JUDUL
Kekerasan dalam Berpacaran Akibat Prilaku Premarital Sex Intercourse .
II. LATAR BELAKANG
Visi jihad di dalam Al-Quran sangat tegas menentang kekerasan. Untuk tujuan
apapun, atas nama apa dan siapapun, serta kepada siapapun, bahkan untuk
kepentingan agama Allah pun, cara-cara kekerasan harus tetap dihindari, sebagaimana
ditegaskan di dalam ayat: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Q.S. al-
Baqarah/2:256). Jihad, sekali lagi, pada hakikatnya bertujuan untuk menghidupkan
orang dan mengangkat martabat kemanusiaan.
Bagi masyarakat secara umum, pacaran merupakan hal yang digunakan sebagai
proses mengenal lawan jenis dengan cara memberikan rasa cinta kasih dalam sebuah
hubungan. Namun dalam Islam hal ini dilarang. Sesuai dengan firman Allah yang
berbunyi "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).Al-Quran Surat Al-
Isra dijelaskan kalau hamba Allah SWT dilarang untuk berzina dan bahkan mendekati
zina. Di samping itu bahkan diharamkan bagi seorang laki-laki yang beriman utuk
menikah dengan perempuan yang berzina dan begitu sebaliknya. Surat yang melarang
pacaran ini tertuang dalam Al-Quran, tepatnya Surat An-Nur ayat 3 yang berbunyi:
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mu'min." (QS. An-Nur: 3)
Menurut Papalia, Olds & Feldman (2004), keintiman meliputi adanya rasa
kepemilikan. Adanya keterbukaan untuk mengungkapkan informasi penting mengenai
diri pribadi kepada orang lain (self disclosure) menjadi elemen utama dari
keintiman.Kekerasan (violence) berasal dari gabungan kata latin yakni vis dan latus. Vis
berarti daya dan kekuatan sedangkan latus berarti membawa. Secara umum, konsep
kekerasan mengacu pada dua hal yakni pertama, kekerasan merupakan suatu tindakan
menyakiti orang lain yang menyebabkan luka-luka atau kesakitan. Kedua, Wiyata
mengemukakan bahwa kekerasan juga merujuk pada penggunaan kekuatan fisik yang
tidak lazim dalam suatu kebudayaan (dalam Yanti, 2012). Selanjutnya, pada masa akhir
remaja (late adolescence), suatu hubungan intim memiliki karakteristik yang relatif
1
bertahan lebih lama, serius, dan komitmen. Bagi sebagian besar remaja, perubahan ini
positif karena dapat menurunkan stres dan meningkatkan rasa keintiman dan dukungan.
Meskipun demikian, Rennison menggambarkan masa akhir ini identik dengan kekerasan
dalam pacaran yang tengah mencapai puncaknya, yakni pada usia sekitar 16-24 tahun
(dalam Ragil & Margaretha, 2012). Wolfe (dalam Ragil & Margaretha, 2012)
mendefenisikan kekerasan berpacaransebagai segala usaha untuk mengontrol atau
mendominasi pasangan secara fisik, seksual, atau psikologis yang mengakibatkan luka
atau kerugian. Kekerasan berpacaran merupakan segala bentuk tindakan yang memiliki
unsur pemaksaan, tekanan.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 25 sampai 1 Mei 2022
terhadap subjek perempuan dengan melakukan sex intercourse ( bersetubuh ) .Dalam
hubungan berpacaran dari prilaku sex intercourse disimpulkan bahwa berpacaran dengan
perilaku sex intercourse menimbulkan dampak positif seperti kelekatan yang makin erat
antar subjek dan pasangan. Namun di sisi lain, perilaku sex intercourse juga membawa
dampak yang negatif yaitu munculnya perasaan rendah diri, merasa cemas takut ketahuan
oleh orang banyak, takut akan ditinggalkan oleh pasangannya, takut dihakimi oleh teman
dan keluarga, ketakutan terjangkit penyakit menular seksual, dan ketakutan akan
memiliki anak tanpa status yang jelas. Perasaan ketakutan tersebut didasari oleh
pandangan bahwa sex intercourse merupakan perilaku yang bertentangan dengan norma
agama yang berlaku di masyarakat.
Perasaan ketakutan tersebut membuat perilaku menjadi kurang terkontrol seperti
menjadi lebih mudah cemburu dan tidak mengizinkan pasangan untuk menjalin relasi
pertemanan dengan lawan jenis karena khawatir jika pasangan berpindah hati. Subjek
pertama menambahkan jika subjek mengalami keterlambatan masa menstruasi, pasangan
akan cenderung memarahi dan menyalahkan subjek karena ketakutan akan salah satu
akibat negatif sex intercourse seperti hamil di luar nikah. Setelah melakukan sex
intercourse, biasanya perilaku pasangan cenderung menjadi lebih kasar dalam berbicara,
mudah marah, dan terkadang melakukan kekerasan fisik.
Jadi, dari hasil observasi yang dilakukan terhadap subjek perempuan yang
melakukan premarital sex intercourse menimbulkan dampak negatif seperti perasaan
rendah diri, merasa takut ketahuan oleh orang lain, takut ditinggalkan oleh pasangannya,
2
takut dihakimi oleh teman dan keluarga, takut jika terkena penyakit menular seksual, dan
ketakutan akan memiliki anak tanpa status yang jelas. Hal ini didukung oleh pernyataan
Shinta (2009) yang mengatakan bahwa budaya patriarki mengkonstruksikan bahwa
perempuan haruslah perawan sebelum menikah, hal ini menjadikan perempuan di
Indonesia yang telah melakukan premarital sex intercourse akan merasa rendah diri,
merasa bersalah pada keluarga, merasa berdosa, merasa takut jika diputuskan oleh
kekasihnya dan perasaan takut jika hamil di luar nikah.
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja
yang sudah melakukan premarital sex intercourse diduga akan cenderung merasa
tergantung atau dependensi yang berlebihan terhadap pasangannya yang dapat
menimbulkan perasaan cemburu atau mengikat pada pasangannya dimana hal tersebut
akan memicu suatu dinamika berpacaran yang mengarah pada perilaku kekerasan dalam
berpacaran. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Hubungan Kekerasan Terhadap Prilaku Premarital Sex Intercourse dalam Berpacaran.
III. TUJUAN
Untuk Mengetahui Bentuk dan Alasan yang Mendasari Terjadinya Kekerasan di Masa
Pacaran
3
Sementara menurut Galtung dalam (Warsana, 1992), terminology kekerasan atau
violence berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya tahan atau kekuatan atau latus
yang berarti membawa sehingga dapat diartikan secara harfiah sebagai daya atau
kekuatan untuk membawa.
V. Aspek-aspek Kekerasan
Murray (2007) bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran terdiri atas tiga aspek, yaitu
kekerasan verbal dan emosional, kekerasan seksual dan kekerasan fisik :
4
A. Kekerasan Verbal dan Emosional Kekerasan verbal dan emosional adalah ancaman
yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah.
Menurut Murray (2007) kekerasan verbal dan emosional terdiri dari:
1) Name Calling Seperti mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh, tidak
seorang pun yang menginginkan pacarnya, mau muntah melihat pacarnya.
2) Intimidating Looks Pasangannya akan menunjukkan wajah yang kecewa tanpa
mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya. Jadi, pihak
laki-laki atau perempuannya mengetahui apakah pacarnya marah atau tidak dari
ekspresi wajahnya.
3) Use of pagers and cell phones Seseorang pacar ada yang memberikan ponsel
kepada pacarnya, supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap bisa menghubungi
pacarnya. Alat komunikasi ini memampukan pacarnya untuk memeriksa keadaan
pacarnya sesering mereka mau. Ada juga dari mereka yang tidak memberikan
ponsel kepada pacarnya, namun baik yang memberikan ponsel maupun yang tidak
memberikan ponsel tersebut akan marah ketika orang lain menghubungi pacarnya,
meskipun orangtua dari pacarnya, karena itu mengganggu kebersamaan mereka.
Individu ini harus mengetahui siapa yang menghubungi pacarnya dan mengapa
orang tersebut menghubungi pacarnya.
4) Making a boy / girl wait by phone Seorang pacar berjanji akan menelepon
pacarnya pada jam tertentu, akan tetapi sang pacar tidak menelepon juga. Pacar
yang dijanjikan akan ditelepon, terus menerus menunggu telepon dari
pasangannya, membawa teleponnya kemana saja di dalam rumah, misalnya pada
saat makan bersama keluarga. Hal ini terjadi berulang kali, sehingga membuat si
pacar tidak menerima telepon dari temannya, tidak berinteraksi dengan
keluarganya karena menunggu telepon dari pacarnya.
5) Monopolizing a girl’s / boy’s time Korban kekerasan dalam pacaran cenderung
menghabiskan waktu untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk
mengurus keperluannya, karena mereka selalu menghabiskan waktu bersama
dengan pacarnya, pelaku memaksa korban menghabiskan waktu bersama pelaku.
6) Making a girl’s / boy’s feel insecure Seringkali orang yang melakukan
kekerasan dalam pacaran memanggil pacarnya dengan mengkritik, dan mereka
5
mengatakan bahwa semua hal itu dilakukan karena mereka sayang pada pacarnya
dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya. Padahal mereka membuat pacar
mereka merasa tidak nyaman. Ketika pacar mereka terus menerus dikritik, mereka
merasa bahwa semua yang ada pada diri mereka buruk, tidak adapeluang atau
kesempatan untuk meninggalkan pasangannya.
7) Blamming Semua kesalahan yang terjadi adalah perbuatan pasangannya,
bahkan mereka sering mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang belum tentu
disaksikannya, seperti menuduhnya melakukan perselingkuhan.
8) Manipulation / making himself look pathetic Hal ini sering dilakukan oleh pria.
Perempuan sering dibohongi oleh pria, pria biasanya mengatakan sesuatu hal yang
konyol tentang kehidupan, misalnya pacarnyalah orang yang satu-satunya
mengerti dirinya atau mengatakan kepada pacarnya bahwa dia akan bunuh diri
jika tidak bersama pacarnya lagi.
9) Making threats Biasanya mereka mengatakan jika kamu melakukan ini, maka
saya akan melakukan sesuatu padamu. Ancaman mereka bukan hanya berdampak
pada pacar mereka, tetapi kepada orangtua, dan teman mereka.
10) Interrogating Pasangan yang pencemburu, posesif, suka mengatur, cenderung
menginterogasi pacarnya, dimana pacarnya berada sekarang, siapa yang bersama
mereka, berapa orang laki-laki atau perempuan yang bersama mereka, atau
mengapa mereka tidak membalas pesan mereka.
11) Humiliating her / him in public Mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh
pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-temannya. Atau
mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya.
12) Breaking treasured items Tidak memperdulikan perasaan atau barang-barang
milik pacar mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka menganggap hal itu
sebuah kebodohan.
B. Kekerasan Seksual
Adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar
mereka tidak menghendakinya. kekerasan seksual terdiri dari :
6
1) Perkosaan Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata
lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya pasangan mereka tidak mengetahui
apa yang akan dilakukan pasangannya pada saat itu.
2) Sentuhan yang tidak diinginkan Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan
pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong, dan lainnya.
3) Ciuman yang tidak diinginkan Mencium pasangannya tanpa persetujuan
pasangannya, hal ini terjadi di area publik atau tempat yang tersembunyi.
C. Kekerasan Fisik
Adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik, seperti memukul,
menampar, menendangdan sebagainya. Kekerasan fisik terdiri dari :
1) Memukul, mendorong, membenturkan Ini merupakan tipe kekerasan, yang
dapat dilihat dan diidentifikasi, perilaku ini diantaranya adalah memukul,
manmpar, menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar baik dengan
menggunakan tangan maupun dengan menggunakan alat. Hal ini menghasilkan
memar, patah kaki, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan sebagai hukuman
kepada pasangannya.
2) Mengendalikan, menahan Perilaku ini dilakukan pada saat menahan pasangan
mereka tidak pergi meninggalkan mereka, misalnya menggenggam tangan atau
lengannya terlalu kuat.
3) Permainan kasar Menjadikan pukulan sebagai permainan dalam hubungan,
padahal sebenarnya pihak tersebut menjadikan pukulan-pukulan ini sebagai taktik
untuk menahan pasangannya pergi darinya. Ini menandakan dominasi dari pihak
yang melayangkan pukulan tersebut.
7
Ini biasanya dilakukan karena korban tidak menuruti kemauannya atau korban
dianggap telah melakukan kesalahan.
B. Kekerasan Emosional (emotional abuse) Bentuk kekerasan non fisik ini berupa
pemberian julukan yang mengandung olok-olok, membuat seseorang jadi bahan
tertawaan, membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai,
pemerasan, mengisolasi, larangan berteman, caci maki, larangan bersolek, larangan
bersikap ramah pada orang lain, mengasingkan dari keluarga dan teman, termasuk
pula perilaku possessiveness seperti cemburu yang berlebihan. Dapat dikatakan
bahwa perilaku ini berbentuk keinginan untuk mengendalikan korban dengan
mengecilkan kepercayaan diri. Termasuk juga didalamnya memanggil dengan
sebutan yang tidak disukai. Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena
memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini justru akan
menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman.
C. Kekerasan Seksual (sexual abuse) Seperti menyentuh bagian intim yang tidak
dikehendaki,memaksa dengan kekerasan untuk melakukan hubungan seksual,
perkosaan dan percobaan perkosaan, pelecehan seksual (rabaan, ciuman, sentuhan)
tanpa persetujuan. Perbuatan tanpa persetujuan atau pemaksaan itubiasanya disertai
ancaman akan ditinggalkan, akan menyengsarakan atau ancaman kekerasan fisik. d.
Kekerasan Ekonomi (financial abuse) Mencakup tindakan mengambil uang korban,
menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial korban,
mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya, semuanya
dengan maksud untuk dapat mengendalikan korban. Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa peneliti memilih menggunakan bentuk-bentuk kekerasan dalam
pacaran menurut Murray (2007) bentuk bentuk kekerasan dalam pacaran menurut
Murray (2007) terdiri dari tiga bentuk yakni ancaman yang dilakukan pelaku
terhadap korban dengan perkataan maupun mimik wajah (kekerasan psikologis),
perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secarafisik (kekerasan fisik), dan
pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka
tidak menghendakinya (kekerasan seksual).
8
VI. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Murray (2007) mengatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang berkontribusi dalam
kekerasan dalam pacaran, yaitu:
Secara umum, remaja memiliki sedikit pengalaman dalam berpacaran dan menjalin
hubungan dibandingkan dengan orang dewasa dan remaja tidak mengerti seperti apa
pacaran yang benar, dan apakah setiap hal yang mereka lakukan saat pacaran adalah baik.
Contohnya, cemburu dan posesif sebagai tanda cinta. Karena kurangnya pengalaman
mereka menjadi kurang objektif dalam menilai hubungan mereka.d. Jarang berhubungan
dengan pihak yang lebih tua Nancy Worcester in “ A More Hidden Crime: Adolescent
Battered Women” (The Network News, July / August 1993) menyebutkanbahwa remaja
selalu merasa bahwa orang dewasa tidak aka menanggapi mereka dengan serius, dan
mereka menganggap bahwaintervensi dari orang dewasa akan membuat kepercayaan diri
dankemandirian diri mereka hilang. Inilah yang membuat merekamenutupi kekerasan
dalam pacaran yang terjadi pada diri mereka.
9
e. Keterbatasan Akses ke Layanan Kesehatan
Anak dibawah usia 18 tahun mempunyai akses yang sedikit kepengobatan medis,
dan meminta perlindungan ke tempat penampungan orang-orang yang menjadi korban
kekerasan. Mereka membutuhkan panduan orangtua, tetapi mereka takut mencarinya. Hal
ini akan menghambat remaja untuk terlepas dari kekerasan dalam pacaran.
f. Legalitas
Kesempatan legal berbeda antara orang dewasa dan remaja, di mana remaja kurang
memiliki kesempatan legal. Remaja sering kali memiliki akses yang sedikit ke
pengadilan, polisi dan bantuan. Ini merupakan rintangan bagi remaja untuk melawan
kekerasan dalam pacaran.
Obat-obatan tidak merupakan penyebab kekerasan dalam pacaran, tetapi ini dapat
meningkatkan peluang terjadinya kekerasan dalam pacarandan meningkatkan
keberbahayaanya. Obat-obatan menurunkan kemampuan untuk menunjukkan kontrol diri
dan kemampuan membuat keputusan yang baik dihadapan perempuan atau laki-lakinya.
Adapun Sex Intercourse atau berhubungan badan diluar nikah merupakan faktor
terbesar penyebab kekerasan, di karenakan labilnya remaja yang selalu berusaha tampak
dewasa yang menyebabkan offsite atau melampaui batas. Berdasarkan beberapa uraian
yang telah disebutkan di atas, dapat disumpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kekerasan dalam pacaran adalah tekanan dari teman sebaya, tuntutan
peran gender, pengalaman yang sedikit dalam menjalin hubungan, jarang berhubungan
dengan pihak yang lebih tua,keterbatasan akses ke layanan kesehatan, legalitas,
penggunaan obat-obatan dan Sex Intercourse
10
mengesahkan perbuatan kekerasan dalam pacaran kepada pasangannya, sedangkan
wanita yang menganut peran gender yang pasif, akan lebih menerima kekerasan dari
pasangannya. Banyaknya kasus kekerasan dalam pacaran akibat sering melakukan Sex
Intercourse dimana korbannya adalah perempuan, merupakan salah satu sosialisasi dalam
masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan laki-laki. Apalagi Indonesia
menganut budaya patriarki yang menganggap derajat laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan. (Astri, 2013)
Nyatanya setiap manusia memiliki hak asasi yang sama untuk dapat hidup dengan
tenang, aman dan tentram. Kekerasan yang terjadi dimana korbannya adalah perempuan
merupakan kejahatan kriminal dan juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Lebih
cepat para korban untuk bertindak lebih cepat juga akan penanganan kasus bagi pelaku
dan juga korban kekerasan dalam pacaran. Berpegang pada uraian di atas dapat dilihat
bahwa peran gender (yang di dalamnya maskulinitas) dapat menjadi faktor timbulnya
intensi melakukan kekerasan dalam berpacaran (Astri,2013).
B. Secure Attachment
Secure attachment adalah kelekatan aman yang didasari oleh rasa percaya yang
ditandai dengan keintiman, memiliki self-esteem dan kepercayaan interpersonal tinggi yang
diawali dengan kelekatan anak dengan ibunya atau figur peganti ibunya. Secure attachment
11
ini diukur melalui skala yang terdiri dari aspek-aspek secure attachment yaitu self image
atau self evaluation dan aspek social self. Semakin tinggi skor yang didapat maka semakin
tinggi secure attachment, dan begitu juga sebaliknya semakin rendah skor yang didapatkan
maka semakin rendah juga secure attachment. Aktivitas seksual menurut Soetjiningsih
(2008) memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda mulai dari yang kurang intim, hingga
benar-benar aktivitas seksual yang sangat intim layaknya suami istri. Aktivitas seksual pada
tingkatan pertama adalah berpegangan tangan. Tingkatan aktivitas seksual pada tahap
selanjutnya yaitu memeluk atau dipeluk pada area bahu dan area pinggang. Setelah itu,
aktivitas seksual pada tahap selanjutnya adalah berciuman. Semakin lama berciuman, maka
akan menuju pada tahap berciuman sambil memeluk, meraba atau diraba dan mencium atau
dicium pada area erogen dalam keadaan berpakaian. Setelah dalam keadaan berpakaian,
maka pasangan akan melanjutkannya dengan tidak mengenakan pakaian dan yang terakhir
adalah berhubungan seksual layaknya suami isteri.
Sejalan dengan penjelasan di atas, observasi ini akan mengungkap tentang
kekerasan berkaitan dengan berhubungan badan sebelum nikah. Sejauh mana kekerasan
yang dimiliki oleh pria dalam mengontrol emosi yang dimilikinya agar emosi yang
dilakukan tidak berlebihan.
12
memfokuskan pada subjek tunggal tetapi bisa dilakukan untuk sekelompok subjek, serta
melaporkan kelakuan luar biasa maupun spesifik.
Checklist adalah metode pencatatan yang berisi daftar nama subjek dan
faktor-faktor yang akan diselidiki. Pencatatan ada atau tidaknya perilaku tertentu
yang telah disajikan pada bentuk indikator perilaku.
13
c. Subjek tidak pernah bercerita tentang kekerasan
pasangan
d. Subjek tampak sangat romantis
e. Subjek memegang tangan pasangan setelah pasangan
mengulurkan tangannya.
f. Subjek memberi pipinya ketika pasangan ingin
meciumnya
g. Subjek tampak biasa setelah dimarahi pasangan
h. Subjek menundukkan kepala ketika dinasihati pasangan
Dafttar Pustaka :
Ratna Dewi Anggraini, “Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga”,Jurnal Psikologi,
Jurusan IK (Ilmu Kesehatan Sosial) Universitas Jember (UNEJ) Vol 1,h.10.
Tisyah. 2013. Analisis Kekerasan Pada Masa Pacaran (Dating Violence). Jurnal Sociologie, Vol.
1, No1:1-9.
14