Konsultasi Fikih Warisan yang berjudul “Warisan Untuk Saudara Kandung; Satu
Laki-laki, Empat Perempuan” ini diasuh oleh Ustadz Mohammad Nurhadi,
M.H alumnus magister Hukum Ekonomi Syariah (HES) Universitas Darussalam
(UNIDA) Gontor.
Pertanyaan:
Edi Sutiana—Bandung
Jawaban:
Dari pertanyaan di atas, diketahui bahwa telah meninggal seorang suami yang
orang tua dan istrinya telah meninggal dunia dan tidak memiliki anak. Yang
ada hanyalah saudara dan saudari kandung, 1 laki-laki dan 4 perempuan.
Harta waris yang ditinggalkan berupa uang sejumlah 150.000.000,-. Kita
asumsikan bahwa harta tersebut adalah sisa setelah ditunaikan seluruh
tanggungan mayit.
Bagian warisan untuk 1 saudara kandung dan 4 saudari kandung
adalah ashabah bil ghair (sisa), dengan pembagian dua banding satu (2:1)
antara laki-laki dengan perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
Disebabkan tidak ada ahli waris yang lain, maka seluruh harta (150 juta
tersebut) dibagikan kepada mereka semua dengan pembagian; laki-laki
mendapat bagian dua kali lipat dari bagian perempuan.
Cara menghitungnya adalah setiap saudara laki-laki terhitung dua dan setiap
saudari perempuan terhitung satu. Jika saudara laki-laki 1 (1×2=2) dan saudari
perempuan empat (4×1=4), maka jumlah saham mereka adalah (2+4=6)
enam. Dengan demikian saham setiap saudara laki-laki adalah 2 dan saham
setiap saudari perempuan adalah 1. Selanjutnya jumlah seluruh harta dibagi
jumlah saham, untuk mengetahui nilai setiap sahamnya.
Sebagaimana kasus di atas, jika harta warisan yang berupa uang sebesar
150.000.000,- maka nilai setiap sahamnya adalah (150.000.000,- : 6 ) = Rp
25.000.000,-. Selanjutnya tinggal menghitung bagian setiap ahli waris;
Pertanyaan:
Mayit meninggalkan ahli waris sebagai berikut: 1 orang saudara laki-laki, 1 orang istri, 2
orang anak perempuan, 2 cucu laki-laki, dan 2 cucu perempuan. Bagaimana pembagian
dan persentase pembagian harta warisannya?
Sugianto—Bojonegoro
Jawaban:
Baik tanggungan itu berupa utang, wasiat, atau tanggungan-tanggungan lainnya yang
berkaitan dengan harta peninggalan mayit. Jika masih terdapat sisa harta, itulah yang
menjadi hak para ahli waris.
Kasus yang ditanyakan di atas, diketahui bahwa seorang suami meninggal dunia dan
meninggalkan ahli waris yang di antaranya adalah seorang istri, 1 saudara laki-laki, 2
anak perempuan
Pada kasus ini kami asumsikan bahwa 2 cucu laki-laki dan 2 cucu perempuan tersebut
berasal dari kedua anak perempuan. Sebab, tidak disebutkan bahwa mayit memiliki anak
laki-laki.
Jika demikian, bagian warisan seorang istri adalah 1/8 dari harta peninggalannya, karena
mayit memiliki anak. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala,
وصو َن هِبَا َْأو َديْ ٍنُت ٍ َّفَِإ ْن َكا َن لَ ُكم ولَ ٌد َفلَه َّن الثُّمن مِم َّا َتر ْكتُم ِمن بع ِد و ِصي
ة
ُ َ َْ ْ ْ َ ُ ُ ُ َ ْ
“Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Bagian untuk saudara laki-laki adalah ashabah (sisa), sebab dia adalah kerabat laki-laki
yang paling dekat dengan mayit. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam,
Bagian untuk 2 anak perempuan adalah 2/3 harta peninggalan mayit, sebab jumlah
anak perempuannya lebih dari satu. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu
wata’ala,
فَِإ ْن ُك َّن نِ َساءً َف ْو َق ا ْثنََتنْي ِ' َفلَ ُه َّن ثُلُثَا َما َتَر َك
“Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisa’ : 11)
Adapun 2 cucu laki-laki dan 2 cucu perempuan, mereka tidak mendapatkan harta
warisan. Sebab, mereka adalah cucu dari anak perempuan, bukan cucu dari anak laki-
laki. Yang mana cabang kekerabatan dari anak perempuan tidaklah masuk ke dalam
golongan ahli waris, mereka biasa disebut dengan istilah dzawil arham.
Cara Menghitung Warisan
Cara membagi warisan kepada ahli waris tersebut adalah sebagai berikut:
Istri 1/8 3
Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa ashlul mas’alahnya adalah 24 dan saham
masing-masing ahli waris juga sudah diketahui. Langkah selanjutnya adalah
membagikan jumlah seluruh harta dengan nilai ashlul mas’alah.
Misalnya jumlah seluruh harta adalah 360 juta rupiah, maka Rp 360.000.000 : 24 = Rp
15.000.000. Selanjutnya tinggal mengalikan hasil pembagian dengan saham masing-
masing ahli waris.
Demikianlah pembagian warisan untuk istri, 2 anak perempuan, dan 1 saudara laki-laki.
Serta jawaban, bahwa cucu dari anak perempuan tidak dapat warisan.
Warisan Tanah 1 Ha, Ahli Waris 5 Anak; 1 Laki-laki, 4
Perempuan
Konsultasi Fikih Warisan yang berjudul “Warisan Tanah 1 Ha, Ahli Waris 5 Anak; 1 Laki-
laki, 4 Perempuan” ini diasuh oleh Ustadz Mohammad Nurhadi, M.H alumnus
magister Hukum Ekonomi Syariah (HES) Universitas Darussalam(UNIDA) Gontor.
Pertanyaan:
Assalamualaikum. Saya punya tanah warisan dari orang tua 1 ha kami bersaudara 5
orang; 1 orang laki-laki, 4 orang perempuan. Bagaimana pembagian warisan tanah 1 ha
tersebut?
Jawaban:
Sebelum membagikan harta tentu harus diselesaikan dahulu apa yang menjadi
tanggungan mayit, baik biaya pengurusan jenazah, utang-piutang ataupun wasiat yang
berkaitan dengan hartanya. Setelah itu harta peninggalan barulah menjadi hak para ahli
waris.
Pada kasus ini, maka seluruh harta warisan adalah untuk kelima anak tersebut dengan
pembagian dua banding satu (2:1) antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ِ ظ األ ْنَثَينْي َّ ِالد ُكم ل
ِّ لذ َك ِر ِمثْل َح ِ وصي ُكم اللَّه يِف َأو
ْ ُ
ِ ي
ُ
ُ ْ ُ
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu,(yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan.” (Q.S. An-Nisa’: 11)
Cara menghitungnya adalah setiap anak laki-laki terhitung dua dan setiap anak
perempuan terhitung satu. Jika anak laki-laki satu (1×2=2) dan anak perempuan empat
(4×1=4), maka jumlah saham mereka adalah (2+4=6) enam. Selanjutnya jumlah seluruh
harta dibagi jumlah saham, untuk mengetahui nilai setiap sahamnya.
Apabila peninggalan berupa tanah tadi hendak dibagikan dalam bentuk uang, maka
tanah harus dijual terlebih dahulu. Setelah mendapatkan nominal uangnya maka
dihitung sebagaimana di atas. Misalnya tanah terjual dengan harta 1 M, maka nilai
setiap sahamnya adalah (1M : 6 ) = Rp 166.666.666,66.
Demikian jawaban dari pertanyaan di atas, mudah-mudahn bisa dipahami dengan baik.
Dan semoga Allah Ta’ala senantiasa menuntun kita ke jalan yang benar. Wallahu a’lam
bish Shawwab. (Mohammad Nurhadi/dakwah.id)
Pengertian Harta Gono-gini dan
Aturannya dalam Islam
Konsultasi Fikih Warisan yang berjudul “Pengertian Harta Gono-gini dan Aturannya
dalam Islam” ini diasuh oleh Ustadz Mohammad Nurhadi, M.H alumnus magister
Hukum Ekonomi Syariah (HES) Universitas Darussalam(UNIDA) Gontor.
Pertanyaan:
Saipurrahmanto-Sukoharjo
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل
َّ و ة
ُ الص
َّاَل و ِ َب الْعال
م ِّ ر ِ اَحْل م ُد
هلل
ُْ َ َ ُ َ َ َ نْي َ َ َْ
Harta gono-gini merupakan istilah yang hanya kita temui di negara kita tercinta, yaitu
negara Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan pengertian
harta gono-gini (bentuk bakunya: gana-gini) adalah harta yang berhasil dikumpulkan
selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri.
Artinya bahwa penghasilan suami dan istri setelah sah menikah, seluruhnya dianggap
milik bersama. Hal ini juga dijelaskan dalam Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, pada Bab VII: Harta Dalam Perkawinan, pasal 35 ayat 1 yang berbunyi:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Dalam hal ini, undang-undang tidak memandang seberapa besar peran suami ataupun
istri dalam mengumpulkan harta. Porsi kepemilikan mereka masing-masing dianggap
sama yaitu 50% : 50%, sehingga ketika terjadi perceraian antara mereka, separuh harta
diberikan kepada suami dan separuh lagi diberikan kepada istri.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Perceraian, “Janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Bagaimana Syariat Islam Memandang Harta Gono-
gini?
Dalam Islam sebetulnya ada istilah harta milik bersama. Namun, kepemilikan bersama
itu didasari dengan adanya beberapa sebab. Ada kepemilikan bersama yang disebabkan
melaksanakan akad atau transaksi, seperti melaksanakan akad musyarakah atau
mudharabah. Atau kepemilikan bersama itu disebabkan karena adanya pemberian, baik
dalam bentuk hibah, wasiat ataupun waris kepada dua orang atau lebih. Kepemilikan
bersama dalam hal ini sah menurut syariat.
Akan tetapi, tidak ada istilah harta bersama antara suami dan istri yang berarti bahwa
harta yang dihasilkan oleh suami dan harta yang dihasilkan oleh istri jadi milik bersama
tanpa membedakan besarnya peran masing-masing dalam mengumpulkan harta.
Harta yang dihasilkan oleh suami adalah mutlak milik suami dan harta yang dihasilkan
istri adalah mutlak milik istri, hanya saja memang suami memiliki kewajiban untuk
memberikan nafkah kepada istri. Artinya bahwa akad pernikahan tidak bisa menjadi
sebab bahwa penghasilan suami dan penghasilan istri menjadi milik bersama dengan
porsi kepemilikan 50% : 50%.
Sebetulnya bukan tidak boleh antara suami istri menyepakati bahwa harta mereka
seluruhnya menjadi milik bersama, dengan akad hibah antara suami dan istri misalnya.
Namun, menganggap secara otomatis kepemilikan bersama antara suami dan istri
hanya berdasarkan perkawinan atau pernikahan tanpa adanya kesepakatan dari
keduanya adalah ketetapan yang tidak berdasar.
Besar kemungkinan akan terjadi kezaliman dalam hal ini. Di mana ada kalanya suami
yang berkerja lebih keras dan berpenghasilan lebih banyak daripada istrinya, namun
bagian mereka disamaratakan.
Begitu pula sebaliknya, bisa jadi istrilah yang berperan besar dalam mengumpulkan
harta, namun bagian mereka dianggap sama.
Di sisi lain, terdapat sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan
Muslim di mana ibunda Aisyah menceritakan, Hindun pernah mendatangi Rasulullah
seraya mengadu,
الن َف َق ِة َما يَ ْك ِفييِن َويَ ْك ِفي بَيِن َّ ِإاَّل َما
َّ يح اَل يُ ْع ِطييِن ِم ْن
ٌ ح ِ ِإ َّن َأبا س ْفيا َن رجل َش
ٌُ َ َ ُ َ
ول اللَّ ِه ٍ َك ِم ْن ُجن ِ ِ
ُ ال َر ُس َ اح َف َق َ ت ِم ْن َمال ِه بِغَرْيِ ِع ْل ِم ِه َف َه ْل َعلَ َّي يِف ذَل
ُ َأخ ْذ
َ
ِ ِيك وي ْك ِفي بن
يك ِ ِ 'ِ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ُخ ِذي ِم ْن َمالِِه بِالْ َم ْعُر
َ َ َ وف َما يَ ْكف َ
“Ya Rasulullah! Abu Sufyan, suamiku itu orang pelit, ia tidak memberiku nafkah yang
mencukupiku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa
sepengetahuannya. Apakah itu boleh, wahai Nabi? Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ambilah dari hartanya dengan baik sekadar yang
mencukupimu dan anakmu’.” (HR. Al-Bukhari No. 5049; HR. Muslim No. 1714)
Melalui hadits ini, dapat dipahami bahwa seorang istri tidak memiliki hak atas harta
suami melainkan apa yang menjadi kewajiban nafkah suami kepada istri.
Status mereka sebagai suami istri tidak menjadikan sebab bahwa apa yang menjadi
milik suami juga menjadi miliki istri, atau sebaliknya.
Seandainya demikian, tentu Hindun tidak perlu bertanya kepada Nabi terkait bahwa ia
telah mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya, sebab harta suami juga menjadi
haknya.
Datangnya Hindun kepada Nabi justru menjadi bukti bahwa sebetulnya harta suami
adalah hak suami, hanya saja dia merasa berhak pada sebagian harta yang mestinya
menjadi kewajiban nafkah suaminya.
Sebab, apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia, sebelum hartanya dibagikan
kepada para ahli waris, harus dipastikan dahulu mana yang menjadi harta suami dan
mana yang menjadi harta istri. Barulah setelah itu harta peninggalannya dibagikan
kepada ahli waris.
Pertanyaan:
Pada tahun 2006 kakek saya meninggal dunia dengan ahli waris seorang istri, 2 orang
anak laki-laki, 7 orang anak perempuan, tetapi harta warisan tidak dibagi dengan alasan
nenek (istri) masih hidup. Kemudian pada tahun 2016 seorang anak perempuan
meningggal dan pada tahun 2018 nenek meninggal. Setelah itu harta warisan dibagi
oleh ahli waris. Pertanyaan saya, apakah anak perempuan yang meninggal tersebut
memperoleh warisan atau tidak? Terima kasih.
Aprizal-Solo
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل
َّ و ة
ُ الص
َّاَل و ِ َب الْعال
م ِّ ر ِ اَحْل م ُد
هلل
ُْ َ َ ُ َ َ َ َ َ نْي َْ
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada hal yang perlu menjadi perhatian kita
bersama. Tatkala ada seseorang yang meninggal dunia, umumnya para ahli
waris merasa pekewuh untuk segera membagikan harta warisan kepada ahli waris.
Biasanya yang jadi alasan adalah karena masih ada istri ataupun suami mayit.
Padahal, ahli waris itu bukan hanya suami ataupun istri. Bahkan, bagian mereka
sebetulnya tidak seberapa dibandingkan bagian untuk anak-anaknya. Hingga akhirnya,
harta itu tidak segera dibagikan kepada yang berhak mendapatkannya.
Dampak Negatif Menunda Pembagian Warisan
Pertama, akan menjadikan para ahli waris tidak segera mendapatkan apa yang menjadi
hak mereka. Sehingga, tidak jarang harta itu dimanfaatkan oleh orang yang seharusnya
tidak berhak atas harta tersebut.
Kedua, menyusahkan ahli waris untuk membagi harta warisan tatkala disusul dengan
meninggalnya kerabat-kerabat lain. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kasus yang
ditanyakan di atas.
Selanjutnya perlu kita ketahui bahwa pembagian harta warisan atau yang biasa kita
sebut dengan istilah mawaris, akan terlaksana apabila telah memenuhi syarat-syaratnya.
Para ulama menjelaskan bahwa syarat-syarat mawaris itu ada tiga hal. Berikut ketiga ini
syarat tersebut:
Ketika janin itu lahir dengan selamat, maka ia berhak mendapatkan warisan. Hal ini
menunjukkan bahwa ketika ahli waris telah meninggal dunia sebelum
meninggalnya muwarrits, maka ia tidak berhak mendapatkan warisan.
Ketiga, tidak adanya penghalang warisan.
Maksud tidak adanya penghalang warisan adalah tidak ada hal-hal yang menjadikan
seorang ahli waris terhalang untuk mendapatkan warisan, seperti status budak,
perbedaan agama antara muwarrits dan ahli waris, serta adanya pembunuhan yang
dilakukan ahli waris kepada muwarrits.
Dari sini dapat kita pahami bahwa anak perempuan yang meninggal pada tahun 2016
sebagaimana yang ditanyakan di atas, ia berhak mendapatkan warisan dari kakek
(ayahnya anak perempuan) yang telah meninggal pada tahun 2006. Sebab, ketika itu ia
dalam keadaan hidup.
Namun, ia tidak berhak mendapatkan warisan dari nenek (ibunya anak perempuan),
sebab ketika itu dia sudah dalam keadaaan meninggal dunia. Artinya tidak terpenuhi
syarat-syarat mawaris sebagaimana yang kami jelaskan di atas.
Pertanyaan:
Mohon maaf admin, saya mau bertanya mengenai waris. Ada 4 saudara laki-laki.
Kemudian meninggal anak paling kecil. Anak paling kecil tersebut tak memiliki anak dan
juga istri. Itu bagaimana ust, cara bagi ketiga saudara tersebut?
Mat Amin-Aceh
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل
َّ و ة
ُ الص
َّاَل و ِ َب الْعال
م ِّ ر ِ اَحْل م ُد
هلل
ُْ َ َ ُ َ َ َ َ َ نْي َْ
Menanggapi pertanyaan tersebut, sebetulnya kasus yang diajukan kurang begitu detail.
Sebab, untuk membagikan harta warisan harus diketahui terlebih dahulu seluruh
kerabat mayit yang berpotensi menjadi ahli waris. Dengan demikian kita dapat
menentukan bagian harta warisan pada masing-masing ahli waris.
Namun tidak mengapa, kami akan mencoba untuk memahami dan menjelaskan kasus
yang ditanyakan. Dari pertanyaan di atas, diketahui bahwa terdapat 4 saudara laki-laki.
Kemudian yang paling kecil dari 4 saudara laki-laki ini meninggal dunia. Ia tidak memiliki
anak maupun istri. Maka, seharusnya kita perinci terlebih dahulu sebelum harta warisan
dibagikan kepada saudara-saudara kandungnya.
س د
ُ الس
ُّ ِ ألم
ه ِّ َفَِإ ْن َكا َن لَهُ ِإ ْخ َوةٌ ف
ُ
“Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam.” (Q.S. An-Nisa’: 11)
Adapun bagian ayah adalah sisanya, yaitu 5/6 dari harta peninggalan mayit. Sebab tidak
ada ahli waris dari kalangan ashabah melainkan ayah sehingga bagiannya adalah
ashabah (sisa). Cara membagikannya tinggal mengalikan jumlah harta yang ditinggalkan
oleh si mayit. Misalnya harta itu sebesar 60.000.000,- maka bagian ibu adalah (1/6 x
60.000.000) = 10.000.000,-. Adapun bagian ayah adalah sisanya (5/6 x 60.000.000,-) =
50.000.000,-.
Jika demikian, maka ahli warisnya adalah ketiga saudara laki-laki tersebut yang masih
hidup. Mereka semua statusnya adalah ahli waris yang memiliki bagian ashabah (sisa).
Dikarenakan tidak ada ahli waris lainnya, maka seluruh harta mayit dibagikan kepada
ketiga saudara kandungnya secara merata, tidak membedakan satu bagian dengan
bagian lainnya.
Misalnya jumlah harta yang ditinggalkan adalah sebesar 60.000.000,-, maka dibagi tiga
orang, sehingga perorang mendapat bagian (60.000.000,- : 3) = 20.000.000,-. Tentunya
pembagian ini dilaksanakan setelah semua tanggungan mayit diselesaikan.
Jikalau kita telisik lebih dalam lagi, sebetulnya masih banyak kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi pada kasus di atas. Namun, hal itu tidak mungkin kami
sampaikan semuanya di sini. Mudah-mudahan tulisan ringkas ini sudah menjawab
pertanyaan di atas. Sekaligus menjadi masukan kepada para penanya lainnya agar
menyampaikan kasus warisannya secara detil. Wallahu a’lam bish
Shawwab. (Mohammad Nurhadi/dakwah.id)
Warisan untuk Istri, 1 Putra, 1 Putri,
Ayah dan Ibu
Konsultasi Fikih Warisan ini yang berjudul “Warisan untuk Istri, 1 Putra, 1 Putri, Ayah dan
Ibu” ini diasuh oleh Ustadz Abe Hudan Al-Hasny, S.Pd.I Pengajar ilmu Faraidh (Fikih
Warisan) di Ma’had ‘Aly Al-Islam, Bekasi.
Pertanyaan:
Mau tanya, kakak saya meninggal pada bulan Desember 2020 dengan meninggalkan
satu orang istri, satu orang putra, satu orang putri, dan kedua orang tua (ayah dan ibu)
waktu kakak meninggal masih hidup. Setelah dua minggu, ayah meninggal. Bagaimana
pembagian warisannya? Matur nuwun.
Jawaban:
Harta yang ditinggalkan oleh mayit harus dikelola dengan tertib sebagaimana berikut
ini:
Pertama, Harta yang ditinggalkan diambil secara layak untuk mengurusi jenazahnya dari
memandikan sampai menguburkannya.
Kedua, Setelah itu, harta sisanya digunakan untuk melunasi hutang-hutang yang
menjadi tanggungan mayit, baik kepada manusia ataupun kepada Allah (misal, ada
harta yang belum dibayarkan zakat malnya).
Ketiga, Setelah itu, jika mayit memiliki wasiat maka wasiatnya harus ditunaikan terlebih
dahulu. Batas maksimal wasiat harta adalah 1/3.
Keempat, Setelah urusan di atas selesai, barulah harta mayit yang masih tersisa dibagi
sebagai warisan.
Disebabkan si mayit memiliki anak, maka bagian ayah dan ibu masing-masing adalah
1/6.
ُّم ُن
ث ال ن هل ف د ل و م ك ل ن ا ك ن ِالربع مِم َّا َتر ْكتم اِ ْن مَّل ي ُكن لَّ ُكم ولَ ٌد ۚ فَا
ُ ُ َْ َّ َ َ ٌ َ ُ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ ْ ْ ُ َ ُ ُ ُّ َوهَلُ َّن
ص ْو َن هِبَآ اَْو َديْ ٍن و ت
ُ ٍ َّمِم َّا َتر ْكتُم ِّم ۢ ْن بع ِد و ِصي
ة
ُ ْ َ َْ ْ َ
“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat
atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Masing-masing ayah dan ibu mendapatkan 1/6 dari 24 M, yaitu 4 M untuk ayah dan 4
M untuk Ibu.
Istri mendapatkan 1/8 dari 24 M, yaitu 3 M.
Sisanya 13 M untuk putra putrinya dengan rumus anak laki-laki mendapatkan 2 bagian
anak perempuan mendapatkan 1 bagian.
Perlu ditelusuri sampai didapatkan data rinci siapa saja ahli waris yang masih hidup
setelah wafatnya ayah.
Jika ahli waris yang masih hidup hanya 1 istri dan 1 putra, maka istri (ibu penanya)
mendapatkan 1/8 bagian dari seluruh harta peninggalan ayah.
Adapun sisanya menjadi miliki putranya (yang masih hidup. Putra yang sudah wafat
tidak mendapatkan warisan dari ayahnya. Anak-anak dari putra yang sudah wafat tidak
mendapatkan warisan dari kakek mereka).
Jika ahli warisnya lebih dari itu, maka dihitung dengan cara yang sesuai komposisi ahli
waris yang ada. Wallaahu a’lam. (Abe Hudan/dakwah.id)
Konsultasi Fikih Warisan yang berjudul “Warisan Ibu Belum Dibagi Hingga Ayah
Meninggal” ini diasuh oleh Ustadz Mohammad Nurhadi, M.H alumnus magister
Hukum Ekonomi Syariah (HES) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.
Pertanyaan:
Kami 4 bersaudara: 3 perempuan dan 1 laki-laki. Jadi pas ibu saya meninggal di keluarga
kami tidak ada buka waris, tapi ayah menghibahkan kami tiap anak sebidang tanah 400
meter persegi, dan ayah membawa sisa harta lainnya dan menikah lagi, dari
pernikahannya dikaruniai 1 orang anak perempuan, sekarang ayah saya telah
meninggal, dan sampai hari ini sudah hampir 3 tahun ibu tiri kami tidak ada inisiatif
untuk buka waris.
Itu bagaimana hukumnya ustaz, kami mau mengingatkan buka waris takut
menyinggung dan seolah-olah kami ingin harta peninggalan ayah kami. Yang mau
ditanyakan, itu bagaimana hukum Islam yang sebenarnya apakah memang sudah tidak
ada buka waris atau bagaimana?
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل
َّ و ة
ُ الص
َّاَل و ِ َب الْعال
م ِّ ر ِ اَحْل م ُد
هلل
ُْ َ َ ُ َ َ َ َ َ نْي َْ
Sebelum menanggapi pertanyaan di atas, kita harus memahami terlebih dahulu tentang
konsep harta di dalam syariat Islam. Harta yang ada di tangan kita saat ini adalah harta
yang Allah titipkan kepada kita untuk dimanfaatkan sesuai dengan apa yang telah
digariskan dalam syariat Islam.
Cara memindahkan kepemilikan harta pun telah diatur sedemikian rupa oleh
Allah ta’ala. Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa hak atau dengan
cara yang zalim.
Tatkala seseorang meninggal dunia maka harta yang dimiliki itu sejatinya kembali
kepada yang telah menitipkannya, yaitu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Selanjutnya,
harta yang disebut sebagai harta peninggalan atau warisan itu oleh
Allah ta’ala diberikan kepada para ahli warisnya. Yang mana, ahli waris serta tata cara
pembagiannya telah Allah jelaskan secara detail dalam firman-Nya, yaitu surat An-
Nisa’ : 11—12 dan 146. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala,
Artinya, secara otomatis harta warisan itu telah menjadi haknya para ahli waris sesuai
dengan porsinya masing-masing. Apabila ada yang bukan ahli waris mengambil harta
warisan atau ahli waris yang mengambil melebihi dari porsi yang semestinya, berati
telah mengambil harta orang lain tanpa hak dan telah berbuat zalim. Orang yang telah
mengambil harta orang lain tanpa hak, maka dia berkewajiban untuk
mengembalikannya kepada yang berhak.
Penyelesaian Masalah
Pertanyaan di atas sebetulnya terdapat beberapa problem yang mestinya perlu
diselesaikan satu persatu.
Pembagian harta warisan ibu
Pertama, ketika sang ibu meninggal dunia, maka harta yang menjadi milik ibu
seharusnya diberikan kepada ahli warisnya sesuai dengan porsi masing-masing yang
tentunya setelah ditunaikan tanggungan-tanggungan mayit.
Hibah dari suami kepada anak-anaknya berupa tanah 400 meter persegi itu juga perlu
diperjelas, apakah itu hibah dari harta suami sendiri kepada anak-anaknya? Jika
demikian, maka hal itu sah-sah saja.
Namun, jika itu adalah harta milik istrinya (ibu penanya), maka cara pembagiannya harus
berdasarkan ketentuan warisan. Tidak bisa dibagikan sama rata kepada anak-anaknya,
sebab ada anak laki-laki dan anak perempuan yang mestinya bagian mereka adalah dua
banding satu. Adapun bagian suami hanyalah ¼ bagian dari harta istrinya.
Kedua, ketika suami ini telah meninggal dunia, maka harta yang menjadi milik suami
harus dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan porsi masing-masing.
Seluruh anaknya berhak mendapatkan warisan, baik dari istri pertama maupun istri
kedua. Bagian mereka antara laki-laki dan perempuan adalah dua banding satu.
Sedangkan bagian istri keduanya adalah 1/8 dari harta peninggalan suaminya,
disebabkan mayit memiliki anak.
Selanjutnya, ahli waris tidak perlu takut menyinggung perasaan siapa pun untuk
mengingatkan pembagian harta warisan. Itu adalah bagian dari menyampaikan
kebenaran. Jika tidak kita sampaikan, justru artinya kita membiarkan orang lain
memakan harta yang bukan miliknya.
Pertanyaan:
Nama saya Ahmad, asal Sulawesi Tengah. Yang saya tanyakan apabila kami tidak
memiliki keturunan, maka siapa yang berhak mewarisi harta kami atau rumah yang kami
miliki?
Ahmad-Sulteng
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل
َّ و ة
ُ الص
َّاَل و ِ َب الْعال
م ِّ ر ِ اَحْل م ُد
هلل
ُْ َ َ ُ َ َ َ نْي َ َ َْ
Dalam ilmu waris disebutkan oleh para ulama bahwa ahli waris atau kerabat yang
berhak mendapatkan harta warisan bukan hanya keturunan (anak, cucu, dan terus ke
bawah), namun terdapat beberapa ahli waris baik dari kalangan laki-laki ataupun
perempuan.
Ahli waris dari kalangan laki-laki adalah suami, anak, cucu dari anak laki-laki, ayah, kakek
dari ayah, saudara kandung, saudara sebapak, saudara seibu, kemenakan dari saudara
laki kandung, kemenakan dari saudara laki sebapak, paman dari saudara ayah
sekandung, paman dari sudara ayah sebapak, sepupu dari paman (saudara ayah)
sekandung, dan sepupu dari paman (saudara ayah) sebapak.
Adapun ahli waris dari kalangan perempuan adalah istri, anak, cucu dari anak laki-laki,
ibu, nenek dari ayah, nenek dari ibu, saudari sekandung, saudari sebapak, dan saudari
seibu.
Keberadaan seluruh ahli waris tersebut belum tentu selalu mendapatkan bagian warisan.
Mereka yang paling berhak mendapatkan adalah yang paling dekat kekerabatannya
dengan mayit. Sehingga, terkadang sebagian di antara mereka tidak mendapatkan hak
warisan karena termahjub (tertutupi) oleh ahli waris yang kekerabatannya lebih dekat
dengan mayit.
Namun, ada beberapa ahli waris yang keberadaannya pasti mendapat warisan, artinya
tidak bisa termahjub oleh siapa pun. Di antaranya adalah anak laki-laki, anak
perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri.
Pertanyaan:
Kami ada dua bersaudara semuanya laki-laki, satu bapa berlainan ibu. Harta warisan
didapatkan ketika bersama ibu saya. Ustaz, apa boleh kakak saya mendapatkan juga
warisan itu? Sebelumnya dihaturkan terima kasih atas jawabannya.
Muhammadin—Flores
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل
َّ و ة
ُ الص
َّاَل و ِ َب الْعال
م ِّ ر ِ اَحْل م ُد
هلل
ُْ َ َ ُ َ َ َ َ َ نْي َْ
Sebelum menanggapi pertanyaan saudara, ada satu hal yang perlu dipahami bahwa
harta peninggalan mayit yang hendak dibagikan kepada ahli waris harus dipastikan
bahwa harta itu benar-benar miliknya mayit, bukan milik istri atau kerabat lainnya.
Apabila terjadi percampuran hak kepemilikan antara mayit dengan pasangan (suami
atau istri) atau dengan kerabat lainnya, maka harus dipisahkan terlebih dahulu sebelum
membagikannya kepada ahli waris.
Jikalau tidak diketahui secara pasti porsi kepemilikan mayit dengan pihak lain, maka
jalan yang dapat ditempuh untuk memisahkan hak kepemilikan adalah dengan
melakukan akad shulh (perdamaian) yaitu akad yang dilakukan untuk menghilangkan
perselisihan. Cara melaksanakannya adalah dengan mengumpulkan pihak-pihak yang
terkait dengan harta warisan dan memusyawarahkan porsi kepemilikan antara mayit
dengan pihak lainnya berdasarkan kesepakatan bersama.
Setelah diketahui seluruh harta milik mayit, langkah selanjutnya adalah menunaikan
tanggungan mayit jika terdapat utang atau wasiat yang berkaitan dengan harta mayit.
Setelah itu, barulah sisa hartanya dibagikan kepada ahli waris.
Sebagimana saya jelaskan sebelumnya, bahwa harta suami yang bercampur dengan
harta istri harus dipisahkan terlebih dahulu. Setelah harta itu dipisahkan, maka harta
milik suamilah yang dibagikan kepada ahli warisnya.
Dari kasus di atas, maka kedua anaknya berhak mendapatkan harta warisan. Sebab,
status kedua anak laki-lakinya adalah anak kandung mayit. Namun, jika yang meninggal
adalah istri kedua, maka anak laki-laki dari istri pertama tidak berhak atas harta
peninggalannya. Sebab status antara keduanya adalah anak dan ibu tiri.
Sedangkan anak tiri dan ibu tiri tidak bisa saling mewarisi, dikarenakan tidak memenuhi
sebab-sebab mendapatkan hak warisan, yaitu adanya kekerabatan hakiki.
Demikianlah artikel yang berjudul “Saudara Seayah Apakah Dapat Warisan?” semoga
bermanfaat bagi penanya dan kaum muslimin secara umumnya. Wallahu a’lam bish
Shawwab. (Mohammad Nurhadi/dakwah.id)
Warisan Untuk Istri, 1 Anak Laki-laki, 2
Anak Perempuan
Konsultasi Fikih Warisan yang berjudul “Warisan Untuk Istri, 1 Anak Laki-laki, 2 Anak
Perempuan” ini diasuh oleh Ustadz Mohammad Nurhadi, M.H alumnus magister Hukum
Ekonomi Syariah (HES) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.
Pertanyaan:
Mau tanya masalah pembagian warisan. Seorang suami meninggal. Punya istri 1 dan
tidak punya anak dari pernikahan mereka. Tetapi ada anak gawan suami, 2 perempuan
dan 1 laki-laki. Anak gawan istri 1 laki-laki. Bagaimana cara pembagian harta
warisannya?
Daryono—Sukoharjo
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل
َّ و ة
ُ الص
َّاَل و ِ َب الْعال
م ِّ ر ِ اَحْل م ُد
هلل
ُْ َ َ ُ َ َ َ َ َ نْي َْ
Selalu kami ingatkan bahwa sebelum membagi harta warisan kepada para ahli waris,
seluruh tanggungan mayit harus diselesaikan terlebih dahulu. Baik berupa utang
ataupun wasiat yang berkaitan dengan hartanya mayit. Setelah itu, barulah sisanya
menjadi haknya para ahli waris.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada satu hal yang perlu kita ketahui bersama
bahwa seseorang itu berhak mendapatkan warisan jika telah terpenuhi sebab-sebab
adanya hak waris.
Para ulama menjelaskan bahwa sebab-sebab adanya hak waris itu ada tiga;
Pertama, kekerabatan hakiki. Maksud dari kekerabatan hakiki adalah setiap hubungan
yang penyebabnya adalah kelahiran. Seperti hubungan antara anak dan ayah atau ibu
kandung. Artinya anak tiri bukanlah orang yang berhak mendapatkan harta warisan dari
ayah atau ibu tirinya.
Kedua, pernikahan yang sah, yaitu hubungan antara suami dan istri yang dibangun di
atas akad yang sah sesuai dengan syariat. Jadi, walupun belum terjadi hubungan badan
antara keduanya, mereka bisa saling mewarisi hartanya.
Dari kasus di atas diketahui bahwa seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan
seorang istri, anak bawaan suami (mayit) 2 perempuan dan 1 laki-laki, serta 1 anak laki-
laki bawaan istrinya. Maka ahli warisnya adalah istri, 2 anak perempuan, dan 1 anak laki-
laki bawaan suami (mayit).
Satu anak laki-laki bawaan istri bukanlah ahli waris, sebab status dia adalah sebagai anak
tiri yang tidak memenuhi sebab-sebab adanya hak waris sebagaimana kami jelaskan di
atas.
Dalam hal ini istri mendapatkan bagian sebesar 1/8 dari harta peninggalannya, sebab
suami memiliki anak. Warisan untuk istri, sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وصو َن هِبَا َْأو َديْ ٍنُت ٍ َّفَِإ ْن َكا َن لَ ُكم ولَ ٌد َفلَه َّن الثُّمن مِم َّا َتر ْكتُم ِمن بع ِد و ِصي
ة
ُ َ َْ ْ ْ َ ُ ُ ُ َ ْ
“Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah
dibayar) utang-utangmu.” (Q.S. An-Nisa’ : 12)
Dua anak perempuan dan satu anak laki-laki, mereka mendapatkan bagian sisa
(ashabah bil ghair) yang dibagi dengan pembagian dua banding satu antara laki-laki
dan perempuan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
Pada tabel di atas terdapat perbaikan ashlul mas’alah, sebab bagian sisa (yaitu 7) tidak
dapat dibagikan kepada anak laki-laki dan 2 anak perempuan dengan pembagian 2 : 1.
Oleh karenanya, membutuhkan perbaikan dengan cara ashlul mas’alah dikalikan
dengan jumlah anak laki-laki dan perempuan di mana laki-laki dihitung 2 dan
perempuan dihitung 1, sehingga dapatlah angka 4 dari 1 laki-laki dan 2 perempuan
sebagaimana tercantum dalam tabel.
Demikianlah pembagian warisan untuk istri, 1 anak laki-laki, 2 anak perempuan. Mudah-
mudahan memberikan pencerahan baik bagi penanya ataupun pembaca sekalian.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menuntun kita kepada jalan yang benar. Wallahu a’lam
bish Shawab. (Mohammad Nurhadi/dakwah.id)
Warisan untuk Suami, 1 Anak Laki-laki, 1
Anak Perempuan, dan 1 Cucu
Konsultasi Fikih Warisan yang berjudul “Warisan untuk Suami, 1 Anak Laki-laki, 1 Anak
Perempuan, dan 1 Cucu” ini diasuh oleh Ustadz Mohammad Nurhadi, M.H alumnus
magister Hukum Ekonomi Syariah (HES) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.
Pertanyaan:
Mau tanya ustadz, seorang istri meninggal, meninggalkan suami, 1 anak laki-laki, 1 anak
perempuan, dan 1 cucu. Bagaimana pembagian hak warisnya, njih?
Muhammad Jundi-Karanganyar
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل
َّ و ة
ُ الص
َّاَل و ِ َب الْعال
م ِّ ر ِ اَحْل م ُد
هلل
ُْ َ َ ُ َ َ َ نْي َ َ َْ
Hal pertama yang selalu kami ingatkan, bahwa sebelum membagi harta warisan kepada
ahli waris, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa pewaris (mayit) telah terbebas dari
segala tanggungan berupa utang dan wasiat-wasiat yang berkaitan dengan harta telah
dilaksanakan. Jika masih terdapat sisa, itulah harta yang berhak diberikan kepada
para ahli waris.
Artikel Fikih Warisan: Siapa Ahli Waris Utama yang Pasti Mendapatkan Warisan?
Dari kasus yang ditanyakan diketahui bahwa ahli waris yang ditinggalkan pewaris adalah
suami, satu anak laki-laki, satu anak perempuan, dan satu cucu. Dalam hal ini suami
mendapatkan hak harta warisan sebesar ¼ bagian, karena pewaris (istri) memiliki anak.
Selanjutnya, Jika terdapat ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan, maka keduanya
mendapat bagian sisa yang dalam ilmu waris disebut dengan istilah ashabah bil ghair.
Cara membagi warisan untuk keduanya adalah dengan dua banding satu antara laki-laki
dan perempuan.
Hal ini telah disebutkan dengan sangat jelas oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
Kemudian terdapat satu cucu sebagaimana yang disebutkan oleh penanya. Cucu dalam
kasus ini tidak mendapatkan warisan dari pewaris, baik cucu laki-laki maupun cucu
perempuan. Baik cucu tersebut dari anak laki-laki atau dari anak perempuan, juga tidak
mendapatkan warisan.
Jika cucu itu dari anak laki-laki, maka status dia adalah ter-mahjub (tertutupi) oleh
keberadaan anak laki-laki, yaitu ayahnya cucu tersebut.
Apabila cucu itu dari anak perempuan, maka status dia adalah sebagai dzawil arham,
yaitu kerabat yang tidak termasuk sebagai ahli waris dari kalangan ashabul furud (yang
memiliki bagian tertentu) maupun ashabah (yang memiliki bagian sisa).
Selanjutnya ahli waris tinggal anak laki-laki dan anak perempuan yang bagian untuk
keduanya adalah sisa dengan pembagian 2 : 1. Cara membaginya setiap laki-laki
dihitung dua dan perempuan dihitung satu. Karena laki-laki hanya ada satu dan
perempuan juga hanya satu, maka terhitung tiga bagian. Sisa harta di atas kemudian
dibagi 3 (75 : 3 = 25 ), yaitu 25 juta. Jadi, bagian anak laki-laki adalah (2 x 25) 50 juta dan
anak perempuan adalah (1 x 25) 25 juta.
Suami 1/4 1 1
Anak laki-laki 2
sisa 3
Anak Perempuan 1
Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah seluruh saham atau ashlul mas’alah-nya
adalah 4. Maka, apabila jumlah seluruh harta warisan tadi senilai 100 juta, maka dibagi
jumlah seluruh saham (100 : 4 = 25), sehingga nilai persaham diketahui 25 juta.
Selanjutnya tinggal mengalikan:
Demikianlah pembagian warisan untuk suami, 1 anak laki-laki, 1 anak perempuan, dan 1
cucu. Mudah-mudahan memberikan pencerahan baik bagi penanya serta pembaca
sekalian. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menuntun kita kepada jalan yang
benar. Wallahu a’lam bish Shawab. (Mohammad Nurhadi/dakwah.id)
Cara Membagi Warisan Kepada Dzawil
Arham
Daftar Isi
Apakah Dzawil Arham Mendapatkan Warisan?
Cara Membagi Harta Warisan Kepada Dzawil Arham
o Pertama: pendapat Ahlur Rahmi
o Kedua: pendapat Ahlut Tanzil
o Ketiga: pendapat Ahlul Qarabah
Konsultasi Fikih Warisan yang berjudul “Cara Membagi Warisan Kepada Dzawil
Arham” ini diasuh oleh Ustadz Mohammad Nurhadi, M.H alumnus magister Hukum
Ekonomi Syariah (HES) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.
Pertanyaan:
Mau tanya tentang ilmu waris, cara penghitungan dzawil arham yang mudah itu seperti
apa, ya?
Afnan-Sukoharjo
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل ِ ِّ هلل ر ِ اَحْل م ُد
ْ ُ َ َ ُ َّ ب الْ َعالَمنْي َ َوالصَّاَل ةُ َو َ َْ
Dalam membahas perihal fikih mawaris tentu tidak terlepas dengan istilah yang disebut
dengan ‘dzawil arham’. Istilah ini biasa dipakai oleh para ulama untuk menyebutkan
kerabat-kerabat mayit yang mereka tidak termasuk ashabul furudh (yang memiliki
bagian warisan tertentu) ataupun ashabah (yang memiliki bagian sisa).
Artinya bahwa mereka bukanlah ahli waris yang telah disebutkan secara rinci dalam al-
Quran surah an-Nisa’ ayat 11—12 dan 176, seperti cucu laki-laki dari anak perempuan
mayit, anak laki-laki (keponakan) dari saudari perempuan mayit, bibi (saudari
perempuan ayah) mayit, dan lain sebagainya.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya jika kita melihat pendapat para
ulama terlebih dahulu mengenai apakah mereka berhak mendapatkan warisan apabila
mayit tidak memiliki ahli waris dari ashabul furudh dan ashabah?
Dari sini dapat kita pahami bahwa pertanyaan di atas berpegang kepada pendapat
pertama yang menyatakan bahwa dzawil arham berhak mendapat warisan jika tidak ada
ahli waris dari kalangan ashabul furudh dan ashabah.
Mereka dikenal dengan sebutan ‘ahlur rahmi’ karena menganut pendapat yang tidak
membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris lainnya. Mereka juga tidak
menganggap kuat lemahnya kekerabatan seseorang.
Oleh sebab itulah semua dzawil arham mendapat bagian yang sama. Namun, pendapat
ini tidak masyhur, bahkan dianggap pendapat yang lemah (dhaif) dan tertolak. Sebab,
pemahaman ini bertentangan dengan kaidah syar’iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu
mawaris.
Kelompok ini disebut dengan istilah ‘ahlut tanzil’ karena mereka mendudukkan
para dzawil arham pada posisi para ahli waris dari ashabul
furudh atau ashabah terdekatnya (yang menjadi wasilah kekerabatan). Sehingga, bagian
yang diterima dzawil arham sama seperti bagian ahli waris terdekatnya.
Misalnya, ada orang meninggal yang tidak memiliki ahli waris dari
ashabul furudh dan ashabah. Yang ada hanyalah kerabat dzawil arham, seperti cucu
laki-laki dari anak perempuan, bibi dari jalur ayahnya, bibi dari jalur ibunya, dan
keponakan laki-laki dari saudari perempuannya.
Maka cucu laki-laki mendapat bagian seperti anak perempuan, yaitu setengah (½); bibi
dari jalur ayah mendapat bagian seperti bagian ayah, yaitu ashabah; bibi jalur ibu
mendapat bagian sebagaimana ibu, yaitu seperenam (1/6); dan keponakan laki-laki
mendapat bagian sebagaimana saudara perempuan, yaitu setengah (½)—hanya dalam
kasus ini ia termahjub oleh kedudukan ayah sehingga tidak mendapatkan bagian.
Pertama, kerabat yang dinisbatkan kepada pewaris (bawah pewaris), seperti cucu dari
anak perempuan baik laki-laki maupun perempuan dan terus ke bawah, cicit dari cucu
perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah.
Kedua, kerabat yang dinisbati pewaris (atas pewaris), seperti kakek dari ibu pewaris dan
terus ke atas, ibu dari ayahnya ibu pewaris dan terus ke atas.
Ketiga, kerabat yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris, seperti anaknya
saudari perempuan kandung, seayah atau seibu.
Keempat, kerabat yang bernisbat kepada kakek neneknya pewaris, seperti paman
ataupun bibi dari jalur ibu, anak perempuannya paman dan selainnya.
Jika tidak ada, maka yang dinisbatkan kepada orang tua pewaris seperti keponakan dari
saudari perempuan. jika tidak ada, maka barulah diberikan kepada paman atau bibi dari
jalur ibu dan jika tidak ada baru sepupu (anak dari paman atau bibi).
Ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang sederajat, maka juga berlaku lidzdzakari
mitslu haddil untsayain (dua banding satu) sebagaimana pembagian ashabah.
Dari penjelasan di atas, sebetulnya tidak ada yang sulit atau susah dipahami selama kita
sudah mengerti dan paham betul pembagaian warisan secara umum kepada ashabul
furudh dan ashabah. Namun, jika kita belum memahami pembagian warisan
kepada ashhabul furudh dan ashabah, maka akan sulit juga memahami pembagian
warisan dzawil arham.
Oleh karenanya, umumnya atau bahkan semuanya, para ulama menjelaskan bab dzawil
arham pada akhir pembahasan warisan setelah panjang lebar menjelaskan pembagian
warisan kepada ashhabul furudh dan ashabah. Wallahu a’lam. (Mohammad
Nurhadi/dakwah.id)
Siapa Ahli Waris Utama yang Pasti
Mendapatkan Warisan?
Daftar Isi
Ahli Waris Utama Nomor 1: Anak Laki-laki
Ahli Waris Utama Nomor 2: Anak Perempuan
o Contoh bagian 1/2
o Contoh bagian 2/3
o Contoh bagian ashabah bil ghair
Ahli Waris Utama Nomor 3: Istri
o Contoh bagian 1/4
o Contoh bagian 1/8
Ahli Waris Utama Nomor 4: Suami
o Contoh bagian 1/2
o Contoh bagian 1/4
Ahli Waris Utama Nomor 5: Ayah
o Contoh bagian 1/6
o Contoh bagian 1/6 + ashabah
o Contoh bagian ashabah
Ahli Waris Utama Nomor 6: Ibu
o Contoh bagian 1/6
o Contoh bagian 1/3
o Contoh bagian 1/3 dari sisa
Rangkuman Dalil Hak Ahli Waris Utama
Berbicara waris, maka berbicara tentang bagian harta yang ditinggalkan oleh pewaris
untuk ahli waris dan siapa saja ahli waris yang berhak menerima. Oleh karena itu rukun
waris adalah adanya pewaris, adanya ahli waris, dan adanya harta yang ditinggalkan
oleh pewaris.
Maka tidak akan ada pembagian warisan, atau tidak disebut dengan pembagian
warisan, jika ada orang yang membagikan hartanya kepada kerabatnya semasa ia masih
hidup. Sebab, syarat adanya pembagian waris itu adanya pewaris yang telah wafat.
(Radd Al-Mukhtar, Ibnu Abidin, 483)
Selain itu, seseorang akan mendapatkan harta warisan jika ia termasuk pada golongan
ahli waris dan ia tidak terhalang. Karena meski merupakan ahli waris, jika ia terhalang
oleh keberadaan ahli waris lain, ia tidak mendapatkan waris.
Contohnya adalah: A merupakan ahli waris, yaitu cucu dari C sebagai pewaris yang telah
wafat. Tetapi, C mempunyai anak laki-laki yaitu D, dan D masih hidup.
Kemudian, seseorang tidak akan mendapatkan warisan meski ia termasuk pada ahli
waris jika ia melakukan hal-hal yang bisa menyebabkan haramnya mendapatkan
warisan.
Yaitu, jika si A merupakan ahli waris dari B, tetapi wafatnya B karena dibunuh oleh A,
maka A tidak mendapatkan waris. Atau jika A nonmuslim, sementara B yang merupakan
pewaris adalah muslim, maka A tidak mendapatkan waris. (Al-Fiqhu Al-Islamiy Wa
Adillatuhu Wahbah az-Zuhaili, 10/262–263)
Sebagaimana tadi dijelaskan, ada ahli waris yang terhalang sehingga tidak mendapatkan
warisan karena adanya ahli waris lain yang menghalanginya. Tetapi ada ahli waris yang
pasti dapat yang disebut dengan ‘ahli waris utama’, atau ahli waris yang dekat
pertaliannya dengan pewaris.
Meski di antara ahli waris utama ini ada yang terhijab, namun terhalangnya tidak
menyebabkan ia tidak mendapatkan warisan, hanya berkurang saja bagian warisannya.
Adapun ahli waris utama yang dimaksud yaitu anak laki-laki, anak perempuan, suami,
istri, ayah, dan ibu.
Contoh: seorang pewaris wafat meninggalkan ahli waris yaitu suami, ayah, dan anak
laki-laki serta harta sebesar Rp.600.000.000.
Cara menghitungnya:
Pertama: tentukan bagian setiap ahli waris dengan memperhatikan dan menyesuaikan
syaratnya. Kedua: jumlahkan seluruh bagian ahli waris yang sudah ditentukan
bagiannya. Ketiga: kemudian hitung ashabah (sisa).
Maka:
Pewaris meninggalkan ahli waris yaitu satu anak perempuan, suami, dan ibu serta harta
sebesar Rp.600.000.000.
Jadi masih ada harta yang tersisa. Sementara tidak ada orang yang
menjadi ashabah (penerima sisa). Oleh karena itu, bagian ahli waris bertambah, karena
sisa warisan dibagikan kembali pada ahli waris yang ada.
Contohnya: satu anak perempuan itu mendapatkan 1/2 dari 600 juta jadi 300 juta, ibu
mendapatkan 1/6 dari 600 juta jadi 100 juta, dan suami mendapatkan 1/4 dari 600 juta
yaitu 150 juta. Jika kita jumlahkan maka semuanya 550 juta. Maka ada sisa harta yang
belum terbagi yaitu 50 juta. Karena ini masalah radd, maka cara menghitungnya seperti
ini:
Jika kita jumlahkan semuanya 3/12 + 6/12 + 2/12 = 11/12 (bukan 1, dan inilah radd),
jadi:
Contoh kemungkinan bagian anak perempuan yang ke-2 yaitu mendapatkan 2/3 jika
anak perempuan tersebut 2 atau lebih. Contoh soalnya: pewaris meninggalkan ahli waris
yaitu satu istri, 4 anak perempuan, dan 2 cucu laki-laki dari anak laki-laki yang telah
wafat dan harta sebesar 24 juta.
Sebelum melanjutkan, akan lebih dijelaskan mengenai 2 cucu laki-laki tersebut. Jadi
ceritanya pewaris punya anak lima, 4 perempuan, 1 laki-laki dan telah mempunyai 2
anak laki-laki yang merupakan cucu pewaris, namun anak laki-laki pewaris ini telah
wafat.
Menghitungnya sebagai berikut:
Contoh kasus: seorang pewaris meninggalkan ahli waris yaitu ayah, ibu, 1 anak laki-laki,
2 anak perempuan, serta harta senilai 24 juta. Maka pembagiannya:
Anak laki-laki dan perempuan mendapatkan sisa, berarti 24 juta – 8 juta = 16
juta. Karena ini adalah ashabah bil ghair maka perbandingannya anak laki-laki 2 bagian
dan anak perempuan 1 bagian. Oleh karena itu kita anggap 1 anak laki-laki itu 2 orang
anak perempuan, jadi seolah-olah almarhum mempunyai 4 anak. Maka menghitungnya
sebagai berikut:
Seorang suami wafat meninggalkan 1 orang istri dan ayah serta harta sebesar 24 juta.
Maka bagiannya:
Seorang suami wafat meninggalkan 1 orang istri dan 1 anak laki-laki serta harta sebesar
800 juta. Maka bagian masing-masing adalah:
Mendapatkan 1/2 jika pewaris tidak meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun
anak perempuan. Sedangkan suami akan mendapatkan 1/4 jika sebaliknya, yaitu pewaris
meninggalkan anak, baik laki-laki atau perempuan.
Contoh perhitungan bagian suami yang pertama yaitu 1/2. Pewaris meninggalkan ahli
waris yaitu suami, ayah, dan ibu serta harta sebesar 600 juta, maka:
Contoh perhitungan bagian suami yang ke dua yaitu 1/4. Pewaris meninggalkan harta
sebesar 24 M, beserta ahli waris yang terdiri dari suami, ayah, ibu, dan satu anak laki-
laki. Maka bagiannya adalah:
Contoh perhitungan bagian 1/6: pewaris meninggalkan ahli waris yaitu ayah, ibu, istri,
dan 1 anak laki-laki serta harta sebesar 48 M. Maka bagiannya adalah:
Contoh perhitungan 1/6 + ashabah: pewaris meninggalkan harta sebesar 24 M dan ahli
waris yaitu ayah, 1 anak perempuan, dan istri. Maka bagiannya:
Contoh bagian ashabah
Contoh perhitungan bagian ashabah: pewaris meninggalkan ahli waris yaitu ayah, ibu,
dan istri serta harta sebesar 56 M. Maka bagiannya adalah:
Ibu mendapatkan 1/6 jika pewaris meninggalkan anak, baik laki-laki atau perempuan;
mendapatkan 1/3 jika pewaris tidak meninggalkan anak, baik laki-laki atau perempuan;
mendapatkan 1/3 dari sisa jika ahli waris terdiri dari istri, ibu dan ayah atau terdiri dari
suami, ibu, dan ayah.
Pewaris meninggalkan 1 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, istri, ibu, dan ayah serta
harta sebesar 72 M, maka bagiannya adalah:
Pewaris meninggalkan harta sebesar 24 M serta ahli waris yaitu ibu dan ayah. Maka
bagiannya adalah:
Pewaris yang merupakan pengantin baru dan belum dikaruniai anak wafat dan
meninggalkan harta 24 M serta ahli waris yaitu ibu, istri, dan ayah. Maka bagiannya
adalah:
ف ِّص
ن ال ا هل
َ ف
َ ة
ً د
َ ِ وِإ ْن َكانَت و
اح
ُ ْ َ َ ْ َ
“Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta
yang ditinggalkan).” (QS. An Nisa: 11)
2. Bagian 1/3
3. Bagian 1/4
4. Bagian 1/6
5. Bagian 1/8
فَِإ ْن ُك َّن نِ َساءً َف ْو َق ا ْثنََتنْي ِ' َفلَ ُه َّن ثُلُثَا َما َتَر َك
“Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisa: 11)
7. Bagian ashabah
Pertanyaan:
Bagaimana cara menghitung warisan yang menumpuk seperti ini. Seorang istri
meninggal, beberapa waktu kemudian suaminya juga meninggal. Keduanya memiliki
peninggalan harta gono gini.
Pasangan suami istri ini memiliki satu anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak laki-
lakinya yang sudah menikah dan dikaruniai dua anak laki-laki ini juga sudah meninggal.
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل
َّ و ة
ُ الص
َّاَل و ِ َب الْعال
م ِّ ر ِ اَحْل م ُد
هلل
ُْ َ َ ُ َ َ َ نْي َ َ َْ
Sebelum menjawab pertanyaan tentang warisan yang menumpuk di atas, ada dua
perkara yang perlu menjadi perhatian kita bersama.
Pertama, terjadinya harta warisan yang menumpuk antara beberapa anggota keluarga
yang meninggal, dikarenakan tidak segera membagi harta warisan kepada para ahli
warisnya. Selain mempersulit para ahli waris untuk membagi harta warisannya, hal itu
juga menghambat para ahli waris untuk segera mendapatkan bagian dari harta
peninggalan.
Kedua, terjadinya percampuran harta antara suami dan istri, sehingga tidak bisa
dibedakan kepemilikan harta antara mereka berdua. Ini memang sudah menjadi hal
yang biasa (khususnya masyarakat Indonesia), akan tetapi percampuran harta antara
suami dan istri (atau biasa disebut sebagai harta gono-gini) akan menyulitkan para ahli
warisnya ketika hendak membagi harta warisan. Oleh sebab itu, perkara yang semacam
ini hendaknya berusaha untuk dihindari.
Dari kasus di atas, diketahui bahwa pihak yang meninggal pertama adalah seorang ibu,
kedua adalah seorang ayah dan ketiga adalah seorang anak laki-laki.
Maka, pembagian harta warisan dalam kasus ini akan kami jadikan tiga penghitungan
secara berurutan, dimulai dari yang lebih dahulu meninggal dunia:
Perlu digaris bawahi, sebelum memulai penghitungan harta yang akan diwariskan, harap
dipastikan terlebih dahulu harta yang akan diwariskan telah bersih dari tanggungan
utang-piutang dan wasiat terkait harta tersebut, serta menyelesaikan masalah
harta gono gini.
Maka, suami mendapatkan bagian sebesar ¼ dari harta warisan, dikarenakan pihak yang
meninggal memiliki anak.
Kemudian, satu anak laki-laki dan dua anak perempuan mendapat bagian ashabah bil
ghair (sisa), dengan pembagian 2:1 antara laki-laki dan perempuan.
Suami 1/4 1 1
Anak laki-laki
Ashabah (sisa) 3 3
2 Anak Perempuan
Dikarenakan saham anak laki-laki dan 2 anak perempuan tidak bisa dibagi sesuai bagian
masing-masing, maka harus ada perbaikan ashlul mas’alah yang disebut
sebagai tashihul mas’alah.
Cara perbaikannya adalah ashlul mas’alah dikalikan dengan jumlah perkepala yang
hendak diperbaiki jumlah sahamnya. Laki-laki dihitung dua dan perempuan dihitung
satu. Maka, jumlah satu laki-laki dan 2 perempuan adalah 4.
Ashlul mas’alah:
Ahli Waris Bagian Ashlul mas’alah: 4 4×4=16 Saham
16
Suami 1/4 1 – 4 4
2 Anak 6 (perorang 3)
Perempuan
Selanjutnya, jumlah seluruh harta peninggalan dibagi ashlul mas’alah atau jumlah
saham, untuk mendapatkan nilai persahamnya.
Cara menghitungnya adalah jumlah kepala anak laki-laki dan perempuan dijadikan sebagai
ashlul mas’alah, dengan cara laki-laki dihitung dua dan perempuan dihitung satu. Maka, hasilnya
adalah 4.
Anak laki-laki 2
Ashabah (sisa) 4
2 Anak Perempuan 2 (perorang 1)
Cara membagi hartanya adalah seperti kami contohkan di atas, yaitu jumlah seluruh
harta dibagi ashlul mas’alah, untuk mendapatkan nilai persaham. Selanjutnya, saham
setiap orang tinggal dikalikan nilai persahamnya.
Istri 1/8 1 1
Cara membagi hartanya adalah seperti kami contohkan di atas, yaitu jumlah seluruh
harta dibagi ashlul mas’alah, untuk mendapatkan nilai persaham. Selanjutnya, saham
siap orang tinggal dikalikan nilai per sahamnya.
Namun, jika benar-benar tidak dapat dipisahkan, Islam mengajarkan kepada kita untuk
bersepakat dalam menyelesaikan masalah, yaitu menggunakan akad ash-
shulhu (perdamaian).
ِِ
ًَأح َّل َحَر ًاما َْأو َحَّر َم َحاَل ال ُ َّاملسلمنْي َ ِإال
َ صْل ًحا ْ َ ائز َبنْي
ٌ الص ْل ُح َج
ُ
“Shulh (perdamaian) itu diperbolehkan diantara kaum Muslimin, kecuali perdamaian
yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram” (HR.
Abu Daud dan At-Tarmizi).
Jika telah terlaksana akad ini, maka salah satu pihak tidak berhak untuk menggugat
kesepakatan tersebut.
Demikian proses penghitungan harta warisan yang menumpuk untuk beberapa kasus
kematian. Semoga mencerahkan dan mudah dipahami. Wallahu a’lam bish
shawab (Mohammad Nurhadi/dakwah.id)
Warisan untuk 2 Anak Laki-laki, 3 Anak
Perempuan, Ibu Kandung
Pertanyaan:
Saya mau bertanya bagaimana pembagian warisan untuk 2 anak laki-laki, 3 anak
perempuan dan ibu kandung. Saya adalah anak pertama laki-laki. Sebelumnya terima
kasih. (Awank-aw***********@yahoo.com)
Jawaban:
ِ اهلل
ِ اَأْلمنْي ِ الساَل م علَى رسو ِل
َّ و ة
ُ الص
َّاَل و ِ َب الْعال
م ِّ ر ِ اَحْل م ُد
هلل
ُْ َ َ ُ َ َ َ نْي َ َ َْ
Sebelum membagi harta warisan dari harta peninggalan ayah saudara Awank, harus
dipastikan bahwa beliau telah terbebas dari utang-utangnya dan seluruh wasiat yang
berkaitan dengan harta peninggalannya telah dilaksanakan. Setelah itu, sisa dari harta
itu baru dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Dari kasus di atas, dipahami bahwa pihak yang meninggal adalah seorang suami yang
meninggalkan 1 istri, 2 anak laki-laki, dan 3 anak perempuan. Maka, istri mendapatkan
bagian 1/8 dari harta pihak yang meninggal karena memiliki anak.
وصو َن هِبَا َْأو َديْ ٍنُت ٍ َّفَِإ ْن َكا َن لَ ُكم ولَ ٌد َفلَه َّن الثُّمن مِم َّا َتر ْكتُم ِمن بع ِد و ِصي
ة
ُ َ َْ ْ ْ َ ُ ُ ُ َ ْ
“Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Cara Menghitung
Istri 1/8 1 1
Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah seluruh saham atau ashul mas’alah-nya
adalah 8. Maka, seluruh harta peninggalan yang menjadi hak ahli waris dibagi jumlah
saham.
Demikianlah pembagian warisan untuk 2 anak laki-laki, 3 anak perempuan, dan ibu
kandung. Mudah-mudahan memberikan pencerahan baik bagi penanya ataupun
pembaca sekalian. Dan semoga Allah Ta’ala senantiasa menuntun kita kepada jalan yang
benar. Wallahu a’lam bish Shawab (Nurhadi/dakwah.id)
Cara Membagi Warisan 900 Juta
Cara Membagi Warisan 900 Juta
Warisan 900 juta dan saya lima bersaudara; tiga laki-laki dan dua perempuan. Menurut
hukum Islam gimana cara membagi warisan 900 juta tersebut?
Penanya: Hamsuni
Jawaban
Pada prinsipnya, bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.
2 Laki-laki : 1 Perempuan
Agar cara membagi warisan 900 juta tersebut lebih mudah dipahami, kita ilustrasikan
dalam nama sebagai permisalan.
Tiga anak laki-laki itu sebut saja namanya Hadi, Huda, Ahda.
Dua anak perempuan itu sebut saja namanya Anis dan Nisa.
Dalam pembagian warisan, bagian masing-masing dari mereka adalah sebagi berikut.
Jika dijumlahkan, semuanya ada 8 bagian. Sehingga, cara menghitung warisan 900 juta
tersebut seperti ini.
Sehingga, dari hasil penghitungan tersebut Hadi, Huda, dan Ahda masing-masing
mendapatkan 2/8 dari seluruh harta waris, yaitu Rp. 225.000.000.
Sedangkan Nisa dan Anis masing-masing mendapatkan 1/8 dari seluruh harta waris,
yaitu Rp. 112.500.000.
Sebagai catatan:
Dalam komposisi keluarga seperti di atas, perwalian Anis dan Nisa menjadi tanggung
jawab Hadi, Huda, dan Ahda.
Artinya jika Anis dan Nisa belum menikah, maka tanggung jawab nafkah mereka berdua
diserahkan kepada Hadi, Huda, dan Ahda.
Kemudian, jika Anis dan Nisa ingin menikah, maka yang bertanggungjawab menikahkan
mereka berdua adalah Hadi, Huda, dan Ahda. Allahu a’lam bish shawab. (dakwah.id)