Anda di halaman 1dari 12

I.

Pendahuluan
Kornea merupakan struktur pada mata sebagai media refraktif dengan kekuatan
sekitar 2/3 dari kekuatan dioptri mata. Kelainan pada bentuk dan permukaan kornea
dapat mempengaruhi fungsi penglihatan seseorang. Pengetahuan tentang prinsip
biomekanik kornea dapat diaplikasikan pada beberapa penyakit mata, seperti
glaukoma dan penyakit ektasia kornea atau ectatic corneal disease (ECD). ECD
dikarakteristikan oleh penipisan kornea yang progresif yang meliputi keratoglobus,
pellucid marginal degeneration (PMD), dan keratokonus (KC).1,2,4
Keratokonus merupakan salah satu ektasia kornea yang umum terjadi. Penipisan
kornea yang progresif dapat menyebabkan astigmatisme dan penurunan tajam
penglihatan. Prevalensi keratokonus sebesar 0.2 dan 4.790/100.000 orang, paling
banyak terjadi di usia 20-30 tahun pada ras Asia dan Timur tengah. Topografi
kornea merupakan salah satu modalitas utama untuk menilai penyakit kornea. 2,5,7
Pembaharuan topografi kornea dan munculnya alat tomografi kornea telah
meningkatkan kemampuan dokter mata untuk mendiagnosis ektasia kornea pada
tahap yang jauh lebih awal dari sebelumnya. Tomografi kornea sering digunakan
untuk menganalisis permukaan kornea, terutama pada bidang katarak dan bedah
refraktif. Teknologi tomografi kornea yang canggih seperti Pentacam dapat
meningkatkan kemampuan praktisi untuk screening kandidat pasien bedah
refraktif, seperti keratokonus. Sari kepustakaan ini bertujuan untuk membahas
Pentacam sebagai alat screening dan diagnostik pada kandidat pasien bedah
refraktif. 4,5,7,8

II. Bedah Refraktif

2.1 Bedah Refraktif Kornea

Bedah refraktif mengacu pada semua prosedur yang dilakukan untuk


memperbaiki atau meminimalisasi kesalahan pada refraksi. Bedah refraktif kornea
mencakup beberapa modalitas yaitu photorefractive keratectomy (PRK), laser-
assisted situ keratomileusis (LASIK), dan small-incision lenticule extraction

1
2

(SMILE). Berdasarkan literature review sebuah jurnal, kasus LASIK mencapai


795.813/ tahun dan kasus PRK mencapai 140.438/tahun di Amerika Serikat.3,4,7
LASIK telah menjadi pilihan bedah refraktif yang paling umum karena
perbaikan fungsi penglihatan yang cepat dengan efek samping yang relatif sedikit.
Namun, LASIK memiliki risiko terjadinya ektasia kornea. Hal ini ditandai dengan
penipisan (penurunan) kornea inferior, astigmatisme, dan hilangnya visus
seseorang yang paling baik dikoreksi. Pada kasus PRK, insidensi ektasia pasca
operasi bedah refraktif mencapai 20/100.000 orang, kasus lasik mencapai
90/100.000 orang, dan SMILE sebsar 11/100.000 orang. 3, 4-6
Bedah refraktif memiliki dua prinsip utama, yaitu bedah keratorefraktif atau
operasi berbasis lensa intraokuler (IOL). Keratorefraktif melibatkan perubahan
bentuk permukaan kornea sementara operasi IOL menambahkan IOL implan ke
dalam elemen optik. Penilaian pre operasi penting dilakukan untuk mengekslusi
semua kontraindikasi kondisi kornea, deteksi suspek keratokonus subklinis sangat
penting untuk mencegah ektasia iatrogenik pasca operasi bedah refrakif. Penilaian
topografi kornea dan biomekanik kornea dapat membantu dokter dalam pemilihan
keputusan untuk pemilihan bedah refraktifnya.4-7
Evolusi operasi keratorefraktif dimulai dengan teknik ablasi seperti PRK berupa
pengangkatan epitel atau LASIK dengan menggunakan alkohol 20% sebagai
pengganti epitel kornea. Epitel yang lepas awalnya diawetkan untuk mengurangi
inflamasi dan rasa nyeri, namun teknologi sekarang yang melibatkan pengangkatan
bersamaan dengan diketahuinya alkohol yang dapat mempengaruhi vitalitasnya.
Baru baru ini ablasi excimer laser digunakan untuk menghilangkan epitel kornea
(transepithelial PRK). Salah satu keuntungan PRK transepitel adalah pelepasan
epitel dan laser excimer dilakukan secara bersamaan, meskipun sebagian besar studi
menunjukkan bahwa waktu penyembuhan dan hasil visual tidak berbeda jauh
dengan teknik pengangkatan epitel yang lain.4-6
Prosedur LASIK memiliki potensi 4,5 kali lebih besar risiko terjadinya ektasia
kornea dibandingkan dengan PRK. Prevalensi keratokonus pada populasi salah
satunya merupakan akibat dari ektasia pasca operasi dimana pasien yang
melakukan tindakan bedah refraktif dapat memiliki penyakit subklinis. Topografi
3

dan tomografi diperlukan untuk mendeteksi dini ektasia pasca operasi bedah
refraktif. 4,5-6
Topografi kornea, khususnya biomekanik kornea bedah keratorefraktif seperti
LASIK dan PRK. Kecepatan tinggi kamera Scheimpflug yang dapat
memvisualisasikan perubahan kornea menghasilkan beberapa indeks biomekanik.
Tomografi dan indeks biomekanik memiliki tingkat akurasi yang lebih besar dalam
mendeteksi keratokonus subklinis yang secara klinis dianggap sebagat mata
normal. 4-7

2.2 Ektasia kornea

Penyakit ektasia kornea merupakan sekelompok penyakit yang ditandai dengan


penipisan progresif diikuti dengan penonjolan dari struktur kornea yang meliputi
keratoglobus, pellucid marginal degeneration (PMD), dan keratokonus. Beberapa
bedah refraktif kornea berhubungan dengan ektasia kornea iatrogenik progresif
seperti setelah LASIK pada pasien dengan sifat biomekanik kornea yang
mengalami perubahan atau disebut forme fruste keratokonus (FFKC). Keratokonus
terjadi bilateral dan asimetris. 6-8

Diagnosis ektasia kornea berdasarkan pada riwayat pasien dan temuan pada
pemeriksaan topografi. Anamnesis meliputi onset, fungsi visual, riwayat
pemakaian lensa kontak, riwayat operasi bedah refraktif, dan riwayat keluarga.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan visus, slit-lamp, dan
tekanan intraokuler.5-7

Penegakan diagnosis ektasia kornea dilakukan dengan mempertimbangan


strategi diagnostik mendasar yang berbeda yang meliputi screening (Placido-disk
corneal topography, Scheimpflug tomography), konfirmasi diagnosis (pencitraan),
klasifikasi ektasia (berdasarkan topografi dan data biomekanik kornea), staging,
dan prognosis berdasarkan derajat keparahan dan kepatuhan terapi pasien.6,7-9

Deteksi dini dan terapi ektasia kornea berupaya untuk mempertahankan dan
memperbaiki fungsi penglihatan. Edukasi yang bisa dilakukan pada pasien adalah
tidak boleh menggosok mata yang telah dikaitkan dengan progresifitas ektasia.
4

Modalitas terapi terbaru seperti corneal cross-linking (CXL) dapat memperlambat


atau menghentikan perkembangan penyakit, terutama pada fase awal.7-9

Pilihan terapi medis atau operasi disesuaikan dengan masing-masing pasien,


bergantung pada derajat kerusakan fungsi penglihatan pasien dan analisis risiko
atau manfaat tiap pilihan terapi. Tatalaksana medis yang dapat diberikan adalah
pemberian kacamata dan kontak lensa untuk mengoreksi fungsi penglihatan pasien.
Tatalaksana operasi yang dapat dilakukan adalah intrastromal corneal ring
segments, corneal cross-linking, dan keratoplasty. Edukasi pasien yang bisa
diberikan adalah tidak boleh menggosok gosok mata karena berkaitan dengan
progresifitas ektasia. 7-9

Ektasia kornea merupakan konsekuensi dekomposisi biomekanik stroma. Hal


ini bisa terkait dengan dampak prosedur pada kornea atau biomekanik pra operasi
masing masing pasien. Kombinasi dari kedua hal ini merupakan faktor untuk
menentukan stabilitas atau progresifitas ektasia setelah prosedur laser vision
correction (LVC). Kestabilan jangka panjang setelah LVC ditentukan oleh
kekuatan biomekanik (stroma kornea) preoperatif, besarnya perubahan biomekanik
yang ditimbukan akibat operasi, dan beban stress pasca operasi pada kornea.7-10

Analisis biomekanik kornea pertama kali dihubungkan dengan bedah refraktif


untuk mendeteksi pasien dengan risiko tinggi terkena ektasia iatrogenik. Penilaian
biomekanik kornea juga dapat meningkatkan probabilitas dan keefektifan prosedur
LVC. Studi menunjukkan kemampuan teknologi ini untuk mendeteksi “forme
fruste” atau keratokonus subklinis pada mata dengan kelengkungan anterior normal
(topografi).7-10

Kunci pada screening bedah refraktif adalah untuk mengidentifikasi kasus


dengan ektasia ringan dan kasus dengan kecenderungan tinggi untuk mengalami
kegagalan setelah prosedur LVC. Tindakan seperti LASIK dapat menyebabkan
terjadinya ekstasi kornea sebagai komplikasi sejak dahulu pada tahun 1998.7-10
5

III. Topografi Kornea

Kemajuan dalam pencitran kornea dan segmen anterior mata memungkinkan


dokter dapat melakukan deteksi dini ektasia, terutama pada pasien bedah refraktif
yang akan menjalani prosedur LVC seperti LASIK. Tindakan seperti LASIK dapat
menyebabkan terjadinya ekstasi kornea sebagai komplikasi sejak dahulu pada tahun
1998. Penilaian berupa indeks bias yang digunakan untuk evaluasi pasien masih
menjadi kontroversi.5,9,10

Topografi kornea memiliki sensitivas untuk mendeteksi ektasia kornea


sebelum kehilangan visus yang paling baik dikoreksi dan temuan signifikan yang
diperoleh melalui pemeriksaan slit-lamp. Topografi kornea adalah pemeriksaan
yang esensial pada screening pasien bedah refraktif. Limitasi pemeriksaan topografi
kornea ditemukan saat terdapat literatur yang menyaatakan bahwa ektasia kornea
terjadi pada pasien pasca operasi LVC dengan bentuk permukaan anterior kornea
pra operasi yang normal. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan biomekanik
kornea yang lebih komplit untuk meningkatkan dalam melakukan screening
ektasia.7,8,10

Tomografi berupa rekonstruksi 3D dimensi kornea sehinga dapat menentukan


permukaan kornea posterior melalui pencitraan Scheimpflug (rotasional), optical
coherence tomography, dan pemetaan pachymetric, seperti Pentacam. Pentacam
memiliki beberapa indeks untuk screening pada pasien yang melakukan tindakan
bedah refraktif seperti LASIK dan PRK.9-11

Pentacam adalah salah satu teknologi tomografi kornea yang sering digunakan
dalam praktik klinis. Teknik ini menggambarkan 3 bidang tegak lurus yaitu lensa,
gambar, dan subjek dibandingkan dengan kamera tradisonal yang hanya dua bidang
saja. Pentacam umumnya digunakan untuk evaluasi katarak, skrining galukoma,
menentukan kekuatan IOL, dan pencitraan setelah prosedur LASIK atau PRK.
Deteksi ektasia dini memberikan pasien pilihan untuk memulai terapi collagen –
crosslinking yang dapat memperlambat atau menghentikan progresifitas
penyakit.5,9-11
6

Indeks bias Pentacam meliputi parameter tomografi, topometrik, dan


pachymetric. Beberapa indeks bias pada sistem Pentacam adalah IVA (index of
vertical asymmetry), IHA (index of height asymmetry), Belin-Ambrosio Enhanced
Ectasia Display Total Deviation Value (BAD_D), ART (Ambrosio relational
thickness), dan PPI (pachymetric progression indices), dan masih banyak lagi yang
terdapat pada Gambar 1. Setiap indeks bias tersebut memiliki nilai cut-off yang
berbeda beda. Indeks bias yang direkomendasikan untuk deteksi pre keratokonus
adalah BAD_D, ART, PPI, dan IVA.5,10,11

Tabel 1. Indeks keratokonus pada screening kasus klinis dan subklinis keratokonus
Sumber: MHDI Ophthalmology Journal, 2019 5

Berdasarkan algoritma, terdapat beberapa bentuk, pola, dan nilai yang perlu
diperhatikan saat mengevaluasi permukaan kornea dengan sistem Pentacam.
Indikator- indikator tersebut adalah maximum Ambrosio relational thickness (ART-
Max), Belin- Ambrosio enhances ectasia display total deviation value (BAD_D),
back elevation in thickness (B. Ele Th), best-fit sphere (BFS), best-fit toric ellipsoid
(BFTE), front elevation thickness (F. Ele Th), maximum keratometry value (Kmax),
maximum pachymetric progression index (PPI-Max), average pachymetric
7

progression index (PPI-Avg), skewing of the steepest radial axis (SRAX), dan
thinnest point (TP).5,7-9

WNL
Pola Skewed sand watch
Bentuk profil ketebalan
yang mencurigakan Pola
(Berdasarkan mode best-fit
• S-Shape Suspek
sphere dikedua permukaan)
• Quick Slope ( Sebelum 6mm Isolated island
dari zona sentral ) Tongue-like extension
• Inverted shape irreguler
• Flat shape

Elevation Map WNL


<12mcm pada anterior elevation map
Ambang batas tengah dalam <15mcm pada posterior elevation map
5mm
(BFTE Mode & Dia 9mm)
Belin-Amrosio Suspek
Enchanced Ectasia >12mcm pada anterior elevation map
(BAD) Display >15mcm pada posterior elevation map
WNL
Pola Konsentris

Pachymetry Map
Suspek
Dome (conic shape, protrusion) pattern
Bell-shaped (inferior thinning) pattern
Globus ( generalized thinning) pattern
S-1@5mm circle>30mcm
TP<470 MCM
Thickness @ pachymetry apex – thickness @
Pachymetry Map TP>10mcm
Y coordinate value on the TP > -500
Perbedaan ketebalan antara kedua mata @ TP>30mcm

WNL Suspek
• Symmetric Bowtie (SB) Pattern Pola topografi yang mencurigan
• Steep K <47 D Steep K>47D
• Kmax > Steep K kurang dari 1D • Kmax > Steep K lebih dari 1D
• Perbedaan Kmax pada keduamata • Perbedaan Kmax pada keduamata >2D
<2D • SRAX >22’
• SRAX <22’ • S-1 on the 55 circle >2.5D
• S-1 on the 55 circle <2.5D • 1-S on the 5mm circle >1.5D
• 1-S on the 5mm circle <1.5D • Against The Rule astigmatisma
• Against The Rule astigmatisma •

Gambar 1. Algoritma Pentacam untuk screening pasien bedah refraktif.


Sumber: MHDI Opthalmology Journal, 2019 5

Sebagian besar indeks pentacam mampu membedakan keratokonus dengan


mata normal. Indeks Pentacam terbaik untuk mendeteksi pre-keratokonus saat ini
adalah BAD_D dengan mempertimbangan indeks ART dan PPInya. Hal yang
terpenting adalah indeks Pentacam direkomendasikan untuk identifikasi dan
screening kasus pre keratokonus. Indeks Pentacam tersebut tidak bisa dijadikan
patokan seseorang pasti didiagnosis dengan ektasia, dokter harus
mempertimbangkan anamnesis dan pemeriksaan lain yang dilakukan. Apabila
8

terdapat beberapa indeks Pentacam yang mencapai nilai cut off dipertimbangkan
sebagai red flag.5,9-12

Dalam melakukan pembacaan sistem Pentacam, terdapat 4 peta refraktif yang


perlu dianalisis selain dari indeks bias seperti pada Gambar 2, yaitu Anterior
sagittal curvature map, anterior and posterior elevation maps, dan thickness map.
Keempat peta refraktif tersebut harus ada karena apabila tidak lengkap maka data
tidak akan valid. Curvature map berkaitan dengan bentuk pada gambar seperti bow-
tie dan menilai astigmatisma, dikatakan normal apabila terdapat symmetrical bow-
tie.5,11,12

Gambar 2. 4 Peta Refraktif Utama Pentacam. Sagittal front, elevation front,


elevation back, dan corneal thickness
Sumber: Step by step reading pentacam topography, 2010

Elevation maps menilai permukaan topografi kornea apakah terdapat elevasi


maupun depresi dengan menggunakan reference body. Apabila angkanya dibawah
atau diatas dari reference body, maka terdapat elevasi atau depresi pada permukaan
9

kornea. Elevation maps lebih akurat dibandingkan dengan curvature maps.


Sementara itu corneal thickness diukur dengan menilai perbedaan antara elevasi
permukaan bagian depan dan belakang kornea.

Penggunaan data elevasi, pachymetry, dan kelengkungan sagital sebagai


pendekatan dalam menilai pasien sebelum melakukan tindakan bedah refraktif.
Selain nilai indeks yang telah disebutkan pada tabel untuk membantu screening
pada pasien, hal yang perlu dipertimbangkan adalah interpretasi indeks yang
tampaknya normal saat membandingkan kedua mata. Meskipun indeksnya normal,
namun “eyes disparity” yang besar perlu diperhatikan. Analasis pasien dilakukan
secara menyeluruh berdasarkan riwayat medis dan riwayat keluarga terutama pada
keluarga yang pernah menjalani bedah refraktif sebelumnya.5,9,10

IV. Kesimpulan

Prosedur bedah refraktif memiliki risiko untuk berkembang menjadi ektasia


kornea, terutama keratokonus. Ektasia kornea ditandai dengan penipisan progresif
diikuti dengan penonjolan dari struktur kornea yang mempengaruhi fungsi
penglihatan. Deteksi dini risiko ektasia kornea atau keratokonus subklinis pada
pasien bedah refraktif dapat menghambat bahkan menghentingkan perkembangan
terjadinya ektasia kornea. Topografi kornea dan teknologi Scheimpflug yang
dimiliki Pentacam sebagai teknologi canggih yang dapat melakukan screening pada
pasien bedah refraktif. Sistem Pentacam memiliki indeks refraktif yang dapat
digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi ektasia kornea.
Daftar Pustaka

1. Garrat S. Corneal Ectasia Preferred Practice Pattern. American Academy


of Ophthlamology. San Francisco. 2018.
2. Salomão MQ, Hofling-Lima AL, Gomes Esporcatte LP, Lopes B,
Vinciguerra R, Vinciguerra P, Bühren J, Sena Jr N, Luz Hilgert GS,
Ambrosio Jr R. The role of corneal biomechanics for the evaluation of
ectasia patients. International Journal of Environmental Research and
Public Health. 2020 Mar;17(6):2113.
3. Jin SX, Dackowski E, Chuck RS. Risk factors for postlaser refractive
surgery corneal ectasia. Current opinion in ophthalmology. 2020 Jul
1;31(4):288-92.
4. Moshirfar M, Tukan AN, Bundogji N, Liu HY, McCabe SE, Ronquillo YC,
Hoopes PC. Ectasia after corneal refractive surgery: a systematic review.
Ophthalmology and Therapy. 2021 Dec;10(4):753-76.
5. Motlagh MN, Moshirfar M, Murri MS, Skanchy DF, Momeni-Moghaddam
H, Ronquillo YC, Hoopes PC. Pentacam® corneal tomography for
screening of refractive surgery candidates: a review of the literature, part I.
Medical Hypothesis, Discovery and Innovation in Ophthalmology.
2019;8(3):177.
6. Ang M, Gatinel D, Reinstein DZ, Mertens E, Alió del Barrio JL, Alió JL.
Refractive surgery beyond 2020. Eye. 2021 Feb;35(2):362-82.
7. Esporcatte LP, Salomão MQ, Junior NS, Machado AP, Ferreira É, Loureiro
T, Junior RA. Corneal biomechanics for corneal ectasia: Update. Saudi
Journal of Ophthalmology. 2022 Jan;36(1):17.
8. Esporcatte LP, Salomão MQ, Neto AB, Machado AP, Lopes BT, Ambrósio
Jr R. Enhanced Diagnostics for Corneal Ectatic Diseases: The Whats, the
Whys, and the Hows. Diagnostics. 2022 Dec 2;12(12):3027.
9. Ghiasian L, Abdolalizadeh P, Hadavandkhani A, Eshaghi A, Hadi Y,
Nadjafi-Semnani F. Comparing pentacam HR screening indices in different
normal corneal thicknesses among refractive surgery candidates. Journal of
Current Ophthalmology. 2022 Apr 1;34(2):200.

10
11

10. Sridhar U, Tripathy K. Corneal Topography. InStatPearls [Internet] 2022


Sep 12. StatPearls Publishing.
11. Sedaghat MR, Momeni-Moghaddam H, Heravian J, Ansari A, Shayanfar
H, Moshirfar M. Detection ability of corneal biomechanical parameters for
early diagnosis of ectasia. Eye. 2022 Aug 29:1-8

12. Sinjab M. Reading Pentacam Topography (Basics and Case Study Series).
Nova Deli: Jaype-Highlights. 2010.

Anda mungkin juga menyukai