Anda di halaman 1dari 1

3.

Martabat Manusia sebagai Pribadi Sosial

Apakah Anda pernah mendengar ada pepatah mengatakan: “No man is an island”, artinya ‘manusia
tidak ada yang hidup sendirian.’ Dalam kehidupannya manusia sadar akan dirinya bersama dengan
orang lain. Manusia bersama dengan orang lain, secara bersama-sama memberikan arti dan nilai dan
saling memanusiawikan. Anda menjadi pribadi justru dalam pengakuan dari sesama. Manusia diciptakan
untuk berelasi dan bersekutu. Relasi dan persekutuan ini memperlihatkan suatu ketergantungan
dasariah antarmanusia sebagai makhluk yang selalu ada bersama. Karena itu, manusia hidupnya
tergantung satu sama lain. Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak awal mula “Ia
menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej. 1:27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama
persekutuan antarpribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam, manusia bersifat sosial; dan tanpa
berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya. Hidup
di tengah-tengah manusia lain merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, sebagai citra Allah
manusia adalah pribadi sosial, yang di satu sisi sebagai anugerah yang layak “disyukuri” dan di lain pihak
mengandung tugas panggilan/perutusan yaitu “membangun”. Karenanya, kita perlu membangun
kesadaran bahwa kita hidup dalam suatu komunitas kebersamaan. Kesadaran itu, hendaknya dihayati
dengan sikap-sikap yang menunjang tercapainya kerja sama dan saling pengertian dan peduli di antara
sesama manusia.

Dari penjelasan dan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa relasi sosial manusia dipahami
dalam penilaian martabat manusia yang tidak bisa terpisah dari kenyataan bahwa ia diciptakan oleh
Allah. Hal itu berarti luhurnya martabat manusia diakui, dihormati dan dijunjung tinggi karena iman akan
Allah, maka kepercayaan bahwa Allah itu Sang Pencipta sekaligus mengandung kepercayaan bahwa
Allah menjadikan manusia sebagai makhluk sosial yang mulia dan bermartabat luhur. Karena martabat
luhur manusia hanya diakui dalam iman akan Allah sebagai Sang Pencipta dan dalam diri Yesus Kristus,
Putera Allah yang tunggal.

Manusia menentukan sikap dan hubungannya dengan sesama. Dengan akal budinya, dan kemampuan
membedakan yang baik dan yang jahat, serta dengan kehendak bebasnya, manusia bertanggungjawab
atas perbuatannya. Martabat setiap manusia diuji dalam relasi membina dirinya dengan sesamanya, dan
keberhasilan kemanusiaannya dinilai dari sisi kadar etis-moralnya, bukan pada apa yang dimiliki dan
melekat pada dirinya. Dalam konteks bernegara, kepekaan sosial diwujudkan dalam bentuk membayar
pajak dengan benar, tepat waktu dan tidak memanipulasi kewajiban pajaknya.

Anda mungkin juga menyukai