Redaksi mengundang para cendekiawan, agamawan, peneliti, dan aktivis untuk mengirimkan tulisan
baik berupa hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute for Culture
and Humanity. Tulisan merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Penulisan
mengacu pada standar ilmiah yang telah ditetapkan oleh redaksi dengan panjang tulisan 1.500 – 2.000
kata (5-7 halaman, 1 spasi, A4). Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa mengurangi atau
menghilangkan substansi. Jurnal MAARIF terbit 3 kali setahun (April, Agustus, Desember).
1
1111 Jurnal.indb 1 19/11/2011 14:48:51
Daftar Isi
Nasionalisme–Pragmatis:
Pilihan Model Kapitalisme a la Cina...................................... 73
Budi Asyhari-Afwan
2
1111 Jurnal.indb 2 19/11/2011 14:48:52
Indonesia dalam Perubahan
Geopolitik Global:
Pengantar Jurnal MAARIF
Muhd. Abdullah Darraz
3
1111 Jurnal.indb 3 19/11/2011 14:48:52
Pengantar Redaksi
2011 ini, yang secara khusus dihadiri oleh Presiden Barack Obama, bisa
ditafsirkan sebagai belum akan surutnya dominasi Amerika di kawasan
Asia, terutama Asia Tenggara. Munculnya Cina sebagai Superpower
ekonomi bisa menjadi kekuatan penyeimbang bagi hegemoni yang saat
ini terus diupayakan oleh Amerika Serikat di kawasan ini, meskipun
kemunculan Cina ini memunculkan ekses-ekses lain bagi negara-negara
di kawasan tersebut.
Bergulirnya perubahan peta geopolitik dan geoekonomi dunia ini jelas
memberikan harapan baru yang perlu disambut sekaligus memberikan
tantangan bagi Indonesia. Jikalau Indonesia berhasil melewati tantangan
tersebut, tidak menutup kemungkinan perekonomian Indonesia dapat
bersaing dan disejajarkan dengan kekuatan-kekuatan baru yang sedang
bangkit itu.
MAARIF Vol. 6, No. 2 — November 2011
9
1111 Jurnal.indb 9 19/11/2011 14:48:52
10
1111 Jurnal.indb 10 19/11/2011 14:48:52
Politik Ekonomi Indonesia
Di Antara Cina Dan Kekuatan–
Kekuatan Baru Lainya
Bambang Cipto
Abstrak
Kehadiran Cina sebagai raksasa Asia mengundang decak kagum dunia saat
Barat sedang terjerat kesulitan ekonomi. Kemampuan Cina mengatasi berbagai
gejolak ekonomi dunia dan mengubahnya menjadi keuntungan merupakan
prestasi yang memang patut dicontoh. Demikian pula India yang selama
beberapa tahun terakhir berlari di belakang Cina sebagai raksasa Asia lain.
Cina mengawali perubahan dramatis ini dengan pernyataan visioner Deng Xiao
Ping tentang keutamaan pragmatisme. Stabilitas politik, pragmatisme ekonomi
dan kerjasama internasional merupakan prinsip dasar penggerak ekonomi Cina.
Perencanaan terkontrol, dominasi perusahaan negara, dan penguatan SDM
berkualitas internasional mempercepat tercapainya status raksasa ekonomi Asia.
India mengambil jalan agak berbeda. Demokrasi India menuntut pelembagaan
perdebatan pendapat yang cenderung membangun birokrasi yang relatif lambat.
Namun India menjadikan sektor swasta sebagai penggerak utama perekonomian
India. Sebagaimana Cina, India juga menjadikan pembangunan SDM berkualitas
internasional sebagai motor penggerak perekonomiannya. Indonesia ditantang
untuk menciptakan stabilitas politik dalam periode tertentu, membangun SDM
berkualitas internasional dan memutuskan untuk memilih sektor swasta atau
perusahaan negara yang akan dijadikan energizer ekonomi masa depan.
Kata Kunci: raksasa ekonomi, asia, stabilitas politik, pragmatisme,
sektor swasta, elit visioner.
11
1111 Jurnal.indb 11 19/11/2011 14:48:52
Politik Ekonomi Indonesia Di Antara Cina
Dan Kekuatan-Kekuatan Baru Lainya
Pengantar
Sejarah memberi kita pelajaran yang bijak bahwa setiap bangsa akan
mengalami pasang surut dalam perkembanganya. Dalam proses pasang
surut tersebut ada kekuatan internal dan eksternal yang mempengaruhinya.
Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut dapat menjadi salah satu pedoman
kemajuan setiap bangsa. Namun nilai-nilai yang mulia harus senantiasa
dikedepankan jika suatu bangsa menghendaki tetap bertahan dalam
jangka waktu yang panjang. Jika sebaliknya, maka bangsa tersebut akan
menghadapi persoalan besar yang kelak akan membawanya ke situasi
yang menyurutkan perkembanganya. Itulah yang terjadi pada bangsa-
bangsa besar maupun kecil di masa lalu yang dapat kita simak dari buku-
buku sejarah maupun kitab-kitab suci.
Dewasa ini kita sedang menghadapi situasi terjadi berulang kali di
masa lalu dimana negara yang besar dan kuat seperti Amerika sedang
menghadapi kesulitan untuk mempertahankan posisinya sebagai negara
adidaya. Pada saat yang sama telah bermunculan pula raksasa-raksasa
baru yang semakin hari semakin sulit diabaikan. Cina, India, Brazil,
dan Rusia (BRIC) kini menjadi primadona pembicaraan dalam berbagai
diskusi, seminar, maupun karya-karya akademik yang menjadi bacaan
para pengambil keputusan di negara-negara industri terkemuka saat ini.
Bahkan Indonesia yang dihantam krisis pada tahun 1998 sepuluh tahun
kemudian menjadi bagian dari negara-negara G20. Kehadiran G20 dalam
percaturan ekonomi dunia menjadi pertanda melorotnya pamor G7
yang semula merupakan kelompok eksklusif negara-negara kaya. Padahal
pada saat krisis finansial Asia menimpa Indonesia, dan dipaksa menelan
mentah-mentah resep IMF yang dalam kenyataan justru memperburuk
keadaan. Situasi saat ini berbalik cepat, Indonesia dinilai sukses menjaga
stabilitas perekonomian dalam negeri saat Amerika dan Eropa terguncang
sendi-sendi perekonomiannya oleh
Sejarah memberi kita pelajaran krisis kredit macet di Amerika
tahun 2008 lalu. Bahkan Eropa pun
yang bijak bahwa setiap bangsa kini menghadapi krisis ekonomi
akan mengalami pasang surut yang tidak jelas kapan akan
dalam perkembanganya. Dalam berakhir. Ini bisa diartikan bahwa
Indonesia dengan segala kelebihan
proses pasang surut tersebut ada
dan kekuranganya berhasil selamat
kekuatan internal dan eksternal yang melewati tahap krisis ekonomi
mempengaruhinya global tahun 2008 yang membuat
1 Yan Xuetong, “The Rise of China and its Power Status,” The Chinese Journal of
International Politics, Volume 1, Number 1, summer 2011, http://cjip.oxfordjournals.org/
content/1/1/5.full
2 Baca artikel Arvind Subramanian, “The Inevitable Superpower,” Foreign Affairs, Vol. 90,
No. 5 (September/October 2011) dan Salvatore Babones, “The Middling Kingdom,”
Foreign Affairs, Vol. 90, No. 5 (September/October 2011).
3 Philip S. Golup, “China, the New Economic Giant,” Le monde diplomatique, October 2003,
http://mondediplo.com/2003/10/08china
4 Golup, Ibid.
5 Golup, Ibid.
6 Joe MacDonald, “China surgess past Japan as No. 2 economy; US next?, AP, 16 Agustus
2010, http://finance.yahoo.com/news/China-surges-past-Japan-as-No-apf-3259091683.
html?x=0
7 Mark Felsenthal, “Economists foretell of U.S. decline, China’s ascension,” Sun Jan 9, 2011,
http://www.reuters.com/article/idUSTRE7082BL20110109
8 Elisabeth C. Economy, “The Game Changer: Coping With China’s Foreign Policy
Revolution,” Foreign Affairs, November/December 2010, http://www.foreignaffairs.com/
articles/66865/elizabeth-c-economy/the-game-changer?page=show
9 Arvind Subramanian, “The Inevitable Superpower,” Foreign Affairs, Vol. 90, No. 5
(September/October 2011)
10 Zhou Wenzhong, “China’s Strategy of Peaceful Development and the Future of China
– US Relations,” Georgetown University, Washington, D.C., 2005, http://www.china-
embassy.org/eng/xw/t215310.htm
11 Kishore Mahbubani, The New Asian Hemisphere: The Irresistible of Global Power to the
East, New York: Public Affairs, 2008.
Walaupun konflik dengan Amerika Pada saat Barat sibuk memburu teroris,
sering tak terhindarkan. Cina juga Cina memperkuat perekonomian
tidak kesulitan mendekati Korea
domestik dan memperlebar jaringan
Utara karena tidak menerapkan
prinsip ideologi yang kaku seperti perdagangan internasional untuk
Amerika. Hubungan Cina dengan mematahkan dominasi Jepang sebagai
Brazil menguntungkan perdagangan
eksporter kelas dunia
kedua negara.
Perusahaan negara milik pemerintah Cina memainkan peran strategis
dalam menopang dan mendorong perdagangan internasional. Perusahaan-
perusahaan ini menjadi motor penggerak ekonomi Cina untuk memasuki
pasar-pasar internasional di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Mereka
melebarkan sayap selebar-lebarnya saat Barat menghabiskan triliunan
dolar AS untuk mengejar Saddam Hussein dan Osama bin Laden.
Pada waktu bersamaan Cina dengan bersemangat membuat perjanjian
perdagangan, mengimpor minyak dan bahan industri, membantu negara-
negara kecil yang membutuhkan. Semua ini dilakukan dengan semangat
kerjasama antar bangsa tanpa memperdulikan ideologi atau isu politik di
negara tujuan. Pragmatisme politik luar negeri Cina dalam sepuluh tahun
terakhir menghasilkan raksasa ekonomi baru yang benar-benar di luar
perkiraan Amerika. Bisa dikatakan bahwa pada saat Barat menyibukkan
dirinya memburu teroris, Cina justru memperkuat perekonomian
domestik dan memperlebar jaringan perdagangan internasional untuk
mematahkan dominasi Jepang sebagai eksporter kelas dunia. Kini
tinggal Amerika yang menjadi satu-satunya rival Cina dalam pertarungan
memperebutkan dominasi ekonomi dunia.
Kebangkitan India
India adalah raksasa ekonomi lain dari Asia. India dan Cina saat ini
bersaing keras untuk memperebutkan posisi terbaik dalam dominasi
ekonomi dunia. Namun dalam banyak hal India masih di belakang Cina.
Sekalipun demikian tidak sedikit yang dapat kita pelajari dari India.
Berbeda dengan Cina yang dikenal sebagai negara central planning, India
adalah negara demokrasi dalam artian formal.12 Di India perubahan
12 Konflik Hindu vs Muslim hingga kini belum sepenuhnya terselesaikan dan setiap saat
dapat kembali membara bila faktor pencetus dan pendukungnya bertemu.
13 Fareed Zakaria, The Post-American World, New York: W.W. Norton Company, 2008, hal. 137.
of Technology (IIT) juga sangat populer Baik Cina maupun India menjalankan
dengan lulusannya yang berkelas. IIT kebijakan liberalisasi ekonomi untuk
sangat sedikit menerima mahasiswa
baru bahkan jauh lebih baik dari mengundang masuk investor asing
Harvard dan Stanford dalam hal rasio
calon mahasiswa dan mahasiswa yang diterima. Hasil dari rekrutmen yang
sangat selektif ini membuat lulusan IIT mudah mendapatkan pekerjaan
di perusahaan multinasional. Tersedianya tenaga IT yang cukup banyak
mengundang perusahaan multinasional untuk melakukan investasi di
India. Sebagai contoh, GE Medical memiliki cabang di Bangalore yang
dilengkapi dengan laboratorium yang sama canggihnya dengan lab di
Amerika. Alasan utama pengalihan industri IT ke India adalah murahnya
gaji insinyur India dibanding insinyur Amerika dengan kualitas yang
nyaris tak berbeda. Seorang insinyur lulusan IIT mendapatkan gaji
10.000 US dolar pertahun yang sama dengan seperdelapan gaji karyawan
yang sama di Amerika.14 Sudah barang tentu kondisi ini membuat India
semakin menarik bagi investor dalam bidang IT. Akibatnya India saat ini
beberapa tahun lebih maju dalam bidang software dibandingkan Cina.
Demikian pula dalam sektor farmasi karena separuh dari kebutuhan
vaksin PBB dibeli dari sebuah perusahaan India.15
Strategi yang dijalankan India sebenarnya mirip dengan strategi yang
dijalankan Cina. Intinya adalah bagaimana memanfaatkan globalisasi
yang tidak mengenal batas-batas wilayah, bangsa, dan bahasa ini dapat
dieksploitasi untuk sebanyak mungkin keuntungan bangsa. Baik Cina
maupun India menjalankan kebijakan liberalisasi ekonomi untuk
mengundang masuk investor asing. Mereka berharap investasi asing
dapat dimanfaatkan untuk mendorong perekonomian dalam negeri.
Kedua negara juga sangat fokus dalam mengembangkan SDM yang
berkualitas. Cina sangat agresif mengirim mahasiswanya ke luar negeri.
India diuntungkan karena memiliki IIT yang berkualitas dunia dalam arti
sesungguhnya. Sebagai ilustrasi, gambaran kampus-kampus di Amerika
adalah banyaknya mahasiswa berkulit hitam dari India dan berkulit
kuning dari Cina.
16 Dikutip dari power point Dr. Shawn Chen, “International Education for a Better World,”
Pendiri dan Rektor SIAS International University, Cina yang disampaikan dalam 30th
AUAP Board Meeting and Conference, Daegu, Korea Selatan, Juli 2011.
Abstrak
Kebangkitan Cina dalam politik global telah dilihat sebagai salah satu faktor
yang menguatirkan, jika bukan ancaman bagi negara-negara adidaya maupun
bagi negara-negara tetangga Cina, khususnya di Asia. Kebangkitan Cina,
khususnya dalam kapabilitas ekonomi dan militer juga telah membawa dinamika
tersendiri dalam politik global, terutama dalam upaya mewujudkan tata dunia
yang lebih representatif dan mendorong peran Cina yang lebih aktif. Dalam
artikel ini, penulis fokus pada isu apakah kebangkitan ekonomi dan militer Cina
akan membuat Cina melakukan ekspansi politik atau menerapkan power-nya
secara agresif? Penulis berargumen bahwa terlepas dari kebangkitan Cina, Cina
akan menggunakan power-nya dengan berhati-hati untuk menghindari konflik
dengan negara-negara lain. Pertimbangan ini didasarkan pada kesadaran Cina
akan kesalingtergantungannya dengan negara-negara lain dalam sistem yang
multipolar dan bahwa Cina menjunjung tinggi lima prinsip hidup berdampingan
dengan damai dalam politik global. Di sisi lain, dalam beberapa kasus tertentu,
khususnya terkait kedaulatan dan wilayah, kebijakan luar negeri Cina terlihat
konsisten dan tidak menutup kemungkinan bagi Cina untuk menggunakan
kekuatan ekonomi dan militernya, seperti yang telah terbukti dalam perjalanan
sejarahnya. Namun, Cina juga akan berhati-hati dalam tindakannya di kancah
internasional dan tidak akan melakukan tindakan yang beresiko yang dapat
mengancam kepentingan nasionalnya sendiri, selain kapabilitas dan pencapaian
yang sudah diraihnya selama ini.
Kata Kunci: Cina, kebijakan luar negeri, kedaulatan, persepsi, tujuan,
kapabilitas, kepentingan nasional.
28
1111 Jurnal.indb 28 19/11/2011 14:48:54
Adinda Tenriangke Muchtar
Pendahuluan
Pembangunan strategis dan kemajuan dramatis Cina yang dimulai sejak
tahun 1979 di bawah kepemimpinan Deng Xiao Ping telah melahirkan
Cina sebagai salah satu pemain utama dalam hubungan internasional.
Kebijakan keterbukaan yang diterapkan Deng Xiao Ping telah menciptakan
kebangkitan Cina baik di bidang ekonomi maupun militer.
Di satu sisi, persepsi optimis dan Kebangkitan Cina dilihat sebagai
positif terhadap peran Cina dalam
kancah global disertai perubahan kesempatan emas untuk membawa
situasi internasional dapat mendorong Cina dalam pergaulan masyarakat
akomodasi yang dapat dilakukan internasional yang didasarkan pada
terhadap Cina. Misalnya masa
pemerintahan Nixon dan Clinton, norma-norma internasional.
dimana Amerika Serikat mencoba melibatkan Cina dalam masyarakat
internasional, seperti dengan masuk ke World Trade Organization (WTO).1
Kebangkitan Cina dilihat sebagai kesempatan emas untuk membawa
Cina dalam pergaulan masyarakat internasional yang didasarkan pada
norma-norma internasional. Cina diharapkan dapat ikut berperan aktif
dalam mengatasi permasalahan internasional dengan kapabilitas yang
dimilikinya, selain mengeruk keuntungan dengan bergabung dalam
lembaga-lembaga internasional.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, kehadiran Cina dilihat sebagai
ancaman, tidak hanya bagi negara-negara maju, namun juga negara-
negara tetangga Cina, khususnya di kawasan Asia. Kebangkitan Cina
dikuatirkan akan berjalan seperti Jerman dan Jepang yang menimbulkan
konflik yang tidak dapat dihindari.2 Cina dinilai akan menggunakan
kapabilitas ekonomi dan militernya untuk menekan negara-negara lain
demi mencapai kepentingan nasionalnya.
Dalam artikel ini, penulis memulai dengan pembahasan umum tentang
kebijakan luar negeri Cina dan karakteristik-karakteristik utamanya,
yang dijunjung tinggi oleh Cina dalam hubungan internasionalnya.
Penting untuk mengetahui kedua hal yang saling terkait ini paling tidak
karena dua alasan. Pertama, untuk lebih memahami bagaimana Cina
1 Tony Saich, Governance and Politics of China, Palgrave, New York, 2001, hal. 273.
2 Ibid.
3 Richard Rosecrance, “Power and International Relations: The Rise of China and Its
Effects”, dalam International Studies Perspectives, 7, Oxford: Blackwell Publishing, 2006,
hal. 31-33; Avery Goldstein, 1997/1998, “Great Expectations: Interpreting China’s
Arrival”, The Rise of China: An International Security Reader, diedit oleh Michael E. Brown,
Owen R. Cote, Jr., Sean M. Lynn-Jones, and Steven E. Miller, Cabridge: The MIT Press,
2000, hal. 29-39; Geoffrey Murray, China, The Next Superpower: Dilemmas in Change and
Continuity, Richmond: China Library, 1998, hal. 170-177. Lihat juga, Jonathan Holslag
and Gustaaf Geeraerts, “Discussion paper: Will China redefine great power politics?”,
BICCS, http://www.vub.ac.be/biccs/site/assets/files/Events/Discussion%20paper.pdf (5
Oktober 2011), hal. 6-9.
4 Saich, op.cit, hal. 284; “China’s Independent Foreign Policy of Peace”, http://www.fmprc.
gov.cn/eng/wjdt/wjzc/t24881.htm (4 Oktober 2011). Lihat juga, Murray, op.cit., hal. 190.
10 Ernie Bower and Lie Nathanael Santoso, 23 August 2011, “A Year Later, Reduced
Tensions at the ASEAN Regional Forum”, http://cogitasia.com/a-year-later-reduced-
tensions-at-the-asean-regional-forum-arf-china, (5 Oktober 2011).
11 Saich, op.cit., hal. 285-286.
12 Robert Benewick and Stephanie Hemelryk Donald, The State of China Atlas: Mapping the
World’s Fastest-Growing Economy, Revised and Updated, Berkeley, Los Angeles: University
of California Press, 2009, hal. 18. Lihat juga “China’s Foreign Affairs and International
Relations”, 25 August 2008, http://al.china-embassy.org/eng/zggk/t514667.htm, (4
Oktober 2011).
Latin. Di tahun yang sama, total impor Cina sebesar $956 miliar dengan
65 persen impor dari Asia; 15 persen impor dari Eropa; dan 8 persen dari
Amerika Utara.14
Kapabilitas ekonomi Cina yang Terkait defisit perdagangan ada per-bedaan
mendasar tentang bagaimana defisit perda-
semakin berkembang dan lebih
gangan dihitung, apakah struktural atau
terintegrasi dengan perdagangan terus meningkat. Majalah FEER edisi 29
April 1999: 62-63, mengulas hasil kajian
dan lingkungan global telah independen Lawrence Lau dan Fung Kwok-
membuat Cina melihat chiu yang menggunakan data-data Amerika
Serikat yang dapat diandalkan. Mereka
perubahan perannya dari obyek memperbaiki angka-angka terkait tiga faktor
ke subyek ekonomi internasional utama perdagangan, yaitu pengapalan dan
biaya transportasi lain, seperti asuransi; re-
ekspor lewat Hong Kong (setengah dari perdagangan bilateral); dan mark-
ups harga-harga barang lewat Hong Kong, yang menunjukkan bahwa de-
fisit perdagangan lebih rendah dari statistik yang diinformasikan Amerika
Serikat. Saat itu, angka resmi Amerika Serikat menyebutkan defisit sekitar
$60 miliar, sementara Cina mengklaim antara $20 sampai $25 miliar.15
Cina juga menikmati jumlah investasi asing langsung/foreign direct
investment (FDI) yang terus meningkat dan lebih besar secara signifikan
dibandingkan negara-negara tetangganya di Asia. Ketersediaan tenaga
kerja yang melimpah, tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen
dalam beberapa tahun, serta pasar modal yang masih muda merupakan
beberapa faktor yang mengundang masuknya perusahaan-perusahaan
asing ke Cina. Terlebih setelah Cina masuk dalam WTO pada tahun
2001. Di sisi lain, investasi langsung Cina di luar negeri juga berpengaruh
besar terhadap ekonomi global, serta memberi dampak politik, tidak
hanya di Afrika, namun juga Amerika Serikat, dan Australia.16
Kapabilitas ekonomi Cina yang semakin berkembang dan lebih terintegrasi
dengan perdagangan dan lingkungan global telah membuat Cina melihat
perubahan perannya dari obyek ke subyek ekonomi internasional. Dari
aktor ekonomi yang ingin mengundang investasi asing dan memperluas
pasar, sampai lahir sebagai pemain utama di pertengahan tahun 1990an,
20 Ibid.
21 “Menaguk Untung dari Konflik”, 21 September 2011, http://www.intelijen.co.id/
wawasan/1375-menaguk-untung-dari-konflik (19 Oktober 2011).
22 “China Sangkal Jual Senjata ke Libya”, 5 September 2011, http://international.okezone.
com/read/2011/09/05/413/498957/china-sangkal-jual-senjata-ke-libya (19 Oktober
2011).
23 “China Keberatan AS Jual Senjata ke Taiwan “, 7 September 2011, http://internasional.
kompas.com/read/2011/09/07/19090360/China.Keberatan.AS.Jual.Senjata.ke.Taiwan
(19 Oktober 2011).
24 Benewick and Donald, op.cit., hal. 18; “China’s Foreign Affairs and International
Relations”, op.cit.
25 Goldstein, op.cit., hal. 26. Lihat juga Murray, op.cit., hal. 169.
26 Goldstein, op.cit., hal. 28.
kebijakan luar negerinya. Hal ini tidak lepas dari permasalahan domestik
yang dihadapinya.
Tantangan Cina untuk menjadi Beberapa diantaranya adalah masalah
superpower juga berhadapan kesenjangan antara daerah perkotaan
dengan permasalahan domestik dan perdesaan, dimana dikotomi antara
masyarakat terdidik di perkotaan dan
yang menghambat kemajuannya,
masyarakat petani telah memiliki sejarah
seperti kesenjangan antara panjang, dimana mayoritas masyarakat
populasi dan sumber daya; ledakan miskin Cina berada di pedesaan, dan
potensial konflik etnonasionalisme keistimewaan terbatas di daearah-daerah
karena permasalah sosial, politik, metropolitan. Hal ini pula yang membuat
demografi, lingkungan. negara yang berpenduduk lebih dari 1,3
miliar orang ini (20 persen dari total
populasi dunia 6,5 miliar sesuai data WDI online database tahun 2006)
mengalami persebaran penduduk yang tidak merata di seluruh provinsinya,
dan lebih padat di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk Cina sesuai
jam populasi juga menunjukkan tantangan terhadap solusi yang ada.27
Cina juga mengalami tantangan protes dan kerusuhan terkait penentangan
pengambilalihan tanah, korupsi dan isu lingkungan dari 10,000 peristiwa
di tahun 1994 hingga 90,000 kasus di tahun 2006 seperti data dari
Economist. Cina juga menghadapi masalah seperti pemberontakan etnik
minoritas di Tibet dan Xinjiang; kontrol pemerintah atas informasi
terlepas dari promosi penggunaan internet.28 Terkait politik domestik,
ada tiga hal yang mempengaruhi perilaku eksternal Cina, yaitu suksesi
politik; kerentanan sistemik; dan desentralisasi kontrol politik dari pusat
ke aktor dan unit subnasional.29
Tantangan Cina untuk menjadi superpower juga berhadapan dengan
permasalahan domestik yang menghambat kemajuannya, seperti
kesenjangan antara populasi dan sumber daya; ledakan potensial
konflik etnonasionalisme karena permasalah sosial, politik, demografi,
lingkungan.30
dalam negeri Cina. Lebih jauh, Cina juga menunda pembicaraan dengan
Taiwan dan menunjukkan ketidaksenangan diplomatiknya dengan
Amerika Serikat. Bahkan Cina meluncurkan misilnya di Selat Taiwan
saat Presiden Lee kampanye untuk menjadi presiden Taiwan yang terpilih
secara demokratik untuk pertama kalinya.35
Kasus lain adalah saat Presiden Clinton mengajukan syarat standar hak
asasi manusia di tengah proses upaya Cina masuk dalam WTO. People’s
Daily terbitan 6 Desember 1999, halaman 7, memberitakan bahwa Cina
langsung menanggapi dengan mengambil posisi bahwa standar hak
asasi manusia adalah urusan dalam negeri masing-masing negara dan
tidak boleh dicampuri atas nama HAM, dan bahwa apa yang dilakukan
oleh Amerika Serikat lewat pernyataan Clinton merupakan bagian dari
proteksi perdagangan yang tersembunyi.36
Di sini terlihat jelas, bahwa untuk isu Untuk isu kedaulatan, wilayah,
kedaulatan, wilayah, dan stabilitas,
Cina cenderung konsisten dan tegas, dan stabilitas, Cina cenderung
serta berani mengambil tindakan yang konsisten dan tegas, serta berani
dapat menyampaikan pesan bahwa
Cina tidak menghendaki campur mengambil tindakan yang dapat
tangan negera lain, termasuk AS menyampaikan pesan bahwa Cina
dalam hubungan dalam negerinya. Hal
ini juga merupakan refleksi dari salah tidak menghendaki campur tangan
satu karakteristik hidup berdampingan negera lain, termasuk AS dalam
secara damai yang dijunjung tinggi
Cina, yang menekankan pada aspek hubungan dalam negerinya
kemandirian dan tidak mencampuri
urusan dalam negeri.
Dalam menganalisis kebangkitan ekonomi dan militer Cina, maka
harus digarisbawahi bahwa keinginan Cina untuk berperan aktif dan
agresif dalam hubungan internasional perlu didudukkan dengan
mempertimbangkan perceived power dan kepentingan nasional Cina, serta
konteks isu yang ada. Termasuk didalamnya faktor domestik politik Cina,
seperti masalah domestik Cina dan kepemimpinan Cina. Cina juga harus
mempertimbangan faktor eksternal, termasuk persepsi, kepentingan, dan
reaksi negara lain terhadap kebijakan luar negeri Cina.
Dalam hal ini, kembali ke acuan konteks, Cina juga akan mempertim-
bangkan kapabilitas power militernya. Meskipun dalam sejarahnya
Cina telah menunjukkan determinasinya untuk menggunakan dan
menunjukkan kekuatan militernya, Cina juga harus mempertimbang-
kan kadar kapabilitasnya, serta faktor dan reaksi Amerika Serikat
yang tidak dapat Cina tandingi dengan mudah. Misalnya ketika
harus berhadapan dengan Amerika Serikat atau Taiwan yang sistem
persenjataannya dapat mengalahkan Cina dengan mudah.37
Terkait kapasitas nuklirnya, Cina merupakan anggota klub nuklir eksklusif,
yang memiliki arsenal nuklir ketiga terbesar di dunia, dan personel
angkatan bersenjata 3 juta orang. Namun, tetap sulit memastikan akurasi
data ini secara universal karena kurangnya transparansi dan perbedaan
gap kategori inklusif dan ekslusif. Meskipun secara kuantitas dan kualitas
meningkat, Cina harus memastikan bahwa ia memiliki kemampuan
yang memadai untuk melakukan penangkalan dan memperoleh status
superpower.38 Dalam hal ini, Cina harus mempertimbangkan benar,
bahwa ada kesenjangan kapasitas dan kualitas militer yang signifikan,
tidak hanya dari sisi belanja militer, namun juga dari tingkat teknologi
persenjataan yang dimilikinya.
Intinya, meskipun Cina memiliki keinginan untuk berperan aktif dalam
kancah global, Cina harus benar-benar mempertimbangkan pengaruh
penerapan kebijakan luar negerinya terutama yang dinilai ekspansionis
dan agresif terhadap aktor-aktor lain, serta kapabilitas dan kepentingan
yang dimilikinya. Apalagi Cina juga menyadari bahwa kapabilitas dan
kemajuan yang diperolehnya tidak lepas dari keberhasilan pembangunan
ekonomi dan kebijakan Cina yang terbuka dalam hubungan luar
negeri.
Begitu banyak kepentingan ekonomi pragmatis yang saling terkait
dengan sistem global yang membuat Cina tidak akan mempertaruhkan
keberhasilannya selama ini. Selain itu, akan sangat kecil kemungkinannya
Cina bertindak agresif-ekspansionis karena Cina ingin lebih terlihat
berwajah ramah, meskipun terbilang memiliki kekuatan ekonomi dan
militer yang relatif signifikan.
Menurut Shirk (2008), saat ini Cina dilihat lebih ramah dan dikenal,
tidak terlalu totaliter, lebih kapitalis, tidak terlalu monolitik dan lebih
39 Shirk, op.cit., hal. 5. Lihat juga Murray, op.cit., hal. 16; dan Holslag and Geeraerts, op.cit.,
hal. 1, 4-7.
40 New York Times, seperti dikutip dalam Saich, 2001, hal. 276.
Dalam kondisi krisis atau akan krisis, Dari beberapa kasus terkait isu
kedaulatan dan stabilitas di atas, da-
Cina akan menampilkan wajah yang pat dilihat bahwa Cina bahkan tidak
lebih agresif dan muncul dengan sungkan menggunakan otoritasnya
dalam forum multilateral, seperti PBB,
potensi yang berbahaya, apalagi dengan menggunakan hak vetonya se-
bagai anggota tetap Dewan Keamanan
ketika isu yang ada melibatkan
PBB untuk memperjuangkan kepen-
Jepang, Taiwan, atau Amerika Serikat tingannya. Di sisi lain, Cina juga tidak
akan mempertaruhkan pencapaiannya
dalam bidang ekonomi yang makin terintegrasi dengan sistem ekono-
mi internasional dan hubungannya dengan negara-negara lain dengan
menerapkan kebijakan luar negeri yang agresif dan eskpansionis.
Cina dan negara-negara lain juga sudah belajar dari sejarah perang,
serta melihat bahwa perdamaian dan kerja sama lebih baik daripada
konflik maupun perang akibat kebijakan luar negeri yang menggunakan
pendekatan kekerasan dan ekspansionis. Dengan kata lain, Cina akan
menggunakan pendekatan kebijakan luar negeri yang pragmatis dan
berwajah ramah sesuai dengan kepentingan nasionalnya.
Terkait dengan itu, keanggotaan Cina di lembaga-lembaga internasional
juga menahan Cina untuk menentang aturan yang ada, terkecuali jika
bertentangan dengan dan mengancam kedaulatan dan kepentingan
ekonomi Cina. Meskipun, keinginan Cina untuk menjadi penentu dan
pelaku dalam standar tata kelola internasional juga terbatas, mengingat
Cina hanya memiliki beberapa personel administrasi yang dapat bekerja
efektif di organisasi internasional sesuai kepentingan Cina.42 Dari sini,
dapat dilihat kembali bahwa faktor kapasitas dan kualitas sumber daya
juga berpengaruh dalam menakar keinginan Cina untuk melakukan
kebijakan luar negeri yang agresif.
Pragmatisme Cina dalam kebijakan luar negerinya, dapat dilihat misalnya
lewat masuknya Cina dalam WTO. Hal ini dilakukan tidak lepas
dari kepentingan Cina untuk memperluas akses pasarnya di pelbagai
43 Saich, op.cit., hal. 291-292. Lihat juga “China’s Independent Foreign Policy of Peace”,
op.cit.
44 Ibid., hal. 272.
45 Ibid., hal. 274.
46 Ibid.
47 Holslag and Geeraerts, op.cit., hal. 3.
Persepsi Cina terhadap status great power juga diciptakan oleh empat
faktor, yaitu konteks sejarah yang membuat Cina layak berada dalam
status great power; pertimbangan peningkatan kapabilitas ekonomi dan
militer; modernisasi kapabilitas militer; serta peristiwa katalis, seperti
keputusan International Monetary Fund (IMF) untuk merubah kekayaan
nasional dari nilai tukar ke purchasing power parity, yang menempatkan
Cina sebagai negara dengan peringkat ketiga GDP terbesar di dunia;
serta reaksi ekstrim Cina di Taiwan tahun 1995-1996, dimana Cina
memamerkan kekuatannya dan siap menggunakan kapabilitas militernya
atas nama kepentingan internasionalnya.52
Di sisi lain, pendapat apakah Cina menjadi great power juga harus
mempertimbangkan faktor eksternal, seperti persepsi negara-negara
lain dalam melihat Cina dan mendefinisikan makna dari great powers
itu sendiri. Serta kapabilitas dan kepentingan mereka dalam kaitannya
dengan hubungan bersama Cina. Misalnya, saat Presiden Clinton akhirnya
mengumumkan ‘three-nos’, yang tidak mendukung adanya dua Cina; tidak
mengakui kemerdekaan Taiwan, dan tidak mendorong masuknya Cina
ke organisasi internasional pada saat kunjungannya ke Cina tahun 1998.
Hal ini menjadi pilihan sikap Clinton karena Amerika Serikat lebih
kuatir terhadap terjadinya peperangan daripada memberikan dukungan
kemerdekaan pada Taiwan, terutama setelah melihat reaksi Cina yang
ekstrim terkait isu Taiwan.53
Terkait dengan itu, Cina juga harus menakar kapabilitasnya. Misalnya,
terkait alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan pada tahun
2004. Cina mengalokasikan $103 miliar, sebelumnya $17,9 miliar di
tahun 1995. Jumlah ini mendekati Jepang yang mengalokasikan $113
miliar di tahun yang sama, meskipun jumlah alokasi tersebut kurang dari
sepertiga dana yang dialokasikan oleh Amerika Serikat.54
Selain itu, dari aspek ekonomi, Ma Kai, perencana ekonomi terkemuka
Cina, meramalkan di bulan Februari 2006, China masih akan mempunyai
100 juta penduduk miskin yang hidup di bawah $1 per hari, meskipun
berdasarkan data Bank Dunia, sejak tahun 1979, reformasi Cina telah
mengangkat 400 juta orang miskin.55 tidak dapat dipungkiri bahwa dengan
Tidak mudah bagi Cina untuk menjadi kebangkitan Cina, dan kapabilitas
negara adidaya dengan lebih dari
militer dan politiknya selama ini,
seperempat penduduknya (350 juta
orang miskin) dan 100 jutaan penduduk opini internasional terhadap image
dari desa yang berpindah-pindah untuk dan status Cina dapat masuk dalam
mendapatkan hidup yang lebih baik. 56
kategori great power
Cina juga relatif lemah dan rentan
dalam kekuatan pengetahuan dan tidak berada di 15 kekuatan paten.57
Dengan demikian, status great power dengan berbagai dimensi dan
kriterianya tidak mudah dipenuhi dan disandang Cina secara lengkap
dan sempurna begitu saja. Aspek kapabilitas militer maupun ekonomi
Cina meskipun dikatakan pesat, juga menghadapi tantangan di aspek
tertentu lainnya. Hal ini membuat kekuatan ekonomi dan militer Cina
menjadi sangat relatif dibandingkan negara lain, terutama Amerika
Serikat dan Jepang.
Pun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kebangkitan Cina,
dan kapabilitas militer dan politiknya selama ini, opini internasional
terhadap image dan status Cina dapat masuk dalam kategori great power.
Namun, hal ini juga tetap perlu dilihat dalam konteks tidak hanya
kapabilitas, tapi juga tindakan nyata Cina baik dalam menunjukkan
perilaku dan posisinya, serta kemampuannya untuk menggunakan
kapabilitasnya secara nyata seperti layaknya kriteria great power.
Sementara, apakah Cina merupakan ancaman atau tidak dengan persepsi
status dan image great power yang dimilikinya, tidak hanya dilihat dari
kemampuannya saja (tingkat pertumbuhan, kemajuan teknologi, atau
belanja militer). Keinginan Cina dan bagaimana Cina menggunakan
kekuatannya akan membedakan dampak dari posisi dan peran Cina,
apakah mengarah ke perang atau perdamaian. Secara umum Cina
bertindak hati-hati, sebagai kekuatan yang bertanggung jawab. Cina juga
sibuk dengan masalah internal, serta bermaksud untuk menghindari
konflik yang mengganggu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.58
62 Holslag and Geeraerts, op.cit., hal. 6-8; Murray, op.cit., hal. 170-178; Goldstein, op.cit., hal.
29-39.
63 Ibid., hal. 7-8.
Penutup
Kebangkitan Cina, terutama dari aspek politik dan ekonomi telah
melahirkan beragam persepsi tentang status Cina dalam kancah global,
terutama tentang status great power, maupun kebangkitan Cina yang
dilihat sebagai ancaman ataupun peluang bagi negara-negara lain.
Kapabilitas Cina yang meningkat pesat, khususnya dalam aspek ekonomi,
dan upaya Cina untuk melakukan modernisasi militernya harus diakui
mempengaruhi kiprah dan keterlibatan Cina dalam kancah global.
Cina menjadi alternatif, jika tidak disebut sebagai great power yang patut
dipertimbangkan dalam sistem ekonomi politik internasional.
Lompatan jauh Cina juga tidak lepas dari sejarah panjangnya, terutama
kebijakan terbuka yang diterapkan pada masa kepemimpinan Deng
Xiao Ping. Hubungan internasional Cina sendiri juga dalam perjalanan
dan dinamikanya mengalami transisi beragam yang awalnya kental
oleh nuansa kepentingan negara adidaya karena konteks perang dingin
dan faktor ideologis, sampai ke kebijakan luar negeri yang independen
dan pragmatis yang dijunjung tinggi Cina lewat prinsip kebijakan luar
negerinya yang mendorong upaya mewujudkan hidup berdampingan
secara damai.
Dengan kapabilitas ekonomi dan militer yang sedemikian masif, posisi Cina
sebagai Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB, maupun keanggotaan dan
partisipasi aktif Cina dalam pelbagai komitmen dan lembaga internasional,
Cina mencoba menunjukkan bahwa sebesar apapun kapabilitasnya,
Cina tetap menunjukkan wajah yang ramah dan berperilaku baik dan
bertanggung jawab terhadap permasalahan global. Hal ini diantaranya
dibuktikan dengan peran aktifnya dalam memediasi upaya perdamaian di
Semenanjung Korea; pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian untuk
misi perdamaian PBB; maupun melalui berbagai kerja sama internasional
dan bantuan Cina untuk negara-negara lain.
Cina dengan kapabilitas ekonomi dan militernya juga memberikan
peluang yang luas dan menarik bagi negara-negara lain untuk melakukan
kerja sama. Misalnya dalam hal investasi, kerja sama militer, ekspor-
impor, dan sebagainya. Kesalingtergantungan Cina dengan negara-
negara lain dalam sistem politik dan ekonomi internasional juga secara
langsung maupun tak langsung telah menjadi pertimbangan bagi Cina
untuk berhati-hati dalam menerapkan kebijakan luar negeri yang agresif
dan mengancam stabilitas dan keamanan internasional.
Cina telah melalui perjalanan sejarah Lompatan jauh Cina juga tidak
panjang yang beragam dengan berbagai lepas dari sejarah panjangnya,
negara, dan berbagai konteks dan
terutama kebijakan terbuka
kepentingan, yang membuat Cina akan
berpikir panjang untuk menempatkan yang diterapkan pada masa
keberhasilannya selama ini dalam bahaya. kepemimpinan Deng Xiao Ping
Keterlibatan Cina dalam berbagai
organisasi internasional juga membuat Cina mau tidak mau menerima
standar dan norma internasional. Seperti yang dikatakan Susan L. Shirk
(2008), wajah Cina menjadi lebih mudah dipahami dan tidak terlalu
totaliter, lebih kapitalis, serta lebih beragam.
Namun untuk isu tertentu yang mendasar terkait sejarah, kedaulatan,
dan stabilitas, serta wilayah, Cina cenderung lebih sigap, jika tidak reaktif,
dan tegas dalam menunjukkan posisinya. Bahkan Cina tidak sungkan
untuk menggunakan tekanan ekonomi dan militer, serta politik, seperti
lewat hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk memperjuangkan
kepentingannya.
Bagi Cina, prinsip hidup berdampingan dengan damai juga harus
menjunjung tinggi semangat untuk tidak saling mencampuri urusan
dalam negeri. Cina juga akan bersikap reaktif dan menunjukkan
ketidaknyamanannya ketika ada kerja sama pertahanan, seperti antara
Amerika Serikat dan Jepang di kawasan Asia Timur yang dipersepsikan
Cina sebagai upaya untuk membendung Cina dan memelihara hegemoni
Amerika Serikat dan para pendukungnya di Asia Timur.
Di sisi lain, reaksi Cina yang agresif dan reaktif tersebut tetap menuntut
Cina untuk menakar kemampuannya. Seperti yang dikatakan Kim
(1999), status Cina untuk menjadi great power belum lengkap dan
masih dalam posisi tidak puas terhadap kekuatan status quo yang ada.
Pertimbangan lain adalah bahwa Cina juga masih harus fokus dalam
membenahi permasalahan domestiknya, dari gejolak sosial, kesenjangan
ekonomi, protes isu HAM, pengangguran, korupsi, maupun terkait
politik dalam negerinya sendiri. Dengan demikian, fokus Cina untuk
memenuhi status dan tugas, serta ekspektasi terhadap Cina sebagai great
power juga terbatas dan terbagi, tidak hanya karena takaran kapabilitas
dan kualitas kekuatannya, namun juga permasalahan domestik yang
harus ditangani Cina.
Terkait dengan itu, seperti yang dikatakan oleh Kim (1999), hal yang patut
dicatat adalah status great power tidak hanya kaku didasarkan dan terbatas
pada kapabilitas ekonomi dan militer, serta pengaruh politik, namun
juga pada adanya kemauan dan kemampuan negara yang bersangkutan
untuk mengerahkan segala kapabilitasnya untuk memainkan peran
sebagai great power tidak hanya untuk kepentingan nasionalnya, namun
juga kepentingan internasional.
Dalam hal ini, identitas Cina sebagai great power juga tergantung
pada bagaimana Cina didefinisikan dan apa yang Cina lakukan, serta
kapasitasnya terkait kekuatan material maupun normatif. Masa depan
Cina sebagai great power masih belum lengkap dan belum dapat ditentukan
karena belum sepenuhnya puas dengan kekuatan status quo yang ada.
Kajian tentang Cina sebagai great power lebih pada perilaku daripada power
sesuai dengan bagaimana Cina merealisasikan penggunaan kekuatannya
dan untuk tujuan apa.64
Dengan kata lain, faktor persepsi Cina baik internal maupun eksternal
ikut berpengaruh dalam pilihan kebijakan luar negeri yang diambil Cina
dan tindakan nyata yang dilakukan Cina dalam menerapkan kebijakannya
tersebut, terlepas dari kapabilitas yang dimilikinya. Misalnya, bagaimana
tindakan Cina yang memamerkan kekuatan misilnya di Selat Taiwan
pada tahun 1995-1996 juga mengundang reaksi dari Amerika Serikat
yang juga bersekutu dengan Taiwan, dan berkomitmen untuk melindung
Taiwan.
Analisa mengenai persepsi tentang pilihan kebijakan luar negeri dan peran
Cina dalam kancah global sebagai great power harus dilihat dari beberapa
faktor, yaitu tekanan ganda yang dihadapi dari eksternal maupun internal,
terkait berkurangnya kedaulatan, globalisasi dan lokalisasi; apakah
persepsi dan kredibilitas kekuatan nasional sepenting kenyataannya;
keberadaan negara adidaya dengan kebangkitan Jepang, kepahlawanan
Amerika namun tidak efektif dalam klaim kepemimpinan global, baik
dari sisi biaya maupun tanggung jawab; serta ‘three worldization’ bekas
Uni Soviet; serta yang tidak kalah pentingnya bahwa power harus dilihat
secara sintetis, seiring dengan dinamika dan kesalingtergantungan.65
Daftar Pustaka
Benewick, Robert and Stephanie Hemelryk Donald. The State of China
Atlas: Mapping the World’s Fastest-Growing Economy. Revised and Updated.
Berkeley: University of California Press, 2009.
Bower, Ernie and Lie Nathanael Santoso. “A Year Later, Reduced Tensions
at the ASEAN Regional Forum”. 23 August 2011. http://cogitasia.
com/a-year-later-reduced-tensions-at-the-asean-regional-forum-arf-china,
(5 Oktober 2011).
Goldstein, Avery. 1997/1998. “Great Expectations: Interpreting China’s
Arrival”. The Rise of China: An International Security Reader. Diedit oleh
Michael E. Brown, Owen R. Cote, Jr., Sean M. Lynn-Jones, and Steven
E. Miller. Cabridge: The MIT Press, 2000: 3-40.
Hoslag, Jonathan and Gustaaf Geeraerts, “Discussion paper: Will China
redefine great power politics?”. BICCS. http://www.vub.ac.be/biccs/
site/assets/files/Events/Discussion%20paper.pdf (5 Oktober 2011).
Hal. 1-13.
Kim, Samuel S. “China As a Great Power”. China Reader: The Reform Era.
Diedit oleh Orville Schell and David Shambaugh. New York: Vintage
Books, 1999: 448-458.
Murray, Geoffrey. China, The Next Superpower: Dilemmas in Change and
Continuity. Richmond: China Library, 1998.
Websites
“China’s Foreign Affairs and International Relations”. 25 August 2008.
http://al.china-embassy.org/eng/zggk/t514667.htm, (4 Oktober 2011).
“China’s Independent Foreign Policy of Peace”. http://www.fmprc.gov.cn/
eng/wjdt/wjzc/t24881.htm (4 Oktober 2011).
“China Keberatan AS Jual Senjata ke Taiwan”. 7 September 2011. http://
internasional.kompas.com/read/2011/09/07/19090360/China.
Keberatan.AS.Jual.Senjata.ke.Taiwan (19 Oktober 2011).
“China Sangkal Jual Senjata ke Libya”. 5 September 2011. http://
international.okezone.com/read/2011/09/05/413/498957/china-
sangkal-jual-senjata-ke-libya (19 Oktober 2011).
“China Wants New World Order”. http://www.china-embassy.org/eng/zmgx/
zgwjzc/t35080.htm (4 Oktober 2011).
“Liu Huaqiu on China’s Foreign Policy”. http://www.china-embassy.org/eng/
zmgx/zgwjzc/t35078.htm (4 Oktober 2011). Lihat juga, “China’s Stand
on South-South Cooperation”. http://www.fmprc.gov.cn/eng/wjdt/
wjzc/t24884.htm, (4 Oktober 2011).
“Main Characteristics of China’s Foreign Policy”. http://www.china-embassy.
org/eng/zmgz/zgwjzc/t35077.htm (4 Oktober 2011).
“Menaguk Untung dari Konflik”. 21 September 2011. http://www.intelijen.
co.id/wawasan/1375-menaguk-untung-dari-konflik (19 Oktober 2011).
Abstrak
Tulisan ini bertujuan membahas perkembangan hubungan Amerika dan China
di abad ke-21 dan kaitanya dengan posisi Indonesia dalam perspektif budaya.
Hubungan kedua negara yang sedang berebut pengaruh ekonomi dan politik
di Asia ini memiliki dampak bagi kepentingan Indonesia untuk membangun
kerjasama. Pada saat yang sama, persepsi masyarakat Muslim Indonesia
terhadap Amerika dan China juga mempengaruhi dinamika hubungan segi tiga
Indonesia-Amerika-China.
Kata kunci: Amerika, China, Indonesia, Persepsi.
Pengantar
Menjelang akhir tahun 2011, setidaknya ada dua perhelatan besar di
kawasan Asia-Pasifik, yaitu the Asian-Pacific Economic Cooperation (APEC)
yang digelar di Hawai’i , 12-14 November, dan ASEAN Summit di Bali, 17-
20 November. Meskipun kedua event itu guna membahas peningkatan
kerjasama perdagangan di antara negara-negara Asia Pasifik, Amerika
adalah negara yang sangat berkepentingan untuk meloloskan agenda
pemulihan ekonominya melalui pembentukan Trans-Pacific Partnership
(TPP). Kepentingan negara Paman Sam ini tercermin dari pidato
Presiden Obama dalam pertemuan APEC, “No region will do more to shape
our economic future than the Asia-Pacific regions. We are going to continue to be
firm, to ensure that they- China - will operate the same rules (as) everyone else1.
59
1111 Jurnal.indb 59 19/11/2011 14:48:57
Garuda Di Antara Raja Elang dan Geliat Naga
2 Irman Lanti, “Indonesia in Triangular Relations with China and the United States”,
dalam China, the United States, and Southeast Asia, Evelyn Goh dan Sheldon W. Simon,
Routledge, 2008: 130.
3 Lih. Ahmad Norma Permata, et. all., Persepsi Pimpinan Ormas Islam Terhadap
Australia Terkait Isu-isu Internasional dan Domestik, MAARIF Institute, 2009 (tidak
dipublikasikan)
Memperebutkan Asia
Sejumlah murid perempuan berjilbab putih dan laki-laki dengan
semangat mengeja tulisan hanzi mengikuti sang guru bahasa Mandarin.
Proses belajar di satu kelas ini mewakili pemandangan umum di sekolah-
sekolah di Kabupaten Lamongan sejak 20074. Potret di daerah pantai utara
Jawa itu tidak semata menggambarkan denyut perubahan namun juga
pergeseran pusat orientasi ekonomi dalam percaturan regional bahkan
global. Negara Cina adalah kiblat baru perekonomian dunia seiring krisis
keuangan menimpa Amerika dan negara-negara Uni Eropa.
Pada satu sisi, Fareed Zakaria melihat Negara Cina adalah kiblat baru
bahwa dominasi pada bidang
ekonomi (economic superpower) perekonomian dunia seiring krisis
tidak selalu diterjemahkan dan keuangan menimpa Amerika dan
berdampak langsung pada dominasi
kekuatan geo-politik. Menurutnya, negara-negara Uni Eropa.
Cina tidak mempunyai kekuatan
politik maupun geopolitik untuk menjadi negara super power 5. Pada
sisi lain, Robert Kagan menilai bahwa model kepemimpinan Cina
memandang dunia dalam kaca mata Kaisar Wilhelm II seabad yang
lalu. Para pemimpin Negara Naga ini akan diselimuti kekhawatiran
sehingga mereka tergerak untuk merubah sistem tatanan global sebelum
sistem itu merubah mereka6. Seorang ahli Cina, seperti dikutip Nye, Jr.,
memprediksikan, “cepat atau lambat, jika tren sekarang terus berlanjut,
kutub perang kemungkinan akan beralih ke Asia7”.
Tidak bisa dibantah, abad-21 adalah abad Asia setelah dua ratus tahun di
bawah supremasi Eropa dan Amerika. Menanjaknya kebangkitan Cina
sebagai kekuatan utama dunia menandai berakhirnya universalisme nilai-
nilai, norma, dan institusi Barat8. Menurunnya universalisme Barat tidak
semata-mata disebabkan kebangkitan Cina namun sebuah konsekwensi
dari perubahan tata ekonomi-politik dunia yang semakin multipolar
4 Edward Wong, “Indonesian Seek Words to Attract China’s Favor”, The New York Times,
1/5/10.
5 Fareed Zakaria, “GPS tracking of the Middle East, China, and Indonesia” dalam Strategic
Review, Agustus 2011/Vol. 1, Nomor 1, hal. 131
6 Joseph S. Nye, Jr., The Future of Power (New York: Public Affairs, 2011), hal. 154
7 Lih. Nye, Jr., hal. 153
8 Martin Jacques, When China Rules The World, Terjemahan. Jakarta: Kompas, 2011: 481
budaya global Barat dan budaya lokal berujung pada apa yang disebut
Huntington sebagai “benturan peradaban”. Namun pada saat bersamaan,
konflik-konflik budaya di kalangan internal masyarakat akan berpotensi
meningkat20. Sen melihat proses kontak budaya harus mempertimbangkan
kompleksitas sosio-politik dan kewilayahan. Sikap dari kelas/kekuatan
dominan menjadi faktor determinan dalam menentukan perubahan
budaya tersebut21.
Studi sosiologi dan antropologi globalisasi membentangkan satu fakta
bahwa budaya modernitas tidak homogen, justru yang terjadi adalah
heterogenitas, variasi dan diferensiasi sebagaimana ditunjukan Berger,
Friedman22, dan Sharot23. Kemunculan kutub-kutub ekonomi dan politik
pasca Amerika akan berpengaruh pada proses dan produk kontak budaya
pada level regional dan global. Berbeda dengan konsep modernitas Barat
yang menarik garis pemisah antara pramodernitas dan modernitas,
modernitas Asia Timur menempatkan masa lalu dan masa kini dalam
ruang yang sama, tidak terpenggal24. Dijembatani oleh kontinuitas. Jadi,
Cina adalah “remaja yang tidak sabar ingin cepat menjadi dewasa. Ia
selalu berprilaku seperti lebih tua dari usia sebenarnya dan terus menerus
melupakan realitas dari situasi yang dihadapinya”, mengutip Gao-Rui-
Qian, profesor filsafat Universitas Nasional Cina Timur25.
Pada kerangka ini, sejumlah karakteristik Cina memperlihatkan
bahwa modernitas Cina akan sangat berbeda dari modernitas Barat.
Meskipun Kissinger mengidentifikasi ideologi politik Cina tidak
berwatak agresif26, Jacques berkeyakinan Cina akan mengubah dunia
secara lebih mendasar ketimbang kekuatan global mana pun dalam
kurun waktu dua abad terakhir.27 Karakter penting Cina yang akan
menentukan pola hubungannya di Asia Timur adalah sistem negara
20 Idem., hal. 15
21 Sen, hal. 9
22 Jonathan Friedman, Cultural Identity & Global Process (London: Sage Publications,
1994)
23 Stephen Sharot, A Comparative Sociology of World Religions ( New York: New York
University Press, 2001)
24 Jacques, hal. 119
25 Ibid., hal. 119
26 Lih. Kissinger, hal. 17
27 Jacques, hal. 477
28 Ibid., 466
29 Sharat, hal. 70
30 Sen, hal. 73
31 Kissinger, hal. 529
32 Ibid., hal. 521
Penutup
Salah satu poin penting dalam tulisan ini adalah masyarakat Muslim
Indonesia memandang Cina relatif lebih bersahabat ketimbang Amerika.
Negara Paman Sam ini dipersepsikan memberikan ancaman pada bidang
militer, politik, ekonomi, dan budaya. Keterbatasan informasi mengenai
Cina dan tidak adanya kebijakan politik luar negeri Cina yang berkaitan
langsung dengan kepentingan masyarakat Muslim merupakan dua
faktor utama penyebab terbangunnya persepsi tersebut. Padahal ekspansi
perekonomian Cina ke pasar Indonesia merupakan ancaman serius.
Pada level ini, Cina relatif tidak memiliki beban politis dalam menjalin
hubungan dengan Indonesia.
Saya ingin katakan bahwa kampanye perang melawan terorisme global
yang dijalankan Pemerintah Amerika, utamanya pada periode sebelum
Presiden Obama, telah menimbulkan sejumlah korelasi negatif dalam
upaya Amerika mempertahankan dominasi globalnya ditengah
kebangkitan ekonomi Cina. Apa yang menjadi kebijakan politik
Pemerintahan Presiden Obama kini guna memperbaiki hubungan
Amerika dengan dunia Muslim menjadi tidak mudah. Kepentingan
Obama untuk membangun Trans-Pasific Partnership dan menahan laju
pengaruh Cina harus mempertimbangkan tingkat persepsi masyarakat di
kawasan ASEAN dan kebijakan politik luar negeri yang tidak merugikan
kepentingan masyarakat Muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
Tulisan ini ingin menyajikan model kapitalisme yang dipilih Cina sebagai
negara sosialis. Bagaimana pada akhirnya, Cina mampu menunjukkan dirinya
sebagai kekuatan baru ekonomi dunia. Sementara banyak pihak memandang
sebelah mata dan mengesampingkan Cina dalam percaturan ekonomi, dan
lebih menyorot pada Amerika Serikat dan Barat umumnya yang demokratis.
Kapitalisme dianggap identik dengan Negara-negara demokrasi. Cina kemudian
hadir menjungkirbalikkan pandangan dunia bahwa meskipun sebagai negara
sosialis, ia justru mampu melebihi kedigdayaan kapitalisme di negara dengan
sistem demokrasi. Kepesatan Cina tidak dapat dilepaskan dari inspirasi kultural
dan politik. Inspirasi kultural ditunjukkan dengan kekayaan nilai tradisi yang
dimiliki, yang hal ini tidak demikian dimanfaatkan oleh Indonesia. Sementara
inspirasi politik diperoleh dari trauma historis Perang Candu dan serapan
ideologi marxisme-leninisme. Inspirasi-inspirasi tersebut kemudian berbenturan
dengan sentimen nasionalisme dan tantangan dunia global. Titik temu yang
diperoleh kemudian adalah nasionalisme-pragmatis. Sebuah pilihan sengaja yang
terbukti dalam perjalanannya membuktikan Cina sebagai kekuatan yang sangat
diperhitungkan dalam percaturan ekonomi dan politik dunia.
Kata Kunci: Cina, konfusianisme, nasionalisme, marxisme-leninisme,
dunia global, nasionalisme-pragmatis.
73
1111 Jurnal.indb 73 19/11/2011 14:48:59
Nasionalisme–Pragmatis:
Pilihan Model Kapitalisme a la Cina
Pengantar
Secara geografis, Cina terletak di timur laut benua Asia. Ia berbatasan
dengan Mongolia dan Rusia di utara. Di bagian selatan, ia berbatasan
dengan beberapa negara: Vietnam, Laos, Nepal, Buthan, Myanmar,
India, Buthan, dan Pakistan. Cina berbatasan dengan Korea dan Jepang
di sebelah Timur, Philipina di tenggara, serta Tadzikistan, Kirghiztan,
dan Kazakhztan di sebelah Barat. Gugusan posisi geogafis Cina tersebut
sudah menggambarkan bagaimana letak Cina sangat strategis dalam
konteks geo-ekonomi maupun politik, termasuk juga persinggungan
etnik dan budaya dengan beberapa negara tetangganya.
Harus diakui, sebagai sebuah Negara, Cina memiliki sejarah yang tidak
pendek, dari beratus bahkan beribu tahun lampau. Negara Cina yang
tampak sekarang merupakan babak akhir dari peperangan dan konflik di
antara banyak kerajaan kecil. Peperangan berakhir dengan integrasi negara-
negara kecil menjadi satu negara: Cina. Secara resmi, sistem pemerintahan
Selama kurang lebih limapuluh tahun, Cina berdasarkan komunisme, tetapi
setelah perang dunia kedua, Cina
adalah negara yang menerapkan sistem dalam praktik ekonominya menganut
ekonomi tertutup. Hal ini merupakan kapitalisme dengan model sendiri.
konsekuensi dari langkah dan strategi
politik yang dianut oleh rezim penguasa. Baru pada saat dipimpin Deng
Xiao Ping, pada tahun 1978 Cina menggunakan sistem ekonomi terbuka.
Investasi asing diizinkan masuk ke Cina. Dampak positifnya langsung
terasa, dimana dalam dua dekade terakhir ekonomi Cina tumbuh dengan
cepat dan reformasi kelembagaan berlangsung secara drastis.
Pada era krisis moneter pada penghujung akhir abad ke-20, ada satu
perkembangan ironis efek dari krisis moneter dunia adalah berhasilnya
Partai Komunis Cina menjadi satu-satunya partai berkuasa mutlak di
Cina dalam mengendalikan krisis perekonomian negara. Keberhasilan
ini jauh melebihi kesuksesan pemerintah yang dipilih secara demokratis
di Amerika Serikat dan negara barat lainnya. Cina mengeluarkan biaya
besar untuk membiayai infrastruktur perekonomian secara otoriter. Model
otoriter ini ternyata justru mampu menumbuhkan perekonomiannya.
Pengendalian dan pengawasan perekonomian bebas di negara-negara barat
umumnya jauh lebih susah daripada negara yang dikontrol sepenuhnya
oleh pemerintah seperti Cina. Penduduk Cina yang tiga dekade lalu
masih tergolong miskin di dunia, dalam waktu singkat berhasil terangkat
tarap hidupnya. Tidak ada satu pun negara penganut sistem kapitalisme
yang sampai sekarang berhasil mencetuskan prestasi demikian tinggi
dan sangat dihargai dalam percaturan ekonomi-politik dunia. Meskipun
pada awalnya banyak kritik yang dicibirkan kepada Cina yang sebagian
besarnya bermuatan politis.
Secara resmi, sistem pemerintahan Cina berdasarkan komunisme, tetapi
dalam praktik ekonominya menganut kapitalisme dengan model sendiri.
Model unik yang sama sekali berbeda dengan sistem kerja kapitalisme
di belahan dunia mana pun. Sistem yang dipilih Cina ini terbukti lebih
efektif daripada Amerika Serikat dalam hal mengatasi perubahan dan
perkembangan ekonomi dan memecahkan persoalan lowongan kerja. Hal
ini berhasil dilakukan karena semua keputusan, hukum, dan peraturan
hanya diambil dan ditentukan oleh satu pihak, yaitu pemerintah (Partai
Komunis Cina). Kekuasaan yang dipegang oleh satu partai yang dikenal
dengan otoritarianisme menjadi satu keuntungan, sehingga tidak harus
Sebagai macan baru dunia, jika Asia Pacific, untuk memahami lebih
jelas “tantangan Cina” yang datang
dilihat dari perspektif perdagangan
menyusul keberhasilan ekonomi
internasional, Cina dikenal dengan domestiknya. Lebih jauh, Cina,
bagaimana pun, sudah menjadi
sebutan walled world.
“ancaman” bagi kemapanan yang
selama beberapa dekade menjadi milik Amerika Serikat dan Eropa.
Cina telah bermetamorfosis menjadi macan baru dunia. Sebagai macan
baru dunia, jika dilihat dari perspektif perdagangan internasional, Cina
dikenal dengan sebutan walled world. Cina melakukan perdagangan
dengan bebas dalam pasar global, namun ia juga sekaligus mengendalikan
masa depan ekonomi, sistem politik, dan kebijakan luar negerinya. Walled
world merupakan tantangan ideologis terhadap filosofi flat world Amerika
Serikat dan paham multilateralisme liberal di Eropa.
Model pembangunan yang dilakukan Cina menawarkan kepada negara
yang sedang membangun sebuah alternatif dari norma yang berlaku di
Barat. Keberhasilan sistem pasar bebas yang bersifat otoritarian adalah
tantangan untuk menghubungkan nilai-nilai tradisional antara pasar
bebas dan keberhasilan demokrasi. Kerangka budaya Cina menekankan
pada kedaulatan negara, suatu hal yang tidak lagi diperhatikan negara-
negara Barat, dan hal ini dapat memulihkan rasa kebanggaan negara
sedang berkembang yang merasakan kedaulatan mereka tidak dihormati
oleh negara maju.
Cina. Konsep ‘muka’ dalam kebudayaan Cina mengacu kepada dua hal
yang berbeda tapi saling berhubungan: mianzi dan lianzi. Lian adalah
kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi
merepresentasikan persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep
menjaga muka sangat penting halnya dalam hubungan sosial masyarakat
Cina karena muka mewakili kekuasaan dan pengaruh. Kehilangan lian
berakibat hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang. Kehilangan
mianzi berakibat hilangnya wibawa dan wewenang.
Masyarakat Cina sedapat mungkin menghindari konflik dalam
melanggengkan hubungan sesamanya. Ketika menghindari konflik,
orang Cina selalu berusaha tidak menyebabkan seseorang kehilangan
mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan yang
memalukan atau aib ke publik. Sebaliknya, ketika ingin menantang suatu
wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, mereka
akan berusaha menghilangkan lian atau mianzi orang tersebut. Xinyong
bermakna sebuah jaringan antar pribadi. Kepercayaan antarpribadi
adalah hal terpenting. Pengusaha Cina biasanya hanya berhubungan
komersial dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu,
reputasi seseorang penting artinya bagi transaksi bisnis. Para pebisnis
Cina secara pribadi akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan
bisnisnya. Pondasi ini menjelaskan mengenai jaringan bisnis yang terjadi
hingga kini di perusahaan-perusahaan milik etnis Cina di Asia Tenggara,
seperti Singapura, Malaysia, atau Indonesia.
1 Steven I. Levin, “Perception and Ideology in Chinese Foreign Policy”, dalam Thomas
W. Robinson and David Shambaugh (eds.), Chinese Foreign Policy: Theory and Practice
(Oxford: Clarendon Press), 1998, hlm. 45.
2 Francis Fukuyama, “The End of History?”, The National Interest, 16, Summer, 1989, hlm.
3-18.
Catatan Penutup
Keberhasilan Cina disokong oleh banyak faktor. Selain pemerintah yang
berkomitmen membangun bangsa, para pengusaha tidak tinggal diam
untuk melakukan upaya perdagangan yang dapat memperkuat misi
negara. Demikian halnya dengan peran masyarakatnya. Meskipun hal
itu bukan berarti tidak ada gejolak dan pertentangan di dalam negeri
Cina. Sentimen nasionalisme yang kuat di kalangan rakyat Cina menjadi
pondasi yang sangat kokoh untuk bersama-sama menghilangkan trauma
sejarah masa lampau. Sentimen tersebut kemudian memacu kolektivitas
dan keseriusan dalam membangun negaranya, dengan “menghilangkan”
kepentingan diri sendiri. Sekarang, bagaimana dengan Indonesia?
Mampukah Indonesia mengikuti jalan Cina? Jika pada era Orde Baru,
Indonesia pernah diidamkan sebagai Macan Asia, meskipun tertatih-
tatih, sudah semestinya sekarang adalah saat yang tepat untuk belajar
sampai ke negara Cina.
Daftar Pustaka
Fukuyama, Francis. “The End of History?”, The National Interest, 16,
Summer, 1989
Levin, Steven I. “Perception and Ideology in Chinese Foreign Policy”,
dalam Thomas W. Robinson and David Shambaugh (eds.).
Chinese Foreign Policy: Theory and Practice. Oxford: Clarendon
Press, 1998.
Thompson, John B. Studies in the Theory of Ideology. Berkeley: University
California Press, 1984.
Abstrak
Saat ini dunia tengah mengalami pergeseran geopolitik dan sekaligus geoekonomi
di mana Cina dan India menjadi kekuatan ekonomi baru. Kedua negara tersebut
telah memberikan inspirasi bagi sejumlah negara lain di berbagai belahan dunia
untuk bangkit. Dengan berbagai potensi yang dimilikinya, apakah Indonesia
hanya akan menjadi negara medioker yang tidak melakukan apa-apa atau bangkit
membuktikan dirinya menjadi calon pemimpin ekonomi dunia di masa depan?
Sektor apa yang bisa diandalkan Indonesia untuk bangkit dan menjadi kekuatan
besar ekonomi dunia? Tulisan ini akan mengupas secara singkat mengenai potensi
yang dimiliki Indonesia dalam sektor ekonomi kreatif. Ia bertujuan memberikan
gambaran (deskripsi) bagaimana industri kreatif Indonesia mampu memberikan
kontribusi signifikan terhadap roda perekonomian nasional serta peluang yang
mesti diambil untuk menjadikannya sebagai sektor unggulan. Tulisan ini juga
akan mengelaborasi peran “kelas kreatif” (creative class) Indonesia yang
digerakkan kaum muda dalam mendorong dan mengembangkan sektor ekonomi
kreatif. Tulisan ini tidak memberikan analisis yang dalam (in depth), tetapi
berupaya memberikan pemaknaan dan analisis singkat terhadap data-data yang
diperoleh dari penelitian terdahulu.
Kata kunci: ekonomi kreatif, industri kreatif, kelas kreatif
86
1111 Jurnal.indb 86 19/11/2011 14:49:00
Fahd Pahdepie
Pendahuluan
Perlahan namun pasti, dominasi Amerika Serikat sebagai satu-satunya
negara superpower dunia mulai surut. Sementara perekonomian Jepang
dan Eropa masih terus stagnan—bahkan perekonomian Eropa diambang
kebangkrutan, munculnya pemain-pemain penting baru dalam peta
perekonomian global seperti Cina, India, Brazil dan Rusia kian
menegaskan pergeseran peta kekuatan global yang semula cenderung
bersifat unipolar (sejak berakhirnya perang dingan, 1991) menjadi
multipolar.
Bukan sekadar gertak sambal, Momentum kebangkitan ekonomi
Cina dengan PDB per kapita dan Asia (yang sering digambarkan
pertumbuhan ekonomi yang terus
meroket, buah dari kebijakan industri dengan kebangkitan Chindia, Cina
dan perdagangan yang berorientasi dan India) justru merupakan peluang
pada penguatan sektor ekonomi lokal, tersendiri bagi Indonesia untuk
benar-benar telah menjadi pemain
menjadi kekuatan alternatif (untuk
penting di medan perekonomian
global. India dengan inovasi teknologi tidak menyebutnya underdog).
dan kekuatan pasarnya yang solid
menyusul sebagai kekuatan lain. Sementara itu, raksasa tidur Rusia
perlahan mulai siuman dan berusaha mengembalikan kejayaannya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kita patut berbangga bahwa Indonesia turut diprediksi sebagai the next
economics leader in the world, calon pemimpin ekonomi dunia, dengan
empat alasan: (1) wilayah yang luas serta populasi penduduk yang tinggi.
Artinya, di samping Indonesia masih memiliki kekayaan yang berlimpah,
Indonesia juga merupakan pasar yang sangat besar (big country, big
opportunity, big market). (2) Pertumbuhan ekonomi yang positif (pernah
mencapai angka di atas 5% per tahun pasca krisis). (3) PDB per kapita
Indonesia yang terus tumbuh (pada tahun 2009 sekitar US$3.900 atau
lebih baik dari India yang hanya US$2.900). (4) Fiskal Indonesia tergolong
sehat dengan defisit hanya 1,6%, lebih kecil dari defisit anggaran Rusia
sebesar 6%, Brasil 3,3%, India 10% dan Cina 2,2%.1
Dengan empat alasan tersebut, jika didukung dengan penguatan sistem
politik dan tata-kelola pemerintahan yang baik, serta stabilitas keamanan
1 Data bulan November 2010, diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), disarikan dari http://fokus.vivanews.com/news/read/186419-indonesia--calon-
kekuatan-ekonomi-baru-dunia diakses pada tanggal 22 September 2011 Pukul 13.20
WITA.
Industri Kreatif
Industri kreatif merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep ekonomi
kreatif. 4 Term “industri kreatif” bisa diduga pertama kali muncul pada
tahun 1998 melalui pernyataan mantan Perdana Menteri Inggris Tony
Blair yang menyatakan bahwa, “… Industri kreatif… Industri yang berasal dari
pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi
daya kreasi dan daya cipta individu tersebut”.5
Di Indonesia, “industri kreatif” saat ini tengah menjadi perbincangan
serius di kalangan akademisi, pekerja seni dan kebudayaan, intelektual,
peneliti, hingga pengusaha. Departemen Perdagangan RI pun secara
serius mencanangkan sektor industri kreatif sebagai sektor andalan
Indonesia pada tahun 2025. Pasalnya, sektor industri kreatif Indonesia
terus tumbuh dengan tren yang positif setiap tahunnya. Rata-rata 6,3%
sejak tahun 2002-2006 atau setara dengan 104,6 triliun rupiah (nilai
konstan) dan 152,5 triliun rupiah (nilai nominal) per tahun. Industri
ini telah mampu menyerap tenaga kerja rata-rata tahun 2002-2006
4 Christiane Eisenberg, Rita Gerlach, Christian Handke (eds.), Cultural Industries The British
Experience in International Perspective, ProPrint, Humboldt-Universität zu Berlin, 2007.
5 Definisi Berdasarkan United Kingdom Department for Culture, Media, and Sport – Task
Force 1998. “Creatives Industries as those industries which have their origin in individual
creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the
generation and exploitation of intellectual property and content” Lihat Matteo Pasquinelli,
Immaterial Civil War: Prototypes of Conflict within Cognitive Capitalism. Dalam: Geert
Lovink and Ned Rossiter, My Creativity Reader: A Critique of Creative Industries, 2007,
Institute of Network Cultures, Amsterdam.
sebesar 5,4 juta dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8%.6 Bukan hanya
itu, sepanjang tahun 2006 saja, industri kreatif telah menyumbang 33,5
persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Angka ini setara
dengan US$ 77 miliar atau 693 triliun rupiah dengan nilai tukar rata-
rata Rp. 9.000,-.7
industri kreatif juga menjadi sangat Industri kreatif saat ini menjadi kom-
ponen penting dalam logika ekonomi
penting di era globalisasi ini karena posindustrial (post-industrial economy)
perannya bukan hanya sebagai yang berbasis pada pengetahuan dan
penggerak ekonomi melainkan juga teknologi (knowledge-based economies).
Tidak hanya karena peranannya yang
sebagai medium kultural (cultural
mampu membuka lebih banyak la-
vehicle) dalam pengenalan dan pangan pekerjaan dan meningkatkan
penyebaran keunggulan nilai-nilai pertumbuhan ekonomi, industri krea-
tif juga menjadi sangat penting di era
budaya (seni, intelektual, dan lainnya)
globalisasi ini karena perannya bukan
suatu negara/bangsa kepada hanya sebagai penggerak ekonomi
negara/bangsa lainnya. melainkan juga sebagai medium kul-
tural (cultural vehicle) dalam pengenalan
dan penyebaran keunggulan nilai-nilai budaya (seni, intelektual, dan lain-
nya) suatu negara/bangsa kepada negara/bangsa lainnya.
Menurut Dr. Patrick Ho, Sekretaris Kementrian Dalam Negeri Hong
Kong (1988-2000), industri kreatif yang saat ini menjadi generator
perekonomian global telah membuktikan sebuah pergeseran posisi (per-)
ekonomi(-an) dalam hubungannya dengan kebudayaan. Bila dalam prinsip
ekonomi tradisional sektor ekonomi memiliki peran lebih besar dalam
menggerakkan sektor-sektor kebudayaan. Kini, di abad ini, sektor-sektor
kebudayaanlah yang menjadi motor penggerak (per-)ekonomi(-an). Melalui
14 subsektor industri kreatif yang meliputi periklanan, arsitektur, pasar
seni dan barang antik, kerajinan, desain, fesyen, film (mencakup animasi
dan fotografi), permainan interaktif, musik, seni pertunjukkan, penerbitan
dan percetakan, komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, serta riset
dan pengembangan kebudayaan terbukti telah mampu menggerakkan
(per-)ekonomi(-an) (culture begets economy). Mengenai hal ini, Ho memberi
pernyataan dalam pidatonya dalam sebuah pertemuan Internasional
8 Lihat Herman Bryant Maynard dan Susan E. Mehrtens, The Forth Wave: Bussiness in The
21st Century, Berret-Koehler Publishers, San Francisco, USA, 1993.
9 Kelompok Kerja Indonesia Design Power Departemen Perdagangan, Op.Cit. Hal. 24
10 Data disaraikan dari UK Trade and Investment Service, Oktober 2007.
pertumbuhan ekonomi paska krisis (rata-rata hanya 4,5% per tahun), (2)
masih tingginya tingkat pengangguran angkatan kerja produktif (9-10%)
serta kemiskinan (16-17%), dan (4) rendahnya daya saing industri nasional
di kancah global.12
Oleh karena itu, ekonomi kreatif ini diharapkan menjadi sebuah
optimisme baru dalam menyongsong masa depan kejayaan negeri ini.
Pemerintah bersama “kelas kreatif” yang digawangi kaum muda yang
menjadi generator 14 subsektor industri kreatif diharapkan mampu
bahu-membahu terus memperkuat roda perekonomian Indonesia dalam
rangka menyongsong kejayaannya di masa yang akan datang.
12 Prof. Mudradjad Kuncoro, Ph.D, Visi Indonesia 2030: Quo Vadis?, Maklah, Jurusan Ilmu
Ekonomi FE UGM.
daya gagas dan daya ciptanya Istilah “kelas kreatif” (creative class)
pertama kali diperkenalkan Richard
merupakan (f)aktor penentu masa
Florida untuk mengidentifikasi kelas
depan perekonomian Indonesia. sosial dan ekonomi yang menjadi (f)
aktor penentu perkembangan ekonomi
posindustrial di kota-kota di Amerika Serikat. Florida memisahkan kelas
kreatif ini menjadi dua kelompok. Pertama, Super-Creative-Core, yakni
angkatan kerja yang disebut Florida benar-benar berkaitan erat dengan
proses kreatif (fully engaged in the creative process) dalam pekerjaan utamanya
(misalnya ilmuwan, insinyur, tenaga pendidikan termasuk guru dan
dosen, programmer, animator, penulis, film-maker, peneliti, seniman,
desainer, dan lainnya). Kelompok ini disebut Florida sebagai kelompok
yang benar-benar bekerja dengan gagasan, inovasi dan kreasinya dalam
menggerakan sektor-sektor utama industri kreatif.14
Kedua, Creative Professionals. Yakni para professional yang bekerja
dengan pengetahuan mereka (knowledge-based), misalnya tenaga medis,
konsultan bisnis, akuntan, pegawai pajak, bankir, pengacara, dan lainnya.
Menurut Florida, keberadaan kelompok ini penting dalam kelas kreatif
untuk menyelesaikan “masalah-masalah spesifik” yang terjadi di seputar
pergerakan ekonomi kreatif. Kelompok ini tidak secara langsung berkaitan
13 Richard Florida, The Rise of The Creative Class: And How It’s Transforming Work, Leisure,
Community and Everyday Life. New York: Perseus Book Group, 2002.
14 Idem. Hal. 69
15 Op.Cit. Hal. 70
16 Kelompok Kerja Indonesia Design Power Departemen Perdagangan, Op.Cit. Hal. 10
Kesimpulan
Melihat berbagai potensi yang dimiliki Indonesia, bukan tanpa alasan
jika Goldman Sach memproyeksikan bahwa di tahun 2050 Indonesia
akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang sangat besar (enonomics
superpower). Jika hanya mengandalkan sektor pertambangan, pertanian,
dan industri massal, rasanya proyeksi tersebut akan sulit terwujud
mengingat Indonesia masih mengandalkan sumber daya alam yang
kelak akan rusak atau habis. Sementara itu, industri kreatif Indonesia
menjanjikan harapan yang sangat besar. Selain modal kultural yang
sangat kaya dan beragam, potensi sumber daya insani Indonesia juga patut
dibanggakan seiring budaya kreatif dan inovatif yang terus menguat.
Selain modal kultural yang sangat Tahun 2004 adalah masa keemasan
industri kreatif Indonesia yang pernah
kaya dan beragam, potensi sumber dicapai, pada saat itu pertumbuhan
daya insani Indonesia juga patut mencapai 8,17% (lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan
dibanggakan seiring budaya kreatif ekonomi nasional yang hanya 5,05%).
dan inovatif yang terus menguat. Namun, rata-rata pertumbuhan
ekonomi kreatif tahun 2002-2006
hanyalah 0,74%. Terjadi fluktuasi yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa industri kreatif di Indonesia belum terlalu kuat namun memiliki
potensi tumbuh dan berkembang secara optimal jika didukung oleh
strategi perencanaan dan pengembangan yang terarah dan baik.
Di masa yang akan datang, seiring dengan menguatnya kelas kreatif
Indonesia, sektor industri kreatif akan terus berkembang dan memberikan
kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Inilah saatnya bagi
kaum muda untuk memberikan kontribusi nyata bagi bangsanya. Melalui
gagasan dan kreativitas, kaum muda dapat menjadi aktor penentu
keberhasilan ekonomi kreatif Indonesia di masa yang akan datang.
Pada saatnya, menjadi salah satu negara superpower di bidang ekonomi
barangkali bukan hanya mimpi belaka. Cina dan India telah berhasil
membuktikan semuanya. Kini, Brazil mulai membangun kekuatan dan
kepercayaan dirinya untuk menjadi kekuatan baru. Pilihan bagi Indonesia,
dengan segala hal yang dimilikinya, serta berbagai peluang dan tantangan,
tinggal menentukan sikap untuk “mengalah” atau “mengalahkan”.
Daftar Pustaka
Bryant Maynard, Herman dan Susan E. Mehrtens. The Forth Wave: Bussiness in
The 21st Century. San Francisco, USA: Berret-Koehler Publishers, 1993.
Eisenberg, Christiane, Rita Gerlach, and Christian Handke (eds.). Cultural
Industries The British Experience in International Perspective. Humboldt-
Universität zu Berlin: ProPrint, 2007.
Lovink, Geert dan Ned Rossiter. My Creativity Reader: A Critique of Creative
Industries. Amsterdam: Institute of Network Cultures, 2007.
Hartley, John (ed.). Creative Industries. USA: Blackwell, 2004.
Kelompok Kerja Indonesia Design Power Departemen Perdagangan.
Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesai 2025 – Rencana Pengembangan
Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015. Jakarta: Departemen Perdagangan
RI, 2008.
NN. Studi Pemetaan Industri Kreatif 2002-2006. Jakarta: Departemen
Perdagangan Republik Indonesia, 2007.
Kuncoro, Mudradjad. Visi Indonesia 2030: Quo Vadis?. Makalah, Yogyakarta:
Jurusan Ilmu Ekonomi FE UGM, 2008.
Florida, Richard. Cities and The Creative Class. London: Routledge, 2005.
Florida, Richard. The Flight of the Creative Class. The New Global Competition for
Talent. HarperBusiness, HarperCollins, 2007.
Florida, Richard. The Rise of The Creative Class: And How It’s Transforming Work,
Leisure, Community and Everyday Life. New York: Perseus Book Group,
2002.
Artikel Internet
Viva News, Indonesia Calon Kekuatan Ekonomi Baru Dunia, dalam
http://fokus.vivanews.com/news/read/186419-indonesia--calon-
kekuatan-ekonomi-baru-dunia diakses pada tanggal 22 September
2011 Pukul 13.20 WITA.
Tempo Interaktif, Industri Kreatif Tumbuh 15 Persen, diunduh dari
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/05/24/
brk,20070524-100537,id.html diakses pada tanggal 8 Oktober
2011.
Abstrak
Cina ibarat naga yang bangun dari tidur panjangnya. Kini bangkit dan maju
bergerak cepat dari pinggiran ke pemain utama dalam pentas politik ekonomi
global. Salah satu rahasia kebangkitan dan kemajuan Cina tak lepas dari faktor
kekayaan modal kultural dan ideologi yang telah diwarisinya selama ini. Artikel
ini mengkaji tentang apa dan bagaimana dasar ideologi dan kultur yang dimiliki
oleh Cina sebagai modal kebangkitan dan kemajuan negeri Tirai Bambu tersebut,
dan pijakannya dalam bersikap di pentas politik global? Lalu, sejauhmana
karakteristik ideologis dan kultural tersebut mempengaruhi keberadaan Cina
dewasa ini dan di masa yang akan datang? Penelitian ini bersifat deskriptif
kualitatif. Data diperoleh dari berbagai sumber dan dokumentasi kepustakaan,
buku, artikel, website, dan media massa yang menunjang.
Kata Kunci: Ideologi, Kultur, dan Kebangkitan Cina
A. Pendahuluan
“Cina is hungry for success and this might well be a key reason
for its enduring rise. … Cina’s cultural traditions also affect its
approach to negotiation,… and on foreign policy”.
Fareed Zakaria, The Post-American World (2008: 104, 110).
Fenomena Cina? Ya, akhir-akhir ini, Cina, China atau Tiongkok menjadi
topik kajian serius dan penting bagi publik dunia. Saking pentingnya,
konon rutinitas orang yang mengawali harinya dengan membaca The
New York Times, kini ada yang berubah dengan lebih dulu melihat isi dari
koran-koran terbitan Cina. Hal itu menunjukkan bahwa citra Cina kini
telah menggoda dan menggeser selera publik di belahan dunia. Maklum,
98
1111 Jurnal.indb 98 19/11/2011 14:49:02
Choirul Mahfud
1 Thomas L. Friedman, The World is Flat: A Brief History of the Globalized World in the
Twenty-first Century (London: Allen Lane, 2005).
2 Mark Leonard, What Does Cina Think? (London: Fourth Estate, 2008).
3 Fareed Zakaria, The Post-American World (London: Allen Lane, 2008)
4 Samuel P. Huntington, Who Are We? America’s Great Debate (London: The Free Press,
2005), 4–45.
5 Baca di http://www.economist.com/blogs/democracyinamerica/2011/01/Cina_v_
america diakses 13 Oktober 2011. Tesis Fukuyama menegaskan bahwa kapitalisme
dan liberalism Amerika sebagai pemenang sekaligus mengakhiri sejarah sosialisme
dan komunisme global. Lebih lengkapnya baca tulisan Francis Fukuyama, The End of
History and the Last Man (London: Hamish Hamilton, 1992).
6 John & Doris Naisbitt, Cina’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat Cina, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010).
7 Baca tulisan Martin Jacques dalam buku “When Cina Rules The World: The Rise of the
Middle Kingdom and the End of the Western World”.
8 Ilan Alon, Julian Chang et.all, Cina Rules; Globalization and Political Transformation, (UK:
Palgrave Macmillan, 2009)
9 World Bank, Cina Engaged: Integration with the Global Economy (Washington, DC:
1997)
Hingga hari ini, Cina telah menjadi salah Sejak ribuan tahun sebelum
satu negara donor terbanyak di kawasan masehi, Cina juga sudah
Asia Tenggara, sekaligus juga kerjasama membangun banyak sistem
dan partisipasi dalam penanganan
kehidupan manusia dan
bencana alam, gempa bumi dan tsunami
yang terjadi di Asia Tenggara, termasuk melahirkan prinsip-prinsip
Indonesia. Yang terbaru adalah kerjasama pemikiran ketimuran yang tetap
membangun jembatan Surabaya-Madura lestari sampai saat ini.
(Suramadu). Tak hanya itu, Cina juga
menjadi mitra dagang dan mitra dialog yang baik bagi ASEAN, CAFTA
(Cina ASEAN Free Trade Area), juga TAC (Treaty of Amity and Cooperation),
DOC (Declaration of Conduct), EPG, dan lainnya. Khususnya dalam
penanganan masalah bersama di Asia Tenggara (juga Afrika) tentang
konflik perdagangan dan masalah moneter lainnya.
Bila dicermati, kemajuan Cina tidaklah dimulai dari nol. Bukan pula
didapatkan secara instan. Namun ada dinamika proses panjang melalui
perencanaan dan imajinasi komunitas untuk mewujudkan nasionalisme
Cina.10 Informasi terbaru, misalnya, Pusat Penelitian Modernisasi
Tiongkok telah menerbitkan peta jalan Modernisasi Tiongkok untuk
abad ke-21. Isinya: tahun 2025 produk domestik bruto (GDP) Tiongkok
menyamai Jepang. Tahun 2050, Tiongkok jadi negara maju di dunia.
Atas dasar peta jalan itu, Tiongkok terus bergerak menuju masyarakat
yang lebih baik dan sejahtera.
Sejak ribuan tahun sebelum masehi, Cina juga sudah membangun
banyak sistem kehidupan manusia dan melahirkan prinsip-prinsip
pemikiran ketimuran yang tetap lestari sampai saat ini. Dari sinilah, juga
ikut menyumbang kemajuan Cina saat ini.11 Cina juga telah memiliki
mekanisme hubungan antar negara yang cukup baik. Kekaisaran
Cina bahkan sempat menjalin hubungan diplomasi, perdagangan dan
kenegaraan dengan berbagai kawasan di dunia, termasuk Indonesia.12
13 R. Bin Wong, Cina Transformed: Historical Change and the Limits of European
Experience (Ithaca and London: Cornell University Press, 2000), 2–28.
14 Jinghao Zhou, Cina’s Peaceful Rise in a Global Context: A Domestic Aspect of Cina’s
Road Map to Democratization, (UK: Lexington Books, 2010)
28 Daniel A. Bell, Cina’s New Confucianism: Politics and Everyday Life in a Changing Society
(Princeton: Princeton University Press, 2008)
29 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina…..Ibid.
30 Yung, Lee Hong, The Politics of the Chinese Cultural Revolution: A Case Study. (Berkeley:
University of California Press, 1978).
31 David Pong ed., Encyclopedia of Modern Cina…….Ibid.
32 Fareed Zakaria, The Post-American World (London: Allen Lane, 2008)
menghubungkan Eropa dan Asia lewat darat. Selain itu, Cina juga
menjalin hubungan perdagangan dan kenegaraan dengan berbagai
kawasan di dunia, termasuk Asia Tenggara yang memiliki letak geografis
yang strategis bagi perdagangan.
Cina kuno juga telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi sistem
ekonomi, politik, serta sosial budayanya, sehingga dapat dikatakan Cina
telah memiliki karakteristik dan ciri khas dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegaranya. Beberapa dasar yang khas tersebut terdapat dalam
berbagai bidang, antara lain: filsafat pemikiran.33 Terdapat banyak filsuf
dan aliran kepercayaan Cina kuno yang benar-benar asli muncul dari
rakyat Cina. Contohnya aliran Konfusianisme yang banyak dianut oleh
masyarakat Cina kontemporer, dipelopori oleh Kong Fu Tse.34 Masih
banyak pula aliran kepercayaan lain seperti Taoisme dan Zen. Kesemuanya
itu mengambil Ren (cinta manusia) sebagai inti ajarannya.
Catatan sejarah Cina yang lebih dari 5000 tahun secara tidak langsung
telah mengukuhkan bangsa Cina sebagai salah satu bangsa yang
beradab. Penemuan teknik pertanian, penemuan huruf hanzi (kanji),
pembuatan kompas, mesiu, dan alat-alat percetakan juga pertama
kali dilakukan oleh warga Tionghoa yang mayoritas suku Han ini.
Selain itu, kekaisaran Tionghoa kuno telah mampu menjalin hubungan
perdagangan yang cukup intensif dengan Eropa, Asia Tenggara, dan
lain-lain, sekaligus meletakkan dasar-dasar pelayaran dan diplomasi
kuno ala Asia.
Berdasarkan aliran kepercayaan dan budaya orang Cina yang sopan santun
dan saling mengasihi, maka kebijakan pemerintahan Cina juga berintikan
kesejahteraan sosial (social welfare).35 Walaupun pada masa kedinastian
Han, masalah pemerintahan masih sangat ketat, namun rakyatnya makmur
sejahtera. Setelah pengaruh barat mulai masuk dan mempengaruhi
cara berpikir orang Cina, demokrasi pun mulai dianggap sebagai sistem
yang relevan untuk pemerintahan. Namun, saat ini Cina modern lebih
mengedepankan sosialisme bagi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, yang dipimpin oleh Partai Komunis Cina.
36 Edward L. Dreyer, Zheng He: Cina and the Oceans in the Early Ming Dynasty, 1405–1433
(New York: Pearson Longman, 2007).
pada zaman dinasti Ming, sistem pemerintahan yang feodal lamban laun
mulai ditinggalkan. Sistem keluarga ala Konfusian menekankan etika
kesalehan, sopan santun, keutamaan, dan menghargai orang lain.41
Fareed Zakaria (2008) juga mencatat bahwa kemajuan Cina juga
dipengaruhi oleh keyakinan masyarakat Cina kepada Tuhan. Inilah yang
mengagetkan sebagian masyarakat Barat yang menganggap orang Cina
tidak percaya kepada Tuhan. Mengutip hasil survey Pew pada tahun
2007, Fareed Zakaria menjelaskan realitas yang unik:
In the 2007 Pew survey, when asked whether one must believe
in God to be moral, a comfortable majority of Americans (57
percent) said yes. In Japan and Cina, however, much larger
majorities said no—in Cina, a whopping 72 percent! This is a
striking and unusual divergence from the norm, even in Asia.
The point is not that either country is immoral—in fact all hard
evidence suggests quite the opposite—but rather that in neither
country do people believe in God. This might shock many in the
West, but for scholars of the subject, it is a well-known reality.42
Sampai di sini, apa yang terjadi di Cina kontemporer hari ini mengingatkan
saya pada tulisan Max Weber dalam buku “The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism”,45 dimana ada pengaruh etika protestan terhadap suburnya
kapitalisme. Di Cina, nampaknya juga ada pengaruh konfusianisme
terhadap kebangkitan dan kemajuan Cina. Namun apakah betul Cina
akan menjadi negara kapitalisme baru seperti Amerika Serikat, ataukah
tetap mempertahankan tradisi kultural dan ajaran konfusianisme, dan
ataukah memperkuat kembali ideologi komunisme? Jawabannya hanya
waktu dan sejarahlah yang akan terus menguji bagaimana perjalanan
sejarah masa depan Cina.
Penutup
Dari telaah di atas, bisa diambil beberapa catatan kesimpulan bahwa
Cina merupakan salah satu negara yang paling besar di dunia. Bukan
saja dari aspek kuantitas jumlah penduduk tetapi juga kualitas pengaruh
kebudayaan, perdagangan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai
negara besar dan maju, Cina ternyata mengarifi dan menghayati kebudayaan
ketimuran yang bersumber pada ajaran Konfucius. Di Cina, hal ini
dijadikan sebagai dasar ideologi dan kultur sebagai modal kebangkitan dan
kemajuan negeri Tirai Bambu tersebut, dan pijakannya dalam bersikap
di pentas politik global. Ideologi komunisme yang dialamatkan kepada
Cina, nampaknya kini tidak bisa dikatakan betul seratus persen. Sebab,
ternyata Cina juga mengelaborasi, memodifikasi dan memodernisasi dasar
ideologi yang bersumber dari paham konfusianisme. Hal itu terbukti,
pasang surut arus ideologi konfusianisme dan komunisme di masa Mao
Zedong, tidak membenamkan konfusianisme sebagai sebuah ajaran yang
dihormati oleh masyarakat Cina kontemporer. Oleh karena itu, potret
ideologi Cina bisa dikatakan diantara konfusianisme, komunisme dan
juga kapitalisme global yang menghantuinya.
Namun begitu, konfusianisme masih tetap mengakar di Cina seperti
laiknya ideologi pancasila di Indonesia. Hingga saat ini, ada 5 nilai dasar
ideologi konfusianisme yang sangat penting dan mempengaruhi budaya
sosial politik bagi Cina Kontemporer, yaitu ren, yi, li, zhi, dan xin. Secara
sederhana, kelima nilai itu memiliki makna yaitu ren=benevolence bermakna
45 Weber, Max. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. (Charles Scribner’s Sons.
New York: 1956)
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread
of Nationalism. London: Verso, 1983.
Bell, Daniel A. Cina’s New Confucianism: Politics and Everyday Life in a Changing
Society. Princeton: Princeton University Press, 2008.
Chen, Jingpan. Confucius as a Teacher: Philosophy of Confucius with Special
Reference to Its Educational Implications. Beijing: Foreign Languages Press,
1990.
Dreyer, Edward L. Zheng He: Cina and the Oceans in the Early Ming Dynasty,
1405–1433. New York: Pearson Longman, 2007.
Friedman, Thomas L. The World is Flat: A Brief History of the Globalized World in
the Twenty-first Century. London: Allen Lane, 2005.
Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. London: Hamish
Hamilton, 1992.
Gernet, Jacques. A History of Chinese Civilization, 2nd. Cambridge: Cambridge
University Press, 1997.
Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and the Remaking of World
Order. New York: Simon and Schuster, 1996.
-------------------------. Who Are We? America’s Great Debate. London: The Free Press,
2005.
Johnston, Alastair Ian. Cultural Realism: Strategic Culture and Grand Strategy in
Chinese History. Princeton: Princeton University Press, 1995.
Leonard, Mark. What Does Cina Think?. London: Fourth Estate, 2008.
Naisbitt, John & Doris. Cina’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat Cina.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Phillips, J M. dan L J. Moore. Cina; Economic, Political and Social Issues. New
York: Nova Science Publishers, 2009.
Pomeranz, Kenneth. The Great Divergence: Cina, Europe, and the Making of the
Modern World Economy. Princeton and Oxford: Princeton University
Press, 2000.
Pong, David, ed. Encyclopedia of Modern Cina. USA: Gale, Cengage Learning,
2009.
Pye, Lucian W. The Spirit of Chinese Politics. Cambridge: Harvard University
Press, 1992.
Schwartz, Benjamin. Communism and Cina: Ideology in Flux. Cambridge:
Harvard University Press. 1968.
Suisheng, Zhao, ed. Chinese Foreign Policy: Pragmatism and Strategic Behavior.
New York: M. E. Sharpe, 2004.
Suryadinata, Leo. Southeast Asian Chinese: The Socio-Cultural Dimension.
Singapore: Times Academic Press, 1995.
Tanggok, M. Ikhsan, dkk. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru Format Baru
Hubungan Islam Indonesia dan Cina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010.
Tu, Weiming. Way, Learning, and Politics: Essays on the Confucian Intellectual.
Albany: State University of New York Press, 1993.
World Bank. Cina Engaged: Integration with the Global Economy. Washington,
DC: 1997.
Yongnian, Zheng. Will Cina Become Democratic?: Elite, Class and Regime
Transition. Singapore: EAI, 2004.
Yung, Lee Hong. The Politics of the Chinese Cultural Revolution: A Case Study.
Berkeley: University of California Press, 1978.
Zakaria, Fareed. The Post-American World. London: Allen Lane, 2008.
Wong, R. Bin. Cina Transformed: Historical Change and the Limits of European
Experience. Ithaca and London: Cornell University Press, 2000.
Zhou, Jinghao. Cina’s Peaceful Rise in a Global Context: A Domestic Aspect of
Cina’s Road Map to Democratization. UK: Lexington Books, 2010.
*) Penulis adalah pengkaji multikulturalisme dan studi Cina, tinggal di Surabaya. Bisa
dihubungi melalui alamat e-mail: choirul_mahfud@yahoo.com
Abstrak
Salah satu cara efektif membangun imajinasi kebangsaan adalah dengan olah
raga. Dengan olah raga juga seseorang bisa mendefinisikan kebudayaannya dan
mengkontruksi rasa kepemilikan sebagai bagian dari komunitas bangsa dan negara.
Di sini, saya menelisik sejarah China lewat olah raga dan bagaimana olahraga
menjadi titik balik kebangkitan bagi identitas China dalam mengkontruksi
negaranya pasca perang Sino-Jepang (1 Agustus 1894-17 April 1895), yang
membuatnya membenamkan diri sebagai “manusia pesakitan” selama bertahun-
tahun saat sedang memperkokoh strategi internal di tengah kekuataan bangsa
lain. Setelah menjelaskan kebangkitan China dari manusia pesakitan menuju
bangsa yang kuat, dalam penutup tulisan saya merefleksikan Indonesia terkait
dengan platform negara di bawah era Soekarno di mana olah raga menjadi
bagian dari upaya mempersatukan kebangsaan yang baru tumbuh dalam negara
pada satu sisi, dan menunjukkan eksistensi Indonesia dihadapan negara-negara
maju dengan membuat permainan olah raga yang bernama GANEFO sebagai
tandingan dari Olimpiade.
Kata Kunci: China, Olimpiade, Olah Raga, GANEFO, dan Politik
Pengantar
Ketika mendengar kata China, ada banyak hal yang berpendaran dalam
ingatan saya, salah satunya mengenai kehebatan negara tirai bambu
tersebut. Tidak dapat disangsikan bahwa China sebagai sebuah negara
dan bangsa memiliki sejarah kebudayaan yang kaya dan peradaban
yang maju, baik dari segi pengetahuan, teknologi, pengobatan, ataupun
117
1111 Jurnal.indb 117 19/11/2011 14:49:04
Dari “Manusia Pesakitan” Menuju “Bangsa Kuat”:
Mengintip Kebangkitan China Lewat Olah Raga
1 Hal ini juga terjadi di Asian Games keempat yang berlangsung di Jakarta pada tahun
1962. China meminta Soekarno untuk tidak mengundang Taiwan sebagai peserta. Tapi,
bila ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia akan ditentang oleh para peserta Asian
Games yang lain. Akhirnya Pemerintah Indonesia melakukan intrik politik dengan
memberikan kertas kosong untuk diisi oleh tim atlit Taiwan. Melihat ketidakberesan,
Hao Gensheng, utusan Taiwan, berencana datang ke Jakarta untuk melihat situasi
yang sebenarnya dengan menyamar sebagai utusan dari Thailand. Niat ini ternyata
diendus oleh China dan kemudian diberitahukan kepada pemerintah Indonesia.
Akhirnya, ia ditangkap di Bandara Soekarno Hatta dan dipulangkan ke negaranya.
Sikap pemerintah Indonesia mendapatkan reaksi keras dari tim peserta yang lainnya.
Keanggotaan Indonesia pun ditahan oleh Komite Olimpiade Internasional. Soekarno
sangat marah dengan keputusan ini dan mengajak negara-negara berkembang untuk
membuat pertandingan olah raga sendiri yang terbebas dari kepentingan politik.
Akhirnya, berdirilah pertandingan olahraga GANEFO yang merupakan tandingan dari
Asian Games dan Olimpiade. (Guoki, 2008: 52-53)
Penutup
Bertolak dari penjelasan, satu pertanyaan yang dapat diajukan, bagaimana
dengan Indonesia, Apakah Indonesia pernah menjadikan olah raga sebagai
alat untuk membangun rasa kebangsaaan dan menguatkan solidaritas di
antara sesama anak bangsa? Apakah olah raga pernah dijadikan strategi
politik dan era kebangkitan untuk menunjukkan eksistensi diri di tengah
negara lain? Jika merunut pada sejarah, di era Soekarno pada awal
tahun 1960-an inilah olah raga menjadi bagian dari platform revolusi
Daftar Pustaka
Carsiwan, ”Dimana Porsi Pembangunan Olah Raga di Mata Pemerintah” 7
Oktober 2004. Dikutip dari http://fpok.upi.edu/dimana_porsi.htm
pada 11 Oktober 2011
Guoki, Xu. Olympic Dreams: China and Sport 1895-2008. London: Harvard
University Press, 2008
I.Wibowo. “60 Tahun RRC”, Kompas 1 Oktober 2009
Jarvi, Grane, Dong-Jhy Hwang, and Mell Brennan. Sport, Revolution, and
Beijing Olympic. United State: Oxford International Publisher, 2008
Lane, Christopher. “China’s Challengge to US Hegemony”, Current History,
Januari, hal.13-18, 2008
Morrison, Wayne M. China’s Economic Conditions. Conggresional Research
Service. June 24, 2011. Dikutip dari http://www.fas.org/sgp/crs/row/
RL33534.pdf, pada 10 Oktober 2011
Pauker, Ewa T. ”Ganefo I, Sports and Politics in Jakarta”, Asian Survey, Vol.5,
No.4. (April.,1965), pp. 171-185
Siapa dan apa yang membuat radikalisme agama tumbuh dan berkembang?
Siapa yang bertanggung jawab kalau benih-benih intoleransi dan
kekerasan semakin subur di negeri yang dibangun atas dasar pluralism
ini?
Film besutan sutradara Garin Nugroho, Mata Tertutup, berusaha
menjawabnya meski jawaban itu menimbulkan serangkaian pertanyaan
baru yang tak bisa dijawab tuntas. Realitas sosial yang dinamis tak bisa
ditangkap hanya dalam satu kurun waktu. Pola dan genealogi persoalan
tergambar cukup jelas dalam Mata Tertutup meskipun cara-cara perekrutan
tidak eksplisit terjelaskan.
Film berdurasi 90 menit yang diproduksi bersama MAARIF Production
dan SET Film ini menyiratkan kenyataan sekaligus metafora. Peristiwa
menghilangnya pelajar, mahasiswi, dan perempuan muda diawali modus
mirip penculikan dengan mata ditutup untuk “hijrah” ke dunia yang
menjanjikan “masa depan, kesejahteraan, dan keadilan”.
Mata yang tertutup memudahkan proses cuci otak dengan pikiran sempit
yang menghalalkan kekerasan atas nama agama. Proses itu memudahkan
upaya manipulasi demi pemenuhan hasrat kekuasaan suatu kelompok
kepentingan.
Mata tertutup lantas menyimbolkan ketertutupan hati dan pikiran
oleh fanatisme dan radikalisme (agama). Ia membuat anak mampu
meninggalkan ibu dan kehidupan untuk mengejar “surga” yang dibangun
dari mimpi-mimpi kekosongan jiwa manusia.
130
1111 Jurnal.indb 130 19/11/2011 14:49:05
Maria Hartiningsih
Kisah Nyata
Cerita film ini diadaptasi dari kisah nyata berdasarkan penelitian
MAARIF Institute, lembaga yang berkarya untuk kemajemukan agama,
etnisitas, dan budaya, untuk mengangkat martabat kemanusiaan.
Para tokohnya merupakan perpaduan karakter dua-tiga sosok asli dalam
survey; diwakili tiga karakter utama, Rima, Jabir dan Ibu Asimah; berlatar
kehidupan Yogyakarta.
Rima (diperankan Eka Nusa Pertiwi) adalah remaja berpikiran terbuka,
tetapi gundah mencari identitas perannya. Ia sempat menjadi bagian dari
konsolidasi gerakan Negara Islam Indonesia (NII), tetapi segera sadar
karena kebebasan yang ia cari berakhir di ujung pemenjaraan ide dan
diskriminasi.
Kisah kedua adalah Jabir (Dinu Imansyah), seorang pemuda yang
terpaksa pergi dari pondok pesantren karena tak mampu membayar.
Ia sangat mencintai ibunya, seorang buruh gendong. Dalam kondisi
ekonomi sangat sulit, ditambah penindasan sang ayah, Jabir berkenalan
dengan Juki (Kidung Darma Romansyah), anggota kelompok radikal.
Juki membawa Jabir menjadi “pengantin” bom bunuh diri, demi “surga”
untuk sang ibu.
Kisah ketiga adalah kisah Ibu Asimah, diperankan sangat baik oleh
Jajang C Noer, seorang ibu yang kehilangan Aini (Andryani Isna), anak
satu-satunya, saat ia berada pada proses perceraian. Aini yang limbung
menyaksikan kondisi keluarganya menjadi korban penculikan kelompok
NII.
Perjalanan Asimah mencari Aini merangkai jalinan kasih, membuat
beberapa adegan sangat menyentuh, terutama ketika akhirnya Aini
pulang dalam kondisi ketakutan. Asimah memeluknya erat dan bergetar
mengatakan, “Kita lawan, Nak.”
Budi Asyhari-Afwan
Penulis adalah Peneliti CRCS, Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, peminat
budaya dan politik Asia Timur.
Bisa dikontak melalui alamat
email: budi_asyhari@yahoo.com
Choirul Mahfud
Penulis adalah pengkaji multikulturalisme dan studi Cina,
tinggal di Surabaya. Bisa dihubungi melalui
alamat e-mail: choirul_mahfud@yahoo.com
Fahd Pahdepie
Peneliti di Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SMTP LIPI).
Kini tinggal di Kawasan Puspiptek Gedung 410
Lantai 2 Serpong Tangerang Selatan.
Bisa dihubungi melalui alamat e-mail: fahd.pahdepie@lipi.go.id
Hingga saat ini keberadaan Jurnal MAARIF telah menginjak volume ke-6.
Hal ini menandaskan eksistensi jurnal MAARIF yang telah berusia enam
tahun. Dalam rentang waktu yang demikian tersebut, jurnal MAARIF
telah mengalami serangkaian perubahan ke arah penyempurnaan dirinya.
Dan sampai saat ini proses tersebut masih terus digalakkan.
Profil Media
• Nama media, penerbit, dan motto
Nama media : Jurnal MAARIF
Penerbit : MAARIF Institute for Culture and Humanity
Motto : Arus Pemikiran Islam dan Sosial
Bentuk : Jurnal Refleksi-Kritis
Karakter Media
• Reflektif-Kritis
Jurnal ini mencoba melakukan refleksi kritis terkait isu-isu
keislaman dan sosial-kemanusiaan yang berkembang di Indonesia.
• Analitis
Jurnal ini mencoba melakukan kajian secara mendalam terhadap
berbagai permasalahan yang berkembang, terutama terakait isu-isu
Islam dan demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan berbagai
masalah kebangsaan yang berkembang dewasa ini.
• Informatif
Jurnal ini berupaya memberikan keterangan, penjelasan, dan
deskripsi dalam bentuk informasi mengenai tema-tema tertentu
dalam lingkup kajian keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
• Transformatif
Jurnal ini berupaya melakukan transformasi ilmu menuju sebuah
perubahan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rubrikasi
• Refleksi Utama
Menyajikan lima sampai sepuluh tulisan utama refleksi kritis
beberapa cendekiawan, agamawan, akademisi, dan peneliti yang
membahas tema utama hasil riset redaksi. Refleksi Utama akan
menjadi mainstream kajian dalam jurnal MAARIF ini.
• Riset
Rubrik ini berisi tulisan-tulisan mengenai tema utama yang diangkat
berdasarkan riset dan kajian empiris.
• Perspektif
Rubrik ini menghadirkan artikel-artikel dengan tema tertentu yang
bukan menjadi tema utama, dengan memberikan perspektif yang
berbeda.
• Epilog
Sebuah kolom yang khusus menampung pemikiran reflektif Buya
Syafii Maarif.
• Resensi
Rubrik ini membahas buku-buku terbaru mengenai tema-tema yang
sesuai dengan isi dari Refleksi Utama pada Jurnal MAARIF ini.
Pemasaran
Target Pembaca
1. Kalangan Muhammadiyah (anggota dan pengurus)
2. Cendekiawan dan intelektual di Indonesia
3. Tokoh Lintas Agama,
4. Akademisi (guru, pelajar, dosen, dan mahasiswa)
5. Aktivis-aktivis yang tergabung dalam jaringan
organisasi civil society MAARIF Institute
Klasifikasi Pembaca
• Segmen inti : Muhammadiyah dan Jaringan organisasi civil
society MAARIF Institute seluruh Indonesia.
• Segmen pelapis : Akademisi, Pelajar, Guru, Tokoh Intelektual,
Mahasiswa, dan Forum kajian di internal &
eksternal kampus.
Karakteristik Pembaca
• Kalangan Muhammadiyah yang memiliki antusias terhadap tumbuh
dan berkembangnya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.
• Jaringan organisasi civil society yang concern terhadap perubahan
sosial di Indonesia ke arah yang lebih baik dan adil.
• Kalangan akademisi yang respek terhadap perkembangan isu-isu
kontemporer soal keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
• Kalangan lintas-agama yang concern atas isu-isu keragaman,
pluralitas, multikultural.
140
1111 Jurnal.indb 140 19/11/2011 14:49:06