H DENGAN
DIAGNOSA MEDIS EMPHYSENATOUS LUNG DAN DIAGNOSA
KEPERAWATANBERSIHAN JALAN NAPAS TIDAK
EFEKTIF DI RUMAH SAKIT RKZ
SURABAYA
OLEH:
Menyetujui,
Mengetahui,
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan asuhan keperawatan yang
berjudul Asuhan Keperawatan Medikal Bedah PadaTn. HDengan Diagnosa Medis
Emphysenatous Lung Dan Diagnosa Keperawatan Bersihan Jalan Napas Tidak
Efektif Di Rumah Sakit RKZ Surabayasebatas pengetahuan dan kemampuan yang
kami miliki.
Dalam menyusun asuhan keperawatan ini, tidak sedikit kesulitan dan
hambatan yang kami alami, namun berkat dukungan, dorongan dan semangat dari
teman, sehingga kami mampu menyelesaikannya. Oleh karena itu pada
kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing akademik
dan pembimbing klinik atas bimbingannya dan teman-teman dalam mengerjakan
asuhan keperawatan ini.
Kami juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam asuhan
keperawatan ini. Oleh karena itu, segala kritikan dan saran yang membangun akan
kami terima dengan baik demi kebaikan asuhan keperawatan ini. Dan kami
berharap semoga asuhan keperawatan ini cukup baik untuk memenuhi tugas dari
Bapak/Ibu dosen.
Kami megucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu dan teman-teman atas
kerjasamanya dalam pembuatan asuhan keperawatan ini dan telah memberikan
masukan positif demi kesempurnaan asuhan keperawatan ini.
Penyusun
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu keadaan yang ditandai
oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan
aliran udara ini biasanya progresif dan disertai respons inflamasi abnormal paru
terhadap partikel atau gas toksik. PPOK merupakan sebuah kelompok penyakit
dengan gejala klinis bronkhitis kronis dan emfisema. Faktor risiko PPOK meliputi
dua kelompok besar yaitu faktor pejamu dan pajanan lingkungan. Faktor pejamu
meliputi genetik, hipereaktivitas jalan napas dan pertumbuhan paru. Pajanan
lingkungan meliputi kebiasaan merokok, polusi udara, infeksi, debu dan bahan
kimia di tempat kerja serta status sosial ekonomi (Hartanto H., 2013). Faktor
genetik akan meningkatkan atau menurunkan risiko seseorang terhadap
perkembangan PPOK.
Emfisema merupakan kontributor terbesar dalam kejadian PPOK. Pada
emfisema terjadi distensi rongga udara di sebelah distal bronkiolus terminalis
dengan disertai destruksi septum alveolaris.Terdapat beberapa faktor risiko
penyebab emfisema diantaranya polusi udara dan faktor genetik. Polusi udara
didapatkan dari merokok, paparan debu, sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida
(NO2) dan gas beracun lainnya (Asdie, Harison, 2012). Sedangkan faktor genetik
yang dapat menyebabkan emfisema adalah defisiensi alfa-1 antitripsin.
Data mengenai prevalensi emfisema di Indonesia masih sulit ditemukan,
karena emfisema masih dianggap sebagai bagian dari PPOK. Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementrian Kesehatan Republic Indonesia tahun
2013 dikatakan bahwa 4 dari 100 orang di Indonesia menderita PPOK. Dimana
prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur (10%) dan terendah
di provinsi (1,4%). Selain dari pada itu Jumlah perokok di Indonesia setiap tahun
terus meningkat. Pada tahun 2015 dilaporkan terdapat sebanyak 22,57% perokok
aktif diperkotaan dan 25,05% perokok aktif di pedesaan.
Merokok merupakan temuan paling umum yang diberhubungan dengan
luasnya emfisema pascamati. Merokok dapat menganggu pegerakan silia,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hipersekresi
1
kelenjar mukus, dan pajanan yang masif dapat menyebabkan perubahan
emfisematus (Ikawati, Zullies, 2016). Paparan akut dari rokok ini sendiri dapat
menyebabkan kerusakan paru tetapi apabila bersamaan dengan faktor genetik
maka akan menyebabkan kerusakan yang lebih parah.
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan
kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Emfisema disebabkan
karena hilangnya elastisitas alveolus (Hartanto H., 2013). Asap rokok dan
kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas ini.
Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan
orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-
paru terperangkap didalamnya. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang
diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami
batuk kronis dan sesak napas.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah PadaTn. HDengan
Diagnosa Medis Emphysenatous Lung Dan Diagnosa Keperawatan Bersihan Jalan
Napas Tidak Efektif Di Rumah Sakit RKZ Surabaya?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengidentifikasi data fokus pada pasien dengan diagnosa medis
emphysenatous lung dan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif
di rumah sakit RKZ Surabaya
1.3.2 Mengidentifikasi diagnosa keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis emphysenatous lung dan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak
efektif di rumah sakit RKZ Surabaya
1.3.3 Mengidentifikasi intervensi keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis emphysenatous lung dan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak
efektif di rumah sakit RKZ Surabaya
1.3.4 Mengidentifikasi implementasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis emphysenatous lung dan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak
efektif di rumah sakit RKZ Surabaya
2
1.3.5 Mengidentifikasi evaluasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis emphysenatous lung dan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak
efektif di rumah sakit RKZ Surabaya
1.4 Manfaat
1.4.1 Mengetahui data fokus pada pasien dengan diagnosa medis
emphysenatous lung dan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif
di rumah sakit RKZ Surabaya
1.4.2 Mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
emphysenatous lung dan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif
di rumah sakit RKZ Surabaya
1.4.3 Mengetahui intervensi keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
emphysenatous lung dan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif
di rumah sakit RKZ Surabaya
1.4.4 Mengetahui implementasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis emphysenatous lung dan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak
efektif di rumah sakit RKZ Surabaya
1.4.5 Mengetahui evaluasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
emphysenatous lung dan diagnosa keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif
di rumah sakit RKZ Surabaya
3
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Emphysenatous Lung
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
dengan oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi
jaringan. Emfisema adalah suatu penyakit paru obstruktif kronis yang ditandai
dengan pernafasan yang pendek yang disebabkan oleh kesulitan untuk
menghembuskan seluruh udara keluar dari paru-paru karena tekanan udara
yang berlebihan dari kantung udara di dalam paru-paru (alveoli). Ketika
bernafas, alveoli mengembang ketika udara masuk untuk pertukaran gas
antara alveoli dan darah. Sewaktu menghembuskan nafas, jaringan elastis di
alveoli menyebabkan alveoli kembali menguncup, memaksa udara untuk
keluar dari paru-paru melalui saluran pernafasan. Pada emfisema, hilangnya
elastisitas yang demikian karena kerusakan akibat bahan kimia dari asap
tembakau atau polutan yang menyebabkan alveoli berekspansi terus menerus
dan udara tidak dapat keluar sama sekali. Orang yang menderita emfisema
biasanya bernafas dengan mengerutkan bibir karena bibir hanya sedikit
terbuka ketika mereka menghembuskan nafass, meningkatkan tekanan pada
saluran pernafasan yang mengempis dan membukanya, membiarkan udara
yang terperangkap agar dapat dikosongkan. Pengobatan seperti bronkodilator
dan kortkosteroid, tersedia untuk membantu mengurangi gejala.
2.2 Etiologi atau Penyebab Emphysenatous Lung
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang
erat anatara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa.
2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada
emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1
antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi
alfa 1 antitripsin adalah satu kelainan yang diturunkan secara autosom
4
resesif. Orang yang sering menderita emfisiema paru adalah penderita
yang memiliki gen s atau z.
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala
gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada
seseorang penderita bronchitis kronis hampir selalu melibatkan infeksi
paru bagian bawah yang menyababkan kerusakan paru bertambah.
Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan
infeksi virus, kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
4. Hipotesis elastase – antielastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan
anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan
keseimbangan antara keduanya menimbulkan jaringan elastik paru rusak.
Struktur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang
penting adalah pankreas, sel sel PMN, dan marofag alveolar (pulmonary
alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap
rokok dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas
sistem antielastase, yaitu sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama
enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena
tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan
menimbulkan kerusakan jaringan elastis paru dan kemudian emfisema.
(Muttaqin, 2008)
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan
angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang
padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat
menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar.
Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya
tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
5
2.3 Patofisiologi Emphysenatous Lung
Emfisema merupakan kelainan atau kerusakan yang terjadi pada dinding
alveolar dapat menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan
udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada
emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara
alveoli, jalan napas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk
mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan
di antara ruang alveolar (blebs) dan di antara parenkim paru-paru (bullae).
Proses ini akan mengakibatkan peningkatan ventilator pada dead space atau
area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.
Kerja napas meningkat dikarenakan kekurangan fungsi jaringan paru
untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru. Akibat lebih lanjutnya adalah penurunan
perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema di
anggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal
kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronkitis kronis dan
merokok. (Suradi. 2004).
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan
saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari
elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT
merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian
AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik.
Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase
dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan
menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah
dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas. Asap
rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak.
Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease
inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak
ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi
kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema.
6
2.4 Manifestasi Klinis Emphysenatous Lung
1. Penampilan umum
1. Kurus, warna kulit pucat, dan flattened hemidiafragma
2. Bibir tampak kebiruan
3. Tekanan darah menurun
4. Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium
akhir
5. Usia 65-75 tahun
Pemeriksaan fisik dan laboratorium
2. Pemeriksaan Fisik
Pada klien emfisema paru akan di temukan tanda dan gejala seperti berikut
ini.
1. Napas pendek persisten dengan peningkatan dispnea
2. Infeksi system respirasi
3. Pada auskultrasi terdapat penurunan suara napas meskipun dengan
napas dalam
4. Wheezing ekspirasi tidak di temukan dengan jelas
5. Produksi sputum dan batuk jarang
6. Hematokrit < 60%
3. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan jantung
Tidak terjadi pembesaran jantung.Kor pulmonal timbul pada stadium akhir
2. Riwayat merokok
Biasanya didapatkan, tetapi tidak selalu ada riwayat merokok. (Suradi.
2004. 60).
3. Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit
bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25
tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas
kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif.
Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia, dan perubahan
spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat
menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.
7
2.5 Klasifikasi Emphysenatous Lung
1. Emfisema sentriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan
bronkiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah
sampai bronkiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap bersisa.
2. Emfisema panlobular (panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak
paru-paru bagian bawh. Tipe ini sering disebut centriacinar timbul pada
orang tua dan pasien dengan defisiensi enzim alfa antitrypsin.
3. Emfisema paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs
(udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema
dipercaya sebagai sebab dari pneumothoraz spontan.
2.6 Penatalaksanaan Emphysenatous Lung
1. Terapi Farmakologi
1. Bronkodilator
Bronkodilator berfungsi untuk melebarkan bronkus dan bronkiolus.
Bronkodilator jenis inhalasi lebih diutamakan. Berikut ini adalah macam-
macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik : Ipratropium bromida
- Golongan agonis beta-2 : Fenoterol, Salbutamol, Terbutalin,
Prokaterol, Formoterol
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2 : Salbutamol +
Ipratropium bromida
- Golongan xantin : Aminofilin, Teofilin, Efedrin HCl
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid berfungsi untuk menekan proses inflamasi yang terjadi di
dalam paru-paru dan digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam bentuk oral, injeksi intravena,
ataupun inhalasi. Contoh kortikosteroid yang dapat digunakan peroral
adalah golongan metilprednisolon atau prednison, sedangkan untuk
sediaan inhalasi dapat digunakan budesonide dan flutikason. [10]
8
3. Antibiotika
Antibiotik pada pasien dengan emfisema hanya diberikan apabila terdapat
infeksi. Antibiotik lini pertama adalah amoxicillin atau makrolida.
Sedangkan antibiotik lini kedua adalah amoxicilin klavulanat,
sefalosporin, dan kuinolon.
4. Suportif
Pemberian terapi farmakologis lainya yang dapat dipertimbangkan untuk
pasien emfisema adalah mukolitik, antitusif, dan antioksidan.
2. Terapi Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat diberikan adalah oksigenasi dan
terapi nutrisi. Pada pasien yang merokok, harus dilakukan terapi untuk
berhenti merokok.
3. Terapi Oksigen
Fungsi dari pemberian oksigen adalah untuk mengurangi sesak, mengurangi
hipertensi pulmonal, dan mengurangi vasokonstriksi. Oksigen umumnya
diberikan pada penderita emfisema dengan saturasi oksigen <90%. Selain
digunakan dalam kondisi akut, oksigen juga dapat dijadikan terapi jangka
panjang dengan protokol pemberian selama 15 jam per hari pada pasien
dengan kadar PaO2 <55 mmHg atau saturasi oksigen <88%. Target pemberian
oksigen adalah hingga saturasi >90%. Namun, harus berhati-hati agar tidak
menekan respon hipoksia karena dapat menyebabkan supresi respiratorik,
menyebabkan asidosis respiratorik, hingga respiratory arrest. Oksigen dapat
diberikan menggunakan nasal kanul, sungkup venturi, sungkup rebreathing,
ataupun non rebreathing.
2.7 Diagnosa atau Masalah Keperawatan Emphysenatous Lung
1. Ganguan pertukaran gas b/d penurunan pertukaran gas atau darah
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan produksi lendir
3. Pola nafas tidak efektif b/d hipoventilasi
4. Intoleransi aktifitas b/d kelemahan akibat reaksi otot bantu nafas
5. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan perfusi oksigen
9
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KMB
3.1 Pengkajian
Tanggal MRS : 3 Maret 2022 Jam:18.17 WIB No. RM: 251xxx
Tanggal Pengkajian : 9 Maret 2022 Jam: 10.00 WIB
Diagnosa Masuk : Emphysenatous Lung + Secondary Infection + Pleuritis +
Hiponatremi
Saat MRS tanggal 3 Maret 2022, pasien mengeluh sesak napas dan pusing
berputar, dahak sulit keluar, dan ada batuk. Pada pukul 18.17 pasien di bawa ke
IGD RKZ. Keadaan umum pasien lemah, nadi teraba kuat, RR: 32x/mnt, SpO2:
98%, suara napas: ronkhi, akral hangat, S: 36,3 0C, N: 113x/mnt, TD:181/99
mmHg, GCS: 4-5-6, kesadaran komposmentis, pupil isokor, Diameter: 3/3, reaksi
10
cahaya: +/+. Pasien menggunakan O2 nasal 3 lpm dan diberikan injeksi santagesik
1gr IV. Hasil pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:
Hasil foto thorax AP ½ duduk tanggal 3 Maret 2022 yaitu Cor besar dan
bentuk normal; aortosclerosis, emphysematous lung disertai bilateral secondary
infection dominant kiri dan pleuritis kiri. Pada jam 23.30 WIB pasien pindah dari
IGD ke Paviliun Yoakim 1 dengan KU agak lemah, pasien mengeluh sesak, RR:
22x/mnt, SpO2: 96% dengan O2 nasal 3 lpm, suara napas: ronkhi, S: 36,6 0C, N:
101x/mnt, TD:180/104 mmHg, GCS: 4-5-6, kesadaran komposmentis, pupil
isokor, Diameter: 3/3, reaksi cahaya: +/+, terdapat sekret, tidak bisa mengeluarkan
sekret karena ditelan kembali oleh pasien.
11
Tanggal 4 Maret 2022
Ginjal & Saluran Kemih
Uric Acid 3,5 3,4 – 7,0 mg/dl
Hati & Saluran Empedu
Albumin 3,8 3,5 – 5,0 g/dl
Karbohidrat
Gula puasa 95 70 - 115 mg/dl
Lemak
Cholesterol 161 NCEP-ATP III (2001) mg/dl
Chol. - optimal < 200
Chol. – borderline 200 – 239
Chol. – high risk > 240
HDL – Chol 30,0 NCEP-ATP III (2001) mg/dl
HDL Chol – optimal > 60
HDL Chol – borderline 40 – 59
HDL Chol – high risk < 40
LDL – Chol 75,7 NCEP-ATP II (2001) mg/dl
LDL Chol – optimal < 100
LDL Chol – borderline 100 – 129
LDL Chol – high risk > 130
Trigliserid 100 NCEP-ATP III (2001) mg/dl
Trig. – optimal < 150
Trig. – borderline 150 – 199
Trig. – high risk > 200
Trig. – very high risk > 500
Tanggal 5 Maret 2022 pukul 08.00 keadaan umum pasien agak lemah, pasien
mengungkapkan masih sesak, RR: 27 x/mnt, SpO2; 99% dengan O2 nasal 3 lpm,
suara napas ronkhi, N: 100x/mnt, TD: 140/80 mmHg, GCS: 4-5-6, kesadaran
komposmentis. Pasien diberikan nebulizer dengan menggunakan 0,5 mg flixotide
dan combivent 2,5 ml 3x sehari. Pada tanggal 6 Maret 2022 pukul 08.00 WIB,
pasien mengungkapkan masih batuk-batuk, KU agak lemah, akral hangat, nadi
kuat dan teratur 98x/menit, TD 150/80 mmHg, RR 21x, SpO2 100%, pasien
menggunakan infus 1 PZ + 1 NaCl 3%, O2 nasal 3 lpm, dan masih terdapat sekret
yang belum mampu dikeluarkan. Pada tanggal 7 Maret 2022 jam 08.00 WIB,
pasien mengungkapkan masih batuk dengan KU agak lemah, akral hangat, nadi
12
kuat dan teratur 98x/menit, TD 130/80 mmHg, RR 20x, SpO2 99%, dan suhu
36,1oC. Pasien masih menggunakan infus 1 PZ + 1 NaCl 3% /24 jam dan O2 nasal
2 lpm. Pada tanggal 7 Maret 2022 pasien melakukan pemeriksaan lab dengan hasil
sebagai berikut:
Pada tanggal 8 Maret 2022 jam 08.00 WIB, pasien mengungkapkan masih
batuk dengan KU agak lemah, akral hangat, nadi kuat dan teratur 93x/menit, TD
150/90 mmHg, RR 20x, SpO2 99%, dan suhu 36,5 oC. Pada jam 09.15 WIB
pemberian infus NaCl 3% dihentikan dan terapi lain dilanjutkan. Pada jam 16.00
WIB dilakukan tindakan suction dengan hasil sekret keluar banyak kental
berwarna kuning, KU lemah, sesak dan batuk masih ada, RR 21x/menit dan SpO2
97% dengan O2 nasal 2 lpm.
Pada tanggal 9 Maret 2022 jam 08.00 WIB, pasien mengungkapkan batuk-
batuk, masih terdapat sekret yang tidak bisa dikeluarkan, KU agak lemah, akral
hangat, nadi kuat dan teratur 84x/menit, TD 140/90 mmHg, RR 21x/menit, SpO2
100% dengan O2 nasal 2 lpm. Pasien masih menggunakan 1 PZ/24 jam.
13
4) Riwayat Pengobatan yang pernah didapatkan:
Nama/Jenis
Dosis Frekwensi Dilanjutkan / Berhenti
Obat
Combivent Dilanjutkan
2,5 ml 3x1
nebule
15
Riwayatpenggunaanpencahar: Tidak
√ Ya, Sebutkan: ……….
Kebiasaan BAK
Frekwensi:3-4x sehari Konsistensi :cair
Warna : kuning jernih
Keluhan: DisuriaRetensi Inkontinensia Lain – lain:
Penggunaanalatbantu: TidakYa,
√ Sebutkan: …………………
Di RS
Kebiasaan BAB
Frekwensi : belum BAB sejak 4 hari yang lalu Konsistensi:-
Keluhan : Inkontinensia Konstipasi
√
BAB terakhir :5 Maret 2022
Riwayatpenggunaanpencahar: Tidak √ Ya, Sebutkan:mikrolac 2
tube. Setelah diberikan mikrolac pasien tetap tidak bisa BAB.
Kebiasaan BAK
Frekwensi :6-7 x/hr Konsistensi :cair
Warna :Kuning jernih
Keluhan : DisuriaRetensiInkontinensia
√ Lain – lain:
BAK terakhir : jam 08.00
√
Penggunaanalatbantu: TidakYa, Sebutkan:
3. PolaKognitif – Perseptual
Status Mental: √Komposmentis Apatis SoporPrecoma
Koma
Orientasi : BaikBingungTidak
√ ada respon
KemampuanBicara : Normal
√ Gagap Afasia Blocking
Bahasa yang digunakan: Indonesia
√ Daerah, Sebutkan: ……Lainnya:
KemampuanMembaca: √ Bisa Tidak
KemampuanMengartikan: √Sesuai Tidak
KemampuanInteraksi :Sesuai
√ Tidak, Sebutkan …………………
Pendengaran: Normal √ Terganggu
Sebutkan: pendengaran pasien terganggu karena faktor usia Lokasi: kanan+kiri
Penglihatan: √ Normal Terganggu
Sebutkan:…………… Lokasi: kanan / kiri
16
Keluhan: Vertigo √ Pusing Nyeri
Pengkajian Nyeri PQRST : -
ManajemenNyeri: -
4. PolaKonsepDiri
HargaDiri: √ Tidakterganggu Terganggu, Sebutkan:
Ideal Diri: √ Tidakterganggu Terganggu, Sebutkan:
GambaranDiri: Tidakterganggu
√ Terganggu, Sebutkan:
IdentitasDiri: √ Tidak terganggu Terganggu, Sebutkan:
5. Pola Koping
MasalahutamaselamaMRS: Tidakada √ Ada: Keuangan/Perawatan
diri/Lainnya
Kehilangan/perubahan yang terjadisebelumnya: Tidakada
√ Ada
Takutterhadapkekerasan √
Tidakada Ada, Sebutkan: …………
Pandanganterhadapmasadepan: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(Rentang 1 = Pesimistis s/d 10 = Optimis)
Pandangan terhadap masa depan pasien adalah 8 optimis
6.Pola Seksual – Reproduksi
Perempuan
Menstruasiterakhir :Pasien lupa terakhir menstruasi
Masalahmenstruasi : Tidakada Ada, Sebutkan:
Papsmear : TidakpernahPernah, Kapan:
Perawatanpayudarasetiapbulan: TidakYa
PenggunaanKontrasepsi : Tidak Ya, Sebutkan:
Polaseksualselama MRS :
Laki – laki
PenggunaanKontrasepsi : √ Tidak Ya, Sebutkan:
Masalahseksual/reproduksi : √ Tidak ada Ya, Sebutkan:
Polaseksualselama MRS :-
7. Pola Peran – Berhubungan
Status perkawinan : Belumkawin KawinCerai/Pisah
√
Pekerjaan : √TidakYa, Sebutkan:
Kualitaspekerjaan : Kontinu Tidakkontinu, Sebutkan:
17
Sistemdukungan : TidakadaAda:√Keluarga
Dukungankeluargaselama MRS: TidakadaAda,√Sebutkan: Keluarga sesekali
menjenguk pasien dan memberikan dukungan
11.PolaNilaidanKepercayaan
Agama : Budha
Aturankhususagama: Tidakada
√ Ada, Sebutkan:
PermintaanrohaniawanselamaMRS: Tidak
√ Ya, Sebutkan:
A. Data Obyektif / Pemeriksaan Fisik
1. Data Klinik
Keadaan umum: pasien tampak lemah, kesadaran komposmentis dengan GCS
4-5-6
Suhu: 36,5 ºC (menggunakan thermo gun)
Nadi: 80 x/mnt √ Kuat / Lemah Teratur
√ / Tidak
TekananDarah: 140/80 mmHg Berbaring
√ Duduk
2. Pernafasan
Frekwensinafas : 24x/mnt
Polanafas : Normal Dangkal √Cepat
18
Konjungtiva : NormalAnemis
√
Edema : √Tidak Ya, Lokasi:-
4. Persarafan / Sensorik
GCS : Eye : 4Verbal : 5Motorik : 6
Pupil : Isokor
√ Anisokor Diameter :3 mm/ 3 mm
Reaksicahaya : Positif
√ Negatif
Refleksfisiologis : Patella Triseps Biseps Lain – lain : -
Reflekspatologis :Babinski
√ BrudzinskiKernigLain – lain : -
5. Perkemihan
Kandungkemih : lunak
√ distensi
Nyeritekan : Tidak
√ Ya
Terpasangkateter : Tidak
√ Ya, tanggalpasang : -
Warna urine : Jernih
√ Pekat Lainnya :-
6. Pencernaan
Mulut dan tenggorokan
Mulut √
: Bersih Kotor Bau, Jelaskan
7. Integumen
19
Kulit : Kulitputih
Warna : Normal
√ IkterusHiperpigmentasi
Turgor : Baik Sedang √ Jelek
Kelainan : √Tidak Ya, Sebutkan:
Luka : √ Tidak Ya, Sebutkan:
Lainnya : pada kulit pasien khususnya bagian tangan terdapat beberapa
bekas pemasangan infus.
8. Muskuloskeletal
ROM √
: Penuh Tidak, Sebutkan: …………
Keseimbangan : Stabil √
Tidakstabil, Sebutkan:pasien tampak lemah
Menggenggam √ : Kuat (kanan / kiri) Lemah (kanan / kiri)
Kemampuanotot kaki : Kuat
√ (kanan/ kiri) Lemah√(kanan/kiri)
Skala Kekuatan Otot : Skala kekuatan otot ke dua ekstremitas atas yaitupasien
dapat melawan gravitasi dan dapat menahan tekanan dengan kekuatan minimal.
Pada ekstremitas bawah bagian kiri hanya terdapat kontraksi otot dan adanya
deformitas sehingga kaki pasien hanya bisa ditekuk dan tidak bisa direntangkan
seluruhnya. Sedangkan pada ekstremitas bawah bagian kananada pergerakan
tetapi hanya dapat mengatasi gaya gravitasi.
4 4
3 1
Pengobatan di RS
1. Fluimucyl200 mg 3x1
- Golongan: mukolitik
- Indikasi: Obat ini digunakan untuk menangani infeksi saluran pernapasan.
Selain itu, Fluimucil dapat membantu mengencerkan dahak pada kondisi
adanya lendir atau dahak, misalnya pada penderita asma bronkial, tonsilitis,
dan pneumonia
- Kontra indikasi: Hipersensitif, diabetes, pasien yang menjalankan diet rendah
kalori
- Efek samping: Mual, muntah, diare, bronkospasme, pusing
2. Amlodipine 5 mg 1x1
20
- Golongan: Calcium Chanel Blockers (CCBs)
- Indikasi: obat ini diberikan untuk pasien dengan hipertensi
- Kontra indikasi: syok kardiogenik, angina tidak stabil, stenosis aorta yang
tidak stabil, ibu menyusui
- Efek samping: pembengkakan pada tangan dan kaki. Pusing atau sakit kepala
ringan, mual, kelelahan
3. Laxadine 1 kali sehari 1-2 sendok makan
- Golongan: obat bebas terbatas
- Indikasi: obat pencahar atau laksatif yang bekerja dengan cara merangsang
gerak peristaltikpada usus besar serta menghambat penyerapan air berlebih
dari feses dan melicinkan jalan keluar feses
- Kontra indikasi: hipersensitif terhadap zat yang aktif dalam laxadine, emulsie,
ileus obstruksi, dan nyeri abdomen yang belum diketahui penyebabnya
- Efek samping: ruam kulit, rasa panas terbakar, kolik, kehilangan elektrolit
dan cairan tubuh, diare, mual dan muntah
4. Bisoprolol 2 mg 1x1
- Golongan: penghambat beta (beta blockers)
- Indikasi: obat untuk mengobati hipertensi, angina pectoris, aritmia, dan gagal
jantung
- Kontra indikasi: pasien dengan asma berat, blok atrioventrikular, sinus
bradikardi, asidosis metabolik
- Efek samping: kram abdomen, diare, pusing, sakit kepala, mual denyut
jantung lambat, tekanan darah rendah, sesak napas dan kelelahan
5. Tracetat 160 mg 1x1
- Golongan: obat keras
- Indikasi: anoreksia, kakeksia pada pasien kanker dan HIV/AIDS
- Efek samping: mual muntah, edema, hiperglikemia, kemerahan pada wajah
6. Rotaqor 20 mg 1x1
- Golongan: obat keras
- Indikasi: obat ini digunakan untuk menurunkan peningktan kolesterol total,
kolesterol LDL, trigliserida
21
- Kontra indikasi: obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit
hepar, alergi obat, ibu hamil dan menyusui,
- Efek samping: konstipasi, perut kembung, dyspepsia, nyeri amdomen, sakit
kepala, mual lemas
7. Pantoprazole 40 mg 1x IV
- Golongan: obat resep
- Indikasi: untuk meredakan keluhan dan gejala akibat peningkatan asam
lambung seperti nyeri perut, heartburn, sulit menelan tukak lambung, GERD.
- Kontra indikasi: hipersensitivitas, disfungsi hati dan ginjal
- Efek samping: sakit kepala, perut kembung, sakit perut, konstipasi, diare
8. Combivent nebul2 ml 3x1
- Golongan: bronkodilator
- Indikasi: Combivent digunakan untuk pengobatan bronkospasme
(penyempitan pada jalan udara yang dihirup) yang berhubungan dengan
penyakit penyumbatan paru kronis sedang sampai berat pada pasien yang
memerlukan lebih dari satu bronkodilator (memperlebar luas permukaan
bronkus dan bronkiolus pada paru-paru)
- Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap salbutamol, ipratropium atau
fenoterol, atropin atau turunannya, penderita kardiomiopati obstruktif
hipertrofi dan takiaritmia.
- Efek Samping: Gemetar pada otot, jantung berdebar, sakit kepala, pusing,
gugup, mulut kering, dan Iritasi tenggorokan
9. Flixotine nebul 0,5 mg 3x1
- Golongan: obat keras
- Indikasi: meredakan gejala dan eksaserbasi asama pada pasien yang
sebelumnya diterapi dengan bronkodilator
- Efek samping: kandidias pada mulut dan tenggorokan suara serak,
bronkopasme
10. Tricephine 4 gr 2x2 gr
- Golongan: obat keras
- Indikasi: infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang peka terhadap natrium
seftriakson
22
- Kontra indikasi: tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami
hipersensitivitas pada ceftriakxone atau antibiotic dan pada pasien dengan
riwayat hipersensitivitas terhadap penicillin dan obat antibakteri golongan
beta laktam
- Efek samping: diare mual. Muntah ruam, pruritis, demam
11. Solvinex 3x2 mg
- Golongan: obat keras
- Indikasiterapi sekretolitikuntuk penyakit saluran napas akut dan kronik yang
disertai sekresi mucus yang abnormal serta gangguan transportasi mucus
- Efek samping: mual muntah, diare, rasa penuh diperut, dan nyeri pada ulu
hati, sakit kepala vertigo, keringat berlebihan,
12. Microlak5 ml 1x parectal
- Indikasi: obat ini digunakan untuk pasien yang sulit buang air besar
- Kontra indikasi: obat ini jangan digunakan pada penderita ambeyen, penderita
radang usus
- Efek samping: obat ini dapat menyebabkan diare dan kekurangan cairan
3.1.4Pemeriksaan Penunjang
Pada saat tanggal pengkajian 9 Maret 2022, tidak terdapat pemeriksaan penunjang
pada pasien.
23
ANALISA DATA
Nama : Tn. H
Usia : 79 tahun
No. RM : 251xxx
1 9 Maret DS: Pasien mengeluh Sekresi yang tertahan Bersihan jalan napas
2022 sesak napas tidak efektif
DO:
- Batuk tidak efektif
- Pasien tidak mampu
batuk
- Suara napas
tambahan ronkhi
- RR 24x/menit
- Pola napas cepat
2. DS : Pasien mengeluh Kelemahan otot abdomen Konstipasi
sudah 5 hari tidak bisa
BAB
DO :
- Distensi abdomen
- Peristaltik usus
menurun
- Teraba massa pada
rektal
- Feses keras
- Kelemahan umum
24
DIAGNOSA KEPERAWATAN
25
INTERVENSI KEPERAWATAN
Perencanaan
Diagnosa
Implementasi Evaluasi Somatif
Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
Bersihan jalan Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas : Manajemen Jalan Napas : 9 Maret 2022 11 Maret 2022
napas tidak efektif tindakan keperawatan
berhubungan selama 3x24 jambersihan Jam 10. 20 Jam 08.00
dengan sekresi yang jalan napas meningkat
tertahan ditandai dengan kriteria hasil 1. Monitor pola napas 1. Untuk mengetahui 1. Memonitor pola nafas S:pasien mengungkapkan
dengan pasien sebagai berikut : (frekuensi, kedalaman, perubahan dari pola napas pasien dengan melihat sesak berkurang
mengeluh sesak usaha napas) pasien frekuensi , kedalaman,
napas, batuk tidak 1. Batuk efektif dan usaha nafas) O:
efektif, pasien tidak meningkat Jam 10.30
2. Dispnea menurun - Pasien belum bisa
mampu batuk, suara
3. Ronkhi menurun 2. Memonitor bunyi nafas melakukan batuk efektif
napas ronkhi, RR 2. Monitor bunyi napas 2. Untuk mengetahui apakah
4. Frekuensi napas tambahan pada pasien - Suara napas ronkhi
24x/menit, dan pola tambahan (ronkhi) ada bunyi napas tambahan
membaik apakah ada ronkhi atau masih terdengar
napas cepat. pada pasien
(16-20x/menit) tidak. - RR 18x/menit
5. Pola napas membaik Jam 10.40 - Pola napas cukup
membaik
3. Posisikan semi fowler/ 3. Posisi semi fowler/ fowler 3. Memberikan posisi semi A:masalah teratasi sebagian
fowler dapat memaksimalkan fowler atau fowler untuk
ventilasi sedikit mengurangi sesak
yang dirasakan
Jam 10. 50
30
CATATAN PERKEMBANGAN
I:
Jam 14.30
31
P: intervensi 1-3, 5-9 dilanjutkan
I:
Jam 15.00
I:
Jam 15.20
32
4. Memfasilitasi melakukan mobilisasi fisik jika perlu
5. Melibatkan keluarga untuk mebantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Jam 15.35
6. Mengajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (mis, berjalan dan tempat tidur kekursi
roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi
berjalan sesuai toleransi)
I:
Jam 08.10
I:
Jam 08.30
I:
Jam 08.50
34
Jam 08.52
2. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan
ambulasi
Jam 08.55
3. Memfasilitasi aktifitas ambulasi dengan alat bantu
(mis tongkat, kruk)
Jam 09.00
4. Memfasilitasi melakukan mobilisasi fisik jika perlu
5. Melibatkan keluarga untuk mebantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Jam 09.05
6. Mengajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (mis, berjalan dan tempat tidur kekursi
roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi
berjalan sesuai toleransi)
35
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada kasus dilakukan pengkajian pada Tn. H berusia 79 tahun dengan
diagnosa medisEmphysenatous Lung + Secondary Infection + Pleuritis +
Hiponatremi. Pasien MRS pada tanggal 3 Maret 2022 dan pengkajian dilakukan
pada tanggal 9 Maret 2022 dengan prioritas masalah keperawatan ialah bersihan
jalan napas tidak efektif. Data subjektif pasien mengeluh sesak napas dan data
objektif antara lain pasien batuk tidak efektif, pasien tidak mampu batuk, terdapat
suara napas tambahan ronkhi, RR 24x/menit, dan pola napas cepat. Intervensi
yang diberikan kepada pasien berupa manajemen jalan napas yang mana salah
satu tindakan terapeutik yang dilakukan ialah fisioterapi dada dengan urutan
pemberian nebul, vibrasi, clapping, dan yang terakhir mengajarkan teknik batuk
efektif. Tindakan yang sama juga diterapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Daya & Sukraeny (2020) dimana peneliti melakukan fisioterapi dada dan steem
inhaler guna mengurangi dahak dan sesak pada pasien dengan secret berlebih.
Teknik yang dilakukan peneliti yaitu memanaskan air sampai keluar uap,
kemudian ditaruh pada sebuah baskom dan dicampur dengan minyak kayu putih
sampai mengeluarkan bau segar. Setelah itu, pasien menghirup uap yang sudah
dibuat tersebut selama 15 menit kemudian pasien dilakukan fisioterapi dada
selama 10 menit dan diajarkan batuk efektif. Sedangkan pada kasus kelompok,
Tn. H pada mulanya diberikan nebul dengan obat combivent 2 ml + flixotine 0,5
mg dilarutkan dalam aquadest 2 ml selama ±15 menit. Setelah itu dilanjutkan
dengan pemberian vibrasi dada diselingi dengan clapping selama ±10 menit dan
pasien juga diajarkan teknik batuk efektif.
Pada hasil penelitian yang dilakukan Daya & Sukraeny (2020), kombinasi
fisioterapi dada dan steem inhaler aromatheraphy terbukti efektif dalam
mempertahankan kepatenan jalan napas dibuktikan dengan adanya penurunan
jumlah sekret dan suara paru ronkhi pasien berkurang. Sedangkan pada kasus
kelompok, setelah tindakan fisioterapi dada dilakukan selama 3x24 jam didapati
masalah teratasi sebagian dibuktikan dengan pasien mengungkapkan sesak napas
berkurang, RR 18x/menit, pola napas cukup membaik, namun pasien masih belum
bisa melakukan batuk efektif dan suara napas ronkhi masih terdengar.
36
37
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
5.1.1 Data Fokus
Berdasarkan pengkajian Tn. H berusia 79 tahun dengan keluhan utama
pasien mengeluh sesak dan sedikit pusing, pasien mengeluh belum BAB sudah 5
hari, pasien mengeluh capek dan enggan melakukan pergerakan, pasien tidak
mampu batuk efektif, terdapat suara napas tambahan ronkhi, RR 24 x/menit, pola
napas cepat, terdapat distensi abdomen, peristaltik usus menurun, teraba massa
pada rektal, kekuatan otot pasien menurun, gerakan tidak terkoordinasi, fisik
pasien lemah.
5.1.2 Diagnosa Keperawatan
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
ditandai dengan pasien mengeluh sesak napas, batuk tidak efektif, pasien tidak
mampu batuk, suara napas ronkhi, RR 24x/menit, dan pola napas cepat.
Konstipasi berbuhubungan dengan kelemahan otot abdomen yang ditandai
dengan pasien mengeluh feses keras, distensi abdomen, peristaltik usus pasien
menurun , teraba massa pada rektal, kelemahan umum.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
ditandai dengan kekuatan otot pasien menurun, gerakan tidak terkoordinasi, fisik
pasien lemah.
5.1.3 Intervensi
Bersihan jalan napas tidak efektif
Manajemen jalan napas
1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (ronkhi)
3. Posisikan semi fowler/ fowler
4. Berikan minum hangat
5. Lakukan fisioterapi dada
6. Ajarkan teknik batuk efektif
7. Kolaborasi pemberian bronkodilator, mukolitik, dan ekspektoran
38
Konstipasi
Manajemen eliminasi fekal
1. Identifikasi masalah usus dan penggunaan obat pencahar
2. Monitor buang air besar (warna, frekuensi, konsistensi, volume)
3. Berikan air hangat setelah makan
4. Sediakan makanan tinggi serat
5. Jelaskan jenis makanan yang membantu meningkatkan keteraturan
peristaltik usus
6. Anjurkan meningkatkan aktifitas fisik sesuai toleransi
7. Anjurkan mengonsumsi makanan yang mengandung tinggi serat.
8. Anjurkan meningkatkan asupan cairan jika tidak ada kontraindikasi
9. Kolaborasi pemberian obat suposititoria anal
Gangguan mobilitas fisik
Dukungan Ambulasi
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
3. Fasilitasi aktifitas ambulasi dengan alat bantu (mis tongkat, kruk)
4. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik
5. Libatkan keluarga untuk mebantu pasien dalam meningkatkan ambulasi
6. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis, berjalan dan
tempat tidur kekursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi berjalan
sesuai toleransi)
5.1.4 Implementasi
Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Jam 10. 20
Memonitor pola nafas pasien dengan melihat frekuensi , kedalaman, dan usaha
nafas)
Jam 10.30
Memonitor bunyi nafas tambahan pada pasien apakah ada ronkhi atau tidak.
Jam 10.40
Memberikan posisi semi fowler atau fowler untuk sedikit mengurangi sesak yang
dirasakan
39
Jam 10. 50
Memberikan pasien minum yang hangat
Jam 11.00
Melakukan fisioterapi dada dengan urutan nebul, vibrasi dan clapping
Jam 11.10
Mengajarkan pasien untuk batuk efektif
Jam 11. 20
Melakukan kolaborasi pemberian obat combivent nebul 2,5 ml dan flixotide nebul
0,5 mg
Konstipasi
Jam 12.00
Mengidentifikasi masalah usus dan penggunaan obat pencahar
Jam 12.10
Memonitor buang air besar (warna, frekuensi, konsistensi, volume)
Jam 12.15
Memberikan air hangat setelah makan
Jam 12.20
Menjelaskan jenis makanan yang membantu meningkatkan peristaltik usus
Jam 12.25
Menyediakan makanan tinggi serat
Jam 12.30
Menganjurkan meningkatkan aktifitas fisik sesuai toleransi
Jam 12.35
Menganjurkan mengonsumsi makanan yang mengandung tinggi serat.
Jam 12.40
Menganjurkan meningkatkan asupan cairan jika tidak ada kontraindikasi
Jam 12.45
Melakukan kolaborasi dalam pemberian obat microlax 5 ml 1x parectal
Gangguan Mobilitas Fisik
Jam 12. 50
Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
Jam 12.55
40
Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
Jam 13.00
Memfasilitasi aktifitas ambulasi dengan alat bantu (mis tongkat, kruk)
Jam 13.05
Memfasilitasi melakukan mobilisasi fisik
Melibatkan keluarga untuk mebantu pasien dalam meningkatkan ambulasi
Jam 13.10
Mengajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis, berjalan dan tempat
tidur kekursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi berjalan sesuai
toleransi)
5.1.5 Evaluasi
Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
11 Maret 2022
Jam 08.00 WIB
S: pasien mengungkapkan sesak berkurang
O:
- Pasien belum bisa melakukan batuk efektif
- Suara napas ronkhi masih terdengar
- RR 18x/menit
- Pola napas cukup membaik
A: masalah teratasi sebagian
Konstipasi
11 Maret 2022
Jam 08.00 WIB
S: pasien mengeluh belum bisa BAB
O:
- Adanya distensi abdomen
- Peristaltik usus cukup membaik
- Teraba massa pada rektal
A: masalah belum teratasi
Gangguan Mobilitas Fisik
11 Maret 2022
41
Jam 08.00 WIB
S: pasien mengeluh kaki kiri nya tidak bisa digerakkan
O:
- Pergerakan ekstremitas kiri bawah lemah
- Kekuatan otot ekstremitas kiri bawah lemah
- Gerakan kaki kiri terbatas
- Pasien tampak lemah
A: masalah belum teratasi
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Mahasiswa
Untuk mahasiswa diharapkan lebih kritis dalam mengenal tanda-tanda
sertagejala terjadinya Emphysenatous Lung sehingga dapat melakukan observasi
terhadap tanda-tanda Emphysenatous Lung serta menerapkan tindakan yang tepat
sesuai dengan ilmu yangsudahdipelajari.
5.2.2 Bagi Perawat
Peran perawat yaitu mencakup tindakan kolaboratif bersama dokter mulai
dari pemberian terapi obat serta observasi dan monitoring sebagai panentu
keberhasilan perawatan pasien. Selain itu pengkajian yang akurat dan lengkap
terhadap factor terjadinya Emphysenatous Lung dengan masalah keperawatan
bersihan jalan napas tidak efektif sangat penting dilakukan sebagai acuan untuk
melakuakan intervensi selanjutnya, agar tidak ada keterlambatan dalam
penanganan pada pasien.
42
DAFTAR PUSTAKA
Daya & Sukraeny, Nury. (2020). Fisioterapi Dada dan Steem Inhaler
Aromatheraphy dalam Mempertahankan Kepatenan Jalan Nafas Pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Ners Muda, Vol 1(2): 100-107. Doi:
10.26714/nm.v1i2.5770
Hartanto H., Wulansari P., & Susi N. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC
43