TINJAUAN PUSTAKA
5
6
disebut piramida ginjal. Setiap daerah dari piramida ginjal dimulai pada
perbatasan antara korteks dan medula sampai berakhir di papila, yang menonjol
dan berbentuk seperti corong dalam ruang pelvis ginjal. Batas luar pelvis ginjal
terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka yang disebut kalises
mayor, kemudian yang meluas ke bawah dan terbagi disebut kalises minor, yang
mengumpulkan urine dari tubulus setiap papila. Dinding kalises, pelvis, dan ureter
terdiri atas bagian kontraktil yang mendorong urine menuju kandung kemih,
tempat urine disimpan sampai dikeluarkan melalui miksi (Guyton and Hall,
2014).
Parenkim dibentuk oleh korteks ginjal dan piramida ginjal pada medula
ginjal yang merupakan bagian fungsional ginjal, terdiri atas unit-unit fungsional
ginjal yang disebut nefron. Dalam ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron pada
masing- masing ginjal. Setiap nefron terdapat dua bagian yaitu korpuskulum
ginjal yang merupakan suatu tempat plasma darah disaring dan tubulus ginjal
yang mengalirkan cairan terfiltrasi. Korpuskulum ginjal terdapat dua komponen
yaitu glomerulus (jejaring kapiler) dan kapsul glomerulus (Bowman). Tubulus
ginjal terdiri atas tubulus kontornus proksimalis (TKP), Ansa henle ( lengkung
nefron) dan tubulus kontornus distalis (TKD). Distalis menunjukan bagian tubulus
ginjal yang menjauhi kapsul glomerulus sedangkan proksimalis merupakan bagian
tubulus ginjal yang melekat pada kapsul glomerulus. Ansa henle merupaka bagian
tubulus yang menjulur hingga ke medula ginjal membentuk putaran tajam
berbentuk huruf U hingga kembali ke korteks ginjal (Tortora and Derrickson.,
2012).
2.2 Fisiologi Ginjal
Ginjal berperan penting dalam melakukan berbagi fungsi guna
mempertahankan homeostasis dengan menjaga stabilitas volume, komposisi
elektrolit, dan osmolaritas (konsentrasi solut) CES (Cairan Ekstra Selular). Ginjal
dapat mempertahankan keseimbangan air dan elektroit dengan menyesuaikan
jumlah air dan berbagai konstituen plasma dalam tubuh sebelum di keluarkan
melalui urin. Ginjal mengekskresi produk-produk sisa metabolisme tubuh seperti
urea dari protein, kreatinin dari kreatinin otot, bilirubin dari hemoglobin dan
7
hormon metabolit yang jika dibiarkan akan menumpuk dan bersifat toksik
(Sherwood et al., 2016).
dan bahan eksogen merugikan lainnya yang masuk dalam tubuh (Sherwood et al.,
2016).
2.3.3 Mengatur osmolaritas cairan tubuh
Untuk mencegah fluks-fluks osmotik oleh masuk dan keluarnya sel yang
dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan atau penciutan sel. Maka ginjal
dapat mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai melalui regulasi
keseimbangan H2 O (Sherwood et al., 2016). Dengan mengatur kehilangan air dan
kehilangan zat terlarut dalam urin secara terpisah, ginjal dapat mempertahankan
osmolaritas darah yang relatif konstan mendekati 300 miliosmol per liter (mOsm /
liter) (Tortora and Derrickson., 2012).
2.3.4 Mengatur produksi hormon
Ginjal menghasilkan dua hormon yaitu calcitriol dalam bentik aktifnya
adalah vitamin D yang berfungsi mengatur homeostasis kalsium dan
erythropoietin yang berfungsi merangsang produksi sel darah merah (Tortora and
Derrickson., 2012). kalsitriol memegang peran penting dalam pengaturan kalsium
dan fosfat sedangkan eritropoietin berperan dalam mengatur keseimbangan
eritrosit (Guyton and Hall, 2014).
2.3.5 Mengatur volume dan tekanan darah
Ginjal mengatur volume darah dengan menghilangkan air dalam urin.
Peningkatan volume darah akan meningkatkan tekanan darah. Ginjal akan
membantu mengatur tekanan darah dengan mengeluarkan enzim renin yang aktif
dalam jalur renin-angiotensin-aldosteron. Peningkatan renin dapat mengaktifkan
angiotensinogen yang menghasilkan angiotensin I, yang mana oleh angiotensin
converting enzyme diubah menjadi angiotensin II yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah (Tortora and Derrickson., 2012).
2.3.6 Melaksanakan Sintesis Glukosa.
Seperti hati, ginjal juga dapat menggunakan asam amino glutamin dalam
proeses glukoneogenesis suatu proses sintesis molekul glukosa baru, yang
kemudian glukosa tersebut dilepaskan ke dalam darah untuk membantu
mempertahankan kadar glukosa darah normal (Tortora and Derrickson., 2012).
2.4 Tinjauan Tentang CKD (Chronic Kidney Disease)
2.4.1 Definisi CKD (Chronic Kidney Disease)
10
Keterangan :
Scr : Klirens kreatinin (bersihan kreatinin) dalam ml/menit
U : Umur dalam tahun
BB : Berat badan dalam kilogram
Cr : Nilai kreatinin serum (darah) dalam mg/dL
Konstanta : Laki-laki = 1
Perempuan = 0,85
Rumus MDRD (Modification of Diet in Renal Disease) merupakan
suatu rumus yang menggunakan studi persamaan modifikasi diet pada
penyakit ginjal :
GFR = 186 × (Scr)-1,154 × (Age)-0,203 × (0,742 jika pasien wanita)
× (1,212 jika pasien amerika atau afrika)
Keterangan :
Scr: Klirens kreatinin (bersihan kreatinin) dalam ml/menit
Age: Umur
GFR: Glomerular Filtration Rate
Peningkatan ekskresi albumin urin dapat mencerminkan disfungsi endotel
tidak secara pasti mengindikasikan penyakit ginjal namun, karena CKD dan
disfungsi endotel keduanya terkait dengan peningkatan resiko kardiovaskular
sehingga skrining albuminuria harus dilakukan secara rutin untuk semua pasien
dengan hipertensi. Standar untuk mengukur ekskresi albumin urin adalah melalui
pengumpulan urin 24 jam. Tingkat ekskresi albumin urin yang normal adalah
kurang dari 20 mg / hari. ekskresi albumin persisten antara 30 dan 300 mg / hari
yang disebut mikroalbuminuria, sementara ekskresi albumin > 300 mg / hari
dianggap proteinuria terbuka atau makroalbuminuria (Bomback, A. S. & Bakris,
2011).
Ketika Urine Albumin-to-Creatinine Ratio (UACR) atau kadar rasio
albumin di kreatinin urin di atas 30 mg / g dalam waktu selama lebih dari 3 bulan
merupakan suatu keadaan abnormal. Mikroalbuminuria adalah penanda disfungsi
endotel dan juga merupakan faktor risiko yang independen untuk kejadian
12
aktif adalah seluruh pasien baik pasien baru tahun 2017 maupun pasien lama dari
tahun sebelumnya yang masih menjalani hemodialisis rutin. Jumlah pasien baru
sebesar mencapai 30.831 pasien sedangan jumlah pasien aktif sebesar 77.892
pasien dengan jumlah unit hemodialisi mencapai 433 unit yang di perkirakan akan
terus meningkat. Proporsi pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita yang
didoagnosa CKD dengan persentasi 56% untuk pasien laki-laki dan 44% untuk
pasien wanita (Indonesian Renal Registry, 2017).
2.4.4 Etiologi CKD
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal seperti
susceptibility factors (faktor kerentanan) faktor yang dapat meningkatkan risiko
penyakit ginjal namun tidak secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal.
Yang termasuk dalam kategori ini; lanjut usia, penurunan massa ginjal dan berat
lahir yang rendah, riwayat keluarga, ras atau etnis minoritas, pendapatan rendah
atau pendidikan, peradangan sistemik, dan dyslipidemia. Initiation factors (faktor
inisiasi) yaitu faktor yang secara langsung mengakibatkan kerusakan ginjal dan
dapat dimodifikasi dengan terapi obat. Yang termasuk dalam kategori ini; diabetes
melitus, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, granulomatosis,
penyakit vaskular, dan nefropati virus human immuno deficiency (HIV).
Progression factors (faktor progresif) faktor yang mempercepat penurunan
fungsi ginjal setelah inisiasi kerusakan ginjal. Yang termasuk dalam kategori ini;
glikemia pada penderita diabetes, hipertensi, proteinuria, hiperlipidemia, obesitas,
dan merokok (Dipiro et al., 2015).
Gambar 2.4 Proporsi (%) etiologi pada CKD (Indonesian Renal Registry,
2017)
14
Saat ini penyebab CKD menjadi bagian yang menarik perhatian, sangat
penting mengetahui penyebab tejadinya CKD dalam pengobatan (Himmelfarb &
Ikizler, 2019). Penyebab yang paling umum adalah hipertensi, diabetes melitus
dan glomerulonefritis (Reilly Lukela et al., 2019).
2.4.4.1 Hipertensi
Hipertensi menjadi salah satu penyebab utama terjadinya CKD hal ini
disebabkan karena tingginya tekanan darah pada pembuluh darah ginjal. Tekanan
darah yang tidak terkontrol akan meningkatkan tekanan intraglomerular, yang
dapat menggangu filtrasi glomerulus. Hal ini berakibat pada kerusakan
glomerulus yang dapat mengakibatkan tingginya filtrasi protein sehingga adanya
ketidak normalan jumlah protein dalam urin atau biasa disebut proteinuria atau
mikroalbuminuria. Merupakan salah satu penanda adanya CKD. Hubungan antara
CKD dan hipertensi bersifat siklis sebab CKD dapat berkontribusi dalam
hipertensi, dan tingginya tekanan darah atau hipertensi dapat menyebabkan
penurunan fungsi ginjal akibat rusaknya pembuluh darah ginjal (Buffet &
Ricchetti, 2012).
2.4.4.2 Diabetes melitus
Diabetes melitus menjadi penyebab tertinggi nomor dua pada CKD,
transmembrane glucose transporters (GLUT) receptors atau reseptor transpor
glukosa tidak memfasilitasi transportasi glukosa intraseluler di ginjal sehingga
terjadinya hiperfiltrasi pada glomerulus yang menyebabkan terjadinya
peningkatan reabsorpsi glukosa pada tubulus proksimal. Diabetes menginduksi
perubahan struktural, termasuk penebalan membran dasar glomerulus, hilangnya
podosit dengan denuding membran basal glomerulus, dan peningkatan proliferasi
sel-sel mesangial. Hiperglikemi yang terus tidak terkontrol mengakibatkan produk
akhir glikosilasi seperi pengendapan protein yang menjadi alasan berkembangnya
proteinuria. Secara klinis ini akan berdampak pada penurunan GFR dan berakhir
dengan keadaan CKD (Himmelfarb & Ikizler, 2019).
2.4.4.3 Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan suatu terminologi umum yang
menggambarkan adanya inflamasi pada glomerulus, ditandai oleh proliferasi sel-
sel glomerulus akibat proses imunologi. Glomerulonefritis terbagi atas akut dan
15
penyakit ginjal kronik menunjukan nilai GFR yang masih normal atau meningkat
namun secara perlahan akan terjadi peningkatan urea dan kreatinin seum akibat
penurunan fungsi nefron yang progesif. Secara perlahan juga dapat menurunkan
GFR hingga dapat mengakibatkan komplikasi yang lebih serius dan pasien
memerlukan terapi pengganti ginjal sepeti dialisis atau transplantasi ginjal
(Sudoyo et al., 2014)
<120 / 80 Normal
>140/90 hipertensi
berkontribusi lebih awal pada CKD dengan hasil akhir yang merugikan. Pada
pasien CKD tekanan darah yg diharapkan dapat dicapai adalah < 140/90 mmHg
dan <130/80 untuk pasien dengan DM dan albuminuria. Terapi awal yang dapat
diberikan berupa golongan ACEI atau ARB, jika tekanan darah masih tinggi maka
diberikan dapat juga diberi terapi tambahan CCB/ diuretik (Abraham G.et al.,
2017). Setelah pemberian 3 kombinasi antihipertensi namun tekanan darah pasien
masih berada di atas target, pertimbangkan penambahan Alfa bloker, beta bloker
dan vasodilator harus terus di monitor terkait efek samping yang mungkin terjadi
yaitu hipotensi, takikardi dan nyeri kepala (Steddon et al., 2014).
2.4.9.1.1.1 RAAS Inhibitor
Renin adalah suatu enzim yang dilepaskan sebagai respon penurunan
tekanan ateri aferen, penurunan kadar natrium dan aktifasi sistem saraf simpatik.
pada pasien dengan CKD. Renin menyebabkan pembelahan protein
angiotensinogen, yang diproduksi oleh hati, untuk menghasilkan angiotensin I.
Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzyme
(ACE) (Marriott et al., 2012). Angiotensin II memiliki dua efek farmakologis
yang utama. Pertama, sebagai pemicu produksi hormone aldosterone pada
glumerulosa korteks adrenal dan pelepasan hormone antidiuretik (ADH).
Aldosteron dan ADH dapat menurunkan pengeluaran air dari tubuh, sehingga
dapat mengakibatkan meningkatnya volume cairan dan tekanan darah (Saladin et
al., 2018).
Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS) memainkan peran penting
dalam pengaturan tekanan darah, volume cairan, dan keseimbangan natrium.
Aktivitas RAAS yang berlebihan berkontribusi pada patogenesis berbagai kondisi
klinis termasuk perkembangan CKD. Penggunaan inhibitor RAAS sebagai terapi
ganda atau monoterapi pada berbagai tahap penyakit ginjal. Studi eksperimental
dan klinis telah menunjukkan inhibitor RAAS mencegah proteinuria, fibrosis
ginjal dan penurunan fungsi ginjal yang lambat dan dengan demikian memainkan
peran protektif pada tahap awal dan akhir penyakit ginjal. ACEI, ARB dan
Inhibitor renin merupakan jenis inhibitor RAAS (Weir et al., 2015)
27
Gambar 2.7 Aksi dari Renin Inhibitor; Ace inhibitor; dan ARB (Katzung, 2012).
RAAS adalah sekelompok obat yang bekerja dengan menghambat sistem
renin-angiotensin-aldosterone dan termasuk inhibitor enzim pengonversi
angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan inhibitor renin.
ACE inhibitor dan ARB biasanya digunakan dalam pengobatan pasien dengan
hipertensi, gagal jantung, penyakit ginjal kronis, dan pasien yang menderita infark
miokard. Inhibitor renin langsung dapat dipertimbangkan pada pasien hipertensi
jika inhibitor ACE atau ARB tidak ditoleransi dengan baik. Obat ini tidak boleh
digunakan dalam kombinasi dengan inhibitor RAAS lainnya (Damman &
Lambers-Heerspink, 2014).
2.4.9.1.1.1.1 Renin Inhibitor
Aliskiren merupakan satu-satunya renin inhibitor yang tersedia yang
bertindak dengan menghalangi aktivitas katalitik renin dan menghambat produksi
AT I dan AT II (Tripathi et al., 2013). Beberapa Uji klinis menunjukan bahwa
renin inhibitor memiliki efektifitas yang menyerupai ACEI dan ARB dalam
menurunkan tekanan darah. Aliskiren sebaiknya tidak dikombinasikan dengan
ACEI atau ARB pada pasien dengan gangguan ginjal atau diabetes karena
peningkatan risiko efek samping yang serius (Rosenfeld, et al., 2014)
Aliskiren di berikan secara oral dan dieliminasi pada urin, dapat
menyebabkan diare, terutama pada dosis yang lebih tinggi, dan juga dapat
menyebabkan batuk dan angioedema, namun mungkin lebih jarang dari pada
ACEI (Whalen et al., 2015). Dewasa > 18 tahun, Dosis awal 150 mg 1 kali sehari,
28
jika tekanan darah tidak terkontrol, dosis ditingkatkan hingga 300 mg 1 kali
sehari, diberikan tunggal atau kombinasi dengan antihipertensi lain, diberikan
tidak bersama makanan. Sediaan aliskiren di Indonesia umumnya tablet salut
selaput 150 mg dan 300 mg (Rasilez) (BPOM RI, 2015).
2.4.9.1.1.1.2 Angiotensin converter enzym inhibitors (ACEI)
Angiotensin converter enzym merupakan dipeptidil karboksipeptidase
dengan atom seng, yang merupakan suatu enzim yang berada pada paru, tubulus
proksimal ginjal, saluran gastrointestinal, organ jantung dan otak. Konsentrasi
tertinggi ACE terdapat pada kapiler paru. ACE terdiri dari satu rantai polipeptida
yang mengandung dua domain yaitu atom N dan C, ACE hadir sebagai enzim
ikatan membran dan sirkulator globular (Balasuriya dan Rupasinghe., 2011).
Tabel II.4 Dosis Obat Antihipertensi golongan ACEI (Talbert & Martin, 2013)
Obat (merek) Kisaran dosis Dosis Per Hari
harian (mg / hari)
Ramipril (Altace) 2.5 – 10 1 atau 2
Captopril (Capoten) 12.5 – 150 2 atau 3
Fosinopril (Monopril) 10–40 1
Moexipril (Univasc) 7.5–30 1 atau 2
Benazepril (Lotensin) 10 – 40 1 atau 2
Enalapril (Vasotec) 5 – 40 1 atau 2
Lisinopril (Privinil, Zestril) 10 – 40 1
Perindopril (Aceon) 4–16 1
Quinapril (Accupril) 10–80 1 atau 2
Trandolapril (Mavik) 1–4 1
Gambar 2.8 Blokade jalur RAS dengan ACE inhibitor dan ARB (Ruilope et al.,
2007)
Angiotensin reseptor bloker (ARB) memiliki mekanisme yang serupa
dengan ACEI dalam blokade RAAS. Antihipertensi golongan ARB maupun ACEI
digunakan sebagai terapi lini pertama untuk mengontrol tekanan darah dan dapat
melestarikan fungsi ginjal dalam mencegah penyakit ginjal kronis (Dipiro et al.,
2015). Perbedaan yang dimiliki antara ARB dan ACEI adalah dimana ARB
berkerja dengan memblokir angiotensin II dari reseptor angiotensin I (AT1) yang
ada pada semua jaringan. ARB menyebabkan vasodilatasi dan mengurangi retensi
perifer (Kee et al., 2015). Dapat dikatakan adanya kemungkinan ARB akan lebih
unggul dari ACEI dalam mengurangi komplikasi terkait hipertensi sebab ACEI
pada akhirnya menurunkan stimulasi reseptor tipe 1 dan tipe 2 dengan
menurunkan produksi angiotensin II (Allderedge et al., 2013). ACEI berperan
dalam peningkatan kinins, yang bertanggung jawab dalam beberapa efek samping
ACEI seperti batuk. (Steddon et al., 2014)
ARB memiliki mekanisme kerja yang istimewa selain sebagai agen
menurunkan tekanan darah juga ARB sebagai renoprotektan pada nefropati dapat
melindungi glomerulus melalui penurunan vasokontriksi arteriol eferen
glomerulus juga penurunan hipertensi intra glomerulus serta mengurangi
hiperfiltrasi (Marriott et al., 2012). Beberapa obat golongan ARB tersedia dalam
obat generik namun harganya masih di atas harga obat golongan ACEI, hanya
losartan yang harganya sebanding dengan harga obat kelas generik lainnya. Efek
samping yang terkait dalam golongan ARB biasanya ringan dan sementara, dan
31
termasuk pusing, sakit kepala, dan hipotensi ortostatik terkait dosis. Pengunaan
ARB juga dipertimbangkan pada pasien yang tidak ditoleransi dengan ACEI
(Wemerec, 2012). Obat yang termasuk golongan ARB antara lain, Candesartan,
eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan, valsartan (steddon et al.,
2014).
Tabel II.5 Dosis Obat Antihipertensi golongan ARB (Talbert & Martin, 2013)
Obat (merek) Kisaran dosis harian Dosis Per Hari
(mg / hari)
Valsartan (Diovan) 40–320 1
Losartan (Cozaar) 50–100 1 atau 2
Telmisartan (Micardis) 20–160 1
Candesartan (Atacand) 8–32 1 atau 2
Olmesartan (Benicar) 20–40 1
Irbesartan (Avapro) 150–300 1
Eprosartan (Teveten) 600–800 1 atau 2
2.4.9.1.1.1.3.2 Losartan
33
Sediaan losartan yang ada di Indonesia umumnya tablet salut selaput dengan dosis
50 mg/tablet, dan 100 mg/tablet (Cozaar, Angioten) (BPOM RI, 2015).
2.4.9.1.1.1.3.3 Irbesartan
Setelah pemberian irbesartan pada dosis tunggal 150 mg, 20% dari dosis
diekskresikan melalui rute ginjal dan sekitar 80% diekskresikan dalam empedu.
Efek antihipertensi terlihat dalam dua minggu setelah mulai terapi, dengan efek
puncak terjadi di antara dua sampai enam minggu (Khairnar et al., 2012).
Terdapat beberapa penelian yang menunjukan dampak penurunan TDS/TDD pada
pasien yang menggunakan Telmisartan, Valsartan, Kandesartan, Irbesartan,
kombinasi Telmisartan secara berturut-turut sebesar 9/9 mmHg, 10/16 mmHg,
35
23/20 mmHg, 30/30 mmHg, dan 10/10 mmHg, dimana dapat ditarik kesimpulan
Irbesartan merupakan golongan ARB yang memberikan dampak penurunan
TDS/TDD yang paling efektif dibanding golongan ARB lainnya (Rafika.Y
Karmila, dkk., 2015). Irbesartanjuga memiliki bioavailabilitas 70% yang
merupakan nilai tertinggi pada kelompok terapinya (Khairnar et al., 2012).
Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa pemberian terapi Irbesartan
600 mg setiap hari pada pasien nefropati diabetes yang berlebih, merupakan suatu
metode yang sangat efektif dan aman untuk mengurangi proteinuria, dan
memperlambat evolusi menjadi ESRD, menjadikannya alternative terapeutik pada
pasien tersebut (Ruiz et al., 2012). Irbesartan dikontraindikasikan pada pasien
yang hipersensitif denganirbesartan, dan tidak untuk wanita hamil. Sediaan yang
terdapat di Indonesia umumnya berupa kaplet atau tablet salut selaput, dengan
dosis 75 mg, 150 mg, dan 300 mg. Terdapat sediaan yang dikombinasi dengan
hidroklorotiazid (co-aprovel, co-irvebal, dan co-irvell), serta terdapat sediaan yang
isinya hanya Irbesartan saja (irbesartan, irverbal, irvell, dan aprovel) (BPOM RI,
2015)
2.4.9.1.1.1.3.4 Telmisartan
Infeksi saluran pernapasan atas (6%), nyeri (3%), dan pusing (4%)
termasuk diantara efek samping yang paling sering dilaporkan (Khairnar et al,
2012). Penggunaan nya pada pasien dengan gangguan fungsi hati serta gangguan
fungsi ginjal harus dipantau. Sediaan candesartan yang tersedia di Indonesia
berupa tablet salut 8 mg dan 16 mg, terdapat sediaan talet kombinasi dengan
hidroklorotiazid (blopress plus), dan sediaan tablet tanpa kombinasi (candesartan,
blopress) (BPOMRI, 2015).
2.4.9.1.1.1.3.7 Eprosartan
pasien CKD termasuk tiazid, diuretik loop, dan diuretik hemat kalium. Diuretik
tiazid dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko CVD dengan
mekanisme selain pengurangan volume ECF (KDIGO, 2012).
2.4.9.1.1.3.1 Diuretik Thiazide
Thiazide merupakan diuretik yang paling banyak digunakan dan disukai,
merupakan diuretik lini pertama untuk mengatasi hipertensi (Dipiro et al.,
2015).Diuretik thiazide diserap dari saluran GIT dan menghasilkan diuresis dalam
waktu 1-2 jam. Setelahnyadisekresikan ke dalam lumen tubulus proksimal melalui
pembawa anio organik, efek terjadi setelah mencapai lumen. Agen ini
menghambat reabsorbsi natrium klorida (NaCl) aktif dalam tubulus distal yang
mengganggu 𝑁𝑎+ , dan Clcotransporter (NCC), protein transport Na+, Cl- spesifik
yang menghasilkan ekskresi Na dan volume air yang menyertainya. Agen ini
meningkatkan ekskresi dari 𝐶𝑙 − , 𝑁𝑎+ , 𝐾 + , dan 𝐻𝐶𝑂3− dengan dosis tinggi. Serta
menghambat ekskresi dari kalsium (Rosenfeld et al., 2014).
Semua tiazid dapat diberikan secara oral, tetapi ada perbedaan pada
metabolisme masing-masing obatnya. Chlorothiazide, induk dari kelompok, tidak
larut dalam lemak dan harus diberikan secara relatif dosis besar. Merupakan satu-
satunya tiazid yang tersedia untuk pemberian parenteral. Hidroklorotiazid jauh
lebih kuat dan harus digunakan dosis yang lebih rendah. Chlorthalidone lambat
diserap dan memiliki durasi aksi yang lebih lama. Indapamide diekskresikan
terutama oleh sistem bilier, untuk mengerahkan efek diuretiknya. Semua tiazid
disekresikan oleh sekresi asam organik sistem dalam tubulus proksimal dan
bersaing dengan sekresi asam urat. Akibatnya, penggunaan thiazide dapat
menumpukan sekresi asam urat dan meningkatkan kadar asam urat serum
(Katzung, 2015).
Tabel II.14 regimen dosis obat thiazid (Katzung et al, 2015).
Nama obat Dosis total perhari
Hidroklorotiazid 12,5 - 100 mg
Indapamid (Natrilix SR) 2,5 - 10 mg
Metolazon 2,5 - 10 mg
Klortalidon 25 - 50 mg
tubulus distal akhir untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air dan retensi
potasium. Obat tersebut mengganggu pompa sodium potasium yang dikendalikan
oleh hormon aldosteron aldosteron mineralokortikoid (Kee et al., 2015)
Tabel II.16 regimen dosis diuretik hemat kalium (Katzung et al, 2015).
Nama obat Dosis total perhari
25 mg- 200 mg dalam dosis terbagi (maksimal 400
Spironolakton
mg)
Amilorid 5 mg – 10 mg ( max 20 mg)
Triamterin 50 mg – 100 mg ( maksimal 300 mg)
Prazosin 1-8 mg
Terazosin 2-20 mg
Dexazosin 1-20 g
2.4.9.1.1.6 Vasodilator
Vasodilator mengurangi resistansi arteri atau meningkatkan kapasitansi
vena, sehingga dapat terjadi pengurangan tekanan vascular (Rosenfeld et al.,
2014). Vasodilator berkerja dengan melonggarkan otot polos vaskular, sehingga
melebarkan pembuluh darah dan pada tingkatan berbeda dapat meningkatkan
kapsitasnya (Katzung et al., 2015). Vasodilator juga meningkatkan konsentrasi
renin plasma, menghasilkan retensi natrium dan air. Efek samping yang tidak
diinginkan ini dapat diblokir karena penggunaan diuretik dan bloker β secara
bersamaan (Whalen et al., 2015).
Tabel II.19 Mekanisme kerja obat Vasodilator (Gunawan, 2012)
Nama Obat Mekanisme Kerja Dosis perhari
Hidralazin menyebabkan penurunan tekanan darah 25 -100 mg dua kali
dengan Merelaksasi otot polos arteriol sehari (Oral)
yang dapat menyebabkan peningkatan 20 – 40 mg (iv atau im)
frekuensi denyut jantung dan curah Dosis maksimal 200
jantung. mg/hari
Obat ini tidak digunakan sebagai mono
terapi karena efek takifilaksis dan reflek
simpatis yang dapat mengurangi efek
antihipertensinya, biasa digunakan
sebagai obat tambahan setelah
pemberian diuretic atau Beta bloker
Minoksidil Dapat menurunkan tekanan sistol dan 12,5 mg – 40 mg satu
diastol dengan membuka kanal kalium sampai dua kali sehari
yang mengakibatkan effluks kalium dan
hiperpolarisasi membran, diikuti dengan
vasodilatasi dan merelaksasi otot polos
pembuluh darah.
Nitroprusid Menurunkan tekanan darah dengan 0,5-10 ug/kg/menit
vasodilasi arteriol dan venula akibat
aktivasi siklase dan meningkatnya
konversi GTP menjadi GNP-siklik pada
pembuluh darah.
46
Selama dialisis, darah yang di pompa akan menuju tabung dialiser, pada
saat bersamaan cairan dialisat yang terdiri dari natrium, kalium, kalsium,
bikarbonat, magnesium, dan glukosa merupakan suatu cairan elektrolit mirip
fisiologis tubuh akan mengalirinya. Dalam dialiser darah dan dialisat akan
mengalir pada arah yang berlawanan. Darah akan keluar dari dialiser menuju
detector perangkap udara hingga dihasilkan darah yang bersih untuk dialirkan
kembali pada tubuh pasien (Steddon et al., 2014).
2.4.9.1.2 Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan salah satu bentuk dialisis dalam menangani
penyakit ginjal akut ataupun penyakit ginjal kronik. Menggunakan suatu membran
peritoneum yang memiliki sifat semipermeabel sehingga darah dapat di filtrasi.
Dialisis peritoneal yang paling umum adalah Continous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) (Allderedge et al, 2013).
lainnya, dan uremia residual (terutama di antara pasien yang tidak memiliki fungsi
ginjal residual) (Liu et al, 2015).
2.4.9.1.3 Transplantasi ginjal
End Renal Stage Disease (ESRD) atau penyakit ginjal stadium akhir
dinyatakan sebagai kehilangan ginjal berfungsi sedemikian rupa sehingga hidup
tidak berkelanjutan tanpa adanya terap ginjal pengganti atau renal replacement
therapy (RRT) yang diberikan dalam bentuk ginjal yang ditransplantasikan
(Himmefarb & Ikizler, 2019). Transplantasi ginjal merupakan suatu tindakan
memperbaiki kualitas hidup, merupakan terapi pengganti ginjal utama pada pasien
penyakit ginjal kronis tahap akhir. Cangkok donor hidup lebih baik dan akan
bertahan lebih lama dari pada cangkok donor yang telah meninggal (kesehatan
donor yang lebih baik, massa nefron yang lebih tinggi, kepatuhan penerima yang
lebih baik). Kontraindikasi untuk transplantasi ginjal adalah adanya infeksi dan
keganassan yang tak terkontrol atau metastasis, penyakit diluar ginjal yang berat
(jantung, hati, paru-paru), obesitas, penggunaan obat berbahaya, atau
mengkosumsi alcohol (Steddon et al, 2014). Biasanya diberi imunosupresan
setelah proses transplantasi sebab dikhawatirkan kemungkinan terjadi penolakan
dari tubuh atas organ yang dicangkok, oleh karenanya diberikan terapi (Azzi et aI,
2015).