Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MAKALAH

SEJARAH GERAKAN KONSUMEN DI INDONESIA

OLEH:

 Sahir
 Agung Hermawan
 Sahruddin
 Glendy Judistira T
 Kurniawan Prasatya
 Akram Hidayatullah
 Dwirandi Heru P
 Nur Muhaimin Alim
 Keken Arfemisantya
 Nirmala
 Reni Dwi Angraini
 Harianti Hasyim

UNIVERSITAS BOSOWA FAKULTAS HUKUM


TAHUN AJARAN
2021
1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 4

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN


A. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen dan Pelaku Usaha ..................5
B. Sejarah Perlindungan Konsumen di Indonesia ................................................ 13

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................... 16

B. Saran............................................................................................................... 18

Daftar Pustaka

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya globalisasi dan perkembangan-perkembangan perekonomian yang

terjadi secara pesat di dalam era perekonomian modern ini telah menghasilkan

berbagai jenis dan variasi dari barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi

masyarakat. Globalisasi merupakan istilah yang memiliki hubungan dengan

peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di

seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan

bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi

semakin sempit. Adanya pandangan globalisasi sebagai suatu proses sosial, atau

proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa

dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan

kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas

geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.1

Pergerakan globalisasi dapat dilihat pada pasar dan produksi ekonomi di

negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari

pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan

multinasional, organisasi perdagangan dunia yaitu World Trade Organization

(WTO) yang dibentuk berdasarkan kesepakatan beberapa negara, juga

1
peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama

televisi, film, musik, transmisi berita dan olah raga internasional). Saat ini,

masyarakat dapat mengkonsumsi dan mengalami gagasan baru mengenai hal-hal

yang melintasi beraneka ragam budaya, dengan contoh dalam bidang fashion,

literatur, dan makanan.

Beberapa penyebab terjadinya globalisasi adalah pergerakan budaya dan

ekonomi. Artinya, budaya akan lebih mudah diterima ketika terjadi interaksi

antara dua negara atau lebih, yang tanpa disadari kemudian saling bertukar budaya

dan pada gilirannya batas-batas perbedaan budaya dalam bentuk negara akan

semakin terkikis. Terkikisnya budaya lokal dan daerah disebabkan oleh kekuatan

budaya besar atau kekuatan budaya global. Bidang ekonomi juga menjadi faktor

yang signifikan dalam menciptakan globalisasi karena kebutuhan tiap negara

untuk kemakmuran rakyat ditempuh melalui kerjasama ekonomi dalam segala

bidang. Hal ini juga menjadi penyebab semakin terkikisnya jarak dan waktu

antara negara untuk berkomunikasi.

Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang

semakin meningkat telah memberikan kemudahan kepada konsumen karena ada

beragam variasi produk barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. Era perdagangan

bebas saat ini menghendaki bahwa semua barang dan/atau jasa yang berasal dari

negara lain harus bisa masuk ke Indonesia, dimana pihak-pihak tertentu dapat

memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang

dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta hal ini akan semakin terbuka

2
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa yang

sesuai dengan keinginan dan kemampuan dari konsumen. Terbukanya pasar

internasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi maka harus tetap

menjamin peningkatan kesejahteraan dan keselamatan masyarakat serta kepastian

akan mutu jumlah dan keamanan terhadap barang dan/atau jasa yang diperoleh

masyarakat di pasar, terutama makanan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengikuti arus globalisasi

yang telah mendorong munculnya perdagangan bebas. Berbagai bentuk perjanjian

yang melibatkan banyak negara, termasuk Indonesia, mengenai perdagangan

bebas, salah satunya adalah AFTA (ASEAN Free Trade Area), yaitu kerja sama

antar negara dalam daftar anggota ASEAN dalam bidang ekonomi yang mulai

berlaku pada tahun 2003, yang bertujuan agar arus lalu-lintas barang, jasa, dan

manusia dari dan ke suatu negara tidak mengalami hambatan. Hal tersebut

membuka peluang kemudahan bagi Indonesia dalam hal masuknya barang dan

jasa dari pasaran luar negeri.2 Dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Indonesia

dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang tidak sepenuhnya produk dalam

negeri, contohnya makanan yang dikonsumsi, dengan banyaknya berbagai macam

produk makanan impor yang dipasarkan kepada konsumen di Indonesia, baik

melalui promosi, iklan, maupun penawaran produk secara langsung.

Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar bagaimana

memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut pada

3
kesadaran semua pihak, baik pelaku usaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri

tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus

menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman

untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang

sesuai. Konsumen merupakan golongan yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha.

Pemerintah menyadari diperlukan seperangkat aturan hukum untuk melindungi konsumen

yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan/atau jasa dari pelaku usaha ke konsumen.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang di atas, dapat

dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam Makalah ini

ialah:

1. Apa yang dimaksud Perlindungan Konsumen, Konsumen dan Pelaku Usaha?


2. Bagaimanakah sejarah Perlindungan Konsumen di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulis dalam membahas masalah perlindungan hukum

konsumen adalah :

1. Untuk mengetahui Perlindungan Konsumen, Konsumen dan Pelaku Usaha


2. Untuk menegtahui sejarah Perlindungan Konsumen di Indonesia

4
BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan

Perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Menurut Pasal 1 angka 4

UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,

yang dimaksud perlindungan adalah :

“ segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang
dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, atau pelaksana lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pengadilan.”
Perlindungan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah

No.2 Tahun 2002 Tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah:

“suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau
aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada
korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
atau pemeriksaan di sidang pengadilan.”
Sedangkan pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang

diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat

preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu

5
gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu

keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.17

Menurut Az. Nasution, perlindungan hukum adalah keseluruhan asas- asas

dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan

penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya,

dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu Az. Nasution dalam bukunya yang

lain menyatakan bahwa pengertian hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan

asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara

berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di

dalam pergaulan hidup. Jadi dibedakan pengertian antara hukum perlindungan

konsumen dan hukum konsumen.

Perlindungan hukum yang penulis maksud dalam skripsi ini tentunya adalah

perlindungan hukum berupa upaya – upaya yang ditetapkan dalam peraturan

perundang - undangan dalam setiap proses transaksi untuk memenuhi kebutuhan

konsumen tersebut, dengan kata lain adalah perlindungan hukum konsumen.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999, pengertian dari

perlindungan konsumen adalah :

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi


perlindungan kepada konsumen.”

Dengan demikian dalam perlindungan hukum konsumen, terdapat upaya –

upaya yang ditetapkan oleh perundang – undangan sebagai

6
perlindungan kepada konsumen. Selain apa yang diatur dalam UU No. 8 Tahun

1999 dan KUH Perdata, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain juga

yang bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum yaitu18 :

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21

Juni 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 58 tahun 2001 Tanggal

21 juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan

Perlindungan Konsumen.

3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 59 tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

4. Keputusan Presiden RI Nomor 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang

pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota

Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota jakarta Barat, Kota Bandung,

Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota

Makassar.

5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdaganagan RI Nomor

301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan

Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor

302/MPP/KEP/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat.

7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor

605/MPP/Kep/8/2002 Tentang Pengangkatan Anggota Badan

7
Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Makassar, Kota

Palembang, Kota surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta

dan Kota Medan.

8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor

480/MPP/Kep/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 tentang

Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

9. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor

418/MPP/Kep/4/2002 Tanggal 30 April 2002 tentang Pembentukan Tim

Penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan Konsumen.

10. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor

302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat.

2. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumers dari (Inggris – Amerika), atau

consument (Belanda). Pengertian dari consumers atau consument itu tertgantung

dalam posisi dimana dia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah

(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan

penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok

mana pengguna tersebut. Begitu pula dalam Kamus Bahasa Inggris – Indonesia

memberi arti kata consumer sebagai konsumen atau pemakai.19

Dalam naskah akademik dan/atau naskah pembahasan rancangan peraturan

perundang – undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai

peristilahan yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen, yaitu 20:

8
a. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN),

menyusun batasan tentang konsumen akhir yaitu pemakai terakhir dari barang,

digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk

diperjualbelikan.

b. Batasan konsumen dari YLKI yaitu pemakai barang atau jasa yang tersedia

bagi masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan

tidak untuk diperdagangkan kembali.

c. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan oleh Fakultas Hukum

Universitas Indonesia bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI yaitu

setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak

untuk diperdagangkan.

Sementara A.Z. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen,

yaitu21:

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan

untuk tujuan tertentu

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa

untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk

diperdagangkan (tujuan komersial).

c. Konsumen akhir, adalah setiap orang yang mendapat dan menggunakan

barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi,

keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali

(nonkomersial).

Dalam Pasal 1 angka (15) UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usahan Tidak Sehat, pengertian dari konsumen

adalah :

9
“setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan
diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.

Dari berbagai pengertian konsumen diatas , menunjukkan bahwa sangat

beragam pengertian tentang konsumen, untuk itu kita perlu melihat yang

dirumuskan dalam UU No. 8 Tahun 1999, dimana dalam Pasal 1 angka 2 yaitu :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang


tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Sedangkan dalam KUH Perdata, tidak dikenal istilah consumen atau

consument . Dalam KUH Perdata kita menemukan istilah pembeli (koper, pasal

1457 – 1540), penyewa (hurder, Pasal 1548 – 1600 KUH Perdata), penitip

barang (bewarrgever, Pasal 1694 – 1739 KUH Perdata), peminjam

(verbruiklener, Pasal 1754 – 1769 KUH Perdata). Dan dalam KUH Dagang

ditemukan istilah tertanggung (verzekerde, Pasal 246 – 308 dalam Buku I KUH

Dagang), penumpang (opvarende, pasal 341 – 394Buku II KUH Dagang).22

Jadi dalam penulisan skripsi ini, yang penulis maksud sebagai konsumen

adalah pembeli (koper) sebagaimana yang diatur dalam pasal 1457 – 1540 KUH

Perdata. Dengan demikian bahwa konsumen yang dirugikan yang penulis

maksud dalam penulisan skripsi ini adalah konsumen yang mengalami kerugian

akibat dari adanya cacat tersembunyi suatu barang dari hasil jual beli.

Perjanjian jual beli adalah perjanjian yang mengikat antara pihak penjual

(selanjutnya disebut pelaku usaha) berjanji menyerahkan suatu barang/benda dan

pihak lain yang bertindak sebagai pembeli (selanjutnya disebut konsumen)

mengikat diri berjanji untuk membayar harga (ketentuan Pasal 1457 KUH

Perdata). Dari pengertian yang diberikan oleh Pasal 1457 KUH Perdata ini,

persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban, yaitu sebagai

berikut23 :
a. Kewajiban pihak pelaku usaha untuk menyerahkan barang yang akan dijual

kepada konsumen

b. Kewajiban pihak konsumen untuk membayar harga barang yang akan dibeli

kepada pelaku usaha

3. Pengertian Pelaku Usaha

Dalam pengertian yuridis, istilah produsen disebut dengan pelaku usaha.24

Istilah produsen berasal dari Bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa

Inggris, producer yang artinya adalah penghasil. Dalam UU Nomor 8 Tahun

1999, Pasal 1 butir 3 mengartikan pelaku usaha sebagai berikut:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi.”

Sedangkan dalam Pasal 1 butir 5 UU Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, memberikan defenisi pelaku usaha sebagai

berikut :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbadan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama – sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut akan memudahkan

konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat

penggunaan barang tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa

tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih

baik seandainya UU No. 8 Tahun 999 memberikan rincian sebagaimana

Directive (pedoman bagi Masyarakat Uni Eropa), sehingga konsumen dapat

lebih mudah untuk menentukan


kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan

produk.25

Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk atau jenis usaha

sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1999, sebaiknya

ditentukan urutan – urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala

dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan – urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai

berikut26:

a. Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat barang tersebut

jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen

yang dirugikan

b. Apabila barang yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri,

maka yang digugat adalah importirnya, karena UU No. 8 Tahun 1999 tidak

mencakup pelaku usaha di luar negeri

c. Apabila produsen maupun importir dari suatu barang tidak diketahui, maka

yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

Urutan – urutan pihak diatas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu

barang mengalami cacat pada saat produksi. Urutan tersebut juga

mempertimbangkan tentang kompetensi pengadilan maupun Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (selanjutnya dalam penulisan ini disingkat BPSK), karena

siapapun yang digugat oleh konsumen, Pengadilan atau BPSK yang kompeten

adalah yang mewilayahi tempat tinggal konsumen, sehingga tidak memberatkan

konsumen.27

Seperti yang dijelaskan di atas, dalam penulisan skripsi ini, yang

dimaksud dengan pelaku usaha yaitu penjual dalam proses jual beli. Terhadap

kewajiban penjual , pengaturannya dimulai dari Pasal 1472 KUH Perdata. Pelaku
usaha wajib menegaskan dengan jelas untuk apa ia mengikatkan diri dalam

persetujuan jual beli. Lebih lanjut Pasal tersebut memberikan suatu

“interpretasi”: segala sesuatu yang kurang jelas dalam persetujuan jual beli atau

mengandung pengertian kembar harus diartikan sebagai maksud yang

“merugikan” bagi pihak penjual.28

Pada dasarnya, kewajiban penjual menurut Pasal 1473 dan Pasal 1474

KUH Perdata yaitu29 :

a. Kewajiban pelaku usaha untuk menyerahkan barang yang dijual kepada

konsumen

b. Kewajiban pelaku usaha untuk memberi pertanggungan atau jaminan

(vrijwaring) ; bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun

baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan.

B. Sejarah Singkat Perlindungan Konsumen Di Indonesia

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade

1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(selanjutnya disingkat YLKI) pada bulan Mei 1973. Ketika itu, gagasan perlindungan

konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan

advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan

publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia

saat itu masih dibayang – bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam

negeri. Namun seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen

seperti yang dilakukan YLKI dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu

bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atas konsumen.11

Setelah YLKI, muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga

Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak


Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota Consumers

International (CI), Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) dan

perwakilan YLK di berbagai provinsi di Tanah Air. 12

YLKI merupakan salah satu lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat yang bisa dikatakan sebagai pelopor gerakan perlindungan konsumen

pertama di Tanah Air. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk membantu

konsumen agar hak – hak nya bisa terlindungi. Di samping itu, tujuan YLKI adalah

untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya

sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.13

Gerakan konsumen Indonesia terus mengalami perkembangan, termasuk

yang diprakarsai oleh YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UU

No. 8 Tahun 1999 berhasil dibawa ke DPR.14 Gerakan dan perjuangan untuk

mewujudkan sebuah undang – undang tentang perlindungan kosumen dilakukan

selama bertahun – tahun. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya UU No. 8

Tahun 1999 bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, tepatnya

pada tanggal 20 April 1999, RUUPK secara resmi disahkan sebagai UU No. 8 Tahun

1999 . Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor

suatu sistem hukum perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem

hukum nasional.15

Dan tanpa mengurangi penghargaan terhadap upaya yang terus – menerus

dilakukan oleh YLKI, salah satu andil yang juga mendorong kehadiran UU No. 8

Tahun 1999 adalah juga karena cukup kuatnya tekanan dari dunia Internasional.

Setelah pemerintah RI mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreemeent

Estabilizing the world Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia), maka ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti


standar – standar hukum yang berlaku dan diterima luas oleh negara – negara

anggota WTO. Salah satu di antaranya adalah perlunya eksistensi UU No. 8 Tahun

1999.16
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sehubungan dengan pembahasan dalam bab – bab sebelumnya, maka

dapatlah ditarik kesimpulan yaitu :

1. Perlindungan hukum terhadap konsumen diatur dalam UU No. 8 Tahun

1999 dan juga dalam KUH Perdata. Mengenai cacat tersembunyi, UU

No. Tahun 1999 telah menyebutkan dalam Pasal 11 huruf b yaitu

melarang pelaku usaha menjual barang – barangnya yang dilakukan

dengan cara obral atau lelang yang menyatakan bahwa barang atau jasa

seolah – olah tidak mengandung cacat tersembunyi. Dan UU No. 8

Tahun 1999 juga telah mengatur tanggung jawab pelaku usaha secara

tegas yang dinyatakan dalam Pasal 19, dimana jika dicermati bahwa

pelaku usaha bertanggung jawab atas kerugian konsumen termasuk

karena penggunaan barang yang mengandung cacat tersembunyia. Dan

menurut KUH Perdata dalam hal terdapat cacat tersembunyi pada

barang, baik yang diketahui oleh si penjual sendiri, maupun yang tidak

diketahui oleh si penjual, berdasarkan Pasal 1507 KUH Perdata, pembeli

dapat memilih akan mengembalikan barangnya sambil menuntut

kembali uang harga pembelian atau akan tetap memiliki barang itu

sambil menuntut kembali sebagian dari uang harga pembelian,

sebagaimana ditentukan oleh Hakim setelah mendengar ahli tentang itu.

Jika penjual telah mengetahui cacat-cacat barang itu, maka selain wajib

mengembalikan uang harga pembelian yang telah diterimanya, ia juga


wajib mengganti segala biaya, kerugian dan bunga (Pasal 1508 KUH

Perdata). Sedangkan, jika penjual tidak mengetahui adanya cacat-cacat

barang, maka ia hanya wajib mengembalikan uang harga barang

pembelian dan mengganti biaya untuk menyelenggarakan pembelian dan

penyerahan, sekedar itu dibayar oleh pembeli (Pasal 1509 KUH

Perdata).

2. Peranan Pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen dalam

mengawasi peredaran produk yang mempunyai cacat tersembunyi yaitu

melakukan pembinaan dan pengawasan dalam berbagai hal seperti

sosialisasi terhadap masyarakat mengenai standar barang serta hak dan

kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan terhadap pelaku

usaha adalah untuk mendorong pelaku usaha bertindak sesuai dengan

aturan yang berlaku baik sesuai peraturan perundang – undangan

sehingga tercipta iklim usaha yang sehat dan tumbuhnya hubungan yang

sehat antara konsumen dan pelaku usaha. Juga terhadap konsumen

supaya meningkat sumber daya konsumen dan mempunyai kesadaran

yang kuat atas hak – hak nya. Pengawasan terhadap pelaku usaha adalah

untuk memastikan terselenggaranya hak dan kewajiban para pihak.

Pengawasan yang diselenggarakan pemerintah dilaksanakan oleh

menteri – menteri terkait seperti Menteri Perindustrian dan Perdagangan,

Menteri Kesehatan. Selain oleh Pemerintah, Lembaga Konsumen juga

melakukan upaya untuk melindungi konsumen yaitu bekerja sama

dengan masyarakat dan pemerintah dalam hal aspek pengawasan

meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang jika


diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang

disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan

kebiasaan dalam praktik dunia usaha dan juga melakukan penelitian,

pengujian dan/atau survei yang dilakukan terhadap barang dan/atau jasa

yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan

dan keselamatan konsumen. Hasil penelitian tersebut disampaikan

kepada menteri – menteri terkait.

3. Upaya penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh konsumen untuk

menuntut hak atas kerugian yang dideritanya yaitu sesuai yang diatur

dalam UU No. 8 Tahun 1999. UU No. 8 Tahun 1999 memberi dua

macam ruang untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu

penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan penyelesaian

konsumen di luar pengadilan. Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa

setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan

umum.

B. Saran

1. Pemerintah sebaiknya membuat peraturan yang lebih tegas terkait cacat

tersembunyi. Karena UU No. 8 Tahun 1999 tidak ada menyebutkan

tentang defenisi cacat tersembunyi. Sementera, melihat kenyataan yang

terjadi di masyarakat, sangat sering terjadi keluhan dari konsumen yang

mengalami kerugian akibat penggunaan produk yang mempunyai cacat

tersembunyi. Jadi, sebaiknya UU No. 8 Tahun 1999 di revisi lagi.


2. Pemerintah dan Lembaga Konsumen sebaiknya meningkatkan pembinaan

dan pengawasan terhadap barang yang beredar di masyarakat luas, agar

barang yang cacat tidak beredar dalam masyarakat luas. Dan penting juga

melakukan sosialisasi tentang hak dan kewajiban konsumen, agar

konsumen mengetahui hak dan kewajibannya.

3. Dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen, konsumen sebaiknya

harus dipahamkan akan haknya, dan bagaimana sistem yang dapat

ditempuh, sehingga konsumen tidak menjadi pihak yang lemah karena

tidak tahu mempertahankan haknya.


DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, 1983. KUH Perdata-Buku III, Hukum Perikatan

dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.

Bakatullah, Abdul Halim, 2005. Hukum Perlindungan Konsumen, Nusa Media,

Bandung.

Djojodirdjo, M.A. Moegini, 1982. Perbuatan Melawan Hukum , Pardnya

Paramita, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 2009, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar

Grafika, Jakarta.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, Raja

Grafindo. Jakarta.

Nasution, AZ., 2002. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan

II, Diadit Media, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 1990. Perbuatan Melawan Hukum, Sumur Bandung,

Bandung.

Siahaan, N.H.T., 2005. Hukum Konsumen, Panta Rei, Jakarta.

Sidabalok, Janus, 2010. Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya

Bakti, Bandung.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamuji, 1995. Penelitian Hukum Normatif

SuatuTinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta.

Subekti, Raden dan R. Tjitrosudibio, 2001. Kitab Undang – Undang

HukumPerdata, Pardnya Paramita, Jakarta.

Subekti, 1987. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

, 1987. Hukum Pembuktian, Pardnya Paramita, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2012. Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2006. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan

Konsumen, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai