Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH JOURNAL READING

PERAWATAN INVASIF DAN NON-INVASIF KELAINAN TEMPORO

MANDIBULAR

Disusun oleh :

Nursabrinah Mutiarasari 160112160020

Alysa Widyatari Kuswandi 160112160120

Dibimbing Oleh :

drg. Tenny Setiani Dewi, Sp.PM., M.Kes

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2018
JUDUL : PERAWATAN INVASIF DAN NON-INVASIF KELAINAN

TEMPORAL MANDIBULAR

PENULIS : ALYSA WIDYATARI KUSWANDI

NURSABRINAH MUTIARASARI

Bandung, 22 Februari 2018

Disetujui oleh :

drg. Tenny Setiani Dewi, Sp.PM., M.Kes

NIP. 195901241986012002
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….………1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….…………3

BAB III LAPORAN KASUS ……………………………………….…………30

BAB IV PEMBAHASAN …………………………………………..………….48

BAB V KESIMPULAN ……………………………………………..………....52

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….53


BAB I

PENDAHULUAN

Sendi Temporomandibular merupakan persendian yang menghubungkan

antara rahang bawah (mandibular) dan rahang atas (maksila). Bagian – bagian dari

TMJ merupakan penonjolan yang berbentuk bulat pada ujung tulang rahang

bawah (kondilus mandibular, daerah yang berongga pada daerah rahang atas

(Fossa glenoid) dan jaringan ikat yang terletak antara komndilus mandibular dan

fossa articular (diskus artikularis). Gerakan rahang yang normal pada aktivitas

pengunyahan tidak hanya ke atas dan ke bawah, tapi juga ke samping. Pergerakan

rahang ini juga didukung oleh aktivitas otot – otot leher dan punggung, serta

berhubungan pula dengan aktivitas otot – otot di sekitar sendi. Kondisi gigi geligi

yang tersusun dengan baik pada lengkung geligi akan menempatkan kedua

kondilus berada pada bagian tengah diskus artikularis. Keadaan ini akan

menyebabkan fungsi pengunyahan dapat berlangsung dengan efektif.

Adanya gangguan pada salah satu komponen di atas akan mempengaruhi

komponen lain yang mengakibatkan gangguan pada fungsi pengunyahan. Kasus

kehilangan gigi, terutama yang melibatkan gigi belakang dapat merupakan salah

satu penyebab terjadinya gangguan pada gerakan pengunyahan yang akan

berlanjut pada gangguan sendi rahang yang disebut TMJ disorder. TMJ disorder

disebut juga TMD, sering ditemukan pada praktek dokter gigi sehari – hari. TMD

merupakan istilah yang digunakan untuk mengenali sejumlah masalah klinis yang

meliputi otot – otot mastikasi, TMJ atau keduanya. Istilah ini sama dengan

1
2

gangguan/kelainan kraniomandibula (cranium mandibular disorder). TMD dikenal

sebagai penyebab utama nyeri non dental pada daerah orofasial dan dianggap

sebagai subklasifikasi dari kelainan muskuloskeletal.

Mayoritas pasien yang biasanya datang ke praktek dokter gigi dengan

keluhan nyeri sendi temporomandibular dan disfungsi dapat secara umum

dikategorikan ke kelainan otot, kelainan diskus artikularis dan kelainan yang

memengaruhi tilang artikularis. Kelainan yang paling sering adalah nyeri

miofasial. Nyeri ini tidak berhubungan dengan abnormalitas muskulus anatomik

yang terlihat. Kelainan intrakapsular yang memengaruhi TMJ dibagi menjadi 2

kategori umum : penyakit sendi osteodegeneratif dan kelainan diskus artikularis.

Tujuan dari perawatan TMD adalah dengan mengontrol nyeri,

meningkatkan gerakan mandibular dan mengembalikan fungsi kembali ke normal

sebaik mungkin. Majoritas individu lebih merspon pada terapi noninvasif

konservatif, sehingga prosedur invasif menjadi tidak dituju sebagai terapi inisial.

Proses dalam memilih perawatan dan seberapa agresif perawatan yang akan

dilakukan perlu memperhatikan bagaimana keparahan gejala yang ditimbulkan.

Pasien yang mengalami perbaikan selama penanganan membutuhkan perawatan

minimum dan follow up dbandingkan dengan individu yang gejalanya secara

progresif bertambah parah dan melumpuhkan fungsi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sendi Temporo Mandibular

2.1.1 Sendi Temporomandibular

Artikulasi TMJ adalah sendi yang mampu melakukan gerakan tipe hinge

dan gerakan gliding. Komponen tulang direkatkan dan dihubungkan kapsul

fibrosa. Kondilus mandibular membentuk bagian bawah dari sendi tulang dan

biasanya bentuknya lonjong, walaupun variasi bentuk biasanya terjadi.

Artikulasi dibentuk dengan cara kondilus mandibular memenuhi ruangan

tulang temporal (mandibular dan fossa glenoid) (Gambar 2.1 dan 2.2) Bentuk

S dari fossa dan eminensia berkembang saat umur 6 tahun dan terus

berlangsung sampai dekase kedua. Selama mulut terbuka lebar, kondilus

berotasi di sekeliling aksis hinge dan meluncur, menyebabkannya bergerak

melebihi sisi anterior dari fossa, yang disebut eminensia artikularis. TMJ

memiliki ujung yang padat yang di yang menunjukkan kontak gigi. Rotasi

kondilus lebih berperan pada membuka mulut lebih dari translasi. (Greenberg

dan Glick, 2003).

3
4

Gambar 2.1 Bentuk S dari fossa dan eminensia berkembang saat 6 umur
tahun dab berlangsung sampai decade kedua. Kondilus
mandibular menfungsikan spasium pada fossa untuk
berotasi dan bertranslasi saat pergerakan mandibular.

Gambar 2.2 Artikulasi dibentuk dengan kondilus mandibular yang memenuhi


ruang kosong os temporal (fossa mandibular atau fossa
glenoidales) selama mulut terbuka lebar; kondilus berotasi
sekeliling aksis dan meluncur, menyebabkannya bergerak
melebihi tepi anterior fossa, eminensia artikularis.

2.1.2 Diskus Artikularis

Fibrokartilago yang terdiri dari kolagen padat dengan ketebalan yang

beragam dan diistilahkan pada diskus yang melingkupi spasium antara

kondilus dan fossa mandibular (Gambar 2.3 dan 2.4).


5

Diskus terdiri dari jaringan ikat kolagen, kartilago- seperti proteoglikan

dan jaringan ikat elastic. Diskus berisi sejumlah sel yang mirip seperti fibrosit

dan fibrokondrosit. Jaringan ikat kolagen pada tengah – tengah diskus

berorientasi tegak lurus dengan sumbu panjang transversal. Diskus direkatkan

dengan ligamen ke ujung lateral dan medial dari kondilus. Ligamen terdiri dari

kolagen dan jaringan ikat elasti. Ligamen terdiri memberikan fungsi gerakan

rotasi dari diskus pada kondilus selama mulut terbuka dan tertutup. Diskus

memiliki bagian yang paling tipis pada bagian tengahnya untuk membentuk

pita anterior dan posterior. Susunan ini membantu menstabilisasi kondilus ke

fossa glenoidales. Diskus tidak memiliki pembuluh darah dan memiliki

penetrasi saraf sensori yang sedikit.

Gambar 2.3 Sendi temporomandibular memiliki kemampuan gerakan tipe


hinge dan gerakan meluncur. Diskus artikularis memiliki
perlekatan fossa mandibula dan kondilus. Perlekatan diskus
membentuk ruang pemisah superior dan inferior sendi.
6

Gambar 2.4 Kadaver yang menunjukkan kondilus, fossa dan diskus

artikularis

2.1.3 Jaringan Retrodiscal

Sebuah masa dari jaringan lunak yang melingkupi spasium di belakang

diskus dan kondilus. Disebut juga perlekatan posterior. Perlekatan posterior

terdiri dari jaringan ikat kolagen, jaringan ikat elastis, lemak, darah, dan limfe,

pembuluh darah, dan saraf. (Greenberg dan Glick, 2003).

2.1.4 Ligamen Temporomandibular

2.1.4.1 Ligamen Kapsular

Ligamen kapsular adalah selubung jaringan ikat fibrosa yang tidak

elastis yang menempel pada margin permukaan articular (Gambar 2.5).

Kapsul dan ligament diskus lateral bergabung dan merekat pada aspek

lateral dari leher kondilus. (Greenberg dan Glick, 2003).


7

Gambar 2.5 Ligamen Kapsular

2.1.4.2 Ligamen Temporomandibular Lateral

Ligamen temporomandibular lateral adalah ligament utama dari sendi,

sebelah lateral dari kapsul namun tidak mudah dipisahkan darinya dengan

diseksi. (Greenberg dan Glick, 2003).

2.1.4.3 Ligamen Aksesori

Ligamen sfenomandibular melintang pada tulang spenoid dan menempel

pada aspek medial dari mandibular pada lingula. Ligamen stilomandibular

meluas dari prosesus stiloideus ke fascia bagian dalam muskulus pterigoideus

medialis. Diduga akan menjadi lebih tegang salama gerakan protrusive pada

mandibular dan membantu membatasi gerakan protrusif. (Greenberg dan

Glick, 2003).
8

2.1.4.4 Muskulus mastikasi

Muskulus mastikasi adalah pasangan masseter, pterigoid medialis dan

lateralis dan muskulus temporalis. (Greenberg dan Glick, 2003).

Gambar 2.6 Muskulus Masseter dan Pterigoid

Gambar 2.7 Muskulus digastrikus


9

Gambar 2.8 Muskulus Pterigoideus lateralis

2.1.4.5 Suplai Vaskular Struktur Temporomandibular

Arteri karotis eksternal adalah suplai darah utama untuk struktur

temporomandibular. Arteri meninggalkan leher dan menuju superior dan dan

posterior menempel ke substasi kelenjar parotis. Arteri memiliki 2 cabang

penting yaitu arteri fasial dan lingual ke region. Pada level leher kondilus,

pembuluh karotis eksternal berbifurkasi ke arteri temporalis superfisialis dan

arteri maksilaris internal. Kedua arteri ini mensuplai muskulus mastikasi dan

TMJ. (Greenberg dan Glick, 2003).

2.1.4.6 Suplai Saraf Struktur Temporomandibular

Struktur mastikasi diinervasi secara primer oleh saraf trigeminal, namun

saraf kranial VII, IX, X, dan XI dan nervus servikal 2 dan 3 juga

berkontribusi. Sinaps saraf tepi dengan nuklei pada batang otak yang

berhubungan dengan sentuhan, propriosepsi, dan fungsi motorik. Cabang dari


10

saraf aurikulotemporal sensoris mensuplai inervasi TMJ. Saraf ini berasal dari

bagian mandibular pada fossa infratemporal dan mengirimkan percabangan ke

kapsul sendi. (Greenberg dan Glick, 2003).

2.2 Etiologi Temporo Mandibular Disorder

Etiologi TMD belum diketahui. Dua hipotesis, yaitu

ketidakharmonisan oklusal dan stress psikologis mendominasi beberapa

literatur, namun bukti literatur yang jelas dan meyakinkan sebagai etiologi

utama masih belum ada. Studi penelitian membedakan antara relasi sentrik

dan oklusi sentrik, gangguan pada sisi oklusal yang tidak bekerja, dan

klasifikasi oklusi Angle tidak menunjukkan perbedaan yang kuat antara pasien

dengan nyeri myofasial dengan pasien kontrol. Penelitian tentang pasien

dengan nyeri myofascial dan subjek control tidak berhasil membuktikan

perbedaan yang signigikan pada oklusi, meskipun pada beberapa kasus

ditemukan masalah oklusi berperan sebagai faktor inisiasi. Hubungan antara

kehilangan gigi dan osteoarthritis telah ditemukan pada penelitian pasien,

namun belum dilakukan observasi pada penelitian nonpasien. Tidak terdapat

perbedaan pada populasi simtomatik dan polulasi control saat mencoba

menghubungkan antara relasi insisal, posisi kondilus, dan bunyi sendi.

Hubungan observasi antara overbite dan TMD telah dilaporkan, namun belum

secara konsisten di observasi. Sebagai alternative, terdapat beberapa bukti

eksperimen yang menunjukkan beberapa observasi perubahan oklusal dapat

diproduksi oleh nyeri otot pengunyahan. Maloklusi anterior open-bite dapat


11

menyebabkan keterlibatan TMJ yang parah pada pasien dengan rheumatoid

arthritis (Greenberg dan Glick, 2003).

Hiperaktivitas otot mastikasi berkembang menjadi “lingkaran setan”

yang diusulkan sebagai penyebab nyeri myofascial. Kata diagnostik seperti

“myospasm”, “muscle spasm”, atau “reflex splinting” telah digunakan untuk

menjelaskan kondisi ini. Hubungan antara hiperaktivitas otot dengan penyakit

nyeri belum diperagakan. Perbedaan antara aktivitas electromyografi pada otot

penutupan rahang yang nyeri dengan otot yang tidak nyeri belum ditemukan.

Atrisi gigi menandakan keausan gigi yang disebabkan oleh bruksisme tidak

berhubungan dengan clicking TMJ atau kekakuan, atau dengan kekakuan otot

mastikasi (Greenberg dan Glick, 2003).

Hasil dari sejumlah studi eksperimen mengenai nyeri myofascial

menunjukkan hasil konsisten dengan hipotesis nyeri yang disebabkan oleh

kelainan proses dari sistem saraf pusat, nemun penemuan ini dapat juga

diinterpretasikan sebagai konsekuensi nyeri dibandingkan dengan penyebab

dari nyeri (Greenberg dan Glick, 2003).

Hipotesis psikologis mengemukakan bahwa suatu penyakit dapat

berkembang sebagai konsekuensi dari stress psikologis yang pada umumnya

disebabkan oleh lingkungan stess individu: stress psikologis mengawali

kebiasaan parafungsi (mengerotkan dan menggilas gigi) sebagai hasil dari

nyeri otot. Tantangan yang secara terus menerus dihadapi pada nyeri kronis
12

adalah menjelaskan seberapa banyak stress psikologis sebagai penyebab nyeri

kronis.

Penyebab utama yang kurang jelas menyebabkan etiologi menjadi

multifactorial. Beberapa faktor ini terbagi menjadi faktor inisiasi, agravasi,

atau perpetuasi. Beberapa faktor tersebut adalah :

1. Kebiasaan parafungsi (nocturnal bruxing, tooth clenching, lip or cheek

biting)

2. Stress emosional

3. Trauma akut yang disebabkan oleh pukulan

4. Trauma yang disebabkan oleh hiperextensi (perawatan gigi, intubasi oral

pada anestesi umum, menguap, hiperextensi yang disebabkan oleh trauma

cervical)

5. Ketidakstabilan hubungan maxilomandibula

6. Kelemahan sendi

7. Penyakit sekunder dari penyakit seperti reumatik dan penyakit

musculoskeletal.

8. Kesehatan umum yang buruk dan kebiasaan hidup yang tidak sehat

Frekuensi dan kepentingan dati faktor-faktor ini sebagai penyebab masih

belum diketahui secara pasti (Greenberg dan Glick, 2003).

2.3 Epidemiologi TMD


13

Antara 65-85% masyarakat di Amerika mengalami beberapa gejala TMD

selama hidupnya, dan sekitar 12% mengalami nyeri berkepanjangan atau

ketidakmampuan yang menghasilkan gejala kronis. Meskipun prevalensi satu atau

tanda lain dari nyeri mandibular dan disfungsi sangat tinggi pada populasi, hanya

5=7% memiliki gejala yang cukup parah yang membutuhkan perawatan.

Beberapa literatur menunjukkan bahwa TMD paling sering terjadi di antara

usia 20-40 tahun dan lebih banyak pada wanita. Pada studi berbasis komunitas

menunjukkan bahwa wanita dengan konsumsi obat kontrasepsi berpotensi lebih

tinggi terkena TMD, dan wanita usia 40 tahun ke atas, dimana telah terjadi

pergantian esterogen. Beberapa penelitian menginvestigasi kemungkinan

hubungan antara perawatan orthodontic dengan perkembangan TMD, namun

hasilnya tidak mendukung relasi penyebab antara perawatan orthodontic dengan

perkembangan TMD (Greenberg dan Glick, 2003).

2.4 Klasifikasi TMD

Diagnosis dan klasifikasi TMD ditentukan berdasarkan tanda dan gejala.

Awalnya, TMD diklasifikasikan sebagai penyakit intracapsular (TMJ) dan

extracapsular (otot), namun kedua diagnosis ini seringkali tidak tepat dalam

menentukan penyakit multifactorial dan abnormalitas TMD. Selanjutnya,

American Academy of Orofacial Pain menerbitkan suatu klasifikasi umum yang

mempengaruhi tulang cranium, sendi temporomandibular, dan otot mastikasi

(Tabel 2.1)
14

Tabel 2.1 Klasifikasi menurut American Academy of Orofacial Pain (Greenberg


dan Glick, 2003)

Kategori Diagnosis Diagnosis


Tulang Kranium (termasuk Congenital and developemental
mandibula) disorder : aplasia, hypoplasia,
hyperplasia, dysplasia (1st and 2nd
branchial arch anomaly), Pierre
Robins Syndrome, Treacher Collins
Syndrome, condylar hyperplasia,
prognatism, fibrous dysplasia
Acquired Disorder (neoplasia, fraktur)
Temporomandibular Joint Disorder Deviation in form
(TMD) Disk displacement (dengan/tanpa
reduksi)
Diskolorasi
Kondisi Inflamasi (synovitis,
capsulitis)
Arthtitis (osteoarthritis, osteoarthrosis,
polyarthritides)
Ankyloses (fibrous, bony)
Neoplasia
Masticatory Muscle Disorder Myofascial pain
Myositis
Spasm
Protective Splinting
Contracture

Sistem klasifikasi ini sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis

sesuai dengan gambaran klinis. Tabel 2.2 menjelaskan tentang diagnosis yang

berhubungan dengan TMD


15

Tabel 2.2 Diagnosis yang berhubungan dengan TMD (Greenberg dan Glick,

2003)

Diagnosis Gambaran Klinis


Deviasi 1. Keluhan pada pergerakan sendi
2. Sendi berbunyi saat gerakan
membuka/menutup mulut
3. Gambaran radiografi
menunjukkan adanya
abnormalitas pada tulang
dengan bentuk normal

Disk displacement with reduction 1. Nyeri ditimbulkan saat


(kelainan pada disk-condylar pergerakan sendi
structural relation saat proses 2. Sendi berbunyi saat gerakan
translasi mendibula saat membuka/menutup mulut
membuka/menutup mulut. 3. Soft tissue imaging
Ketidakharmonisan “sementara” pada menunjukkan gambaran
disk dengan condyles menyebabkan displaced disk saat pembukaan
bunyi pada sendi yang disebut mulut
“clicking”atau “popping” 4. Gambaran klinis yang dapat
mendukung diagnosis : nyeri
saat pergerakan sendi, deviasi
dengan bunyi click, tidak ada
gangguan pada bukaan mulut
<35 mm.

Disk displacement without reduction 1. Nyeri ditimbulkan saat


pergerakan sendi
2. Pembukaan mandibular
16

terbatas
3. Pergerakan laterotrusion pada
sisi kontralateralnya terbatas
4. Soft tissue imaging
menunjukkan displaced disk
without reduciion
5. Gambaran klinis : nyeri saat
pembukaan mulut secara tiba-
tiba, riwayat clicking
bersamaan dengan locking,
nyeri saat palpasi sendi
terinfeksi, hiperoklusi
ipsilateran
Synovitis atau Capsulitis 1. Nyeri terlokalisir dan
diperparah saat fungsi,
terutama pada sendi bagian
superior dan posterior
2. Gerakan sendi terbatas karena
nyeri
3. Gambaran MRI menunjukkan
adanya cairan pada sendi
Osteoarthrosis (kondisi degenerative 1. Krepitus
noninflamasi disertai inflamasi 2. Gerakan terbatas menyebabkan
sekunder (syinovitis) pada TMJ) deviasi pada sisi terinfeksi saat
membuka mulut
3. Gambaran radiografi
menunjukkan perubahan
struktur tulang dan
penyempitan ruang sendi
Osteoarthritis (kondisi degenerative 1. Sama seperti osteoarthosis,
disertai inflamasi sekunder (synovitis) ditambah krepitus dan
pada TMJ beberapa bunyi sendi, nyeri
saat fungsi karena inflamasi,
dan sensitive terhadap palpasi
Myofascial pain ( nyeri tumpul dan 1. Nyeri terlokalisasi, biasanya
adanya titik nyeri (trigger point) pada tumpul
otot, tendon, atau fascia yang 2. Nyeri sensitive pada otot atau
menyebabkan nyeri saat palpasi dan fascia tertentu
dapat membentuk pola nyeri khas 3. Reduksi nyeri dapat dilakukan
pada bagian tertentu) dengan injeksi anestesi local
17

atau vapoolant spray


Myositis generalized 1. Nyeri terlokalisir
2. Nyeri meningkat saat
pembukaan mandibular
3. Gerakan terbatas sedang atau
berat, karena nyeri dan
pembengkakan
4. Onset diawali oleh injury atau
infeksi.

2.5 Pemeriksaan TMD

Pemeriksaan dengan tepat dilakukan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Alat diagnostic seperti USG, analysis of joint sound,

thermography, dan elektromyografi tidak menjamin ketepatan diagnosis.

Gambaran radiografi ini dapat membantu keakuratan dalam mendeteksi kerusakan

internal dan abnormalitas tulang articular (Greenberg dan Glick, 2003).

Nyeri merupakan karakter utama TMD. Namun, nyeri disini dapat berasal

dari penyakit lain yang tidak terdeteksi yang menyerupai gejala TMD. Nyeri

berdenyut hebat pada bagian temporal, bersamaan dengan nodular arteri temporal

teraba, sakit kepala hebat disertai mual dan muntah, serta pendengaran

menurun/hilang mengindikasikan gejala serius pada penyakit TMD (Greenberg

dan Glick, 2003).

Pemeriksaan harus menghasilkan diagnosis pada TMD dan perkiraan

stress psikologis dan berhubungan dengan nyeri yang dihasilkan. Faktor

kontribusi juga dapat berpengaruh dalam keberhasilan perawatan. Tidak ada

individu yang dapat diharapkan untuk mengatur gaya hidup, kognitif, dan
18

kebiasaan social yang dapat berpengaruh pada nyeri kronis. Sehingga,

pemeriksaan faktor ini dan kesehatan umum pasien perlu diperhatikan. Table di

bawah ini menjelaskan tentang faktor kontribusi penyakit TMD (Greenberg dan

Glick, 2003).

Tabel 2.3 Faktor yang berkontribusi pada penyakit TMD (Greenberg dan Glick,
2003).

Gaya Hidup 1. Pola makan


2. Tidur
3. Alcohol
4. Pekerjaan
5. merokok
Faktor Emosional 1. marah berkepanjangan
2. kecemasan
3. khawatir berlebihan
4. depresi
Faktor Kognitif 1. gambaran diri negative
2. ekspektasi tidak realistis
3. ketidakmampuan bekerjasama
Faktor Biologis 1. Penyakit lainnya
2. Trauma terdahulu
3. Operasi rahang sebelumnya
Faktor Sosial 1. Stress pekerjaan
2. Tidak bekerja
3. Stress keluarga
4. Kesulitan keuangan

2.5.1 Riwayat Penyakit

Keluhan utama pada pasien dengan TMD adalah nyeri. Nyeri ini

biasanya berhubungan dengan fungsi mandibular. “Pain diary” dapat

membantu dalam menentukan setiap terjadinya peningkatan atau


19

penurunan nyeri. Pasien juga dapat mencatat perilaku atau kondisi yang

dapat menyebabkan nyeri (Greenberg dan Glick, 2003).

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pola abnormalitas dapat menentukan sumber masalah dan

kemungkinan diagnosis. Otot mastikasi yang terasa lunak saat palpasi

merupakan hal yang paling konsisten yang ditemukan pada kasus TMD.

Gambaran klinis yang membedakan dengan pasien normal :

1. Pembukaan mulut pasif

2. Masticatory muscle tenderness saat palpasi dan pembukaan mulut

maksimal

3. Deviasi tidak tepat saat pembukaan mulut maksimal dan tenderness

saat palpasi

4.

Tabel 2.4 Komponen Pemeriksaan dan Observasi pada TMJ

Komponen Pemeriksaan Observasi


Inspeksi 1. Asimetri fasial, pembengkakan,
hipertrofi otot masseter dan temporal
2. Pola pembukaan mulut (corrected or
uncorrected deviation), gerakan
tidak teratur (terbatas)
Pemeriksaan gerakan 1. Pembukaan maksimal dengan
20

mandibular nyaman, dengan nyeri, dengan


bantuan praktisi
2. Gerakan maksimal ke lateral dan
protrusive
Pemeriksaan palpasi 1. Otot mastikasi
2. Sendi Temporomandibular
3. Otot leher dan otot aksesori pada
rahang
4. Daerah parotid dan submandibular
5. Kelenjar limfe
Tes provokasi 1. Static pain test
2. Nyeri pada sendi atau otot saat
tooth clenching
3. Reproduksi gejala saat
pengunyahan (dengan bantuan
lilin, permen karet tidak bergula)
Pemeriksaan intraoral 1. Tanda parafungsi (cheek or lip
biting, accentulate linea alba,
scallop tongue border, occlusal
wear, tooth mobility, sensitivitas
merata pada perkusi, tes termal,
fraktur multiple pada enamel dan
restorasi)

2.5.3 Pemeriksaan Parafunctional Habits

Sulit untuk menentukan kebiasaan buruk oral pada pasien. Pasien

seringkali tidak sadar pada saat tooth clenching. Melaporkan diri sendiri,

pemeriksaan aktivitas rahang saat siang hari dan laporan dari teman tidur

dapat membantu dalam menentukan kebiasaan parafungsi (Greenberg dan

Glick, 2003).

2.5.4 Gambaran Diagnostik


21

Saat pemeriksaan klinis menunjukkan adanya kerusakan progresif

pada TMJ, lakukan pengambilan gambar radiografi. Luka terbaru,

abnormalitas sensoris dan motoris, keterbatasan gerakan mandibula, dan

kelainan oklusi merupakan gambaran klinis yang membutuhkan gambaran

radiografi. Pemeriksaan TMJ dapat dilakukan dengan plain-film

radiography, tomography, arthrography, computerized tomography (CT),

magnetic resonance imaging (MRI), dan scanning radioisotope. MRI

merupakan pengambilan gambar pilihan untuk menentukan pemeriksaan

posisi diskus (Greenberg dan Glick, 2003).

2.5.5 Gejala Klinis secara Umum

Gejala utama pada TMD adalah nyeri. Nyeri dapat muncul saat

istirahat, berlangsung secara terus-menerus atau hilang timbul, dan

meningkat saat rahang berfungsi seperti mengunyah, atau membuka mulut

lebar. Penemuan lain adalah adanya nyeri pada saat palpasi TMJ atau otot

mastikasi, keterbatasan gerak mandibular dan gerakan yang tidak

terkoordinasi, gerakan sendi irregular ditandai dengan clicking dan suara

lain. Myofascial pain merupakan gejala utama pada TMD, dan dapat

muncul dengan atau tanpa keterbatasan pembukaan mulut. Nyeri

menyebabkan keterbatasan pembukaan mulut, sehingga derajat nyeri

sangat berpengaruh terhadap besar bukaan mulut pada TMD. Nyeri TMD

kronis dipengaruhi oleh perilaku social, kebiasaan, dan gangguan social.


22

Tujuan perawatan TMD adalah untuk mengontrol nyeri dan untuk

mengembalikan gerakan dan fungsi mandibular semirip mungkin dengan

gerakan normal. Pasien akan mengalami masa penyembuhan untuk

mengobati gejala, sehingga mayoritas pasien dianjurkan untuk diberi

perawatan non-invasif sebagai terapi inisial. Intervensi bedah harus

dilakukan apabila pasien mengalami nyeri berkepanjangan dan disfungsi,

serta pasien dengan kondisi patologi, tnternal derangement, dan bila terapi

konservatif tidak berhasil dilakukan (Greenberg dan Glick, 2003).

2.6 Manajemen pada penyakit TMJ

Manajemen pada penyakit TMJ bertujuan untuk menurunkan nyeri,

mengembalikan pergerakan rahang normal dan mengembalikan fungsi gaya hidup

normal dan fungsi rahang normal. Perawatan penyakit TMJ terbagi menjadi dua,

pertama adalah non-surgical therapy yang meliputi teknik relaksasi, konseling,

fisioterapi, farmakoterapi, hipnosis, dan occlusal-splint therapy dan surgical

therapy. (Singh, et al., 2014).

2.6.1 Perawatan TMD Non-Invasif

Terapi non invasif perlu dilakukan sebelum melakukan perawatan

invasif, permanen atau semipermanen yang memiliki potensi

menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, (Singh, et al., 2014).

2.6.1.1 Melatih diri sendiri

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meredakan gejala, yaitu :
23

1. Diet lunak

2. Gunakan kantong es

3. Hindari gerakan rahang ekstrem (menguap lebar, bernyanyi kencang,

mengunyah permen karet

4. Lakukan peregangan dan latihan relaksasi yang dapat meningkatkan

pergerakan rahang (Singh, et al., 2014).

2.6.1.2 Intervensi Farmakologis

Sebagian besar pasien mengalami remisi gejala setiap waktu (biasanya 2

sampai 4 minggu) dan pasien dapat dirawat secara konservatif. Nyeri TMJ yang

disebabkan oleh faktor stress dapat diobati dengan obat-obatan antidepresan,

NSAID, dan konseling. Acetaminophen dengan codeine dapat digunakan dengan

NSAID. Acetaminophen dan non steroidal antiinflamatory drugs (NSAID) dapat

mengatasi nyeri akut dan kronis. Intervensi farmakologis serupa dilakukan pada

pasien dengan penyakit muskuloskeletal sebagai pilihan perawatan. Untuk muscle

spasm dan chronic bruxism, muscle relaxant atau benzodiasepine mungkin

dibutuhkan apabila teknik relaksasi konservatif dirasa gagal. Tricyclic anti-

depressant dapat membantu meredakan nyeri, terutama pasien dengan nyeri

karena bruksisme di malam hari (Singh, et al., 2014).

2.6.1.3 Dental Occlusion Therapy

Dental occlusal splinting dan permanent occlusal adjustment telah

digunakan dalam perawatan penyakit TMJ, meskipun belum terdapat dasar ilmiah
24

yang menyatakan bahwa maloklusi pada gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah

menyebabkan nyeri pada TMJ.

Gambar 2.9 Occlusal splint (Singh, et al., 2014).

Terdapat dua tipe utama occlusal splint, yaitu tipe permitive dan directive.

Permissive splint dirancang untuk menghilangkan kontak oklusi yang tidak baik

dan mengembalikan fungsi dan harmonisasi otot mastikasi. Fungsi utama splint

ini adalah untuk membedakan oklusi sehingga gigi terganggu dengan penempatan

kondilus yang benar dan untuk mengatur tekanan pada otot. Directive splint

dirancang untuk mengarahkan mandibula menjauh dari posisi sendi sebelumnya

bila terdapat keluhan rasa nyeri. Bila permitive splint berguna untuk

menempatkan kondilus sesuai dengan posisi ke arah superior/anterior dengan

bantuan elevator muscle, directive splint mencegah kontak lengkap pada sendi

dengan mengarahkan mandibula ke postur lebih ke depan pada saat penutupan ke

dalam oklusal splint. Reposisi anterior directive splint dapat berguna untuk kasus

seperti trauma hebat dengan edema retrodiscal dan nyeri, kronis pada disc

displacement disorder (Singh, et al., 2014)


25

2.6.1.4 Injeksi

Injeksi pada tender muscle, trigger area, dan/atau joint space dengan

larutan anestesi lokal berguna untuk diagnosis dan menyembuhkan gejala. Injeksi

kortikosteroid dapat berguna untuk meredakan capsulitis. Kutroglu, et al., telah

meneliti injeksi BTX-A pada kelompok non-bruxers dengan myofascial pain.

Selanjutnya, intensitas nyeri didan electromyography diukur. Hasilnya terdapat

penurunan signifikan pada nyeri seiring dengan peningkatan status psikologis

pasien (Singh, et al., 2014).

Gambar 2.10 Botox injection (Singh, et al., 2014).

2.6.1.5 Physical Therapy

Physical therapy bersama dengan metode perawatan lainnya berguna

untuk meredakan nyeri muskuloskeletal dan meningkatkan variasi gerakan dengan


26

latihan berbagai macam gerakan, dengan dipandu oleh fisioterapis saat latihan.

Hal ini bermanfaat terutama setelah operasi sendi dilakukan (Singh, et al., 2014).

2.6.1.6 Psychotherapy

Tujuan utama intervensi psikoterapi pada pasien TMD adalah untuk

memecahkan masalah pasien dengan hubungan antara gejala somatik dengan

masalah psikologis dan interpersonal. Pasien harus dibimbing dengan spesialis

kesehatan jiwa. Pasien TMD yang telah menjalani beberapa perawatan namun

tidak berhasil perlu dievaluasi dalam kebutuhan perawatan psikologis (Singh, et

al., 2014)

2.6.1.7 Ultrasound

Gray et al yang telah disebutkan pada bagian perawatan termal, ultrasound pada

0,25 W/cm2 2 – 1,2 nadi dalam waktu 2 menit merawat pasien 3 kali setiap

minggu selama 4 minggu menghasilkan pasien yang sembuh dari nyeri TMD

secara signifikan pada 3 bulan control bila dibanding dengan grup placebo.

Dibandingkan grup ultrasound dengan perawatan lain pada penelitian ini yang

dinamakan diathermy gelombang pendek, Megapulse dan 904 nm laser intensitas

rendah Gallium Arsenide, tidak didapatkan perbedaan secara signifikan pada

sejumlah pasien yang mengalami peningkatan klinis diantara grup. (Singh, et al.,

2014)

2.6.1.8 TENS (Transcutaneous electric nerve stimulation)


27

Rodrigeus D pada tahun 2004 menyebutkan bahwa saat istirahat, pasien

dengan TMD muscular memiliki aktivitas mioelektrik pada otot elevator rahang

bila disbanding dengan kelompok kontrol, lebih terlihat pada bagian anterior pada

otot temporal. Kruger LR pada tahun 1998 menyebutkan bahwa aplikasi TENS

telah terbukti memberikan penghilang rasa sakit dengan penurunan berangsur –

angsur dari aktivitas mioelektrik pada bagian anterior dari otot ini saat istirahat

adalah kemungkinan karena interaksi sensorimotor pada bagian craniofasial yang

mungkin merubah generasi aksi potensial dan, pada akhirnya, amplitude aktivitas

mioelektrik. Perawatan TENS telah menunjukkan hasil yang bermacam pada

perawatan nyeri miofasial. Penelitian one single-blinded membandingkan TENS

dengan TENS palsu pada 10 pasien untuk perawatan nyeri miofasial dan

menemukan tidak ada manfaat dari penurunan rasa sakit, walau begitu penelitian

menggunakan parameter sub ambang TENS. Dibandingkan dengan Graff-radford

dan temannya membandingkan empat pengaturan TEN yang berbeda dengan tidak

adanya control stimulasi pada studi double blind dan menemukan frekuensi yang

tinggi, intensitas yang tinggi TENS menurunkan nyeri miofasial.

Radford dan kawan – kawan melaporkan berkurangnya nyeri yang

signifikan di kelompok yang dirawat dengan TENS pada 100 Hz, stimulasi 250

msec diikuti dengan 100 Hz, 50 msec dibanding dengan kontrol. Walaupun

begitu, perbedaan signifikan dari ambang tekan nyeri tidak ditemukan di beberapa

kelompok. (Singh, et al., 2014)


28

2.8 Perawatan Invasif

2.8.1 Arthroscopi

Arthroscopi TMJ telah luas digunakan pada diagnosa dan perawatan dari

sendi yang berhubungan dengan TMD. Prosedur ini memiliki resiko yang rendah

dengan manfaat yang signifikan yang juga menyediakan dukungan diagnostik jika

dibutuhkan untuk manajemen yang sedang berlangsung. Prosedur ini dapat di

lakukan dibawah anastesi local atau umum dan biasanya membutuhkan rawat inap

pos- operatif yang pendek. Sediaan arthroscope 1.2 mm yang kecil telah

menunjukkan keluaran yang terjaga dan kemampuan diagnostik dibanding dengan

scope yang lebih luas dengan potensial menyebabkan morbiditas lebih besar.

Tampilan yang terbatas dari spasium sendi bagian bawah dan hasil dari operator

yang dependan dapat menjadi kekurangan dari prosedur ini. Karena mayoritas dari

kasus muncul dengan keterbatasan membuka mulut yang disebabkan keterlibatan

spasium sendi yang bagian atas, artroskopi TMJ yang dapat mentampilkan

spasium ini demi manajemen yang selanjutnya. Arthroskopi dan arthrosentesis

telah menunjukkan kesuksesan terapi dalam menurunkan nyeri sedangkan

meningkatkan hasil fungsional yang mencapai 90% dari kasus, namun tidak ada

perbedaan signifikan terapik yang dicatat antara 2 modalitas perawatan tersebut.

Penelitian Cochrane menunjukan arthroskopi untuk merawat kelainan TMJ

menunjukkan berkurangnya nyeri setelah 6 bulan.

2.8.2 Open Joint Surgery


29

Hasil yang sama telah dilaporkan mengenai pembedahan terbuka dan

pembedahan sendi arthroskopi untuk perawatan TMJ dan didapatkan arthroskopi

inisial invasif minimal adalah pilihan yang lebih baik, Eminektomi telah banyak

digunakan untuk perawatan dislokasi rekuren dan perpindahan diskus dengan

nyeri sendi yang berhubungan dan mendapatkan hasil yang diinginkan namun

sedikit bukti untuk mendukung hasil positif untuk manajemen nyeri TMJ. Bentuk

lain dari bedah terbuka (disc plication, discectomy, dan condylar shave) memiliki

eksponennya, semua mengatakan nilai 80% manfaat yang mengikuti pembedahan.

Condylar shave adalah perawatan pilihan untuk merawat hiperplasia kondilus dan

remodeling dari permukaan sendi untuk progres degeneratif pada derangement

internal.

Disektomi diindikasikan pada kerusakan diskus yang besar yang tidak dapat

diselamatkan. Hal ini adalah pilihan yang baik dari perawatan pasien dengan

clicking resiprokal atau closed lock kronis karena penyakit diskus, namun

memiliki hasil yang lebih buruk saat arthroskopi gagal. Walaupun terdapat

beberapa bahan interposisi telah digunakan dan penggantian yang ideal yang

mengikuti discectomy TMJ belum disebutkan. Apakah diskus harus diganti

seluruhnya masih perdebatan.


BAB III

LAPORAN KASUS TEMPOROMANDIBULAR JOINT DISORDER

3.1 Kasus 1

Keterlibatan TMJ Bilateral pada Artritis Reumatoid

Pritesh B. Ruparelia, Deep S. Shah, Kosha Ruparelia, Shreyansh P. Sutaria, and Deep Pathak

3.1.1. Pendahuluan

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit kronis inflamatoris yang memiliki

karakteristik berupa pembengkakan sendi, kelembekan sendi dan kerusakan sendi

synovial, yang mengarah ke kelainan parah dan mortalitas prematur.

Deskripsi pertama dari RA yang dikenalkan oleh Dr. Augustin Jacob Landre-

Beauvais dari Paris pada tahun 1800. B Garrod menamakan penyakitnya rheumatoid

arthritis pada tahun 1858 yang mengganti istilah lama yaitu arthritis deformans dan

rheumatic gout. Dia yang diberi penghargaan dalam pemberian perbedaan yang jelas

antara artritis rheumatoid, osteoarthritis dan gout. Pada tahun 1932 International

Committee on Rheumatism dibentuk yang nantinya diganti namanya menjadi American

Rheumatism Association dan lalu American College of Rheumatology.

Keluhan TMJ muncul pada lebih dari 50% pasien RA.TMJ biasanya menjadi

sendi terakhir yang terlibat dan berhubungan dengan banyak tanda klinis dan gejala

dimana nyeri menjadi masalah yang besar yang nantinya mengarah ke inflamasi,

30
31

pergerakan yang terbatas, bengkak (kekakuan sendi) dan spasme otot. Jika hal tersebut

terjadi pada umur yang masih muda akan menghasilkan gangguan pertumbuhan pada

mandibular, deformitas fasial, dan ankilosis dan pada orang dewasa hal ini dapat beragam

dari kekakuan sendi ringan ke gangguan sendi total dengan deformitas okluso fasial.

Diagnosis dari keterlibatan TMJ pada RA secara khusus berdasar pada sejarah,

temuan fisik, studi radiografik dan tes lab. Maka pendekatan multidisipliner amat

dibutuhkan.

Laporan penelitian berikut adalah kasus RA dengan keterlibatan TMJ bilateral

dengan temuan radiografi klasik.

3.1.2. Laporan Kasus

Seorang pasien perempuan berumur 29 tahun datang dengan keluhan nyeri di

depan kedua telinganya dan tidak nyaman selama membuka mulut sejak 2 bulan yang

lalu. Keluhan yang lain termasuk anoreksia, gelisah, lelah, dan lemah. Empat minggu

kemudian dia merasakan perasaan nyeri yang menusuk – menusuk pada sendi yang

semakin parah saat mengunyah. Secara berangsur – angsur nyeri semakin sering terasa,

membuat pasien sulit membuka mulut dan diikuti dengan suara kliking saat mulut

terbuka pada sisi kanan di depan telinga. Riwayat medis dan bedah lainnya menunjukkan

nyeri yang ringan dan kekakuan sendi pada tangan dan kaki.

Pemeriksaan umum menunjukkan deformitas sendi minor dan kekakuan pada

sendi interpalangeal pada tangan dan kaki, menyebabkan deformitas leher angsa pada jari

– jari yang merupakan deformitas yang menurunkan fungsi pergelangan tangan dan jari –
32

jari. Pembengkakan terlihat pada sendi interfalangeal pada jari tengah, ketiga dan

keempat pada tangan kiri dan pada aspek lateral pada sendi pergelangan tangan sisi

kanan.

Gambar 3.1 Menunjukkan deformitas sendi dengan kekakuan sendi interfalangeal dari
tangan

Gambar 3.2 Menunjukkan deformitas akar angsa dari tangan kiri


33

Gambar 3.3 Menujukkan nodul pada sendi pergelangan tangan dilihat dari aspek lateral

Gambar 3.3 Menunjukkan adanya nodul pada sendi interfalangeal pada jari ketiga,
tengah dan keempat dari tangan kiri

Pemeriksaan TMJ menunjukkan berkurangnya pergerakan dan nyeri preaurikular

yang tumpul saat fungsi. Depresi preaurikular sisi kanan dengan deviasi mandibula pada

sisi yang sama (kanan) saan membuka mulut. Pada palpasi bilateral rasa lembek terasa

dan lebih terasa pada sisi sebelah kanan. Krepitasi terdengar di sisi kanan dan kiri TMJ,

lebih sering di sisi kanan saat pembukaan mulut.

Gambar 3.4 Menunjukkan deviasi mandibular ke sisi kanan

Berdasarkan riwayat yang detail dan pemeriksaan klinis yang lengkap pasien

didiagnosis berupa keterlibatan TMJ bilateral disebabkan RA dengan diagnosis banding

Gout, Osteoarthritis, sindrom Felty, Still’s Disease, Sistemik Lupus Eritematus (SLE) dan

sindron Sjogren. Pasien lalu dirujuk ke pemeriksaan radiologi dan laboratorium.


34

Pemeriksaan panoramik menunjukkan erosi irregular pada sisi kanan dan kiri

kepala kondilus dengan eminensia yang menjadi rata. Pemeriksaan digital TMJ OPG

menunjukkan perubahan erosif dengan berkurangnya kortikasi pada permukaan

posterosuperior dari kondilus kanan dan kiri fossa glenoidales. Pada posisi mulut yang

terbuka pada sisi kanan kepala kondilus muncul di bawah eminensia artikularis yang

diduga menjadi sulitnya translasi kondilus. Area scooped out dari erosi pada spek

posterosuperior kepala kondilus menunjukkan gambaran “mouth piece of flute”, tanda

yang khas dari RA.

Gambar 3.5 Panoramik dan perubahan Erosif

Radiografi pergelangan tangan menunjukkan osteoporosis periartrikular pada

sendi interfalangeal pada jari – jari dan menyempitnya ruangan sendi terlihat pada sendi

dari tangan.
35

Gambar 3.6 Area Scooped out pada kepala kondilus dan Radiografi pergelangan tangan

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan level hemoglobin sebesar 9.2 mg/dL dan

ESR yang meningkat ke 65 mm setelah satu jam kemudian, dan jumlah hitung leukosit

9200/cmm pada aliran darah dengan hitungan banding yang normal. Tes RA untu factor

rheumatoid (RF) dengan metode aglutinasi lateks menunjukkan level yang meningkat

73.40 IU/L (Ref value : up to 10 IU/L) dan tes antibodi nuklear (ANA) dengan metode

imunofluoresens tidak langsung menunjukkan antibody antinuclear yang meningkat

untuk RA. Level serum asam urat ditemukan normal, 4.9 mg% (Nilai ref adalah 2.4 –

5.7% untuk perempuan).

Dengan hasil yang didapat di atas maka diagnosis RA dikonfirmasi. Setelah itu,

pasien dirawat dengan NSAID dan kortikosteroid dan selanjutnya diberikan instruksi oral

dan tertulis untuk terapi panas dan dingin dan anjuran olahraga gerak beberapa kali
36

dengan istirahat. Pasien lalu dating kembali setelah 2 minggu dan melaporkan

penyembuhan dari gejala. Pasien lalu direfer ke rheumatologis untuk mendapat pendapat

ekspert dan kebutuhan perawatan yang lengkap untuk RA.

3.1.3 Diskusi

Reumatoid Artritis (RA) adalah penyakit yang memiliki karakteristik berupa

inflamasi pada membrane sinovial. Franks pada tahun 1969 melaporkan bahwa

perempuan memiliki kecenderungan 3 kali lebih besar terserang penyakit ini daripada

laki – laki. Abjiheet dan Shirish pada tahun 2010 juga mendapatkan temuan yang sama.

Kami juga melaporkan kasus pada pasien perempuan.

Gynther dan Tronje pada 1998 melaporkan 80% orang – orang dengan RA

menunjukkan tanda dan gejala dari penyakit pada umur 35 dan 45 tahun, penelitian lain

yang dilakukan Voog et al pada tahun 2003 dan Ardic et al pada tahun 2006 juga

melaporkan rata – rata umur dalam kisaran ini namun kami melaporkan pasien pada

umurnya yang di awal 30 tahun.

Kori dan Stephen pada tahun 2012 melaporkan bahwa pemeriksaan klinis yang

ditemukan beragam dari ketidaknyamanan sendi yang ringan dengan durasi waktu yang

pendek ke polyarthritis kronis, nyeri, dan deformitas sendi dengan pembengkakan.

Inflamasi kronis dapat berakhir ke kehilangan kartilago, erosi, dan lemahnya tulang dan

otot, yang menghasilkan deformitas sendi, kerusakan, dan hilang fungsi, yang positif

pada kasus ini dengan tambahan adanya deformitas leher angsa pada jari – jari.
37

Franks melaporkan gambaran umum pada pasien dengan RA adalah lembeknya

sendi (70%) diikuti oleh krepitasi sendi (65%) dan nyeri pad fungsi mandibular (60%)

dan kesulitan membuka mulut yang semuanya positif pada kasus ini. Tanda klinis yang

paling khas pada RA adalah kelembekan yang terasa pada sendi dan krepitasi yang

muncul pada kasus ini. Penyakit memengaruhi secara sistemik pada kulit, pembuluh

darah, mata, pleura, paru – paru, saraf periferal, dan kelenjar endokrin namun tidak ada

keterlibatan sistemik yang mucul pada kasus ini, yang mungkin dapat didiagnosa lebih

awal.

Helenius et al pada tahun 2005 melaporkan bahwa pada RA, beberapa sendi pada

tubuh biasanya terengaruhi, TMJ adalah sendi terakhir yang terlibat. Pada penelitian oleh

Abhijeet dan Shirish pada tahun 2010 yang dilakukan pada pasien RA, durasi rata – rata

dari penyakit secara umum adalah 11.2 tahun sedangkan durasi gejala yang terasa pada

TMJ adalah 1.7 tahun. Penemuan ini mirip dengan penemuan Voog et al. Pada kasus

yang dijelaskan berikut, walaupun TMJ terlibat setelah sendi pergelangan tangan adalah

tidak ada sendi lain dan keterlibatan sistemik yang lain, maka dapat disimpulkan bahwa

kasus kami merupakan kasus yang penyakit pada fase yang lebih awal bila dibandingkan

dengan peneliti lainnya.

The American College of Rheumatology (ACR) 1987 menyebutkan kriteria untuk

mendiagnosis RA. Walaupun begitu, kriteria ini terbatas dengan sensitivitas yang lemah

dan spesifisitas untuk mengklasifikasikan pasien dengan pembengkakan artritis yang

awal dengan berpenyakit RA. Mereka gagal untuk mengidentifikasi individu dengan

artritis yang sangat awal yang selanjutnya berkembang menjadi RA.


38

Hasil dari kekurangan dan perkembangan ini, ACR and European League Against

Rheumatism (EULAR) memiliki kriteria klasifikasi baru untuk artritis awal yang menilai

keterlibatan sendi, status autoantibodi, dan respon fase akut dan durasi gejala. Pada tahun

2010 mereka memberikan kriteria klasifikasi untuk rheumatoid artritis. Pada skor

minimal 6 dari 10 dibutuhkan untuk menghasilkan RA definitif. Pada kasus kami, skor

yang didapatkan adalah 7 (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Skor Klasifikasi American College of Rheumatology

Ardic et al pada tahun 2006 melaporkan perubahan radiologi TMJ melingkupi

erosi kortikal, menurunnya ruangan sendi, deosifikasi, kepala pensil yang tajam atau

deformitas yang mebentuk duri dari kepala kondilus dan kista subkortikal yang positif

pada kasus kami, kecuali kista subkortikal.

Abhijeet dan Shirish pada tahun 2010 melaporkan pada pasien dengan rheumatoid

artritis, penemuan yang predominan adalah erosi kondilus (85%) diikuti sclerosis
39

kondilar yang mirip dengan penelitian Gynther dan Tronje , Goupille et al dan Voog et al.

Sklerosis adalah tanda penyembuhan sendi yang kontras dengan erosi, yang

mendikasikan penyakit tulang aktif. Penemuan ini konsisten dengan kasus kami.

Arnett et al pada tahun 1988 berkata bahwa bukti yang jelas dari erosi yang

terlihat pada tomogram panoramic secara signifikan berhubungan dengan pergerakan

kondilus yang terbatas pada radiografi panoramik lateral. Hal ini juga dilaporkan pada

kasus ini.

Goupille et al pada tahun 1992 melaporkan lesi erosif dapat mengindikasikan

perubahan akut atau awal sedangkan formasi osteofit dan merata yang mengindikasikan

perubahan TMJ pada periode akhir.

Kurita et al pada tahun 2004 melaporkan beban fungsional dan parafungsional

menunjukkan perubahan adaptif dan degeneratif pada sendi yang menahan beban

termasuk TMJ. Pada TMJ bagian anterosuperior dari kondilus mandibular dan sisi

posterior dan bagian inferior dari eminensia artikularis diasumsikan memiliki beban yang

paling berat. Abhijeet dan Shirish pada tahun 2010 juga melaporkan erosi pada bagian

superior kondilus mandibula ditemukan paling sering di rheumatoid artritis. Kasus

berikut melaporkan bagian posterosuperior dari kondilus yang terkena.

Franks pada tahun 1969 menyebutkan perubahan biasanya muncul pada margin

anterior dari kondilus secara progresif dan kerusakan menyebabkan kondilus membentuk

deformitas seperti pensil yang tajam. Uotila pada tahun 1964 berpendapat erosi yang

terjadi hanya pada aspek anterior berbentuk seperti “the mouthpiece of the flute”. Namun
40

pada kasus ini, erosi terjadi pada aspek posterosuperior menunjukkan bentuk mouthpiece

of flute (disebut “reverse mouthpiece of flute appearance”).

3.1.4 Kesimpulan

Terdapat banyak hal yang perlu diperhatikan oleh dokter gigi dalam perawatan

TMJ yang terlibat RA. Walau begitu, tanda dan gejala yang melibatkan TMJ dengan RA

perlu selalu menjadi dugaan. TMJ biasanya berada pada sendi yang terakhir yang terlibat

namun pemeriksaan fungsional dari TMJ biasanya menunjukkan gejala klinis pertama

dan maka dokter gigi dapat membantu pasien untuk diagnosis awal dan manajemen dari

kelainan poliartikular dan multiorgan yang mengiringi tidak terbatas pada area orofasial.

3.2 Kasus 2

Unilateral Temporomandibular Joint Ankylosis : A Case Report

Dr. G. Shanmugavadivel, Dr. A. Vasanthakuman, Dr. S. Sankar

3.2.1 Abstrak

Ankilosis pada Temporomandibular Joint (TMJ) merupakan fusi pada kondilus

mandibular ke dasar tengkorak. Saat hal ini terjadi pada anak-anak, dapat menyebabkan

kerusakan pada proses pertumbuhan dan perkembangan gigi dan rahang anak. Selain itu,

pada beberapa kasus ditemukan pengaruh negative dari lingkungan sosial karena

deformitas wajah yang dapat memperburuk proses pertumbuhan. Jurnal ini menjelaskan
41

tentang pasien anak berusia 9 tahun dengan diagnosis unilateral TMJ Ankylosis

(Shanmugavadivel, G., et al., 2016).

3.2.2 Pendahuluan

Temporomandibular Joint (TMJ) Ankylosis merupakan penyakit keterbatasan

pembukaan mulut reduksi sebagian atau imobilitas lengkap pada rahang. Pada beberapa

kasus disertai dengan trauma local (13-100%) atau infeksi sistemik (10-49%), atau

penyakit sistemik (10%), seperti ankylosis spondylitis, rheumatoid arthritis, atau

psoriasis. Ankylosis dapat juga menyebabkan pembedahan pada TMJ (Shanmugavadivel,

G., et al., 2016).

Ankylosis pada sendi temporomandibular (TMJ) merupakan penyatuan

intrakapsuler pada disk condyle complex dengan permukaan temporal articular yang

membatasi gerakan mandibular seperti adhesi fibrosa atau fusi tulang antara kondilus,

disk, fossa glenoidalis dan eminensia. hal ini merupakan kondisi disabilitas yang

berbahaya, sebab dapat mengganggu proses mastikasi, pencernaan, bicara, penampilan,

dan kebersihan mulut. Hal ini juga dapat menyebabkan terganggunya tumbuh kembang

wajah dan mandibula. Hal ini dapat berbahaya bila mengganggu saluran napas sebab

dapat menghasilkan kecacatan fisik dan psikososial. Ankylosis dapat ditandai dengan

adanya penyatuan permukaan sendi oleh tulang atau jaringan ikat (Shanmugavadivel, G.,

et al., 2016).

Klasifikasi TMJ ankyloses ditentukan berdasarkan sisi (intra atau ekstra articular),

tipe jaringan yeng terlibat (bony, fibre, atau fibro-osseous tissue), dan derajat fusi
42

(complete atau incomplete). Hal ini dapat diklasifikasikan sebagai tipe I apabila terdapat

kondilus dan adhesi pada jaringan ikat. Tipe II, bila terdapat bony fusion, dan tipe III, bila

terdapat ankylotic block, dimana ramus mandibula fusi dengan arkus zigomatikus, dan

sisi medial tetap berkontak. Tipe IV, merupakan true ankylotic block dimana terdapat

perubahan anatomi sebab ramus berfusi dengan basis kranii. Pada kasus ini, terdapat

pasien anak laki-laki berusia 9 tahun dengan diagnosis unilateral TMJ Ankylosis

(Shanmugavadivel, G., et al., 2016).

3.2.3 Laporan Kasus

Pasien anak laki-laki berusia 9 tahun datang dengan keluhan utama

ketidakmampuan membuka mulut. Sebagai presentasi awal, tinggi anak 129 cm dengan

berat badan 30 kg. Anak dalam kondisi sehat dan tidak ada komplikasi saat proses

kelahiran.

Gambar 3.7 Pasien anak usia 9 tahun (sisi lateral) (Shanmugavadivel, G., et al., 2016).

Pemeriksaan ekstraoral menunjukkan hipoplastik mandibular dengan hubungan

gigi-geligi Kelas II. Midline mandibula bergeser 8 cm ke kanan dari midline wajah, dan
43

bidang oklusi canted. Profil wajah cembung, bibir tidak kompeten, asimetri fasial dengan

mandibular deviasi ke kanan mendekati sisi kanan wajah. Kelenjar limfe tidak terpalpasi,

dan pembukaan mulut sedikit. Pemeriksaan intraoral, jaringan mukosa normal, karies

pada 53 dan 83, retained 72, crowding anterior RA dan RB, dan unilateral posterior

crossbite. Diagnosis klinis selanjutnya didukung dengan gambaran radiografi oleh

orthopentamograph (OPG untuk mengetahui penurunan joint space, antagonis notch,

mushrooming condyle, dan coronoid hyperplasia (Shanmugavadivel, G., et al., 2016).

Gambar 3.8 Gambaran OPG (Shanmugavadivel, G., et al., 2016).

Rencana perawatan yang akan dilakukan kepada pasien adalah :

1. Gap arhtoplasty melalui pendekatan submandibular atau preauricular

2. Coronoidectomy

3. Costhochondral Graft with rapid internal fixation

4. Penempatan splint

5. Perawatan orthodontic setelah operasi orthognatik


44

Operasi awal dilakukan di bawah anestesi umum. Gap arthroplasty dan

coronoidectomy dilakukan melalui pendekatan mandibular. Saat prosedur berlangsung,

bukaan mulut sebesar 20 mm. splint diamankan melalui skeletal fixation.

Maxillomandibular fixation dipasang selama 2 hari dan pasien diperbolehkan pulang

setelah 3 hari pasca operasi. Pasien selanjutnya diminta untuk berlatih dengan tongue

blade untuk meregangkan otot mulut secara maksimal. Twin block mulai digunakan 3

bulan setelah operasi. Pada saat itu, pembukaan mulut meningkat menjadi 25 mm. Pada

kunjungan berikutnya, oklusi pasien telah stabil dan pembukaan mulut vertical sebesar 26

mm, dengan gerakan lateral sebesar 4 mm dan 6 mm (Shanmugavadivel, G., et al., 2016).

Gambar 3.9 Pembukaan mulut post-operasi (Shanmugavadivel, G., et al., 2016).

Pembukaan mulut dan ekspresi wajah di evaluasi selama 7 hari, 30 hari, dan 60

hari. Pasien menunjukkan pembukaan mulut yang baik dan penyembuhan luka, dan

rehabilitasi kesehatan (Shanmugavadivel, G., et al., 2016).

3.2.4 Pembahasan
45

Temporomandibular Joint (TMJ) ankyloses merupakan salah satu penyakit TMJ yang

membahayakan sebab dapat mempengaruhi fungsi mastikasi, bicara, dan kebersihan

mulut.

Ankylosis yang ditemukan pada anak-anak pada umumnya menyebabkan asimetrisasi

wajah. Pada anak-anak, ankylosis terjadi karena fraktur kompresi intrakapsuler atau

artritis pendukung yang disebabkan oleh infeksi pada telinga tengah. Etiologi utama

disebabkan oleh trauma, penyakit sistemik, atau infeksi. Keterbatasan psikologis seperti

menelan, mastikasi, dan bicara merupakan komplikasi dari ankylosis. Secara klinis,

pasien menunjukkan keterbatasan dalam membuka mulut sehingga mengganggu

kebersihan mulut.

Ankylosis pada anak-anak biasanya terjadi sebagai fraktur atau kondilus tipe IV.

Ankylosis pada anak-anak dapat menjadi semakin buruk pada perkembangan tulang

wajah sehingga dapat mengganggu proses tumbuh kembang. Pada anak-anak, ankylosis

terjadi karena fraktur kompresi intrakapsuler yang disebabkan oleh suppurative arthritis

atau middle ear infection.

Penyebab dan perawatan TMJ ankylosis yang disebabkan oleh trauma atau infeksi

dapat menyebabkan dua hal utama. Pada anak-anak, TMJ ankylosis dapat menyebabkan

retrognasi mandibular yang dapat mengganggu fungsi dan estetis. Sehingga, perawatan

harus segera dilakukan setelah kondisi diketahui dengan tujuan utama untuk

mengembalikan fungsi sendi dan gerakan sendi harmonis.

TMJ ankylosis dibedakan menjadi fibrous atau bony dan menurut penelitian

terdahulu, fibrous ankylosis dapat berkembang menjadi bony ankylosis. Etiologi utama
46

TMJ ankylosis adalah trauma, terutama pada fraktur kondylus. Meskipun terdapat

hubungan antara fraktur kondilus dengan TMJ ankylosis, pathogenesis penyakit ini

belum dapat ditentukan secara pasti dan sangat sedikit penelitian yang pernah dilakukan

sebelumnya.

Onset penyakit biasanya terjadi pada anak usia 10 tahun dengan prevalensi laki-laki

seimbang dengan perempuan. Reduksi progresif pada rahang pada pemeriksaan awal dan

keterbatasan dalam membuka mulut sangat jarang ditemukan, sebab pasien masih dapat

membuka mulut pada kasus dengan diagnosis bony ankylosis. Secara umum,

pembentukan bony ankylosis membutuhkan waktu yang lama dari beberapa bulan hingga

beberapa decade setelah kecelakaan terjadi.

Perawatan anak dengan TMJ Ankylosis untuk mendapatkan pertumbuhan dan

perkembangan normal pada wajah sangat penting untuk mendapatkan pembukaan mulut

maksimal dengan gerakan bebas pada mandibula. Kesulitan pengunyahan, kebersihan

mulut buruk, rampan karies, gangguan pertumbuhan wajah, serta kemungkinan

penyempitan faring, dan gangguan sulit tidur karena adanya obstruksi saluran napas

merupakan beberapa komplikasi yang disebabkan oleh kegagalan dalam mengobati TMJ

ankylosis.

Metode pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan simple gap arthroplasty,

interpositional antroplasty, dan total joint replacement dengan protesa. Terdapat 7

langkah prosedur yang dapat dilakukan untuk merawat pasien dengan diagnosis TMJ

Ankylosis, antara lain.

1. Aggressive resection pada bony atau fibrous ankylotic mass


47

2. Dissection and stripping muskulus temporalis, pembuangan jaringan parut pada

ramus dan ipsilateral coronoidectomy

3. Contralateral coronoidectomy dan stripping m. masseter, otot medial pterigoid dan

otot temporalis

4. Membentuk new joint lining

5. Rekonstruksi condylus dengan costochondral graft

6. Rigid fixation pada graft

7. Early mobilization dan aggressive physiotherapy

Pada kasus unilateral TMJ ankylosis, observasi pada sendi lawan ditemukan

normal selama beberapa tahun. Perlu diketahui, pada kasus intermaxillary fixation,

gerakan kondilus sehat terbatas selama 4 hingga 6 minggu.

Pada pasien ini, terjadi peningkatan gerakan antero-posterior pada mandibula dan

terjadi peningkatan ukuran sejak dibuang nya jaringan ankylosis. Hasil akhir dinilai

memuaskan oleh pasien (Shanmugavadivel, G., et al., 2016).

3.2.5 Kesimpulan

TMJ ankylosis tidak hanya merusak kepala kondylus, fossa glenoidalis, atau

pertumbuhan mandibula. Namun, dapat mempengaruhi struktur basis kranii seperti os

sphenoid dan os temporale. Rekonstruksi sendi menggunakan autogenous atau allogenic

material untuk perawatan TMJ ankylosis terbukti efektif, menghasilkan pembukaan

mulut maksimal, dan mengembalikan fungsi sendi.


BAB IV

PEMBAHASAN

TMD merupakan istilah yang digunakan untuk mengenali sejumlah masalah

klinis yang meliputi otot – otot mastikasi, TMJ atau keduanya. Diagnosis dan klasifikasi

TMD ditentukan berdasarkan tanda dan gejala. American Academy of Orofacial Pain

menerbitkan suatu klasifikasi umum yang mempengaruhi tulang cranium, sendi

temporomandibular, dan otot mastikasi. Diagnosis penyakit yang meliputi tulang

Kranium (termasuk mandibula) adalah Congenital and developemental disorder : aplasia,

hypoplasia, hyperplasia, dysplasia (1st and 2nd branchial arch anomaly), Pierre Robins

Syndrome, Treacher Collins Syndrome, condylar hyperplasia, prognatism, fibrous

dysplasia Acquired Disorder (neoplasia, fraktur). Diagnosis penyakit yang termasuk pada

Temporomandibular Joint Disorder (TMD) adalah Deviation in form, Disk displacement

(dengan/tanpa reduksi), Diskolorasi, Kondisi Inflamasi (synovitis, capsulitis), Arthtitis

(osteoarthritis, osteoarthrosis, polyarthritides), ankilosis (fibrous, bony) dan Neoplasia.

Diagnosis penyakit yang termasuk Masticatory Muscle Disorder adalah Myofascial pain,

Myositis, Spasm, Protective Splinting dan Contracture.

Tujuan perawatan TMD adalah untuk mengontrol nyeri dan untuk

mengembalikan gerakan dan fungsi mandibular semirip mungkin dengan gerakan normal.

Pasien akan mengalami masa penyembuhan untuk mengobati gejala, sehingga mayoritas

pasien dianjurkan untuk diberi perawatan non-invasif sebagai terapi inisial. Intervensi

bedah harus dilakukan apabila pasien mengalami nyeri berkepanjangan dan disfungsi,

serta pasien dengan kondisi patologi, internal derangement, dan bila terapi konservatif

tidak berhasil dilakukan (Greenberg dan Glick, 2003). Perawatan penyakit TMJ terbagi

48
49

menjadi dua, pertama adalah non-surgical therapy yang meliputi teknik relaksasi,

konseling, fisioterapi, farmakoterapi, hipnosis, dan occlusal-splint therapy dan surgical

therapy. Biasa disebut juga sebagai perawatan non invasif dan perawatan invasif. (Singh,

et al., 2014).

TMJ adalah struktur kompleks yang secara anatomis dan fungsional dan bersifat

multifaktorial. Karena anatomi dan struktur yang berhubungan kompleks sangat sulit

untuk klinisi untuk menentukan perawatan dan termasuk kepada penyakit yang

menantang pada masyarakat modern. Protokol perawatan memiliki rangkaian dari

perawatan non – invasif ke terapi bedah. Terapi non invasif perlu dilakukan sebelum

melakukan perawatan invasif, permanen atau semipermanen yang memiliki potensi

menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, (Singh, et al., 2014).

Perawatan TMD non-invasif terdiri dari melatih diri sendiri, intervensi

farmakologis, dental Occlusion Therapy, injeksi, terapi fisikal, psikoterapi, ultrasound

dan TENS (Transcutaneous electric nerve stimulation). Sedangkan perawatan TMD

invasif terdiri dari arthroskopi dan open joint surgery.

Untuk memahami lebih dalam mengenai pemilihan perawatan

temporomandibular disorder dalam makalah ini. Makalah ini membahas 2 kasus tentang

temporomandibular joint disorder yaitu tentang Rheumatoid Arthritis (RA) dan kelainan

ankilosis. Rheumatoid artritis dan Ankilosis termasuk dalam klasifikasi

Temporomandibular Joint Disorder menurut American Academy of Orofacial Pain.

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit kronis inflamatoris yang memiliki

karakteristik berupa pembengkakan sendi, kelembekan sendi dan kerusakan sendi

synovial, yang mengarah ke kelainan parah dan mortalitas prematur. Seorang pasien
50

perempuan berumur 29 tahun datang dengan keluhan nyeri di depan kedua telinganya dan

tidak nyaman selama membuka mulut sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan yang lain

termasuk anoreksia, gelisah, lelah, dan lemah. Empat minggu kemudian dia merasakan

perasaan nyeri yang menusuk – menusuk pada sendi yang semakin parah saat

mengunyah. Secara berangsur – angsur nyeri semakin sering terasa, membuat pasien sulit

membuka mulut dan diikuti dengan suara kliking saat mulut terbuka pada sisi kanan di

depan telinga. Pemeriksaan TMJ menunjukkan berkurangnya pergerakan dan nyeri

preaurikular yang tumpul saat fungsi. Depresi preaurikular sisi kanan dengan deviasi

mandibula pada sisi yang sama (kanan) saan membuka mulut. Pada palpasi bilateral rasa

lembek terasa dan lebih terasa pada sisi sebelah kanan. Krepitasi terdengar di sisi kanan

dan kiri TMJ, lebih sering di sisi kanan saat pembukaan mulut. Dengan pemeriksaan –

pemeriksaan yang lain yang didapat di atas maka diagnosis RA dikonfirmasi. Setelah itu,

pasien dirawat dengan NSAID dan kortikosteroid dan selanjutnya diberikan instruksi oral

dan tertulis untuk terapi panas dan dingin dan anjuran olahraga gerak beberapa kali

dengan istirahat.

Kasus kedua adalah ankilosis. Ankilosis pada Temporomandibular Joint (TMJ)

merupakan fusi pada kondilus mandibular ke dasar tengkorak. Pasien anak laki-laki

berusia 9 tahun datang dengan keluhan utama ketidakmampuan membuka mulut.

Pemeriksaan ekstraoral menunjukkan hipoplastik mandibular dengan hubungan gigi-

geligi Kelas II. Diagnosis klinis selanjutnya didukung dengan gambaran radiografi oleh

orthopentamograph (OPG untuk mengetahui penurunan joint space, antagonis notch,

mushrooming condyle, dan coronoid hyperplasia. Rencana perawatan yang akan

dilakukan kepada pasien adalah :


51

1. Gap arhtoplasty melalui pendekatan submandibular atau preauricular

2. Coronoidectomy

3. Costhochondral Graft with rapid internal fixation

4. Penempatan splint

5. Perawatan orthodontic setelah operasi orthognatik

Kedua kasus diatas memiliki pendekatan perawatan yang berbeda. Perawatan RA

cukup dengan intervensi farmakologis yaitu perawatan non – invasif, sedangkan

perawatan ankilosis membutuhkan perawatan bedah. Perawatan anak dengan TMJ

ankilosis untuk mendapatkan pertumbuhan dan perkembangan normal pada wajah sangat

penting untuk mendapatkan pembukaan mulut maksimal dengan gerakan bebas pada

mandibula. Kesulitan pengunyahan, kebersihan mulut buruk, rampan karies, gangguan

pertumbuhan wajah, serta kemungkinan penyempitan faring, dan gangguan sulit tidur

karena adanya obstruksi saluran napas merupakan beberapa komplikasi yang disebabkan

oleh kegagalan dalam mengobati TMJ ankilosis. Maka dari itu, pilihan perawatan bedah

sangat esensial untuk dilaksanakan. Perawatan non – invasif yang merupakan pilihan

perawatan inisial tidak dipilih karena perawatan non invasif tidak dapat mencegah dan

memperbaiki hal – hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan ankilosis seperti

dampak yang muncul pada pertumbuhan wajah ataupun fungsi saluran pernafasan.
BAB V

KESIMPULAN

Sendi Temporomandibular merupakan persendian yang menghubungkan antara rahang

bawah (mandibular) dan rahang atas (maksila). Sendi Temporomandibular merupakan struktur

kompleks secara anatomis dan fungsional dan penyakitnya disebabkan oleh multifactorial.

Gerakan rahang yang normal pada aktivitas pengunyahan tidak hanya ke atas dan ke bawah, tapi

juga ke samping. Pergerakan rahang ini juga didukung oleh aktivitas otot – otot leher dan

punggung, serta berhubungan pula dengan aktivitas otot – otot di sekitar sendi.

TMD merupakan istilah yang digunakan untuk mengenali sejumlah masalah klinis yang

meliputi otot – otot mastikasi, TMJ atau keduanya. Diagnosis dan klasifikasi TMD ditentukan

berdasarkan tanda dan gejalanya.

Tujuan perawatan TMD adalah untuk mengontrol nyeri dan untuk mengembalikan

gerakan dan fungsi mandibular semirip mungkin dengan gerakan normal. Perawatan TMD

terbagi menjadi dua, yaitu perawatan invasif dan non invasive. Penelitian lebih lanjut mengenai

TMD perlu dilakukan pada jumlah sampel yang lebih besar. Sehinnga, hasil peneiltian yang

didapatkan dan studi literatur menjadi semakin tepat.

52
DAFTAR PUSTAKA

Greenberg, M.S. dan Glick, M., 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment

10th edition. Newark, New Jersey: BC Decker Inc., pp 272-306.

Shanmugavadivel, Dr. G., et al., 2016. Unilateral Temporomandibular Joint Ankylosis :

A Case Report. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS)

vol. 15 Issue 3 Ver.1 (Mar. 2016) pp 101-103.

Singh, P. P., et al., 2014. Non Invasive Treatment of Temporomandibular Joint Disorder :

A Review. Journal of Advanced Medical and Dental Science Research [Vol.2

] issue 31 July-September 2014.

Rupella, P. B., et al., 2014. Case Report : Bilateral TMJ Involvment in Rheumatoid

Arthritis. Hindawi Publishing Corporation Case Report in Dentistry, vol.

2014, article ID 262430.

53

Anda mungkin juga menyukai