Anda di halaman 1dari 20

2.

7 Diagnosis
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada preeklampsia, dan
jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi kondisi pemberatan preeklampsia
atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi
pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini:
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik pada
dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
b. Trombositopenia: trombosit < 100.000 / mikroliter
c. Gangguan ginjal: kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
d. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan ataua danya
nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
e. Edema Paru
f. Didapatkan gejala neurologis: stroke, nyeri kepala, gangguan visus
g. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta:
h. Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan absent or reversed
end diastolic velocity (ARDV)
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara kuantitas protein
urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin masif (lebih dari 5 g) telah
dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak
lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan
kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara
signifikan dalam waktu singkat (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan
Kedokteran Feto Maternal, 2016).

1
Gambar 2.6.1 Kriteria Diagnosis Pre-Eklampsia

Berikut kriteria diagnostik untuk Preeclampsia:


 Tekanan darah

2
 Tekanan darah sistolik 140 mm Hg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90 mm Hg atau
lebih pada dua kali pemeriksaan setidaknya 4 jam terpisah setelah 20 minggu usia
kehamilan pada wanita dengan riwayat tekanan darah normal.
 Tekanan darah sistolik 160 mm Hg atau lebih atau tekanan darah diastolik 110 mm Hg atau
lebih. (Hipertensi berat dapat dikonfirmasi dalam interval pendek (menit) untuk
memfasilitasi tepat waktu pemberian terapi antihipertensi).
DAN
 Proteinuria
 300 mg atau lebih per 24 jam pengumpulan urin (atau jumlah ini diekstrapolasi dari koleksi
berjangka waktu) atau
 Rasio protein/kreatinin 0,3 mg/dL atau lebih atau
 Pembacaan dipstick 2+ (digunakan hanya jika metode kuantitatif lainnya tidak tersedia)
Atau tanpa adanya proteinuria, hipertensi onset baru dengan salah satu kriteria berikut ini:
 Trombositopenia: Jumlah trombosit kurang dari 100.000 x 10^9/L
 Insufisiensi ginjal: Konsentrasi kreatinin serum lebih besar dari 1,1 mg/dL atau dua kali lipat
konsentrasi kreatinin serum dan tidak adanya penyakit ginjal lainnya
 Gangguan fungsi hati: Peningkatan konsentrasi darah transaminase hati menjadi dua kali
normal konsentrasi
 Edema paru
 Sakit kepala awitan baru yang tidak berespons terhadap pengobatan dan tidak diperhitungkan
oleh diagnosis alternatif atau
 Gangguan visual (Prawirohardjo S, 2014)

Berikut kriteria diagnosis untuk preeclampsia dengan gejala berat:


 Tekanan darah sistolik 160 mm Hg atau lebih, atau tekanan darah diastolik 110 mm Hg atau
lebih pada dua pemeriksaan setidaknya 4 jam terpisah (kecuali terapi antihipertensi dimulai
sebelum waktu ini)
 Trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.000 x 10^9/L
 Gangguan fungsi hati yang tidak diperhitungkan dengan diagnosis alternatif dan seperti yang
ditunjukkan oleh peningkatan konsentrasi darah enzim hati yang tidak normal (lebih dari dua

3
kali batas atas konsentrasi normal), atau dengan nyeri persisten yang parah pada kuadran
kanan atas atau nyeri epigastrium yang tidak responsif untuk obat-obatan
 Insufisiensi ginjal (konsentrasi kreatinin serum) lebih dari 1,1 mg/dL atau dua kali lipat dari
konsentrasi kreatinin serum tanpa adanya penyakit ginjal lainnya)
 Edema paru
 Sakit kepala awitan baru yang tidak berespons terhadap pengobatan dan tidak diperhitungkan
oleh diagnosis alternatif
 Gangguan penglihatan (Prawirohardjo S, 2014)

Superimposed Preeklampsia
Diagnosis Preeklampsia secara tradisional bergantung pada kombinasi proteinuria dan
hipertensi. Ada 3 batasan utama untuk definisi ini dalam kasus preeklampsia superimposed pada
wanita dengan hipertensi kronis. Pertama, pada wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah
tinggi terjadi sebelum kehamilan. Kedua, proteinuria dapat tampak bersamaan pada sekitar 10%
wanita dengan hipertensi kronis. Hal ini paling sering karena nefrosklerosis yang disebabkan
oleh hipertensi lama dan, lebih jarang, karena adanya penyebab sekunder, seperti diabetes atau
penyakit ginjal. Ketiga, definisi ini tidak mempertimbangkan bahwa PE adalah penyakit
multiorgan bahkan dengan tidak adanya proteinuria, wanita hipertensi dengan bukti keterlibatan
ginjal, hati, hematologi, atau neurologis berada pada risiko substansial morbiditas. (Kametas, N.
et al, 2022)

4
Gambar 2.6.2 Perbandingan Klasifikasi TD pada orang dewasa tahun 2014 dan 2017 menurut
Joint National Committee on the prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood
pressure

Gambar 2.6.3 Perbandingan Kriteria Diagnostik Preeklampsia Sebelumnya dan yang


Diperbarui: NHBPEP, ACOG, dan ISSHP

2.8 Tatalaksana
MANAJEMEN EKSPEKTATIF ATAU AKTIF
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran perinatal
dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa
membahayakan ibu.
1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia tanpa gejala berat
dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan evaluasi maternal dan janin yang
lebih ketat
2. Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus preeklampsia tanpa gejala
berat.
3. Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
 Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
 Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis

5
 Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
 Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam seminggu)
 Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan doppler
velocimetry terhadap arteri umbilikal direkomendasikan (Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal, 2016)

Gambar 3.2 Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Berat

6
Gambar 3.2 Manajemen Ekspektatif Preeklampsia tanpa Gejala Berat

Preeklampsia tanpa gejala berat


Rawat Jalan
 Ibu hamil dengan preeklampsia tanpa gejala berat dapat dirawat secara rawat jalan.
 Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak harus mutlak
selalu tirah baring. Pada umur kehamilan diatas 20 minggu, tirah baring dengan posisi
miring menghilangkan tekanan rahim pada v. kava inferior, sehingga meningkatkan aliran
darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran
darah ke organ – organ vital. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi
glomeruli dan meningkatkan diuresis. Diuresis dengan sendirinya meningktakan ekskresi
natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskular, sehingga mengurangi vasospasme.
Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah
oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim.

7
 Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam, dikarenakan fungsi ginjal masih
bagus pada ibu hamil yang umumnya masih muda. Diet 2 g natrium atau 4 – 6 g NaCl
(garam dapur adalah cukup). Jika garam hendak dibatasi, diimbangi dengan konsumsi
cairan yang banyak berupa, susu dan air buah.
 Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia pranatal.
 tidak diberikan obat – obat diuretik, antihipertensi, dan sedatif. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium Hb, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, dan fungsi ginjal.
Rawat Inap
Kriteria preeklampsia tanpa gejala berat perlu dirawat di rumah sakit, ialah:
a) bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu
b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda – tanda preeklampsia dengan gejala berat.
Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, PF, dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan
janin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan
jumlah cairan amnion
Perawatan obstetrik
 Pada kehamilan preterm (<37 minggu), bila tekanan darah mencapai normotensif, selama
perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
 Pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan
atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal
persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan; bila perlu memperpendek kala II
(Prawirohardjo S, 2014).

Preeklampsia dengan gejala berat


Pengelolaan preeklampsia dengan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat
yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang
tanda – tanda klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat
berat badan. Selain itu, perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria,
pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.
Perawatan preeklampsia dengan gejala berat, dibagi menjadi dua unsur:
- Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat – obat atau terapi medisinalis

8
- Sikap terhadap kehamilan ialah:
• Aktif: manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan
hemodinamika sudah stabil.
• Ekspektatif

Sikap terhadap penyakit: pengobatan medikamentosa


Penderita preeklampsia dengan gejala berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Monitoring input cairan (oral atau
infus) dan output cairan (urin). Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan koreksi.
Cairan yang dapat diberikan dapat berupa (a) 5% Ringer-dekstrose atau cairan garam faali
jumlah tetesan: <125 cc/jam atau (b) infus Dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan
infus Ringer laktat (60 – 125 cc/jam) 500 cc2.
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi
urin < 30 cc/jam dalam 2 – 3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir
asam lambung sehingga bila bila mendadak kejang, dapat menhindari risiko aspirasi asam
lambung. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam2.
1. Pemberian obat antikejang
 Obat antikejang adalah2:
 MgSO4
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan
serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium
akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif
inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam
darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium tetap menjadi pilihan
pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia2.
 Contoh obat – obat lain yang dipakai untuk kejang:
a. Diazepam
b. Fenitoin
(Prawirohardjo S, 2014)

9
Sikap terhadap kehamilannya
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala – gejala preeklampsia dengan gejala
berat selama perawatan; maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif: kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan
medikamentosa. Berikut adalah kondisi – kondisi harus dilakukannya manajemen aktif pada
kehamilan:
 Ibu
 Umur kehamilan ≥ 37 minggu
 Tekanan darah kisaran berat yang tidak terkontrol (persisten) tekanan darah sistolik
160 mm Hg atau lebih atau tekanan darah diastolik 110 mm Hg atau lebih tidak
responsif terhadap pengobatan antihipertensi
 Sakit kepala persisten, refrakter terhadap pengobatan
 Nyeri epigastrium atau nyeri kanan atas tidak responsif pada pengobatan ulang
analgesik
 Gangguan visual, defisit motorik atau perubahan sensorium
 Stroke
 Infark miokard
 sindrom HELLP
 Disfungsi ginjal baru atau memburuk (kreatinin serum) lebih besar dari 1,1 mg/dL
atau dua kali baseline)
 Edema paru
 Eklampsia
 Dicurigai solusio plasenta akut atau perdarahan vagina tanpa adanya plasenta
previa
 Janin
 Tanda – tanda fetal distress
 Tanda – tanda intra uterine growth restriction
 Tes janin abnormal
 Kematian janin

10
 Janin tanpa harapan untuk bertahan hidup pada saat itu diagnosis ibu (misalnya,
anomali mematikan, prematuritas ekstrim)
 Aliran akhir diastolik terbalik yang persisten di arteri umbilikalis
 Terjadinya oligohidramnion
2. Konservatif (Ekspektatif): kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian
pengobatan medikamentosa
Indikasi: kehamilan preterm <37 minggu tanpa disertai gejala berat dengan keadaan janin
baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara
aktif. Pada perawatan konservatif preeklampsia, loading dose MgSO4 tidak diberikan
secara i.v., cukup i.m. saja
(Prawirohardjo S, 2014)

Magnesium sulfat regimen


a. Loading dose: initial dose
4 gram MgSO4 intravena, (40 % dalam 10 cc) selama 15 menit.
b. Maintenance dose:
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m.
Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram i.m. tiap 4 - 6 jam.
Syarat-syarat pemberian MgSO4:
• Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% = 1
g (10% dalam 10 cc) diberikan IV 3 menit.
• Refleks patella (+) kuat.
• Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres napas.
Magnesium sulfat dihentikan bila:
• Ada tanda-tanda intoksikasi
• Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4 :
• Dosis terapeutik 4 - 7 mEq/liter
• Hilangnya refleks tendon 10 mEq/liter
• Terhentinya pernapasan 15 mEq/liter

11
• Terhentinya jantung > 30 mEq/liter
Pemberian Magnesium sulfat dapat menurunkan risiko kematian ibu dan didapatkan 50%
dari pemberiannya menimbulkan efekflushes (rasa panas).
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu obat berikut:
tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin. Diuretikum tidak diberikan
secara rutin, kecuali bila ada edema pam-pam, payah jantung kongestif atau anasarka.
Diuretikum yang dipakai ialah Furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu
memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkarkan
hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin
(Prawirohardjo S, 2014).

Pemberian antihipertensi
Tujuan pengobatan hipertensi berat adalah untuk mencegah gagal jantung kongestif,
iskemia miokard, cedera atau gagal ginjal, dan stroke iskemik atau hemoragik. Pengobatan
antihipertensi harus dimulai secepatnya untuk hipertensi berat onset akut (tekanan darah sistolik
160 mm Hg atau lebih atau tekanan darah diastolik 110 mm Hg atau lebih, atau keduanya) yang
dipastikan persisten (15 menit atau lebih). Literatur yang tersedia menunjukkan bahwa agen
antihipertensi harus diberikan dalam waktu 30-60 menit. Namun, dianjurkan untuk memberikan
terapi antihipertensi sesegera mungkin setelah kriteria hipertensi berat onset akut terpenuhi.
Hidralazin atau labetalol intravena dan nifedipin oral adalah tiga obat yang paling sering
digunakan. Labetalol oral dan calcium channel blocker telah umum digunakan. Salah satu
pendekatan adalah memulai rejimen awal labetalol pada 200 mg per oral setiap 12 jam dan
meningkatkan dosis hingga 800 mg per oral setiap 8-12 jam sesuai kebutuhan (total maksimum
2.400 mg/hari). Jika dosis maksimum tidak memadai untuk mencapai tujuan tekanan darah yang
diinginkan, atau dosis dibatasi oleh efek samping, maka nifedipin oral kerja pendek dapat
ditambahkan secara bertahap (Espinoza J. et al, 2020).

12
Gambar 2.7.1 Antihipertensi yang dipakai untuk mengontrol tekanan darah pada kehamilan

Gambar 2.7.2 Antihipertensi yang dipakai untuk mengontrol tekanan darah pada kehamilan

Kortikosteroid
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru janin,
menurunkan insidensi RDS, mencegah perdarahan intraventrikular, yang akhirnya menurunkan
kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bila mana usia kehamilan kurang dari 35
minggu.
Obat yang diberikan adalah: deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini tidak diulang
karena risiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat.
Pemberian siklus tunggal konikosteroid adalah:
 Betametason: 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam
 Deksametason: 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam
(Prawirohardjo S, 2014)

13
Pencegahan dan tatalaksana kejang
 Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan sirkulasi (cairan
intravena)
 MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia (sebagai tatalaksana
kejang) dan preeklampsia dengan gejala berat (sebagai pencegahan kejang)
 Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya, berikan dosis awal
(loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas kesehatan yang memadai.
 Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke ruang ICU (bila
tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator tekanan positif.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

14
Gambar 2.7.3 Cara Pemberian MgSO4

2.9 Komplikasi
Komplikasi
Dampak preeklampsia dan eklampsia pada janin adalah:
a. Intrauterine growth restriction (IUGR) dan oligohidramnion
b. Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat intrauterine growth
restriction, prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta.
2. Penyulit ibu:

15
 Sistem saraf pusat
Perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri,
edema retina, makular atau retina detachment dan kebutaan korteks.
 Gastrointernal-hepatik: subskapular hematoma hepar, ruptur kapsul hepar
 Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut
 Hematologik: DIC, trombositopenia, dan hematoma luka operasi
 Kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi atau arrest,
pernapasan, kardiak arrest, iskemia miokardium.
 Lain – lain: asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan
3. Penyulit janin:
Penyulit yang dapat terjadi pada janin ialah intrauterine fetal growth restriction, solusio
plasenta, prematuritas, sindroma distress pernapasan, kematian janin intrauterin, kematian
neonatal perdarahan intraventrikular, necrotizing enterocolitis, sepsis, cerebral palsy
(Prawirohardjo S, 2014).

2.10 Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat dilakukan bila
penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan untuk menghindari atau
mengkontrol penyebab-penyebab tersebut, namun hingga saat ini penyebab pasti terjadinya
preeklampsia masih belum diketahui. Sampai saat ini terdapat berbagai temuan biomarker yang
dapat digunakan untuk meramalkan kejadian preeklampsia, namun belum ada satu tes pun yang

memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Butuh serangkaian pemeriksaan yang kompleks
agar dapat meramalkan suatu kejadian preeklampsia dengan lebih baik. Dari beberapa studi
dikumpulkan ada 17 faktor yang terbukti meningkatkan risiko preeklampsia.

16
Gambar 3.3 Faktor Risiko yang dapat diniai pada kunjungan antenatal pertama

Faktor risiko yang telah diidentifikasi dapat membantu dalam melakukan penilaian risiko
kehamilan pada kunjungan awal antenatal (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Himpunan Kedokteran Feto Maternal, 2016).

Pencegahan Sekunder
1. Istirahat
Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat dari Cochrane, istirahat di rumah 4 jam/hari
bermakna menurunkan risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas. Istirahat
dirumah 15 menit 2x/hari ditambah suplementasi nutrisi juga menurunkan risiko preeklampsia.
2. Aspirin Dosis Rendah
Berbagai Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki efek penggunaan aspirin dosis
rendah (60-80 mg) dalam mencegah terjadinya preeklampsia. Beberapa studi menunjukkan hasil
penurunan kejadian preeklampsia pada kelompok yang mendapat aspirin.
17
• Penggunaan aspirin dosis rendah untuk pencegahan primer berhubungan dengan penurunan
risiko preeklampsia, persalinan preterm, kematian janin atau neonatus dan bayi kecil masa
kehamilan, sedangkan untuk pencegahan sekunder berhubungan dengan penurunan risiko
preeklampsia, persalinan preterm < 37 minggu dan berat badan lahir < 2500 g
• Efek preventif aspirin lebih nyata didapatkan pada kelompok risiko tinggi
• Belum ada data yang menunjukkan perbedaan pemberian aspirin sebelum dan setelah 20
minggu
• Pemberian aspirin dosis tinggi lebih baik untuk menurunkan risiko preeklampsia, namun
risiko yang diakibatkannya lebih tinggi.

3. Suplementasi Kalsium
a. Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada wanita dengan
asupan kalsium yang rendah
b. Penggunaan aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium (minimal 1g/hari)
direkomendasikan sebagai prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi
terjadinya preeklampsia
(Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal, 2016)

2.11 Prognosis
 Morbiditas dan Mortilitas
Di seluruh dunia, preeklamsia dan eklampsia diperkirakan bertanggung jawab atas sekitar
14% kematian ibu per tahun (50.000-75.000). Morbiditas dan mortalitas pada preeklamsia dan
eklampsia terkait dengan kondisi berikut:
 Disfungsi endotel sistemik
 Vasospasme dan trombosis pembuluh darah kecil yang menyebabkan iskemia jaringan
dan organ
 Penyakit sistem saraf pusat (SSP), seperti kejang, stroke, dan perdarahan
 Nekrosis tubular akut
 Koagulopati
 Solusio plasenta pada ibu

18
Paparan janin terhadap preeklamsia mungkin terkait dengan autisme dan keterlambatan
perkembangan (DD). Dalam studi berbasis populasi dari 1061 anak-anak dari kehamilan tunggal
- termasuk 517 dengan gangguan spektrum autisme (ASD), 194 dengan DD, dan 350 yang
biasanya berkembang (TD) - paparan janin terhadap preeklamsia dikaitkan dengan peningkatan
risiko ASD lebih dari dua kali lipat dan peningkatan risiko DD lebih dari lima kali lipat
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
 Kekambuhan
Secara umum, risiko kekambuhan preeklamsia pada wanita yang kehamilan sebelumnya
dipersulit oleh preeklamsia mendekati aterm adalah sekitar 10%. Jika seorang wanita
sebelumnya menderita preeklamsia dengan gejala berat (termasuk sindrom HELLP [hemolisis,
peningkatan enzim hati, trombosit rendah] dan/atau eklampsia), dia memiliki risiko 20%
mengalami preeklamsia pada kehamilan berikutnya (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal.


2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan Diagnosis dan Tatalaksana Pre-eklamsia.
2. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Vol. 4. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2014.
3. Kametas, N. A., Nzelu, D., & Nicolaides, K. H. (2022). Chronic hypertension and
superimposed preeclampsia: screening and diagnosis. American Journal of Obstetrics and
Gynecology, 226(2), S1182–S1195.
4. Espinoza J, Vidaeff A, Pettker CM, Simhan H. 2020. Gestational hypertension and
preeclampsia. ACOG PRACTICE BULLETIN Clinical Management Guidelines for
Obstetrician-Gynecologists.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, World Health Organization (WHO), Himpunan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia - Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(HOGSI-POGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI), et al. BUKU SAKU PELAYANAN KESEHATAN IBU DI
FASILITAS KESEHATAN DASAR DAN RUJUKAN. 1st ed. 2013.

20

Anda mungkin juga menyukai