Makalah Tawakal Dan Mahabbah Kelompok6 D
Makalah Tawakal Dan Mahabbah Kelompok6 D
2. Gading Perdana
nayatarigan16@gmail.com
A. TAWAKAL
Tawakal bersal dari bahasa Arab yaitu wakila, yakilu, wakilan yang artinya
“mempercayakan, memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung.” Tawakal dalam
bahasa Arab juga disebut wakil yag artinya dzat atau orang yang dijadikan pengganti untuk
mengurusi atau menyelesaikan urusan yang mewakilkan. Sehingga tawakal bermakna
menjadikan seseorang sebagai wakilnya, atau menyerahkan urusan kepada wakilnya. 1
Tawakal atau mempercayakan segala urusan seseorang pada Allah tergantung dari
pengetahuan orang tersebut dan keyakinan yang kuat pada Ketuhanan dan Kekuasaan.
Mempercayakan urusan dunia dan akhirat kepada Allah bukan berarti bahwa usaha dan kerja
keras harus diabaikan. Justru seseorang harus melakukan perbuatan yang terbaik dari
kemampuannya lalu kemudian bergantung sepenuhnya pada Allah dengan keadilan,
pertolongan dan kemurahan-Nya.2
Tawakal kepada Allah adalah menjadikan Allah sebagai wakil dalam mengurusi
segala urusan, dan mengandalkan Allah dalam menyelesaikan segala urusan. Tawakal
haruslah ditujukan kepada Dzat yang Mahasempurna, Allah SWT, tapi dalam realitanya ada
yang meletakkan tawakal kepada selain Allah, seperti tawakal seseorang kepada
kekuatannya, ilmunya atau hartanya, atau kepada manusia.3
1
Ja’far.2016. Gerbang Tasawuf .Medan : Perdana Publishing
2
Al-Kulayni, al-Kafi, vol 2, hal. 391
3
Seri Manajemen Akhlak 1 Hal 16
Menurut ‘Arif mahsyur Khawaja Abdullah Ansari tawakal itu adalah mempercayakan
segala macam urusan kepada Tuannya dan bersandar pada pertolongan-Nya. Menurut ahli
irfan lainnya mengatakan Tawakal kepada Allah adalah pemutusan penghambaan atas
semua harapan dan ekspektasi dari makhluk-makhluk ( dan mengikatkan semua itu
hanya pada Allah ).
Abu “Ali al-Daqaq berkata tawakal terdiri dari tiga tingakatan yaitu tawakal, taslim,
dan tafwidh. Orang yang tawakal adalah orang yang merasa tenang dengan janji Allah Swt.
Orang yang taslim adalah orang yang merasa cukup dengan ilmu-Nya. Orang yang tafwidh
adalah orang yang rela dengan hukum-Nya. Jadi, tawakal adalah permulaan, taslim adalah
pertengahan, dan tafwidh adalah akhir.4
Hakikat tawakal adalah penyerahan penyelesaian dan keberhasilan suatu urusan
kepada wakil. Kalau tawakal kepada Allah, berarti menyerahkan urusan kepada Allah setelah
melengkapi syarat-syaratnya. Tawakal adalah menyandarkan diri kepada Allah dan
melakukan ikhtiar, dengan meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Memberi rezeki,
Pencipta, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, tidak ada ilah selain-Nya. Tawakal
mencakup permohonan total kepada Allah, supaya memberikan pertolongan dalam
melakukan apa yang Dia perintahkan, juga dalam hal bertawakal untuk mendapatkan sesuatu
yang tidak mampu didapatkannya.
Ibnu al-Qayyim menyebutkan bahwa tawakal memiliki beberapa komponen. Jika
tidak terpenuhi, maka tidak akan pernah mencapai hakikat tawakal, yaitu:
1. Mengenal Nama Allah dan sifat-Nya.
2. Menetapkan (meyakini sebab dan musabab).
3. Kedalaman tauhid dalam tauhid tawakal dengan melepaskan ketergantungan dengan
sebab.
4. Penyandaran hati kepada Allah dan ketenangan kepada-Nya.
5. Pasrah hati kepada Allah, seperti pasrahnya mayat kepada yang memandikannya.
6. Penyerahan kepada Allah terhadap apa yang Allah takdirkan.
7. Ridha dengan segala hasil. Sebagaimana yang tergambar dalam doa istikharah untuk
dipilihkan apa yang baik untuk Allah.5
4
Ja’far.2016. Gerbang Tasawuf.Medan : Perdana Publishing
5
Seri Manajemen Akhlak 1 Hal 17,20,21
Tawakal adalah fitrah manusia. Tawakal kepada Allah adalah wajib. Tawakal adalah
menyerahkan urusan kepada wakil. Jika urusan itu merupakan hal yang bisa dilakukan oleh
mahkluk, hukumnya jaiz. Dalam terminologinya disebut sebagai taukil atau perwakilan. Jika
masalah itu tidak ada yang mampu melakukannya kecuali Allah, seperti menentukan
keberhasilan suatu pekerjaan, keselamatan, kebahagiaan, atau kemenangan maka haram
bertawakal kepada makhluk, dan wajib hanya bertawakal kepada Allah.6
6
Seri Manajemen Akhlak 1 Hal 22, 26
7
Seri Manajemen Akhlak 1 Hal 33-44
5. Tawakal menyebabkan tercukupinya apa yang diinginkan, karena Allah sendiri yang
menjadi penjaminnya.
6. Allah melindungi orang yang bertawakal kepada-Nya dari apa yang ditakuti,
sebagaimana mencukupi apa yang dinginkan.8
B. MAHABBAH
Mahabbah atau cinta adalah sumber dan ruh yang mendasari ajaran tasawuf.
Mahabbah secara harfiah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang
memiliki arti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, cinta yang mendalam.
Dalam pandangan Al-Junaid, cinta didefinisikan sebagai “kecenderungan hati pada
Allah Ta’ala, kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap ridha Allah tanpa
merasa diri terbebani, atau menta’ati Allah dalam segala hal yang diperintahkan atau
dilarang, dan rela menerima apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah”.9
Menurut Al-Qusyairi mahabbah (cinta) ialah suatu hal yang mulia. Allah Yang
Maha Suci menyaksikan cinta hamba-Nya dan Allah pun memberitahukan cinta-Nya
kepada hamba itu. Allah menerangkan bahwa mencintainya. Demikian juga hamba itu
menerangkan cintanya kepada Allah Yang Maha Suci.10
Sumber rasa cinta itu tidak tercabut dari seseorang yang beriman, karena
sesungguhnya dia tidak akan tercabut dari sumber ma’rifat. Adapun cara memperoleh
rasa cinta kepada Allah itu dengan dua sebab, yaitu :
1. Memutuskan interaksi duniawi dan menguatkan rasa cinta kepada selain Allah SWT.
8
Seri Manajemen Akhlak 1 Hal 54-59
9
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, (Jakarta : Khalifa, 2005), hlm.
141.
10
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah,(Jakarta : Pustaka Amani,
1998), hlm. 475
11
Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 4, Terj. Moh. Zuhri (Semarang: CV. Asy Syifa’, 2003), hlm. 294.
2. Kuatnya rasa cinta adalah kuatnya pengenalan Allah SWT. Keluasannya dan
dominasinya kepada hati. Hal itu dapat terjadi setelah mensucikan hati dari segala
kesibukan duniawi dan berbagai interaksinya.12
2. Ikhsan (perbuatan baik), karena menusia itu adalah hamba bagi yang berbuat baik
padanya. Jiwa manusia secara naluriah pasti mencintai seseorang yang berbuat baik
(ikhsan) padanya. Bahwa hanya Allah-lah yang telah berbuat baik
padanya. Ikhsan manusia terhadap sesamanya hanyalah bersifat kiasan, karena yang
bersifat muhsin (yang berbuat ihsan) sesungguhnya hanyalah Allah.
4. mencintai setiap yang indah karena keindahannya, bukan karena kesenangan yang
diperoleh dari keindahannya itu. Cinta semacam ini menuntut cinta pada Allah,
karena dia adalah Dzat yang Maha Indah secara mutlak, yang Maha Tunggal, yang
tidak ada dzat lain yang menandingi-Nya, dan Dzat yang menjadi tempat
bergantung.13
12
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Cet. Ke-5 (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm. 242-245.
13
Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, hlm. 148-149.
Menurut al-Sarajj, cinta terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
1. Cinta biasa
yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan
memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
14
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hlm. 55.
15
Sayydid Ahmad, Tasawwuf antara al-ghazali dan Ibnu Taimiyah, hlm. 320.
Ibnu Taimiyah membedakan cinta manusia –yang punya kehendak –dengan cinta
hewan –yang tidak punya kehendak-. Cinta manusia –misalnya cinta laki-laki pada
perempuan- lahir karena adanya daya tarik diantara keduanya, serta karena adanya saling
keterpengaruhan di antara keduanya. Sementara rasa cinta sesama hewan lahir karena adanya
perbuatan baik dari yang dicinta.
Seseorang pada dasarnya tidak mencintai sesuatu kecuali jika sesuatu itu memberinya
manfaat dan ingin terhindar dari musibah. Ia mencintai seseorang atau sesuatu, karena yang
dicintainya itu menjadi sarana baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Cinta
seperti ini bukan cinta karena Allah, bukan pula cinta pada dzat sesuatu yang dicintainya.
Oleh karena itu, kita harus membedakan cinta yang disertai dengan tauhid dengan cinta yang
mengandung syirik.16
16
Sayydid Ahmad, Tasawwuf antara al-ghazali dan Ibnu Taimiyah, hlm. 324.
DAFTAR PUSTAKA