jauh lebih dari cukup untuk berjaya
dalam era ekonomi kreatif di masa yang akan datang. Kita memiliki
modal kebudayaan yang sangat unik, kaya, dan beragam yang bisa menjadi
generator sekaligus etalase bagi berbagai sub-sektor industri kreatif. Anak-
anak muda sebagai aktor utama penggerak ekonomi kreatif, dengan
daya gagas dan daya cipta yang dimiliknya—serta berbagai komunitas
kreatif dan klaster-klaster kebudayaan yang digerakkannya—merupakan
kelas kreatif (creative class) yang diharapkan dapat membawa kejayaan
perekonomian Indonesia di masa depan. Inilah saatnya bagi kaum muda
untuk memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsanya.

Industri Kreatif
Industri kreatif merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep ekonomi
kreatif. 4 Term “industri kreatif” bisa diduga pertama kali muncul pada
tahun 1998 melalui pernyataan mantan Perdana Menteri Inggris Tony
Blair yang menyatakan bahwa, “… Industri kreatif… Industri yang berasal dari
pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi
daya kreasi dan daya cipta individu tersebut”.5
Di Indonesia, “industri kreatif” saat ini tengah menjadi perbincangan
serius di kalangan akademisi, pekerja seni dan kebudayaan, intelektual,
peneliti, hingga pengusaha. Departemen Perdagangan RI pun secara
serius mencanangkan sektor industri kreatif sebagai sektor andalan
Indonesia pada tahun 2025. Pasalnya, sektor industri kreatif Indonesia
terus tumbuh dengan tren yang positif setiap tahunnya. Rata-rata 6,3%
sejak tahun 2002-2006 atau setara dengan 104,6 triliun rupiah (nilai
konstan) dan 152,5 triliun rupiah (nilai nominal) per tahun. Industri
ini telah mampu menyerap tenaga kerja rata-rata tahun 2002-2006

4 Christiane Eisenberg, Rita Gerlach, Christian Handke (eds.), Cultural Industries The British
Experience in International Perspective, ProPrint, Humboldt-Universität zu Berlin, 2007.
5 Definisi Berdasarkan United Kingdom Department for Culture, Media, and Sport – Task
Force 1998. “Creatives Industries as those industries which have their origin in individual
creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the
generation and exploitation of intellectual property and content” Lihat Matteo Pasquinelli,
Immaterial Civil War: Prototypes of Conflict within Cognitive Capitalism. Dalam: Geert
Lovink and Ned Rossiter, My Creativity Reader: A Critique of Creative Industries, 2007,
Institute of Network Cultures, Amsterdam.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


89
1111 Jurnal.indb 89 19/11/2011 14:49:00
Kaum Muda, Kelas Kreatif,
dan Masa Depan Perekonomian Indonesia

sebesar 5,4 juta dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8%.6 Bukan hanya
itu, sepanjang tahun 2006 saja, industri kreatif telah menyumbang 33,5
persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Angka ini setara
dengan US$ 77 miliar atau 693 triliun rupiah dengan nilai tukar rata-
rata Rp. 9.000,-.7

industri kreatif juga menjadi sangat Industri kreatif saat ini menjadi kom-
ponen penting dalam logika ekonomi
penting di era globalisasi ini karena posindustrial (post-industrial economy)
perannya bukan hanya sebagai yang berbasis pada pengetahuan dan
penggerak ekonomi melainkan juga teknologi (knowledge-based economies).
Tidak hanya karena peranannya yang
sebagai medium kultural (cultural
mampu membuka lebih banyak la-
vehicle) dalam pengenalan dan pangan pekerjaan dan meningkatkan
penyebaran keunggulan nilai-nilai pertumbuhan ekonomi, industri krea-
tif juga menjadi sangat penting di era
budaya (seni, intelektual, dan lainnya)
globalisasi ini karena perannya bukan
suatu negara/bangsa kepada hanya sebagai penggerak ekonomi
negara/bangsa lainnya. melainkan juga sebagai medium kul-
tural (cultural vehicle) dalam pengenalan
dan penyebaran keunggulan nilai-nilai budaya (seni, intelektual, dan lain-
nya) suatu negara/bangsa kepada negara/bangsa lainnya.
Menurut Dr. Patrick Ho, Sekretaris Kementrian Dalam Negeri Hong
Kong (1988-2000), industri kreatif yang saat ini menjadi generator
perekonomian global telah membuktikan sebuah pergeseran posisi (per-)
ekonomi(-an) dalam hubungannya dengan kebudayaan. Bila dalam prinsip
ekonomi tradisional sektor ekonomi memiliki peran lebih besar dalam
menggerakkan sektor-sektor kebudayaan. Kini, di abad ini, sektor-sektor
kebudayaanlah yang menjadi motor penggerak (per-)ekonomi(-an). Melalui
14 subsektor industri kreatif yang meliputi periklanan, arsitektur, pasar
seni dan barang antik, kerajinan, desain, fesyen, film (mencakup animasi
dan fotografi), permainan interaktif, musik, seni pertunjukkan, penerbitan
dan percetakan, komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, serta riset
dan pengembangan kebudayaan terbukti telah mampu menggerakkan
(per-)ekonomi(-an) (culture begets economy). Mengenai hal ini, Ho memberi
pernyataan dalam pidatonya dalam sebuah pertemuan Internasional

6 Studi Pemetaan Industri Kreatif 2007, Departemen Perdagangan Republik Indonesia.


7 Lihat Tempo Interaktif, Industri Kreatif Tumbuh 15 Persen, diunduh dari http://www.
tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/05/24/brk,20070524-100537,id.html

90 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 90 19/11/2011 14:49:01


Fahd Pahdepie

UNESCO Expert Symposium bertajuk Asia-Pacific Creative Communities: A


Strategy for the 21st Century, sebagai berikut:
“In this new, 21st Century, the old paradigm that ‘wealth begets culture’
has shifted 180 degrees to ‘culture begets wealth’. The worlds of the
businessman and the impresario are overlapping to an extent where—
rather than it seeming merely charitable to patronise creative talent – it
actually makes sound business sense. Getting our business minds to wake
up to that fact becomes more vital than ever.”
Dalam banyak hal, merujuk pada pernyataan Ho, barangkali ekonomi
kreatif inilah yang pernah diramalkan Herman Bryant Maynard dan
Susan E. Mehrtens sebagai the fouth wave economy (ekonomi gelombang
keempat), di mana ekonomi secara massif digerakkan oleh pengetahuan
dan klaster-klaster kebudayaan.8
Hal utama yang menyebabkan ekonomi kreatif menjadi primadona
baru dalam era ekonomi posindustrial berbasis pengetahuan (post-
industrial knowledge based economies) tentu saja karena kontribusinya
yang signifikan terhadap sektor ekonomi. Dalam periode 1997-2000,
presentase kontribusi GDP industri kreatif di beberapa negara berkisar
antara 2,8% (Singapura) sampai 7,9% (Inggris) dan tingkat pertumbuhan
industri kreatif di beberapa negara berkisar antara 5,7% (Australia) dan
16% (Inggris) dengan tingkat penyerapan tenaga kerja antara 3,4%
(Singapura) sampai 5,9% (US) dari seluruh tenaga kerja yang ada di
negera tersebut.9
Jika melihat nilai PDB di sejumlah negara yang mengandalkan sektor
industri kreatif, kita dapat melihat bagaimana sektor industri ini benar-
benar memberikan kontribusi signifikan bagi roda perekonomian seluruh
negara. Inggris, misalnya, kontribusi industri kreatifnya mencapai 8,2%
dengan laju pertumbuhan dua kali lipat pertumbuhan ekonomi nasional,
sedangkan pertumbuhan ekspornya mencapai 11% dan menyumbang
4,3% dari keseluruhan nilai ekspor di Inggris10.
Tabel 1. Profil Industri Kreatif di Beberapa Negara di Dunia

8 Lihat Herman Bryant Maynard dan Susan E. Mehrtens, The Forth Wave: Bussiness in The
21st Century, Berret-Koehler Publishers, San Francisco, USA, 1993.
9 Kelompok Kerja Indonesia Design Power Departemen Perdagangan, Op.Cit. Hal. 24
10 Data disaraikan dari UK Trade and Investment Service, Oktober 2007.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


91
1111 Jurnal.indb 91 19/11/2011 14:49:01
Kaum Muda, Kelas Kreatif,
dan Masa Depan Perekonomian Indonesia

% % Rata-rata % Rata-rata Jumlah Tingkat


Negara/ Nilai Kontri- Pertumbuh- pertum- Tenaga Partisipasi
Tahun
Kota Tambah busi an Industri buhan Kerja yang Pekerja
PDB Kreatif Ekonomi Dihasilkan (%)
London 2000 £ 21 miliar - 11,4% - 546.000 -
(1995-2000)
Britain 2000- £ 76,6 miliar 7,90% 9% 2,8% 1,95 juta -
2001 (1997-1998) (1997-1998)
US 2001 US$ 791,2 miliar 7,75% 7% 3,2% 8 juta 5,9
(1977-2001) (1977-2001)
Indonesia 2004 Rp. 104,73 miliar 6,28% 0,74% 5,24% 5.409.903 5,80
(2003-2006) (2003-2006)
Taiwan 2000 TW$ 702 miliar 5,90% 10,1% 10,1% 337.456 3,56
(1998-2000) (1998-2000)
Britain 1997- £ 112,5 miliar 5% 16% > 6% 1,3 juta 4,6
1998 (1997-1998) (1997-1998)
Australia 1999- AUS$ 19,2 miliar 3,30% 5,7% 4,85% 345.000 3,8
2000 (1995-2000) (1995-2000)
NZ 2000- NZ$ 3,5 miliar 3,10% - - 49.091 3,6
2001
Singapore 1986- S$ 4,8 miliar 2,80% 13,4% 10,6% 72.200 3,5
2000 (1986-2000) (1986-2000)
Sumber: Studi Pemetaan Industri Kreatif 2007, Departemen Perdagangan Republik Indonesia

Di Indonesia sendiri, pada tahun Di Indonesia sendiri, pada tahun


2006 saja sektor industri kreatif telah
2006 saja sektor industri kreatif menyumbangkan PDB sebesar 104,73
telah menyumbangkan PDB sebesar triliun (6,28% dari total PDB nasional,
104,73 triliun (6,28% dari total PDB lebih tinggi dibandingkan sektor gas,
listrik dan air, sektor properti dan
nasional, lebih tinggi dibandingkan sektor transportasi dan komunikasi).
sektor gas, listrik dan air, sektor Sementara itu, jumlah tenaga kerja
properti dan sektor transportasi yang berhasil diserap adalah sebesar
5,4 juta tenaga kerja (5,8% dari jumlah
dan komunikasi). tenga kerja yang ada di Indonesia).
Untuk nilai ekspor, industri kreatif Indonesia pada tahun 2006 mencapai
81,4 triliun rupiah atau memberikan sumbangan sebesar 9,13% terhadap
total nilai ekspor nasional.11
Berdasarkan data-data tersebut, tidak bisa dimungkiri bahwa
pertumbuhan sektor Industri kreatif di Indonesia terus bergerak positif.
Jika dikelola dan dikembangkan dengan baik, ekonomi kreatif ini
diyakini dapat menjawab persoalan dasar jangka pendek dan menengah
yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia, antara lain: (1) relatif rendahnya

11 Kelompok Kerja Indonesia Design Power Departemen Perdagangan, Op.Cit.

92 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 92 19/11/2011 14:49:01


Fahd Pahdepie

pertumbuhan ekonomi paska krisis (rata-rata hanya 4,5% per tahun), (2)
masih tingginya tingkat pengangguran angkatan kerja produktif (9-10%)
serta kemiskinan (16-17%), dan (4) rendahnya daya saing industri nasional
di kancah global.12
Oleh karena itu, ekonomi kreatif ini diharapkan menjadi sebuah
optimisme baru dalam menyongsong masa depan kejayaan negeri ini.
Pemerintah bersama “kelas kreatif” yang digawangi kaum muda yang
menjadi generator 14 subsektor industri kreatif diharapkan mampu
bahu-membahu terus memperkuat roda perekonomian Indonesia dalam
rangka menyongsong kejayaannya di masa yang akan datang.

Tabel 2. Profil Statistik Ekonomi Kreatif Indonesia


Pering- Pering-
Rata-
Indikator Satuan 2002 2003 2004 2005 2006 kat Rata- kat
rata rata (2006)
1. Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB)
a. Nilai Tambah Miliar 102.110 100.220 108.413 107.661 104.787 104.638 7 9
Bruto (NTB) Rupiah
b. Pertumbuhan NTB Persen -1,85% 8,17% -0,69% -2,67% 0,74% 9 10
c. % Nilai terhadap Persen 6,78% 6,35% 6,54% 6,15% 5,67% 6,30% 7 9
total PDB
2. Berbasis Ketenagakerjaan
a. Jumlah Orang 5.862.497 5.056.337 5.847.968 5.335.371 4.902.378 5.400.910 5 6
Tenaga Kerja
b. Tingkat Partisipasi Persen 6,40% 5,57% 6,24% 5,62% 5,14% 5,79% 5 6
Pekerja
c. Pertumbuhan Persen - -13,75% 15,66% -8,77% -8,12% -3,74% 10 10
Tenaga Kerja
d. Produktivitas Ribu Rp/ 17.417 19.821 18.539 20.179 21.375 19.466 6 7
Tenaga Kerja Pekerja
3. Berbasis Nilai Ekspor
a. Nilai Ekspor Miliar 60.159 58.258 70.251 77.796 81.428 69.578 4 5
Rupiah
b. Pertumbuhan Persen - -3,16% 20,59% 10,74% 4,67% 8,21% 11 9
Ekspor
c. % Terhadap Persen 11,87% 11,48% 10,61% 9,83% 9,13% 10,58% 4 5
total Ekspor
4. Berbasis Jumlah Perusahaan
a. Jumlah Perusahaan Usaha 2.949.917 2.412.182 2.906.123 2.498.706 2.188.815 2.591.149 5 5
b. Pertumbuhan Jum- Persen - 2,74% 19,44% -5,83% 12,38% 7,18% 10 10
lah Perusahaan
c. % Jumlah Perusaha- Persen 6,95% 5,83% 6,79% 6,00% 5,17% 6,15% 5 5
an terhadap jumlah
Totalnya
Sumber: Studi Pemetaan Industri Kreatif Indonesia, Departemen Perdagangan RI, 2006 (Diolah dari data BPS dan
sumber data lainnya). Catatan: (1) Peringkat untuk indikator ekonomi berbasis PDB, Ketenagakerjaan, dan
Jumlah Perusahaan adalah terhadap 9 sektor lapangan usaha utama yang dipublikasikan BPS. (2) Peringkat
untuk indikator berbasis ekspor adalah terhadap 10 komoditi unggulan yang dipublikasikan oleh BPS.

12 Prof. Mudradjad Kuncoro, Ph.D, Visi Indonesia 2030: Quo Vadis?, Maklah, Jurusan Ilmu
Ekonomi FE UGM.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


93
1111 Jurnal.indb 93 19/11/2011 14:49:01
Kaum Muda, Kelas Kreatif,
dan Masa Depan Perekonomian Indonesia

“Giliran” Kaum Muda


Posisi kaum muda di era ekonomi kreatif menjadi sangat penting
mengingat perannya sebagai “penggerak” ke-14 subsektor industri kreatif.
Sebagaimana kita ketahui, klaster-klaster kebudayaan dan kreativitas yang
menggerakkan hampir seluruh subsektor Industri kreatif yang meliputi
periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain,
fesyen, film (mencakup animasi dan fotografi), permainan interaktif,
musik, seni pertunjukkan, penerbitan dan percetakan, komputer dan
piranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan (research
and development) digawangi oleh kaum muda. Oleh sebab itu, sebagai
kelompok yang disebut Richard Florida sebagai “kelas kreatif”13, bisa
dikatakan bahwa kaum muda yang “bekerja” dengan mengandalkan
daya gagas dan daya ciptanya merupakan (f)aktor penentu masa depan
perekonomian Indonesia.

daya gagas dan daya ciptanya Istilah “kelas kreatif” (creative class)
pertama kali diperkenalkan Richard
merupakan (f)aktor penentu masa
Florida untuk mengidentifikasi kelas
depan perekonomian Indonesia. sosial dan ekonomi yang menjadi (f)
aktor penentu perkembangan ekonomi
posindustrial di kota-kota di Amerika Serikat. Florida memisahkan kelas
kreatif ini menjadi dua kelompok. Pertama, Super-Creative-Core, yakni
angkatan kerja yang disebut Florida benar-benar berkaitan erat dengan
proses kreatif (fully engaged in the creative process) dalam pekerjaan utamanya
(misalnya ilmuwan, insinyur, tenaga pendidikan termasuk guru dan
dosen, programmer, animator, penulis, film-maker, peneliti, seniman,
desainer, dan lainnya). Kelompok ini disebut Florida sebagai kelompok
yang benar-benar bekerja dengan gagasan, inovasi dan kreasinya dalam
menggerakan sektor-sektor utama industri kreatif.14
Kedua, Creative Professionals. Yakni para professional yang bekerja
dengan pengetahuan mereka (knowledge-based), misalnya tenaga medis,
konsultan bisnis, akuntan, pegawai pajak, bankir, pengacara, dan lainnya.
Menurut Florida, keberadaan kelompok ini penting dalam kelas kreatif
untuk menyelesaikan “masalah-masalah spesifik” yang terjadi di seputar
pergerakan ekonomi kreatif. Kelompok ini tidak secara langsung berkaitan

13 Richard Florida, The Rise of The Creative Class: And How It’s Transforming Work, Leisure,
Community and Everyday Life. New York: Perseus Book Group, 2002.
14 Idem. Hal. 69

94 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 94 19/11/2011 14:49:01


Fahd Pahdepie

dengan 14 sub-sektor industri kreatif, namun tanpa keberadaan mereka


boleh jadi industri kreatif tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.15
Richard Florida tidak menyebutkan sektor-sektor inovasi dan kreativitas
secara eksplisit bahwa kelas kreatif ini
(selalu) digerakkan oleh komunitas-
didominasi dan digerakkan oleh kaum
muda, namun dalam dua bukunya yang komunitas dan klaster-klaster
lain Cities and The Creative Class (2004) kebudayaan dimana anak-anak
dan The Fight of The Creative Class (2007), muda berperan sangat aktif di
ia menggambarkan melalui Creativity
dalamnya.
Index—tool yang digunakan Florida
untuk mengidentifikasi kelas kreatif—bahwa sektor-sektor kreativitas
banyak didominasi oleh masyarakat perkotaan yang berada dalam usia
produktif. Jika kita bandingkan dengan konteks Indonesia, juga beberapa
negara lain yang mengandalkan sektor industri kreatif seperti Singapura
dan Australia, sektor-sektor inovasi dan kreativitas (selalu) digerakkan
oleh komunitas-komunitas dan klaster-klaster kebudayaan dimana anak-
anak muda berperan sangat aktif di dalamnya.
Dalam konteks ekonomi kreatif Indonesia, peran kaum muda dalam
kelas kreatif ini diharapkan mampu terus menggerakkan, mendorong,
dan mengembangkan industri kreatif Indonesia ke level yang lebih
tinggi. Kaum muda dalam komunitas-komunitas kreatif dan klaster-
klaster kebudayaan (sastra, seni, musik, desain, dan lainnya) diharapkan
mampu meningkatkan nilai tambah industri kreatif melalui daya gagas
dan daya ciptanya.
Pasca-reformasi, bisa dilihat bahwa kelas kreatif Indonesia terus tumbuh
dan menguat. Hal ini ditandai dengan semaraknya dunia kreativitas dan
inovasi yang digerakkan kaum muda hampir di semua bidang termasuk
seni, musik, desain, fesyen, riset dan pengembangan, penerbitan dan
percetakan, pertunjukan, film, dan lainnya. Menggeliatnya industri musik
adalah contoh yang sangat menarik. Berdasarkan rata-rata pertumbuhan
ekonomi tahun 2002-2006, industri musik mengalami pertumbuhan di
atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, yakni sebesar 11,06%.16

15 Op.Cit. Hal. 70
16 Kelompok Kerja Indonesia Design Power Departemen Perdagangan, Op.Cit. Hal. 10

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


95
1111 Jurnal.indb 95 19/11/2011 14:49:01
Kaum Muda, Kelas Kreatif,
dan Masa Depan Perekonomian Indonesia

Kesimpulan
Melihat berbagai potensi yang dimiliki Indonesia, bukan tanpa alasan
jika Goldman Sach memproyeksikan bahwa di tahun 2050 Indonesia
akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang sangat besar (enonomics
superpower). Jika hanya mengandalkan sektor pertambangan, pertanian,
dan industri massal, rasanya proyeksi tersebut akan sulit terwujud
mengingat Indonesia masih mengandalkan sumber daya alam yang
kelak akan rusak atau habis. Sementara itu, industri kreatif Indonesia
menjanjikan harapan yang sangat besar. Selain modal kultural yang
sangat kaya dan beragam, potensi sumber daya insani Indonesia juga patut
dibanggakan seiring budaya kreatif dan inovatif yang terus menguat.

Selain modal kultural yang sangat Tahun 2004 adalah masa keemasan
industri kreatif Indonesia yang pernah
kaya dan beragam, potensi sumber dicapai, pada saat itu pertumbuhan
daya insani Indonesia juga patut mencapai 8,17% (lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan
dibanggakan seiring budaya kreatif ekonomi nasional yang hanya 5,05%).
dan inovatif yang terus menguat. Namun, rata-rata pertumbuhan
ekonomi kreatif tahun 2002-2006
hanyalah 0,74%. Terjadi fluktuasi yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa industri kreatif di Indonesia belum terlalu kuat namun memiliki
potensi tumbuh dan berkembang secara optimal jika didukung oleh
strategi perencanaan dan pengembangan yang terarah dan baik.
Di masa yang akan datang, seiring dengan menguatnya kelas kreatif
Indonesia, sektor industri kreatif akan terus berkembang dan memberikan
kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Inilah saatnya bagi
kaum muda untuk memberikan kontribusi nyata bagi bangsanya. Melalui
gagasan dan kreativitas, kaum muda dapat menjadi aktor penentu
keberhasilan ekonomi kreatif Indonesia di masa yang akan datang.
Pada saatnya, menjadi salah satu negara superpower di bidang ekonomi
barangkali bukan hanya mimpi belaka. Cina dan India telah berhasil
membuktikan semuanya. Kini, Brazil mulai membangun kekuatan dan
kepercayaan dirinya untuk menjadi kekuatan baru. Pilihan bagi Indonesia,
dengan segala hal yang dimilikinya, serta berbagai peluang dan tantangan,
tinggal menentukan sikap untuk “mengalah” atau “mengalahkan”.

96 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 96 19/11/2011 14:49:01


Fahd Pahdepie

Daftar Pustaka
Bryant Maynard, Herman dan Susan E. Mehrtens. The Forth Wave: Bussiness in
The 21st Century. San Francisco, USA: Berret-Koehler Publishers, 1993.
Eisenberg, Christiane, Rita Gerlach, and Christian Handke (eds.). Cultural
Industries The British Experience in International Perspective. Humboldt-
Universität zu Berlin: ProPrint, 2007.
Lovink, Geert dan Ned Rossiter. My Creativity Reader: A Critique of Creative
Industries. Amsterdam: Institute of Network Cultures, 2007.
Hartley, John (ed.). Creative Industries. USA: Blackwell, 2004.
Kelompok Kerja Indonesia Design Power Departemen Perdagangan.
Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesai 2025 – Rencana Pengembangan
Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015. Jakarta: Departemen Perdagangan
RI, 2008.
NN. Studi Pemetaan Industri Kreatif 2002-2006. Jakarta: Departemen
Perdagangan Republik Indonesia, 2007.
Kuncoro, Mudradjad. Visi Indonesia 2030: Quo Vadis?. Makalah, Yogyakarta:
Jurusan Ilmu Ekonomi FE UGM, 2008.
Florida, Richard. Cities and The Creative Class. London: Routledge, 2005.
Florida, Richard. The Flight of the Creative Class. The New Global Competition for
Talent. HarperBusiness, HarperCollins, 2007.
Florida, Richard. The Rise of The Creative Class: And How It’s Transforming Work,
Leisure, Community and Everyday Life. New York: Perseus Book Group,
2002.

Artikel Internet
Viva News, Indonesia Calon Kekuatan Ekonomi Baru Dunia, dalam
http://fokus.vivanews.com/news/read/186419-indonesia--calon-
kekuatan-ekonomi-baru-dunia diakses pada tanggal 22 September
2011 Pukul 13.20 WITA.
Tempo Interaktif, Industri Kreatif Tumbuh 15 Persen, diunduh dari
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/05/24/
brk,20070524-100537,id.html diakses pada tanggal 8 Oktober
2011.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


97
1111 Jurnal.indb 97 19/11/2011 14:49:01
Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:
Antara Komunisme, Kapitalisme
dan Konfusianisme
Choirul Mahfud

Abstrak
Cina ibarat naga yang bangun dari tidur panjangnya. Kini bangkit dan maju
bergerak cepat dari pinggiran ke pemain utama dalam pentas politik ekonomi
global. Salah satu rahasia kebangkitan dan kemajuan Cina tak lepas dari faktor
kekayaan modal kultural dan ideologi yang telah diwarisinya selama ini. Artikel
ini mengkaji tentang apa dan bagaimana dasar ideologi dan kultur yang dimiliki
oleh Cina sebagai modal kebangkitan dan kemajuan negeri Tirai Bambu tersebut,
dan pijakannya dalam bersikap di pentas politik global? Lalu, sejauhmana
karakteristik ideologis dan kultural tersebut mempengaruhi keberadaan Cina
dewasa ini dan di masa yang akan datang? Penelitian ini bersifat deskriptif
kualitatif. Data diperoleh dari berbagai sumber dan dokumentasi kepustakaan,
buku, artikel, website, dan media massa yang menunjang.
Kata Kunci: Ideologi, Kultur, dan Kebangkitan Cina

A. Pendahuluan
“Cina is hungry for success and this might well be a key reason
for its enduring rise. … Cina’s cultural traditions also affect its
approach to negotiation,… and on foreign policy”.
Fareed Zakaria, The Post-American World (2008: 104, 110).

Fenomena Cina? Ya, akhir-akhir ini, Cina, China atau Tiongkok menjadi
topik kajian serius dan penting bagi publik dunia. Saking pentingnya,
konon rutinitas orang yang mengawali harinya dengan membaca The
New York Times, kini ada yang berubah dengan lebih dulu melihat isi dari
koran-koran terbitan Cina. Hal itu menunjukkan bahwa citra Cina kini
telah menggoda dan menggeser selera publik di belahan dunia. Maklum,

98
1111 Jurnal.indb 98 19/11/2011 14:49:02
Choirul Mahfud

selama ini seolah perbincangan yang menarik hanya berkaitan dengan


Negeri Paman Sam, Amerika Serikat dan sekutunya. Sementara yang lain
dipandang sebelah mata dan dianggap tak ada artinya.
Tapi, kini dunia telah berubah, dan sebagian negara terglobalisasi
dengan pesat.1 Cina adalah salah satu negara yang mampu melakukan
perubahan cepat dan mengagumkan hingga mengundang penasaran
dunia.2 Banyak pengamat politik internasional memprediksi Cina akan
menjadi kekuatan super (superpower) melampaui Amerika dan sekutu
kapitalisme-nya. Apalagi, Amerika Serikat yang disebut sebagai negara
adidaya, nampaknya ke depan berjalan terseok-seok seiring badai tsunami
krisis ekonomi dan moneter serta kepercayaan dunia yang terus menyusut
(low in trust). Sementara Cina kini bangkit seperti lapar untuk sukses
dan ditengarai sebagai kompetitor Amerika dalam pentas politik global.3
Karena itu, Samuel P. Huntington mengajak mengevaluasi dengan
bertanya pada diri orang Amerika, siapa sebenarnya kita?4
Terkait kemajuan Cina, The Economist turut memberi catatan penting
bahwa kebangkitan Cina seolah sebagai penanda berakhirnya akhir
sejarah (the end of the end of history) yang didengungkan Francis Fukuyama,
pemikir politik yang selama ini mengukuhkan kemenangan liberalisme
dan kapitalisme global Amerika Serikat.5
Sebelumnya, Futurolog John & Doris Naisbitt, juga memprediksi masa
depan Cina dalam buku terbarunya “Cina’s Megatrends”. Menurut
Naisbitt, dalam dua dekade terakhir ini, Cina merupakan negara yang
mampu mengalami perubahan fundamental terkait beragam hal.6 Mulai
aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, serta dampaknya yang

1 Thomas L. Friedman, The World is Flat: A Brief History of the Globalized World in the
Twenty-first Century (London: Allen Lane, 2005).
2 Mark Leonard, What Does Cina Think? (London: Fourth Estate, 2008).
3 Fareed Zakaria, The Post-American World (London: Allen Lane, 2008)
4 Samuel P. Huntington, Who Are We? America’s Great Debate (London: The Free Press,
2005), 4–45.
5 Baca di http://www.economist.com/blogs/democracyinamerica/2011/01/Cina_v_
america diakses 13 Oktober 2011. Tesis Fukuyama menegaskan bahwa kapitalisme
dan liberalism Amerika sebagai pemenang sekaligus mengakhiri sejarah sosialisme
dan komunisme global. Lebih lengkapnya baca tulisan Francis Fukuyama, The End of
History and the Last Man (London: Hamish Hamilton, 1992).
6 John & Doris Naisbitt, Cina’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat Cina, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010).

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


99
1111 Jurnal.indb 99 19/11/2011 14:49:02
Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:
Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme

signifikan bagi pesaing-pesaing utamanya, yakni negara-negara Barat


terutama Amerika Serikat.

globalisasi kini dimainkan oleh Tak hanya Naisbitt bersaudara, Martin


Cina untuk melakukan transformasi Jacques dalam buku “When Cina Rules
The World”, juga menjelaskan dengan
ekonomi politik di pentas global.
baik posisi Cina yang tengah menuju
Cina bukan sekadar “emerging puncak peradaban dunia.7 Demikian
pula, Ilan Alon dan Julian Chang et.all,
economies” melainkan “asian drivers
dalam buku “Cina Rules; Globalization
of global change”. and Political Transformation”, mencandra
bagaimana globalisasi kini dimainkan oleh Cina untuk melakukan
transformasi ekonomi politik di pentas global.8
Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos, juga mencatat dinamika ekonomi-
politik Cina terus berkembang cepat sejak awal berdirinya pada 1949
sampai hari ini. Kini, situasi investasi dan keamanan dalam negeri terus
membaik. Dalam dua dekade terakhir, kondisi ekonominya sangat
berbeda dengan Cina yang dikenal pada era 60-an atau 70-an. Berawal
dari revolusi kebudayaan, reformasi ekonomi dan keterbukaaan terhadap
dunia luar pada 1978, Cina di bawah kepemimpinan Deng-Xiaoping dan
dilanjutkan oleh Jiang Zemin hingga era Hu Jintao saat ini, membuat
kekuatan Cina terus diperhitungkan dan dianggap menjadi pesaing
Amerika di masa mendatang.
Saat ini, bobot ekonomi negara berpenduduk terbesar di dunia ini
berpengaruh signifikan pada konstalasi kekuatan politik global. World
Bank juga menaruh kewaspadaan pada kebangkitan ekonomi Cina yang
kini terus terlibat aktif dalam arus globalisasi dan pasar bebas.9 Dalam
konteks inilah, Ivan A. Hadar mengutip Kaplinsky (2006) menilai, Cina
bukan sekadar “emerging economies” melainkan “asian drivers of global change”.
Dalam waktu kurang dari satu dasawarsa, Cina telah membuktikan dan
berubah dari pemain ekonomi pinggiran menjadi pemain utama pasar
global. Ekspornya ke AS pada kurun waktu 1985–2004 melejit dari “nol”
menjadi sekitar 15% dan kini terus meningkat.

7 Baca tulisan Martin Jacques dalam buku “When Cina Rules The World: The Rise of the
Middle Kingdom and the End of the Western World”.
8 Ilan Alon, Julian Chang et.all, Cina Rules; Globalization and Political Transformation, (UK:
Palgrave Macmillan, 2009)
9 World Bank, Cina Engaged: Integration with the Global Economy (Washington, DC:
1997)

100 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 100 19/11/2011 14:49:02


Choirul Mahfud

Hingga hari ini, Cina telah menjadi salah Sejak ribuan tahun sebelum
satu negara donor terbanyak di kawasan masehi, Cina juga sudah
Asia Tenggara, sekaligus juga kerjasama membangun banyak sistem
dan partisipasi dalam penanganan
kehidupan manusia dan
bencana alam, gempa bumi dan tsunami
yang terjadi di Asia Tenggara, termasuk melahirkan prinsip-prinsip
Indonesia. Yang terbaru adalah kerjasama pemikiran ketimuran yang tetap
membangun jembatan Surabaya-Madura lestari sampai saat ini.
(Suramadu). Tak hanya itu, Cina juga
menjadi mitra dagang dan mitra dialog yang baik bagi ASEAN, CAFTA
(Cina ASEAN Free Trade Area), juga TAC (Treaty of Amity and Cooperation),
DOC (Declaration of Conduct), EPG, dan lainnya. Khususnya dalam
penanganan masalah bersama di Asia Tenggara (juga Afrika) tentang
konflik perdagangan dan masalah moneter lainnya.
Bila dicermati, kemajuan Cina tidaklah dimulai dari nol. Bukan pula
didapatkan secara instan. Namun ada dinamika proses panjang melalui
perencanaan dan imajinasi komunitas untuk mewujudkan nasionalisme
Cina.10 Informasi terbaru, misalnya, Pusat Penelitian Modernisasi
Tiongkok telah menerbitkan peta jalan Modernisasi Tiongkok untuk
abad ke-21. Isinya: tahun 2025 produk domestik bruto (GDP) Tiongkok
menyamai Jepang. Tahun 2050, Tiongkok jadi negara maju di dunia.
Atas dasar peta jalan itu, Tiongkok terus bergerak menuju masyarakat
yang lebih baik dan sejahtera.
Sejak ribuan tahun sebelum masehi, Cina juga sudah membangun
banyak sistem kehidupan manusia dan melahirkan prinsip-prinsip
pemikiran ketimuran yang tetap lestari sampai saat ini. Dari sinilah, juga
ikut menyumbang kemajuan Cina saat ini.11 Cina juga telah memiliki
mekanisme hubungan antar negara yang cukup baik. Kekaisaran
Cina bahkan sempat menjalin hubungan diplomasi, perdagangan dan
kenegaraan dengan berbagai kawasan di dunia, termasuk Indonesia.12

10 Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of


Nationalism (London: Verso, 1983)
11 Lucian W. Pye, The Spirit of Chinese Politics (Cambridge, Mass.: Harvard University Press,
1992), 235.
12 Edward L. Dreyer, Zheng He: Cina and the Oceans in the Early Ming Dynasty, 1405–1433
(New York: Pearson Longman, 2007), 170.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


101
1111 Jurnal.indb 101 19/11/2011 14:49:02
Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:
Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme

Kehadiran laksamana Cheng Hoo di Indonesia adalah salah satu


bukti nyata. Sejarah juga mencatat, lebih dari 5000 tahun, Cina telah
mengukuhkan sebagai salah satu bangsa yang beradab. Penemuan teknik
pertanian, penemuan huruf hanzi (kanji), pembuatan kompas, mesiu,
dan alat-alat percetakan juga pertama kali dilakukan oleh warga Cina.
Singkat kata, Cina kini telah melakukan lompatan besar dan bangkit
terus maju bergerak cepat dari pinggiran ke pemain utama dalam pentas
politik ekonomi global. Beberapa pengamat menilai bahwa salah satu
kunci rahasia kebangkitan dan kemajuan Cina tak lepas dari faktor
kekayaan modal kultural dan ideologi yang telah diwarisinya selama ini.
R. Bin Wong (2000), dalam buku “Cina Transformed: Historical Change
and the Limits of European Experience” menjelaskan salah satu rahasia Cina
dalam melakukan transformasi yakni bertransformasi tanpa melupakan
kekuatan sejarah masa lalu dan kultur yang dimilikinya.13 Jinghao Zhou
(2010), dalam buku “Cina’s Peaceful Rise in a Global Context” menjelaskan
transformasi dan kebangkitan Cina menuju peta demokratisasi masih
dalam lajur damai (peaceful rise) tanpa kekerasan yang berarti.14
Pertanyaannya, seperti apa dasar ideologi dan kultur Cina dalam pentas
politik global yang mendorong kebangkitan dan kemajuan negeri
Tirai Bambu tersebut dan sejauhmana pengaruhnya dalam hubungan
internasional? Adakah kesamaan dan perbedaan kultur dan ideologi
Cina dengan negara lain? Lebih jelasnya diuraikan dalam tulisan
berikut ini.

B. Titik Kajian: Ideologi dan Kultur


Berpijak dari latar belakang di atas, tulisan ini berupaya menemukan
jawaban-jawaban atas berbagai persoalan berikut ini: (1) apa dan
bagaimana dasar ideologi dan kultur yang dimiliki oleh Cina sebagai
modal bagi kebangkitan dan kemajuan ekonomi, politik, militer negeri
Tirai Bambu tersebut, dan pijakan bagi sikapnya terhadap dunia
internasional, termasuk Indonesia? Lalu, (2) sejauhmana karakteristik-

13 R. Bin Wong, Cina Transformed: Historical Change and the Limits of European
Experience (Ithaca and London: Cornell University Press, 2000), 2–28.
14 Jinghao Zhou, Cina’s Peaceful Rise in a Global Context: A Domestic Aspect of Cina’s
Road Map to Democratization, (UK: Lexington Books, 2010)

102 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 102 19/11/2011 14:49:02


Choirul Mahfud

karakteristik ideologis dan kultural tersebut mempengaruhi keberadaan


Cina dewasa ini dan di masa yang akan datang?
Kajian dalam tulisan ini menggunakan kajian pustaka (library research)
dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Penggalian data
diperoleh melalui kajian literatur, informasi media massa dan sumber
lain yang mendukung.
Cina merupakan salah satu negara yang paling besar di dunia. Bukan
saja dari aspek kuantitas jumlah penduduk tetapi juga kualitas pengaruh
kebudayaan, perdagangan dan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Iptek).15 Hal itu bisa dibaca dari banyak buku dan lembaran sejarah
perkembangannya. Dikatakan bahwa sejak ribuan tahun sebelum masehi,
Cina sudah membangun banyak sistem kehidupan manusia–termasuk
hubungan antarnegara–dan melahirkan prinsip-prinsip pemikiran
ketimuran yang tetap lestari sampai saat ini. Bahkan, tetap mengakar
kuat di dalam budaya Cina kontemporer seperti saat ini. Kebudayaan
Cina juga telah menginspirasi rakyat Jepang, Korea, Vitenam dan
sekitarnya.16
Sejarah juga mencatat, bahwa Cina merupakan salah satu negara di
dunia yang memiliki kekayaan kultur dan sejarah peradaban yang cukup
tua. Negara ini pernah dipimpin oleh berbagai dinasti. Dimana kepala
pemerintahannya disebut kaisar. Kepemimpinan kaisar telah berjalan
hampir selama 2000 tahun dengan sebuah pemerintahan pusat yang kuat
dengan pengaruh Kong Hu Cu. Namun setelah 1949 partai komunis
Cina mulai memegang pucuk kekuasaan. Rezim Cina mulai sangat
otokratis, komunis dan sosialis.17 Partai ini juga sering dikatakan sebagai
kerajaan komunis. Sebagian negara-negara yang berideologi komunis
memberi julukan kepada Cina sebagai negara kapitalis. Memang, negara
Cina semakin lama semakin menuju ke “kanan” di arah sistem ekonomi
bebas.18

15 Jacques Gernet, A History of Chinese Civilization, 2nd (Cambridge: Cambridge


University Press, 1997), 103–106;
16 Jacques Gernet, A History of Chinese ……., Ibid
17 Benjamin Schwartz, Communism and Cina: Ideology in Flux. (Cambridge: Harvard
University Press. 1968).
18 Jacques Gernet, A History of Chinese ……., Ibid

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


103
1111 Jurnal.indb 103 19/11/2011 14:49:02
Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:
Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme

Cina: Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme


Ibarat pendulum, ideologi Cina bisa dikatakan masih mengalami
pergerakan antara konfusianisme, komunisme dan belakangan ini adalah
kapitalisme. Benjamin Schwartz, dalam buku “Communism and Cina”,19
menjelaskan posisi Cina dan ideologi komunisme serta konfusianisme
masih terus mengalami pasang surut. Di era Mao Zedong, boleh dikata,
posisi ideologi komunisme dan marxisme lebih superior ketimbang
konfusianisme. Namun setelah kepemimpinan Mao, kerinduan pada
ideologi konfusianisme kembali terjadi. Akhirnya, modifikasi ideologi
konfusianisme dengan dinamika zaman modern hampir selalu dilakukan
oleh pemikir neo-konfusianisme.

Ibarat pendulum, ideologi Cina Dalam perkembangan saat ini, beberapa


pemerhati Cina menilai bahwa
bisa dikatakan masih mengalami
Republik Rakyat Cina kini lebih dikenal
pergerakan antara konfusianisme, sebagai negara sosialis, dan demokrasi
komunisme dan belakangan ini kerakyatan di bawah pimpinan kelas
buruh dengan persekutuan buruh dan
adalah kapitalisme.
tani sebagai dasarnya. Sistem sosialis
adalah sistem pokok Republik Rakyat Cina. Secara resmi RRC (Republik
Rakyat Cina) masih dikenal sebagai negara komunis, meskipun sejumlah
ilmuwan politik kini tidak mendefinisikannya sebagai “negara komunis
murni”. Jatuh bangun yang dialami Cina sejak ribuan tahun lalu
membuatnya kini memiliki kekayaan pengalaman dalam arus global.20
Dalam suatu dokumen resmi yang dikeluarkan, pemerintah telah
menggariskan administrasi negara berdasarkan demokrasi21, meskipun
keadaan sebenarnya Cina tetap menganut paham atau ideologi komunis.
Walaupun terdapat gerakan ke arah liberalisasi, seperti pemilu yang
sekarang diadakan di peringkat distrik atau wilayah yang kecil dan
sebagian badan perwakilan menunjukan sikap tegas mereka dari masa ke
masa, partai ini terus memiliki kekuatan dalam pemerintahan terutama
atas pemilihan jabatan-jabatan pemerintahan. Walaupun negara memakai

19 Benjamin Schwartz, Communism and Cina……., Ibid.


20 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina, (USA: Gale, Cengage Learning, 2009).
21 Jinghao Zhou, Cina’s Peaceful Rise in a Global Context: A Domestic Aspect of Cina’s
Road Map to Democratization, (UK: Lexington Books, 2010). Juga baca Yongnian,
Zheng, Will Cina Become Democratic?: Elite, Class and Regime Transition (Singapore: EAI,
2004)

104 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 104 19/11/2011 14:49:02


Choirul Mahfud

sistem otokratis untuk mengusir elemen-elemen penentangan terhadap


pemerintahannya, namun partai ini pada masa yang sama juga mencoba
mengurangi penentangan dengan memajukan ekonomi, menjunjung
tinggi hak asasi manusia, dan melayani para penentang yang dianggap
tidak berbahaya terhadap pemerintah secara lebih adil.
Sejarah mencatat, penyaringan terhadap praktek politik juga rutin, dan
RRC secara keras pernah menghapuskan protes atau organisasi apapun
yang dianggapnya berbahaya terhadap pemerintahannya, seperti yang
terjadi di Tiananmen pada tahun 1989. Akan tetapi, media republik rakyat
ini semakin aktif menyiarkan masalah sosial dan menghebohkan gejala-
gejala korupsi di peringkat bawahan pemerintahan. RRC juga berhasil
menghalangi gerakan media informasi, dan ada waktunya juga mereka
akan menurunkan polisi untuk menghadang aksi demonstrasi yang
dilakukan oleh massa yang melakukan protes. Walaupun penentangan
berstruktur terhadap CCP (Partai Komunis Cina) tidak dibenarkan sama
sekali, demonstrasi rakyat semakin lama semakin diberi kebebasan.
Tekanan dunia pada Cina terus mendorong negara ini untuk berbenah
diri sehingga nilai-nilai hak asasi manusia lebih dapat dihormati dalam
rangka memperbaiki sistem yang berhubungan dengan hak asasi
manusia. Sampai dengan tahun 1996, Cina telah menandatangani
konvensi-konvensi internasional antara lain: The convention relating to
the status of refugee (mengenai pengungsi), The international convention of
all form of discriminations (mengenai diskriminasi ras), dan The convention
concerning equal renumerations for man and woman workers for work of equal
value (keseimbangan pekerjaan antara pria dan wanita), dan lainnya.22

Etika Konfucius dan Spirit Kapitalisme?


Berbicara soal Cina tidak lepas dengan konfusianisme.23 Konfusianisme
bagi orang Cina merupakan identitas dan pedoman hidup. David Pong
(2009), ed., dalam Encyclopedia of Modern Cina, menjelaskan tentang
konfusianisme:
Confucianism (ruxue or rujiao) is a complex and multifaceted philosophy
that foregrounds the moral relationships of individuals or groups in a societal

22 Jacques Gernet, A History of Chinese, Ibid


23 Weiming Tu, Way, Learning, and Politics: Essays on the Confucian Intellectual. (Albany:
State University of New York Press, 1993). Juga baca Leo Suryadinata, Southeast Asian
Chinese: The Socio-Cultural Dimension (Singapore: Times Academic Press, 1995)

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


105
1111 Jurnal.indb 105 19/11/2011 14:49:02
Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:
Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme

context, regulated by propriety (li). It has had a profound influence on Chinese


sociopolitical systems, worldviews, ethics, education, religions, conventions,
individual and community life, and scholarly traditions since around the sixth or
fifth century BCE. Based on the teachings of Confucius (Kong Qiu, 551–479
BCE) and his disciples, as recorded in the Analects (Lunyu), Confucianism was
established as the state orthodoxy during the Han dynasty (206 BCE–220 CE)
and has dominated the development of Chinese civilization, shaping the political
and personal lives of Chinese people.24
Dari kutipan pernyataan di atas, konfusianisme sangat berpengaruh bagi
Cina dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada 5 nilai dasar ideologi
konfusianisme yang sangat penting bagi Cina Kontemporer, yaitu ren, yi,
li, zhi, dan xin. Secara sederhana, kelima nilai itu memiliki makna yaitu
ren=benevolence bermakna kebajikan/ cinta kasih; yi=righteousness atau
keadilan; li=propriety berarti kesopanan, zhi=wisdom atau kebijaksanaan,
dan xin=trust atau kepercayaan.25
Diantara kelima ajaran tersebut, yang sangat menonjol di Cina, terutama
yaitu “Ren” dan “Li”. “Ren” juga dapat diartikan sebagai “Sikap hormat
terhadap kehidupan pribadi, kesungguhan menangani persoalan, dan
setia menjalankan tugas serta kewajiban yang berhubungan dengan
kehidupan sosial”. Di sinilah, penghormatan kepada nenek moyang
atau leluhur mendapat tempat istimewa. Sementara itu, “Li” dilukiskan
sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat kebiasaan, tatakrama,
dan sopan santun. Namun begitu, semua ajaran konfusianisme tersebut
saat ini dan pada masa yang akan datang masih akan terus berproses
untuk dirawat dan dinikmati bagi kemajuan Cina.26
Selain konfusianisme, Cina juga memiliki kekayaan modal kultur atau
kebudayaan yang unik dan menarik. Dalam lembaran sejarah, kebudayaan
Cina pada masa lalu merupakan kebudayaan yang sangat dominan di Asia
Timur. Beberapa pemerhati sejarah Cina menilai bahwa masyarakat dan
negara lain seperti Jepang, Korea, Tibet dan Vietnam, sangat dipengaruhi
oleh Cina.27 Dalam perkembangannya, kebudayaan Cina kini juga
mempengaruhi masyarakat di kawasan lain seiring ekspansi dan imigrasi

24 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina, Ibid. 347.


25 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina, Ibid. 347
26 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina, Ibid. 347
27 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina, Ibid. 347.

106 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 106 19/11/2011 14:49:02


Choirul Mahfud

warga Cina di hampir seluruh penjuru dunia. Beberapa model kultur


Cina diantaranya berupa bahasa dan kesenian Cina, bentuk masakan,
perlengkapan hidup, filsafat, bentuk tulisan dan lain sebagainya.
Selama berabad-abad, khususnya abad kebudayaan Cina kini juga
ke 7 hingga ke 14 masehi, Cina telah
mempengaruhi masyarakat di
memiliki kebudayaan yang paling maju
kawasan lain seiring ekspansi dan
di dunia. Penemuan kertas, mesin cetak,
bubuk mesiu, porselin, sutra dan kompas imigrasi warga Cina di hampir
bermula dari Cina, dan kemudian seluruh penjuru dunia. Beberapa
tersebar ke seluruh penjuru dunia. Norma model kultur Cina diantaranya
tradisional Tiongkok diperoleh dari aliran berupa bahasa dan kesenian Cina,
konfusian ortodoks, yang diajarkan di bentuk masakan, perlengkapan
sekolah-sekolah dan bahkan merupakan hidup, filsafat, bentuk tulisan
bagian dari pelayanan publik kekaisaran
dan lain sebagainya.
pada zaman dahulu.
Seiring perubahan zaman, kebudayaan Cina yang bersumber pada
ajaran konfucius juga mengalami modifikasi, adaptasi dan modernisasi.
Sekarang, misalnya, berkembang adanya Neo-Konfusianisme yang
berpendapat bahawa ide demokrasi dan hak asasi manusia sejajar dengan
nilai-nilai tradisional Konfusianisme Asia.28 Para pemimpin yang memulai
langkah-langkah untuk mengubah masyarakat Cina setelah berdirinya
RRC pada 1949 dibesarkan dalam lingkungan yang kental budayanya
dan telah diajarkan norma hidup sesuai dengan lingkungan hidupnya.
Meskipun mereka merupakan revolusioner yang mampu beradaptasi
dengan zamannya, mereka tidak ingin mengubah budaya Cina secara
besar-besaran.
Sebagai pemerintah, ketika masa revolusi kebudayaan29, para pemimpin
RRC mengganti aspek tradisional seperti kepemilikan tanah di desa
dengan pendidikan tetapi masih belum meninggalkan aspek-aspek
budaya yang lain, contohnya struktur keluarga. Para ahli dari luar
negeri berpendapat bahwa waktu setelah 1949 bukanlah sesuatu yang
berbeda di dalam RRC dibandingkan dengan yang sebelumnya. Namun
itu merupakan penerusan cara hidup yang berpegang pada nilai-nilai

28 Daniel A. Bell, Cina’s New Confucianism: Politics and Everyday Life in a Changing Society
(Princeton: Princeton University Press, 2008)
29 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina…..Ibid.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


107
1111 Jurnal.indb 107 19/11/2011 14:49:03
Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:
Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme

lama masyarakat Cina.30 Pemerintah baru diterima tanpa mendapat


halangan atau rintangan apapun karena pemerintahan baru dianggap
“mendapat mandat dari surga” untuk memerintah, mengambil-alih
pucuk kepemimpinan dari kekuasaan lama dan mendapat anugerah
para dewa.31

Cina’s cultural traditions also Seperti pada masa lampau,


pemimpin seperti Mao Zedong
affect its approach to negotiation.
yang sangat disanjung. Sepanjang
……It is part of a broad way of masa pemerintahan RRC, banyak
understanding the structure of aspek budaya tradisi Cina seperti
the world as a set of interacting seni lukis, peribahasa, bahasa, dan
simbol kebudayaan lainnya yang
forces, complexly interrelated
terus dirawat. Dengan berlalunya
rather than working through a waktu, banyak aspek tradisi Cina
simple and linear cause and telah diterima negara dan rakyatnya
effect…..It could also have an sebagai warisan dan bagian jati diri
Cina. Dasar-dasar resmi pemerintah
effect on foreign policy
kini dibuat berlandaskan kemajuan
dan ikatan peradaban RRC sebagai
—Fareed Zakaria—
bagian dari identitas bangsa.
Bahkan, tradisi kultural Cina tersebut mempengaruhi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di pentas lokal dan global. Hal ini seperti yang
dinyatakan Fareed Zakaria dalam bukunya “Post-American World”, bahwa:
Cina’s cultural traditions also affect its approach to negotiation. ……It is
part of a broad way of understanding the structure of the world as a set
of interacting forces, complexly interrelated rather than working through
a simple and linear cause and effect…..It could also have an effect on
foreign policy32.
Cina juga telah memiliki mekanisme hubungan antar negara yang
baik sejak dulu. Kekaisaran Cina bahkan sempat menjalin hubungan
dagang dengan bangsa Eropa melalui Jalur Sutera (Silk Road) yang

30 Yung, Lee Hong, The Politics of the Chinese Cultural Revolution: A Case Study. (Berkeley:
University of California Press, 1978).
31 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina…….Ibid.
32 Fareed Zakaria, The Post-American World (London: Allen Lane, 2008)

108 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 108 19/11/2011 14:49:03


Choirul Mahfud

menghubungkan Eropa dan Asia lewat darat. Selain itu, Cina juga
menjalin hubungan perdagangan dan kenegaraan dengan berbagai
kawasan di dunia, termasuk Asia Tenggara yang memiliki letak geografis
yang strategis bagi perdagangan.
Cina kuno juga telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi sistem
ekonomi, politik, serta sosial budayanya, sehingga dapat dikatakan Cina
telah memiliki karakteristik dan ciri khas dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegaranya. Beberapa dasar yang khas tersebut terdapat dalam
berbagai bidang, antara lain: filsafat pemikiran.33 Terdapat banyak filsuf
dan aliran kepercayaan Cina kuno yang benar-benar asli muncul dari
rakyat Cina. Contohnya aliran Konfusianisme yang banyak dianut oleh
masyarakat Cina kontemporer, dipelopori oleh Kong Fu Tse.34 Masih
banyak pula aliran kepercayaan lain seperti Taoisme dan Zen. Kesemuanya
itu mengambil Ren (cinta manusia) sebagai inti ajarannya.
Catatan sejarah Cina yang lebih dari 5000 tahun secara tidak langsung
telah mengukuhkan bangsa Cina sebagai salah satu bangsa yang
beradab. Penemuan teknik pertanian, penemuan huruf hanzi (kanji),
pembuatan kompas, mesiu, dan alat-alat percetakan juga pertama
kali dilakukan oleh warga Tionghoa yang mayoritas suku Han ini.
Selain itu, kekaisaran Tionghoa kuno telah mampu menjalin hubungan
perdagangan yang cukup intensif dengan Eropa, Asia Tenggara, dan
lain-lain, sekaligus meletakkan dasar-dasar pelayaran dan diplomasi
kuno ala Asia.
Berdasarkan aliran kepercayaan dan budaya orang Cina yang sopan santun
dan saling mengasihi, maka kebijakan pemerintahan Cina juga berintikan
kesejahteraan sosial (social welfare).35 Walaupun pada masa kedinastian
Han, masalah pemerintahan masih sangat ketat, namun rakyatnya makmur
sejahtera. Setelah pengaruh barat mulai masuk dan mempengaruhi
cara berpikir orang Cina, demokrasi pun mulai dianggap sebagai sistem
yang relevan untuk pemerintahan. Namun, saat ini Cina modern lebih
mengedepankan sosialisme bagi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, yang dipimpin oleh Partai Komunis Cina.

33 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina…….Ibid.


34 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina…….Ibid.
35 Suisheng, Zhao, ed., Chinese Foreign Policy: Pragmatism and Strategic Behaviour (New
York: M. E. Sharpe, 2004)

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


109
1111 Jurnal.indb 109 19/11/2011 14:49:03
Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:
Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme

Setelah mengalami evolusi dan modernisasi kebudayaan serta reformasi


dan keterbukaan, Republik Rakyat Cina lambat laun menjadi sebuah
kekuatan yang dominan di dunia internasional dalam beberapa bidang.
Secara ekonomi, volume perdagangan Cina yang tumbuh setiap
periodenya telah membantu Gross Domestic Product (GDP) meningkat
dengan cepat. Salah satu sumbangan besarnya adalah melalui kerjasama
dengan negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) sebagai mitra dagang
yang baik.
Beberapa bentuk kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara antara
lain: Sejak masa Kedinastian, telah banyak perwakilan dari Cina dan
negara-negara Asia yang saling mengunjungi, seperti Cheng Ho yang
datang ke Indonesia.36 Ia lalu membagi pengetahuan teknologinya pada
penduduk setempat. Perjuangan bersama melawan negara kolonialis yang
menjajah kawasan Asia, baik Cina maupun negara di Asia Tenggara.
Saat ini, Cina telah menjadi mitra dagang dan mitra dialog yang
baik bagi ASEAN, dan bahkan melaksanakan program Cina ASEAN
Free Trade Area (CAFTA), juga Treaty of Amity and Cooperation (TAC),
Declaration of Conduct (DOC), EPG, dan lain lain. Cina juga tergabung
dalam penanganan masalah bersama di Asia Tenggara dalam KTT Cina-
ASEAN, khususnya konflik perdagangan dan masalah moneter lainnya.
Cina telah menjadi salah satu negara pemberi bantuan keuangan dan
material terbanyak di kawasan Asia Tenggara dan sekaligus berpartisipasi
dalam penanganan lapangan bencana alam gempa bumi dan tsunami
yang terjadi di Asia Tenggara.
Cina telah berkembang secara definitif, mulai dari awal terbentuknya
kebudayaan di sana sejak 7000 tahun yang lalu hingga masa modernisasi
dan globalisasi saat ini. Menurut Naisbitt bersaudara dalam bukunya
“Cina’s Megatrends”, ada 8 hal yang membuat Cina kini terus bangkit
menjadi pemain utama dalam pentas politik global. Yakni “emansipasi
pikiran”, “membingkai hutan dan membiarkan pohon tumbuh”,
“menyeimbangkan top-down dan bottom-up”, “menyeberangi sungai
dengan merasakan batu”, “bergabung dengan dunia”, “kebebasan dan
keadilan”, “antusiasme artistik dan intelektual”, dan “dari medali
Olimpiade menuju hadiah Nobel”. Kedelapan pilar itulah yang berusaha

36 Edward L. Dreyer, Zheng He: Cina and the Oceans in the Early Ming Dynasty, 1405–1433
(New York: Pearson Longman, 2007).

110 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 110 19/11/2011 14:49:03


Choirul Mahfud

dielaborasi dan diimplementasikan oleh pemerintah Cina untuk


menguasai dunia dan menjadi pesaing utama Barat.37
Lebih jauh dielaborasi, bahwa identifikasi Naisbitt tentang “Barat”
yang condong individualistis dengan “Timur” yang sosialis. Sehingga
itulah mengapa Cina selalu berupaya mendengungkan kekuatan—dalam
berbagai hal—dalam negerinya sendiri dan meminimalkan bantuan
asing yang bisa mencengkeram kepentingan nasionalnya. Di Cina,
kepentingan ekonomi menjadi “panglima” dibandingkan politik, karena
para pemimpinnya berasumsi bahwa keberhasilan di bidang ekonomi
akan melegitimasi kekuasaannya yang ‘tak dipedulikan’ mayoritas bangsa
Cina.38
Usaha mewujudkan mimpi dan idealisme Cina dalam pentas politik
global nampaknya bukan berangkat dari nol. Tapi sudah dibangun
dengan modal dasar kultural dan ideologi yang kuat yang telah diwarisi
dan dimilikinya semenjak dulu hingga saat ini. Beberapa modal dasar
kultural dan ideologi yang menjadi ciri khas dalam kehidupan rakyat
Cina adalah: pertama, budaya kerja keras yang dimiliki dan diperankan
oleh masyarakatnya. Etos kerja bangsa Cina yang tinggi dan menekankan
keuletan, ketekunan serta kerajinan sudah ditanamkan sejak kecil
dalam keluarga. Budaya kerja keras itu merupakan cerminan dari ajaran
Konfusianisme, suatu gagasan humanisme yang lahir di Cina, jauh
sebelum masa Renaissance bergulir. Sebagaimana diketahui, bahwa ajaran
konfusianisme digagas oleh Kong Hu-Cu, (551 SM). Dia, bersama-sama
dengan Lao Tze (lahir 604 SM), dipandang sebagai penggagas pemikiran
falsafah tersebut di Cina.
Kedua, budaya Percaya diri. Menurut I Basis Susilo, kepercayaan diri
adalah salah satu sifat yang dibangun dan dikembangkan Mao Zedong
sejak awal 1930-an hingga 1970-an. Percaya diri itu dibangun sebagai
jawaban atas ”penghinaan seratus tahun” (bainian guochi) sebelumnya oleh
bangsa-bangsa Barat dan Jepang sejak Perang Candu 1840-1949. Begitu
bernafsunya, lanjut I Basis Susilo, membangun kepercayaan diri, Mao
memaksakan Revolusi Kebudayaan (1966-1976) yang menelan korban
jutaan jiwa. Bagaimanapun, Mao menyumbangkan bangunan dasar bagi
infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan yang memadai. Dari

37 John & Doris Naisbitt, Cina’s Megatrends……………, Ibid.


38 John & Doris Naisbitt, Cina’s Megatrends……………, Ibid.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


111
1111 Jurnal.indb 111 19/11/2011 14:49:03
Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:
Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme

sinilah, I Basis Susilo, menyimpulkan bahwa struktur bangunan dasar


psikologis, ekonomis, sosial, dan politik untuk eksis dan maju, Cina
secara alami tumbuh lebih kuat dan lebih percaya diri dibandingkan
dengan, misalnya, Jepang dan Korsel yang harus menggadaikan sebagian
kedaulatannya kepada AS.39
Ketiga, ideologi kekeluargaan Cina punya andil dalam perubahan dan
pembangunan sosio-ekonomi. Keluarga bagi Cina adalah pusat worldview.
Bahkan seolah di Cina, the family was the state in miniature, the state the
family writ large. Itu sebabnya Max Weber menyebut Cina sebagai “familistic
state”. Dalam konteks ini, keluarga menjadi semacam ideologi (familism).
Sistem keluarga Cina dipengaruhi oleh paham kekeluargaan Konfusius.
Menurut Olga Lang, orangtua dalam sistem keluarga Cina berkewajiban
mengajari anggota keluarganya tentang mekanisme Negara agar mereka
bisa menerima ororitas Negara. Lucian Pye melihat bahwa kultur politik
Cina menekankan interpendensi antara pemerintah dan keluarga.40
Karena, dalam masyarakat tradisional Cina, keluarga berperan untuk
mengurangi kekacauan dalam institusi-institusi public, orangtua selalu
menekankan order sosial dan kesejahteraan setiap anggota keluarga.

Sistem keluarga ala Konfusian Relationship merupakan motor


penggerak dalam politik ideologi
menekankan etika kesalehan,
kekeluargaan Cina. Implikasi politik
sopan santun, keutamaan, dan dari sistem ini adalah bahwa dalam
menghargai orang lain. membangun ekonomi Cina, yang
ditekankan adalah jaringan, relasi
(untuk saling menolong). Jaringan
kekeluargaan (kinship networks) menjadi pilar paradigma baru dalam
kerangka kerja ekonomi Cina. Pemerintah kekaisaran Cina tradisional
mengadopsi sistem kekeluargaan ini menjadi bentuk ideal untuk
mencapai harmoni dalam sistem pemerintah. Tetapi secara defacto,
sistem kekeluargaan yang dikendalikan oleh seorang kepala keluarga
dan pemerintahan yang dikendalikan oleh monarkhi, mengakibatkan
Cina terjerumus dalam sistem kekeluargaan dan pemerintahan yang
sangat feodal (dan hal ini bertolak belakang dengan visi Konfusius yang
selalu menekankan dimensi etika dalam menjalankan otoritas). Baru

39 Baca artikel I Basis Susilo, Harian Kompas, Kamis 01 Oktober 2009


40 Lucian W. Pye, The Spirit of Chinese Politics (Cambridge.: Harvard University Press, 1992).

112 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 112 19/11/2011 14:49:03


Choirul Mahfud

pada zaman dinasti Ming, sistem pemerintahan yang feodal lamban laun
mulai ditinggalkan. Sistem keluarga ala Konfusian menekankan etika
kesalehan, sopan santun, keutamaan, dan menghargai orang lain.41
Fareed Zakaria (2008) juga mencatat bahwa kemajuan Cina juga
dipengaruhi oleh keyakinan masyarakat Cina kepada Tuhan. Inilah yang
mengagetkan sebagian masyarakat Barat yang menganggap orang Cina
tidak percaya kepada Tuhan. Mengutip hasil survey Pew pada tahun
2007, Fareed Zakaria menjelaskan realitas yang unik:
In the 2007 Pew survey, when asked whether one must believe
in God to be moral, a comfortable majority of Americans (57
percent) said yes. In Japan and Cina, however, much larger
majorities said no—in Cina, a whopping 72 percent! This is a
striking and unusual divergence from the norm, even in Asia.
The point is not that either country is immoral—in fact all hard
evidence suggests quite the opposite—but rather that in neither
country do people believe in God. This might shock many in the
West, but for scholars of the subject, it is a well-known reality.42

Selanjutnya, M Farid W Makkulau melihat kemajuan Cina tak lepas


dari penghormatan pada hukum. Menurut Farid, proses penegakan
hukum di Cina bukan main-main.43 Keseriusan pemerintahnya
dalam pemberantasan korupsi ditempatkan dengan pondasi politik
dan kepemimpinan yang kuat. Pemberantasan korupsi disadari Cina
memerlukan milieu politik dan political will yang sangat serius dari
pemimpin yang kuat dan tegas karena pelaku korupsi seringkali datang
dari lingkaran politik itu sendiri, atau dari pengusaha yang pernah berjasa.
Itulah sebabnya penanganan kasus korupsi berpotensi dihentikan dan
bisa jadi menikam penegak hukum itu sendiri jika sudah bersentuhan
dengan kaum elitis korup.44 Dari sinilah, kontribusi dan eksistensi
ajaran konfusianisme terus menginspirasi bagi perjalanan kemajuan dan
kebangkitan Cina kontemporer dalam berbagai aspek kehidupan.

41 Lihat di http://www.gemaku.org/ 13 Oktober 2011. Dan juga Antonio L. Rappa &


Sor-Hoon Tan, Political Implications of Confucian Familism. Jurnal&Volume: Asian
Philosophy, Vol. 13, Numbers 2/3, July/November 2003. Penerbit: Carfax Publishing,
Taylor & Francis Group
42 Fareed Zakaria, The Post-American World (London: Allen Lane, 2008), 109.
43 Baca tulisannya di http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/06/25/belajar-dari-Cina/
diakses 13 Oktober 2011.
44 Ibid

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


113
1111 Jurnal.indb 113 19/11/2011 14:49:03
Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:
Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme

Sampai di sini, apa yang terjadi di Cina kontemporer hari ini mengingatkan
saya pada tulisan Max Weber dalam buku “The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism”,45 dimana ada pengaruh etika protestan terhadap suburnya
kapitalisme. Di Cina, nampaknya juga ada pengaruh konfusianisme
terhadap kebangkitan dan kemajuan Cina. Namun apakah betul Cina
akan menjadi negara kapitalisme baru seperti Amerika Serikat, ataukah
tetap mempertahankan tradisi kultural dan ajaran konfusianisme, dan
ataukah memperkuat kembali ideologi komunisme? Jawabannya hanya
waktu dan sejarahlah yang akan terus menguji bagaimana perjalanan
sejarah masa depan Cina.

Penutup
Dari telaah di atas, bisa diambil beberapa catatan kesimpulan bahwa
Cina merupakan salah satu negara yang paling besar di dunia. Bukan
saja dari aspek kuantitas jumlah penduduk tetapi juga kualitas pengaruh
kebudayaan, perdagangan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai
negara besar dan maju, Cina ternyata mengarifi dan menghayati kebudayaan
ketimuran yang bersumber pada ajaran Konfucius. Di Cina, hal ini
dijadikan sebagai dasar ideologi dan kultur sebagai modal kebangkitan dan
kemajuan negeri Tirai Bambu tersebut, dan pijakannya dalam bersikap
di pentas politik global. Ideologi komunisme yang dialamatkan kepada
Cina, nampaknya kini tidak bisa dikatakan betul seratus persen. Sebab,
ternyata Cina juga mengelaborasi, memodifikasi dan memodernisasi dasar
ideologi yang bersumber dari paham konfusianisme. Hal itu terbukti,
pasang surut arus ideologi konfusianisme dan komunisme di masa Mao
Zedong, tidak membenamkan konfusianisme sebagai sebuah ajaran yang
dihormati oleh masyarakat Cina kontemporer. Oleh karena itu, potret
ideologi Cina bisa dikatakan diantara konfusianisme, komunisme dan
juga kapitalisme global yang menghantuinya.
Namun begitu, konfusianisme masih tetap mengakar di Cina seperti
laiknya ideologi pancasila di Indonesia. Hingga saat ini, ada 5 nilai dasar
ideologi konfusianisme yang sangat penting dan mempengaruhi budaya
sosial politik bagi Cina Kontemporer, yaitu ren, yi, li, zhi, dan xin. Secara
sederhana, kelima nilai itu memiliki makna yaitu ren=benevolence bermakna

45 Weber, Max. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. (Charles Scribner’s Sons.
New York: 1956)

114 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 114 19/11/2011 14:49:03


Choirul Mahfud

kebajikan/cinta kasih; yi=righteousness atau keadilan; li=propriety berarti


kesopanan, zhi=wisdom atau kebijaksanaan, dan xin=trust atau kepercayaan.
Diantara kelima ajaran tersebut, yang sangat menonjol di Cina, terutama
yaitu “Ren” dan “Li”. “Ren” juga dapat diartikan sebagai “Sikap hormat
terhadap kehidupan pribadi, kesungguhan menangani persoalan, dan
setia menjalankan tugas serta kewajiban yang berhubungan dengan
kehidupan sosial”. Di sinilah, penghormatan kepada nenek moyang
atau leluhur mendapat tempat istimewa. Sementara itu, “Li” dilukiskan
sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat kebiasaan, tatakrama,
dan sopan santun. Semua ajaran konfusianisme tersebut, nampaknya
akan terus berproses dan beradaptasi bagi kemajuan dan kebangkitan
Cina di pentas ekonomi dan politik global.

Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread
of Nationalism. London: Verso, 1983.
Bell, Daniel A. Cina’s New Confucianism: Politics and Everyday Life in a Changing
Society. Princeton: Princeton University Press, 2008.
Chen, Jingpan. Confucius as a Teacher: Philosophy of Confucius with Special
Reference to Its Educational Implications. Beijing: Foreign Languages Press,
1990.
Dreyer, Edward L. Zheng He: Cina and the Oceans in the Early Ming Dynasty,
1405–1433. New York: Pearson Longman, 2007.
Friedman, Thomas L. The World is Flat: A Brief History of the Globalized World in
the Twenty-first Century. London: Allen Lane, 2005.
Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. London: Hamish
Hamilton, 1992.
Gernet, Jacques. A History of Chinese Civilization, 2nd. Cambridge: Cambridge
University Press, 1997.
Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and the Remaking of World
Order. New York: Simon and Schuster, 1996.
-------------------------. Who Are We? America’s Great Debate. London: The Free Press,
2005.
Johnston, Alastair Ian. Cultural Realism: Strategic Culture and Grand Strategy in
Chinese History. Princeton: Princeton University Press, 1995.
Leonard, Mark. What Does Cina Think?. London: Fourth Estate, 2008.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


115
1111 Jurnal.indb 115 19/11/2011 14:49:03
Ideologi dan Kultur Cina Kontemporer:
Antara Komunisme, Kapitalisme dan Konfusianisme

Naisbitt, John & Doris. Cina’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat Cina.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Phillips, J M. dan L J. Moore. Cina; Economic, Political and Social Issues. New
York: Nova Science Publishers, 2009.
Pomeranz, Kenneth. The Great Divergence: Cina, Europe, and the Making of the
Modern World Economy. Princeton and Oxford: Princeton University
Press, 2000.
Pong, David, ed. Encyclopedia of Modern Cina. USA: Gale, Cengage Learning,
2009.
Pye, Lucian W. The Spirit of Chinese Politics. Cambridge: Harvard University
Press, 1992.
Schwartz, Benjamin. Communism and Cina: Ideology in Flux. Cambridge:
Harvard University Press. 1968.
Suisheng, Zhao, ed. Chinese Foreign Policy: Pragmatism and Strategic Behavior.
New York: M. E. Sharpe, 2004.
Suryadinata, Leo. Southeast Asian Chinese: The Socio-Cultural Dimension.
Singapore: Times Academic Press, 1995.
Tanggok, M. Ikhsan, dkk. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru Format Baru
Hubungan Islam Indonesia dan Cina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010.
Tu, Weiming. Way, Learning, and Politics: Essays on the Confucian Intellectual.
Albany: State University of New York Press, 1993.
World Bank. Cina Engaged: Integration with the Global Economy. Washington,
DC: 1997.
Yongnian, Zheng. Will Cina Become Democratic?: Elite, Class and Regime
Transition. Singapore: EAI, 2004.
Yung, Lee Hong. The Politics of the Chinese Cultural Revolution: A Case Study.
Berkeley: University of California Press, 1978.
Zakaria, Fareed. The Post-American World. London: Allen Lane, 2008.
Wong, R. Bin. Cina Transformed: Historical Change and the Limits of European
Experience. Ithaca and London: Cornell University Press, 2000.
Zhou, Jinghao. Cina’s Peaceful Rise in a Global Context: A Domestic Aspect of
Cina’s Road Map to Democratization. UK: Lexington Books, 2010.

*) Penulis adalah pengkaji multikulturalisme dan studi Cina, tinggal di Surabaya. Bisa
dihubungi melalui alamat e-mail: choirul_mahfud@yahoo.com

116 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 116 19/11/2011 14:49:04


Dari “Manusia Pesakitan” Menuju “Bangsa Kuat”:
Mengintip Kebangkitan China
Lewat Olah Raga
Wahyudi Akmaliah Muhammad

Abstrak
Salah satu cara efektif membangun imajinasi kebangsaan adalah dengan olah
raga. Dengan olah raga juga seseorang bisa mendefinisikan kebudayaannya dan
mengkontruksi rasa kepemilikan sebagai bagian dari komunitas bangsa dan negara.
Di sini, saya menelisik sejarah China lewat olah raga dan bagaimana olahraga
menjadi titik balik kebangkitan bagi identitas China dalam mengkontruksi
negaranya pasca perang Sino-Jepang (1 Agustus 1894-17 April 1895), yang
membuatnya membenamkan diri sebagai “manusia pesakitan” selama bertahun-
tahun saat sedang memperkokoh strategi internal di tengah kekuataan bangsa
lain. Setelah menjelaskan kebangkitan China dari manusia pesakitan menuju
bangsa yang kuat, dalam penutup tulisan saya merefleksikan Indonesia terkait
dengan platform negara di bawah era Soekarno di mana olah raga menjadi
bagian dari upaya mempersatukan kebangsaan yang baru tumbuh dalam negara
pada satu sisi, dan menunjukkan eksistensi Indonesia dihadapan negara-negara
maju dengan membuat permainan olah raga yang bernama GANEFO sebagai
tandingan dari Olimpiade.
Kata Kunci: China, Olimpiade, Olah Raga, GANEFO, dan Politik

Pengantar
Ketika mendengar kata China, ada banyak hal yang berpendaran dalam
ingatan saya, salah satunya mengenai kehebatan negara tirai bambu
tersebut. Tidak dapat disangsikan bahwa China sebagai sebuah negara
dan bangsa memiliki sejarah kebudayaan yang kaya dan peradaban
yang maju, baik dari segi pengetahuan, teknologi, pengobatan, ataupun

117
1111 Jurnal.indb 117 19/11/2011 14:49:04
Dari “Manusia Pesakitan” Menuju “Bangsa Kuat”:
Mengintip Kebangkitan China Lewat Olah Raga

apakah benar China, sebagai sistem dinasti politik yang dibangun.


negara dan bangsa yang unggul Ini ditambah doktrin agama Islam,
yaitu hadis Nabi Muhammad yang
mengalami kemajuan evolutif
mengatakan bahwa seorang muslim
terus-menerus dalam sejarahnya, diminta menuntut ilmu setinggi-
hanya mengandalkan warisan tingginya sampai negeri China.
masa lalu yang mereka miliki? Selain menunjukkan kekokohan
sebagai bangsa yang tangguh, lewat
Apakah ada peristiwa yang
hadis tersebut, saya, sebagai bagian
menjadi titik balik bagi China dari masyarakat muslim ditunjukkan
sehingga kini menjadi kekuatan bahwa China pernah menjadi pusat
baru di dunia? peradaban ilmu. Pengobatan tradisional
China yang selalu dirujuk sebagian
masyarakat Indonesia juga menguatkan hal tersebut. Dengan demikian,
China seakan menjadi mitos mengenai “keunggulan”. Salah satu mitos
keunggulan tersebut bisa dilihat dari respon masyarakat Indonesia ketika
berkali-kali melihat kekalahan Tim pebulu tangkis nasional dalam ajang
kompetisi internasional ketika bertanding melawan China. Saya jarang
mendengar masyarakat kita menyalahkan pebulu tangkis Indonesia
mengapa bisa kalah, tapi kerap mengakui dengan pasrah bahwa China
memang lebih unggul. Sebaliknya, jika Indonesia kalah dengan Malaysia.
Selain diiringi rasa tidak terima, juga menunjukkan rasa amarah kepada
Malaysia dan juga tim olahraga Indonesia yang bersangkutan mengenai
ketidakbecusan kaderisasi pemain muda pada setiap cabang olah raga.
Melesatnya pertumbuhan ekonomi China sebagai kekuatan dunia yang
diprediksi mengalahkan dominasi Amerika Serikat menguatkan hal
tersebut. Tapi, apakah benar China, sebagai negara dan bangsa yang
unggul mengalami kemajuan evolutif terus-menerus dalam sejarahnya,
hanya mengandalkan warisan masa lalu yang mereka miliki? Apakah
ada peristiwa yang menjadi titik balik bagi China sehingga kini menjadi
kekuatan baru di dunia? Jika iya, dalam hal apa China membangun
kejayaan masa lalu tersebut? Alih-alih ingin melihat kebangkitan
negara China dari segi ekonomi, militer, dan ataupun posisi politik
internasional dihadapan negara-negara maju, khususnya di tengah
remuknya perekonomian Amerika Serikat dan Eropa akhir-akhir ini,
di sini, saya menelisik sejarah China lewat olah raga dan bagaimana
olahraga menjadi titik balik kebangkitan bagi identitas China dalam

118 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 118 19/11/2011 14:49:04


Wahyudi Akmaliah Muhammad

merekontruksi negaranya pasca perang Sino-Jepang (1 Agustus 1894-17


April 1895). Perang ini yang membuatnya membenamkan diri sebagai
“manusia pesakitan” selama bertahun-tahun sambil memperkokoh
strategi internal untuk bangkit. Selain itu, saya merefleksikan olah raga
Indonesia di bawah Soekarno yang sempat menjadi kekuatan dunia dan
mengkontekstualisasikannya pada era Orde Baru dan saat ini sebagai
penutup tulisan. Alasan memilih olah raga sebagai dasar pijakan tulisan
ini adalah karena aktivitas tersebut cara yang paling efektif dalam
membangun rasa identitas nasional sebuah negara dan lewat itu juga
kita dapat mendefinisikan kebudayaan sebuah negara dan bagaimana
masyarakat memiliki rasa kepemilikan terhadap aktivitas tersebut terkait
dengan ajang pertandingan internasional. Lewat olah raga juga, saya
dapat mengetahui posisi sebuah negara di tengah negara lain.

Stereotif Manusia Pesakitan


Selain menjadi titik balik sejarah dunia dengan adanya kekuatan
mayoritas eropa dalam menghadapi perang dunia pertama, tahun 1895
menjadi simbol keterpurukan bagi China. Pada tahun tersebut, setelah
berlangsung peperangan selama sembilan bulan (1 August 1894 – 17 April
1895) di bawah Dinasti Qing, China mengalami kekalahan dari Jepang di
bawah Restorasi Meiji dalam memperebutkan Korea. Perang ini diakhiri
dengan penandatanganan Perjanjian Shimonoseki yang berujung pada
ganti rugi 30 miliar tale kepada Jepang. Untuk pertama kalinya dalam
kurun sejarah 2000 tahun, dominasi politik regional jajahan China di
Asia Timur meliputi Semenanjung Korea, Manchuria, berpindah tangan
ke Jepang. Akibatnya, China tidak hanya mengalami kemunduran
peradaban tapi juga harus menerima kenyataan bahwa keperkasaannya di
masa lalu telah runtuh, dari kerajaan langit (the Celestial Empire) menuju
manusia pesakitan (Sick Man). Padahal, banyak dari pengamat asing
mengira bahwa China akan memenangkan peperangan karena memiliki
angkatan laut yang sangat kuat dan sulit ditembus. Apalagi China, sedang
dalam proses modernisasi penguatan diri (Self Streghthening Improvement)
(www.sinojapansewar.com)
Istilah manusia pesakitan ini diperkenalkan Yan Fu, sarjana dan
penterjemah buku-buku barat. Ia pernah mengenyam pendidikan
tradisional China dan menghabiskan bertahun-tahun waktunya di Inggris
sebagai mahasiswa militer. Sejumlah pengalaman itu membuatnya menjadi

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


119
1111 Jurnal.indb 119 19/11/2011 14:49:04
Dari “Manusia Pesakitan” Menuju “Bangsa Kuat”:
Mengintip Kebangkitan China Lewat Olah Raga

seorang sarjana produktif yang berpengaruh. Istilah tersebut kemudian


direproduksi orang-orang asing lewat media massa dan kemudian
menjadi bentuk penghinaan bagi orang-orang China (Guoki, 2008:
17-18; Jarvi, Hwang, and Brennan, 2008: 19). Sebagaimana dikatakan
dalam salah satu esainya yang berjudul Yuan Qiang (asal mula sebuah
bangsa yang kuat), “Sebuah bangsa itu layaknya manusia. Jika fisiknya
tidak aktif, tubuhnya akan lemah. Sebaliknya, jika fisiknya aktif ia akan
kuat. Ini merupakan asumsi umum. Lalu bagaimana dengan orang yang
sakit? Bila ia ingin merubah tubuh sakitnya menjadi kuat dalam semalam
bisa saja dengan melakukan sesuatu yang berlebih. Tapi, cara ini hanya
mempercepat menuju kematian. Apakah China saat ini seperti orang yang
sakit?”. Dalam esai itu, ia juga mendiskusikan mengenai teori Darwin
On the Origin of the Species. Menurutnya, “semua spesies berasal dari satu
spesies yang mengalami perubahan secara gradual disesuaikan dengan
lingkungan sekitarnya dan mengalami perubahan variasi secara biologis.
Ini tidak hanya dialami oleh binatang dan tumbuhan, melainkan juga
manusia. Bukti ini begitu tepat dan kuat”. Selain itu, ia juga menegaskan
agar China menguatkan fisik, intelektual, dan nilai-nilai moral. Ia juga
mengkritik kebiasaan orang China yang menggunakan opium dan
sepatu pengikat untuk perempuan (Guoki, 2008: 18-19; Jarvi, Hwang,
and Brennan, 2008: 19)
Stereotif ini membuat mereka berpikir keras bagaimana menyembuhkan
bangsa yang sedang sakit. Pilihan pun jatuh untuk meniru bangsa
barat sebagai proses belajar, dalam hal ini adalah Eropa. Sebagaimana
dijelaskan oleh I Wibowo (2009): “Sejak kekalahan memalukan pada
Perang Candu 1840, China sebagai bangsa bertekad untuk belajar dari
bangsa lain karena China merasa tidak mungkin memperbaiki diri dengan
konfusianisme. Mula-mula China menoleh ke Eropa, mengirim banyak
mahasiswa ke Eropa, terutama Perancis. Mereka mau menimba cita-cita
Revolusi Prancis untuk dipakai mengubah keterpurukan bangsanya.
Demonstrasi besar oleh mahasiswa pada 4 Mei 1919 menolak Konfusius
dan Konfusianisme, serta memilih ‘Mr Science and Mr Democracy’
sebagai Solusi masalah”.
Begitu juga dengan olahraga, China berkiblat kepada olah raga modern,
yang diperkenalkan agen-agen imperialis, seperti guru, diplomat,
pedagang, dan juga misionaris yang bekerja di China dalam fase
perang Opium pada tahun 1840-an. Lewat mereka inilah ide mengenai

120 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 120 19/11/2011 14:49:04


Wahyudi Akmaliah Muhammad

modernisasi dan ideologi barat mulai tertanamkan di China. Selain itu,


untuk membuat negara China kuat dan kaya, mereka memulai melarang
keras penggunaan sepatu pengikat bagi perempuan yang sangat menyiksa
dan menghapuskan pengujian yang berat dan berbahaya untuk seleksi
menjadi pelayan publik. Kebijakan ini secara tidak langsung telah
memberikan ruang bagi perempuan untuk memberikan kontribusi
sebagai penyelamat bangsa dengan melahirkan anak yang sehat, kuat
seiring dengan kesehatan perempuan yang dimiliki. Pada masa ini jugalah
pendidikan fisik ala militer dan juga spirit bertempur menjadi ide popular
bagaimana olahraga dapat menyelamatkan orang-orang China (Guoki,
2008: 20-24; Jarvi, Hwang, and Brennan, 2008: 44-56).

Politik Olah Raga, Olimpiade, dan Nasionalisme


Memang, olahraga modern dan pendidikan fisik menjadi solusi
dalam menyembuhkan rasa sakit yang dialami China. Namun, proses
penyembuhan ini butuh diekspresikan ke medan internasional untuk
membuktikan bahwa China, baik secara budaya, ekonomi, dan politik,
bukanlah bangsa yang sakit pada satu sisi, dan menguatkan rasa nasionalisme
dan kebangkitan bagi masyarakat China di sisi yang lain. Pertandingan
olah raga antar negara adalah salah satu cara untuk menunjukkan itu.
Di sini, pertandingan Olimpiade yang pertama di Athena pada 6 April
1896 menjadi media yang tepat untuk menumpahkan kedua hal tersebut
bagi para elit China. Apalagi, moto yang diusung dalam Olimpiade
tersebut adalah “tercepat, tertinggi, dan terkuat”, di mana penekanan
diharapkan bukan pada kemenangan, melainkan keterlibatan peran bagi
tiap-tiap negara. Olimpiade, dengan demikian, adalah ajang kompetisi
pertama yang mengajak pelibatan dunia internasional untuk melakukan
perdamaian antar bangsa lewat olahraga.
Untuk terlibat dalam kompetisi Olimpiade ternyata tidak mudah.
China harus menjadi Komite Olimpiade Internasional (International
Olimpic Committee/IOC) agar bisa mengikutsertakan atlitnya
bertanding. Meskipun, jauh sebelumnya, awal tahun 1910-an China
berencana masuk sebagai anggota IOC. Bahkan pada 15-23 Juni, 1914,
ia sempat menjadi salah satu negara dari tiga puluh tiga negara menjadi
anggota dalam satu pertemuan IOC di Paris. Sayangnya, perang dunia
pertama meletus. Perang merubah peta kekuatan dan kebijakan negara-
negara Eropa. Salah satu kebijakan dalam IOC yang diterapkan adalah

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


121
1111 Jurnal.indb 121 19/11/2011 14:49:04
Dari “Manusia Pesakitan” Menuju “Bangsa Kuat”:
Mengintip Kebangkitan China Lewat Olah Raga

setiap peserta harus menjadi anggota IOC agar bisa mengikutsertakan


atlitnya bertanding. Atas sponsor Young Men’s Christian Association
(YMCA), China kemudian mendirikan China National Amateur
National Athletic Federation pada tahun 1921 dan disahkan sebagai
bagian dari anggota IOC pada tahun 1922. Pada tahun 1932, setelah
hasil dari rangkaian persoalan panjang antara memberangkatkan atau
tidak terkait dengan ketiadaan dana dan pencatutan Jepang atas atlit
China untuk ikut serta di Olimpiade tersebut, akhirnya China terlibat
dalam Olimpiade di Los Angeles dengan hanya mengutus satu orang
atlitnya, Liu Changchun, pelari terbaik jarak pendek. Keberangkatan
Liu disokong dari hasil “uang bantingan” dari para elit sosial dan
pedagang di China (Guoki, 2008: 40-42).
Dalam Olimpiade, Liu memang tidak memenangkan pertandingan. Tapi,
kehadiran Liu dan bendera China yang diusung menjadi simbol bahwa
China sedang memasuki era baru, yaitu keterlibatannya dalam dunia
internasional dan juga menunjukkan statusnya sebagai sebuah negara yang
berdaulat, khususnya dihadapan Jepang. Hal ini direpresentasikannya
lewat olah raga, meskipun masih dalam tahap belajar. Karena itu,
meskipun tidak memenangkan pertandingan, China tetap mengirimkan
para atlitnya dalam Olimpiade, seperti di Jerman tahun 1936 dengan
mengirimkan 69 atlit dan di London pada tahun 1949, meskipun saat
itu sedang mengalami perang sipil di dalam negeri. Khusus Olimpiade
di Jerman, China mengirimkan 42 kelompok studi grup yang terdiri
dari perwakilan perguruan tinggi, organisasi olah raga non-pemerintah,
dan militer, untuk belajar olah raga di Eropa, seperti Jerman, Swedia,
Hungaria, Australia, Denmark, dan Cekoslawakia (Guoki, 2008: 45-47)
Alih-alih memantapkan posisinya di
Di bawah rejim komunis
hadapan negara lain lewat prestasi
Mao Zedong, China menjadikan olahraga, khususnya Olimpiade, di
bawah rejim komunis Mao Zedong,
olah raga sebagai alat kebijakan
China menjadikan olah raga sebagai
politik luar negeri dari tahun alat kebijakan politik luar negeri dari
tahun 1950-1980-an dengan mengusung
1950-1980-an dengan mengusung
slogan “Pertemanan Lebih Utama,
slogan “Pertemanan Lebih Utama, Pertandingan Nomor Dua” (Friendship
Pertandingan Nomor Dua” First, Competition Second). Hal ini bisa
dilihat dalam pertandingan “The

122 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 122 19/11/2011 14:49:04


Wahyudi Akmaliah Muhammad

Sport Exchanges” antara China dan Korea Utara dalam pertandingan


tenis di Jepang, di mana hubungan kedua negara itu begitu dekat setelah
China awal tahun 1950an berperang melawan Amerika Serikat untuk
menyelamatkan rejim komunis Korea Utara (Korut). Sebelum dimulainya
pertandingan Pingpong tahun 1971, tim Korut sudah memesan tempat
untuk pertandingan tersebut. Namun, adanya sikap-sikap permusuhan
orang Korea (Selatan) di Jepang, hal itu membuat tim Pingpong Korut
khawatir untuk tampil (Guoki, 2008: 49-50).
Sebagai teman baik, China memintanya untuk tetap tampil dan
akan memberinya kemenangan. Selain itu, China akan menekan 6
ribuan orang Korea Selatan yang berusaha menganggunya di Jepang.
Alih-alih memberikan kemenangan kepada Korut, Zao Zhenghong,
mantan seorang militer utusan China, sebagai pelatih meminta anak-
anaknya untuk tampil maksimal. Akhirnya tim China memenangkan
pertandingan dengan skor telak 3-0. Begitu juga ketika mengalahkan tim
pingpong Jepang. Sepulangnya dari Jepang, Ia bukan disambut hangat
sebagai pahlawan yang memenangkan pertandingan untuk negaranya,
tapi dikritik dengan keras oleh Zhou Enlai, Perdana Menteri China.
Bahkan, Zhou mendelegasikan utusannya untuk meminta maaf kepada
Han Nianlong, Menteri Luar Negeri Korea Utara (Guoki, 2008: 50-51).1
Kematian Mao Zedong pada tahun 1976 mengakhiri Revolusi Budaya yang
diusungnya selama bertahun-tahun. Deng Xiaoping, sebagai pemimpin
baru mau tidak mau harus mengambil langkah baru. Mempertahankan
kembali komunisme yang dipraktekkan Mao ternyata tidak efektif untuk
kemajuan China. Ia kemudian melakukan sejumlah liberalisasi ekonomi
dan keterbukaan serta merubah kebijakan politik luar negeri pada

1 Hal ini juga terjadi di Asian Games keempat yang berlangsung di Jakarta pada tahun
1962. China meminta Soekarno untuk tidak mengundang Taiwan sebagai peserta. Tapi,
bila ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia akan ditentang oleh para peserta Asian
Games yang lain. Akhirnya Pemerintah Indonesia melakukan intrik politik dengan
memberikan kertas kosong untuk diisi oleh tim atlit Taiwan. Melihat ketidakberesan,
Hao Gensheng, utusan Taiwan, berencana datang ke Jakarta untuk melihat situasi
yang sebenarnya dengan menyamar sebagai utusan dari Thailand. Niat ini ternyata
diendus oleh China dan kemudian diberitahukan kepada pemerintah Indonesia.
Akhirnya, ia ditangkap di Bandara Soekarno Hatta dan dipulangkan ke negaranya.
Sikap pemerintah Indonesia mendapatkan reaksi keras dari tim peserta yang lainnya.
Keanggotaan Indonesia pun ditahan oleh Komite Olimpiade Internasional. Soekarno
sangat marah dengan keputusan ini dan mengajak negara-negara berkembang untuk
membuat pertandingan olah raga sendiri yang terbebas dari kepentingan politik.
Akhirnya, berdirilah pertandingan olahraga GANEFO yang merupakan tandingan dari
Asian Games dan Olimpiade. (Guoki, 2008: 52-53)

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


123
1111 Jurnal.indb 123 19/11/2011 14:49:04
Dari “Manusia Pesakitan” Menuju “Bangsa Kuat”:
Mengintip Kebangkitan China Lewat Olah Raga

awal tahun 1980. Di sini, Amerika Serikat yang sebelumnya menjadi


sasaran kritik sebagai gembong kapitalisme oleh Mao Zedong, dibawah
kepemimpinan Deng dijadikan contoh sumber inspirasi sebagai target
yang harus diraih. Hal ini ditandai dengan adanya kesepakatan untuk
membuka hubungan diplomatik pada tahun 1979 (I Wibowo, 2009).

Pertandingan olah raga tidak Sementara untuk melibatkan diri


dalam dunia internasional serta
lagi sebatas untuk menunjukan
menunjukkan kekuatan kepada negara
eksistensi China dan ataupun lain, Deng Xiaoping menggunakan olah
strategi politik luar negeri, raga sebagai alat mencapai tujuannya.
melainkan sebagai hasrat untuk Di sini, slogan pertandingan olah raga
menunjukan bahwa China bukan sebagai “Persahabatan Nomor Satu dan
Pertandingan Nomor Dua” dibuang
lagi bangsa yang sakit.
jauh-jauh. Slogan itu digantikan
dengan “Breaking Out Asia, Advance into the World” (Menangkan Asia,
Terdepan di Dunia) pada tahun 1980 (Guoki, 2008: 197). Pertandingan
olah raga tidak lagi sebatas untuk menunjukan eksistensi China dan
ataupun strategi politik luar negeri, melainkan sebagai hasrat untuk
menunjukan bahwa China bukan lagi bangsa yang sakit. Amerika Serikat,
lagi-lagi dijadikan bahan jiplakan oleh China untuk menuju ke arah
kemajuan tersebut. Ini terlihat dari merebaknya waralaba berlabelkan
Amerika dan gandrungnya masyarakat China terhadap pertandingan bola
basket (the National Basket Ball Association/NBA) di Amerika. Terlebih
lagi dengan adanya Yao Ming sebagai pemain asing yang bergabung dalam
salah satu klub NBA di Amerika Serikat. Hal ini makin membuat China
ingin meniru Amerika Serikat secara blak-blakkan, baik itu kebudayaan
maupun hasrat kekuasaan yang dimilikinya
Namun, proses meniru tidak bisa utuh. Dalam proses meniru, selalu
ada ruang antara yang memungkinkan untuk terciptanya hibriditas,
percampuran di antara dua unsur kebudayaan yang berbeda. Hal ini
juga yang dialami oleh China yang, dalam istilah I Wibowo, “telah
melahirkan modelnya sendiri”. Dari segi ekonomi, contohnya, hal ini
bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi China. Dari tahun 1980-1990-
an pertumbuhan ekonomi China mencapai 10 %. Periode 1990-2005
pertumbuhan ekonominya mencapai 8-9 % pertahunnya. Pada tahun
2006-2007 mencapai 11 % (Lane, 2008:13). Bahkan krisis yang melanda
dunia sejak tahun 2008, meskipun China terkena dampaknya, hal itu

124 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 124 19/11/2011 14:49:04


Wahyudi Akmaliah Muhammad

tidak membuat pertumbuhan ekonomi China berdampak serius. Tahun


2008-2009 pertumbuhannya sebesar 9,6 dan 9,2 %, bahkan diprediksi
oleh IMF bakal terus tumbuh antara 9.6 % dan akan melebihi 9.5% lebih
(Morisson, 2011:1). Tren positif ini membuat China diprediksi menjadi
kekuatan ekonomi yang bisa mengalahkan Amerika Serikat.
Sementara simbol kebangkitan China Kini, China bukan lagi bangsa
baik secara ekonomi dan politik di
yang pesakitan, melainkan bangsa
hadapan negara-negara lain bisa dilihat
yang tengah berubah menjadi
dari momentum Olimpiade Beijing 2008.
Dalam Olimpiade tersebut, China sebagai kekuatan politik dunia, tidak hanya
tuan rumah tidak hanya menyuguhkan di mata Jepang yang dahulu
pertandingan yang bagus, jujur, dan menjadikannya sebagai manusia
adil melainkan juga mempertontonkan pesakitan, tapi Amerika Serikat.
kemegahan dan spektakuler teknologi Olah raga, dalam hal ini Olimpiade,
yang diusung dengan balutan tradisi adalah simbol dari dominasi
leluhur mereka dalam pembukaan dan
kekuatan itu.
penutupan acara. Ini ditambahkan
dengan perolehan hasil akhir Olimpiade Beijing, di mana China
meraih medali Emas sebanyak 51 emas. Sementara Amerika Serikat
yang selama ini terus mendominasi mendapatkan 36 buah. Jumlah itu
bukan hanya menunjukkan kejayaan China, melainkan satu pukulan
telak yang dilesakkan kepada Amerika Serikat sebagai sumber inspirasi
yang dahulu kerap dikritik habis-habisan akibat kapitalisme ekonomi
yang diterapkan. Kini, China bukan lagi bangsa yang pesakitan,
melainkan bangsa yang tengah berubah menjadi kekuatan politik
dunia, tidak hanya di mata Jepang yang dahulu menjadikannya sebagai
manusia pesakitan, tapi Amerika Serikat. Olah raga, dalam hal ini
Olimpiade, adalah simbol dari dominasi kekuatan itu.

Penutup
Bertolak dari penjelasan, satu pertanyaan yang dapat diajukan, bagaimana
dengan Indonesia, Apakah Indonesia pernah menjadikan olah raga sebagai
alat untuk membangun rasa kebangsaaan dan menguatkan solidaritas di
antara sesama anak bangsa? Apakah olah raga pernah dijadikan strategi
politik dan era kebangkitan untuk menunjukkan eksistensi diri di tengah
negara lain? Jika merunut pada sejarah, di era Soekarno pada awal
tahun 1960-an inilah olah raga menjadi bagian dari platform revolusi

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


125
1111 Jurnal.indb 125 19/11/2011 14:49:05
Dari “Manusia Pesakitan” Menuju “Bangsa Kuat”:
Mengintip Kebangkitan China Lewat Olah Raga

untuk menumbuhkan dan menguatkan rasa nasionalisme dalam negara


yang baru seumur jagung. Di sini, olah raga dijadikan strategi dalam
mengokohkan mental, kepercayaan diri, dan identitas kebangsaan. Hasil
dari platform tersebut adalah pada tahun 1962 Indonesia menjadi tuan
rumah Asian Games dengan mendulang prestasi menempati peringkat
kedua setelah Jepang, meskipun saat itu perekenomian Indonesia sedang
porak-poranda (Carsiwan, 2004).

Di sini, Indonesia tidak hanya Pada era Soekarno juga, Indonesia,


dengan membangun kubu dengan
menunjukkan sebagai bangsa besar,
Republik Rakyat China dan Uni
melainkan juga negara yang siap Soviet membuat pertandingan olah
menguncang kekuatan Amerika raga internasional dengan nama
Serikat dan negara-negara Eropa GANEFO (Games of New Emerging
lewat kekuatan politik dan olah raga. Power) sebagai bentuk tandingan
dari Olimpiade. Alasan pendirian
Apalagi dengan adanya hubungan
permainan olah raga tandingan
diplomatik yang kuat dengan ini adalah satu bentuk kemarahan
Republik Rakyat China dan Uni Soekarno kepada Komite
Soviet, membuat Indonesia menjadi Olimpiade Internasional yang akan
ancaman bagi negara abang Sam memberikan diskualifikasi kepada
Indonesia untuk Olimpiade Tokyo
dan negara-negara maju lainnya.
1964 dikarenakan pemerintah
Indonesia melarang Israel dan Taiwan mengikuti Asian Games di
Jakarta. Padahal, jelas-jelas kedua negara tersebut merupakan bagian dari
anggota resmi PBB. Sementara, alasan Soekarno melarang keikutsertaan
dua negara tersebut adalah satu bentuk solidaritas dan simpati terhadap
negara-negara Arab dan Republik Rakyat China. Akibatnya, Indonesia
keluar dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional dan menganggap
Komite Olimpiade sebagai antek imperialisme (Pauker, 1965: 72-73).
Sebagaimana ditegaskan oleh Soekarno: “......Sebagai Presiden Republik
Indonesia, sebagai Komandan Tertinggi Republik Indonesia, sebagai
pemimpin besar revolusi Indonesia, sebagai pemimpin tertinggi front
nasional, sekarang saya memerintahkan Indonesia untuk keluar dari
IOC (International Olimpicy Committee)... Saudara-saudara, di samping
perintah untuk keluar dari IOC, saya juga memerintahkan untuk
mengorganisasi secepat mungkin GANEFO, the Games of New Forcing
Power—Asia, Afrika, Latin Amerika, dan negara-negara sosialis............

126 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 126 19/11/2011 14:49:05


Wahyudi Akmaliah Muhammad

Pak Bandrio (Menteri Luar Negeri dalam Pemerintahan Soekarno) telah


mengatakan dengan jelas bahwa olah raga tidak dipisahkan dengan
politik. Karena itu, mari kita bekerja untuk asosiasi olah raga sebagai
dasar berpolitik. Kita tidak mau menggunakan topeng apapun, mari kita
menggunakan asosiasi olah raga sebagai munculnya kekuatan-kekuatan
baru ” (Pauker, 1965: 173)
Dengan dihadiri 51 perwakilan dari negara-negara lain, permainan olah
raga tersebut akhirnya dimenangkan oleh China dengan mendapatkan
68 medali emas, 58 perak, dan 45 perunggu. Disusul Uni Soviet dengan
27 emas, 21 perak, dan 9 perunggu. Sementara, Indonesia menempati
urutan ketiga dengan 21 emas, 25 perak, 35 perunggu. Prestasi yang diraih
ini bukan hanya menguatkan rasa kebangsaan masyarakat Indonesia saat
itu, melainkan menunjukkan eksistensi negara Indonesia sebagai negara
baru yang tak boleh dianggap sebelah mata. Di sini, Indonesia tidak
hanya menunjukkan sebagai bangsa besar, melainkan juga negara yang
siap menguncang kekuatan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
lewat kekuatan politik dan olah raga. Apalagi dengan adanya hubungan
diplomatik yang kuat dengan Republik Rakyat China dan Uni Soviet,
membuat Indonesia menjadi ancaman bagi negara abang Sam dan
negara-negara maju lainnya.
Peristiwa Gerakan 30 September yang ditandai dengan terbunuhnya
ratusan ribu manusia Indonesia yang dianggap PKI dan di-PKI-kan
serta naiknya Soeharto dengan memanfaatkan momentum Gerakan
30 September telah meluruhkan bangunan kekuatan pemerintah yang
dibentuk Soekarno dalam bersikap dengan negara lain, salah satunya
dengan olah raga. Di bawah pemerintah Orde baru dengan slogan
pembangunan ini, olah raga tidak lagi menjadi platform negara. Atas nama
ekonomi, efisiensi, dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia
mengambil kebijakan bahwa pelaksanaan Olah Raga Nasional (PON)
selalu diadakan di Jakarta. Aktivitas olah raga yang terpusat di Jakarta
mengakibatkan pembinaan olah raga di daerah-daerah, khususnya di
luar Pulau Jawa tersendat, bahkan tidak berjalan. Di sini, prestasi-prestasi
anak bangsa yang pernah di raih dalam Olimpiade atau Ganefo di jaman
Soekarno surut di tingkat internasional (Carsiwan, 2004). Kalaupun ada
hanya di beberapa cabang olah raga, salah satunya adalah bulu tangkis
yang sempat menjadi raja di Asia bahkan dunia.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


127
1111 Jurnal.indb 127 19/11/2011 14:49:05
Dari “Manusia Pesakitan” Menuju “Bangsa Kuat”:
Mengintip Kebangkitan China Lewat Olah Raga

Alih-alih menjadi platform negara Alih-alih menjadi platform negara


dalam membangun Indonesia yang dalam membangun Indonesia yang
kuat lewat dunia olah raga, pasca
kuat lewat dunia olah raga, pasca rejim Orde Baru, prestasi Indonesia
rejim Orde Baru, prestasi Indonesia dalam bidang olah raga bukan
semakin baik, melainkan semakin
dalam bidang olah raga bukan terpuruk di antara negara-negara
semakin baik, melainkan semakin berkembang lainnya. Olah raga
belum dijadikan strategi politik dan
terpuruk di antara negara-negara ataupun alat untuk menunjukkan
berkembang lainnya. eksistensi Indonesia di mata dunia.
Malah, olah raga dijadikan alat
politik oleh sekelompok oknum partai politik untuk menangguk untung
dari masyarakat bahwa karena partai politiknyalah yang membuat sebuah
tim nasional olah raga Indonesia menjadi (agak) lebih baik, contohnya
adalah timnas sepak bola Indonesia dalam Pertandingan Asean Football
Federation 2010. Ironisnya, kondisi ini ditambah dengan budaya
pragmatisme yang menginginkan sesuatu serban instan di Indonesia. Ini
tampak dengan adanya proses naturalisasi pemain asing dalam timnas
sepak bola Indonesia untuk mencapai prestasi di tingkat Internasional.
Sementara kaderisasi dari usia muda tidak pernah menjadi perhatian
utama.
Pada titik ini, Indonesia mesti bercermin pada masa lalu untuk menatap
masa depan yang lebih baik dalam membangun negara. Sementara
Republik Rakyat China dijadikan standar dan sumber inspirasi bagaimana
menyembuhkan diri dari bangsa yang sakit menjadi bangsa yang kuat.
Kekuatan olah raga adalah satu indikator untuk menciptakan negara-
bangsa yang kuat di tengah kekuatan negara-negara lain.



128 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 128 19/11/2011 14:49:05


Wahyudi Akmaliah Muhammad

Daftar Pustaka
Carsiwan, ”Dimana Porsi Pembangunan Olah Raga di Mata Pemerintah” 7
Oktober 2004. Dikutip dari http://fpok.upi.edu/dimana_porsi.htm
pada 11 Oktober 2011
Guoki, Xu. Olympic Dreams: China and Sport 1895-2008. London: Harvard
University Press, 2008
I.Wibowo. “60 Tahun RRC”, Kompas 1 Oktober 2009
Jarvi, Grane, Dong-Jhy Hwang, and Mell Brennan. Sport, Revolution, and
Beijing Olympic. United State: Oxford International Publisher, 2008
Lane, Christopher. “China’s Challengge to US Hegemony”, Current History,
Januari, hal.13-18, 2008
Morrison, Wayne M. China’s Economic Conditions. Conggresional Research
Service. June 24, 2011. Dikutip dari http://www.fas.org/sgp/crs/row/
RL33534.pdf, pada 10 Oktober 2011
Pauker, Ewa T. ”Ganefo I, Sports and Politics in Jakarta”, Asian Survey, Vol.5,
No.4. (April.,1965), pp. 171-185

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


129
1111 Jurnal.indb 129 19/11/2011 14:49:05
Film “Mata Tertutup”
untuk Membuka Mata*
Maria Hartiningsih

Siapa dan apa yang membuat radikalisme agama tumbuh dan berkembang?
Siapa yang bertanggung jawab kalau benih-benih intoleransi dan
kekerasan semakin subur di negeri yang dibangun atas dasar pluralism
ini?
Film besutan sutradara Garin Nugroho, Mata Tertutup, berusaha
menjawabnya meski jawaban itu menimbulkan serangkaian pertanyaan
baru yang tak bisa dijawab tuntas. Realitas sosial yang dinamis tak bisa
ditangkap hanya dalam satu kurun waktu. Pola dan genealogi persoalan
tergambar cukup jelas dalam Mata Tertutup meskipun cara-cara perekrutan
tidak eksplisit terjelaskan.
Film berdurasi 90 menit yang diproduksi bersama MAARIF Production
dan SET Film ini menyiratkan kenyataan sekaligus metafora. Peristiwa
menghilangnya pelajar, mahasiswi, dan perempuan muda diawali modus
mirip penculikan dengan mata ditutup untuk “hijrah” ke dunia yang
menjanjikan “masa depan, kesejahteraan, dan keadilan”.
Mata yang tertutup memudahkan proses cuci otak dengan pikiran sempit
yang menghalalkan kekerasan atas nama agama. Proses itu memudahkan
upaya manipulasi demi pemenuhan hasrat kekuasaan suatu kelompok
kepentingan.
Mata tertutup lantas menyimbolkan ketertutupan hati dan pikiran
oleh fanatisme dan radikalisme (agama). Ia membuat anak mampu
meninggalkan ibu dan kehidupan untuk mengejar “surga” yang dibangun
dari mimpi-mimpi kekosongan jiwa manusia.

130
1111 Jurnal.indb 130 19/11/2011 14:49:05
Maria Hartiningsih

Kisah Nyata
Cerita film ini diadaptasi dari kisah nyata berdasarkan penelitian
MAARIF Institute, lembaga yang berkarya untuk kemajemukan agama,
etnisitas, dan budaya, untuk mengangkat martabat kemanusiaan.
Para tokohnya merupakan perpaduan karakter dua-tiga sosok asli dalam
survey; diwakili tiga karakter utama, Rima, Jabir dan Ibu Asimah; berlatar
kehidupan Yogyakarta.
Rima (diperankan Eka Nusa Pertiwi) adalah remaja berpikiran terbuka,
tetapi gundah mencari identitas perannya. Ia sempat menjadi bagian dari
konsolidasi gerakan Negara Islam Indonesia (NII), tetapi segera sadar
karena kebebasan yang ia cari berakhir di ujung pemenjaraan ide dan
diskriminasi.
Kisah kedua adalah Jabir (Dinu Imansyah), seorang pemuda yang
terpaksa pergi dari pondok pesantren karena tak mampu membayar.
Ia sangat mencintai ibunya, seorang buruh gendong. Dalam kondisi
ekonomi sangat sulit, ditambah penindasan sang ayah, Jabir berkenalan
dengan Juki (Kidung Darma Romansyah), anggota kelompok radikal.
Juki membawa Jabir menjadi “pengantin” bom bunuh diri, demi “surga”
untuk sang ibu.
Kisah ketiga adalah kisah Ibu Asimah, diperankan sangat baik oleh
Jajang C Noer, seorang ibu yang kehilangan Aini (Andryani Isna), anak
satu-satunya, saat ia berada pada proses perceraian. Aini yang limbung
menyaksikan kondisi keluarganya menjadi korban penculikan kelompok
NII.
Perjalanan Asimah mencari Aini merangkai jalinan kasih, membuat
beberapa adegan sangat menyentuh, terutama ketika akhirnya Aini
pulang dalam kondisi ketakutan. Asimah memeluknya erat dan bergetar
mengatakan, “Kita lawan, Nak.”

Lebih dari Film


Meski sebagian kisah dalam film ini mengungkap latar belakang orang
yang secara sukarela melakukan bom bunuh diri, Mata Tertutup tak bisa
dibandingkan dengan film sejenis, seperti Paradise Now (2005), terutama
karena konteks politik yang berbeda.

MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011


131
1111 Jurnal.indb 131 19/11/2011 14:49:06
Film “Mata Tertutup” untuk Membuka Mata

Karya sutradara Palestina, Hany Abu-Assad, tentang dua relawan Palestina


yang melakukan bom bunuh diri itu membuat Assad dituduh merayakan
terorisme sekaligus mengkhianati resistensi melawan pendudukan Israel.
Garin bersama MAARIF Institute juga menanggung resiko karena
mengungkap persoalan yang oleh para analis politik dikatakan sebagai
“mainan” politik kekuasaan.
Mata Tertutup juga tidak dimaksudkan sebagai film dokumenter, seperti
The Path to Darkness (2004) atau The Bombing (1999). Mata Tertutup
mengangkat kisah nyata dari lembar mencemaskan dalam cerita Indonesia
kontemporer.
Perpaduan masalah individual, kultural, dan struktural terkait
ketidakharmonisan keluarga, kesulitan ekonomi, kefrustasian sosial-
politik, dan piciknya pandangan ibarat rumput kering yang siap
terbakar. Apalagi, dalam demokrasi liberal yang berangkulan dengan
fundamentalisme pasar, iklim kompetisi menyempitkan ruang aspirasi
kaum muda. Yang terbuka lebar justru ruang bagi radikalisme (termasuk
atas nama agama).
Film ini, menurut Garin, adalah media pendidikan warga Negara, yang
seharusnya diedarkan di sekolah-sekolah dan kampus, agar ditonton
sebanyak mungkin orang muda yang berada dalam tahap pencarian diri.
Seperti dikemukakan pendiri MAARIF Institute, Buya Syafii Maarif,
Negara seharusnya mengambil alih peredaran film ini. Apalagi, hasil
riset berbagai lembaga memperlihatkan, radikalisme (agama) dimulai
di sekolah, dilakukan dalam kegiatan ekstrakurikuler, atau disisipkan
dalam sejumlah mata pelajaran, khususnya agama.
“Agar anak muda semakin cerdas dan tak mudah terpancing oleh doktrin
hitam-putih, karena dunia ini tidak hitam-putih. Mereka menggali kubur
masa depannya kalau terjebak di situ,” kata Buya.



*Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, Minggu, 13 November 2011

132 MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011

1111 Jurnal.indb 132 19/11/2011 14:49:06


Profil Penulis

Adinda Tenriangke Muchtar


Born in Jakarta, May 31, 1978. She is Program Director of The Indonesian Institute
since (TII) 2007. She is also Political Analyst and Researcher at TII. Her fields of
expertise are governance, especially related to legislative institutions, decentralization,
border areas, local conflict and terrorism, as well as international studies that connect
national and international issues. Adinda earned Master of International Studies
from University of Sydney on 2003 under ADS-AusAID scholarships. She attained
her first degree from Department of International Relations, University of Indonesia
in 2001. Adinda is also Part-Time Lecturer at Department of International Relations,
University of Paramadina since 2009

Prof. Dr. Bambang Cipto, MA


Dosen pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UMY sejak 1986.
Dosen pada Program Doktor Politik Islam UMY sejak 2007. Menyelesaikan Sarjana di
UGM (1986), Program Master Fulbright di the Ohio State University (1990), Program
Doktor di UGM (2002). Visiting Fulbright Scholar pada Program for Southeast Asian
Studies, Arizona State University (1997). Visiting Fulbright Scholar pada Center for
Asian Studies, Arizona State University (2003). Menulis beberapa buku, antara lain,
Hubungan Internasional di Asia Tenggara (Pustaka Pelajar, 2007, 2010). Tekanan
Amerika Terhadap Indonesia (Pustaka Pelajar 2003), Dunia Islam dan Masa Depan
Hubungan Internasional (LP3M UMY, 2011), dan berbagai artikel, makalah, dan
buku lainya

Budi Asyhari-Afwan
Penulis adalah Peneliti CRCS, Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, peminat
budaya dan politik Asia Timur.
Bisa dikontak melalui alamat
email: budi_asyhari@yahoo.com

Choirul Mahfud
Penulis adalah pengkaji multikulturalisme dan studi Cina,
tinggal di Surabaya. Bisa dihubungi melalui
alamat e-mail: choirul_mahfud@yahoo.com

MAARIF Vol. 5, No. 2 — Desember 2010


133
1111 Jurnal.indb 133 19/11/2011 14:49:06
Profil Penulis

Fahd Pahdepie
Peneliti di Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SMTP LIPI).
Kini tinggal di Kawasan Puspiptek Gedung 410
Lantai 2 Serpong Tangerang Selatan.
Bisa dihubungi melalui alamat e-mail: fahd.pahdepie@lipi.go.id

Fajar Riza Ul Haq


Direktur Eksekutif MAARIF Institute for Culture and Humanity. Lulusan FAI
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Meraih gelar Master pada Center for Religious
and Cross Culture Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada. Pernah aktif pada Pusat
Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS (2002-2006). Menjadi Direktur Program
MAARIF Institute (2006-2009). Beberapa tulisannya tersebar di berbagai media cetak
nasional seperti Kompas dan Republika.

Muhd. Abdullah Darraz


Direktur Program Pengembangan Kajian Keislaman MAARIF Institute
for Culture and Humanity. Selama setahun terakhir ini dipercaya sebagai Pemimpin
Redaksi Jurnal MAARIF. Menyelesaikan studi sarjana
pada Fakultas Kajian Keislaman (Dirasat Islamiyah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saat ini tengah berupaya merampungkan studi pasca-sarjana
program Master Filsafat Islam di The Islamic College Jakarta.

Wahyudi Akmaliah Muhammad


Associate Researcher Maarif Institute.
Peneliti pada Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, LIPI.
email: wahyudiakmaliah@gmail.com

134 MAARIF Vol. 5, No. 2 — Desember 2010

1111 Jurnal.indb 134 19/11/2011 14:49:06


Profil Media

MAARIF: ARUS PEMIKIRAN ISLAM DAN SOSIAL adalah jurnal


refleksi-kritis Pemikiran Islam dan Sosial. Jurnal ini diterbitkan oleh
MAARIF Institute for Culture and Humanity, dengan frekuensi terbit 3
kali setahun (April, Agustus, Desember).

Jurnal MAARIF merupakan ruang bagi diskursus pemikiran kritis para


cendekiawan, agamawan, peneliti, dan aktivis mengenai isu-isu keislaman,
keindonesiaan, dan kemanusiaan. Di antara beberapa cendekiawan yang
pernah berkontribusi dalam penerbitan jurnal ini adalah Abdul Munir
Mulkhan, Ahmad Jainuri, Ahmad Syafii Maarif, Andreas A. Yewangoe,
Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam, Donny Gahral Adian, F. Budi
Hardiman, Franz Magnis-Suseno, M. Amin Abdullah, M.C. Ricklefs,
Mohamad Sobary, Ratna Megawangi, Reed Taylor, Saparinah Sadli,
Syafiq A. Mughni, Yudi Latif, dan beberapa tokoh lainnya.

Hingga saat ini keberadaan Jurnal MAARIF telah menginjak volume ke-6.
Hal ini menandaskan eksistensi jurnal MAARIF yang telah berusia enam
tahun. Dalam rentang waktu yang demikian tersebut, jurnal MAARIF
telah mengalami serangkaian perubahan ke arah penyempurnaan dirinya.
Dan sampai saat ini proses tersebut masih terus digalakkan.

Jurnal MAARIF diarahkan untuk menjadi corong bagi pelembagaan


pemikiran-pemikiran kritis Buya Ahmad Syafii Maarif dalam konteks
keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Beberapa isu yang menjadi
konsen jurnal ini adalah tentang kompatibilitas Islam dan demokrasi, hak
asasi manusia, dan pluralisme. Isu-isu lain yang juga menjadi perhatian
jurnal ini adalah soal kemiskinan, kekerasan atas nama agama, terorisme
dan berbagai persoalan kebangsaan dan kemanusiaan yang mengemuka
dalam kehidupan Indonesia kontemporer.

Jurnal MAARIF berupaya untuk mendorong terciptanya pembaruan


pemikiran yang berkorelasi positif bagi terwujudnya praksis sosial-
Islam yang berkeadilan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, jurnal
MAARIF diharapkan mampu menjadi ruang bagi aktualitas diskursus

MAARIF Vol. 5, No. 2 — Desember 2010


135
1111 Jurnal.indb 135 19/11/2011 14:49:06
Profil Media

gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia yang mengarah pada


perwujudan keadilan social dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Dalam kerangka pemikiran di atas, jurnal MAARIF diharapkan mampu


berkontribusi bagi penyegaran pemikiran keagamaan dan kemanusiaan
dalam konteks keindonesiaan yang majemuk.

Profil Media
• Nama media, penerbit, dan motto
Nama media : Jurnal MAARIF
Penerbit : MAARIF Institute for Culture and Humanity
Motto : Arus Pemikiran Islam dan Sosial
Bentuk : Jurnal Refleksi-Kritis

• Format dan jumlah halaman


Cover : Hard Cover
Format : Jurnal
Kertas : HVS 70 gram
Isi : 150-200 halaman

• Waktu terbit dan jumlah eksemplar


Waktu terbit : 3 kali setahun (April, Agustus, Desember)
Jumlah eksemplar : 2.000 eks. (distribusi melalui jaringan toko
Buku Gramedia)

Tujuan dan Target Media


1. Menumbuhkan diskursus pemikiran keislaman, keindonesiaan dan
kemanusiaan yang merupakan konsen intelektualitas dan aktivitas
Ahmad Syafii Maarif di kalangan masyarakat.
2. Menjadi corong dan ruang bagi dialektika pemikiran-pemikiran
kritis tentang Islam, demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme.
3. Menyuarakan isu-isu perubahan kebijakan publik dalam rangka
mewujudkan keadilan sosial di Indonesia.

136 MAARIF Vol. 5, No. 2 — Desember 2010

1111 Jurnal.indb 136 19/11/2011 14:49:06


Profil Media

Karakter Media
• Reflektif-Kritis
Jurnal ini mencoba melakukan refleksi kritis terkait isu-isu
keislaman dan sosial-kemanusiaan yang berkembang di Indonesia.
• Analitis
Jurnal ini mencoba melakukan kajian secara mendalam terhadap
berbagai permasalahan yang berkembang, terutama terakait isu-isu
Islam dan demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan berbagai
masalah kebangsaan yang berkembang dewasa ini.
• Informatif
Jurnal ini berupaya memberikan keterangan, penjelasan, dan
deskripsi dalam bentuk informasi mengenai tema-tema tertentu
dalam lingkup kajian keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
• Transformatif
Jurnal ini berupaya melakukan transformasi ilmu menuju sebuah
perubahan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rubrikasi
• Refleksi Utama
Menyajikan lima sampai sepuluh tulisan utama refleksi kritis
beberapa cendekiawan, agamawan, akademisi, dan peneliti yang
membahas tema utama hasil riset redaksi. Refleksi Utama akan
menjadi mainstream kajian dalam jurnal MAARIF ini.
• Riset
Rubrik ini berisi tulisan-tulisan mengenai tema utama yang diangkat
berdasarkan riset dan kajian empiris.
• Perspektif
Rubrik ini menghadirkan artikel-artikel dengan tema tertentu yang
bukan menjadi tema utama, dengan memberikan perspektif yang
berbeda.
• Epilog
Sebuah kolom yang khusus menampung pemikiran reflektif Buya
Syafii Maarif.
• Resensi
Rubrik ini membahas buku-buku terbaru mengenai tema-tema yang
sesuai dengan isi dari Refleksi Utama pada Jurnal MAARIF ini.

MAARIF Vol. 5, No. 2 — Desember 2010


137
1111 Jurnal.indb 137 19/11/2011 14:49:06
Profil Media

Pemasaran

Target Pembaca
1. Kalangan Muhammadiyah (anggota dan pengurus)
2. Cendekiawan dan intelektual di Indonesia
3. Tokoh Lintas Agama,
4. Akademisi (guru, pelajar, dosen, dan mahasiswa)
5. Aktivis-aktivis yang tergabung dalam jaringan
organisasi civil society MAARIF Institute

Klasifikasi Pembaca
• Segmen inti : Muhammadiyah dan Jaringan organisasi civil
society MAARIF Institute seluruh Indonesia.
• Segmen pelapis : Akademisi, Pelajar, Guru, Tokoh Intelektual,
Mahasiswa, dan Forum kajian di internal &
eksternal kampus.

Karakteristik Pembaca
• Kalangan Muhammadiyah yang memiliki antusias terhadap tumbuh
dan berkembangnya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.
• Jaringan organisasi civil society yang concern terhadap perubahan
sosial di Indonesia ke arah yang lebih baik dan adil.
• Kalangan akademisi yang respek terhadap perkembangan isu-isu
kontemporer soal keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
• Kalangan lintas-agama yang concern atas isu-isu keragaman,
pluralitas, multikultural.

138 MAARIF Vol. 5, No. 2 — Desember 2010

1111 Jurnal.indb 138 19/11/2011 14:49:06


Petunjuk dan Format Penulisan Artikel

Petunjuk dan Format


Penulisan Artikel
1. MAARIF hanya memuat artikel atau esai hasil refleksi, riset, atau
kajian kritis yang belum pernah dipublikasikan mengenai tema-tema
yang ditetapkan oleh redaksi berdasarkan Term of Refference yang
dibuat.
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan
panjang tulisan 1.500 – 2.000 kata (5-7 halaman, 1 spasi, A4);
dilengkapi dengan abstrak maksimal 100 kata, dan kata-kata kunci
maksimal 7 kata.
3. Artikel memuat: Judul, Nama Penulis (beserta deskripsi biodata
singkat dan alamat e-mail pribadi), Abstrak (dalam bahasa
Indonesia), Kata-kata Kunci (dalam bahasa Indonesia), Pendahuluan
(tanpa anakjudul), Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), Penutup,
dan Daftar Pustaka (bahan rujukan).
4. Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap dalam
Catatan Kaki dengan urutan: Nama Lengkap Pengarang, Judul
Lengkap Sumber, Tempat Terbit, Penerbit, Tahun Terbit, dan nomor
halaman. Rujukan dari internet harap mencantumkan halaman http
secara lengkap serta tanggal pengaksesannya.
5. Kutipan lebih dari empat baris diketik dengan spasi tunggal dan
diberi baris baru. Kutipan empat baris atau kurang dituliskan sebagai
sambungan kalimat dan dimasukkan dalam teks memakai tanda
petik.
6. Daftar Pustaka diurutkan secara alfabetis, dan hanya memuat
literatur yang dirujuk dalam artikel. Contoh:
Lijphart, Arend. Democracy in Plural Societies. New Haven: Yale
University Press, 1977.
Skolimowski, Henryk, David Skrbina, and Juanita Skolimowski.
World As Sanctuary: The Cosmic Philosophy of Henryk Skolimowski.
Detroit: Creative Fire Press, 2010.
Glazer, Sidney, and A L. Tibawi. “Review of American Interests in
Syria, 1800-1901: a Study of Educational, Literary and Religious
Work.” The American Historical Review. 73.1 (1967): 187-188.

MAARIF Vol. 5, No. 2 — Desember 2010


139
1111 Jurnal.indb 139 19/11/2011 14:49:06
Catatan

140
1111 Jurnal.indb 140 19/11/2011 14:49:06

Anda mungkin juga menyukai