Anda di halaman 1dari 269

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/340845370

KONSERVASI JENIS LOKAL LANGKA BERPOTENSI UNTUK REHABILITASI DAS:


STUDI KASUS PADA CASTANOPSIS ARGENTEA (BL.) A.DC.

Book · December 2019

CITATIONS READS

0 892

2 authors:

Dipta Sumeru Rinandio Muhammad Rifqi Hariri


Indonesian Institute of Science National Research and Innovation Agency
19 PUBLICATIONS   7 CITATIONS    66 PUBLICATIONS   59 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Typhonium Data View project

Warta Kebun Raya View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Rifqi Hariri on 22 April 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


CERITA 100 POHON
Hak cipta 2019 Fauna & Flora International

EDITOR
Ahmad Apriyono
Agustina Melanie
Erik Erfinanto
Fadjriah Nurdiasih
Harun Mahbub
Maria Dominique
Ramdania el Hida

PENYUNTING AKHIR
Arief Hamidi
Fransisca Noni Tirtaningtyas
Yanuar Ishaq Dwi Cahyo

DESAIN
Deisy Rika Yanti
Ditulis oleh anak bangsa dalam rangka Hari Pohon Sedunia
KATA PENGANTAR

Para ahli konservasi di dunia mengkhawatirkan terjadinya


kepunahan massal spesies fauna dan flora keenam secara
global (The sixth global mass extinction) yang terdorong
akibat ulah manusia. Kepunahan keenam ini disinyalir mulai
atau sedang berlangsung termasuk terhadap spesies pohon.

Di Indonesia, tahun 2018 diketahui 487 spesies pohon


masuk dalam kategori terancam punah dalam kategori
IUCN. Angka tersebut belum mencakup spesies-spesies
yang minim catatan keberadaannya melalui berbagai
informasi dan penelusuran data-data penelitian.

Hal ini menunjukan bahwa spesies pohon terancam


punah Indonesia sangat mungkin lebih banyak jumlahnya.
Kepedulian terhadap isu kelangkaan pohon masih sangat
kurang sehingga informasi-informasi penting mengenai
keberadaannya sulit dicari.

Kepedulian masyarakat terhadap isu pohon langka, terancam


punah dan endemik (LTE) masih terbilang rendah. Hal ini
dapat disebabkan oleh minimnya referensi tulisan terkait
pohon LTE Indonesia yang mudah diakses oleh masyarakat.

Minimnya referensi juga dapat disebabkan oleh rendahnya


publikasi, baik ilmiah maupun populer bertema pohon LTE
ini, padahal masyarakat juga memiliki pengalaman terkait
iv pohon LTE ini, baik hanya berupa perjumpaan maupun
bekerja dengan jenis-jenis pohon LTE ini.
Tahun 2018, Global Tree Campaign dari FFI-Indonesia
Program bekerjasama dengan Forum Pohon Langka
Indonesia (FPLI) dan Tambora Muda melakukan kegiatan
yang bertajuk penulisan populer untuk kaum muda.

Tema besar dari kegiatan ini yaitu “Pohon Langka, Terancam


Punah dan Endemik di Indonesia”. Ada sekitar 170 tulisan
yang terkumpul. 124 diantaranya dapat dibaca dalam buku
ini yang dibagi menjadi empat volume. Dua volume tentang
pohon di Indonesia, dan dua volume lainnya tentang
tumbuhan di Indonesia.

Buku ini sangat penting, karena secara tidak langsung


kita dapat mengetahui jenis flora di alam. Dengan begitu
dapat membantu pemerintah Indonesia dalam melindungi
kekayaan flora di Indonesia.

Semoga buku ini berguna dan dapat dimanfaatkan dengan


sebaik-baiknya. Selamat membaca

v Arief Hamidi
The Global Tree Campaign – Indonesia
DAFTAR ISI
Asam pangi si pohon mangga raksasa ................................................... 2
Rina Septu Ningsih

Cassine koordesii, Tumbuhan Langka


yang Terlupakan ........................................................................................ 6
Angga Yuda Putra, Ian Robyansyah, dan Akbar Nugroho

Cendana di dalam lukisan; metode lain


kampanye konservasi spesies .................................................................. 8
Robby Jannatan

Cerita Si Kayu Besi dan Mitos di Balik


Huma Betang Kalimantan ....................................................................... 14
Esti Komariah

Durian burung : Pesta Kuliner


Penghuni Hutan Sumatera ..................................................................... 20
Panji Gusti Akbar

Durio kutejensis, Durian Unik dari


Tanah Borneo yang Rawan Punah ........................................................ 26
Arieska Putri Abmi

Eurycoma apiculata, Pohon Langka


Pasak Bumi yang Terancam .................................................................. 34
Romatio Ira Azhari Silalahi

Harta dunia di ujung jawa ...................................................................... 40


Gigin Ginanjar

Indikasi geografis sebagai solusi


konservasi Shorea javanica .................................................................... 50
vi Krisdayanti

Kahui .......................................................................................................... 58
Mario Tedja Saputra, Farah Fitriah, dan Fitri Nur’aeni
Kelestarian damar mata kucing adalah kunci
kehidupan masyarakat lokal krui, lampung ......................................... 63
Debi Masthura Putri dan Razi Wahyuni

Ketika Kapur Barus dari Sumatra Jadi Primadona


Saudagar Eropa dan Asia ....................................................................... 72
Fitrianti Dan Nelda Fitri

Kokoleceran, Flora Endemik Tanah Jawara ......................................... 78


Galang Bagja Ananda

Konservasi Dipterocarpus retusus Blume (Palahlar) ......................... 84


Peniwidiyanti

Konservasi Jenis Lokal Langka Berpotensi


untuk Rehabilitasi DAS: Sudi Kasus pada
Castanopsis argentea (Bl.) A.DC ........................................................... 90
Dipta Sumeru Rinandio dan Muhammad Rifqi Hariri

Konservasi Plahlar Sebagai Identitas Flora


Nusakambambangan untuk Warisan Biodiversity Dunia ................. 98
Enggal Primananda

Melestarikan Eboni Hitam Lewat Lubang Jarum .............................. 106


M. Mario Hikmat Anshari

Asa Saninten dan Kerabatnya di Tengah


Ancaman Kepunahan di Pegunungan Jawa ....................................... 114
Muhammad Efendi

Memoar di Repong Damar: Harmoni Aspek


Ekologi, Ekonomi, dan Budaya ............................................................. 122
Ichvan Sofyan

Mencari Plahlar, Meranti Jawa yang Hampir Punah .......................... 130


Agus Kusmawanto, Fahmi Idris, dan Purna Yulia Nurlaili

Mengenal Damar Mata Kucing dan
Upaya Pelestariannya Di Krui Pesisir Barat ........................................ 136
vii Dina Pertiwi dan Wawan Stawan

Menjaga Gaharu agar Tetap Lestari ..................................................... 142


Yopi Kurniadi
Menjaga Kalapi Agar Tetap Lestari ...................................................... 146
Abdul Harits Nasri

Menyoroti Keberadaan Pohon Ramin di


Hutan Rawa Gambut Sumatera dan Kalimantan .............................. 148
Suryansah

Meranti Sumatera yang Kaya Manfaat dan


Upaya Konservasi ex situ di Kebun Raya Indonesia ......................... 154
Saniyatun Mar’atus Solihah

Pelahlar Mutiara dari Jawa yang Terancam Punah ............................ 162


Wulan Sukmawati

Pelahlar, Meranti dari Jawa


yang Terlangka di Indonesia ................................................................. 168
Elyna Widiani, Razi Aulia Rahman

Penghuni Terakhir Nusakambangan .................................................... 175


Vidya Ayuningtyas

Pesona Eboni, ‘Emas Hijau’ Kebanggaan Sulawesi .......................... 184


Asadia Diajeng Reformanti Akil, Diki Setiadi Permana

Pohon Sonokeling, Si Hitam Nan Rupawan ....................................... 190


Azmi Wahyuni, Sri Wahyuni Dan Indriani

Pohon Ulin, Si Besi yang Penuh Kekuatan Magis .............................. 196


Eva Farera A

Raksasa Berbanir di Bukit Tiga Puluh ................................................ 200


Indra Perdana

Saninten: Kudapan dari Hutan yang Langka .................................... 206


Yanuar Ishaq Dwi Cahyo

Serupa tapi Tak Sama, Ini Buah Kerantungan


yang Dibilang Mirip Durian ................................................................... 214
viii Guntur Prabowo

Spesies Mangrove Langka di Hutan Borneo ..................................... 220


Emilia Malik
Taxus sumatrana .................................................................................... 226
Ripin

Tengkawang, Primadona Endemik Kalimantan Barat ..................... 230


Auliya Rahmah Fachrudin Dan Eka Rizqita Darojah Fahrudin

Terpincut Daya Pikat Kayu Hitam


Sulawesi (Diospyros celebica) ............................................................. 236
Ananda Febya Citra Maharani

Usaha pelesatrian pohon damar (Agathis labillardieri)


dengan cara perbanyakan vegetatif .................................................. 244
Aprilila Dwi Jayanti Dan Siti Maimunah

Wangi Gaharu yang Kian Langka ........................................................ 254


Tubagus Mardongan Siagian, Akrimillah Yunus

ix
BAGIAN 1
ASAM PANGI SI POHON
MANGGA RAKSASA
RINA SEPTU NINGSIH

Asam pangi memiliki nama ilmiah Mangifera pajang


Koesterm. Asam pangi masuk dalam kelompok keluarga
Anacardiaceae (keluarga mangga-manggaan). Asam pangi
merupakan mangga hutan terbesar dengan ukuran buah 15-
17 cm. Ukuran ini merupakan ukuran mangga spesies asli
terbesar yang ada, karena rata-rata ukuran mangga hanya
mencapai 10 cm, bahkan kurang dari itu.

Asam pangi atau secara singkat disebut “pangi” adalah


nama lokal yang berasal dari masyarakat di Kabupaten
Katingan, Kalimantan Tengah. Daerah lain seperti Malaysia,
menyebutnya dengan nama bambangan dan asam pajang.

Pohon asam pangi memiliki tinggi mencapai 30 meter


dengan batang bebas cabang dapat mencapai lebih dari 20
meter. Pohon pangi sangat besar dan tinggi untuk ukuran
tumbuhan buah. Adapun diameter pohon yang pernah
ditemui di Desa Tumbang Taei, Kabupaten Katingan, dapat
mencapai 70 cm. Percabangan pohon pangi sangat teratur
dan arsitektur pohonnya mudah dikenali dari jarak jauh.

Selain pohonnya yang tinggi, pohon asam pangi juga mem­


punyai daun yang cukup panjang. Panjangnya bisa mencapai
02 panjang dua kali lipat daun daun mangga biasa atau sekitar
mencapai 60 cm. Daun asam pangi juga memiliki bau khas
mangga jika diremas. Daun pangi juga lebih tebal dari jenis
mangga lainnya, sehingga terasa lebih kaku. Oleh karena itu,
asam pangi layak dijuluki mangga raksasa.

Buah asam pangi memiliki kulit buah yang tebalnya menca­


pai 0,5 cm dengan daging buah berwarna kuning. Sehingga,
untuk memakan buah pangi perlu dikupas hingga ketebalan
0,5 cm untuk menikmati daging buah yang lembut. Bebera­
pa pohon dapat menghasilkan buah pangi yang manis. Namun,
ada pula pohon pangi dengan daging buah yang berasa masam.

Asam pangi (Mangifera pajang Koesterm.) dalam daftar


IUCN Red List (International Union for Conservation of
Nature) atau organisasi internasional untuk konservasi alam
dikategorikan dalam rawan (Vulnerable). Artinya jika tidak
ada perhatian lebih jauh untuk pelestarian, maka bisa jadi
statusnya berubah menjadi genting bahkan punah.

Asam pangi saat ini hanya ditemukan di Pulau Kalimantan


dan beberapa negara seperti Brunei Darussalam, Malaysia
(Sarawak dan Sabah), dan Singapura. Ini berarti asam pangi
merupakan tumbuhan endemik Kalimantan. Asam pangi
ini hanya dikenal oleh masyarakat lokal saja. Di Kalimantan
khususnya Kabupaten Katingan, buah pangi hanya dijual di
pasar tradisional jika musim panen tiba.

Sejauh ini hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui


pohon pangi, khususnya masyarakat Kabupaten Katingan.
Hanya masyarakat yang tinggal di bagian tengah dan hulu
katingan yang mengetahui buah asam pangi. Bahkan, anak-
anak di Kota Kasongan sendiri tidak mengetahui buah dan
pohonnya. Beberapa orang tua juga sudah menyatakan bahwa
buah pangi semakin susah ditemui.

03 Berdasarkan hasil eksplorasi Kebun Raya Katingan bulan


Juni tahun 2016 di Desa Tumbang Taei, pohon pangi hanya
tersisa di hutan belakang desa dan warga setempat tidak
pernah berupaya menanam buah-buahan yang menurut
mereka adalah buah hutan. Hingga saat ini masyarakat
Dayak, khususnya yang berada di desa, di bagian tengah dan
hulu Kabupaten Katingan, tidak terbiasa menanam pohon.
Mereka hanya membiarkan tumbuh dan tidak pernah
merawat. Ketika panen buah hutan, maka saat itulah mereka
akan memanennya tanpa pernah tahu rasanya merawat
tanaman hingga berbuah.

Kebiasaan inilah yang mungkin bisa menjadi salah satu


faktor semakin berkurangnya pohon pangi sehingga tidak
dapat lestari serta berdaya di tempat asalnya. Selain itu, asam
pangi juga memiliki pertumbuhan yang cukup lama. Jika
ditanam dari biji, asam pangi membutuhkan 15 tahun lebih
untuk berbuah pertama kali sehingga sangat diperlukan
upaya budidaya untuk pelestariannya. n

SUMBER PUSTAKA

Tim Eksplorasi. 2016. Laporan Eksplorasi Kebun Raya Katingan Tahun


2016. Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan

Mangifera pajang (PROSEA). https://uses.plantnet- project.org/en/


Mangifera_pajang_(PROSEA)

IUCN. 2018. IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.


org/details/31394/0.

04
05
Batang Dipterocarpus retusus yang lurus
dan berwarna kelabu (Foto : Peniwidyanti)
CASSINE KOORDESII,
TUMBUHAN LANGKA
YANG TERLUPAKAN
ANGGA YUDA PUTRA,
IAN ROBYANSYAH, AKBAR NUGROHO 

Cassine koordesii merupakan tumbuhan endemik Pulau


Jawa yang masuk dalam suku Celastraceae. Tumbuhan ini
termasuk dalam kategori tumbuhan langka lantaran punya
persebaran yang relatif sempit.

Persebaran tumbuhan ini meliputi daerah Lembah


Lampesan dan Pegunungan Watengan, Puger, Kabupaten
Besuki, Provinsi Jawa Timur (Kostermans, 1986).

Menurut Goerck (1997), endemisitas dan habitat spesialis


merupakan faktor yang menentukan kelangkaan suatu
spesies. Terdapat beberapa karateristik yang dimiliki spesies
endemik, yaitu di antaranya kecenderungan memiliki
populasi yang relatif kecil, cakupan habitat yang sempit dan
rentan terhadap gangguan atau ancaman yang disebabkan
faktor alam dan ulah manusia.

Berdasarkan IUCN Red List, tumbuhan ini masuk kategori


kritis (Critically Endangered) (WCMC 1998) sehingga
beragam usaha konservasi sangat penting dilakukan.
06
Cassine koordesii punya diameter 8 cm dan tinggi lebih dari
3 m pada tumbuhan yang relatif masih muda. Biji dan buah
berbentuk bulat oval, biji berdiameter 1 cm sedangkan buah
berdiameter 2 cm. Bunga memiliki bentuk seperti bintang
dengan kepala sari yang menonjol dan memiliki warna kuning.

Tumbuhan ini punya habitat yang cukup unik, yaitu di batu­an


kapur di dalam hutan jati maupun di kawasan hutan primer
heterogen yang banyak gugur dimusim kering (Ardhianto
dkk., 2009). Keberadaan C. koordersii saat ini seperti ada
dan tiada. WCMC (1998) bahkan meragukan habitat alami
tanaman ini masih ada. Satu-satunya lokasi yang diketahui
sebagai habitat alaminya, yaitu Lembah Lampesan dan Pegu­
nungan Watengan, telah mengalami deforestasi parah.

Selain karena faktor eksternal, tumbuhan ini juga mengha­


dapi hambatan internal untuk bertahan hidup. C. koordersii
ini diketahui menghasilkan bunga dalam jumlah yang relatif
banyak, namun buah yang dihasilkan relatif sedikit. Selain
itu kendala konservasi tumbuhan ini adalah perbanyakan
secara vegetatif dan generatif masih sulit untuk dilakukan.

Salah satu upaya konservasi untuk mempertahankan jenis


sudah dilakukan yaitu dengan mengambil tumbuhan ter­se­but
dari habitat aslinya dan dibudidayakan secara ex situ di Pusat
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Studi mengenai
aspek fenologi tumbuhan ini sudah pernah dilakukan
untuk mengetahui karakteristik proses pembungaan
serta permasalahan yang mungkin menghambat proses
reproduksi dari tumbuhan tersebut (Ardhianto dkk., 2009).

Belum ada informasi yang mengungkap tumbuhan ini dari


aspek ekologis di habitat aslinya dan pemanfaatan oleh
mas­yarakat lokal. Studi mengenai karakteristik habitat,
po­pulasi, kelimpahan, dan distribusi tumbuhan ini sangat
07 perlu dila­­kukan untuk mendapatkan informasi dan
memberikan rekomendasi mengenai strategi konservasi
tumbuhan tersebut. n
CENDANA (SANTALUM ALBUM L)
DI DALAM LUKISAN:
METODE LAIN KAMPANYE
KONSERVASI SPESIES
ROBBY JANNATAN

Suatu siang setelah pelelangan sketsa semut jenis baru yang


hasilnya nanti akan disumbangkan ke salah satu acara yang
diakomodasi oleh mahasiswa, saya dipanggil oleh seseorang.
Beliau, karena merasa tertarik dengan sketsa semut dalam
ukuran besar yang saya buat, diminta untuk membuat
beberapa lukisan yang akan dipajang menghiasi kantornya.
Tanpa pikir panjang saya langsung menyetujui perihal
tersebut. Beliau meminta saya membuat beberapa lukisan
tentang flora indonesia dengan tenggat waktu yang relatif
cepat. Saya kemudian putar otak, lukisan apa yang mesti
saya buat.

Kanvas telah terkembang, kuas telah menanti untuk bere­


nang dan digoreskan, pun cat akrilik setia untuk diselami
oleh bulu-bulu halus kuas. Namun, ide belum jua kunjung
mengetok pintu dan singgah. “Flora apa lagi yang cocok
untuk menghiasi kantor Beliau?” pikir saya dalam kepala.

08 Setelah mendapatkan puspa bangsa (Jasminum sambac) dan


puspa pesona (Phalaenopsis amabilis), saya mesti dapat satu
tumbuhan lagi dari jenis pepohonan. Bukan ide yang malah
singgah, malah Katzuk, teman saya, datang mengetuk pintu.
Dengan parfum khasnya yang seronok, dia berkicau tentang
ini itu dan segala tetek-bengek penelitiannya. Saya hanya
mendengarkan dengan seksama bak seorang hamba kepada
paduka raja. Lalu Katzuk berlalu meninggalkan aroma
parfum yang memenuhi ruangan tempat saya melukis.
Aroma parfum yang bertahan lama itu masuk melalui
hidung dan mengirim impuls melalui sel saraf menuju otak.
Tak lama kemudian.

“Ahaa...!”

Saya berekspresi seperti Archimedes meneriakkan Eureka


ketika ia menemukan Archimedes principle. Pohon cendana
muncul begitu saja di dalam lobus frontal otak saya. Ini
pasti gara-gara parfum seronok tadi yang mengantarkan
saya ke salah satu pohon yang mempunyai kemampuan
aroma terapi yang diperebutkan oleh VOC dan Kerajaan
Larantuka pada tahun 1851-1915.

Cendana mempunyai aroma yang lembut, banyak diguna­


kan untuk pengobatan, minyak esensial campuran parfum,
bahan dupa dan rempah-rempah. Namun sekarang harganya
sangat mahal dan langka. Saya kemudian membolak-
balikkan buku, jurnal ilmiah, bolak-balik google scholar,
hingga dapatlah saya referensi tentang si kayu wangi ini.
Sebagai seorang pelukis, saya mesti tahu semua hal dari apa
yang saya lukis.

Cendana memiliki nama ilmiah Santalum album L. Namun,


dia juga dikenal dengan beberapa nama di Indonesia,
seperti candana di Minangkabau, Belitung, Madura, Sunda
09 dan Jawa; ai nitu di Sumba; katu ata di Flores; sondana
di Sulawesi Utara; ayu luhi di Gorontalo; ai nituk di Roti,
dan lain sebagainya. Namun, Belanda sebagai pihak yang
memperdagangkan kayu cendana dulu ketika zaman
pendudukan VOC menyebutnya dengan sandelhout.

VOC telah memperdagangkan kayu ini sejak abad


ke-17 melalui selat Malaka menuju China dan India.
Kemungkinan di Indonesia, cendana dibawa dari Pulau
Sumba oleh pedagang, jika dilihat dari julukan Pulau Sumba
yang disebut Sandalwood Island.

Cendana merupakan tumbuhan asli Indonesia yang tersebar


di Jawa Timur, Pulau Madura, Bali, Rote, Sumba, Sawoe dan
Wetar. Sebagian besar cendana tersebar di Nusa Tenggara
Timur (NTT) dan Barat (NTB). Hingga sekarang, pohon
cendana telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia hingga
ke Aceh dengan sebutan ceundana. Penyebaran cendana
sebenarnya tidak terbatas di Indonesia saja. Cendana
tersebar hingga ke India dan Semenanjung Malaya.

Cendana mempunyai tinggi antara empat hingga sembilan


meter. Cendana juga mempunyai bunga berwarna merah
dan bersifat hemiparasit, karena dia perlu menggantungkan
hidup kepada inang di fase awal hidupnya. Alasannya, sistem
perakaran cendana di fase awal belum mampu menopang
kehidupannya. Beberapa inang dari cendana adalah
Alternanthera sp., Sesbania grandiflora (pohon turi atau
gala-gala), Atalaya hemiglauca, Acacia hemignosta (Akasia),
Crotalaria retusa, dll. Ketergantungan terhadap inang ini
menjadikan cendana terancam hidupnya.

Pada tahun 1972 Menteri Pertanian mengeluarkan Surat


Keputusan tentang Pohon- Pohon di dalam Kawasan Hutan
yang Dilindungi bernomor: 54/Kpts/Um/2/1972. Kemudian,
10 pada tahun 1998 dunia internasional melalui IUCN
(International Union for Conservation of nature and Natural
Resources) telah menetapkan cendana sebagai spesies yang
rentan (vurnerable). Penyebabnya, cendana banyak diekspor
atau dikonsumsi untuk aromaterapi, tapi tidak dibarengi
dengan budi daya yang tinggi. Cendana memang susah
untuk dibudidayakan. Terlebih pohon ini punya inang
spesifik dan baru mengeluarkan aroma setelah berumur
sepuluh tahunan.

Oleh sebab itu, sudah pasti tidak sebanding antara produksi


dengan konsumsi. Kedua, populasi pohon-pohon inang
tersebut di hutan perlahan hilang karena logging, deforestasi
hutan, kebakaran hutan, konversi wilayah hutan menjadi
pertanian, peternakan, perkebunan dan pertambangan.
Sehingga diperlukan sebuah studi spesifik tentang pohon
ini dan aksi konservasi yang efektif dan efisien. Sebagai
contoh, pada 2002, secara tegas India telah melarang ekspor
kayu cendana ke negara-negara lain. Karena keterbatasan
produksi cendana, para konsumen mencoba mengganti
cendana wangi (Santalum album) dengan cendana jenggi
(Santalum spicatum).

Hingga saat ini, para peneliti mencoba terus mencari cara


membudidayakan kayu cendana agar populasinya tidak
terus menurun dan mendekati kepunahan. Akhirnya
diketahui bahwa cendana mempunyai tiga tahapan inang
selama masa pertumbuhannya. Inang pertama, selama masa
persemaian yang cocok adalah krokot (Alternanthera sp.)
atau disebut dengan inang primer. Setelah cendana tumbuh
besar, dia akan membutuhkan inang sekunder seperti
pohon turi (Sesbasnia grandiflora) atau akasia (Acacia sp.).
Sedangkan untuk jangka panjang, cendana membutuhkan
inang seperti Casuarina junghuhniana. Peranan inang
11 menjadi sangat penting untuk aksi penyelamatan
maupun produksi kayu cendana. Sebagian besar inang ini
ditemukan di dalam hutan. Aksi nyata berikutnya yang
Hingga saat ini, para peneliti
mencoba terus mencari
cara membudidayakan kayu
cendana agar populasinya
tidak terus menurun dan
mendekati kepunahan.

menjadi penunjang keberhasilan konservasi cendana


adalah pengembangbiakan inang cendana itu sendiri, atau
mencegah deforestasi hutan tempat inang-inang itu tumbuh.

Jika kita tidak sanggup melakukan praktik konservasi


cendana secara langsung sebagai seorang praktisi, kita bisa
melakukan kampanye konservasi melalui keterampilan yang
kita punya, sebagai bentuk kontribusi kita kepada mother
nature yang telah memberikan banyak hal dan manfaat.

Setelah siap saya membolak-balik halaman buku, google


scholar dan jurnal-jurnal ilmiah, tanpa jemu kuas saya
menunggu, terceluplah ia dengan penuh bahagia ke dalam
cat akrilik yang kental itu. Butuh tiga hari—tergantung
mood—saya menyelesaikan sebuah lukisan nan indah
(menurut saya), akrilik di atas kanvas dan dibalut oleh frame
nan mewah berwarna keemasan.

Lukisan Santalum album L. saya siap dipamerkan. Lukisan


tersebut kemudian dipamerkan pertama kali di acara sebuah
12 launching buku yang dihadiri oleh petinggi-petinggi daerah.
Banyak pihak yang antusias menikmati sebuah potongan
pohon cendana di atas kanvas, walaupun wanginya tak
tercium dan banyak juga yang menoleh sepintas lalu,
kemudian pergi.

Kampanye konservasi pada zaman sekarang menuntut


kita harus kreatif dan tidak melulu dengan hal-hal formal
seperti diskusi ilmiah, konferensi ataupun presentasi poster.
Kampanye konservasi bisa dilakukan dengan kegiatan atau
karya seni, di antaranya seperti lukisan. Lukisan-lukisan
yang dibuat dengan seksama ataupun dengan asal-asalan
seperti lukisan abstrak, akan mempunyai makna tersendiri
bagi penikmatnya dan penyampaian pesan yang menarik.
Sehingga lukisan bisa menjadi salah satu metode kampanye
konservasi spesies yang sangat efektif dilakukan.

Dengan konsep sekali mendayung dua pulau terlampaui,


sambil menyelam minum air. Bisa jadi kegiatan tersebut
seperti pameran lukisan-lukisan kampanye konservasi
spesies di salah satu galeri yang akan mengundang banyak
penikmat untuk didoktrin pesan penyelamatan flora atau
fauna ke dalam otak-otak mereka, sehingga mereka terbius
untuk aksi penyelamatan, minimal mulai dari diri sendiri.

Selain itu, masih banyak flora atau fauna yang mesti


diselamatkan dan butuh aktivitas konservasi dari praktisi
konservasi dengan berbagai metode. Sementara saya
memilih kampanye memakai metode lukisan.

Lukisan Santalum album L. yang saya buat sekarang


terpajang di kantor jurusan Biologi Universitas Andalas,
Sumatera Barat. Dengan banyaknya tamu yang silih berganti
ke sana, lalu mahasiswa yang datang dan pergi, masuk dan
keluar, lukisan yang dipajang bisa jadi penyampai pesan
yang tidak akan hilang dan tidak akan basi sampai kapan
13 pun. Lukisan tidak seperti banner atau baliho atau pamflet
atau leaflet yang hanya bisa digunakan untuk kampanye
dalam jangka waktu tertentu. n
CERITA SI KAYU BESI
DAN MITOS DI BALIK HUMA
BETANG KALIMANTAN
ESTI KOMARIAH

Kayu besi itu apa ya? Pernah dengar kah? Mungkin itu kayu
yang biasa dibuat jadi pedang atau baju Iron Man? Tentu,
bukan. Kayu besi ini merupakan sebutan untuk kayu Ulin
yang berasal dari Kalimantan yang sering digunakan untuk
bahan bangunan seperti konstruksi rumah, jembatan, tiang
listrik, bahkan kapal.

Sebenarnya kayu ulin ini adalah sebuah pohon yang sangat


kuat, keras, dan berat hingga mendapatkan julukan kayu
besi. Masa pertumbuhan kayu ulin berlangsung sangat lama,
bahkan umur pohonnya bisa mencapai ribuan tahun. Jadi,
jika ingin menanam kayu ulin harus mempunyai kesabaran
tinggi untuk menyaksikan pohon ulin tumbuh besar dan
meraih gelar kayu besinya.

Saya berasal dari Kalimantan Tengah yang merupakan salah


satu habitat kayu ulin. Dalam bahasa daerah Kalimantan
Tengah, kayu besi ini disebut tabalien atau ulin. Ada berba­
gai nama daerah untuk ulin seperti bulian, bulian rambai,
onglen, belian, tabulin, telian, tulian, dan mungkin masih
14 banyak lagi nama untuk kayu ulin ini di berbagai daerah.

Di daerah tempat saya tinggal, saya beruntung bisa melihat


kayu ulin yang masih berbentuk pohon alias masih hidup,
bukan yang sudah dipotong dan sudah dijadikan bahan
bangunan.

Ciri kayu ulin ini, keras, kuat, warnanya gelap, dan tahan
terhadap air laut. Tinggi pohon ulin bisa mencapai 50 meter
dengan diameter 120 cm. Di Indonesia terdapat Pohon Ulin
terbesar, bahkan di dunia. Lokasinya ada di Taman Nasional
Kutai Kalimantan Timur, pohon ini diperkirakan punya
umur lebih dari satu abad. Ulin raksasa ini berdiameter 2,47
meter sehingga butuh 6-7 orang untuk memeluknya. 

Selain itu, pohon ini juga banyak ditemukan di dataran


rendah. Pohon ini agak terpisah dari pepohonan lain dan
dikelilingi jalur jalan melingkar dari kayu ulin. Sementara, di
bawah pohon, terdapat bagian yang berlubang.

Jenis kayu dari pohon ulin tidak mudah lapuk, baik di air
maupun daratan. Itulah sebabnya kayu ini banyak dipakai
sebagai bahan bangunan, khususnya untuk rumah yang
didirikan di atas tanah berawa. Di daerah saya, rumah-rumah
bangunan zaman dulu rata-rata hampir semua terbuat dari
ulin, termasuk rumah nenek saya yang ada sampai sekarang.

Begitu juga dengan rumah adat suku Dayak Kalimantan


yang disebut huma betang (rumah betang) atau huma pang­
gung (rumah panggung), rumah panggung yang saya katakan
di sini bukannya seperti panggung konser ya, tapi rumah pang­
gung ini rumah yang tiangnya tinggi seperti panggung. Salah
satu bangunan rumah betang yang masih ada sampai sekarang
tepatnya berada di daerah desa Tumbang Gagu, bangunan
inilah yang menjadi saksi bisu kekuatan kayu ulin di
Kalimantan Tengah, karena hampir seluruh bahan bangunan
15 dari rumah ini dibangun dengan kayu ulin dan meranti.

Ada cerita menarik dari rumah betang. Rumah tersebut


memiliki tinggi 15,68 meter dari permukaan tanah, tiang-
Jenis kayu dari pohon ulin
tidak mudah lapuk, baik
di air maupun daratan.
Itulah sebabnya kayu ini
banyak dipakai sebagai
bahan bangunan.

tiang penyangga betang berdiri secara keseluruhan ada


265 tiang dengan ukuran yang bervariasi. Uniknya, ada
tiang yang diameternya kurang lebih 80 cm. Kalau ada
orang yang mengaku keturunan pendiri betang tersebut
jika dia memeluk tiang ini maka tangan kirinya pasti dapat
menyentuh tangan kanannya, kalau tidak bisa bersentuhan
bisa jadi orang tersebut hanya sekadar mengaku.

Ada juga cerita, bila ada anak keturunan pendiri betang ini
jatuh, ia tidak akan merasakan sakit sama sekali.

Martawijaya et al. (1998) menyatakan bahwa kayu ulin


sangat kuat dan awet, dengan kelas awet I, berat jenis 1,04.
Kayu ulin tahan terhadap serangan rayap dan serangga
penggerek batang, tahan akan perubahan kelembaban
dan suhu serta tahan pula terhadap air laut. Karena
ketahanannya tersebut maka wajar jika dikatakan kayu ulin
adalah kayu sepanjang masa dan kayu primadona.

Kayu ini sangat sukar dipaku dan digergaji tetapi mudah


dibelah. Departemen Kehutanan (1992) juga menyatakan
16 bahwa kayu ulin ini merupakan salah satu jenis kayu mewah
atau indah yang masuk dalam daftar jenis pohon yang
ditanam untuk berbagai tujuan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Petanian Nomor 54/
Kpts/Um/2/1972, tentang pelarangan penebangan kayu
ulin. Peraturan tersebut diperkuat dengan surat edaran dari
Kementerian Kehutanan Nomor S.147/Menhut-IV/2006
pada 9 maret 2006 untuk memperketat pemanfaatan dan
peredaran kayu ulin.

Baru-baru ini di Kalimantan Tengah, Menteri Kehutanan


yang mengeluarkan kebijakan untuk membekukan seluruh
pemanfaatan dan perdagangan kayu ulin keluar dari pulau
Kalimantan. Kebijakan itu dirasa tepat. Pasalnya, kebijakan
ini akan semakin melestarikan keberadaan kayu ulin yang
saat ini terancam punah di bumi Tambun Bungai-sebutan
untuk Kalteng.

Oleh karena itu, di Polres Kotim, tepatnya di Sampit,


Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, ada
banyak truk yang ditahan karena mengangkut kayu ulin di
luar batas angkut yang ditentukan oleh pemerintah daerah.
Hal ini memang dirasa tepat menurut pemerintah daerah
agar kayu ulin tidak punah.

Masyarakat Kalteng kurang setuju karena pembangunan


rumah masih menggunakan kayu ulin dan kini su­dah sangat
sulit untuk mendapatkannya karena memerlukan izin.

Menurut kepercayaan suku Dayak di Kalteng pelarangan


pemanfaatan kayu ulin dapat menyebabkan Tjilik Riwut
murka. Tjilik Riwut adalah pahlawan nasional Indonesia dan
gubernur pertama di Kalimantan Tengah. Ia dikenal galak
bila ada orang atau keturunannya memanfaatkan hasil hutan
Kalimantan.

17 Kayu ulin memiliki nilai ekonomi tinggi, kisaran harga di


pa­­­­sar­an Rp250.000-Rp750.000/m2. Alasan inilah yang me­nye­
babkan kayu ulin banyak diburu dan diambil secara sembunyi.
Selain dari segi ekonomi, kayu ulin juga memiliki manfaat
dari segi kesehatan. Pohon ini juga memiliki khasiat untuk
mengobati atau mengatasi beberapa penyakit, seperti pada
biji ulin, biji yang sudah dihaluskan dapat dimanfaatkan
sebagai obat bengkak, bisa juga untuk menghitamkan
rambut. Selain itu, fosil kayu ulin bernilai jual tinggi.

Pemulihan ulin melalui kegiatan rehabilitasi dan restorasi


dengan penanaman pohon ulin di kawasan Taman Nasional
Kutai sudah dilaksanakan dengan baik oleh pihak Balai
Taman Nasional Kutai sendiri maupun dari beberapa
perusahaan sebagai Mitra Taman Nasional Kutai.

Saya sangat berharap pohon kayu besi ini tidak akan punah
khususnya di habitatnya di Kalimantan karena kayu ulin
ini sangat istimewa dan juga sangat bermanfaat sehingga
perlu dilestarikan dan dijaga. Begitu istimewanya sampai
Raja Salman main ke Indonesia saja menyempatkan buat
menanam pohon ulin di Istana Negara. n

SUMBER:

Abdurrachman. 2011. Tanaman Ulin (Eusideroxylon Zwageri T. & B)


pada umur 8,5 tahun di Arboretum Balai Besar Penelitian Dipterokarpa
Samarinda Samarinda

Martawijaya A., I.Kartasujana Y.I.Mandang S.A.Prawira dan K. Kadir.1989.


Atlas Kayu Indonesia. Jilid II Badan Penelitian dan Pengenbangan
Kehutanan. Bogor.

Departemen Kehutanan.1992. manual Kehutana. Departemen Kehutanan


Republik Indonesia. Jakarta.

18
19
Buah burung (Durio graveolens) yang
belum matang (Foto : Panji Gusti Akbar)
DURIAN BURUNG:
PESTA KULINER PENGHUNI
HUTAN SUMATRA
PANJI GUSTI AKBAR

Di seluruh Asia Tenggara, durian dikenal


sebagai “The King of Fruit” alias raja dari
segala buah. Siapa sangka buah berduri
ini tidak hanya disukai oleh manusia,
tetapi juga oleh berbagai jenis satwa liar
di habitat aslinya.
Saat saya pertama kali mengunjungi kawasan Hutan Lindung
Gambut (HLG) Sungai Buluh di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur, Provinsi Jambi beberapa minggu yang lalu, perhatian
saya tercuri oleh beberapa ekor burung kangkareng hitam
(Anthracoceros malayanus) yang beterbangan dari satu
pohon ke pohon lain. Dari balik rimbunnya kanopi, kami
memperhatikan arah terbang mereka menuju sebuah pohon
besar yang tumbuh mencolok di tengah hutan. Burung-
burung itu pun bertengger di pohon tersebut, berlompatan
ke ujung-ujung dahan, lalu sibuk melucuti puluhan buah
kekuningan yang menempel di sana.

20 Sambil bergerak mendekat, saya mencoba memperhatikan


tempat ‘pesta’ kangkareng tadi. Dari kejauhan, pohon terse­but
terlihat menjulang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
pohon berkayu lain di sekitarnya. Mahkota pohon tersebut
ditutupi oleh daun-daun yang mengkilat, dengan bagian
bawah berwarna kecokelatan. Di antara daun-daun yang
tidak begitu lebat, terlihat beberapa butir buah kekuningan
berukuran agak lebih besar dari kepalan tangan manusia
dewasa. Duri-duri tajam terlihat mencuat dari kulit buah
tersebut, membentuk sebuah siluet yang terlihat tidak asing.

“Eh, Pak, ada durian di sini?” tanya saya pada Pak Agus,
pemandu kami yang juga bekerja sebagai ranger di HLG
Sungai Buluh.

“Iya, itu banyak kulitnya yang jatuh,” jawab Pak Agus sambil
menunjuk ke lantai hutan. Terlihat hamparan kulit durian
yang sudah terbelah di lantai hutan—kemungkinan sisa
pesta para kangkareng dari beberapa hari yang lalu. Tidak
seperti durian yang biasa dikonsumsi, durian ini terlihat
jauh kecil, dengan diameter hanya sekitar 12 cm saja. Duri di
kulitnya pun terlihat lebih padat dan panjang, dengan daging
bawah berwarna hampir oranye terang.

Sepulangnya dari hutan, saya pun berdiskusi dengan bebe­ra­


pa rekan satu tim yang juga terlibat dalam proyek penelitian
gabungan dari University of York, University of Leeds,
Badan Restorasi Gambut, dan Universitas Jambi. Menurut
rekan-rekan saya yang lebih ahli soal tanaman, durian
hutan yang ada di sini kemungkinan besar merupakan jenis
Durio graveolens yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan
sebagian Asia Tenggara. Ciri khas dari durian ini adalah
daun­nya yang membulat sempurna di kedua ujungnya,
dengan bagian atas hijau mengilap, serta bagian bawah
21 cokelat-tembaga dengan tekstur bersisik. Selain itu, buahnya
yang kecil, berduri rapat, serta dengan daging berwarna jingga
hingga merah menjadi salah satu penanda spesies tersebut.
Buah yang telah jatuh dan
pecah pun turut disantap oleh
hewan-hewan lain yang kurang
pandai memanjat pohon,
seperti tapir dan gajah.

Usut punya usut, beberapa masyarakat di kawasan ini


menyebut pohon tersebut sebagai “durian burung”. Nama
panggilan ini merujuk pada buahnya yang sering sering
dimakan oleh burung rangkong dan kangkareng, persis
seperti yang saya lihat di hutan. Sangking eratnya hubungan
kedua jenis tersebut, di beberapa daerah burung ini pun juga
sering disebut sebagai “enggang durian”.

Selain kangkareng, durian hutan ternyata juga menjadi


buah primadona bagi berbagai jenis satwa lain di hutan
ini. Menurut Pak Agus, buah durian ini juga menjadi
santapan lezat bagi berbagai jenis monyet, orangutan, owa,
serta beruang madu. Buah yang telah jatuh dan pecah pun
turut disantap oleh hewan-hewan lain yang kurang pandai
memanjat pohon, seperti tapir dan gajah.

“Bahkan kata orang, harimau pun suka makan buah ini.”

Nah, statusnya sebagai buah “primadona” bagi para satwa


di hutan menjadi keuntungan tersendiri bagi si durian
burung. Biji yang ikut termakan oleh satwa tersebut akan
terbawa hingga belasan kilometer sebelum dikeluarkan
bersama feses, sehingga dapat tersebar jauh dari pohon
22 induk sebelum tumbuh menjadi pohon baru. Selain itu,
beberapa enzim pencernaan di dalam perut satwa, seperti
kangkareng dan rangkong, juga terbukti dapat membantu
mempermudah proses germinasi (perkecambahan) biji,
sehingga bisa segera tumbuh setelah dikeluarkan dari tubuh
(Kinnaird & Brien, 2007).

Meskipun disenangi, durian ini ternyata cukup pilih-pilih


dalam memberikan daging buahnya yang lezat. Kulit
buahnya yang tebal dan berduri tajam membuat daging
buah tersebut cukup sulit diakses satwa berukuran kecil,
seperti bajing dan tupai, sehingga hanya hewan-hewan
jumbo saja yang bisa mengkonsumsinya. Hal ini merupakan
bentuk adaptasi untuk memastikan efektivitas penyebaran
biji durian tersebut. Karena ukurannya yang besar, hanya
hewan-hewan tertentu saja yang dapat menelan biji tersebut
dan membawanya jauh dari pohon induk (McGee, 2004).

DITANAM HINGGA KE FLORIDA,


HILANG DI NEGERI SENDIRI

Selain tumbuh secara liar, durian burung ternyata sudah


dibudidayakan di berbagai wilayah, seperti Brunei, Sarawak,
Sabah, Australia Utara, bahkan Florida. Meskipun tidak
sepopuler saudaranya, D. zibethinus, durian burung tetap
digemari, khususnya bagi mereka yang suka dengan rasa
durian, tapi tidak terlalu suka dengan aromanya yang kuat.

Menurut Departemen Agrikultur Malaysia (2017), terdapat


setidaknya satu varietas D. graveolens yang telah didaftarkan
secara resmi di National Crop List, yakni DQ2 Nyekak alias
DK8, meskipun beberapa peneliti meragukan bahwa varietas
ini berasal dari spesies D. graveolens (Gasik, 2013).

23 Di alam, durian ini pun sering mengalami kawin-silang alami


dengan D. zibethinus. Hasil dari kawin silang ini sering dise­
but sebagai durian siunggong atau durian suluk, dengan rasa
yang mirip dengan durian zibethinus, tapi memiliki aroma
yang kurang kuat seperti durian graveolens. Selain itu, duri­an
siunggong juga mewarisi rasa karamel terbakar yang men­
jadi ciri khas dari buah D. graveolens (O’Gara et al, 2004).

Sayangnya, popularitas durian tersebut tidak sejalan


dengan kondisinya di alam. Seiring dengan laju deforestrasi
yang semakin menjadi, habitat asli pohon ini pun selalu
berkurang dari tahun ke tahun.

Populasi berbagai jenis satwa yang berperan penting dalam


penyerbukan dan penyebaran bijinya pun terus menyusut,
baik akibat kerusakan hutan maupun perburuan liar. Pohon
ini pun masih dikategorikan sebagai “Not Evaluated” atau
belum dievaluasi dalam daftar merah IUCN (International
Union for Conservation of Nature), sebuah daftar yang sering
dijadikan rujukan tingkat keterancaman suatu spesies.

Kategori “Not Evaluated” ini bukan berarti spesies tersebut


tidak mengalami resiko kepunahan, melainkan akibat
minimnya penelitian tentang populasi dan keterancaman
jenis tersebut yang dipublikasikan secara ilmiah.

Di sisi lain, perlindungan yang diberikan untuk pohon


ini juga cukup minim. Pohon ini baru mendapat status
perlindungan resmi dari pemerintah Indonesia beberapa
bulan yang lalu, saat Kementerian Kehutanan dan Lingkungan
Hidup menerbitkan P.20/MenLHK/Setjen/Kum2/6/2018
yang berisi daftar jenis satwa dan tanaman dilindungi di
Indonesia. Hal ini menjamin larangan penebangan pohon
D. graveolens untuk keperluan apa pun, meskipun pada
praktiknya, upaya penegakan hukum untuk melindungi
spesies-spesies tersebut masih terbilang sangat kurang.
24
Beberapa minggu setelah pertemuan pertama saya dengan
durian burung, saya kembali berdiri di bawah pohon tinggi
tersebut. Kali ini, segerombolan beruk (Macaca nemestrina)
menjadi pihak yang berpesta di atas sana, mungkin bersama
seekor beruang madu (Helarctos malayanus) yang saya
lihat dalam perjalanan ke sini. Di tengah keterancaman
yang semakin meningkat, hewan-hewan ini terlihat begitu
berbahagia menikmati pesta durian di tengah rumahnya
yang semakin sempit. Saya hanya bisa berharap, pesta durian
hutan ini bisa terus berlangsung di bumi pertiwi. n

REFERENSI:

Gasik, Lindsay. 2013. “Durio Graveolens”, Year of the Durian. http://


yearofthedurian.com. Diakses pada 10 Oktober 2018.

IUCN. 2018. IUCN Red List of Threatened Species. http://iucnredlist.org.


Diakses pada 10 Oktober 2018.

Kinnaird, Margaret F., O’brien, Timothy G. 2007. The Ecology and


Conservation of Asian Hornbills: Farmer of the Forest. Chicago: The
University of Chicago Press.

McGree, Harold. 2004. On Food and Cooking (Revised Edition). New York:
Scribner.
25
O’Gara, E., Guest, D. I., Hassan, N. M. 2004. Occurence, Distribution and
Uyilisation of Durian Germplasm. Australian Center for International
Agricultural Research (ACIAR): 187-193.
DURIO KUTEJENSIS,
DURIAN UNIK DARI
TANAH BORNEO
YANG RAWAN PUNAH
ARIESKA PUTRI ABMI

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki


tanah paling subur di dunia. Sedemikian suburnya sampai
Koes Plus, dalam lagunya yang berjudul Kolam Susu
mengibaratkan tongkat kayu dan batu pun bisa menjadi
tanaman jika ada di negeri ini. Pengibaratan tersebut
tidak sepenuhnya salah. Karena kenyataannya, Indonesia
memang memiliki banyak sekali kekayaan hayati yang patut
dibanggakan.

Berbagai jenis hewan dan tumbuhan bisa dengan mudah


ditemukan di Indonesia. Bahkan, menurut Widjaja dkk.
(2014), kekayaan hayati darat Indonesia menempati
peringkat kedua yang paling banyak di dunia setelah Brasil.

Kalimantan menjadi satu dari ribuan pulau di Indonesia


yang menyumbangkan kekayaan hayati cukup banyak. Pulau
yang dulu disebut Borneo ini tak hanya punya wilayah hutan
yang luas, tetapi juga flora dan fauna endemik yang ikut
memperkaya biodiversitas1 di Indonesia. Satu di antaranya
26 adalah Durio kutejensis (Becc) Hassk.

1 Keanekaragaman hayati
Masyarakat setempat biasa menyebut Durio kutejensis dengan
nama durian lai. Sama seperti durian montong, durian merah,
dan jenis-jenis durian yang lain, pohon durian lai juga berasal
dari genus Durio, famili Malvaceae (sebelumnya Bombacaceae),
ordo Malvales, dan kelas Magnoliophyta. Hanya spesies mereka
yang berbeda, pohon durian lai termasuk ke dalam spesies
D. kutejensis, sedangkan spesies durian montong dan merah
masing-masing adalah D. zibethinus dan D. graveolens.

Sebagai tanaman dikotil, pohon durian lai memiliki jenis


akar tunggang. Bentuk daunnya elips, menyirip, dan
sedikit lebih besar dari pohon durian biasa. Panjangnya
bisa mencapai 20—25 cm, dengan lebar 5—7 cm. Pohon
endemik Kalimantan ini juga mempunyai bunga yang
warnanya bervariasi, mulai dari merah muda hingga merah
tua. Ukuran bunganya kurang lebih 10 cm, dengan kelopak
cantik yang berjumlah empat, lima, atau kelipatannya.

Batang pohon durian lai bercabang, berkambium, serta


dapat tumbuh hingga ukuran yang lumayan besar. Tinggi
pohon durian lai dewasa bisa sampai 24 meter, dan
diameternya kurang lebih 40 cm.

Tidak ada yang istimewa dari bentuk buah yang dihasilkan


oleh pohon durian lai. Seperti jenis durian pada umumnya,
buah pohon D. kutejensis bertipe kapsul, berbentuk lonjong,
dan berduri. Namun, duri kulit buah pohon durian lai cen­
derung tumpul dan pendek-pendek, hanya 1—1,5 cm saja.

Daging buah durian lai berwarna mencolok, mulai dari


kuning, oranye, hingga merah. Warna kuning sendiri
muncul karena kandungan karoten atau provitamin A dalam
27 buah ini yang sangat tinggi (Antarlina dkk., 2009). Bahkan,
dibandingkan dengan jenis durian lain, kandungan karoten
durian lai bisa 5 kali lipat lebih banyak (Wahdah dkk., 2003).
Tekstur daging buah durian lai juga lebih kering diban­
dingkan dengan daging buah durian jenis lain. Di dalamnya,
terdapat biji berbentuk lonjong dan berwarna cokelat
mengilap. Biji tersebut dilapisi aril2 yang lumayan tebal.

Aroma buah ini pun sama sekali tidak menyengat. Karena


hal itu jugalah banyak masyarakat awam yang mengira
durian lai tidak termasuk jenis durian. Mereka sering salah
kaprah menganggap durian lai hanya buah yang mirip
dengan durian. Padahal, aroma yang tidak menyengat sama
sekali itulah yang menjadi keunikan buah ini. Terlebih bagi
mereka yang tidak suka dengan durian karena baunya,
durian lai bisa dijadikan pilihan.

Soal rasa dan kualitas, buah yang biasa dipanen bulan


Desember-Januari ini tidak perlu diragukan lagi. Tidak
hanya tebal dan tanpa serat, buah pohon D. kutejensis
ini juga sangat manis. Tak ayal jika buah lai bukan cuma
digemari masyarakat setempat, tetapi juga mereka yang
tinggal di luar Kalimantan. Bahkan, menurut Dinas
Pertanian Provinsi Kalimantan Timur (2012), pemasaran
buah pohon durian ini sudah sampai ke Singapura.

Selain buahnya, bagian pohon durian lai lainnya juga


dapat dimanfaatkan oleh manusia. Bunga D. kutejensis
mengandung minyak atsiri dan vitamin C yang bermanfaat
sebagai antioksidan, antiseptik, dan antiinflamasi (anti­
radang), sehingga baik digunakan sebagai obat panas dalam.

Kulit batang pohon durian lai pun tidak mau ketinggalan,


bagian ini dapat diolah menjadi bioetanol dan bahan serat
alam (Atmoko, 2015). Batangnya juga biasa digunakan oleh
masyarakat di sekitarnya untuk membuat perkakas rumah
28
tangga dan kayu bakar.

2 Selaput biji yang berdaging, terbentuk dari ovum, bukan dari ovarium
Manfaat yang banyak dari hampir seluruh bagian D.
kutejensis membuat pohon ini sangat berpotensi menjadi
komoditas unggulan dari Indonesia, khususnya Kalimantan.
Belum lagi, pohon ini juga memiliki rasa toleransi yang
tinggi dengan berbagai tipe tanah. Ia bisa tumbuh dengan
baik di hampir semua tipe tanah, terlebih di dataran rendah
dengan ketinggian 50—300 mdpl. Namun tetap saja, jumlah
pohon durian lai di Kalimantan jauh lebih banyak, terlebih
di hutan lereng perbukitan yang mana menjadi habitat asli
tanaman ini (Rinaldi, 2014).

Malangnya, meskipun durian lai termasuk pohon yang


mudah ditanam di mana saja, jumlahnya di alam tetap
mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Fakta tidak
menyenangkan ini bahkan sudah dibuktikan dengan
masuknya D. kutejensis ke dalam daftar tumbuhan di
Indonesia yang telah berstatus langka oleh IUCN3. Dalam
data tersebut, jumlahnya sudah memasuki masa rawan
(vulnerable). Menurut Mogea dkk. (2001), masa rawan
adalah kategori pada takson yang tidak termasuk dalam
kategori kritis atau genting, tetapi mengalami risiko punah
yang tinggi dalam waktu dekat.

Kondisi tersebut terjadi bukan tanpa penyebab. Deforestasi4


yang terjadi terus-menerus membuat wilayah hutan di
Kalimantan sebagai habitat asli D. kutejensis mengalami
penurunan yang drastis. Pada tahun 2010 saja, Greenpeace5
mencatat luas hutan di pulau tersebut tinggal 25,5 juta
hektare dari yang sebelumnya mencapai 40,8 juta hektare.

Alasan penebangan hutan itu sendiri beragam, satu di


antaranya untuk membuka lahan baru, baik untuk tempat
29
3 International Union for Conservation of Nature
4 Penebangan hutan
5 Organisasi lingkungan global
tinggal maupun pertambangan. Dan apa pun alasannya,
deforestasi yang menyebabkan penurunan luas tersebut
secara langsung maupun tidak langsung berdampak besar
terhadap tumbuhan yang hidup di dalamnya, termasuk
pohon durian lai ini.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pohon durian


lai memang mudah tumbuh di banyak tempat. Akan tetapi,
masyarakat di luar Kalimantan tidak begitu mengenal
tanaman ini. Nama durian montong dan jenis-jenis durian
lain yang lebih tersohor membuat durian lai kurang dikenal.

Padahal, dilihat dari kualitas dan manfaatnya yang sangat


banyak, pohon durian lai layak untuk mendapatkan
perhatian yang sama besarnya dengan jenis durian lain.
Bahkan, jika dibudidayakan dengan baik, pohon durian lai
dapat menjadi komoditas unggulan yang dapat menambah
sumber pemasukan daerah maupun negara.

Beruntung, sejauh ini, upaya pelestarian D. kutejensis sudah


lumayan banyak dilakukan. Upaya pelestarian ex situ,
misalnya pemerintah daerah Kalimantan telah melakukan
pembudidayaan tanaman ini di Pusat Penelitian Hutan
Tropika Wanariset, Kalimantan Timur.

Cara ini dilakukan dengan mengumpulkan bibit pohon


durian lai yang tumbuh di hutan, lalu disemaikan di sana.
Proses yang sama juga dilakukan oleh Balitek KSDA6 pada
tahun 2013. Bibitnya dikumpulkan dari beberapa lokasi di
Kalimantan Timur, di antaranya Kabupaten Kutai Timur,
Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara, dan
Kabupaten Kutai Kartanegara (Mogea dkk., 2001).

30

6 Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam


Upaya pelestarian pohon durian lai ini juga bisa menggu­
nakan konsep ABG (Academic-Business-Government).
Akademisi bisa memperbanyak penelitian mengenai D.
kutejensis, seperti manfaatnya, proses pembudidayaannya,
dan lain-lain. Selain berguna untuk memperkaya referensi
ilmu pengetahuan, cara tersebut juga bisa menjadi salah
satu upaya untuk memperkenalkan pohon durian lai pada
kalangan yang lebih luas.

Usaha memopulerkan tersebut juga dapat dilakukan


oleh pengusaha. Bedanya, cara yang dilakukan adalah
membudidayakan dan memanfaatkan hasil pohon durian
lai menjadi komoditas yang bisa dijual dengan lebih kreatif.
Membuat olahan dari buah durian lai, misalnya.

Pemerintah sendiri dalam konsep ABG memiliki peran yang


penting, yaitu membantu akademisi dan pengusaha untuk
melancarkan upaya pelestarian tersebut, seperti membiayai
dan memfasilitasinya. Baik akademisi, pengusaha, dan
pemerintah juga bisa melakukan sosialisasi kepada
masyarakat awam mengenai D. kutejensis berbekal hasil
upaya yang masing-masing lakukan.

Barangkali dari mempopulerkan dan sosialisasi tersebut


dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap tanaman ini. Setidaknya, dampak terkecil yang bisa
diharapkan adalah masyarakat bisa menyadari eksistensi
durian lai. Hal ini menjadi penting karena bagaimana mau
ikut melestarikan kalau tahu saja tidak.

Bagi Anda yang belum pernah melihat pohon durian lai,


tanaman ini bisa ditemukan di beberapa tempat konservasi,
seperti Kebun Raya Bogor dan Baltek KSDA Kalimantan
31 Timur. Selain di tempat-tempat konservasi, tumbuhan
ini juga masih tumbuh di hutan Kalimantan meskipun
jumlahnya tidak cukup banyak.
Setelah mengerti banyaknya manfaat yang dapat diperoleh
dari D. kutejensis, tidak ada alasan bagi kita untuk
mengabaikannya begitu saja hingga mengalami kepunahan.
Terlebih, pohon durian lai merupakan endemik Indonesia
yang ikut memperkaya keanekaragaman hayati negeri ini.

Bukankah hal itu sesuatu yang membanggakan? Jadi,


tunggu apalagi? Lakukan apa saja yang Anda bisa untuk
melestarikan populasi durian lai. Karena punah tidaknya
pohon durian lai tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah dan komunitas tertentu yang peduli lingkungan,
melainkan kita semua, sebagai warga negara Indonesia. Kita
semua, sebagai manusia yang masih dan akan selamanya
hidup bergantung pada alam. n

DAFTAR PUSTAKA

Antarlina, S.S. 2009. Identifikasi sifat fisik dan kimia


buah-buahan lokal Kalimantan. Buletin

Plasma Nutfah, 15(2) : 80-90.

Atmoko, Tri. (2014). Potency and conservation of Wild


Durian of Kalimantan (Durio

kutejensis). Seminar Nasional Buah Tropika Nusantara


II, At Bukittinggi, Sumatera Barat, volume 1:436-446.

Mogea, P., dkk. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia.


Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.

Rinaldi, S.E. 2014. Potensi dan upaya konservasi lai


(Durio kutejensis) buah hutan Kalimantan.

Swara Samboja, 8(3) : 16-21.

Wahdah, R., Nisa, C. dan Langai, B.F. (2003).


Karakterisasi Sifat Fisik Buah dan Kandungan

32 Gizi Buah-buahan di Lahan Kering Kalimantan Selatan.


Buletin Plasma Nutfah 15(1): 80-90.

Widjaja, dkk. 2014. Kekinian Kekayaan Hayati Indonesia


2014. Jakarta: LIPI Press
33

Hutan tempat tumbuh durian burung


(Durio graveolens) di Jambi
(Foto : Panji Gusti Akbar)
EURYCOMA APICULATA,
POHON PASAK BUMI
LANGKA YANG
TERANCAM PUNAH
ROMATIO IRA AZHARI SILALAHI

Pasak Bumi merupakan salah satu hasil hutan asli di


Kalimantan Barat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Pasak Bumi berdaun runcing yang memiliki nama latin


Eurycoma apiculata adalah tumbuhan famili Simaroubaceae
yang dapat dijumpai di hutan primer dan sekunder Suma­
tera, Kalimantan, dan beberapa hutan lainnya di Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan


Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/Menlhk/Setjen/
Kum.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi, tumbuhan yang dikenal dengan nama Tongkat
Ali ini kondisi populasinya kini sudah dikategorikan sebagai
tumbuhan langka dengan status terkikis.

Permasalahan pada sisi ekologi adalah kelangkaan pasak


bumi terjadi karena beberapa faktor, yaitu faktor biologi
reproduksi, tipe benih, gangguan habitat pasak bumi serta
pemanfaatan pada bagian akar.
34
Seluruh bagian tumbuhan ini dapat dimanfaatkan sebagai
herbal yang memiliki berbagai macam khasiat. Banyaknya
manfaat dari pasak bumi ini, serta kecenderungan masyara­
kat mulai banyak beralih pada pengobatan tradisional,
menyebabkan tumbuhan pasak bumi mulai dibutuhkan
secara besar-besaran, senyawa aktif yang digunakan untuk
pengobatan lebih banyak berasal dari akar, hal ini mengaki­
batkan peningkatan pemanenan pasak bumi dan secara
tidak langsung berdampak pada berkurangnya populasi
pasak bumi di alam dan hutan yang menjadi habitat alami
tumbuhan ini rusak akibat pembalakan liar.

Kelangkaan populasi pasak bumi juga disebabkan oleh sulit­


nya pasak bumi berkembang secara generatif. Letak benang
sari yang lebih rendah dari pada kepala putik menyebabkan
proses penyerbukan pada tipe ini sulit dilakukan, proses pe­
nyerbukan hanya terjadi ketika ada vektor yang dapat meng­­ge­
rakkan bunga sehingga putik dan benangsari bertemu.

Pasak bumi memiliki tipe benih rekalsitran. Persentase


perkecambahan pasak bumi yang terjadi di habitat alaminya
sangat rendah serta membutuhkan waktu yang cukup lama,
hal ini disebabkan karena adanya embrio yang belum cukup
masak pada saat pemencaran.

Tingginya permintaan menyebabkan eksploitasi pasak


bumi di hutan meningkat, karena selama ini pemungutan
masih mengandalkan dari hutan alam. Hal ini menyebabkan
munculnya kontradiksi antara kepentingan pemanfaatan
secara ekonomi, kepentingan pelestarian pasak bumi, dan
kepentingan masyarakat sekitar dalam memenuhi kebu­
tuhan hidup mereka merupakan masalah yang harus segera
dicarikan jalan keluarnya. Hal ini sebelum keberadaan pasak
bumi yang statusnya langka tersebut terlanjur punah.
35
Menjadi penting saat ini untuk dapat menentukan kebijakan
dalam pengelolaan kelestarian pasak bumi baik secara
ekologi maupun kelestarian secara ekonomi sehingga
tuju­an konservasi pasak bumi dapat tercapai mengingat
ada­nya masalah ekologi, ekonomi dan sosial dalam
pemanfaatannya.

MORFOLOGI EURYCOMA APICULATA.

Eurycoma apiculata adalah pohon kecil yang tumbuh


dengan tinggi berkisar dari 1,5-10 m dan diameter batang
15 cm, dengan kulit batang yang sedikit kasar coklat
kekuningan dengan warna abu-abu. Daun tidak teratur di
bagian atas batang, dengan panjang dapat mencapai 40-55
cm, berbentuk majemuk menyirip (imparipinnate), rachis
yang ramping dan memiliki sekitar 19 pasang anak daun
yang sessile, berukuran 8-14 cm x 2-4 cm, biasanya agak
kasar, tipis, tumpul sampai acuminate, bagian dasar anak
daun bulat, dan sub-akut pada ujung daunnya, dengan urat
daun yang reticulate (reticulate venation).

Folioles menunjukkan 16 pasang urat sekunder (secondery


nerves) yang diskrit. Bunga berwarna merah muda dan
kecil, memiliki empat buah kelopak bunga dengan gundul di
bagian dan sama lebar.

Stigmanya adalah sessile di atas ovarium yang pendek.


Buahnya ada yang sampai lima buah, berwarna oranye,
bertangkai pendek, berbentuk bulat panjang (ellipsoid), bulat
telur, dan ukuran 1 cm x 5 mm - 1,7 – 2 cm x 1,2 cm. Pasak
bumi memiliki sistem perakaran tunggang. Akar pasak bumi
juga tidak terdapat banir yang mengelilinginya.

36 Melihat percabangan dan bentuknya, akar pasak bumi


berbentuk seperti tombak yang pangkalnya besar meruncing
ke ujung dengan serabut-serabut akar sebagai percabangan.
ANATOMI

Pengamatan anatomi pasak bumi jenis Eurycoma apiculata,


sampai saat ini hanya dilaporkan oleh Hussin (2006) yaitu
sebagai berikut:
- Epidermis: dinding anticlinal bawah daun bergelombang,
dinding antiklinal abaxial lurus; stomata anomocytic
sampai cyclocytic.
- Lamina: epidermis (adaxial) 1-1,5 kali lebih tinggi dari
lebar, epidermis abaxial 2 kali lebih lebar dari tinggi,
hipodermis terlihat secara parsial di bawah epidermis
abaxial; palisade satu lapisan sel, mesofil spons 10-12
lapis sel, sclereids daun bercabang-cabang melalui
palisade dan mesofil spons. kristal tidak ada; trikoma:
sederhana, uniseluler.
- Pelepah daun (midrib) : permukaan adaxial cembung,
permukaan abaxial sedikit berbusur. Sel kolenchyma
tidak ada. Jaringan pembuluh bertipe tertutup,
sclerenchyma terputus-putus; trikoma: sederhana,
uniseluler. Sel sekretori tidak terlihat, kristal tidak ada
- Tangkai daun (petiol): berbentuk bundar, jaringan
bagian luar terdiri dari 7-8 lapisan sel parenkim. Jaringan
pembuluh: berjenis tertutup, ada central vascular bundle;
sclerenchyma terdiri dari sekelompok serat, trikoma
sederhana, uniseluler, kristal tidak ada
- Rachis: berbentuk sub-melingkar; Struktur seperti
tangkai daun; trikoma sederhana, uniseluler

KANDUNGAN SENYAWA
BIO-AKTIF DAN MANFAAT
37
Sampai saat ini belum dilaporkan apa kandungan bio-aktif
yang ada di dalam Eurycoma apiculata, tetapi kami menduga
tidak jauh berbeda dengan kandungan senyawa bioaktif dari
Eurycoma longifolia.

Beberapa laporan menyatakan, akar Eurycoma apiculata


yang direbus dalam air panas, dapat bersifat sebagai
afrodisiak, mengurangi nyeri pada tulang, dan untuk
mengurangi demam, diare, dan mengempis pembengkakan.

Sedangkan rebusan daun dapat digunakan untuk


menghilangkan gatal-gatal pada kulit, menyembuhkan luka
dan bisul, serta mengurangi sakit kepala.

Seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan sebagai herbal yang


memiliki berbagai macam khasiat, diantaranya adalah:
mem­bantu proses pembakaran lemak, melancarkan sistem
peredaran darah, mengobati malaria, gusi berdarah, pem­
bengkakan kelenjar, batuk kronis, demam, diare, mengatasi
tekanan darah tinggi, mencegah kanker, dan berbagai
manfaat lainnya.

Pasak bumi juga sebagai sumber potensial senyawa


antibakteri. Ekstrak alkohol dan aseton dari daun dan batang
pasak bumi mengandung agen antibakteri.

Selain beberapa penelitian ekstrak akar pasak bumi juga


menunjukkan aktivitas antimalaria. Ekstrak Pasak Bumi
terbukti mampu pula untuk pengobatan osteoporosis laki-
laki sitotoksik, anti leukemia, antimalaria, dan disentri.

UPAYA KONSERVASI PASAK BUMI

Dari hasil penelitian Solfan et al. (2011) teknik perbanyakan


38 pasak bumi melalui stek batang menunjukkan persentase
tumbuh sangat rendah yaitu hanya 45 persen dari seluruh
sampel penelitian. Sakai et al. (2002) menyatakan, faktor
lingkungan yang berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan tanaman adalah kelembaban, temperatur dan
intensitas cahaya.

Teknik in vitro atau kultur jaringan merupakan salah satu


teknik yang dapat digunakan dalam perbanyakan tumbuhan
pasak bumi. Kelebihan kultur jaringan antara lain siklus
perbanyakan tanaman menjadi lebih cepat, memungkinkan
perbanyakan masal bagi tanaman yang sulit atau tidak
mungkin diperbanyak secara generatif dan vegetatif, dan
bibit yang dihasilkan termasuk bibit yang sehat.

Upaya konservasi pasak bumi ini tidak akan berjalan


tanpa adanya kesadaran dari diri kita sendiri sebelum ini
dinyatakan punah dan menjadi tumbuhan yang hanya bisa
dikenang saja.

Mari kita bantu upaya konservasi yang telah dilakukan


oleh pemerintah dan juga dengan melakukan penelitian-
penelitian terkait dengan upaya konservasi Pasak Bumi
mulai dari pembibitan hingga tumbuh besar. n

DAFTAR PUSTAKA

Zulfahmi. 2015. Keragaman Pasak Bumi di Hutan Larangan Adat


Rumbio. Pekanbaru: CV. Mulia Indah Kemala.

Siti Masitoh kartikawati. 2014. Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma


longifolia Jack) Ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
39
Dina Setyaningrum, dkk. 2017. “Morfologi Pasak Bumi (Eurycoma
Sp) di Dusun Benuah Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat”.
Jurnal Hutan Lestari. 5(2).
HARTA DUNIA
DI UJUNG JAWA
GIGIN GINANJAR

FLORA ENDEMIK BANTEN

Masyarakat selama ini hanya mengenal Taman Nasional


Ujung Kulon (TNUK) di Kabupaten Pandeglang, Banten,
sebagai kawasan perlindungan badak jawa. Padahal, kawas­
an konservasi yang berada di ujung barat Pulau Jawa ini
menyimpan keanekaragaman hayati berupa tumbuhan ende­
mik Provinsi Banten yang belum diketahui banyak orang.

Beragamnya jenis flora dan fauna yang berpadu dengan


keindahan alam dan eksotisme budaya menjadikan kawasan
TNUK sebagai destinasi wisata yang unik dan menarik
bagi wisatawan domestik (4.189 pengunjung) maupun
mancanegara. BPS Kabupaten Pandeglang pada 2017
mencatat total 3.146.761 pengunjung datang ke TNUK.

Pesonanya sebagai salah satu kawasan wisata dan konser­vasi


menjadikan TNUK menjadi kawasan yang diminati untuk
banyak tujuan. Mulai dari kegiatan penelitian, pendidikan, pe­
lestarian, budaya, pariwisata, dan perlindungan plasma nutfah.

TNUK ditetapkan UNESCO sebagai situs warisan dunia


pada tahun 1991 dengan luas 122.956 Ha. Penghuninya
40 merupakan berbagai jenis satwa dilindungi, seperti owa
jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis aigula), dan anjing
hutan (Cuon alpinus javanicus) yang menjadikan TNUK
sebagai habitatnya. Kendati demikian, masih banyak spesies
unik dan menarik di TNUK yang belum terekspose dengan
baik. Salah satunya adalah tumbuhan kokoleceran (Vatica
bantamensis) yang merupakan endemik Provinsi Banten
(BLHD, 2014).

Penelitian terhadap kokoleceran juga masih jarang karena


minat yang masih kurang. Akhirnya, minim pula data
mengenai keberadaan dan jumlah pasti kokoleceran di
TNUK. Hal ini jugalah yang menjadi sebab tumbuhan
endemik ini sulit ditemui.

Tumbuhan V. bantamensis termasuk ke dalam suku


Dipterocarpaceae yang secara geografis memiliki persebaran
yang tidak merata di Indonesia (Bawa, 1998). Suku
Dipterocarpaceae memiliki nilai ekonomi yang tinggi dari
hasil kayu. Selain itu, juga dapat menghasilkan oleoresin,
damar, kamper dan tanin (Appanah, 1998).

Populasi Dipterocarpaceae dewasa ini mengalami degradasi


yang sangat cepat karena pembalakan yang terjadi dalam
skala besar, termasuk di Indonesia (Purwaningsih, 2004).
Sebagai anggota dari Dipterocarpaceae, V. bantamensis mam­
pu tumbuh hingga 30 meter dengan bulu-bulu halus dan
lebat pada batang mudanya. Bentuk daunnya menjorong
dengan tangkai daun mencapai 2,2 cm, sementara tipe per­
bun­gaannya berada di ujung atau ketiak daun. Buahnya
berbentuk bulat dengan tangkai buah pendek sekitar 5 mm.
Tanaman ini berkembang biak melalui biji, sementara ukuran
biji buahnya berdiameter 1 cm (Sudiyana et al., 2017).

Nama spesies bantamensis diambil dari kata “Banten” tempo


dulu, yaitu Residentie Van Bantam. Di bawah pemerintahan
41 Jawa Barat era kolonial, secara historis ini merupakan nama
awal dari Provinsi Banten. Sistem binomial dari tumbuhan
ini, yaitu Vatica bantamensis (Hassk.) Benth.& Hook.ex Miq.
Berdasarkan status IUCN (2009), V. bantamensis berada
pada kategori terancam punah (endangered), sehingga perlu
upaya konservasi dan pelestarian yang segera dan mendesak
untuk menyelamatkannya.

PERMASALAHAN DAN TANTANGAN

Masyarakat Taman Jaya dan Ujung Jaya di Kecamatan


Sumur dekat kawasan TNUK telah lebih dulu menjadikan
tumbuhan kokoleceran sebagai bahan bangunan dan
bahan baku pembuatan kapal tradisional. Adanya aktivitas
konservasi di sekitar lingkungan masyarakat setempat sering
disalahartikan oleh masyarakat sebagai upaya pembatasan
penggunaan sumber daya alam di sekitar mereka.

Kurangnya informasi mengenai status perlindungan dan


sosialisasi yang baik kepada masyarakat di sekitar kawasan
berimbas pada pengetahuan masyarat yang masih saja
mengeksploitasi tumbuhan V. bantamensis secara berlebihan
hingga saat ini. Aktivitas ini sering menyebabkan terjadinya
konflik antara masyarakat dengan petugas dan kerugian di
antara keduanya.

Proses sosialisasi yang kurang memang rentan menyebabkan


kesalahpahaman pada masyarakat. Oleh karena itu, perlu
adanya pendekatan yang lebih baik sebagai langkah
mengedukasi masyarakat yang menggantungkan hidupnya
pada kawasan sekitar konservasi.

Menciptakan komunikasi yang baik ini memang bukan per­


kara mudah dan perlu waktu yang tidak sebentar. Petugas
42 harus menjadi bagian dari masyarakat terlebih dahulu un­tuk
menyampaikan maksud dan tujuannya. Perilaku eksklusif
petugas ketika sosialiasi dan komunikasi sebaiknya dihindari.
Adanya aktivitas konservasi di
sekitar lingkungan masyarakat
setempat sering disalahartikan
oleh masyarakat sebagai upaya
pembatasan penggunaan sumber
daya alam di sekitar mereka.

Pengetahuan mengenai peran ekologis, ekonomi, sosial, dan


budaya dari perlindungan tumbuhan V. bantamensis oleh
masyarakat hanya akan berhasil jika petugas menjadi bagian
dari masyarakat itu sendiri.

Permasalahan lainnya di TNUK adalah masalah ekologis


dengan tumbuhnya spesies invasif dari langkap (Arenga
obtusifolia) pada habitat asli V. bantamensis. Seperti
diketahui, melimpahnya tumbuhan invasif akan merugikan
penghuni asli. Dampaknya, hilangnya spesies asli yang tidak
dapat bersaing dalam kompetisi.

Kemampuan eksploitatif langkap dalam memperoleh


sumber daya yang lebih efisien mendorong dominasi di
Kawasan TNUK, sehingga langkap memiliki sebaran yang
cukup luas dan tahan terhadap lingkungan dengan sangat
baik, karena tumbuh dan bereproduksi dengan baik.

Bayangkan saja, luas kawasan TNUK hanya 122.956 Ha.


Di dalamnya terdapat koloni langkap yang menginvasi
kawasan dengan jumlah yang cukup mengkhawatirkan bagi
kelangsungan V. bantamensis dan satwa endemik Rhinoceros
sondaicus.
43
Menurut Fachrul (2008), jika terdapat suatu spesies
mendominasi spesies lainnya di dalam struktur komunitas,
maka struktur komunitas tidak bisa stabil. Hal ini terjadi
karena adanya tekanan ekologi (stres).

Tumbuhan langkap (A. obtusifolia) hidup mengelompok,


sehingga tumbuhan lain tidak mampu tumbuh di bawah
atau sekitar kanopi langkap. Menurut Indriyanto (2010),
perilaku berkelompok terjadi karena tiga hal, yaitu 1)
Kondisi lingkungan yang tidak seragam, 2) Pola reproduksi
tumbuhan tertentu dalam suatu populasi, misalnya ada
yang menetap bersama dengan induknya, dan 3) Perilaku
tumbuhan tertentu yang cenderung membentuk kesatuan
atau membentuk koloni.

Pola distribusi mengelompok (clumped), menurut Odum


(1983), merupakan hal yang paling umum terjadi di alam.
Pola ini menyebabkan tumbuhan dalam populasi saling
melindungi dan cenderung mempertahankan diri dari faktor
lain yang tidak menguntungkan (Junaedi et al., 2010).

Tumbuhan yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik


dan luas akan memiliki penyebaran yang luas. Sebaliknya,
tumbuhan yang kisaran toleransinya sempit (sensitif), maka
penyebarannya juga sempit. Jenis interaksi dari tumbuhan
langkap (A. obtusifolia) dengan tumbuhan kokoleceran (V.
bantamensis), yaitu interaksi interspesifik.

Interaksi jenis ini merupakan interaksi antar tumbuhan


berbeda jenis dalam relung ekologi (niche) yang sama dan
memiliki kebutuhan yang sama terhadap sumber daya yang
persediaannya terbatas. Adanya interaksi semacam ini tidak
menjadi masalah dan lumrah terjadi di alam. Baru akan
menjadi masalah jika jumlah dan kemampuan tumbuhan
dalam menguasai sumber daya tidak sebanding.
44
Kokoleceran memiliki perkembangan yang jauh lambat
dibandingkan langkap. Akibatnya, kompetisi semacam ini
dalam jangka panjang akan menyebabkan kepunahan lokal
dari tumbuhan yang kalah dalam kompetisi.

Begon et al. (2006) menjelaskan bahwa interaksi berupa


kompetisi pada tahap yang lebih lanjut dapat berpengaruh
terhadap distribusi dan evolusi tumbuhan tersebut. Ketika
populasi dua atau lebih tumbuhan dalam komunitas
mengandalkan sumber daya yang sama, maka mereka
bisa rentan terhadap kompetisi. Pengaruh kompetisi antar
tumbuhan, misalnya, ketika kepadatan populasi tumbuhan
tertentu meningkat, maka tumbuhan tersebut memiliki
akses ke setiap bagian sumber daya.

Di lain pihak, bila tumbuhan yang lain dibatasi dalam peng­gu­


naan sumber daya, maka angka kematian (mortalitas) me­­ning­
kat dan kelahiran (natalitas) menurun. Selain itu, per­­tumbuhan
populasi juga akan ikut mengalami penurun­an dari tumbuhan
yang kalah dalam persaingan (Campbel et al., 2004).

STRATEGI PELESTARIAN

Saya menganggap perlu adanya strategi dalam melestarikan


V. bantamensis. Berharap pada kebaikan alam agar V.
bantamensis dapat berkembang dengan baik di alam dengan
sendirinya tentu bukan tindakan tepat. Apalagi mengingat
V. bantamensis merupakan tumbuhan yang lambat dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Belum lagi tumbuhan
endemik Provinsi Banten ini statusnya sudah di ujung tan­
duk. Oleh sebab itu, campur tangan manusia untuk keber­
langsungan hidup V. bantamensis merupakan tindakan tepat.

Perlu diketahui, tumbuhan Langkap (A. obtusifolia) meru­


45 pakan tumbuhan invasif yang juga mengganggu tumbuhan
pakan alami badak jawa (Rhinoceros sondaicus), sehingga
membasminya seperti peribahasa sekali menepuk dua
lalat kena sekaligus. Maksudnya, dengan membasmi A.
obtusifolia, maka akan menguntungkan V. bantamensis, juga
pakan alami badak di alam liarnya.

Penelitian yang telah dilakukan Rahayu (2009) menyatakan


bahwa perbanyakan dengan biji tumbuhan V. bantamensis
tidak efektif, karena tumbuhan jarang berbunga dan
berbuah, sehingga perlu upaya lain yang lebih tinggi tingkat
keberhasilannya. Cara yang dimaksud antara lain stek pucuk
dan kultur jaringan.

Langkah ini dipilih untuk memperoleh bibit yang baik dan


cepat tumbuh dalam jumlah besar. Upaya lainnya yang da­pat
dilakukan untuk menjaga V. bantamensis tetap lestari adalah
diperbanyak dengan cara ex situ. Cara ini dapat dila­kukan di
pusat konservasi tumbuhan kebun raya dan kebun raya daerah,
seperti Kebun Raya Bogor dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jika upaya ex situ berhasil, maka pe­merintah atau
instansi dapat melakukan kerja sama pengelolaan kawasan
secara in situ dengan melakukan reintro­duksi jenis tumbuhan
langka kembali ke habitat aslinya.

Upaya memasyarakatkan tumbuhan V. bantamensis ini


juga sangat penting sebagai upaya perlindungan tumbuhan
endemik berbasis masyarakat. Langkah konkret dari upaya
ini, misalnya ketika sepasang suami istri yang hendak
menikah atau satu anak lahir, maka mereka harus menanam
tumbuhan V. bantamensis sebagai bentuk terima kasih
kepada Tuhan melalui alam yang menyediakan sumber daya
alam yang melimpah.

Namun, strategi ini tentu harus disiapkan matang oleh


pemerintah, sehingga tidak terkesan menjadi penghalang
46 bagi mereka yang hendak naik jenjang mengikat janji suci
ataupun memperoleh buah hati. Sebagai keikutsertaan
pemerintah dalam upaya baik ini, yaitu dengan menjadikan
tumbuhan V. bantamensis sebagai buah tangan atau
cenderamata yang diberikan kepada setiap peserta dalam
kegiatan yang diselenggarakan.

Gerakan semacam ini tentu efektif dalam menjaga dan


melindungi tumbuhan endemik apa pun di Indonesia tidak
hanya tumbuhan V. bantamensis, persoalannya mau atau
tidak? Apakah upaya ini butuh biaya? Tentu saja. Namun,
dengan upaya kita bersama tentu keberhasilan cara ini
bukan hanya isapan jempol belaka.

Pada akhirnya V. bantamensis bukan hanya sekedar flora.


Lebih dari itu, tumbuhan V. bantamensis merupakan harta
dunia yang diwariskan kepada negeri bernama Indonesia.
Tugas kita yang sesungguhnya untuk mensyukuri,
menjaga, dan memelihara. Darinya kita belajar makna
tangguh, sabar, dan toleran. Ketangguhannya ditunjukkan
dengan kemampuan dalam bertahan hidup dari berbagai
peristiwa penebangan liar yang melanda. Kesabarannya
ditunjukan dengan perilaku pertumbuhannya yang relatif
lama dibandingkan tumbuhan lainnya. Sementara itu,
toleransinya ditunjukan dengan hidup bersama-sama dalam
keberagaman dengan banyak jenis flora lainnya di TNUK.
Semoga Tuhan menjaga dan memeliharanya. n

DAFTAR RUJUKAN
Apanah, S. 1998. A review of Dipterocarps: Taxonomy,
Ecology and Silviculture.
Center for International Forestty Research, Bogor:1-4.
47
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang. 2017.
Pandeglang dalam Angka. BPS
Kabupaten Pandeglang: Pandeglang-Banten.
Bawa. K.S 1998. Dipterocarp org/search.
Biologi As Window to the
Understanding of Tropical Junaidi, E., E. P. Sagala & Joko.
2010. Kelimpahan Populasi Dan
Forest Structure. Annual Review
Pola Distribusi
of Ecology and Systematics 1 (9):
347-370. Remis (Corbicula Sp) di Sungai
Begon, M., Townsend C.R., dan Borang Kabupaten Banyuasin.
Herper, J.L. 2006. Ecology from Jurnal Penelitian Sains 1 (3):
Individual to 50-54.
Ecosystem. Forth Edition. Purwaningsih. 2004.
Malden. Blawell Publising. Sebaran Ekologi Jenis-Jenis
Bada LingkunGan Hidup Dipterocarpaceae di Indonesia.
Daerah. 2014. Konservasi dan Jurnal Biodiversitas, 5 (2): 89-95.
Rehabilitasi Kerusakan SDA.
Rahayu, E. M. D. 2009.
Diakses pada http://blhd. Upaya Konservasi Ex Situ
bantenprov.go.id/ (Minggu 2
Dipterocarpaceae di Kebun Raya
September 2018)
Campbell, N. A., J. B. Reece & L. Bogor. Buletin Kebun Raya Bogor
G. Mitchell. 2004. Biologi Edisi Indonesia, 12 (2): 69-78.
Kelima Jilid II Terj
Sudiyanti, S., Rusbana, T.B.,
dari Biology. 5th oleh Safitri, dan Susiyanti. 2017. Inisiasi
Amelia. Erlangga, Bandung: Tunas Kokoleceran (Vatica
xxi+436 hlm.
bantamensis) pada berbagai Jenis
Dodo., Sopian., & Suherman. Media Tanam dan Konsentrasi
2014. Laporan Kegiatan BAP (Benzyl Amino Purine)
Penanaman Vatica secara In Vitro. Jurnal Agro 4
Bantamensis, Heritiera (1): 1-14.
parcariacea, dan Diospyros
macrophylla di Taman Nasional Odum, E.P. 1971. Fundamentals
Ujung Kulon Banten, PKT Kebun Of Ecology. W.B. Sounders,
Raya-LIPI, Bogor. Philadelphia, London and
Toronto: 574 pp.
Dodo. 2015. Keanekaragaman
dan Konservasi Tumbuhan Buah Peraturan Pemerintah RI No.108
Langka Indonesia. Tahun 2015 Tentang Pengelolaan
Warta Kebun Raya, 13 (2): 37-42. Kawasan Suaka

Fachrul, M. F. 2008. Metode Alam dan Kawasan Pelestarian


Sampling Bioekologi. Bumi Alam
Aksara, Jakarta: viii +198 hlm.
WWF Ujung Kulon. 2012.
Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan.
Arenga Distribution Map Ujung
48 Bumi Aksara: Jakarta.
Kulon National Park.
IUCN. 2009. IUCN list of
Endangered Species. Diakses pada Diakses dari laman www.wwf.
laman http://www.iucnredlist. or.id, 3 September 2018
49
Resin dari pohon damar mata kucing
(Shorea javanica) di Lampung
(Foto : Dina Pertiwi dan Wawan Stawan)
INDIKASI GEOGRAFIS
SEBAGAI SOLUSI
KONSERVASI
SHOREA JAVANICA
KRISDAYANTI

Pada 2015, penulis bersama rekan Rekayasa Kehutanan (RK)


ITB melakukan penelitian di Pesisir Krui. Tepatnya di Desa
Pahmungan, Kecamatan Krui (Pesisir Tengah), Kabupaten
Pesisir Barat, Provinsi Lampung.

Shorea javanica atau dikenal dengan damar mata-kucing


S. javanica merupakan tanaman yang dominan tumbuh di
repong (kebun) damar. Sekitar 60% dari kawasan Repong
Damar ditanami oleh pohon ini.

S. javanica merupakan tanaman primadona di Pesisir Krui.


Bahkan masyarakat Pesisir Krui membudidayakannya secara
turun-temurun. Sehingga banyak di antara pohon tersebut
yang usianya sudah mencapai puluhan tahun. Tinggi pohon
mencapai 50meter dengan diameter batang utama 1,7 meter.

Pohon ini dibudidayakan untuk diambil getahnya. Orang-


orang terdahulu menggunakan getahnya untuk penerangan.
Seiring dengan perkembangan zaman, getah S. javanica
50 banyak dibutuhkan dalam berbagai bidang industri,
misalnya industri cat dan pernis, kosmetik, bahkan industri
farmasi. Getah S. javanica merupakan komoditas potensial
sebagai barang ekspor, utamanya dari Pesisir Krui. Dilansir
dari www.wwf.or.id, 80% dari total produksi getah damar
mata kucing nasional berasal dari Pesisir Krui.

Di balik begitu potensialnya S. javanica, ternyata pohon ini


masuk ke dalam dokumen SRAK (Strategi dan Rencana
Aksi Konservasi), yang menyatakan bahwa pohon tersebut
merupakan salah satu dari 12 jenis pohon yang diprioritas­
kan untuk dikonservasi.

Berbicara tentang konservasi, tentu yang diingat adalah


pohon yang langka atau jarang ditemukan. Mungkin
Anda akan bertanya- tanya, mengapa pohon yang
dominan tumbuh di Repong Damar Pesisir Krui ini perlu
dikonservasi? Menurut penelaahan penulis terdapat tiga
faktor utama mengapa S. javanica perlu dikonservasi.

1 Rendahnya frekuensi S. javanica untuk bereproduksi.


Dalam penelitian H de Foresta dkk (2000) disebutkan,
musim berbunga S. Javanica terjadi 4-5 tahun sekali.
Oleh karena itu, tidak setiap tahun dapat dipastikan ada
semai yang tumbuh.

Pada penelitian yang penulis lakukan tahun 2015, di


kawasan Repong Damar Desa Pahmungan sama sekali
tidak ditemukan adanya semai pohon ini. Begitu pula
penelitian yang dilakukan oleh Yulizar dkk (2014) di
tempat yang sama, data kelimpahan semai yang didapat
sangat rendah. Namun, pada penelitian yang dilakukan
oleh Restu dkk (2018), semai S. javanica men­dominasi
kawasan Repong Damar Pahmungan diban­dingkan de­
ngan semai jenis pohon yang lain. Hal ini membuktikan
51 bahwa memang frekuensi reproduksi S. javanica rendah.
Rendahnya frekuensi reproduksi S. javanica dapat meng­
ancam kelestariannya, sehingga perlu dikonservasi.
Harga getah pada 2018 berkisar
antara Rp14.000–15.000/kg.
Harga ini masih fluktuatif,
bahkan bisa lebih rendah. Banyak
petani yang mengeluh karena hal
ini. Petani berharap harga getah
dapat mencapai Rp20.000/kg.

2 Penebangan. Penebangan pohon S. javanica untuk


diambil kayunya masih banyak terjadi di Pesisir Krui.
Biasanya masyarakat terpaksa menebang karena terdesak
kebutuhan ekonomi.

Penebangan pohon juga didukung oleh banyaknya per­


mintaan kayu jenis ini. Hal ini tentu sangat mengancam
kelestarian pohon tersebut. Meskipun aturan larangan
penebangan pohon S. javanica sudah tertera dalam
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. S.459/Menhut-
VI/2010, implementasinya belum berjalan dengan baik.

Tindakan konservasi terhadap pohon jenis ini akan


semakin sulit dilakukan jika berbenturan dengan
desakan kebutuhan ekonomi masyarakat.

3 Rendahnya harga getah dan tidak ada usaha terpadu


untuk menaikkan harga dan menstabilkannya. Dilansir
dari Rilis. ID, harga getah pada 2018 hanya berkisar
antara Rp14.000–15.000/kg. Harga ini masih fluktuatif,
bahkan bisa lebih rendah dari harga tersebut. Banyak
petani yang mengeluh karena hal ini.

52 Petani berharap harga getah dapat mencapai Rp20.000/


kg. Namun, dalam rantai perdagangan, petani tidak me­
miliki posisi untuk menentukan harga. Selama ini harga
ditentukan oleh konsumen dan pasar, sehingga mau
tidak mau petani menjual getahnya dengan harga murah.

Akibat dari harga yang kurang menguntungkan petani,


generasi muda tidak berminat meneruskan usaha budi
daya S.javanica. Mereka lebih memilih untuk merantau
keluar kota, bahkan keluar pulau untuk bekerja di
pabrik-pabrik dan menjadi seorang karyawan.

Meskipun ini bukan faktor yang secara langsung


menghilangkan keberadaan pohon tersebut, ini tetap
jadi salah satu alasan kepunahan pohon ini. Jika sudah
tidak ada lagi minat membudidayakannya, maka tidak
akan ada penanaman kembali. Sementara selama ini
tumbuhnya pohon ini di Repong Damar karena ditanam
dan dipelihara oleh para petani dan jarang sekali yang
tumbuh secara alami.

Dari ketiga faktor yang mengancam kelestarian S. javanica,


faktor ketigalah yang perlu mendapat perhatian khusus.
Faktor harga merupakan faktor yang menentukan kesejah­
teraan masyarakat. Sedangkan kesejahteraan masyarakat
merupakan kunci untuk mengkonservasi tumbuhan.

Terdapat cara untuk mengkonservasi S. javanica dengan


cara mensejahterakan masyarakat sekitar, yakni dengan
menaikkan harga getahnya. Salah satunya, mendaftarkan
S. javanica sebagai Indikasi Geografis. Hal yang sama juga
diusulkan oleh Moelyono dkk pada 2015 lalu. Namun,
pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan dari sudut
pandang yang berbeda.

Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan


53 daerah asal suatu barang, yang mana faktor geografis
termasuk keadaan alamnya. Faktor manusia atau keduanya
berpengaruh terhadap kualitas dan karakteristik produk.
Indikasi Geografis sama halnya seperti “hak paten” yang
disematkan untuk suatu karya. Biasanya hak paten dimiliki
oleh individu, sedangkan “hak paten” Indikasi Geografis
dimiliki oleh suatu kelompok.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 Pasal


6 tentang Kriteria dan Persyaratan Indikasi Geografis, secara
garis besar untuk mendaftarkan suatu komoditas sebagai
Indi­kasi Geografis paling tidak terdapat tiga hal penting
yang harus terpenuhi, yaitu
1 Uraian tentang pengaruh geografis dan alam
terhadap kualitas dan karakteristik produk,
2 Uraian tentang pengaruh faktor manusia terhadap
kualitas dan karakteristik produk, dan
3 Uraian tentang bedanya kualitas dan karakteristik
produk dengan produk lain yang memiliki
kategori sama. S. javanica telah memenuhi ketiga
persyaratan tersebut.

Pertama, terkait dengan pengaruh geografis dan alam


terhadap kualitas dan karakteristik getah S. javanica dapat
dijelaskan dari persebaran alaminya.

Dilansir dari uses.plantnet-project.org, persebaran alami S.


javanica adalah Sumatera dan sebagian kecil di Jawa. Daerah
persebaran alami suatu tumbuhan merupakan tempat
tumbuh yang paling optimal agar tumbuhan tersebut bisa
tumbuh dan berkembang maksimal.

Termasuk dalam menghasilkan produk yang diinginkan,


seperti halnya S. javanica dalam menghasilkan getah.

Produsen terbesar getah S. javanica di Indonesia adalah


54 daerah Pesisir Krui. Hal tersebut membuktikan bahwa di
daerah inilah pohon tersebut tumbuh dengan sangat baik.
Jika dibandingkan dengan daerah Jawa, diduga S. javanica
lebih cocok tumbuh di daerah ini. Pesisir Krui merupakan
daerah yang berbukit, terjal, dan bergunung, yang mencapai
ketinggian 2.000 meter dpl. Kesuburan tanah di Pesisir
Krui relatif rendah. Sesuai dengan penelitian Moelyono
dkk (2015) bahwa S. javanica cocok tumbuh di tempat yang
berbukit dan terjal. Dengan demikian faktor geografis dan
alam Pesisir Krui sangat berpengaruh terhadap kualitas dan
karakteristik getah.

Kedua, penjelasan terkait pengaruh faktor manusia terhadap


kualitas dan karakteristik getah S. javanica dapat dijelaskan
melalui adat dan tradisi masyarakat Krui dalam praktik
budi daya. Sejak ratusan tahun lalu hingga kini, masyarakat
Pesisir Krui membudidayakan S. javanica.

Orang terdahulu membuka hutan untuk dijadikan kebun,


tapi membiarkan pohon tersebut tetap tumbuh. Mengetahui
getahnya dapat disadap dan dimanfaatkan, akhirnya mereka
membudidayakannya.

Melalui proses yang sangat panjang mereka dapat mene­


mukan cara bagaimana membudidayakan pohon tersebut
dengan baik, sehingga dapat menghasilkan getah terbaik.
Pengetahuan tersebut diwariskan secara turun-temurun.
Contohnya, bentuk koakan/perlukaan pada pohon.

Produsen terbesar getah S.


javanica di Indonesia adalah
daerah Pesisir Krui. Sesuai
dengan penelitian Moelyono
55 dkk (2015) bahwa S. javanica
cocok tumbuh di tempat
yang berbukit dan terjal.
Masyarakat Pesisir Krui kebanyakan membuat koakan
berbentuk segitiga. Tentu bentuk ini bukan sembarang
bentuk yang dibuat. Diduga bentuk ini dapat memudahkan
petani mengambil sadapan dan membentuk perlukaan baru
pada pohon.

Contoh lainnya adalah masyarakat Pesisir Krui telah


mengetahui bahwa minimal umur pohon yang bisa disadap
adalah 20 tahun dan waktu penyadapannya paling tidak 1
bulan sekali. Pengetahuan seperti ini biasanya didapatkan
melalui proses trial and error yang berlangsung bertahun-
tahun. Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa pengaruh
faktor manusia sangat berpengaruh terhadap kualitas dan
karakteristik getah S. javanica.

Ketiga, terkait dengan hal yang membedakan getah S.


javanica dengan produk pada kategori sama dapat dijelaskan
sebagai berikut, dilansir dari www.worldagroforestry.org
bahwa dari sekitar 40 jenis yang menghasilkan getah damar
mata kucing, hanya dua yang menghasilkan getah terbaik
yaitu S. javanica dan Hopea dryobalanoides.

S. javanica memiliki keunggulan yang tidak dimiliki


oleh yang lain, yaitu memiliki kandungan β-resene yang
relatif sedikit (dilansir dari uses.plantnet-project.org).
β-resene merupakan senyawa yang mirip lilin yang dapat
menyebabkan pernis menjadi kusam. Dengan demikian,
getah pohon ini dapat unggul dalam industri pernis.

Berdasarkan ketiga hal tersebut di atas, maka sudah


semestinya para stakeholder segera mempercepat
pendaftaran S. javanica sebagai Indikasi Geografis Pesisir
Krui. Penyusunan Buku Persyaratan Indikasi Geografis dan
56 pembentukan organisasi masyarakat sebagai perwakilan
masyarakat Krui yang nantinya menjadi pemegang “hak
paten”, menjadi agenda yang harus diprioritaskan.
Hal terpenting dari didaftarkannya S. javanica sebagai
Indikasi Geografis adalah hak eksklusif ekonomi yang dapat
dinikmati oleh masyarakat.

Suatu produk yang didaftarkan sebagai Indikasi Geografis


dapat memiliki standardisasi harga sesuai dengan kualitas
produk. Ketika harga getah meningkat, kesejahteraan
masyarakat juga meningkat.

Lebih dari itu, hal ini juga akan membangkitkan kebanggaan


masyarakat dalam mengelola repong damar sebagai warisan
leluhur. Ditambah dengan reputasi getah S. javanica akan
meningkat dalam perdagangan internasional.

Budidaya pohon ini akan menjadi usaha menjanjikan bagi


masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan beramai-
ramai membudidayakannya kembali. Pada akhirnya dari
semua yang telah dijelaskan, Indikasi Geografis merupakan
solusi dalam konservasi S. javanica. n

(Bandung, 21 September 2018)

57
KAHUI
MARIO TEDJA SAPUTRA, FARAH FITRIAH
DAN FITRI NUR’AENI

Kayu kahui, salah satu jenis pohon asli Indonesia. Tanaman


yang memiliki nama latin Shorea balangeran merupakan
tanaman khas Kalimantan yang tergolong ke dalam kelom­
pok Meranti (meranti rawa). Masyarakat lokal, khususnya
orang dayak ma’anyan sering menyebutnya dengan sebutan
kakau “KAHUI”.

Kahui atau Pohon Balangeran memiliki populasi yang kini


tidak banyak dijumpai di Kalimantan. Kahui memiliki ke­
ting­gian hingga 20-25 meter dengan diameter mencapai 60
cm. Kahui dewasa memiliki kulit berwarna merah tua sam­
pai berwarna terlihat kehitam-hitaman, dengan tebal 1-3 cm.

Kahui tumbuh tersebar pada hutan primer tropis basah yang


sewaktu-waktu tergenang air, pada tanah liat berpasir, tanah
liat dengan tipe curah hujan A-B pada ketinggian 0-100 m di
permukaan laut.

Berbeda dengan jenis pohon lain, Kahui memiliki pertum­


buhan yang relatif lebih cepat dan seringkali tumbuh berke­
lompok.

58 Pohon ini tergolong kayu kayu keras berbobot ringan hingga


berat-sedang. Berat jenisnya berkisar antara 0,3-0,86 pada
kandungan air 15 persen.
Ciri khas kayu ini berwarna merah muda pucat, merah
muda kecoklatan. Kayu jenis ini dapat dibedakan lebih lanjut
atas meranti merah muda lebih ringan dan meranti merah
tua yang lebih berat.

Menurut kekuatannya, jenis-jenis meranti merah dapat


digolongkan dalam kelas kuat II-IV. Sedangkan keawetannya
tergolong ke dalam kelas III-IV. Kayu Kahui ini adalah salah
satu jenis pohon yang digemari, karena Kayu Kahui ini
tergolong kayu keras berkualitas.

Kayu Kahui memiliki banyak keistimewaan, diantaranya


istimewa karena memiliki batang lurus, berdiameter besar,
tinggi bebas cabang.

Pohon Kahui ini sangat minim cacat mata kayu. Hal itu dise­
babkan karena memiliki kemampuan pruning, yaitu pembe­
basan cabang pohon alami secara swadaya dan mandiri.

Kahui, jenis tanaman yang cukup potensial untuk


dikembangkan di hutan rawa gambut. Jenis tersebut
termasuk jenis pohon komersial yang pada umumnya
terdapat secara berkelompok.

Namun, siapa sangka dibalik keistimewaan yang disuguhkan


oleh kahui, ternyata tersimpan sejumlah masalah besar yang
harus diselesaikan bersama.

Potensi hutan rawa gambut seluas 2.267.880 ha di Kalimantan


Tengah kini ditengrai tidak mampu lagi memerankan fungsi
ekologisnya secara optimal.

Hal ini disebabkan karena telah terjadi degradasi dan keru­


sakan hutan yang mengarah kepada kerusakan ekosistem.
59 Kepunahan spesies ini semakin tampak di pelupuk mata.
Eksploitasi, penebangan kayu yang kurang terkontrol meng­
aki­batkan terjadinya kerusakan vegetasi hutan rawa gambut.
Kendala utama keberhasilan
rehabilitasi di lahan gambut
adalah kondisi biofisik lahan
yang tidak mendukung untuk
jenis tanaman yang ditanam.
Salah satu penyebabnya adalah
kebakaran hutan.

Serta disebabkan pula ada kebakaran hutan yang terus


terjadi secara berulang ketika musim kemarau tiba membuat
populasi kahui maupun bibit menyusut drastis.

Apalagi, Kahui termasuk pohon yang sulit berkembang


di tempat yang memang bukan habitat asli dari pohon
tersebut. Pohon ini termasuk vegetasi yang berkembang
cepat. Namun, karena perkembangan yang membutuhkan
perhatian serta perawatan khusus membuat masyarakat
enggan untuk membudidayakan jenis ini.

Di samping itu, kahui ini dianggap tidak potensial untuk


dikembangkan karena fungsi dari pohon ini hanya
digunakan sebagai bahan bangunan jadi masyarakat
setempat jarang sekali ada yang mengembangkannya.

Dalam degradasi karena ada pembukaan kanopi hutan,


penurunan dan pengatusan air serta kebakaran hutan
kerusakan ekosistem lahan gambut di antaranya sebagai
bagian dari dampak proyek PLG sejuta hektar.

Pembuatan kanal-kanal dan penebangan hutan dalam


60 proyek ini telah mengakibatkan drainase yang berlebihan
yang menyebabkan terjadinya pengatusan air dan proses
dekomposisi yang berjalan cepat.
Penurunan muka air muka tanah gambut, sedangkan pem­
balakan hutan berlebihan oleh oknum yang tidak bertang­
gung jawab mengakibatkan kerusakan vegetasi hutan rawa
gambut.

Pada musim kering, penurunan muka air tanah dan keru­


sakan vegetasi hutan mengakibatkan kerawanan terjadinya
kebakaran. Kebakaran yang terjadi pada hutan dan lahan
gambut memperberat terjadinya kerusakan hutan rawa
gambut dan upaya pemulihannya.

Pohon Kahui merupakan salah satu jenis asli pada habitat


rawa gambut. Jenis ini prospektif ditanam di lahan gambut,
khususnya ditanam dalam rangka rehabilitasi hutan rawa
gambut, bahkan untuk tujuan pembangunan hutan tanaman
produksi kayu pertukangan.

Kendala utama keberhasilan rehabilitasi di lahan gambut


adalah kondisi biofisik lahan yang tidak mendukung untuk
jenis tanaman yang ditanam. Salah satu penyebabnya adalah
kebakaran hutan yang masih marak terjadi dan sering
berulangkali setiap musim kering. Kebakaran menyebabkan
berkurangnya permukaan gambut dan terjadi penurunan
permukaan gambut.

Pada musim penghujan menyebabkan kondisi lahan


tergenang. Penyebab tergenangnya lahan rawa gambut
bekas terbakar yaitu yaitu terjadinya penurunan permukaan
gambut atau yang sering di sebut sebagai subsidense yang
merupakan hasil dari oksidasi dan dekomposisi, serta
berkurangnya kapasitas menyerap air.

Kondisi lahan gambut yang tergenang memberi pengaruh


61 yang tidak baik untuk pertumbuhan awal tanaman karena
bibit yang tidak dapat bertoleransi pada kondisi tergenang
dalam waktu lama.
Jadi keberhasilan dari rehabilitasi lahan ini memiliki
kemungkinan yang relatif kecil untuk berhasil.

Untuk memulai rehabilitasi lingkungan diawali dengan


kegiatan pengamatan terhadap dimensi tanaman dan
kondisi lingkungan tempat tumbuh. Salah satu parameter
kondisi lingkungan adalah informasi tingkat kematangan
gambut, yang memuat informasi tentang persentase
kandungan serat.

Tingkat kematangan ini dapat diukur dengan menggunakan


metode tabung suntik, dan untuk mengatasi akibat dari
kerusakan hutan, terutama menyelamatkan populasi Pohon
Kahui dari jurang kepunahan, tentu diperlukan usaha
bersama untuk melestarikannya.

Walaupun banyak kendala yang menjadi pokok masalah


dalam proses penanganan hal ini.

Kendala utama keberhasilan rehabilitasi di lahan gambut


adalah kondisi biofisik lahan yang tidak mendukung.
Kebakaran yang terjadi pada hutan dan lahan gambut
menjadi titik berat terjadinya kerusakan hutan rawa gambut
dan upaya pemulihannya.

Oleh karena itu, diharapkan partisipasi dari berbagai lapisan


masyarakat untuk ikut andil dalam upaya melestarikan
hutan dan khususnya hutan alami atau habitat asli dari
Pohon Kahui

Karena, pengembangbiakan Pohon Kahui sangat sulit dan


butuh perlakuan khusus sebab pohon ini tidak bisa tumbuh
pada semua kawasan hutan di Indonesia.

62 Pohon Kahui ini hanya dapat tumbuh pada tanah liat


berpasir tanah liat dengan tipe curah hujan A-B pada
ketinggian 0-100 m di permukaan laut. Oleh sebab itu,
pentingnya kita menjaga kelestarian pohon ini agar tidak
punah dan hilang dari kawasan hutan Indonesia terutama di
Kalimantan.

Adapun tindakan yang dapat dilakukan dalam rangka


pelestarian terhadap tanaman Shorea balangeran ini yaitu
dengan menanam kembali Pohon Kahui (reboisasi) dan
kapada pemerintah dapat menyokong atau membantu
masyarakat dalam hal ini dapat melalui memberikan bibit
tanaman Shorea balangeran secara cuma-cuma atau dapat
pula dengan menyediakan lahan kosong sebagai tempat
penanaman pohon ini sehingga rehabilitasi terhadap lahan
gambut ini dapat terealisasikan. n

63
KELESTARIAN
DAMAR MATA KUCING
DI MASYARAKAT KRUI
LAMPUNG
DEBI MASTHURA PUTRI, RAZI WAHYUNI

Kekayaan Indonesia dibuktikan dengan adanya berbagai


jenis pohon yang kaya akan manfaatnya. Ukuran kekayaan
pohon Indonesia jangan hanya tinggal nama akan tetapi
harus ada secara nyata. Kaum muda milenial Indonesia
harus sadar terhadap kelestarian pohon endemik Indonesia
sebagai kunci kehidupan masyarakat Indonesia.

Pohon endemik Indonesia yang ada di wilayah pesisir barat


Lampung adalah damar mata kucing (Shorea javanica).
Penanaman damar dimulai sekitar 1927, setelah kunjungan
dua ulama terkenal setempat ke Singapura yang yakin akan
prospek cerah pasar damar dan pulang untuk membangun
perkebunan.

Data tertulis yang ada hanyalah catatan Rappard yang


mengaku menemukan 70 ha kebun damar di sekitar Krui
dan di antara pohon tersebut ada yang berumur sedikitnya
50 tahun. Menurutnya, kebun pertama ditanam sekitar
tahun 1885 (Foresta dkk, 2000).
64
Penduduk Pesisir Krui merupakan salah satu keturunan
suku asli Lampung tua yang berasal dari sekitar Danau
Ranau. Mereka datang ke Pesisir Krui sejak kira-kira 450
tahun silam, yang selanjutnya membangun kampung-
kampung permanen di muara-muara sungai serta mengusa­
hakan perladangan gilir-balik di daerah perbukitan. Mereka
juga mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menanam lada.

Damar mata kucing menyebar terbatas secara alami di wila­


yah Sumatra (di pesisir barat, mulai dari Aceh selatan; dan di
pesisir timur mulai dari Palembang ke selatan).

Deskripsi pohon damar di kawasan kebun damar tersebut


memiliki tinggi rata-rata 20–30 m dengan diameter
20–30cm. Tajuk pohon tua membulat atau serupa kubah,
memiliki percabangan simpodial. Buah berbentuk bulat
telur dengan ujung runcing.

Pertumbuhan terbaik terdapat pada lereng-lereng gunung


yang drainasenya baik dengan ketinggian antara 300–1200m.
Damar mata kucing berbuah sepanjang tahun terutama pada
bulan Mei, Agustus, dan Oktober. Famili Dipterocarpaceae
ini umumnya tumbuh pada tanah latosol, podsolik merah
kuning, dan podsolik kuning dengan tipe iklim A atau B.

Budidaya damar sangat berbeda dengan silvikultur


monokultur. Ketika damar ditanam maka tumbuh berbagai
jenis pohon buah-buahan, pohon kayu-kayuan, jenis-jenis
palem, bambu, dan sebagainya yang sengaja ditanam dan
dirawat di kebun.

Selain itu terdapat pula sejumlah tumbuhan liar yang berasal


dari hutan primer ataupun dari hutan sekunder. Aneka
jenis kombinasi yang khas ini menghasilkan komunitas
tumbuhan dengan berbagai struktur dan fungsi.
65
Di bawah kanopi dengan puncak ketinggian sekitar 40 m
yang didominasi oleh tingkat pohon, antara lain pohon
damar dan pohon durian, terdapat beberapa kelompok
pohon buah-buahan seperti duku, manggis, dan rambutan
yang memadati ruang pada ketinggian 10 sampai 20 meter.

Masyarakat lokal menyebut tanaman damar dengan sebutan


ghepong damar atau dalam bahasa nasional repong damar.

Menurut Dinas Perindustrian Lampung Barat, di Krui


terdapat sekitar 1.750.000 pohom damar produktif dengan
luas 17.500 Ha. Damar mata kucing merupakan salah satu
ciri khas Kabupaten Pesisir Barat dan Provinsi Lampung
pada umumnya.

Masyarakat lokal pesisir barat sampai saat ini masih


memiliki pohon damar mata kucing di wilayahnya. Alasan
mereka adalah karena damar mata kucing menjadi tanaman
yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian mere­
ka. Selain aspek ekonomi, hasil yang diberikan damar mata
kucing membawa manfaat yang luas terhadap dinamika
kehidupan masyarakat lokal secara sosial dan ekologi.

Hasil yang dapat diperoleh secara rutin dari pohon tersebut


adalah resinnya. Resin, cairan getah lengket yang dipanen
dari beberapa jenis pohon hutan, merupakan produk dagang
tertua dari hutan alam Asia Tenggara.

Spesimen resin dapat ditemukan di situs-situs prasejarah,


mem­buktikan bahwa kegiatan pengumpulan hasil hutan
sudah sejak lama dilakukan. Menurut penelitian bahwa aspek
eko­nomi masyarakat dari segi pendapatan yang terendah
sampai tertinggi yaitu Rp45.000–Rp9.000.000 per bulan. Harga
damar di pasaran berkisar Rp19.000 per kg–Rp23.000 per kg.

66 Luas kebun damar yang dimiliki masyarakat yaitu dari 0,5–4


Ha dan pemanenan damar oleh masyarakat per bulan dari
hasil damar yaitu dari 15–150 kg per bulan.
Air yang merupakan kebutuhan
hidup primer manusia senantiasa
mengalir tanpa harus menggali
sedalam-dalamnya adalah bagian dari
keberadaaan damar mata kucing.

Aspek sosial dan budaya masyarakat dideskripsikan dengan


adanya upacara adat seperti upacara pernikahan dan
kematian. Petuah-petuah adat tentang pohon damar tidak
ada. Larangan menebang pohon damar pada masyarakat
ada, tetapi masyarakat terpaksa menebangnya karena
terdesak kebutuhan ekonomi.

Pohon damar yang boleh ditebang yaitu berkisar lebih dari


30–100 tahun ketika pohon damar sudah tidak produktif
lagi. Pohon damar yang tidak produktif dapat dijual ke
pengepul panglong atau langsung ke konsumen. Pohon
damar yang tidak produktif dijual dengan harga dari
Rp500.000–Rp. 2.000.000 per batang.

Repong damar yang berada di Krui selain memiliki fungsi


secara sosial dan budaya, juga memiliki aspek ekologi yang
sangat penting. Air yang merupakan kebutuhan hidup
primer manusia senantiasa mengalir tanpa harus menggali
sedalam-dalamnya adalah bagian dari keberadaaan damar
mata kucing.

Menjaga siklus hidrologi agar tetap baik, sebagai pengatur


iklim mikro. Fauna yang terdapat di kebun damar pun
sangat beragam, seperti monyet ekor panjang, siamang, rusa,
dan burung-burung yang beraneka ragam.
67
Ketika berada di kawasan kebun damar sangat mirip dengan
berada di kawasan hutan primer.
Memanen resin damar tidak semudah
yang dibayangkan, harus memanjat
sampai puluhan meter yang hanya
menggunakan rotan dibentuk seperti
sabuk sebagai alat pemanjat. Semua
anggota badan bekerja, bahkan
konsentrasi harus dijaga.

Permasalahan yang saat ini terjadi adalah generasi penerus


penjaga damar semakin lama menurun. Hal ini disampaikan
langsung oleh masyarakat lokal Krui bahwa kaum muda saat
ini akan jauh lebih suka merantau dan mencari pekerjaan
di luar sana. Dampak yang ditimbulkan dengan tragedi ini
terancamnya sumber daya manusia yang akan mengelola
damar mata kucing.

Kearifan lokal yang saya lihat di Krui adalah semakin


rimbun kebun damarnya akan semakin tinggi produktivitas
resin damar yang dihasilkan. Ketika kaum muda mulai
merantau dan jauh dari kampungnya maka kearifan lokal di
atas akan hilang.

Tiga aspek fungsi damar mata kucing yang disampaikan


di atas tidak akan kita temui pada masa yang akan datang.
Artinya, masa yang akan datang, damar mata kucing akan
ditebang kayunya secara masif karena tiada lagi yang paham
apa itu resin dan bagaimana mengelolanya.

Masyarakat awam pasti akan mengatakan “pasti masih ada


kaum muda yang mau memanen resinnya, kan pasarnya
68 masih ada”. Di era gobalisasi saat ini mungkin tidak akan
banyak kaum muda yang memiliki keinginan bekerja di
perkebunan damar hingga memanen sendiri resin.
Memanen resin damar tidak semudah yang dibayangkan,
harus memanjat sampai puluhan meter yang hanya
menggunakan rotan dibentuk seperti sabuk sebagai alat
pemanjat. Semua anggota badan bekerja, bahkan konsentrasi
harus dijaga.

Permasalahan lain yang terjadi saat ini, mulai terjadi


penebangan pohon damar meski saat ini masih dalam
keadaan normal. Andai saja hal ini terus berlanjut, tentu saja
mengkhawatirkan. Sebab, bukan saja menghilangkan tradisi
kearifan lokal, tetapi pasti juga mengancam kelestarian
lingkungan hidup.

Selama ini, kebun damar dijadikan sebagai tembok bagi


Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Masyarakat tidak
memiliki ketertarikan merambah kawasan, karena mereka
memiliki hutan sendiri yaitu repong damar. Ketika tembok
ini runtuh, maka kawasan konservasi yang menjadi warisan
dunia itu akan perlahan rusak, karena masyarakat yang
tidak lagi punya kebun damar, pasti dengan cepat merangsek
hutan dan melakukan kerusakan. Demikian yang akan
terjadi apabila permasalahan tidak diantisipasi.

Hubungan antara damar mata kucing dan masyarakat


lokal sangat erat. Keberadaan damar mata kucing sangat
ditentukan masyarakat pemiliknya, begitu pun sebaliknya.
Kehidupan manusia tidak akan pernah jauh dari tiga hal
yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi. Tiga hal ini diberikan
secara langsung oleh kebun damar, contoh kearifan lokal
yang ada pada masyarakat adalah ketika masa panen tanam­
an pengisi damar seperti durian, manggis dan duku tiba.

69 Masyarakat akan membebaskan siapa pun mengambilnya


tanpa diatur oleh pemilik lahan, hal ini yang mewujudkan
ketenteraman bagi masyarakat lokal.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita artikan
bahwa damar mata kucing menjadi penopang kehidupan
masyarakat Krui. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan
untuk menjaga kelestarian repong damar, antara lain:

Kebijakan pemerintah menjadi hal yang penting untuk


menjaga kelestariannya. Menjadikan repong damar sebagai
kawasan khusus dan dijadikan sebagai ikon utama Lampung.

Peran orangtua menjelaskan kepada generasinya secara luas


mengenai pengelolaan tanaman damar mata kucing.

Peningkatan pendidikan bagi generasi penerus petani


damar.

Membuat sebuah kelompok tani hutan damar untuk


mengontrol aktivitas para petani damar. Kelompok tani
hutan damar dapat menjadi fasilitator bagi para akademisi
untuk memberikan penyuluhan tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan damar mata kucing.

Melanjutkan rutinitas agenda tahunan yang dapat menarik


simpati masyarakat luar seperti “festival panjat damar”.
Secara psikologi akan membuat masyarakat semakin cinta
dan peduli terhadap kebun damar mereka.

Kelestarian damar mata kucing mutlak terjadi karena kerja


sama berbagai stake holder. Oleh karena itu, bersama-sama
menjaga apa yang kita punya agar tetap ada. Sesuatu yang
hilang hanya akan mejadi cerita sesal di batin dan berat
untuk mengembalikannya n

70
71
Penampakan tajuk pohon Singkawang
(Shorea singkawang) (Foto : Mira Ermawati)
KETIKA KAPUR BARUS
DARI SUMATRA JADI
PRIMADONA SAUDAGAR
EROPA DAN ASIA
FITRIANTI DAN NELDA FITRI

Kayu kapur (Dryobalanops sumatrensis) adalah pohon


yang khas dan langka yang tumbuh di hutan Dipterocarp
di Sumatera dan Kalimantan. Dryobalanops sumatrensis
merupakan spesies pohon yang termasuk ke dalam suku
Dipterocarpaeceae. Dipterocarpaeceae merupakan satu dari
sembilan suku yang berada di dalam ordo Malvales.

D. sumatrensis berhabitat di hutan dataran rendah antara


70 hingga 350 meter dan berada pada ketinggian 300 mpdl
. Pohon D. sumatrensis mempunyai ukuran yang sangat
besar dan tinggi. Diameter batangnya bisa mencapai 70–200
cm dengan tinggi pohon tumbuh hingga mencapai 60 m,
dengan batang lurus dan silindris. Kulit pohonnya berwarna
cokelat kekuning-kuningan dan cokelat kemerahan
pada bagian dalam batang pohon. Daun kapur tunggal
dan berseling, memiliki stipula di sisi ketiak, dan pada
permukaan daunnya mengilap.

72 Pada saat pohonnya dipotong akan menghasilkan bau kapur


barus yang aromatik. Pohon kapur barus (D. sumatrensis)
ini memiliki beberapa keunggulan yang sangat penting
karena dari satu batang pohonnya dapat dihasilkan beragam
komoditas yang bernilai ekonomi tinggi.

Sayangnya, di daerah Sumatra, pohon kapur semakin


sulit ditemukan pada habitatnya aslinya. Pohon kapur
barus ini termasuk salah satu tanaman langka yang berada
di Indonesia bahkan IUCN (International Union For
Conservation Of Natural Forest) Redlist memasukkannya ke
dalam status konservasi Vulnerable atau rentan punah.

Status ini merupakan status yang keterancamannya berada


pada tingkatan ketiga paling tinggi sebelum status punah.
Tumbuhan ini kebanyakan tumbuh di hutan Dipterocarp
campuran hingga ketinggian 300 mdpl. Penyebaran D.
sumatrensis di Sumatra tersebar di daerah Sumatera Utara,
Aceh, Riau, dan Sumatera Barat.

Di Sumatera Utara, pohon ini dahulunya sangat terkenal


sebagai penghasil kapur barus, sehingga ada satu daerah
yang dinamai kota Barus. Barus menjadi pusat perdagangan
komoditas kapur barus saudagar dunia, dari Tiongkok
sampai kawasan Laut Tengah meliputi Indochina.

Dulunya, catatan sejarah pernah menyebutkan bahwa kapur


barus telah menjadi barang yang berharga dan bernilai
sangat penting sehingga mampu menarik perhatian banyak
orang Eropa dan Timur Tengah untuk berdagang ke Barus.
Bahkan, dulu Marco Polo yang merupakan seorang saudagar
dan penjelajah berkebangsaan Italia mengatakan bahwa,
harga kapur barus sebanding dan harga emas dengan berat
yang sama.

Kapur barus dari pohon kapur ini telah menjadi komoditas


73 perdagangan international sejak abad ke-7 Masehi.
Kelangkaan D. sumatrensis ini diakibatkan penebangan
untuk mendapatkan kristal kapur barus di dalamnya.
Ancaman lainnya diakibatkan oleh kerusakan hutan dan
kebakaran hutan serta konversi lahan menjadi perkebunan
sawit. Sebagai dampak tingginya harga dan permintaan
kapur barus pada waktu itu, ketidaktahuan masyarakat
setempat tentang pengetahuan bahwa di dalam batang
semua pohon kapur tidak selamanya harus dapat di temukan
kristal kapur barus, maka mampu memicu terjadinya
intensitas yang tinggi terhadap penebangan pohon tersebut.

Di samping itu, aktivitas illegal logging dan kebakaran hutan


turut pula berkontribusi terhadap kemerosotan populasi
pohon langka ini secara drastis. Kemerosotan populasi
D. sumatrensis secara drastis telah terjadi, berbagai upaya
pelestarian untuk mengembalikan ke kondisi lebih bagus
telah banyak diupayakan pemerintah dengan pembentukan
cagar alam, tahura dan lain-lain.

Pada era 1980-an di mana wilayah Kabupaten Aceh


Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam yang terkenal
dengan julukan Petro Dolar, karena usaha swasta terhadap
penebangan kayu secara liar, sehingga Kayu Kapur atau
Kamper Singkil (sebutan orang Singkil ) sudah terancam
punah dan sudah sulit ditemukan di hutan, hingga kegiatan
pembalakan tersebut pun terhenti semenjak dilakukan
moratorium logging oleh Gubernur Aceh.

Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Aceh


Singkil, menetapkan sebuah kawasan hutan yang terletak di
kawasan Kedabuhan, Desa Jontor, Kecamatan Penanggalan
menjadi salah satu kawasan konservasi Cagar Alam Kayu
Kapur Barus itu menjadi kawasan konservasi baru dengan
menetapkan menjadi kawasan konservasi Taman Hutan Raya
74 (Tahura) Kayu Kapur, Lae Kombih dengan luas area 1.486 Ha
sekaligus menjadikannya salah satu ikon daerah yang berada
di perbatasan Aceh wilayah pantai barat selatan itu. Jelasnya,
Pada masa peradaban Mesir
kuno (kerajaan Firaun),
kayu kapur Singkil begitu
tersohor, sehingga Barus dan
Singkil selalu didatangi oleh
pedagang–pedagang Eropa
dan Arab untuk membeli
batang kayu kapur dan kristal
kapur yang dihasilkan dari
getah kayu kapur sendiri.

kawasan konservasi Tahura Lae Kombih adalah habitat kayu


kapur singkil yang masih tersisa di dunia saat ini.

Pada tahun 2012, dilakukan kegiatan penjelajahan


tepatnya di Provinsi Aceh yang berlokasi di Cagar Alam
Bukit Kapur, Kota Subulussalam, di mana sampai saat
ini berstatus sebagai kawasan berkapur. Hutan kapur di
Subulussalam berada pada ketinggian 250-430 mdpl. Lokasi
D. sumatrensis berada di pinggiran jalan raya provinsi yang
menghubungkan Subulussalam, Aceh dengan Pakpak Barat,
Sumut, dengan kondisi medan yang cukup terjal.

Nama cagar alam yang berada di kota Subulussalam adalah


Tahura Lae Kombih yang merupakan sisa pohon kapur di
dunia. Tahura Lae Kombih adalah sebuah kawasan hutan
konservasi kayu kapur yang tepatnya berada di Kedabuhan
Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam.
75
Pada masa peradaban Mesir kuno (kerajaan Firaun), kayu
kapur Singkil begitu tersohor, sehingga Barus dan Singkil
selalu didatangi oleh pedagang–pedagang Eropa dan Arab
untuk membeli batang kayu kapur dan kristal kapur yang
dihasilkan dari getah kayu kapur sendiri.

Terkhusus, Mesir yang selalu menjadi langganan pengepul


kristal-kristal getah kayu kapur atau dikenal pada masa
itu dengan sebutan kapur barus. Getah yang berada pada
tumbuhan ini merupakan salah satu rempah-rempah yang
diincar oleh Eropa dan Mesir. Sebagaimana disebutkan di
dalam sejarah, selain untuk bahan-bahan kimia lainnya,
Mesir juga menjadikan kristal kapur barus sebagai
kebutuhan penngawetan jenazah (mumi).

Sehingga pada masa itu, wilayah Barus dan Aceh Singkil


mengalami kejayaan perdagangan dunia yang ramai
dikunjungi pedagang dari berbagai belahan negeri di dunia,
selain bahan pengawet mayat kayu kapur atau kapur barus
juga kerap dijadikan sebagai bahan obat-obatan lainnya.

Penilaian D. sumatrensis sebagai salah satu jenis kelompok


Dipterocarpaceae bernilai ekonomi yang tinggi, karena
hampir sebagian besar organ dari tumbuhan ini bisa
digunakan dan manfaatkan untuk keperluan manusia.

Beragam manfaat kapur barus telah digunakan untuk


keperluan manusia, di antaranya orang-orang Cina dulunya,
menggunakan kapur barus sebagai penguat (tonikum),
dan untuk radang mata. Masyarakat di wilayah Mesir
memanfaatkan kapur barus sebagai pengawet jasad manusia
yang telah meninggal dengan cara melumurinya di sekujur
tubuh mayat tersebut.

Dryobalanopa sumatrensis penghasil kayu yang sangat baik,


76 dan tahan terhadap serangan jamur. Pohon yang tumbuh
relatif cepat. Kulit kayu digunakan secara lokal untuk
dinding dan lantai rumah.
Tak hanya di Indonesia, kapur barus dikenal oleh pedagang
Mesir, Arab, dan Timur Tengah lainnya sejak abad ke-7
Masehi, kapur barus digunakan untuk melumuri jenazah
dan sebagai bahan baku obat-obatan dan parfum.

Kristal putih yang menjadi komponen penyusun kapur


barus berasal dari pohon D. sumatrensis ini memiliki
kandungan yang berkhasiat untuk mengobati berbagai jenis
penyakit karena kapur barus mengandung minyak atsiri
dan mengandung senyawa analgesic, afrodisiak, tonikum,
antioksidan yang tinggi, antiseptik yang sangat baik untuk
kesehatan. n

77
KOKOLECERAN,
FLORA ENDEMIK
DI TANAH JAWARA
GALANG BAGJA ANANDA

Provinsi Banten merupakan kawasan yang berada paling


ujung di sebelah Barat Pulau Jawa, telah memisahkan
dirinya dari Provinsi Jawa Barat sekitar 19 tahun yang
lalu, tepatnya pada tahun 2000. Provinsi Banten sendiri
merupakan metamorfosis dari keresidenan (Residentie Van
Bantam) yang memiliki peran strategis pada era kolonial
atau sebelum kemerdekaan.

Banten tempo dulu memiliki kekayaan alam yang melimpah


ruah, khususnya pertanian dan perkebunan, juga hasil
bumi. Kekayaan alam ini menjadi aset bangsa yang perlu
dijaga dan dilestarikan karena keberadaanya saat ini mulai
mengkhawatirkan. Tidak begitu banyak orang yang tahu
bahwa Provinsi Banten memiliki kekayaan alam berupa
tumbuhan asli yaitu kokoleceran (Vatica bantamensis).

Kokoleceran secara khusus hanya terdapat di Provinsi Banten


(Whitten dkk, 1996), tepatnya di Taman Nasional Ujung Kulon,
Kabupaten Pandeglang dengan jarak tempuh perjalanan
sekitar 7 jam atau sekitar 240 kilometer dari ibu kota, Jakarta.

78 Tumbuhan kokoleceran (Vatica bantamensis) menjadi


tumbuhan yang ditetapkan Badan Lingkungan Hidup
Daerah (2014) sebagai tumbuhan endemik Provinsi Banten.
Keberadaannya dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup nomor 20 tahun 2018 dan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor 57 tahun 2008. Statusnya berada
pada kategori terancam punah (endangered) berdasarkan
pada International Union for Conservation of Nature (IUCN)
tahun 2009, karena sejak 1998 tidak ada lagi penelitian
mengenai tumbuhan ini (Sudiyanti dkk, 2017).

Berangkat dari kondisi dan keprihatinan ini, perlindungan


tumbuhan endemik Provinsi Banten ini dilakukan segera
sebagai upaya penyelamatan. Masyarakat perlu tahu, anak,
dan cucu kita dimasa yang akan datang juga perlu tahu
bahwa Provinsi Banten memiliki flora yang menjadi maskot
sekaligus menjadi kebanggaan warga masyarakatnya.

Tumbuhan kokoleceran termasuk famili Dipterocapaceae.


Rata-rata anggota famili Dipterocapaceae memiliki usia
berbunga setelah usianya mencapai 15-30 tahun, usia dewasa
tumbuhan ini sekitar 60 tahun dan lama hidupnya kurang
lebih mencapai 250 tahun. Anggota famili Dipterocapaceae
ada juga yang mencapai usia seribu tahun (Asthon, 1982).

Dipterocapaceae merupakan jenis tumbuhan dengan tipe


yang menjulang, proses pembungaannya membutuhkan
sinar matahari yang banyak sehingga pada musim berbunga
seluruh tajuknya ikut berbunga (Purwaningsih, 2004).
Tumbuhan ini termasuk ke dalam tumbuhan yang memiliki
nilai ekonomi tinggi (Bawa, 1998).

Kokoleceran dapat tumbuh hingga tinggi 30 meter lebih.


Batang tumbuhan ini memiliki bulu yang halus dan lebat
pada umur mudanya, daunnya berbentuk jorong atau lanset,
dengan panjang tangkai daun sampai 2,2 sentimeter.
79
Kokoleceran memiliki bunga yang panjangnya mencapai 7
cm, berada di bagian ujung atau bagian ketiak daun dengan
tipe perbungaannya malai. Bentuk buahnya sendiri yaitu agak
bulat dengan ukuran tangkai yang tidak terlalu panjang sekitar
5 milimeter, biji dalam buah biasanya memiliki diameter 1
sentimeter. Secara alami, tumbuhan kokoleceran berkembang
dengan menggunakan organ biji, hal ini yang menyebabkan
tumbuhan ini relatif lama waktu pertumbuhannya.

Hasil penelitian Dodo dkk pada tahun 2013 menunjukkan


bahwa kokoleceran masih ditemukan di Taman Nasional
Ujung Kulon pada Jalur Ciuluran Sang Hyang Sirah dan
Lereng Timur dan Barat Gunung Payung pada ketinggian
368-488 mdpl. Parameter lingkungan pada kawasan tersebut
yaitu memiliki pH tanah 5,5-6,3, kelembaban tanah 55-
70%, kelembaban udara 80-90%, suhu udara 30-32oC, dan
intensitas cahaya matahari yang mencapai 75-90%.

Tingkat pertumbuhan V. bantamensis yang ditemukan


cukup bervariasi dengan 4 pohon, 3 tiang, 14 sapihan,
dan lebih dari 1.000 semai. Ukuran tertinggi pohon yang
berhasil diukur mencapai 25 meter dengan diameter batang
(dbh) terbesarnya yaitu 42 cm. Tumbuhan kokoleceran (V.
bantamensis) diketahui berasosiasi dengan tumbuhan lain
di Taman Nasional Ujung Kulon yaitu dengan tumbuhan
Lasianthus purpureum dan Ardisia humilis.

Campur tangan manusia dalam upaya konservasi dan peles­


tarian kokoleceran sangat penting, mengingat kondisinya
yang semakin jarang dijumpai pada lingkungan alaminya.
Ashton (1996) menyebutkan bahwa perbanyakan yang dila­
kukan untuk memperbanyak tumbuhan kokoleceran yang ada
saat ini yaitu melalui perkembangan biji, sedangkan budidaya
menggunakan biji memerlukan waktu yang cukup lama.
80
Teknik budidaya yang paling memungkinkan dilakukan
sehingga dapat memperbanyak tumbuhan kokoleceran
Campur tangan manusia dalam
upaya konservasi dan pelestarian
kokoleceran sangat penting,
mengingat kondisinya yang
semakin jarang dijumpai pada
lingkungan alaminya.

dalam waktu yang relatif singkat yaitu melalui strategi in


vitro. Perbanyakan melalui in vitro menurut Sandra (2013)
dapat menggunakan bagian tumbuhan berupa protoplas,
jaringan, sel dan organ tumbuhan lainnya dengan menum­
buhkannya pada kondisi yang terhindar dari kontaminasi.

Perbanyakan melalui in vitro menjadikan bagian tumbuhan


seperti pucuk, batang, daun, kotiledon dan hipokotil sebagai
sumber perbanyakan (eksplan) (Uzun dkk, 2014). Cara ini
semakin baik jika penggunaan zat pertumbuhan digunakan
dengan sesuai, salah satunya yaitu zat pertumbuhan berupa
hormon auksin dan sitokinin (Yuwono, 2012).

Hormon auksin berperan baik dalam proses pembentukan


akar, sementara hormone sitokinin berperan baik dalam mem­
bentuk tunas-tunas yang ada di samping pada akar (Mulyono,
2010). Hanya saja cara perbanyakan melalui in vitro bukan
tanpa celah, keadaan aseptik pada proses pembuat­an­nya mutlak
dilakukan, karenanya sedikit saja kontaminasi maka kegagalan
tidak bisa dihindarkan (Odutayo dkk, 2007), keberhasilan
proses ini juga menurut Kusumawati dkk (2015) bergantung
pada sumber eksplan dan kesesuaian zat pengatur tumbuhan.

81 Cara in vitro merupakan langkah strategis dan tepat apabila


melihat kondisi kekinian tumbuhan kokoleceran yang
berada di ambang kepunahan. Pengelolaan konservasi
tum­buhan dengan cara yang tepat selain menyelamatkan
tumbuhan dari kepunahan juga membawa berkah tersediri,
apalagi jika melibatkan masyarakat sekitar kawasan sebagai
mitra kerja bersama menjaga kelestarian alam.

Pada dasarnya masyarakat senang jika dilibatkan dalam


upaya strategis yang disusun oleh lembaga ataupun kemen­
terian, apalagi upaya yang dilakukaan memberikan nilai
positif dan nilai lebih bagi masyarakat itu sendiri. Tergan­
tung pendekatan seperti apa yang dilakukan untuk memikat
hati masyarakat sehingga mereka tergerak dengan kerelaan
hatinya mau bersama-sama menjaga kekayaan alamnya.

Membuat masyarakat merasa bangga bahwa tumbuhan yang


dijaganya adalah tumbuhan terakhir di Tanah Jawara tentu
hal yang luar biasa, setali tiga uang dengan upaya konservasi
berbasis kearifan lokal (local wisdom) yang memiliki nilai
tradisional yang mengakar kuat.

Kokoleceran hanya satu dari sekian banyak warisan dunia


yang dipercayakan Sang Khalik kepada masyarakat Banten,
maka pembuktian untuk menjaganya adalah bentuk dari pe­
ngejawantahan rasa memiliki dan rasa bangga terhadapnya.
Kokoleceran tidak hanya sebatas flora, dia adalah satu dari
sekian banyak keunikan yang dimiliki Tanah Jawara.

Keberadaanya menjadikan kita mengerti bahwa dia harus


dijaga dan dipelihara, sebagai warisan yang tidak pernah bisa
ternilai dengan apa pun. Kondisinya dalam keterancaman
membuat kita belajar bahwa hidup masih dapat berlangsung
meskipun kematian selalu membayangi setiap waktu.

Tidak ada yang lebih membahagiakan, selain anak cucu kita


82 masih tetap dapat melihat kekayaan alam yang sama persis
kita saksikan seperti saat ini. Semoga Tuhan membantu kita
menjaga semesta, Aamiin. n
DAFTAR PUSTAKA (Aquilaria beccariana). J. Sains dan
Teknologi Indonesia. 12 (1): 12-23.
Ashton, P.S., 1982.
Dipterocarpaceae. In: Van Steenis, Odutayo, O.I., N.A. Amusa, O. O.
C.G.G.J (ed.) Flora Malesiana Okutade, and Y.R. Ogunsanwo.
(9): 237-552. 2007. Determination

Ashton, P.S. 1996. Vatica of the Source of Microbial


bantamensis In: Plants Yielding Contaminants of Cultured Plant
Non-Seed Carbohydrates. Tissues. Plant Pathology Journal 6
(1) : 77-81
Prosea. 9 p.364.
Purwaningsih. 2004.
Dodo, Wihermanto & Yayan, Sebaran Ekologi Jenis-Jenis
W.C.K. 2013. Autekologi Dipterocarpaceae di Indonesia.
(kokoleceran) Vatica Jurnal Biodiversitas, 5 (2): 89-95.

bantamensis (Hassk.) Binn. & Sudiyanti, S., Rusbana, T.B dan


Hook. ex Miq. di Taman Nasional Susiyanti. 2017. Inisiasi Tunas
Ujung
Kokoleceran (Vatica
Kulon Banten. Prosiding ekspose
bantamensis) pada berbagai Jenis
dan seminar pembangunan
Media Tanam dan Konsentrasi Bap
kebun raya daerah Membangun
(Benzyl Amino Purine) Secara In
Kebun Raya Untuk Penyelamatan
Vitro. Jurnal Agro 4 (1): 1-14.
Keanekaragaman Hayati dan
Lingkungan Menuju Ekonomi Hijau
Sandra, E. 2013. Cara Mudah
Bogor, 25 26 November 2013.
Memahami dan Menguasai Kultur
IUCN. 2018. IUCN list of Jaringan. IPB Press. Bogor.
Endangered species. (Online)
Diakses pada laman http://www. Uzun S, Ilbas AI, Ipek A, Arslan N,
iucnredlist.org/search. Senin 30 Barpete S. 2014. Efficient in Vitro
Oktober 2018. Plant

Kusumawati, E., Y.P. Sari, dan T. Regeneration From Immature


Purnaningsih. 2015. Pengaruh Embryos of Endemic Iris sari
NAA dan BAP and I. schachtii. J. Agric. For. 38:
348-353.
Terhadap Inisiasi Tunas Mengkudu
(Morinda citrifolia) secara in Vitro. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja,
J. Budidaya Tanaman Perkebunan, S.A. Afiff. 1996. The Ecology of
1 (1): 23-32. Indonesia Series

Mulyono, D. 2010. Pengaruh Zat Volume II : The Ecology of Java


Pengatur Tumbuh Auksin: Indole and Bali. Periplus Editions (Hk)
Butiric Acid (IBA) Ltd.
83
dan Sitokinin: Benzil Amino Yuwono, T. 2012. Bioteknologi
Purine (BAP) dan Kinetin dalam Pertanian. Gadjah Mada University
Elongasi Pertunasan Gaharu Press. Yogyakarta.
KONSERVASI
DIPTEROCARPUS RETUSUS
BLUME (PALAHLAR)
PENI WIDIYANTI

Pada punggung bukit hutan sekunder yang bercampur


dengan tegakan damar di sekitar Danau Situgunung pada
ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (mdpl), jalan
setapak becek sisa hujan semalam membenamkan buah-buah
bersayap kering di antara serasah dan semak belukar. Buah
palahlar yang sudah mengering kecokelatan memenuhi lantai
hutan yang tak jauh dari dua pohon induknya.

Palahlar atau keruing merupakan sebutan yang lazim diberi­


kan oleh masyarakat sekitar hutan untuk salah satu jenis
kerabat Dipterocarpaceae yaitu Dipterocarpus retusus Blume.

Sebanyak tiga batang pohon Dipterocarpus retusus Bl. dapat


dijumpai di sekitar Kantor Resort Situgunung, Taman Nasional
Gunung Gede-Pangrango. Namun, berdasarkan kajian Titi
Kalima dan Marfu’ah Wardani (2013), setidaknya masih
terdapat 11 batang pohon jenis ini di seluruh kawasan resort.

D. retusus memiliki habitat tumbuh yang luas, mulai dari


dataran rendah hingga ekosistem hutan pegunungan bawah
(800-1300 mdpl). Tidak hanya di Pulau Jawa, jenis ini juga
tersebar di Sumatra, Bali, dan Nusa Tenggara (Lombok dan
84 Sumbawa). Kajian lain menjelaskan jenis ini pun tersebar
hingga Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Cina
bagian selatan dan India.
D. retusus merupakan jenis dari marga Dipterocarpus
(keruing) yang merupakan salah satu marga dari sembilan
marga kerabat Dipterocarpaceae yang ada di Indonesia.
Karakter khas dari kerabat Dipterocarpaceae yaitu adanya
dua atau lebih sayap pada buahnya (di=dua, pteron=sayap,
carpos=buah). Sembilan marga dari kerabat ini diantaranya
Shorea (Meranti), Dipterocapus (Keruing), Dryobalanops
(Kamper), Hopea (Giam), Vatica (Resak), Anisoptera
(Mersawa), Parashorea, Cotylelobium, dan Upuna.

Pada hutan tropis, Dipterocarpaceae termasuk pohon


dominan pada stratifikasi tajuk karena memiliki batang
pohon yang tinggi dan besar, tidak jarang dijumpai juga
mempunyai banir guna menopang batang dan tajuk. Meski
demikian, pada marga Hopea dan Vatica memiliki habitus
pohon yang tidak terlalu tinggi pada hutan tropis.

Kerabat Dipterocarpaceae memiliki daun tunggal dengan


duduk daun bersilangan dan stipula yang mudah rontok
sebagai penciri karakter lainnya. Ukuran bunga bervariasi,
ada yang berukuran besar maupun kecil dengan jumlah
kelopak 2-5 helai dan akan berkembang menjadi sayap
pada buah. Buah terdiri atas tabung buah, kotiledon untuk
menyimpan embrio benih, serta sayap buah yang berupa
sayap panjang dan sayap pendek.

Beberapa jenis kerabat Dipterocarpaceae umumnya bernilai


ekonomi yang tinggi karena batangnya yang lurus dan kuat
tergolong kelas perdagangan kayu utama maupun karena
memiliki kualitas damar atau resin yang baik.

Karakter khas dari D. retusus, yaitu daun berbentuk oblong


ataupun oval dengan ukuran yang besar dan kaku. Daun
85 segar berwarna hijau dan akan berubah perlahan menjadi
kekuningan hingga cokelat ketika sudah tua. Pertulangan
daun yang jelas hingga urat daun tersier tampak menyerupai
anak tangga (scalariform). Jenis daun seperti ini merupakan
bagian dari adaptasi terhadap iklim tropis yang selalu lembab
dan basah. Tulang daun yang bergelombang bagai saluran
air, keras serta kaku akan memudahkan air yang berada di
permukaan daun untuk segera jatuh ke lantai hutan.

Sedangkan, serasah daun D. retusus yang telah memenuhi


lantai hutan pun melanjutkan peran ekologisnya yaitu
menyerap sebanyak mungkin air permukaan hingga
kelembaban lantai hutan tropis terjaga dan mengurangi
penguapan. Selanjutnya, setiap serat daun tua yang telah
koyak diuraikan oleh dekomposer akan berubah menjadi
unsur hara bagi tumbuhan sekitar. Secara sederhana, setiap
organisme di hutan memainkan perannya dalam menjaga
daur air dan tanah agar alam tetap seimbang dan lestari.

Pohon D. retusus memiliki batang berwarna kelabu yang


lurus dan tinggi menjulang hingga mungkin mencapai
40 meter. Stipula berwarna hijau atau kemerahan akan
meninggalkan bekas berupa kunat cincin bila sudah rontok.
Petiol atau tangkai daun pada kerabat Dipterocarpaceae
sangat khas yaitu berlekuk atau bengkok.

Bunga muncul dari ketiak daun dan berwarna kemerahan,


terkadang mengeluarkan aroma yang harum. Buah memiliki
lima sayap yang terdiri atas dua sayap panjang berbentuk
linear hingga lancip berukuran 25 cm x 4,5 cm dan tiga
sayap kecil berbentuk segitiga berukuran 2 cm x 1,5 cm
(Ashton, 1983).

Bentuk modifikasi buah bersayap ini mengurangi risiko


buah rusak ketika menyentuh lantai hutan karena adanya
86 gaya gravitasi ketika buah jatuh dari pohon yang tinggi.
Selain itu, sayap pada buah D. retusus akan membantu
proses penyebaran buah dengan bantuan angin (anemokori).
Saat ini, status konservasi D.
retusus berdasarkan data IUCN
Redlist telah ditingkatkan. Semula
memiliki status Vulnerable
(rentan), kini masuk ke dalam
kategori Endangered A2cd ver 3.1
atau terancam punah (Nanthavong
et. al, 2017). Status konservasi ini
memiliki makna bahwa jenis ini
menghadapi risiko kepunahan
yang sangat tinggi di alam.

Buah D. retusus memiliki karakter benih rekalsitran (Kundu


et al., 2012). Sehingga, buah ini tidak dapat disimpan dalam
waktu yang lama. Bahkan, setelah buah masak dan jatuh,
apabila tidak mendapatkan media tumbuh yang cocok, maka
benih akan segera mati. Mungkin ini menjadi salah satu
penyebab sulit menjumpai semai (anakan pohon) D. retusus
pada punggung bukit Situgunung yang saya lewati. Semak
belukar yang memenuhi lantai hutan, tutupan tajuk yang
terlalu rapat, dan tanah yang selalu becek tergenang rupanya
bukan tempat yang cocok untuk mengecambahkan jenis
ini. Meski demikian, upaya konservasi in situ yang telah
dilakukan oleh pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango sangat penting dalam menjaga kawasan
hutan agar tetap lestari dan aman untuk beragam jenis
tumbuhan dan satwa langka di masa kini dan mendatang.

87 Saat ini, status konservasi D. retusus berdasarkan data IUCN


Redlist telah ditingkatkan. Semula memiliki status Vulnerable
(rentan), kini masuk ke dalam kategori Endangered A2cd
ver 3.1 atau terancam punah (Nanthavong et. al, 2017).
Status konservasi ini memiliki makna bahwa jenis ini
menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam.
Hal ini berdasarkan ukuran populasi yang berkurang diduga
≥ 50% selama beberapa tahun terakhir dari tiga generasi.
Akibatnya, tidak mungkin berhenti atau kondisi tidak dapat
kembali seperti semula. Faktor penyebabnya dapat berupa
penurunan luas kawasan hutan, frekuensi perjumpaan jenis
hingga kualitas habitat yang menurun serta adanya potensi
eksploitasi (IUCN, 2012).

Sejalan dengan upaya konservasi in situ yang telah ada,


Kebun Raya Bogor sebagai lembaga konservasi ex situ
pun turut berupaya dalam melestarikan jenis langka D.
retusus. Sedikitnya terdapat 13 nomor koleksi D. retusus
hasil kegiatan eksplorasi maupun donasi yang berasal
dari berbagai lokasi di Pulau Jawa (Ruspandi et al., 2010).
Catatan koleksi D. retusus tertua yang ada di Kebun Raya
Bogor, yaitu koleksi tahun tanam 1866 yang berasal dari
Pulau Jawa. Dalam buku kebun yang masih tersimpan
rapi terselip nama Douglas Becking yang mungkin sebagai
kolektor jenis tersebut. Hingga hari ini, koleksi D. retusus
yang berusia lebih dari 150 tahun masih secara berkala
produktif menghasilkan bunga dan buah setiap tahunnya.

Selain upaya konservasi in situ dan ex situ yang telah


berjalan, kegiatan penelitian mengenai jenis D. retusus
saat ini pun sudah cukup banyak. Mulai dari karakterisasi
tempat tumbuh, potensi persebaran ekologi, identifikasi
serangga yang merusak buah dan biji D. retusus hingga
evaluasi pertumbuhan dan keragaman jenis berdasarkan
analisis penanda RAPD. Semua langkah ini bertujuan
88 guna menahan laju kepunahan jenis D. retusus di alam dan
mencari metode yang tepat dalam memperbanyak jenis ini
secara ex situ. Peran aktif masyarakat untuk mencari tahu
dan melindungi jenis-jenis langka yang berada di sekitarnya
dapat menjadi salah satu kunci keberhasilan upaya konser­
vasi in situ maupun ex situ.

Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang.


Sebaliknya, secara cepat pun alam terus terkikis untuk
memenuhi kebutuhan manusia. D. retusus merupakan
salah satu tumbuhan langka yang sempat saya jumpai di
punggung bukit hutan Situgunung dan tepian lereng di salah
satu petak koleksi Kebun Raya. Mungkinkah jenis ini punah
di alam seiring pemenuhan kebutuhan dunia akan kayu
berkualitas? Semoga hal itu tidak terjadi pada masyarakat
dunia kini yang telah semakin kritis dan bijak memilih
sumber daya. n

REFERENSI

Ashton P.S. 1983. Flora Malesiana Series 1: Volume 9, Part 2. Editor: C.G.G.J
Steenis. Publisher: National Herbarium of the Netherlands.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2012. IUCN Red


List Categories and Criteria: Version 3.1. Second edition. Gland, Switzerland
and Cambridge, UK: IUCN. Iv+32pp.

Kalima T dan Marfu’ah Wardah. 2013. Potensi Jenis Dipterocarpus retusus


Blume di Kawasan Hutan Situ Gunung, Sukabumi. Buletin Plasma Nutfah
19(2): 102-110.

Kundu, M., Schmidt, L. H. (Ed.), & Jørgensen, M. J. (Ed.). 2012.


Dipterocarpus retusus Blume. Seed Leaflet No. 159. (terhubung berkala).
https://forskning.ku.dk/ (12 Oktober 2018).

Ly, V., Nanthavong, K., Pooma, R., Luu, H.T., Nguyen, H.N., Vu, V.D.,
Hoang, V.S., Khou, E. & Newman, M. 2017. Dipterocarpus retusus. The
IUCN Red List of Threatened Species 2017: e.T32400A2817693. http://
dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2017-3.RLTS.T32400A2817693.en

Ruspandi, Suhendar, Ratna Suti Astuti, Ikar Supriyatna, Henni Mulyati,


89 Sudarsono, Endang Kohar, Ade Yusuf Yuswandi dan Rahadi Pratomo. 2010.
An Alphabetical List of Plant Species Cultivated in The Bogor Botanic
Gardens. Editor: Rismita Sari, Ruspandi dan Siti Roosita Ariati. Pusat
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI: Bogor.
KONSERVASI JENIS
LOKAL LANGKA
BERPOTENSI UNTUK
REHABILITASI DAS:
STUDI KASUS PADA
CASTANOPSIS ARGENTEA
(BL.) A.DC.
DIPTA SUMERU RINANDIO
DAN MUHAMMAD RIFQI HARIRI

Castanopsis argentea (Bl.) A.DC. yang lebih dikenal dengan


nama lokal saninten atau sarangan merupakan salah
satu anggota suku pasang-pasangan (Fagaceae). Anggota
suku Fagaceae terdiri dari marga Castanea, Chrysolepis,
Cyclobalanopsis, Fagus, Lithocarpus, Notholithocarpus,
Trigonobalanus, dan Quercus.

Marga Castanopsis sendiri terdiri dari 140 jenis dengan


12 diantaranya tercatat ke dalam daftar tumbuhan
terancam versi International Union for Conservation of
90 Nature and Natural Resources (IUCN) Red List. Kedua
belas jenis tersebut adalah C. acuminatissima, C. argentea,
C. catappaefolia, C. concinna, C. curtisii, C. cuspidata, C.
javanica, C. kawakamii, C. nephelioides, C. scortechinii, C.
tungurrut, dan C. wallichii.

Pohon saninten dapat tumbuh dengan baik di hutan primer


atau sekunder dengan kondisi tanah kering yang subur
pada ketinggian 150−1750 mdpl. Berdasarkan data IUCN,
jenis ini merupakan tumbuhan asli Indonesia dengan area
persebaran di pulau Jawa dan Sumatra. Jenis C. argentea
pernah dilaporkan ditemukan di Kalimantan meskipun tidak
ditemukan spesimen herbariumnya. Selain di Indonesia, C.
argentea juga diketahui memiliki persebaran di India, China,
Korea, Jepang, Thailand, Myanmar, dan Malaysia.

Jenis C. argentea memiliki perawakan berupa pohon besar


(mencapai 35−40 m), kulit batang hitam, kasar dan pecah-
pecah. Kayu teras berwarna coklat kelabu hingga merah
muda. Kayu yang masih muda berwarna putih, kuning
muda, hingga kemerah-merahan. Daun tunggal tersusun
berseling, daunnya melanset. Permukaan daun berlilin dan
bagian bawahnya berwarna abu-abu keperakan ditutupi oleh
trikoma membintang atau sisik yang lebat.

Masa berbunga pada bulan September-Oktober dan ber­


buah pada bulan Januari-April. Bunganya berwarna kuning
keputihan, bunga jantan dan betina terpisah, bunga jantan
tersusun membulir sedangkan bunga betina soliter. Buahnya
bertangkai menyerupai rambutan, membulat telur dengan
trikoma yang mencuat, berkelompok dan kulit buah ditutupi
oleh trikoma yang ramping, tajam, dan berkayu, berisi tiga
biji yang cekung

Biji saninten termasuk ke dalam kelompok biji rekalsitran


91 se­hingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama
karena daya kecambahnya yang cepat menurun. Biji yang ber­
asal dari buah segar memiliki daya berkecambah hingga 75%.
Selain kayu, biji saninten dapat
dikonsumsi oleh masyarakat
melalui direbus, dipanggang, atau
digunakan sebagai campuran
dalam pembuatan kue dan coklat.

Selain karena faktor tipe biji, status konservasi saninten


yang semakin langka tidak lepas dari adanya konversi
lahan hutan yang merupakan habitat alaminya menjadi
peruntukan lain seperti perkebunan kelapa sawit di Sumatra
dan menjadi pemukiman di Jawa. Selain itu, penebangan
untuk pemanfaatan kayu juga berimplikasi pada penurunan
jumlah pohon ini di habitat aslinya. Kurangnya regenerasi
alami karena pemanenan dan konsumsi buah oleh satwa
liar dikhawatirkan akan semakin mempengaruhi pohon ini
menjadi semakin langka.

Tren penurunan jumlah dapat dilihat melalui hasil evaluasi


tahun 2017 yang menunjukan bahwa setidaknya terjadi
penurunan ukuran populasi mencapai 50% selama tiga
gene­rasi terakhir menyebabkan C. argentea dimasukkan ke
da­lam status konservasi kategori terancam punah (Endangered)
dalam daftar IUCN Red List, bersama dengan C. tungurrut.

PERMENLHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN KUM.1/6/2018


tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilin­­dungi menegas­
kan bahwa C. argentea merupakan satu-satunya jenis
Castanopsis yang dilindungi dalam skala nasional, meskipun
juga terdapat 24 jenis Castanopsis lain di Indonesia. Reko­
92 mendasi yang dapat diberikan adalah melalui pengolek­sian
dan penanaman saninten secara ex situ dan perlu dilakukan
pengumpulan data yang lebih komprehensif.
Sebanyak 23 jenis Castanopsis, selain C. argentea, yang
terdapat di Indonesia belum secara keseluruhan dikaji dan
dievaluasi tingkat kerentanannya karena baru tercatat 3 jenis
lain yang termasuk ke dalam daftar tumbuhan terancam
IUCN Redlist, yakni C. tungurrut (Bl.) A.DC., C. javanica
(Bl.) A.DC., dan C. acuminatissima (Bl.) A.DC.

Kayu saninten lebih dikenal sebagai kayu berangan


dalam dunia perdagangan. Kulit kayu dan kulit buahnya
mengandung tanin sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
pewarna. Dekoksi dari kulit batangnya dimanfaatkan untuk
menghitamkan rotan maupun membuat serat menjadi lebih
tahan terhadap cuaca.

Kayu saninten yang kuat dan tahan lama seringkali


dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk perumahan,
jembatan, papan, tiang, dan rusuk. Selain sebagai bahan
bangunan, kayu saninten termasuk ke dalam jenis kayu yang
baik untuk digunakan sebagai bahan pembuatan alat musik,
kayu bakar maupun bahan utama pembuatan arang. Batang
dan rantingnya, termasuk beberapa jenis Castanopsis,
digunakan sebagai media pertumbuhan (bed logs) dalam
budidaya jamur.

Selain kayu, biji saninten dapat dikonsumsi oleh masyara­


kat melalui direbus, dipanggang, atau digunakan sebagai
campuran dalam pembuatan kue dan coklat. Melihat hal
tersebut, biji C. argentea berpeluang menjadi komoditas
ekonomi yang cukup menjanjikan. Beberapa jenis
Castanopsis lainnya diketahui telah menjadi komoditas
dengan nilai ekonomi tinggi. Di salah satu e-commerce
diketahui bahwa harga jual chestnuts berangan (kacang
93 yang berasal dari jenis-jenis Castanopsis, berbeda dengan
chestnuts biasa yang berasal dari marga Castanea) memiliki
nilai jual hingga 130.000 per kilo.
Potensi ini juga terlihat dari adanya perkebunan jenis
Castanopsis di Parnon Jerman yang dibudidayakan di lahan
seluas 450 Ha sebagai sumber bahan makanan. Beberapa
penelitian mengenai biji-biji Castanopsis menunjukkan
bahwa olahan biji jenis ini mengandung antioksidan yang
bermanfaat untuk menangkal radikal bebas.

Tren pemanfaatan jenis lokal atau asli suatu daerah untuk


kegiatan rehabilitasi saat ini menjadi penting untuk
menunjang konservasi keanekaragaman jenis. Sebagai salah
satu tanaman indigenous/native Indonesia, saninten dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan rehabilitasi Daerah Aliran
Sungai (DAS).

Habitus Castanopsis yang tinggi dengan tajuk yang luas


dapat bermanfaat didalam proses hidrologi DAS. Pohon
ini memiliki peran positif dalam proses hidrologis yakni
diperkirakan mampu menyerap air hujan sebanyak
80,1% dari curah hujan sebesar 2.856 mm. Selain itu,
konsumsi air dari jenis ini tidak terlalu tinggi dengan nilai
evapotranspirasi sebesar 19,3%. Dengan penyerapan air yang
tinggi dan evapotranspirasi yang rendah, Castanopsis sangat
berpotensi sebagai jenis tanaman untuk digunakan dalam
kegiatan konservasi tanah dan air.

Upaya konservasi terhadap Castanopsis argantea perlu


dilakukan. Beberapa upaya konservasi diantaranya adalah
konservasi secara in-situ di habitat alaminya yang berada
di beberapa taman nasional dan cagar alam, khususnya
di beberapa pegunungan jawa. Usaha konservasi berupa
restorasi lahan di Gede Pangrango menunjukan hasil yang
positif untuk pertumbuhan C. argantea.

94 Selain usaha secara in-situ, upaya pelestarian juga dilakukan


dengan konservasi ex-situ. Kebun raya menjadi salah satu
kawasan konservasi ex-situ yang melakukan konservasi
saninten. Diketahui bahwa C. argentea menjadi salah
satu koleksi di Kebun Raya Cibodas. Taman Kehati juga
menjadi salah satu tempat konservasi ex-situ dimana Taman
Kehati yang diinisiasi oleh pihak swasta pernah melakukan
kegiatan penanaman saninten. Melalui manfaat yang dapat
diperoleh dari jenis saninten ini, penanaman untuk kegiatan
rehabilitasi serta proses budidaya sebagai dasar untuk
pengembangan komoditas chestnuts berangan dapat menjadi
salah satu upaya pelestarian jenis yang memiliki prospek
sangat bagus ke depannya. n

REFERENSI:

Barstow M dan Kartawinata K. 2018. Castanopsis argentea. The IUCN Red


List of Threatened Species 2018: e.T62004506A62004510.

Gunawan H dan Sugiarti. 2015. Pelestarian keanekaragaman hayati ex situ


melalui pembangunan Taman Kehati oleh sektor swasta: Lesson learned dari
Group Aqua Danone Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia, 1(3):565-573.

Lemmens RHMJ, Soerianegara I, dan Wong WC. 1995. Plant Resources of


South East Asia 5(2), Timber trees: Minor Commercial Timbers. PROSEA
Foundation Indonesia. Bogor.

Martawijaya A. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.

Heriyanto NM, Sawitri R, dan Subandinata D. 2007. Kajian ekologi


permudaan saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A.DC.) di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah, 13(1):34-42.

PERMENLHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018.

Purwaningsih dan Pulosakan R. 2016. Keanekaragaman jenis dan sebaran


Fagaceae di Indonesia. Ethos, 4(1):85-92.

Rahman W, Kurniawati F, Iskandar EAP, Hidayat IW, Widyatmoko D, dan


Ariati SR. 2011. Survivorship and growth of eight native tree species during
their early stage at a restored land within Gede Pangrango National Park,
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas Ke-159.
95 501-506.

Surya MI, Kurnita NI, Setyaningsih L, Ismaini L, dan Muttaqin Z. 2017.


Perbanyakan Castanopsis argentea secara in vitro. Prosiding Seminar
Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 3(1):10-15.
The Plant List (2013). Version 1.1. Published on the Internet; http://www.
theplantlist.org/ (diakses 14 Oktober 2018).

Tropical Plants Database, Ken Fern. tropical.theferns.info. (tropical.theferns.


info/viewtropical.php?id=Castanopsis+argentea&), diakses 14 Oktober
2018.

Tuyen PT, Khang DT, Minh LT, Minh TN, Ha PTT, Elzaawely AA, dan
Xuan TD. 2016. Phenolic compounds and antioxidant activity of Castanopsis
phuthoensis and Castanopsis grandicicatricata. International Letters of
Natural Sciences, 55:77-87.

Youn UY, Kim RH, Kim GN, dan Lee SC. 2017. Antioxidant and anti-
adipogenic activities of the nuts of Castanopsis cuspidata var. thunbergii.
Food Science and Biotechnology, 26(5):1407-1414.

96
97
Bunga dari meranti endemik sumatera
Shorea sumatrana (Foto : Zaki Jamil)
KONSERVASI PLAHLAR
(DIPTEROCARPUS LITTORALIS
BLUME) SEBAGAI IDENTITAS
FLORA NUSAKAMBANGAN
UNTUK WARISAN
BIODIVERSITY DUNIA
ENGGAL PRIMANANDA

Indonesia merupakan negara yang dikaruniai oleh Tuhan


Yang Maha Esa akan posisi geografis yang sangat strategis
yakni dilalui garis khatulistiwa, terletak di antara 2 benua
yaitu Asia dan Australia, diapit dua Samudera yaitu Hindia
dan Pasifik, serta berada pada jalur ring of fire yaitu sirkum
Mediterania dan sirkum Pasifik yang sangat subur, dan oleh
karenanya Indonesia beriklim tropis.

Kondisi lingkungan makro mikro yang terbentuk di negara


tropis sangat ideal dalam mendukung terkonstruksinya ekosis­
tem hutan hujan tropis yaitu intensitas curah hujan tinggi,
suhu, kelembaban dan paparan sinar matahari yang optimal
sepanjang tahun. Parameter tersebut merupakan pilar-pilar
penting modal penyusun kehidupan di bumi yang sangat
esensial dibutuhkan oleh manusia, hewan maupun tumbuhan.
98
Indonesia menyandang julukan megabiodiversity karena
sangat kaya akan keanekaragaman hayati dan keunikan
ekologi flora dan fauna. Dinamika keanekaragaman hayati
ekosistem tropis tercermin dalam model hutan hujan
tropis, yang didalamnya tersusun oleh tegakan pohon
dengan struktur, fungsi dan pertumbuhan yang heterogen.
Salah satu identitas tegakan penyusun hutan hujan tropis
Indonesia yaitu didominasi oleh Dipterocarpaceae. Marga
Dipterocarpus terdiri atas 70 jenis, terdapat di Kalimantan
41 jenis dan empat jenis di antaranya ditemukan di Jawa
salah satunya Dipterocarpus littoralis Blume atau disebut
meranti jawa dan secara populer disebut plahlar.

Plahlar merupakan spesies endemik yang hanya tumbuh


alami di Pulau Nusakambangan khususnya di Cagar
Alam Nusakambangan Barat di bawah pengelolaan Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah.

Distribusinya banyak dijumpai di sepanjang pesisir wilayah


pasang surut dengan elevasi pertumbuhan berkisar antara
0-100 mdpl. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi
Lingkungan USD menyebutkan bahwa distribusi sebaran
plahlar di Pulau Nusakambangan berpola mengelompok dan
membujur dari sisi selatan ke utara pulau dan mengelompok
di sisi barat, di sisi timur jarang ditemui plahlar karena
terdapat perbukitan kapur.

Berdasarkan namanya, D. litroralis diperkirakan berasal


dari kata litoral atau zona litoral yang artinya zona pasang
surut yaitu wilayah laut yang apabila pada saat terjadi
air pasang akan tergenang oleh air dan pada saat terjadi
air surut akan mengering dan berubah menjadi pantai,
sehingga diperkirakan jenis plahlar ini merupakan bagian
dari asosiasi ekositem mangrove. Range habitat plahlar
99 sebenarnya cukup luas yakni mampu tumbuh pada kondisi
salinitas tinggi, endapan aluvial lumpur hingga pada bukit
kapur, dan kekeringan.
Penggunaan kayu plahlar oleh
masyarakat biasanya untuk
material bangunan, pembuatan
kapal, dan pertukangan lainnya.
Nilai ekonomis dari penggunaan
kayu tersebut menjadikan
Plahlar sebagai kayu yang sangat
diminati dan menjadi target
utama para pembalak liar.

Karakteristik plahlar dapat dilihat secara morfologi


yaitu: pohon besar tinggi mencapai 50 m atau lebih
dengan diameter batang hingga 150 cm, batang lurus
dan silindris, tinggi batang bebas cabang (TBBC) sangat
tinggi. Akar berbanir hingga panjang banir 1,5 m. Kulit
bagian luar berwarna abu-abu dan mengelupas tebal serta
akan mengeluarkan resin bila terluka. Bentuk tajuk tidak
beraturan, berdaun tunggal, bentuk daun membundar
telur, ujung daun meruncing, duduk daun tersusun pola
spiral mengelompok di ujung ranting, tulang daun terlihat
menonjol, permukaan daun mengkilap, warna daun
hijau tua, pangkal daun dan ujung ranting diselimuti oleh
seludung warna merah dan berbulu.

Perbungaan tersusun malai, warna bunga kekuningan hingga


cokelat kemerahan, bunga muncul dari ketiak daun di bagian
ujung ranting. Bentuk buah memiliki dua sayap sama panjang
dan berwarna cokelat kemerahan hingga kuning kecokelatan
100 setelah masak. Tipe biji merupakan jenis rekalsitran yakni
begitu jatuh akan langsung berkecambah dalam waktu cepat
sehingga sulit disimpan dalam jangka waktu lama. Periode
berbunga terjadi empat tahun sekali pada awal musim
kemarau dan buah akan masak pada awal musim hujan.
Perbanyakan dapat dilakukan dengan biji dan pemencaran
buah ke tempat yang lebih jauh dibantu oleh tiupan angin.

Kayu plahlar merupakan kayu yang bernilai ekonomis tinggi


karena performa batangnya yang mampu tumbuh tegak,
lurus, silindris, volume log utuh besar karena TBBC yang
tinggi, kayunya kuat dan awet, kualitasnya termasuk kelas
keawetan II-III dengan kelas kekuatan I-II.

Penggunaan kayu plahlar oleh masyarakat biasanya untuk


material bangunan, pembuatan kapal, dan pertukangan
lainnya. Nilai ekonomis dari penggunaan kayu tersebut
menjadikan plahlar sebagai kayu yang sangat diminati dan
menjadi target utama para pembalak liar.

Penyebarannya yang sangat terbatas karena endemik di


Pulau Nusakam­bangan dan daya regenerasi yang lambat
serta tingginya pembalakan liar mengakibatkan status
konservasi Plahrar masuk dalam daftar merah IUCN dan
tergolong kritis punah (Critically Endangered – CR) sejak
tahun 1998.

Populasi di alam terus menurun akibat penebangan dan seka­


rang termasuk jenis yang dilindungi pemerintah Indonesia
melalui P.20/MenLHK/Setjen/Kum1/6/2018 dan P.57/Menhut-
II/2008. Sehingga status pohon plahlar merupakan pohon
langka, terancam punah dan endemik Indonesia (LTE).

Keberadaan plahlar hingga saat ini semakin terancam,


beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk segera
mengkonservasi plahlar yaitu, plahlar bersifat endemik
101 yaitu hanya di Cagar Alam Nusakambangan Barat dengan
luasan sekitar 625 Ha, persebaran alaminya sangat sempit
dan terlokalisasi, ukuran populasi yang kecil, preferensi
terhadap habitat tertentu. Pulau Nusakambangan berada di
pesisir selatan Pulau Jawa yang berpotensi bencana besar
mengingat gempa dan tsunami pangandaran tahun 2006.

Pertimbangan biologis plahlar yakni pembungaan hanya


terjadi 4 tahun sekali dan begitu berbuah buahnya susah
disimpan dalam jangka waktu lama. Pertimbangan ekologi
yaitu adanya hama rayap yang menyerang batang dan akar
semai plahlar alam dan adanya gulma pengganggu yaitu
tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia, Arecaceae) bersifat
invasif yang tersebar di seluruh cagar alam dan merupakan
kompetitor utama semai plahlar di alam.

Pertimbangan sosial yaitu banyaknya pembalakan liar yang


susah dikendalikan. Pertimbangan jasa lingkungan yaitu
mengingat akan manfaat hutan Cagar Alam Nusakambangan
dalam menghasilkan air tawar yang sangat diperlukan
oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan sehari-hari.
Berdasarkan informasi bahwa terdapat beberapa desa
yang bersinggungan dengan Cagar Alam Nusakambangan
yaitu Desa Klaces, Karanganyar Kecamatan Kampung
Laut dll. pada saat musim kemarau masyarakat mengalami
kekeringan dan satu-satunya sumber mata air yang masih
mengalir adalah di Cagar Alam Nusakambangan.

Pertimbangan global tidak kalah penting yaitu perlindungan


terhadap hutan hujan tropis Pulau Nusakambangan, karena
di kawan tersebut satu-satunya hutan hujan tropis yang ada
di Pulau Jawa dan dapat disebut sebagai The Last Real Rain Forest
of Java yang perlu kita lestarikan. Oleh karena itu diperlukan
upaya konservasi plahlar baik secara insitu dan eksitu.

Upaya konservasi insitu plahlar melalui gerakan restorasi


102 telah banyak dilakukan. Konsep gerakan restorasi dibenak
masyarakat sebagian besar masih berorientasi pada kegiatan
penanaman, namun demikian pada kenyataannya di
Pertimbangan global tidak kalah
penting yaitu perlindungan
terhadap hutan hujan tropis
Pulau Nusakambangan, karena
di kawan tersebut satu-satunya
hutan hujan tropis yang ada di
Pulau Jawa dan dapat disebut
sebagai The Last Real Rain Forest
of Java yang perlu kita lestarikan.

lapangan kegiatan dan pengaggaran banyak yang hanya


berhenti pada penanaman saja tanpa ada upaya perawatan
untuk menjamin kehidupan semai setelah ditanam, sehingga
kegiatan reboisasi banyak terjadi kegagalan.

Model reboisasi dengan penanaman juga terkadang


dilakukan dengan mengambil materi bibit tanaman yang
diperoleh melalui pencabutan semai alam karena biji plahlar
susah disimpan. Pencabutan semai alam dilakukan di hutan/
lokasi sebaran alaminya kemudian dipelihara di persemaian
dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke hutan pada habitat
yang sama, hal tersebut tidak salah namun kurang efektif
dan beresiko terjadi kematian bibit saat pengangkutan,
biaya tinggi, tenaga banyak, dan kematian karena bibit gagal
beradaptasi di alam, dll.

Pendekatan konservasi plahlar di Pulau Nusakambangan


dilakukan dengan pemeliharaan semai alam eksisting yang
103 berhasil berkecambah dan tumbuh di lantai hutan dengan
tujuan mendukung lingkungan pertumbuhannya untuk
tumbuh optimal hingga dewasa.
Motivasi konservasi yang akan
dibangun didasarkan pada prinsip
sustainable development yang
memperhatikan proporsi nilai ekologi,
ekonomi dan sosial. Konsep Whole
of Government telah dipraktekkan
dalam mengonservasi plahlar

Semai-semai alam yang tumbuh di lantai hutan merupakan


semai-semai yang telah survive dan mampu berdaptasi
pada kondisi lingkungan dan persaingan dengan tanaman
lain sehingga hanya perlu intervensi untuk membantu
menyediakan ruang tumbuh vertikal dan horisontal dan
pemberian input pemupukan. Pemeliharaan semai alam
dapat dilakukan dengan cara pemberian mulsa alami dari
seresah daun kering, penyiangan dari gulma pengganggu,
pembasmian hama, pengemburan tanah, pemberian
pupuk dan penyediaan ruang cahaya yang optimal dengan
pengendalian naungan sehingga upaya pemeliharaan semai
alam di habitat alaminya juga tidak kalah penting dalam
menyukseskan pertumbuhan suatu tanaman.

Upaya konservasi eksitu plahlar juga telah dilakukan di Kebun


Raya Bogor LIPI sejak tahun 1912. Tercatat ada dua koleksi D.
littoralis di Kebun Raya Bogor. Pohon tertua ditanam tahun
1912 (berumur 106 tahun), dikoleksi oleh Dr. Koorders dari
Nusakambangan, saat ini keliling lingkar batang sebesar 380
cm. Pohon kedua ditanam tahun 2003 (berumur 15 tahun),
dikoleksi oleh Ir. Djouhar Asikin Cs. dari Nusakambangan
104 saat ini keliling lingkar batang sebesar 36 cm.

Upaya konservasi eksitu plahlar yang dilakukan di Kebun


Raya Bogor LIPI seharusnya dapat membangkitkan
semangat dan harapan baru akan potensi keberhasilan
pengembangan plahlar di luar habitat alaminya sehingga
dapat dijadikan referensi keragaman genetik yang berhasil
beradaptasi di luar habitat alaminya.

Upaya konservasi dengan pendekatan reboisasi dan penghi­


jauan juga telah dilakukan oleh peneliti senior LIPI yaitu Prof
Tukirin Partomihardjo dengan tajuk “membangun iden­­titas
Cilacap” untuk penyelamatan genetik dengan model kampanye
mengenalkan tumbuhan asli cilacap kepada masyarakat.

Motivasi konservasi yang akan dibangun didasarkan


pada prinsip sustainable development yang memperhatikan
proporsi nilai ekologi, ekonomi dan sosial. Konsep Whole of
Government telah dipraktekkan dalam mengonservasi plahlar
yang terdiri dari masyarakat lokal, BKSDA Jateng sebagai
otoritas kawasan, LIPI sebagai scientific authority, Perguruan
tinggi, FFI-Indonesia dan Tambora Muda Indonesia, serta
pihak swasta dan masyarakat pemerhati lingkungan.

Sentuhan kultur kepedulian sosial penting dilakukan untuk


pendekatan spirit baru untuk konservasi jangka panjang.
Masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu kunci utama
keberhasilan konservasi plahlar karena dalam keseharian
masyarakat bersinggungan dengan hutan dan plahlar
merupakan bagaian dari kehidupan masyarakat.

Perlu upaya pendampingan sosial dan pembelajaran


kesa­daran lingkungan dan nilai-nilai konservasi
bersama masyarakat dan generasi muda sebagai investasi
pengetahuan jangka panjang. Mengonservasi bukan berarti
tidak memanfaatkan sama sekali akan tetapi memanfaatkan
secara bijaksana yang disediakan oleh alam dengan
105 memperhatikan keanekaragaman hayati sekecil apapun tetap
dipertahankan dan mencoba untuk membudidayakan untuk
kelestarian dan menghindari kepunahan. n
MELESTARIKAN
EBONI HITAM LEWAT
LUBANG JARUM
M. MARIO HIKMAT ANSHARI

Eboni hitam atau eboni Makassar, dengan nama latin


Diospyros celebica, hidup alami dalam hutan-hutan di Pulau
Sulawesi. Eboni harus berjuang menghadapi peliknya nasib.
Sengsara memang mendera pohon-pohon Indonesia. Nasib
hidup pohon jadi terancam.

Pengelolaan hutan belum serius menjaga hajat hidup pohon-


pohon langka, terancam, dan endemik (LTE). Alih fungsi
lahan, kebakaran hutan, atau penebangan liar yang tanpa
dibarengi usaha menanam kembali membuat eboni hitam
jarang dan kian susah dijumpai.

Kayu eboni hitam memang indah dan bernilai ekonomis


tinggi. Itu pula yang membuatnya jadi sasaran utama para
pembalak hutan tak berizin. Eboni hitam menghasilkan
kayu berkualitas atas. Kayunya berwarna hitam bergaris
merah kecokelatan.

Eboni ini mampu tumbuh mencapai 40 m dengan diameter


batang paling lebar 150 cm. Kayunya awet dan mewah.
Keras, tahan terhadap serangga pemakan kayu, dan biasanya
106 hidup berkelompok. Maka, karena kualitasnya itu, sejak
zaman penjajahan Belanda, ekosistem eboni hitam telah
beberapa kali dieksploitasi para kolonialis.
Verhoet, pada 1938, sesudah Perang Dunia I, melaporkan
bahwa setiap tahun sekitar 1000 ton eboni hitam ditebang di
Onggak-Dumaga, Bolang Mongondow, untuk diekspor ke
negeri matahari terbit, Jepang. Jumlah itu sangat besar untuk
bisa memusnahkan populasi eboni dari muka bumi.

Dalam laporan lain, Soerianegara pada 1974, mengatakan


bahwa ekspor eboni dari Sulawesi pertama kali
bertitimangsa 1918. Ia menghitung berapa banyak eboni
hitam yang sudah diekspor ke luar negeri. Hitung-hitungan
Soerianegara sejak 1918 hingga 1955 menunjukkan angka
yang cukup mencengangkan. Eboni telah diekspor (atau
dieksploitasi) sebanyak 102.359 ton selama 37 tahun.

Kemerdekaan Indonesia ternyata tak juga membuat


nasib eboni hitam bisa hidup kondusif. Setelah Orde
Lama berakhir, pemerintah Orde Baru lewat rencana
pembangunan lima tahun (pelita) turut melirik kayu eboni
sebagai sumber penghasil untung. Sentralisasi pemerintahan
membuat pemerintah pusat bisa leluasa menginstruksikan
pemerintah daerah mengikuti segala keinginannya. Dari
Pelita I (1969-1974) sampai Pelita III (1979-1984), menurut
penelitian Persaki pada 1985, pemerintah pusat telah
mengekspor eboni sebanyak 91.820,726 ton. Itu merupakan
jumlah eksploitasi yang sangat besar dalam kurun 15 tahun.

Penyusutan populasi eboni hitam pun terjadi. Jumlah ekspor


eboni hitam kemudian mengalami penurunan di tahun-
tahun berikutnya. Rendahnya sisa populasi eboni hitam
jadi dilematis tatkala permintaan pasar masih tinggi. Eboni
jadi langka. Berdasarkan hukum permintaan dalam ilmu
ekonomi, harganya pun melonjak tak terkira.

107 Eboni hitam makin mencemaskan karna semakin susah


ditemui. Pencurian dan penebangan tak berizin kemudian
jadi marak. Para pemburu eboni bermunculan, demi
mengejar keuntungan pribadi, berdalih memenuhi
permintaan pasar. Pencuri memang tak pernah berpikir
panjang. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri.

Pencurian eboni hitam tak hanya merugikan ekosistem


hutan, tetapi juga merusak ekosistem seluruh makhluk
hidup di alam, termasuk kebudayaan. Dalam hasil penelitian
Soedarsono Riswan (2002), para pencuri kayu juga bersalah
dengan mendorong keterlibatan orang-orang desa dalam
pembelian kayu curian yang mereka ambil dari hutan
(Kompas, 9 Juli 1986).

Suatu contoh mengenai besarnya kegiatan ini ditunjukkan


dengan adanya penyitaan 668 potong kayu hitam D. celebica
di Palu pada Oktober 1986, yang dicuri dari kawasan hutan
sekitar daerah transmigrasi dengan alasan untuk pendirian
perkebunan cokelat (Kompas, 9 Oktober1986). Pada waktu
yang bersamaan, diperkirakan sebanyak 150 potong kayu
hitam D. celebica lainnya juga telah diangkut ke Poso
(Kompas, 18 Oktober 1986).

MENCARI JALAN KELUAR

Populasi eboni hitam harus diselamatkan dengan mencari


jalan keluar dari ancaman punah. Pemerintah pada akhirnya
membuat regulasi untuk menjaga keberlangsungan hidup
populasi eboni hitam. Tahun 1976, pemerintah membentuk
Komisi Pelestarian Plasma Nutfah Nasional.

Melalui laporan tahunan pada 1981, eboni hitam (D. Celebica)


dimasukkan dalam kategori jarang. Namun, dalam 2000
IUCN Red List of Threatned Species, eboni hitam masuk satu
108 tingkat di atas kategori jarang, yakni rawan. Masuknya eboni
dalam kategori tersebut membuatnya harus mendapatkan
pengawasan dan kontrol yang ketat dari pemerintah.
Meskipun sudah ada pelbagai aturan, strategi pengelolaan
hutan oleh pemerintah ternyata tak cukup efektif dan
efisien. Pohon-pohon tetap tersisih dari prioritas rencana
pembangunan negara. Pohon-pohon ditempatkan pada
urutan paling buncit. Nasib pohon tak dapat dihiraukan,
telantar, dan pelan-pelan menghadapi getir mautnya
sendiri. Maka, kita hanya menyaksikan gedung-gedung kian
menjulang seolah menakjubkan. Tak senasib dengan pohon-
pohon yang makin berkurang kuantitas dan kualitasnya.
Sebabnya adalah tebang liar kian produktif dilakukan
manusia bernafsu ekonomis.

Terakhir tahun 2015, pihak kepolisian berhasil menyita 153


batang kayu eboni hitam yang diselundupkan pembalak liar
di Poso, Sulwesi Tengah. Hal itu menjadi bukti deforestasi
terus saja terjadi. Habitat pohon-pohon, termasuk eboni
hitam, tetap menunggu jalan keluar lain untuk tetap lestari.

Sejauh ini, usaha pemerintah lewat konservasi in-situ dan


ex-situ belum bisa memberikan garansi bagi hajat hidup
pohon eboni hitam. Sebabnya pun bisa beragam. Dari masih
bermasalahnya manajemen pengelolaan hutan, kebijakan
yang bersifat top-down, tak dilibatkannya masyarakat
yang hidup di sekitar hutan secara aktif, masih adanya
penebang liar yang tak diberi sanksi tegas, hingga sampai
pada persoalan politik. Kepelikan tersebut berjalan seperti
lingkaran setan, sulit teratasi dan nyaris tanpa solusi. Maka
jalan keluar yang lain mesti secepatnya dicari, meski harus
jungkir-balik dan merombak “sana-sini”.

LUBANG JARUM KEBUDAYAAN


109
Strategi kebudayaan memang belum cukup dilirik untuk
menyelamatkan lingkungan. Padahal, mitos atau legenda
yang tumbuh di umumnya masyarakat Sulawesi sangat
berwatak ekologis. Hal tersebut, jika dimanfaatkan dengan
baik, akan bisa memberi opsi jalan keluar bagi kelestarian
pohon eboni hitam yang memiliki ekosistem alami dan
endemik di Pulau Sulawesi.

Masyarakat Sulawesi Selatan memiliki pelajaran penting un­


tuk menjaga alam, bersumber dari pengisahan klasik di epos
terpanjang di dunia, La Galigo. Dalam salah satu episodenya,
dikisahkan seorang tokoh bernama Sawerigading menebang
pohon besar Walenreng. Pohon Walenreng hanya boleh
ditebang dengan melakukan beberapa ritual terlebih dahulu.
Namun, keserakahan dan dorongan hasrat yang begitu besar
membuat Sawerigading terburu-buru dan mengindahkan
kewajiban itu. Pohon Walenreng pun harus tumbang,
menerima nasib jadi tumbal dari kejahatan ekologis.

Pohon itu sejatinya adalah rumah. Sesaat tumbangnya


pohon Walenreng, burung-burung yang berumah di
sana, terbang entah ke mana karena kehilangan tempat
tinggal. Pengisahan tentang tumbangnya pohon Walenreng
merupakan metafor yang penting dalam masyarakat
Sulawesi Selatan. Simbolisasi itu menandai betapa pada
suatu masa keserakahan hanya berujung malapetaka.

Burung-burung itu, dalam pandangan Anwar Jimpe


Rachman, ialah penanda manusia yang rugi dan menderita
akibat perilaku pihak yang rakus. Imajinasi sosiologis
masyarakat Sulawesi Selatan memberi pesan lewat cerita-
cerita rakyat untuk bersikap arif terhadap lingkungan.

Lingkungan dan kebudayaan tak bisa dipisahkan begitu


saja. Kita bisa pula belajar dari bagaimana masyarakat adat
110 Kajang, yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan, menjaga hajat hidup alam dan manusia. Mereka
memiliki pedoman hidup yang disebut sebagai “pasang”.
Pohon itu sejatinya adalah rumah.
Sesaat tumbangnya pohon Walenreng,
burung-burung yang berumah di
sana, terbang entah ke mana karena
kehilangan tempat tinggal.

Hal tersebut menjadi pegangan dalam berlaku sehari-hari.


Masyarakat Kajang, misalnya, tak boleh dengan bebas
menebang pohon walaupun sedang dalam keadaan terdesak.
Mereka harus melewati beberapa proses, termasuk meminta
izin kepada ketua adat.

Sebab, merusak pohon dengan liar juga berarti merusak


ekosistem makhluk hidup yang lain. Jika itu diabaikan,
mereka harus menerima sanksi adat berupa pengucilan di
dunia dan akhirat, atau harus berjalan di atas bara api. Dan
seperti yang kita tahu, “Pasang” dalam masyarakat adat
Kajang betul-betul efektif untuk membuat manusia dan
lingkungan hidup tetap lestari dan terjaga.

Pengajaran sejarah kebudayaan memang sudah seharusnya


berwawasan ekologis. Kita tentu saja berharap agar seluruh
masyarakat sadar akan pentingnya menggunakan, menjaga,
dan melestarikan alam. Hal itu semakin mendesak,
manakala masyarakat tersebut memiliki daerah yang sangat
kaya sumber daya alamnya. Masyarakat perlu melindungi
lingkungan mereka dari pihak-pihak bernafsu ekonomis
untuk mengeksploitasi hutan.

111 Masyarakat perlu memberikan pemahaman terkait konsep


keadilan lingkungan hidup kepada orang-orang yang
aktivitasnya cukup berjarak dengan hutan dan pepohonan.
Hal itu memang membutuhkan waktu. Proses demi proses
mesti disusun sebaik mungkin. Kita semua ditantang untuk
melestarikan sumber daya alam endemik, termasuk eboni
hitam yang masa tumbuhnya sangat lambat, lewat usaha-
usaha yang berasal dari petuah-petuah leluhur.

Kesadaran ekologis lebih penting dari sekadar mebel,


patung, ukiran, hiasan rumah, alat musik tongkat, dan kotak
perhiasan yang diproduksi dari kayu eboni hitam. Menjaga
nasib hidup pohon (eboni hitam), juga berarti menjaga
keberlangsungan hidup umat manusia, menjaga tatanan
alam semesta.

Nilai-nilai kearifan budaya, yang bersumber dari lokalitas


tersebut, harusnya bisa diinternalisasi dalam setiap aktivitas
hidup, termasuk pemerintahan. Mengapa? Agar kehidupan
kita dari level paling besar - alam semesta, negara, hutan,
dan kemudian level terkecil - individu, bisa berjalan
harmonis. Strategi kebudayaan untuk menumbuhkan
kesadaran ekologis patut dicoba, meski harus memulai
perjalanannya melalui lubang jarum. n

M. Mario Hikmat Anshari, alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Hasanuddin. Email: mariohikmat@gmail.com

112
LAMPIRAN

Karakteristik Jenis D. celebica

Habitus Pohon lurus, tinggi pohon mencapai 40 m


dengan batang bebas cabang 10-21 m.
Diameter batang bisa mencapai 150 cm.
Pohon berbanir dan tinggi banir 3 m.

Kulit batang Kulit luar hitam, bagian yang hidup berwarna


merah muda putih, sawo muda. Kulit beralur
banyak, mengelupas kecil-kecil.

Kayu Kayu gubal berwarna putih, merah muda,


tebalnya 4,5- 7 cm. Kayu teras berwarna bergaris
cokelat atau cokelat bergaris hitam. Garis tersebut
kecil sampai lebar. Bila dilihat penampangnya,
garis itu merupakan gelang melingkar.

Daun Susunan daun dua baris, menjuntai (truncate),


duduk daun berseling, bentuk jorong (12-35cm x
2,5-7 cm), tidak memiliki daun penumpu,
permukaan daun licin, mengkilap, belakang
daun berbulu halus berwarna coklat keemasan.
Daun muda berwarna hijau muda, terdapat bulu
halus berwarna silver di belakang daun yang
selanjutnya akan berubah menjadi cokelat
keemasan ketika daun sudah tua.

Bunga, Buah dan Biji Kuncup bunga hijau, bunga putih. Buah muda
hijau, buah tua merah kuning atau warna sawo.

Permukaan luar kulit buah berbulu halus


berwarna cokelat. Buah berbakal biji 10, tetapi
yang menjadi biji 2-8. Biji muda berwarna
putih, biji masak fisiologis berwarna merah
hingga cokelat kehitaman.

Ukuran biji 0,5-0,8 cm x 1-1,5 cm.

Tempat Tumbuh Terdapat pada ketinggian 10-400 m dpl, tumbuh


pada bermacam macam jenis tanah, seperti tanah
berbatu, liat, tanah berpasir. Pola pertumbuhan
mengelompok (clumped) atau berpencar.

Penggunaan Peralatan rumah tangga, bahan bangunan


113 dan bahan kerajinan

Sumber : Modifikasi dari Soerianegara (1967).


ASA SANINTEN DAN
KERABATNYA DI TENGAH
ANCAMAN KEPUNAHAN
DI PEGUNUNGAN JAWA
MUHAMMAD EFENDI

Indonesia, dengan bentangan hutan pegunungan tropis,


menyimpan kekayaan jenis tumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kawasan lainnya di dunia. Dalam
sebuah tulisan van Steenis (1972), hutan pegunungan Jawa
dipuji sebagai kiblat para peneliti botani untuk menjelajahi
‘keperawanan’ hutan Indonesia kala itu.

Bahkan, seorang ahli botani berkebangsan Belanda, Dr.


Went, memberikan kiasan hutan pegunungan Cibodas
sebagai bagian dari surga di dunia ini. Lebih daripada itu,
banyak nama jenis tumbuhan asli Indonesia diambil dari
para pembesar bangsa Eropa. Sebut saja Gubernur Jenderal
Alting yang namanya diabadikan nama jenis Altingia excelsa,
atau yang dikenal dengan nama rasamala.

Sepertinya, kejayaan penelitian botani di Jawa perlahan


mulai menurun. Hutan yang menjadi laboratorium alam
para peneliti botani kini berganti dengan perkebunan dan
114 bangunan permukiman masyarakat. Kini hanya tersisa
kawasan hutan pegunungan yang tampak hijau, walau
seringkali rumpang karena longsor atau pohon tumbang.
Berdasarkan data Prasetyo dkk. (2009), laju kerusakan hutan
di Jawa selama kurun waktu 2000-2005 tergolong tinggi.
Kawasan hutan berkurang dari 2 juta Ha menjadi 1.2 juta
Ha. Tentu ini membutuhkan pembaharuan data, seiring
mening­katnya bencana alam selama 10 tahun terakhir. Belum
ditambah lagi ekspansi tumbuhan invasif, misalnya di Gunung
Gede Pangrango (Zuhri dan Mutaqien, 2013), mendesak
keberadaan tumbuhan asli Indonesia dari habitat alaminya.

MENGENAL SANINTEN DAN KERABATNYA


Tumbuhan asli pegunungan Jawa yang berguna

Saninten, begitulah masyarakat Sunda menyebut Castanopsis


argentea, salah satu tumbuhan pribumi hutan pegunungan
Jawa. Lebih lanjut, saninten merupakan satu dari tiga
Castanopsis endemik di Indonesia.

Sebarannya sempit, hanya melingkupi Jawa dan beberapa


daerah di Sumatera. Secara taksonomi, saninten termasuk
ke dalam suku Fagaceae atau keluarga pasang-pasangan.
Di kawasan Malesiana sendiri, kerabat saninten dari marga
Castanopsis mencapai 34 jenis (Soepadmo, 1969). Hanya
empat jenis yang memiliki persebaran alami Jawa, yaitu C.
javanica (ki riyung, riyung anak), C. tungurrut (tunggurut),
C. acuminatissima (ki riyung, riyung anak), dan C. argentea
atau saninten itu sendiri.

Seperti halnya pada keluarga pasang-pasangan lainnya,


saninten memiliki perawakan sebagaimana lazimnya pohon.
Tinggi mencapai 40 m, daun tunggal, tersusun menyebar
dan memiliki stipula. Hiasan bunga bentuk mangkuk,
115 berlekuk 6, sedangkan bakal buah tenggelam. Biji memiliki
embrio besar, tetapi tidak memiliki endosperma (Soepadmo,
1969). Kekhasan saninten dibandingkan dengan Lithocarpus
dan Quercus terletak pada karakter cupule, semacam organ
yang menyelimuti bunga atau buah.

Saninten memiliki satu cupule yang mengelilingi setiap kelom­


pok perbungaan betina dan menutupi seluruh bagian buah.
Tampak lebih beda lagi pada permukaan cupule-nya yang di­
tu­tupi dengan duri-duri tajam, sehingga orang menyebutnya
rambutan hutan. Pada Lithocarpus dan Quercus, cupule hanya
sampai separuh buah saja dan jarang berduri (Whitmore, 1972).

Secara praktis, untuk membedakan saninten dengan tiga


kerabat dekatnya di Jawa, bisa dilihat pada karakter daun
dan stipulanya. Saninten memiliki helaian bawah daun
keperakan, stipula lurus dan kaku. Sementara C. javanica
memiliki helaian bawah daun kuning keemasan dan stipula
melengkung. Pada C. tungurrut, daun berwarna keperakan,
mengkilap, ukurannya lebih besar dibandingkan dengan
saninten dan stipula lurus.

Pada C. acuminatissima, helaian bawah daun kuning


keemasan, ukurannya paling kecil dari ketiganya. Ujung
daunnya sangat khas dan melancip membentuk seperti ekor.
Perbedaan lainnya, pada C. javanica dan C. acuminatissima,
di sekitar pangkal batangnya biasanya tumbuh trubusan
(tunas anakan) yang mengelilingi batang. Namun, saninten
dan tunggurut tidak demikian.

Secara umum, saninten dan anggota marga Castanopsis


lainnya dikenal sebagai kayu dengan kualitas tinggi, bahkan
di Papua Nugini. C. acuminatissima menjadi komoditas
ekspor utama. Menurut catatan dari Heyne (1987), tak
hanya kayunya, kulit batangnya dimanfaatkan sebagai
pewarna alami dalam dunia perbatikan Indonesia.
116
Jika direndam dalam lumpur, kulit batang menjadi sumber
warna hitam untuk pewarna rotan. Sementara itu, serutan
batang atau kulitnya dimanfaatkan untuk media budidaya
jamur. Namun, yang paling utama adalah biji saninten, yakni
sumber protein bagi masyarakat yang pernah melegenda.

Sedikit menyimak cerita dari para sesepuh di Cibodas. Sekitar


30 atau 40 tahun yang lalu, menjadi sebuah pemandangan
yang menarik ketika musim buah saninten tiba. Masyarakat
di Cibodas dan Gunung Batu, desa terakhir yang berbatasan de­
ngan Gunung Gede Pangrango, biasa berburu buah saninten.

Dalam satu pohon, dua sampai tiga karung dapat mereka


bawa pulang, untuk disangrai. Memang rasanya gurih dan
enak. Apalagi di kala itu, hidup masih susah, sehingga
biji saninten dijadikan sebagai pengganti beras. Namun
sekarang, hal semacam itu sudah jarang sekali ditemui,
bahkan tidak pernah lagi. Bukan rasanya tidak enak, tapi
memang populasi jenis tersebut kian sulit ditemukan di
alam. Ditambah lagi buahnya tidak selebat dulu.

Sepertinya hanya biji saninten yang bisa dimakan, tidak


untuk tiga kerabat yang lain. Biji tunggurut bentuknya
gepeng dan rasanya pahit. Sementara ki riyung rasanya tidak
begitu pahit. Namun, pengalaman masyarakat di Cibodas,
setelah makan bijinya malah timbul pusing-pusing. Heyne
(1987) juga membenarkan bahwa beberapa jenis Castanopsis
memiliki senyawa racun, tapi konsentrasinya rendah.

ANCAMAN KEPUNAHAN
DAN UPAYA PENYELAMATANNYA

Memang perlu diakui bahwa penurunan populasi saninten


telah terjadi di pegunungan Jawa. Merujuk pada penelitian
117 Heriyanto dkk. (2007), jumlah populasi dalam satu hektar
hanya delapan hingga 18 pohon. Baru-baru ini, menurut
IUCN (2018), saninten masuk ke dalam status genting.
Kebun Raya Cibodas menjadi
benteng terakhir penyelamatan
flora pegunungan Indonesia
beriklim basah, sebelum jenis
tersebut benar-benar hilang
dari habitatnya.

Hal serupa juga terjadi pada kerabat lainnya, C. tungurrut,


yang juga tergolong genting. Adapun C. javanica dan
C. acuminatissima tergolong masih kurang mendapat
perhatian. Namun demikian, keberadaan C. javanica pada
habitat alaminya di Singapura dilaporkan hilang.

Perhatian besar juga ditunjukkan oleh pemerintah untuk


menjaga kelestarian flora Indonesia. Berdasarkan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.20/
MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018, saninten masuk ke
dalam daftar tumbuhan yang dilindungi. Sayangnya, regulasi
tersebut belum mengakomodasi jenis C. tungurrut yang juga
menunjukkan tren penurunan di habitat alaminya.

Penurunan jumlah populasi saninten di alam tidak


terlepas dari kegiatan deforestasi yang terjadi di Jawa dan
Sumatera. Di kawasan dataran rendah Sumatera, adanya
desakan perubahan hutan menjadi lahan perkebunan sawit
menurunkan luasan habitat alami saninten. Ditambah lagi
penebangan kayu-kayu untuk industri.

Sebenarnya, permasalahan penurunan populasi tidak hanya


muncul karena hilangnya habitat alaminya, tetapi juga
118 kesulitan regenerasi saninten itu sendiri. Ketika musim buah
berlangsung, bukan berarti biji akan berkecambah dengan
baik. Buah masak atau bahkan masih muda di pohon saja
bisa menjadi santapan tupai dan kawanan monyet yang
memang menyukai buahnya.

Belum lagi masyarakat yang sengaja memanen biji saninten


untuk jadi camilan yang lezat. Buah yang jatuh pun
hanya menyisakan biji dengan kualitas kecambah rendah,
sehingga tidak menjamin perkecambahan berlangsung.
Tikus hutan juga sudah menunggu walau biji tersebut
telah berkecambah. Selain itu, saninten memiliki tipe biji
rekalsitran, sehingga daya simpannya pendek.

Di sisi yang lain, penyelamatan keanekaragaman genetik


merupakan hal penting dalam pelestarian daya hidup
tumbuhan lebih panjang, terlebih pada kondisi lingkungan
yang berubah secara drastis. Berkurangnya sumber daya
genetik dapat berimplikasi pada penurunan jumlah jenis,
sekaligus kemampuan beradaptasi jenis. Oleh karena itu,
strategi konservasi yang dilakukan di hutan alam perlu
didukung dengan pelestarian di luar habitat alaminya,
misalnya di Kebun Raya Cibodas.

Kebun Raya Cibodas menjadi benteng terakhir penyelamatan


flora pegunungan Indonesia beriklim basah, sebelum jenis
tersebut benar-benar hilang dari habitatnya. Baru delapan no­
mor koleksi dari empat jenis Castanopsis di Jawa ada di sana.

Namun, itu jumlah yang belum merepresentasikan


keanekaragaman genetik saninten Indonesia. Penelitian
dapat dilakukan secara komprehensif dan penyediaan
semaian dapat diupayakan melalui biji. Lebih dekat pohon
koleksi, pemantauan perbuahan saninten mudah dan cepat.
Sekiranya harus bersaing dengan tupai dan monyet, tetap
masih ada yang bisa dipanen dan disemaikan.
119
Penerapan teknologi dalam menyediakan bibit saninten
sedang dilakukan. Sebuah inisiasi kultur jaringan yang
dilakukan oleh Surya dkk (2017) masih dalam penentuan
formulasi media yang tepat. Begitu juga dengan upaya stek
pucuk, meski belum membuahkan hasil yang signifikan.

KAMPUNG SANINTEN SUMBANG SARAN


UNTUK PENYELAMATAN SANINTEN

Perkampungan saninten bisa menjadi sebuah sumbang


saran untuk menjaga kelestarian flora dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Program ini merupakan bentuk
kolaborasi dengan masyarakat untuk menanam saninten dan
berfokusnya pada desa yang berbatasan dengan hutan.

Saninten dijadikan sebagai pembatas dengan hutan.


Hasilnya, pohon saninten bisa dipanen oleh masyarakat.
Memang bukan hal yang mudah, apalagi saninten bukan
tumbuhan yang langsung dimanfaatkan, sehingga edukasi
tentang pentingnya penyelamatan tumbuhan Indonesia
kepada masyarakat perlu digalakkan. Informasi mengenai
manfaat saninten perlu disampaikan, sehingga masyarakat
dapat berinovasi mengembangkan buah saninten.

Saninten juga memiliki prospek sebagai tanaman pangan.


Pendampingan masyarakat oleh pemerintah dengan
menggandeng swasta perlu dilakukan untuk menjamin
kebersinambungan program, sehingga dapat dirasakan
manfaatnya. Harapannya, jika banyak yang menanam
dan masyarakat masih memanfaatkan, maka ancaman
kepunahan saninten masih dapat dikendalikan. n

SUMBER REFERENSI
120
Heriyanto NM, Sawitri R, Subandinata D. 2007. Kajian ekologi permudaan
saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A.DC) di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango. Buletin Plasma Nutfah 13(1): 34-42.
Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta: Balitbang
Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Prasetyo LB, Kartodihardjo H, Adiwibowo S, Okarda B, Setiawan, Y. 2009.


Spatial model approach on deforestation of Java Island, Indonesia. Journal of
Integtrated Field Science 6: 37-44.

Van Steenis CGGJ. 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden, The
Netherlands: Koninklijke Brill NV.

Whitmore T. 1972. Tree flora of Malaya Vol. I. Kuala Lumpur: Longman


Malasya.

Surya MI, dkk. 2017. Perbanyakan Castanopsis argentea secara in vitro. Pros
SemNas MBI 3(1): 10-15.

Soepadmo E. 1968. Florae Malesianae praecursores XLVII. Census of


Malesian Castanopsis (Fagaceae). Reinwardtia 7(4): 383-410.

Zuhri M, Mutaqien, Z. 2013. The spread of non-native plant species


collection of Cibodas Botanical Garden into Mt. Gede Pangrango National
Park. Journal Tropical Life Science 3(2): 74-82.

121
MEMOAR DI REPONG DAMAR:
HARMONI ASPEK EKOLOGI,
EKONOMI, DAN BUDAYA
ICHVAN SOFYAN

Namaku Ichvan. Orang-orang lebih senang memanggilku


Ivan, karena menganggap lebih mudah melafalkannya
begitu. Aku adalah seorang rimbawan, sebutan untuk orang-
orang yang berjuang demi kelestarian hutan.

Menjadi rimbawan bagiku adalah sebuah anugerah. Kenapa?


Karena rimbawan itu pergaulannya lebih luas. Bukan cuma
kenal manusia, tapi juga kenal pohon dan satwa. Kadang-
kadang karena terlalu kenal, rimbawan sepertiku juga bisa jatuh
cinta pada pohon. Namun, bukan jatuh cinta biasa, me­lainkan
sebuah rasa ingin melindungi agar si pohon tetap lestari.

Dari sekian pohon yang pernah kutemui, jujur saja bahwa


Shorea javanica adalah pohon primadona yang paling
membuat jatuh hati. Bukan hanya karena perawakanya yang
tinggi besar, tapi juga karena Shorea javanica yang pernah
kutemui adalah hartanya masyarakat Lampung.

MEMOAR DI REPONG DAMAR

122 Cerita pertemuanku pertama kali dengan Shorea javanica


terjadi lima tahun silam di Pekon/Desa Pahmungan,
Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat,
Lampung. Pagi itu di Pahmungan, waktu menunjukkan
sekitar pukul 07.00 saat sekumpulan siamang mulai beradu
suara pada dahan-dahan Shorea javanica.

Pohon besar yang oleh masyarakat Lampung dikenal dengan


nama pohon damar mata kucing ini memang kerap menjadi
taman bermain dan arena unjuk suara bagi para siamang.
Mereka seolah merasa bahwa hamparan Shorea javanica
ini adalah hutan tempatnya tinggal, padahal ini sebenarnya
adalah hamparan kebun yang oleh masyarakat Lampung
sering disebut “repong damar”.

Berada di tengah-tengah repong damar yang dipenuhi


Shorea javanica, ditambah dengan keramaian suara
para siamang, membuatku seperti dibawa pada suasana
hutan. Rasanya seperti tak percaya kalau ini adalah kebun
masyarakat Pahmungan yang selalu menjadi tempat
mengumpulkan pundi rupiah untuk kebutuhan hidup.

MENGENAL SHOREA JAVANICA

“Luar biasa”, kata itu yang sering muncul sepanjang berada


di tengah-tengah repong damar. Bayangkan saja, sepanjang
mata memandang isinya selalu didominasi Shorea javanica
yang berukuran besar-besar. Rata-rata yang kutemui
memiliki diameter batang 1 meter, bahkan ada juga yang
mencapai 2 meter. Nah, luar biasanya lagi, tinggi pohon
berbatang lurus ini juga mengagumkan, ya kurang lebih
setinggi tower seluler atau mencapai 50 meter.

Lain batang, lain pula daunnya. Meskipun Shorea javanica


memiliki perawakan tinggi besar, ternyata ukuran daunnya
123 tidak terlalu besar. Bentuknya seperti bulat telur memanjang
dengan panjang hanya sekitar 8-15 cm dan lebarnya 4-7 cm,
serta tangkai daunnya sepanjang 1,5—2,5 cm.
Nah, di habitat aslinya, Shorea javanica termasuk jenis
pohon yang hanya bisa hidup di daerah tertentu. Menurut
Orwa et al. (2009), Shorea javanica dapat tumbuh baik di
hutan primer dan sekunder, pada tempat-tempat yang kering
atau basah di tanah datar atau lereng hingga ketinggian
300-500 mdpl (meter di atas permukaan air laut), dengan
rata-rata curah hujan tahunan lebih dari 3.000 mm dan
suhu rata-rata 25 derajat Celsius.

Karena Shorea javanica hanya bisa hidup pada kondisi habitat


tertentu, pohon ini memiliki persebaran yang sangat terbatas.
Persebarannya hanya ada di Pulau Sumatera dan Jawa.
Khusus di Pulau Jawa sendiri, Shorea javanica termasuk
jenis pohon yang sangat langka dan sulit ditemui. Bahkan,
karena keberadaannya yang sulit ditemui di alam, pohon
ini termasuk jenis yang dilindungi dan menjadi prioritas
konservasi. Padahal bila dicermati, nama javanica sebenarnya
mengindikasikan bahwa pohon ini berasal dari tanah Jawa.

Shorea javanica juga termasuk jenis pohon yang perkem­


bang­biakannya sangat lambat. Menurut masyarakat yang ada
di Pahmungan, rata-rata pohon ini hanya berbunga setiap 5
tahun sekali. Hal ini senada dengan pernyataan de Forest et
al. (2000) bahwa damar mata kucing merupakan jenis yang
sulit untuk bereproduksi karena musim berbunga damar
mata kucing biasanya terjadi ± 4-5 tahun sekali.

Selain persebaran yang terbatas dan perkembangbiakannya


yang lambat, laju kerusakan hutan yang tinggi juga menjadi
faktor utama berkurangnya jumlah Shorea javanica di kawas­
an hutan. Aktivitas perusakan hutan seperti perambah­an dan
illegal logging (pembalakan liar) menjadi penyebab berkurang­
nya jumlah Shorea javanica di kawasan hutan.
124
Melihat semakin terdesaknya Shorea javanica di kawasan
hutan, akhirnya membuat pohon ini masuk dalam dokumen
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK). SRAK
sendiri adalah upaya kerja sama yang dilakukan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Forum
Pohon Langka Indonesia (FPLI), untuk menyelamatkan
pohon-pohon langka di Indonesia. Dalam dokumen SRAK
ini, Shorea javanica masuk dalam Prioritas II, yaitu jenis
pohon yang mendesak untuk dilakukan konservasi atau
penyelamatan karena tingkat keterancamannya tinggi serta
ancaman kepunahan yang terus-menerus berlangsung.

Selain masuk dalam dokumen SRAK, IUCN (International


Union for Conservation of Nature and Natural Resources)
selaku organisasi perlindungan sumber daya alam hayati
tingkat internasional juga memasukkan Shorea javanica
sebagai jenis yang keberadaannya genting (Endangered).
Sebaran yang terbatas serta penurunan populasi yang terus-
menerus terjadi adalah faktor utama pohon ini sekarang
masuk dalam status endangered.

BELAJAR DARI REPONG DAMAR

Memprihatinkan memang melihat makin berkurangnya


Shorea javanica di kawasan hutan. Namun, meski javanica
semakin sulit ditemukan di hutan, keberadaannya di
Kabupaten Pesisir Barat masih tetap terjaga, bahkan telah
menjadi bagian budaya masyarakat.

Bagi masyarakat Pesisir Barat, khususnya Pekon


Pahmungan, keberadaan repong damar adalah bagian
budaya yang tidak bisa ditinggalkan. Aktivitas perkebunan
125 ini sudah mengakar dan menjadi budaya setempat sejak
pertama kali dilakukan penanaman Shorea javanica secara
besar-besaran tahun 1927. Bahkan, seorang pemilik
Biasanya getah dengan kualitas
tinggi ini diekspor ke negara
Eropa dan Asia, seperti Italia,
Perancis, Jerman, Belgia, India,
Filipina, Uni Emirat Arab,
Banglades, dan Pakistan.

repong damar pun dilarang menebang pohon ini tanpa


kebutuhan yang mendesak. Kalaupun terpaksa menebang
karena kebutuhan yang mendesak, harus mengganti
dengan menanam bibit Shorea javanica di tempat pohon
tersebut ditebang. Kearifan lokal inilah yang sampai saat ini
membuat keberadaan repong damar masih tetap eksis.

Repong damar sebenarnya bukan hanya hamparan kebun


yang berisi pohon damar mata kucing saja, tapi banyak juga
jenis-jenis pohon, seperti duku, nangka, melinjo, jengkol,
dan durian yang tumbuh berdampingan. Hanya saja, jumlah
pohon damar mata kucing yang paling dominan di sini. Oh
iya, masyarakat Lampung menyebutnya damar mata kucing
karena pohon ini menghasilkan getah berwarna kuning
bening dan mengkilat seperti layaknya mata seekor kucing.
Nah, getah damar inilah yang sebenarnya menjadi hartanya
masyarakat Lampung.

Bagi masyarakat Pesisir Barat, khususnya Pekon/Desa


Pahmungan, repong damar adalah segalanya. Berbagai
profesi lahir dari petak-petak repong damar ini, mulai dari
126 penyadap getah, pengangkut, penyortir, pengepul getah,
hingga eksportir damar. Bisa dikatakan, “Tak ada getah
damar, tak ada pula dapur yang mengepul setiap pagi”.
Berdasarkan data BAPPEDA Kabupaten Pesisir Barat tahun
2016, total luas areal repong damar mencapai 17.160,75 Ha
de­ngan produksi sekitar 6.720,2 ton/tahun. Produksi yang
melimpah inilah yang pada akhirnya menempatkan Pesisir Barat
menjadi pemasok damar mata kucing terbesar di Indonesia
dengan sumbangsih 80% dari total produksi nasional.

Tidak hanya produksi yang besar, getah damar dari


Pesisir Barat juga terkenal dengan kualitasnya yang tinggi.
Biasanya getah dengan kualitas tinggi ini diekspor ke negara
Eropa dan Asia, seperti Italia, Perancis, Jerman, Belgia,
India, Filipina, Uni Emirat Arab, Banglades, dan Pakistan.
Nantinya getah ini digunakan sebagai stabilizer pada industri
cat, tinta, farmasi, dan kosmetik.

Selain menjadi sumber penghasilan, repong damar juga


memberi dampak ekologi yang luar biasa. Siapa pun
tahu kalau sebuah tempat yang lestari pasti memberikan
kenyamanan tersendiri, mulai dari udara yang segar, air
jernih, sampai suara-suara satwa yang menenteramkan jiwa.
Nah, manfaat-manfaat inilah yang bisa dirasakan secara
langsung saat berada di tengah repong damare.

Meskipun keberadaan repong damar di Pesisir Barat,


khususnya Pekon Pahmungan masih terjaga, bukan berarti
bebas dari ancaman. Iming-iming dari berbagai pihak terha­
dap masyarakat agar menjual kayu damarnya sering dialami.
Namun, sampai sekarang masyarakat masih belum tergoda
menjual pohon damar menjadi kayu-kayu gelondongan.
Mereka terus bertahan memperjuangkan repong damar
sebagai sumber pendapatan dari getahnya saja dan tetap
menjaga repong damar sebagai bagian dari budayanya.

127 Ancaman lain juga datang dari perkembangan teknologi.


Apalagi saat ini mulai diproduksi bahan sintetis pengganti
getah damar. Hal ini tentu akan berakibat pada menurunnya
posisi tawar getah damar di pasar global. Kondisi tersebut
tentu menjadi sangat dilematik.

Saat Shorea javanica di kawasan hutan sudah semakin


berkurang karena illegal logging dan perambahan,
masyarakat Pesisir Barat masih setia menjaga repong
damarnya layaknya hutan, hingga menjadikannya
sebagai bagian budaya yang terus dipertahankan. Walau
iming-iming dari berbagai pihak datang silih berganti
agar masyarakat menjual Shorea javanica dalam bentuk
kayu-kayu gelondongan, mereka tak tergoda, meskipun
secara kalkulasi akan menghasilkan banyak pundi rupiah
jika menjual kayu-kayu Shorea javanica yang notabene
berukuran besar.

Semangat masyarakat Pesisir Barat ini harusnya segera menda­


patkan perhatian khusus dari berbagai pihak untuk membantu
masyarakat. Sebab, dari kearifan lokal inilah kita masih bisa
mendapat pelajaran terkait aspek ekologi (kelestarian alam),
ekonomi, dan budaya yang bisa saling bersinergi membentuk
sebuah pengelolaan yang benar-benar ideal. n

DAFTAR PUSTAKA

BAPPEDA Kabupaten Pesisir Barat. 2016. Potensi Daerah Sektor


Kehuatanan. http://www.bappeda.pesisirbaratkab.go.id//?s=damar. Diakses
tanggal 15 Oktober 2018.

de Foresta H., Kusworo, A., Michon, G., Djatmiko, W.A. 2000. Ketika Kebun
Berupa Hutan, Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat.
SMT Grafika Desa Putra. Jakarta. 249 hlm.
128 Orwa, C., Mutua, A., Kindt, R., Jamnadass, R., Anthony, S. 2009.
Agroforestree Database: a tree reference and selection guide version 4.0.
http://www.worldagroforestry.org/treedb/AFTPDFS/Shorea_javanica.PDF.
Diakeses tanggal 15 Oktober 2018.
129
Daun, bunga dan buah dari
Dipterocarpus retusus (Foto : Peniwidyanti)
MENCARI PLAHLAR,
MERANTI JAWA
YANG HAMPIR PUNAH
AGUS KUSMAWANTO, FAHMI IDRIS,
PURNA YULIA NURLAILI

Pagi sekali kami tiba di BKSDA Jawa Tengah Resort


Konservasi Wilayah Cilacap. Kami ingin menjelajahi
kekayaan hayati di pulau Nusakambangan, yang merupakan
salah satu hutan alam dataran rendah yang masih
tersisa di ekoregion Jawa. Secara khusus tujuan kami
menemukan Pohon Plahlar, salah satu flora langka endemik
Nusakambangan yang keberadaannya terancam punah.

Plahlar yang bernama latin Dipterocarpus littoralis atau


yang biasa disebut Meranti Jawa merupakan tanaman
jenis Dipterokarpa endemik Pulau Nusakambangan.
Mengingat bersifat endemik, area sebaran yang sempit
dan terlokalisasi, pohon ini masuk ke dalam daftar Red
List karena keberadaannya mulai langka dan terancam
punah. Bahkan saat ini IUCN menetapkannya pada kategori
Critically Endangered.

Plahlar juga merupakan pohon monoecious artinya tipe


130 pohon berumah satu, yang memiliki benang sari (kelamin
jantan) dan putik (kelamin betina) terdapat dalam satu
bunga sekaligus. Bunga ini kerap disebut bunga lengkap.
Cirinya berwarna merah gelap yang terletak di ketiak daun
(aksila) dan tumbuh berkelompok di sekitar ujung ranting.

Sedangkan buah plahlar memiliki ciri yang sama dengan


jenis meranti lainnya, yaitu tipe samara dengan tiga sayap
pendek dan dua sayap panjang yang dapat tumbuh mencapai
24 cm (Robiansyah dan Davy, 2015). Spesies ini biasanya
berbunga empat tahun sekali pada awal musim kemarau dan
buahnya masak pada awal musim hujan.

Proses penyebaranya dilakukan dengan pemencaran ke tem­


pat yang lebih jauh dibantu dengan tiupan angin. Dengan
bentuk buah seperti itu, pemencaran buah akan menjangkau
lebih jauh, apalagi keberadaan sayap turut membantu
penyebarannya.

Pohon Plahlar dapat tumbuh sampai pada ketinggian hingga


50 meter dengan diameter lebih dari 150 cm. Kulit batang
cenderung mengelupas, terutama pada pohon tua, dengan
warna kulit abu-abu pucat dan meneluarkan resin bila terluka.
Sistem percabangannya jauh dari pangkal batang dan sedikit
membentuk tajuk yang terbuka dan tidak beraturan.

Tipe daunnya tunggal berbentuk bulat telur, ujung


lancip, dan berdimensi lebar, dengan terususun spiral
mengelompok di ujung ranting, serta tulang daunya terlihat
jelas, hal ini disebabkan tulang daun yang sangat menonjol.

Sebagai tanaman Dipterokarpa, plahlar juga memliki ciri


dengan ditemukannya stipula atau kuncup yang melintang
dan berkelompok di sekitar ranting-ranting, dengan
dominasi warna merah beludru dan berbulu.

Plahlar merupakan jenis pohon besar yang tumbuh di


131 hutan tropis dataran rendah, sebagai vegetasi yang memiliki
kedudukan strata hutan dari Sub Canopy sampai Emergent.
Plahlar dapat tumbuh pada kondisi medan bergelombang
sampai berbukit dan umumnya dapat ditemukan banyak di
dekat sungai, khususnya pada tanah alluvial sampai subtrat
tanah bukit berkapur. Hal ini sesuai dengan kondisi biofisik
yang ada di wilayah Nusakambangan Barat.

Selain itu, pohon ini dapat tumbuh pada ketinggian 0-400


meter di atas permukaan laut.

Plahlar punya kayu berkualitas baik. Banyak orang menggu­


nakannya untuk bahan bangunan, bahan baku pembuatan
kapal dan pertukangan. Sedangkan resinnya dapat digunakan
untuk menambal perahu.

Fakta di lapangan, populasi plahlar makin menyusut, teruta­


ma yang berukuran besar. Banyak hal yang menyebabkan
itu, antara lain fragmentasi lingkungan, pembalakan, dan
pembukaan lahan untuk perkembangan permukiman.

Penebangan dan pengambilan kayu bakar secara liar jadi


ancaman utamanya. Selain itu, ancaman lain datang dari
tumbuhan invasif yang disebut langkap (Arenga obtusifolia,
Arecaceae) jenis dari famili Palmae yang mengakibatkan
penurunan jumlah anakan plahlar yang tumbuh.

Keberadaan langkap menjadi pesaing bagi keberhasilan


tumbuh anakan plahlar. Apalagi langkap tumbuhan invasif,
populasinya menyebar cepat sehingga mengakibatkan
hampir semua permukaan tanah dinaungi tajuknya.

Sebenarnya Cagar Alam Nusakambangan Barat menjadi


salah satu habitat terakhir pohon plahlar, namun kawasan
itu dirasa kurang luas untuk melindungi populasi spesies
ini. Berdasarkan informasi yang disampaikan Pak Dedi,
132 petugas BKSDA Jawa Tengah, masih ada populasi plahlar di
luar Cagar Alam Nusakambangan Barat. Populasi ini belum
terdata dengan baik. Ketidaktersediaan data inilah yang
Populasi plahlar makin menyusut,
teruta­ma yang berukuran besar.
Banyak hal yang menyebabkan itu,
antara lain fragmentasi lingkungan,
pembalakan, dan pembukaan lahan
untuk perkembangan permukiman.

menyebabkan pengelolaan populasi plahlar menjadi kurang


optimal sehingga rawan punah.

Dari Klaces kami menaiki bukit dan sampai di Gua Maria.


Lahan di sekitar Gua Maria sekarang mulai berubah, dari
hutan alam menjadi lahan pertanian. Kami melakukan
penelusuran di sekitar Gua Maria dengan harapan bisa
menemukan Plahlar.

Ada yang bilang di kawasan itu terdapat plahlar. Saat meng­


amati sekitar, kami melihat pohon dengan tajuk dan daun
mirip pohon plahlar. Semak belukar kami terobos untuk
menuju letak pohon tersebut, namun hasilnya nihil. Pohon
yang kami tuju tidak bisa kami temukan. Matahari semakin
terik, tapi kami belum juga menemukan pohon plahlar.

Kami melanjutkan perjalanan menuju blok kelapa muda.


Pak Dedi mengayunkan goloknya, menebas liana maupun
cabang dan ranting untuk membuka jalur. Tak jauh dari
sungai yang mengering, kami menemukan pohon plahlar di
punggungan bukit.

133 Ini temuan spesial bagi kami, termasuk Mba Helmi yang
baru pertama kali melihat langsung pohon plahlar, pohon
yang menjadi objek penelitian tesisnya. Dari situ, satu per
satu plahlar mulai ditemukan. Mulai dari tingkat semai,
sapihan, tiang, dan pohon. Kami langsung mendatanya
dengan hati yang bahagia.

Temuan banyak pohon plahlar itu membuka keran informasi


baru, ternyata pohon itu masih bisa ditemukan hingga 2
kilometer sebelah timur Cagar Alam Nusakambangan Barat.

Setelah puas dan hari semakin sore, kami memutuskan


melanjutkan perjalanan ke Ranca Babakan, titik kumpul dan
lokasi bermalam.

Keesokan harinya kami siap melanjutkan penelitian. Kali


ini kami akan melakukan penelusuran ke arah hulu Kalijati,
melalui Watumalang. Belum jauh treking, kami sudah
menemukan beberapa Pohon Plahlar. BKSDA Jawa Tengah
sudah mengimbau warga dan para penggarap lahan supaya
tidak menebang pohon jenis ini.

Ada pemandangan kontras di Kalijati. Sebelah timur terlihat


bukit-bukit yang masih diselimuti hutan, sedangkan di
sebelah barat, bukit seakan telanjang. Tak terlihat pohon
besar, yang ada hanya tanaman pertanian.

Di sempadan Kalijati, berkali- kali kami menemukan


gerombolan Pohon Plahlar. Sebagian besar yang kami
temukan adalah berupa sapihan atau pancang. Jarang sekali
kami menemukan plahlar berdiameter lebih dari 30 cm,
maupun yang berupa semai.

Ini mengkhawatirkan, mengingat sedikitnya semai menjadi


indikasi bahwa proses reproduksi plahlar di Nusakambangan
tidak berjalan baik. Hal ini bisa terjadi karena pohon-pohon
134 induk yang berukuran besar sudah banyak ditebang. n
135
Batang Dipterocarpus retusus yang lurus
dan berwarna kelabu (Foto : Peniwidyanti)
MENGENAL DAMAR
MATA KUCING DAN UPAYA
PELESTARIANNYA
DI KRUI PESISIR BARAT
DINA PERTIWI DAN WAWAN STAWAN

Meranti (Shorea spp.) merupakan salah satu genus pohon


dari famili Dipterocarpaceae yang memiliki keanekaragam­
an jenis paling tinggi. Keanekaragaman jenis yang tinggi
dari Meranti tidak dibarengi dengan laju regenerasi dan
pemanfaatan yang seimbang menyebabkan Shorea spp.
teran­cam kelestariannya.

Hampir seluruh jenis Shorea di Indonesia tergolong


dalam kategori langka. Salah satu jenis yang tergolong
langka (Endangered) berdasarkan International Union for
Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN) Red-
List yaitu Shorea javanica, dalam bahasa lokal masyarakat
Krui, Pesisir Barat dikenal dengan nama damar mata kucing.
Sebaran S. javanica dapat ditemui di seluruh Kabupaten
Pesisir Barat.

Shorea javanica menghuni pulau Sumatera, salah satu lokasi


dengan populasi terbanyak dan terkenal hingga mendunia
136 berada di Krui, Pesisir Barat. Masyarakat menamai hutan
tempat tumbuh S. javanica dengan sebutan repong damar,
berupa tegakan hutan sekunder dengan sistem wanatani
(agroforestry) hasil budidaya masyarakat yang telah dikelola
selama ratusan tahun.

Jika kita berkunjung ke Krui, Pesisir Barat lokasi Repong


Damar paling dekat dengan pusat kota yaitu berada di Pekon
Pahmungan dan Pekon Gunung Kemala, kedua lokasi ini
juga menjadi plot permanen kerjasama antara masyarakat
dengan Jurusan Kehutanan Universitas Lampung.

Saat berkunjung ke Repong Damar kita akan melihat


melihat gugusan hijau hutan, yang ketika mendekat akan
menjumpai banyak pohon S. javanica dengan tinggi lebih
dari 20 m, tak jarang banyak pohon mencapai tinggi 40—50
m dengan tinggi bebas cabang rata-rata 15 m.

Diameter pohon S. javanica di lokasi ini rata-rata 50—95


cm jika kita masuk ke dalam kawasan lebih jauh lagi kita
akan menemui pohon yang berdiameter sekitar 2 m. Batang
pohon S. javanica berwarna coklat kemerahan dengan kulit
luar berwarna abu—kecoklatan, bertekstur kasar beralur
dangkal dan sedikit mengelupas, menghasilkan resin
(damar) berwarna kuning—putih bening seperti kaca.

Daun S. javanica berbentuk jorong atau bulat telur


memanjang, panjang daun 8—15 cm dan lebar 4—7 cm
ujung sedikit meruncing, pangkal daun tumpul tangkai
daun memiliki panjang 1,5—3 cm. Tekstur helaian daun
muda berbulu dan daun agak tebal. Buah S. javanica seperti
baling-baling berwarna coklat jika sudah tua dan memiliki
masa berbuah produktif sekitar 3—5 tahun sekali.

S. javanica dapat dipanen resinnya saat pohon berumur 15—


20 tahun dan dapat mencapai usia produktif (menghasilkan
137 resin) sampai 45—50 tahun. Masyarakat memanen resin
(damar) dengan membuat lubang sadapan berbentuk berupa
takik-takik berbentuk segitiga atau ovale.
Jika alih fungsi lahan dan
fragmentasi terus terjadi dan upaya
konservasi tidak dilakukan dapat
dipastikan Repong Damar yang
ada di Pesisir Barat akan terus
berkurang luasannya dan fungsi
ekologinya akan terus menurun.

Pembuatan takik saat awal damar dapat dipanen memiliki


ukuran sisi 3—4 cm jarak vertikal antar takik sekitar 40 cm
dan jarak horizontal takik 50 cm. Setelah takik-takik dibuat
damar siap dipanen sekitar 30 hari kemudian, akan tetapi
saat ini pemanenan damar dilakukan pada 14—20 hari
untuk mengurangi tingkat pencurian damar.

Berkunjung ke Repong Damar, kita dapat mempraktekan


langsung cara mengunduh damar menggunakan ambon,
kapak kecil dan bakul hal ini merupakan pengalaman
menarik saat berkunjung ke tempat ini.

Setelah damar dipanen kita juga dapat melihat langsung


bagaimana pensortiran damar mata kucing di tempat
pengepul yang berada tidak jauh dari lokasi Repong Damar,
tujuannya untuk mendapatkan damar sesuai kelas kualitas
yang berbeda.

Kualitas ditentukan dari ukuran dan kebersihan damar yang


didapat, harga damar dengan kualitas terbaik (Grade A)
yaitu Rp 25.000,-/kg sedangkan untuk kualitas paling rendah
berupa debu (dust) yaitu sekitar Rp 15.000,-/kg.
138
Sebelum ke pengepul tak jarang petani mensortir terlebih
dahulu hasil panennya sehingga saat dijual ke pengepul
memiliki rentang harga yang lebih tinggi. Selain damar yang
dimanfaatkan dari pohon S. javanica yaitu kayunya yang
memiliki warna kuning gelap hingga kecoklatan, warna ini
dikarenakan S. javanica tergolong dalam jenis Meranti putih.

Kayu damar oleh masyarakat biasanya dipanen jika pohon


sudah tidak produktif lagi dan luka bekas pemanenan sudah
tertutup sehingga kayu dapat dimanfaatkan untuk bahan
konstruksi.

Berdasarkan penuturan masyarakat dan hasil observasi


dan wawancara yang pernah dilakukan lamanya masa
pertumbuhan pohon, pemanenan serta saat ini produksi
damar cenderung menurun dan perbanyakan bibit yang
cukup sulit, membuat masyarakat di beberapa daerah Pesisir
Barat mengalih fungsikan lahannya ke komoditas lain.

Di kecamatan Krui Selatan hingga Pesisir Utara banyak


masyarakat mengalih fungsikan lahan yang sebelumnya
ditumbuhi damar mata kucing menjadi sawit, ada juga yang
mulai menanami dengan komoditas cengkeh yang untuk
menanaminya akan menebang pohon-pohon damar ataupun
mengurangi jumlah pohon damar yang harus ditanami
kembali. Hal ini menjadi salah satu ancaman berkurangnya
luas tutupan hutan Damar di Pesisir Barat disamping
banyaknya fragmentasi habitat akibat pertumbuhan
penduduk yang semakin padat di Kabupaten Pesisir Barat.

Jika alih fungsi lahan dan fragmentasi terus terjadi dan


upaya konservasi tidak dilakukan dapat dipastikan Repong
Damar yang ada di Pesisir Barat akan terus berkurang
luasannya dan fungsi ekologinya akan terus menurun.

139 Fungsi ekologi dan ekonomi yang sangat dirasakan oleh


masyarakat yaitu kualitas air bersih yang melimpah, sistem
wanatani yang kompleks dapat dirasakan oleh masyarakat
seperti pemanenan beberapa komoditi hasil hutan bukan
kayu seperti duku, durian, petai, jengkol dan lainnya.

Repong Damar yang juga sebagai kawasan penyangga


Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan
habitat berbagai satwa liar diantaranya siamang (Hylobates
syndactyus), cecah (Presbytis melalophos), Muntiacus
muntjak dan berbagai jenis burung. Banyaknya manfaat
dari keberadaan Repong Damar dalam konservasi ekologi
dan satwa membutuhkan perhatian banyak pihak agar
kelestarian ekosistemnya dapat terus terjaga.

Sampai saat ini yang penulis ketahui kondisi Repong


Damar yang masih sangat dijaga yaitu Repong Damar
Pekon Pahmungan dan Pekon Gunung Kemala yang juga
merupakan plot permanen untuk kepentingan penelitian
dan pengabdian masyarakat.

Salah satu bentuk untuk menjaga kelestarian S. javanica


yang tergolong langka yaitu dengan pengembangan kawasan
Repong Damar menjadi salah satu lokasi wisata edukasi,
sehingga masyarakat tidak hanya bergantung pada hasil
komoditi damar mata kucing saja.

Pengembangan kawasan ini untuk menjadi salah satu tujuan


wisata memang masih memerlukan banyak studi ilmiah.
Penulis sangat optimis jika terus dilakukan pengembangan
dan edukasi dapat membuat kawasan Repong Damar tetap
terjaga karena pemerintah daerah Pesisir Barat juga sudah
mendukung dengan mengeluarkan peraturan berupa
larangan untuk menebang pohon- pohon damar mata
kucing yang ada dan juga menjadikan pohon Shorea javanica
sebagai icon kabupaten ini.
140
Hal tersebut menjadi salah satu atmosfer positif dalam
rangka upaya konservasi pohon langka yang ada di
Indonesia terkhusus Shorea javanica. Selain upaya
konservasi perlu juga menjadikan Repong Damar sebagai
salah situs warisan dunia yang karena kearifan lokal
masyarakatnya dalam menjaga hutan hingga ratusan tahun
secara turun temurun perlu mendapat apresiasi lebih oleh
berbagai pihak. n

141
MENJAGA GAHARU
AGAR TETAP LESTARI
YOPI KURNIADI

Eksploitasi resin besar-besaran membuat gaharu menjadi


salah satu tanaman yang terancam punah keberadaannya di
Indonesia. Diperkirakan selama tiga generasi terakhir popu­
lasi pohon ini menurun secara drastis hingga 80 persen.

Gaharu sendiri merupakan tumbuhan yang dapat hidup


di berbagai habitat, antara lain di tanah berkapur, berpasir,
berbatu, di sekitar kelerengan maupun di wilayah rawa.
Pohon ini biasanya terdapat di wilayah hutan primer dan
sekunder, di lereng gunung dengan elevasi mencapai 1.500
meter di atas permukaan laut. Pohon ini tersebar di berbagai
negara, seperti Bangladesh, Bhutan, India, Sumatera
(Indonesia), Kalimantan (Indonesia), Filipina, Singapura,
dan Thailand Selatan.

Ciri-ciri umum yang dimiliki gaharu adalah tinggi 20-49


meter. Diameter batang dapat mencapai 60 cm. Batang
berbentuk lurus, dengan warna batang keputihan, dengan
kulit kayu bertekstur halus dan berwarna kecoklatan. Daun
tunggal tersusun secara bersilangan, berwarna hijau dan
mengkilap. Daun berbentuk elips hingga lanset, terkadang
ujung daun berbentuk runcing (acuminate).

142 Tangkai daun dapat mencapai panjang 4-6 mm. Perbungaan


terminal, aksilar, atau supra aksilar. Terpecah menjadi 2
kumpulan yang masing-masing kumpulan berjumlah 10
bunga. Tangkai bunga memiliki Panjang 5-15 mm, anak
tangkai bunga memiliki Panjang 3-6 mm.

Mahkota bunga berjumlah 5, tersusun menjadi bentuk


menye­rupai lonceng memiliki warna kekuningan dan
bertekstur kasar. Kelopak bunga berjumlah 5, berbentuk
bulat sampai lonjong, memiliki Panjang 2-3 mm, dan
berteks­tur kasar. Bunga memiliki benang sari sebanyak 10
buah, tersebar didalam bunga dan memiliki panjang 1-1,2
mm, berbentuk seperti serabut. Putik bunga lurus, bagian
ovarium berbentuk bulat, memiliki Panjang 1-1,5 mm. Buah
kapsul berbentuk bulat telur dengan bagian ujung buah
lancip dan pangkal buah berbentuk bulat, bertekstur kasar.
Pertumbuhan kecambah bersifat epigeal.

Gaharu merupakan komoditi kehutanan yang memiliki nilai


ekonomi yang sangat tinggi. Pohon ini menghasilkan damar
wangi, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara
alami atau buatan. Gaharu dimanfaatkan dalam berbagai
bidang. Di negara-negara Timur Tengah, gaharu merupakan
kebutuhan pokok bagi masyarakat karena digunakan sebagai
dupa untuk ritual keagamaan. Masyarakat di Asia Timur juga
menggunakannya sebagai dupa. Minyak gaharu merupakan
bahan baku yang sangat mahal dan terkenal untuk industri
kosmetika seperti parfum, sabun, lotion, pembersih muka
serta obat-obatan seperti obat hepatitis, liver, antialergi, obat
batuk, penenang sakit perut, rhematik, malaria, asma, TBC,
kanker, tonikum, dan aroma terapi.

Menurut Faisal, Ketua Asosiasi Ekspor Gaharu Indonesia


(ASGARIN) harga 1 kg gaharu kualitas super bisa mencapai
Rp5 juta. Bahkan di tingkat internasional, harga 1 kg gaharu
kualitas double super dapat mencapai sepuluh ribu dolar
(sekitar Rp150 juta).
143
Gaharu diperjualbelikan dalam berbagai bentuk, yaitu
bongkahan, chips, dan serbuk.  Bentuk bongkahan dapat
berupa patung atau bentuk unik (natural sculpture) atau
berbentuk tidak beraturan.  Warna resin gaharu juga
bervariasi mulai dari keputihan sampai cokelat tua atau
mendekati kehitaman, tergantung kadar resin wangi yang
terdapat di dalamnya dan dengan sendirinya akan semakin
wangi atau kuat aroma yang yang ditimbulkannya jika
dibiarkan selama beberapa waktu.  

Warna gaharu dijadikan dasar dalam penentuan kualitasnya.


Semakin hitam dan pekat warnanya, semakin tinggi
kandungan resinnya, dan akan semakin tinggi pula nilai
jualnya.  Umumnya semakin hitam/pekat warna gaharu,
menunjukkan semakin tinggi tingkat infeksi yang dialami
pohon tersebut, dan semakin kuat aroma yang ditimbulkan.  

Namun pedoman warna dan aroma ini tidaklah mutlak,


karena dalam kenyataannya, warna ini dapat diakali dengan
penerapan pewarna, sedangkan aroma dapat diakali dengan
mencelupkan gaharu ke dalam destilat.  Sehingga hanya
pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman dan sudah
lama berkecimpung dalam perdagangan gaharu saja yang
dapat membedakan antara gaharu yang tinggi kualitasnya
dengan yang lebih rendah kualitasnya.

Salah satu penyebab terjadinya kelangkaan dari keberadaan


pohon ini adalah pada letak cara pemanenan resin gaharu.
Resin gaharu dipanen secara tradisional dengan cara
ditebang habis, padahal dalam satu pohon belum tentu resin
dapat dihasilkan dengan optimal.

Satu kilogram resin gaharu didapatkan melalui


penebangan ribuan pohonnya. Hal inilah yang menjadi
permasalahan utama dalam pemanenan resin gaharu. Untuk
144 meminimalisasi kelangkaan, upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan memperbaiki sistem pemanenan resin
gaharu.  Namun, sejalan dengan meningkatnya permintaan
pasar dan nilai jual dari gaharu, masyarakat lokal telah
mendapat pesaing dari pebisnis gaharu dari berbagai tempat,
sehingga para pemburu terus berlomba mendapatkan
gaharu. Akibatnya, pemanfaatan gaharu secara tradisional
yang mengacu pada prinsip kelestarian tidak dapat
dipertahankan lagi.  Hal ini berdampak, semakin sedikitnya
pohon-pohon induk gaharu.  Bahkan di beberapa tempat,
gaharu telah dinyatakan langka atau hampir punah. 

Pemanfaatan gaharu dari alam secara tradisional di Indonesia


(Kalimantan dan Sumatera), seharusnya memperhatikan
aspek kelestarian alam agar keberadaan pohon induk akan
terjamin, yaitu hanya mengambil bagian pohon tanpa harus
menebang pohonnya.  Pemanenan gaharu dapat dilakukan
dengan membuat lubang pemanenan yang telah di bor
sebelumnya dan lubang bor diberi jarak tertentu, sebaiknya
pemanenan dilakukan dari pohon-pohon penghasil gaharu
yang mempunyai diameter di atas 20 cm, atau pohon
mencapai umur kurang lebih 6 tahun.

Penyilangan pohon indukan untuk menghasilkan bibit yang


unggul juga merupakan hal yang harus diperhatikan, sebab
tidak semua Pohon Gaharu dapat menghasilkan gaharu
kualitas dan kuantitas yang baik. Upaya penemuan bibit
unggul dilakukan sebagai usaha perbaikan kualitas dan
kuantitas gaharu yang dihasilkan. Upaya ini sebagai bentuk
perlindungan terhadap Pohon gaharu yang terdapat dialam
sebagai sumber plasma nutfah.

Dengan ditemukannya jenis pohon dengan kualitas


unggul, diharapkan tingkat kuantitas dan kualitas gaharu
meningkat dan dapat mensejahterakan masyarakat. Upaya
145 inokulasi dan injeksi mikroba jenis Fusarium spp. kedalam
pohon gaharu secara buatan juga dapat dilakukan untuk
meningkatkan produktivitas gaharu. n
MENJAGA KALAPI
AGAR TETAP LESTARI
ABDUL HARITS NASRI

Meski daratan Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan


di dunia, kenyataannya tanah Indonesia memiliki 17 persen
spesies spesies reptil dan amfibi, 10 persen jenis tumbuhan
berbunga, 12 persen hewan mamalia, dan 25 persen spesies
ikan di dunia.

Kalapi menjadi salah satu yang menunjukkan kekayaan flora


di Indonesia. Tumbuhan bernama latin Kalapia celebica,
Kosterm itu hanya tumbuh di Sulawesi.

Namun demikian, berdasarkan data Redlist IUCN


(International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources), tumbuhan ini termasuk ke dalam flora yang
rentan terhadap kepunahan (vulnerable).

Status rentan itu disebabkan karena kayu kalapi merupakan


kayu yang memiliki nilai jual tinggi. Hasil studi pustaka dari
berbagai sumber menyatakan, persebaran alami kayu kalapi
sangat terbatas di Malili Sulawesi Selatan, Kolaka, dan Desa
Anggoro, Kecamatan Abuki, Kabupaten Konawe.

Kalapi tumbuh pada hutan hujan tropis basah dari dekat


146 pantai sampai 500 mdpl, tetapi umumnya pada ketinggian di
bawah 100 m, biasa hidup pada tanah berbatu, dengan pH
sekitar 4 dan CH tahunan kira-kira kurang lebih 3000 mm,
dengan CH minimum sekitar 150 mm pada bulan kering
dan maksimum 500 mm dalam bulan basah.

Kayu kalapi memiliki kelas kuat I dan kelas awet II. Kayu
kalapi sangat tahan dari serangan rayap dalam waktu
cukup lama sesuai penggunaannya dengan kategori sangat
tahan atau kelas awet I (Ankhar., 2016). Sedangkan apabila
ditinjau dari serangan jamur pelapuk kayu (Ganoderma
lucidum) dilaporkan bahwa rata-rata persentase bobot yang
didapatkan menunjukkan bahwa kayu kalapi termasuk
kedalam kelas ketahanan III (5.0-9.9) terhadap serangan
jamur (Ganoderma lucidum).

Habitus pohon memiliki tinggi sampai 40 m diameter


batang 90 cm dan banir sampai 3 m dan melebar 2 meter
dari permukaan tanah. Morfologi daun majemuk tangkai
daun dan rachis 6.5- 12,5 cm. Anak daunchartaceus, elip
atau obovatus, (6-) 11-14 X (2,5-) 4-6 (-8.5) cm. Ujung
daun meruncing, dasar cuneatus, bagian permukaan bawah
terdapat bulu-bulu pendek, permukaan atas berdaging.
Perbungaan kadang-kadang bercabang dekat dasar, 5-10
(-15) cm panjang, terdapat bulu-bulu halus.

Bunga kuning (orange), Calyx berlobes 5, elip atau oblong,


4-6 X 2-3 mm, bagian luar berbulu rapat. Jumlah anak
daun 2-5 dan berseling, anak daun berbentuk lanset sampai
lonjong. Perbungaan berbentuk malai di ketiak atau di dekat
ujung berbentuk menyerupai cakram. Sedangkan kulit
batang agak kasar teratur berwarna kecoklat-coklatan.

Sebaran alami tersedia pada habitat kayu kalapi (Kalapia


celebica Kosterm) sudah sangat minim alaminya. Hal ini
terjadi karena kebutuhan yang tinggi sehingga menyebabkan
147 intensitas perburuan terhadap kayu jenis ini sangat masif.
Populasi yang sedikit ini menyebabkan tumbuhan kalapi
sangat perlu untuk dikonservasi. n
MENYOROTI KEBERADAAN
POHON RAMIN
(GONYSTYLUS BANCANUS KURZ.)
DI HUTAN RAWA
GAMBUT SUMATERA
DAN KALIMANTAN
SURYANSAH

Hutan Indonesia merupakan hutan ketiga terbesar setelah


Brasil dan Kongo. Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa
pusat-pusat perkembangan kebudayaan dan peradaban
manusia tumbuh dan berkembang di kerajaan-kerajaan yang
pusat pemerintahannya terletak di sepanjang sungai-sungai
besar. Kerajaan yang mampu mencapai puncak keemasan
dan kemakmuran rakyatnya, di antaranya Kutai di sepanjang
Sungai Mahakam, Tarumanegara dan Pajajaran di tepi
Sungai Ciliwung/Cisadane, Majapahit di sepanjang Sungai
Brantas, dan Sriwijaya di sepanjang Sungai Musi.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut, jelaslah bahwa


ketersediaan air dan lahan selalu berkaitan dengan
perkembangan lingkungan, permukiman, dan pertanian.
148 Masalah permukiman tak dapat dilepaskan dari landasan
sumber daya alam bagi kehidupan manusia, yakni sesuatu
yang menyebabkan permukiman dapat terbentuk dan
bertahan. Pembangunan pertanian, peternakan, perikanan,
kehutanan, industri, energi pariwisata, dan permukiman
penduduk merupakan pembangunan yang selalu berkaitan
erat dengan pengunaan sumber daya air dan lahan.

Melihat adanya pertumbuhan penduduk selama beberapa


waktu yang lampau karena tingginya laju petambahan
penduduk dan adanya ekploitasi sumber daya alam secara
intensif dan berlebihan, sejumlah pohon pun semakin
langka dan pohon endemik akan berkurang. Dalam
pandangan Maslow(1992), kebutuhan setiap manusia itu
berjenjang atau berhierarki. Dengan urutan yang klimaks,
hierarki meliputi kebutuhan dasar, seperti makan, minum,
seksual, tempat tinggal, dan lain-lain. Kebutuhan sekunder
adalah rasa aman dan nyaman. Lalu, kebutuhan ketiga,
kebutuhan untuk dicintai dan dihargai. Ada pula kebutuhan
kebergunaan bagi orang lain, seperti menjadi tokoh politik,
peraih hadiah Nobel, dan sebagainya.

POTENSI DAN PEMANFAATAN HUTAN GAMBUT

Salah satu tipe ekosistem penting yang terdapat di Indonesia


adalah lahan gambut.  Lahan gambut merupakan ekosistem
lahan basah yang dicirikan oleh tingginya akumulasi bahan
organik dengan laju dekomposisi yang rendah. Lahan
gambut tropis meliputi areal seluas 40 juta ha, dengan 50%
di antaranya terdapat di Indonesia, yaitu sekitar 18,8 juta ha
atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 14,95


juta hektare, tersebar di Pulau Sumatera 6,4 juta hektare
149 (43%), Pulau Kalimantan 4,8 juta hectare (32%), dan Pulau
Papua 3,7 juta hektare (25%). Lahan gambut sebagai media
tumbuh tanaman telah lama dimanfaatkan petani untuk
menghasilkan bahan pangan dan komoditas perkebunan.
Maraknya alih fungsi lahan pertanian subur di Pulau Jawa
yang selama ini memasok 60% kebutuhan pangan Indonesia,
semakin menyadarkan betapa pentingnya lahan gambut
bagi pembangunan pertanian. Bahkan, tidak berlebihan
jika lahan gambut dikatakan sebagai lumbung pangan masa
depan Indonesia (Haryono: 2013).

Meskipun dari segi luas lahan gambut mempunyai potensi


yang besar, produktivitas lahan ini masih tergolong rendah.
Menurut Masganti (2013), pemilihan lahan gambut sebagai
pemasok bahan pangan pada masa mendatang didasarkan
atas pertimbangan (1) produktivitas masih rendah, (2) lahan
potensial masih luas, (3) indeks pertanaman (IP) masih
rendah, (4) lahan terdegradasi yang potensial masih luas,
(5) pola produksi bahan pangan di lahan gambut bersifat
komplementer dengan pola produksi bahan pangan di pulau
Jawa, dan (6) kompetisi pemanfaatan lahan untuk tujuan
nonpertanian relatif rendah.

Produktivitas lahan gambut sangat tergantung dari penge­


lolaan dan tindakan manusia. Beberapa peneliti melaporkan
bahwa produktivitas lahan gambut menurun akibat degra­­
da­si kesuburan tanah, sifat fisika, dan biologi tanah. Terdapat
perbedaan kesuburan tanah antara lahan gambut yang
dimanfaatkan dengan lahan gambut yang telantar. Lahan
gambut yang tidak terdegradasi mempunyai kadar N-total,
P-tersedia, unsur-unsur basa, dan kadar abu yang lebih ting­
gi dari lahan gambut terdegradasi. Selain itu, lahan gambut
yang terdegradasi mempunyai kemampuan memegang air
lebih rendah, sehingga pada musim hujan mudah mengalami
banjir dan pada musim kemarau mudah kering dan terbakar
150 serta efisiensi dan efektivitas pemupukan rendah. Bahkan
penurunan produktivitas lahan gambut menyebabkan
sebagian lahan ditinggalkan atau ditelantarkan.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa
produktivitas lahan gambut menurun
akibat degra­­da­si kesuburan tanah,
sifat fisika, dan biologi tanah. Terdapat
perbedaan kesuburan tanah antara
lahan gambut yang dimanfaatkan
dengan lahan gambut yang telantar.

Gambut memang memiliki beberapa nilai penting, baik yang


bersifat ekstraktif maupun non-ekstraktif. Sebagai bahan
ekstraktif, gambut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Abu gambut dapat digunakan sebagai pupuk, diambil asam
humatnya, media semai, atau media untuk reklamasi lahan
kering. Sebagai bahan non-ekstraktif kandungan gambut
dapat berfungsi sebagai habitat pendukung keanekaragaman
hayati, sebagai lahan kehutanan, perkebunan dan pertanian
secara umum. Selain itu, karena kemampuannya menyim­
pan air yang sangat besar yang dapat mencapai 90% dari
vo­lume, maka lahan rawa gambut berfungsi sebagai kawasan
penyangga hidrologi bagi kawasan sekitarnya, yaitu mencegah
banjir di musim hujan, penyuplai air di musim kemarau, dan
mencegah intrusi air laut.

SEBARAN POPULASI POHON RAMIN


DI INDONESIA

Penyebaran populasi jenis ramin di Indonesia yang pernah


teridentifikasi terdapat di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan,
151 Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan terutama di Pulau
Sulawesi. Di Pulau Jawa, ramin tumbuh di Nusakambangan,
sepanjang pantai Jawa Barat di kaki Gunung Gede dan Anten.
Ramin juga dijumpai di Riau, Bangka Belitung, pesisir
timur Pu­­­lau Sumatera dan sepanjang Sungai Musi pada
Pulau Sumatera. Pada Pulau Kalimantan sebarannya
terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Selatan. Di Indonesia untuk sekarang ini, jenis
kayu ramin hanya dapat dijumpai di kawasan hutan
rawa Pulau Sumatera, kepulauan di Selat Karimata, dan
Pulau Kalimantan.

Populasi ramin semakin menurun sejak eksploitasi yang


dilakukan dari tahun 1980. Sedangkan untuk jenis-jenis
lain selain jenis tersebut belum banyak diketahui, termasuk
populasi dan sebaran alaminya. Informasi yang tersedia saat
ini adalah berdasarkan informasi spesimen herbarium yang
telah berusia puluhan tahun. Dengan demikian, kondisi
habitatnya tidak terekam dengan lengkap.

Ramin (Gonystylus bancanus Kurz.) merupakan jenis asli


Indonesia (Kalimantan Barat dan Tengah, Sumatera bagian
tenggara, Bangka), Malaysia (Semenanjung barat daya dan
Sarawak) dan Brunei Darussalam pada hutan rawa-gambut
berair tawar di daerah pantai. Sebaran tempat tumbuh dapat
mencapai ketinggian 100 m di atas permukaan laut, kadang
merupakan tegakan ramin murni. Populasi dan habitatnya
menurun tajam akibat penebangan berlebihan. Berdasarkan
daftar merah International Union for Conservation of Nature
and Natural Resources (IUCN), tingkat kelestariannya
tergolong kategori terancam punah.

Pohon ramin termasuk jenis yang memiliki kecenderungan


hidup mengelompok dengan sebaran terbatas. Ramin
tergo­long pohon sedang dengan batang bundar. Tingginya
152 bisa mencapai 40-50 m serta memiliki garis tengahnya
mencapai 120 cm. Ramin memiliki kulit kayu berwarna
kelabu sampai cokelat kemerahan tergantung umur kayu
ramin, tidak bergetah serta beralur dangkal. Kayunya
berwarna putih sampai kekuningan. Kayu ramin berwarna
kuning pada waktu ditebang dan apabila telah dikeringkan
akan berwarna keputih-putihan. Kayu ramin disebut “An
attractive, high class utility hardwood” dengan tekstur dan
serat yang halus.

Tingkat keawetan tergolong rendah, sehingga butuh


perlakuan khusus dan kayunya tergolong kelas awet V
karena sangat peka terhadap serangan jasad perusak atau
bubuk kayu basah (blue stain). Dengan demikian, apabila
ingin memperoleh ketahanan dalam pemakaian, kayu
jenis ramin harus diawetkan terlebih dahulu. Kayu ramin
tergolong jenis sangat mudah diawetkan serta mempunyai
berat jenis 0,63. n

153
MERANTI SUMATERA YANG
KAYA MANFAAT DAN UPAYA
KONSERVASI EX SITU DI
KEBUN RAYA INDONESIA

SANIYATUN MAR’ATUS SOLIHAH

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki


keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity).
Diperkirakan sekitar 38.000 jenis tumbuhan berada di
Indonesia dan 55% di antaranya merupakan jenis endemik.
Data IUCN (2018) menunjukkan bahwa Indonesia menjadi
negara terbesar keenam setelah Ekuador, Malaysia, Brasil,
Cina, dan Tanzania dalam hal jumlah spesies tumbuhan
terancam kepunahan.

Salah satu pulau di Indonesia dengan keanekaragaman


hayati yang tidak diragukan lagi adalah Sumatra. Banyak
jenis tumbuhan yang tumbuh di Pulau Sumatra. Salah
satunya adalah jenis Shorea sumatrana atau di Indonesia
lebih dikenal dengan nama pohon meranti.

S. sumatrana adalah salah satu jenis dari keluarga


Dipterocarpaceae. Pohon ini tergolong pohon pokok hutan
154 karena memiliki ukuran yang besar dan kayu yang keras.
Umumnya, pohon meranti tumbuh dengan subur di lembah
dan sepanjang tebing sungai. Jenis meranti ini asli dari
Indonesia dan Malaysia, bahkan juga diduga berasal dari
Thailand. Namun, menurut Pooma dan Newman (2017),
koleksi S. sumatrana di Thailand belum diperbarui selama
50 tahun terakhir ini. Karena itu, masih diragukan apakah
spesiesnya masih ada saat ini di Thailand.

Berbagai sebutan ditujukan untuk jenis ini. Oleh masyarakat


Sumatra, S. sumatrana lebih akrab dikenal dengan nama
Sengkawang. S. sumatrana merupakan jenis pohon penting
bagi masyarakat lokal Sumatera, bahkan masyarakat
Indonesia pada umumnya karena memiliki banyak manfaat.

Hampir setiap hari pohon sengkawang dimanfaatkan untuk


memenuhi kebutuhan sehari- hari. Oleh sebab itu, jumlah
populasi jenis ini di alam semakin hari semakin berkurang.
Selain itu, kerusakan habitat alami akibat deforestasi dan
konversi lahan juga menjadi sebab berkurangnya populasi
jenis ini. Mengingat pentingnya S. sumatrana dan belum
banyak referensi yang mengulas jenis ini, maka tulisan ini
akan memberikan informasi tentang S. sumatrana beserta
manfaat dan upaya konservasi ex situ yang telah dilakukan
kebun raya di Indonesia.

Karakter Morfologi S. sumatrana

S. sumatrana memiliki sinonim: Isoptera sumatrana Slooten


ex Thorenaar (The Plant List, 2018). Jenis ini memiliki
beberapa nama lokal, yaitu meranti (Indonesia); sengkawang,
kedawang, sengkawang besak (Sumatera); balau sengkawang
udara, balau sengkawang air, balau merah, sengkawang,
tengkawang batu (Malaysia); dan palosale, teng-dong
(Thailand) (Newman et al., 1999).
155
Sengkawang memiliki ciri-ciri, antara lain: pohon sedang
atau besar dengan tinggi mencapai 50 m, batang silinder atau
Pohon ini merupakan jenis kayu
keras, berat, tahan lama, tahan
terhadap binatang penggerek, jamur
dan rayap, sehingga sering digunakan
untuk konstruksi, lantai, sambungan
eksterior, alat musik dan peti.

terpilin dengan diameter mencapai 115 cm, mengandung


resin, banir penopang menonjol lurus atau cekung dan tipis,
warna dalam kayu merah terang sampai merah gelap atau
merah keunguan sampai cokelat keabu-abuan; pepagan
gelap dengan bidang-bidang kecil lebih terang, agak licin
dengan lentisel berdekatan, atau kasar dengan sisik- sisik;
daun tersusun bergantian, berbentuk lanset hingga jorong
atau bundar telur, berukuran 9 – 18 x 2,5 – 8 cm, ujung lancip
panjang, pangkal bentuk pasak atau membundar, simetris,
permukaan atas hijau tua mengkilap dan apabila mengering
cokelat agak lembayung. Permukaan bawah hijau pucat
kuning keabu-abuan dan apabila mengering cokelat agak
kelabu atau cokelat kekuning- kuningan.

Perbungaan malai; bunga kecil dan harum, kuncup


memanjang, muncul pada ujung batang/cabang atau di
ketiak daun dan kadang muncul di ranting, berdiameter 27
mm, berwarna putih sampai kekuningan. Pangkal bunga
merah jambu-merah, kelopak sempit, dan benang sari 25;
buah muda kuning kecokelatan, 5 cuping pendek, buah tua
berwarna cokelat muda-cokelat tua, berkayu; biji berbentuk
bulat telur atau bulat mengerucut, ukuran 1 cm.

156 Perlu diketahui, S. sumatrana terkait erat dengan S. seminis.


Dari karakter morfologi keseluruhan hampir sama, yang
membedakan hanya jumlah stamen (benang sari). Menurut
Newman et al., (1999) pada S. sumatrana jumlah benang sari
25, sedangkan pada S. seminis benang sari 30 – 40.

Habitat dan persebaran S. sumatrana

S. sumatrana tumbuh baik di hutan dipterokarpa campuran


yang tidak terganggu pada ketinggian mencapai 300 meter
di atas permukaan laut. Jenis ini juga tumbuh di sepanjang
tepi sungai yang alirannya lambat, lembah, hutan rawa yang
tergenang sementara, dan biasanya senang tumbuh pada
tanah aluvial (Fern, 2014).

Jenis ini diketahui dapat membentuk hubungan ektomikoriza


dan penyebaran benih terjadi melalui primata (Pooma and
Newman, 2017). Tumbuhan ini juga tersebar dari Malaysia
(Semenanjung Malaysia), Indonesia (Jawa dan Sumatra) dan
Semenanjung Thailand (mungkin sudah punah) karena belum
ada penelitian lagi dalam 50 tahun terakhir (Sosef, 2017).

Pemanfaatan dan potensi S. sumatrana

S. sumatrana adalah pohon yang berpotensi dan memiliki


banyak kegunaan. Pohon ini merupakan jenis kayu keras,
berat, tahan lama, tahan terhadap binatang penggerek, jamur
dan rayap, sehingga sering digunakan untuk konstruksi,
lantai, sambungan eksterior, alat musik dan peti.

Menurut Fern (2014), jenis ini juga menghasilkan resin yang


dapat digunakan untuk membuat obor dan digunakan dalam
produksi cat, pernis, dan kosmetik. Pemanfaatan lain S.
sumatrana adalah sebagai bahan pangan dan obat. Lemak
nabati yang diperoleh dari biji dapat digunakan sebagai
157 pengganti mentega cokelat (mentega yang diperoleh dari
Theobroma spp.) dan dapat digunakan dalam berbagai cara,
sering dikombinasikan dengan mentega cokelat.
Mengingat banyaknya manfaat dan
potensi dari S. sumatrana, tidak jarang
para perambah hutan mengambil kayu
pohon ini. Akibatnya, populasi jenis ini
semakin langka dan terancam.

Lemak dari biji S. sumatrana mudah diserap oleh kulit


manusia. Maka dari itu, jenis ini sering dimanfaatkan untuk
mengobati masalah kulit (sebagai zat pembawa). Potensi
lain dari S. sumatrana adalah dapat dimanfaatkan dalam
pembuatan sabun dan lilin.

Status dan Upaya Konservasi Ex situ S. sumatrana

Mengingat banyaknya manfaat dan potensi dari S.


sumatrana, tidak jarang para perambah hutan mengambil
kayu pohon ini. Akibatnya, populasi jenis ini semakin
langka dan terancam. Selain itu, ancaman utama untuk S.
sumtrana adalah deforestasi (hilangnya habitat alami) untuk
ekspansi pertanian terutama kelapa sawit.

Menurut Pooma dan Newman (2017), populasi untuk jenis


meranti sengkawang terbatas dan populasi keseluruhan
dianggap menurun. Tumbuhan ini diduga telah mengalami
penurunan populasi kurang lebih 50% selama tiga generasi
terakhir (300 tahun) di Indonesia dan Malaysia, bahkan telah
punah di Thailand.

Pada saat ini, S. sumatrana sedang menghadapi risiko


kepunahan di alam liar yang tinggi. Data IUCN (2017),
158 melaporkan bahwa jenis ini diklasifikasikan dalam
kategori status konservasi Endangered (EN: genting atau
terancam). Berkaitan dengan hal tersebut, maka dibutuhkan
pemantauan lanjutan untuk mengetahui penurunan
populasi dan diperlukan metode penggunaan berkelanjutan
dalam pengelolaan panen kayu S. sumatrana.

Hasil 6th Global Botanic Gardens Congress (2017) melapor­


kan bahwa jenis ini telah dikonservasi secara ex situ di dua
lokasi, yaitu di Indonesia dan Malaysia. Mengingat populasi
yang semakin menurun di alam dan status yang terancam
kepunahan, maka solusi logis yang dilakukan di Indonesia
adalah dengan konservasi ex situ. Saat ini, konservasi ex situ
S. sumatrana di Indonesia baru di Kebun Raya Bogor dengan
jumlah dua pohon yang ditanam di Vak IX.D.

Sebenarnya di Indonesia sudah ada 37 kebun raya (5 Kebun


Raya LIPI dan 32 Kebun Raya Daerah), dengan tiga di antara­
nya terletak di Pulau Sumatera, yakni Kebun Raya Batam,
Kebun Raya Sriwijaya, dan Kebun Raya Liwa. Dengan demi­
kian, kebun raya yang berada di Pulau Sumatera diharapkan
ke depannya juga dapat mengkonservasi S. sumatrana.

Perbanyakan S. sumatrana

Perbanyakan S. sumatrana di habitat alami belum diketahui


secara pasti. Anakan S. sumtrana yang tumbuh di dekat
pohon induk juga seringkali tidak tumbuh sampai dewasa.
Jika pun tumbuh akan membutuhkan waktu yang lama,
karena berkembang biak menggunakan biji.

Berdasarkan data konservasi ex situ, perbanyakan S.


sumatrana dengan bantuan manusia perlu dilakukan.
Namun demikian, informasi spesifik perbanyakan untuk
jenis ini belum ada.

159 Perbanyakan S. sumatrana dapat dilakukan mengacu pada


panduan umum marga Shorea. Adapun cara perbanyakan
yang pertama kali dilakukan adalah dengan merendam
Shorea sumatrana merupakan
tumbuhan Sumatera yang populasinya
terus menurun. Berdasarkan data
lapangan dan referensi terkait, jenis
ini banyak dimanfaat­kan dalam
kehidupan sehari-hari.

benih selama 12 jam sebelum disemai. Kemudian, benih-


benih ditabur pada bedengan yang ditutupi dengan
campuran pasir dan tanah (perbandingan 1: 1) atau dengan
lapisan tipis serbuk gergaji.

Perkecambahan biji segar biasanya baik dan cepat, yaitu


sekitar dua minggu setelah semai (tinggi 5-6 cm). Setelah
itu, semai dipindahkan di pot atau polybag (1 pot 1 individu)
dengan lubang drainase yang baik dengan menggunakan
media campuran tanah hutan dan pasir (perbandingan 3: 1).

Penggunaan tanah hutan bertujuan untuk memperkenalkan


mikoriza yang sesuai ke akar. Setelah ditanam di pot, bibit
dipindahkan pada tempat yang terkena sinar matahari
50 – 60 % dan disiram dua kali sehari. Bibit dapat ditanam
di lapangan saat tinggi sudah mencapai 30 – 40 cm.
Perbanyakan S. sumatrana selama ini baru pernah dilakukan
secara manual (biji) di kebun raya. Ke depannya mungkin
perbanyakan S. sumatrana dapat dilakukan secara in vitro
agar regenerasi jenis ini lebih cepat.

Shorea sumatrana merupakan tumbuhan Sumatera yang


populasinya terus menurun. Berdasarkan data di lapangan
dan referensi terkait S. sumatrana, jenis ini banyak
160 dimanfaat­kan dalam kehidupan sehari-hari, terutama
sebagai bahan kontruksi dan resin. Selain itu, mengingat
persebaran S. suma­trana yang terbatas menjadikan
konservasi ex situ tum­buhan ini sangat penting guna
mempertahankan kebera­daannya. Upaya konservasi ex
situ juga harus disertasi dengan usaha perbanyakan untuk
mendapatkan generasi S. sumatra­na. Walaupun demikian,
penelitian lebih mendalam tentang jenis ini masih perlu
dilakukan, khususnya tentang perba­nyak­an S. sumatrana
sebagai salah satu upaya pelestarian. n

DAFTAR REFERENSI

Anonim. 2014. Shorea sumatrana: Heavy timber of various uses. Forest


Research Institute Malaysia. Ministry of Water, Lands and Natural
Resources. https://www.frim.gov.my/shorea-sumatrana-heavy-timber-of-
various-uses/. Diakses tanggal 28 Agustus 2018.

Anonim. 2018. Shorea sumatrana. Flora Malesiana. http://portal.


cybertaxonomy.org/flora- malesiana/cdm_dataportal/taxon/910f0c02-9415-
42f6-841a-d2aeff6346cc. Diakses tanggal 28 Agustus 2018.

Botanic Gardens Conservation International (BGCI). 2017. Keikutsertaan


Kebun Raya Bogor dalam Kegiatan Penguatan Scientific Authority Terkait
Kebun Raya Dan Keanekaragaman Hayati. BGCI’s 6th Global Botanic
Gardens Congress pada tanggal 26 – 30 Juni 2017. Geneva, Switzerland.

Fern, K. 2014. Shorea sumatrana. Useful Tropical Plants Database. http://


www.tropical.theferns.info/viewtropical.php?id=Shorea+sumatrana.
Diakses tanggal 28 Agustus 2018.

Newman, M.F., P.F. Burgess, dan T.C. Whitmore. 1999. Pedoman Identifikasi
Pohon-pohon Dipterocarpaceae Sumatera. Diterjemahkan oleh N. Wulijarni-
Soetjipto, E.N., Penyunting Sutarno, H., S. Riswan, dan A. Kartikasari.
PROSEA Indonesia, Bogor.

Pooma, R. and M. Newman. 2017. Shorea sumatrana. The IUCN Red List
of Threatened Species. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2017-3.RLTS.
T33481A2837487.en. Diakses tanggal 10 September 2018.

Sosef, M.S.M. 2017. Shorea sumatrana. Plant Resources of South-East


Asia. https://uses.plantnet- project.org/en/Shorea_sumatrana_(PROSEA).
Diakses tanggal 28 Agustus 2018.

The IUCN Red List of Threatened Species. 2018. Shorea sumatrana. http://
161 www.iucnredlist.org/search. Diakses tanggal 10 September 2018.

The Plant List A Working List of All Plant Species. 2018. Shorea sumatrana
(Slooten) Desch. http://www.theplantlist.org/tpl1.1/record/kew-2592597.
Diakses tanggal 28 Agustus 2018.
PELAHLAR
MUTIARA DARI JAWA
YANG TERANCAM PUNAH
WULAN SUKMAWATI

Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah ber­


iklim tropis dan dilewati garis khatulistiwa. Letak tersebut
menyebabkan Indonesia menjadi negara megabiodeversitas
karena keanekaragaman flora dan fauna yang cukup tinggi.

Diperkirakan terdapat 38.000 jenis tumbuhan atau 10% dari


flora dunia yang berada di Indonesia. Tidak kurang dari 55%
dari jenis-jenis ini merupakan jenis yang endemik atau jenis
yang tidak terdapat di tempat lain.

Namun, disamping itu, Indonesia juga salah satu negara


dengan tingkat kerusakan hutan yang tinggi (hot spot
country) mencapai 2,83 juta ha per tahun. Hal inilah
yang menjadi ancaman terhadap keberadaan jenis-jenis
tumbuhan yang ada di dalamnya juga semakin meningkat,
sehingga sebagian di antaranya menjadi langka dan
terancam punah.

Menurut data IUCN, Indonesia merupakan salah satu dari


lima negara yang memiliki daftar jenis tumbuhan terancam
punah paling tinggi di dunia dan menduduki peringkat
162 ke dua di benua Asia setelah Malaysia. Data menunjukkan
sekitar 3% dari 4% tumbuhan yang teridentifikasi statusnya
merupakan jenis-jenis yang terancam punah.
Jumlah terbanyak berasal dari suku Dipterocarpaceae, suatu
kelompok tumbuhan yang paling dicari karena merupakan
penghasil kayu terbaik. Terdapat sekitar 36,79% suku Dipte­
rocarpaceae dari total jenis tumbuhan terancam punah di
Indonesia. Salah satu jenisnya adalah Dipterocarpus littoralis.

Dipterocarpus littoralis atau tanaman dengan nama


lokal pelahlar ini merupakan tanaman endemik di
Nusakambangan tepatnya di seberang pantai selatan Jawa
Tengah. Pelahlar ini termasuk ke dalam suku meranti-
merantian (Dipterocarpaceae).

Menurut Ashton (1992), jenis ini diduga hasil segregasi


dari Dipterocarpus retusus yang memiliki sebaran lebih
luas. Selain itu, pelahlar kemungkinan sudah lama terisolasi
secara ekologis dan geografis sejak zaman Pleistocene yang
menjadikan pelahlar terdiversifikasi menjadi jenis sendiri.

Berdasarkan data IUCN tahun 2018, status konservasi jenis


ini kritis (critically endangered). Konversi habitat, perambahan
dari pengembangan permukiman lokal dan juga risiko tanam­
an invansif populasi langkap (Arenga obtusifolia) merupakan
contoh dari beberapa ancaman punahnya pelahlar.

Ancaman ini menyebabkan penurunan jumlah individu yang


dewasa dan di masa yang akan datang diperkirakan akan
menyebabkan setidaknya 25% penurunan ukuran populasi.

Survei Fauna & Flora Internasional-Program Indonesia


(FFI-IP) dengan Badan Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) Nusakambangan dan mahasiswa Departemen
Biologi Universitas Negeri Islam Yogyakarta tahun 2014
menemukan 36 individu dewasa dan pada tahun 2011
163 Robiansyah dan Davy (2015) menemukan 11 individu
dewasa sehingga total pelahlar (Dipterocarpus littoralis)
memiliki 47 individu dewasa.
Waktu optimum bagi perkecambahan
biji memiliki kisaran waktu antara
7 hari hingga satu bulan. Banyak faktor
juga yang mempengaruhi keberhasilan
biji untuk berkecambah di antaranya
yaitu kandungan air dalam biji.

Salah satu tempat konservasi pelahlar yaitu Kebun Raya


Bogor. Pada koleksi Kebun Raya Bogor, ditemukan pelahlar
(Dipterocarpus littoralis) dengan morfologi habitus berupa
pohon, batang berkayu dengan percabangannya mono­
podial, memiliki kulit batang kasar dan berwarna abu-abu
hingga coklat. Daunnya tunggal, bentuk daun elips dengan
panjang 15-30 cm, ujung daun meruncing, pangkal daun
membulat dengan tepi bergelombang, warna daun hijau.

Pelahlar (Dipterocarpus Littoralis) memiliki persebaran


terbatas yang sangat dipengaruhi pada faktor alam, yaitu
iklim dan ketinggian tempat. Menurut Whitmore, umumnya
Dipterocarpus tumbuh pada daerah tropis basah dengan curah
hujan >1000 mm per tahun dan musim kemarau kurang dari
6 bulan dengan ketinggian tempat tidak lebih dari 1500 mdpl.
Pelahlar dapat tumbuh di hutan hujan tropis.

Berdasarkan faktor iklim (Schmidt dan Ferguson dalam


Whitmore, 1986), perbandingan bulan hujan dan bulan
kering Indonesia sebagian besar termasuk beriklim basah
dan sebagian lainnya kering. Sebagian besar jenis pelahlar
tumbuh pada tipe hutan pamah, perbukitan, tepi sungai, dan
hutan pantai dengan tinggi mencapai 50 meter.

164 Berdasarkan hasil pengamatan koleksi herbarium di


Herbarium Bogoriense menunjukkan bahwa persebaran
Dipterocarpus paling banyak terdapat pada ketinggian
0-500 meter dan 500-1000 meter. Selain itu, kemampuan
beradaptasi jenis pelahlar masih kurang di beberapa hutan
ekstrim yang memiliki kadar garam tinggi, dan lain-lain. Hal
tersebut dikarenakan pemencaran bijinya yang kurang baik,
sehingga biji mudah rusak dan mudah terisolasi secara alami
serta cepatnya perubahan faktor tanah.

Sebagian besar pelahlar, memiliki sayap yang membantu


dalam proses persebaran biji ketika terbawa angin. Ketika
jatuh ke tanah, penyebarannya dibantu bangsa rodentia.
Masalah terbesar di Nusakambangan yaitu wilayahnya berde­­
katan dengan fungsi lain (ekploitasi tambang dan lapas) men­
jadikan keberhasilan regenerasi pelahlar sering mengalami
jeda karena gangguan pada lapisan penutup lantai hutan.

Selain itu, persebaran biji pelahlar (Dipterocarpus littoralis)


ini menunjukkan pola bergerombol sehingga pemencaran
bijinya yang sempit menyebabkan tingkat keberhasilan yang
sedikit pula. Di samping itu, biji pelahlar (Dipterocarpus
littoralis) juga bersifat rekalsitran atau mudah berkecambah
meskipun masih dalam buahnya.

Waktu optimum bagi perkecambahan biji memiliki kisaran


waktu antara 7 hari hingga satu bulan. Banyak faktor juga
yang mempengaruhi keberhasilan biji untuk berkecambah
di antaranya yaitu kandungan air dalam biji harus menca­pai
40-60% berat basah biji untuk menjadi penentu perkecam­
bahan, biji harus ternaungi, dan kondisi tanah harus lembab
saat biji jatuh di tanah (Maury-Lechon & Curtet, 1998).

Jika itu semua tidak terpenuhi maka biji akan rusak dan
viabilitasnya menurun. Pemencaran biji ini juga berkaitan
pada pola pembungaan.
165
Pola pembungaan pada jenis pelahlar ini tidak terjadi setiap
tahun, tetapi memiliki interval waktu yang berubah-ubah
dan intensitas yang beragam. Pada proses pembungaan,
pelahlar membutuhkan sinar matahari yang cukup.

Penyinaran ini juga berpengaruh terhadap produksi bunga,


semakin banyak terkena sinar matahari pada waktu musim
pembungaan maka hampir seluruh tajuknya akan berbunga,
sedangkan semakin sedikit terkena sinar matahari maka
pembungaan akan terjadi secara sporadis atau hanya terjadi
pada cabang yang terkena sinar matahari langsung.

Pelahlar juga memiliki banyak sekali manfaat di antaranya,


yaitu sebagai bahan bangunan dan resinnya digunakan untuk
pembuatan perahu (Heyne,1987). Mengingat batangnya yang
cukup besar, agak keras, kulit batang berstruktur kasar dan
memiliki warna coklat terang hingga coklat pudar. Secara
ekologi, tipe tumbuhan seperti pelahlar yang tinggi dan
emerged banyak disenangi oleh burung pemangsa (raptor)
seperti elang maupun lebah untuk dijadikan tempat bersarang.

Melihat pemanfaatan kayu pelahlar sebagai bahan bangunan


dan pembuatan perahu menjadikan pohon ini banyak di cari.
Tak jarang banyak penebang yang melakukan perjalanan ke
Nusakambangan untuk mengeksploitasi pelahlar di pulau itu.
Hal ini bisa menjadikan pelahlar (Dipterocarpus littoralis)
yang awalnya terancam punah bisa berubah punah dalam
waktu yang tidak terlalu lama apabila tidak ada tindakan
serius untuk melestarikannya.

Melihat begitu sulitnya pelahlar untuk diregenerasi sehingga


bisa dibayangkan apabila kehilangan Pelahlar dapat menye­
babkan ekologi rusak. Pengkoleksian, penanaman kembali
habitat alaminya serta pengembangan potensi dan budidaya
166 tumbuhan bisa dijadikan sebagai tindakan konservasi yang
harus secara terus menerus diupayakan agar proses kepu­
nahan pelahlar ini dapat diatasi. n
167
Aliran kecil air di bebatuan yang ditutupi
oleh pepohonan di hutan Kalimantan Timur
( Foto : Yanuar Ishaq Dc)
PELAHLAR,
MERANTI DARI JAWA YANG
TERLANGKA DI INDONESIA
ELYNA WIDIANI, RAZI AULIA RAHMAN

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan


terluas di dunia dan dilintasi garis khatulistiwa yang
membuat Indonesia menjadi negara beriklim tropis. Sebagai
wilayah tropis tentu saja Indonesia memiliki kekayaan jenis
flora dan fauna yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Menurut Ir. Haryanto dosen Fakultas Kehutanan Institut


Pertanian Bogor (IPB) dalam talkshow yang diadakan di IPB
bertema Selamatkan Pohon Langka Menuju Indonesia Hijau,
“Kekayaan jenis spesies yang dimiliki oleh Indonesia tidak
diiringi dengan kekayaan jumlah per jenisnya”.

Menurut IUCN (International Union for Conservation of


Nature and Natural Resources) setidaknya terdapat 397 jenis
pohon Indonesia terancam punah dan masuk dalam daftar
merah. Para pakar dan pemerhati pohon langka Indonesia
yang tergabung dalam Forum Pohon Langka Indonesia
(FPLI) telah menetapkan 12 jenis pohon langka didasarkan
pada keterbatasan sebaran dan populasinya, nilai manfaat,
tingkat keterancaman, dan potensi budidayanya.

168 Kedua belas jenis pohon tersebut yaitu Pelahlar


(Dipterocarpus littoralis), Lagan Bras (Dipterocarpus
cinereus), Resak Banten (Vatica bantamensis), resak brebes
(Vatica javanica var javanica), kapur (Dryobalanops
aromatica), damar mata kucing (Shorea javanica),
tengkawang pinang (Shorea pinanga), durian burung
(Durio graveolens), durian daun (Durio oxleyanus), ulin
(Eusideroxylon zwageri), Mersawa (Anisoptera costata), dan
saninten (Castanopsis argentea).

Kekayaan dan jumlah jenis flora dan fauna Indonesia


terus berkurang dari waktu ke waktu, terutama di sektor
flora khususnya jenis-jenis pohon endemik Indonesia.
Masalah klasik di Indonesia sendiri terus bergulir tanpa
ada perhatian khusus dan penanganan serius. Bayangkan,
pembalakan liar di Indonesia dan eksploitasi pohon yang
berlebihan terus mengurangi luasan hutan sebagai habitat
pohon. Hal ini tentu berbanding lurus dengan berkurangnya
jumlah per jenis pohon-pohon di Indonesia.

Salah satu dari kedua belas pohon langka endemik Indonesia


yang terancam punah yaitu Dipterocarpus littoralis Blume,
keluarga keruing dengan nama lokal pelahlar, dan nama
perdagangan meranti jawa. Pohon besar asli Indonesia
yang hanya dapat ditemui tumbuh secara alami di Pulau
Nusakambangan ini termasuk dalam daftar merah menurut
IUCN dengan status Critically Endangered (CR) atau kritis.

Tidak banyak yang tahu bahwa pelahlar ini merupakan


pohon terlangka nomor satu di Indonesia, bahkan banyak
dari kita yang tidak mengetahui rupa bentuk dari pohon
pelahlar itu sendiri. Padahal Dipterocarpus littoralis selain
dapat dijumpai di habitatnya di Pulau Nusakambangan juga
dapat dijumpai di Kebun Raya Bogor.

Ciri umum dari famili Dipterocarpaceae antara lain pohon­


169 nya memiliki ukuran yang besar, berdamar dan selalu hijau.
Pada umumnya batangnya berbanir dan kulit luarnya bersisik
atau beralur dan mengelupas, berdaun tunggal dengan
kedudukan berselang-seling, bertepi rata atau beringgit,
bertulang sirip, sering kali berdaging, dan mudah rontok.

Pohon pelahlar memiliki ciri-ciri berbatang lurus dengan


diameter mencapai 150 cm dan tinggi mencapai 50 meter,
batang pohon berwarna cokelat muda terang sampai cokelat
muda, berdaun oval dengan beludru merah, dan memiliki
buah dengan dua sayap.

Nusakambangan yang lebih dikenal sebagai pulau penjara


sering juga disebut sebagai the last rain forest in java karena
sudah tidak ada tipe hutan seperti hutan Nusakambangan
lagi di Pulau Jawa. Terdapat dua cagar alam di pulau seluas
121 km2 tersebut, yaitu Cagar Alam Nusakambangan Timur
dan Cagar Alam Nusakambangan Barat yang merupakan
habitat bagi flora dan fauna khas hutan pegunungan bawah
Indonesia.

Dipterocarpus littoralis hidup di hutan campuran dataran


rendah, punggungan bukit, lereng dan pinggiran aliran air,
serta pada substrat tanah bukit kapur di Nusakambangan
bagian barat. Genus Dipterocarpus dikenal memiliki potensi
ekonomi yang tinggi dan menempati urutan kedua setelah
meranti (genus Shorea) dalam mendominasi hutan hujan
tropis Indonesia. Kedua marga tersebut merupakan anggota
famili Dipterocarpaceae.

Dahulu, Dipterocarpus littoralis jumlahnya melimpah di


Pulau Nusakambangan dan sering dimanfaatkan oleh nelayan
sekitar Cilacap sebagai bahan baku bangunan dan pembuatan
perahu karena kayunya yang lurus silindris dan kuat. Selain
itu, resin dari pohon pelahlar ini juga banyak dimanfaatkan
untuk memakal perahu atau menutup celah-celah kayu.
170
Pemanfaatan yang berlebihan menyebabkan keberadaannya
kini diambang kepunahan. Penelitian yang dilakukan oleh
Dapat kita simpulkan bersama bahwa
ekploitasi lokal besar-besaran yang
terjadi di habitat alaminya yaitu
Pulau Nusakambangan dan tidak
adanya upaya konservasi dalam
memperbanyak jumlah individu
yang hidup menjadi penyebab utama
kelangkaan Dipterocarpus littoralis.

tim dari Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) setempat


dan Fauna & Flora Internasional–Program Indonesia (FFI-
IP) pada tahun 2014 menyebutkan hanya menemukan 34
individu dewasa saja di habitat alaminya, jumlah yang sangat
sedikit itu dapat terus berkurang jika tidak ada penanganan
khusus untuk memperbanyak jumlah individunya.

Terhitung sejak tahun 2015, hanya terdapat 676 pohon


pelahlar yang ditemukan di habitat alaminya. Sebanyak 63%
individu didominasi oleh pohon muda yang memiliki keren­
tanan yang besar terhadap gangguan dari luar lingkungan.

Para pihak pemangku kepentingan seperti pihak pemegang


otoritas dan akademisi dalam penelitiannya, sebenarnya
tidak pernah mengeluarkan data yang menyebutkan jenis
pohon pelahlar terlibat dalam perdagangan secara ilegal.

Berarti, dapat kita simpulkan bersama bahwa ekploitasi


lokal besar-besaran yang terjadi di habitat alaminya yaitu
171 Pulau Nusakambangan dan tidak adanya upaya konservasi
dalam memperbanyak jumlah individu yang hidup menjadi
penyebab utama kelangkaan Dipterocarpus littoralis.
Usaha konservasi pada pohon pelahlar masih terhambat
karena kurangnya informasi ekologi dan biologi dari
tumbuhan ini. Pohon pelahlar bersifat endemik, berukuran
populasi kecil, memiliki habitat pilihan tertentu, serta
terdapat ancaman yang serius dari aktifitas manusia dan
jenis invasif di habitat alaminya.

Permasalahan tersebut sangat sulit diselesaikan jika tidak


didukung penuh oleh pihak multi sektoral, bukan hanya
pihak otoritas seperti Kementerian Kehutanan, ataupun
akademisi yang melakukan penelitian-penelitian, melainkan
peran aktif oleh seluruh masyarakat Indonesia yang dimulai
dari kesadaran generasi muda.

Coba kita bayangkan jika sudah tidak ada lagi hutan dan
pohon, sudah dipastikan dua sumber kehidupan bagi
manusia dan seluruh makhluk hidup di Bumi akan hilang,
yaitu oksigen dan air. Jika sudah punah suatu jenis pohon,
tidak akan lagi dapat dilihat bentuk rupanya oleh keturunan
anak cucu kita selain melalui gambar foto.

Selain karena gangguan yang tinggi, faktor penyebab


semakin terancamnya populasi pelahlar adalah kemampuan
regenerasi alaminya yang rendah. Pohon-pohon dari famili
Dipterocarpaceae pada umumnya hanya berbenih sekali
dalam kurun waktu 4 tahun sampai 13 tahun.

Pelahlar juga memiliki benih tipe rekalsitran yang berarti


cepat rusak (daya hidupnya menurun) apabila diturunkan
kadar airnya, sehingga hanya dapat disimpan beberapa ming­
gu saja sebelum daya hidup benihnya turun menjadi 0%.

Hal ini yang menjadi kendala budidaya Dipterocarpus littoralis


172 karena benihnya hanya bisa disimpan beberapa minggu saja
sebelum rusak. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui teknik-teknik penyimpanan benih pelahlar yang
Hebatnya, kini telah diciptakan
alat pemantau nutrisi pelahlar
yang diciptakan oleh sekelompok
mahasiswa UGM. Alat yang diberi
nama The Litto-Sens (Littoralis
Essential Soil Nutrient Sensor)
ini dapat memantau hara tanah
oleh komponen tambahan untuk
mengukur faktor-faktor lingkungan.

tepat sehingga benih dapat disimpan dalam waktu lebih


lama dengan laju penurunan kadar air lebih lambat.

Di habitat alami pelahlar di Pulau Nusakambangan perlu


dilakukan pemantauan secara rutin untuk melihat perkem­
bangan pohon serta mengetahui kondisi dan perubahan
lingkungan sekitarnya, hal ini bisa dilakukan dengan
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Hebatnya, kini telah diciptakan alat pemantau nutrisi


pelahlar yang diciptakan oleh sekelompok mahasiswa UGM.
Alat yang diberi nama The Litto-Sens (Littoralis Essential
Soil Nutrient Sensor) ini dapat memantau hara tanah oleh
komponen tambahan untuk mengukur faktor-faktor
lingkungan seperti tingkat intensitas cahaya dan pH tanah
dengan dasar pengukuran jarak jauh.

173 Adanya alat tersebut diharapkan mampu mengoptimalkan


pemantauan dan pengelolaan dalam rangka upaya
mengkonservasi pelahlar di habitat alaminya. Selain itu,
diperlukan pula upaya konservasi eksitu (konservasi di luar
habitat alaminya) untuk mendukung konservasi insitu yaitu
dengan menciptakan habitat kedua bagi pelahlar di luar
habitat aslinya.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat persemaian


di luar Pulau Nusakambangan. Memang akan dibutuhkan
waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi,
hal itu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hanya
mengandalkan regenerasi alami pelahlar yang jauh lebih
lambat dari laju kelangkaannya.

Negara melalui pihak pemegang otoritas Kementrian


Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah
mendukung pelestarian jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi dengan mengeluarkan peraturan mentri
nomor P.92/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2018, salah satu jenis
tumbuhan dilindunginya adalah Dipterocarpus littoralis atau
pelahlar Nusakambangan.

Kebijakan dan perlindungan hukum saja tidak cukup


jika tidak sejalan dengan peran serta masyarakat seluruh
Indonesia dan pihak-pihak multi sektoral. Mengingat upaya
pelestarian dan koservasi jenis Dipterocarpus littoralis akan
tetap menjadi mimpi belaka jika tidak didukung kesadaran
masyarakat umum yang tidak memiliki ilmu dibidang
biologi, tumbuhan, kehutanan, dan sejenisnya.

Sebenarnya masyarakat akan lebih tertarik mengkonservasi


pohon-pohon langka dan terbuka wawasannya jika banyak
pihak yang mempublikasikan manfaat nyata yang didapat
dalam menjaga jenis-jenis pohon langka. Penelitian Abdul
174 Azis pada tahun 2015 pada keruing gunung (Dipterocarpus
retusus) telah menemukan manfaat hasil hutan bukan kayu
pada daun keruing gunung.
Masyarakat dapat sejahtera tanpa
harus mengeksploitasi besar-besaran
kayu-kayu dari pohon langka dan
dilindungi di Indonesia.

Ternyata bagian daun dan kulit batang keruing gunung


memiliki potensi bioprospeksi sebagai antibakteri S. aureus
yang merupakan bakteri penyebab infeksi kulit atau luka.
Perlu ada penelitian sejenis pada Dipterocarpus littoralis
dan jenis-jenis tumbuhan yang dilindungi lainnya serta
penyebaran informasi hasil penelitian kepada masyarakat
sebagai bagian dari upaya penyadartahuan.

Jenis keruing seperti Dipterocarpus littoralis memiliki


karakteristik pohon besar Indonesia yaitu diameter
batang yang besar dan tumbuh tinggi dengan lurus. Kami
berpendapat hal ini sebenarnya bisa dimanfaatkan juga
oleh masyarakat sebagai habitat lebah penghasil madu, yang
nantinya madunya dapat dimanfaatkan sebagai konsumsi
pribadi dan komersial sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat umum harus diberi pengertian dan penge­


tahuan jika pohon bukan hanya kayunya saja yang dapat
dimanfaatkan, supaya masyarakat lebih memahami
pentingnya konservasi pohon-pohon langka Indonesia.

Masyarakat dapat sejahtera tanpa harus mengeksploitasi


besar-besaran kayu-kayu dari pohon langka dan dilindungi
175 di Indonesia. Ayo lindungi pohon-pohon langka Indonesia,
sudah menjadi tugas kita bersama untuk melindungi dan me­
les­tarikannya. Hutan lestari, masyarakat akan sejahtera. n
PENGHUNI TERAKHIR
NUSAKAMBANGAN
VIDYA AYUNINGTYAS

Nusakambangan seakan menjadi sebuah pulau


menyeramkan di seberang Pantai Selatan, Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah. Pulau ini selalu menghiasi layar kaca
kita, manakala ada kejahatan besar di negeri ini, kemudian
mereka (pelaku) tertangkap. Tempatnya menjadi familiar
karena menjadi hunian terakhir bagi para penjahat kelas
kakap untuk menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi.

Beberapa cerita seram beredar. Selain pulau ini memiliki


gelombang laut yang besar, adanya predator bawah laut di
sekitar Pulau Nusakambangan menjadikan pulau ini semakin
memiliki kesan angker untuk sekadar dikunjungi. Tak pelak
pulau ini membuat para penghuni jeruji berpikir ulang jika
berniat meloloskan diri. Tak satu orang pun mau mendekam
dan menghabiskan sisa usianya di Nusakambangan. Siapa
juga yang menginginkan hidup terasing dari interaksi sosial
yang tak memanusiakan? Tidak ada.

Dipterocapus littoralis seperti seorang penjahat. Hidupnya


berakhir tragis mendekam dalam jeruji pengasingan di
Pulau Nusakambangan. Tak ada salah dan dosa yang dimi­
176 likinya. Namun nahas, hidupnya terpisah dari kelompoknya.
Jika Anda berpikir Dipterocapus littoralis adalah manusia,
tentu itu masih logis, karena Pulau Nusakambangan
memang diperuntukkan bagi mereka, para manusia yang
telah salah di mata hukum. Namun, jika Anda berpikir
Dipterocapus littoralis bukanlah seorang manusia penjahat,
seharusnya anda berpikir dia seorang penjahat, karena
namanya mirip dengan nama Pollycarpus, seseorang yang
diduga membunuh aktivis hak asasi manusia, Munir Said
Thalib yang tewas diracuni zat arsenic dalam perjalanannya
menuju Amsterdam, Belanda.

Baiklah, Dipterocapus dan Pollycarpus tidak berhubungan


sama sekali. Bunyi dari penyebutan namanya saja yang
terdengar mirip. Dipterocapus littoralis adalah nama
tumbuhan endemik di Pulau Nusakambangan, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Jadi, dia bukan seseorang
yang diduga menjadi pemeran utama dalam kasus
pembunuhan aktivis HAM yang sampai saat ini kasusnya
juga masih mengambang tanpa kejelasan 14 tahun lamanya.

Kembali lagi ke soal Dipterocarpus. Ternyata ini adalah


tanaman dan memiliki nama lokal, yaitu Pelahlar, dan nama
sistem binomial nomenklatur, yaitu Dipterocarpus littoralis
Blume. Tumbuhan ini merupakan satu dari sekian banyak
jenis meranti-merantian yang terdapat di Nusantara.

Pelahlar merupakan kayu komersial yang memiiliki harga


fantastis di pasaran. Jenis ini hanya bisa ditemui di Pulau
Nusakambangan. Dengan demikian, tidak ditemukan di
belahan Bumi lainnya. D. littoralis Blume masuk ke dalam
suku Dipterocarpaceae. Kabar baiknya, hutan Indonesia
memiliki diversitas Dipterocarpaceae cukup tinggi di dunia.
Hal ini terbukti sebanyak 386 jenis dari 512 anggota jenis
Dipterocarpaceae terdapat di Asia Tenggara, khususnya
Indonesia (Newman et al., 1999).
177
Dipterocarpus memiliki varian sebanyak 70 jenis dengan 41
jenis terdapat di Kalimantan dan empat jenis dapat dijumpai
di Jawa, yaitu D. hasseltii Blume., D. gracilis Blume., D.
retusus Blume., dan D. littoralis Blume.

D. littoralis Blume merupakan yang tumbuhan unik. Selain


karena hanya terdapat di pulau para tahanan, tumbuhan ini
juga mengalami evolusi yang cukup menarik untuk dikaji
di ruang diskusi. Penelitian yang dilakukan Asthon (1982)
mengungkapkan bahwa D. littoralis diduga kuat merupakan
evolusi dari kerabat dekatnya, yakni D. retusus yang tersebar
lebih luas di Pulau Jawa. Peristiwa ekologis dan geografis yang
akhirnya memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan
telah menyebabkan D. littoralis mengalami proses isolasi.

Menurut Asthon (1982), lamanya peristiwa isolasi terjadi


pada D. littoralis Blume sudah sejak zaman Pleistocene
yang mengakibatkan D. littoralis mengalami perubahan
karakteristik yang berbeda dengan kerabat dekatnya di
Pulau Jawa, baik secara genetis maupun morfologis.

Tahapan evolusi yang begitu menguras waktu tidak


menjadikan D. littoralis lepas dari pelbagai ancaman.
Nasibnya kini tak ubahnya seperti penghuni terakhir
dari Nusakambangan. D. littoralis merupakan jenis
kayu yang banyak dieksploitasi manusia untuk diambil
kayunya. Anggota marga Dipterocarpus memang memiliki
perawakan batang yang lurus dan besar, sehingga cocok
sekali untuk bahan konstruksi, perahu, dermaga, dan tiang
pancang. Eksploitasi besar-besaran tanpa memperdulikan
keseimbangan lingkungan dan keberlanjutan spesies
tumbuhan ini dapat berakibat pada punahnya tumbuhan
endemik yang menjadi maskot Pulau Nusakambangan.
Status tumbuhan D. littoralis saat ini berada pada kategori
178 kritis (IUCN, 2009), sehingga upaya konservasi D.
littoralis penting untuk segera dilakukan demi menjamin
keberlangsungan hidupnya sampai kepada anak cucu kita.
Perilaku sekelompok manusia
yang hanya berpikir bagaimana
cara “kenyang” saja akan
menghantarkan nasib D.littoralis
pada keranda kematian.

Tekanan penduduk yang lapar akan lahan di Pulau Jawa


tidak bisa dimungkiri berkontribusi banyak terhadap
peningkatan penebangan liar dan perambahan hutan
dewasa ini. Akibatnya jelas, kerusakan hutan yang semakin
parah, yang kemudian diikuti oleh punahnya tumbuhan
asli pada habitat alami dalam waktu singkat. Meskipun
Nusakambangan memiliki nama yang cukup membuat nyali
menciut, tetap saja tangan jahil manusia dapat menjangkau
kawasan super seram ini demi sesuap nasi.

Perilaku sekelompok manusia yang hanya berpikir


bagaimana cara “kenyang” saja akan menghantarkan nasib
D.littoralis pada keranda kematian. Karena itu, perlu upaya
serius, tepat, dan strategis untuk mengembalikan dan
menyelamatkan eksistensi tanaman ini seperti sedia kala.

Banyak variabel yang sebenarnya terkait dengan upaya


konservasi tumbuhan D. littoralis. Salah satu variabel
yang paling mempengaruhi keberhasilan upaya ini adalah
faktor kebutuhan ekonomi warga. Masyarakat yang tinggal
sekitar Nusakambangan tentu memiliki akses yang mudah
untuk mengambil sumber daya di sekitar kawasan tanpa
179 sepengatahuan petugas. Melarang masyarakat untuk
mengolah dan menggunakan D. littoralis hanya akan
menciptakan jarak (gap) antara masyarakat dan petugas.
Strategi yang dapat dilakukan
adalah dengan meng­gali
informasi secara menyeluruh
dan langsung melalui penelitian
yang dilakukan bersama.
Dalam hal ini, pergu­ruan tinggi
memiliki peluang yang baik
untuk berbuat banyak.

Di lain pihak, memberikan hukuman kepada anggota


masyarakat yang kedapatan menebang tumbuhan ini juga
tentu bukan cara yang tepat. Tentu ada cara lain yang dapat
ditempuh demi kemaslahatan bersama. Cara itu, yakni
melalui sinergi yang dibangun dengan pemerintah dengan
masyarakat lokal. Langkah ini tentu merupakan cara bijak
dan jitu untuk melindungi segenap kekayaan Indonesia,
khususnya flora endemik di Indonesia.

Usaha konservasi tumbuhan asli Nusakambangan ini


memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Beberapa hambatan, berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Robiansyah & Davy (2015) dan Yulita & Partomihardjo
(2011), di antaranya: 1) Minimnya informasi hasil penelitian
perihal biologi dan ekologi populasi pelahlar (D.littoralis);
2) Penebangan dan pengambilan kayu bakar secara liar
merupakan ancaman bagi D. littoralis terkait dengan
keberadaan dan habitatnya; 3) Tumbuhan invasif langkap
(Arenga obtusifolia, Arecaceae) tersebar di seluruh kawasan
180 yang menjadi kompetitor utama pada anakan D. littoralis;
4) Sebaran D. littoralis yang sempit dan terlokalisasi
pada kondisi alaminya menyebabkan tumbuhan ini sulit
berkembang cepat; 5) Ukuran populasi yang kecil, dan 6)
Preferensi terhadap habitat tertentu yang juga membuat
tumbuhan ini tidak dapat berkembang pesat.

Pelahlar melakukan penyerbukan secara silang. Agen pe­


nyerbukannya dibantu serangga (Asthon 1982; Bawa, 1998).
Namun, serangga penyerbuknya belum diketahui secara pasti,
sementara aliran gen melalui serbuk sari sangat bergantung
pada agen penyerbuk (Yulita & Partomihardjo, 2011).

Sebaran gen pelahlar melalui biji juga cukup sulit terjadi


karena memiliki ukuran biji yang cukup besar. Kendati
pelahlar memiliki sayap pada bijinya, pengaruh gravitasi ber­
kontribusi banyak terhadap sebaran biji yang hanya terjadi di
sekitar tanaman induk saja (Yulita & Partomihardjo, 2011).

Berangkat dari hambatan yang telah disebutkan di atas,


maka strategi yang dapat dilakukan adalah dengan meng­
gali informasi secara menyeluruh dan langsung melalui
penelitian yang dilakukan bersama. Dalam hal ini, pergu­
ruan tinggi memiliki peluang yang baik untuk berbuat
banyak. Pemerintah setempat dengan lembaga penelitian
dapat menjalin hubungan kerja sama dalam perbanyakan
benih D. littoralis, kemudian benih atau bibit D. littoralis
dapat dibagikan kepada masyarakat secara gratis atau
dikomersialkan. Tentu dengan harga yang kompetitif dan
mem­perhatikan kehidupan ekonomi masyarakat setempat.
Penanaman D. littoralis dapat dilakukan dengan menggan­
deng perusahaan yang memiliki dana CSR (Corporate Social
Responsibility) sebagai upaya perbaikan lingkungan dari
aktivitas limbah yang mereka lepaskan ke lingkungan.

181 Pemerintah melalui pihak Perhutani dapat menanam


D. littoralis pada hutan produksi di setiap wilayah di
Jawa Tengah atau daerah lainnya yang belum produktif.
Pengembangan secara exsitu ini baik dilakukan untuk
mengembalikan kerusakan akibat pembalakan liar di
beberapa tempat di Indonesia yang marak terjadi akhir-
akhir ini. Cara ini penting sebagai upaya perbanyakan
tanaman endemik khas Nusakambangan tidak hanya pada
daerah asalnya saja, melainkan juga pada daerah lainnya
yang potensial sebagai tempat tumbuh kembang D. littoralis.

Pencerdasan masyarakat melalui pendidikan memiliki peran


yang sama vitalnya. Pendidikan ini mengajak masyarakat
untuk berjalan beriringan menjaga kekayaan alam dengan
prinsip kerja bersama dan kerja nyata. Masyarakat yang
memiliki D. littoralis merawatnya seperti membesarkan anak
sendiri dengan kasih sayang dan perhatian, memperlakukan
mereka dengan baik.

Suatu saat mereka akan membalas jasa yang telah diberikan


karena telah merawatnya. Daun-daunnya memberi
penghidupan berupa oksigen yang kita hirup tiap satuan
waktu. Batangnya menguatkan dan memberi perlindungan
kepada rumah-rumah kita dari segala ancaman, dan akarnya
menjadi penyimpan air saat tak dilimpahkan lagi dari langit.
Jangan hanya karena “syahwat” dan “libido” kita yang tak
pernah mengenal kata cukup, kita mesti mengorbankan
kekayaan alam yang tidak sebanding dengan apa pun.

Jika pelahlar (D. littoralis) mampu bicara, mungkin dia


akan berkata “lebih baik terpenjara dalam keterasingan
di Nusakambangan tetapi hidup tetap berlanjut, daripada
hidup berdampingan dengan manusia tapi bayang-bayang
kematian terasa begitu dekat”.

182 Alam raya beserta isinya memang diperuntukan Tuhan bagi


kesejahteraan semua umat manusia. Namun, itu bukan alasan
kita bisa menjadi semena-mena. Sebelum nasi menjadi bubur,
sebelum D. littoralis hanya tinggal cerita, maka tidak pernah
ada kata terlambat. Kita masih punya jeda mengembalikan
D. littoralis seperti sedia kala. Nasibnya ada di tangan kita,
sementara kita bergantung pada mereka (tetumbuhan, alam
beserta isinya), maka rasa menjadi bagian dari alamlah yang
hanya akan menyelamatkan kita pada akhirnya.

Hipotesis Gaia yang dikemukakan oleh James Lovelock tahun


1960-an mengatakan bahwa bumi itu hidup (Irwan, 2015).
Demikian pula dengan D. littoralis, dia mahluk hidup yang
mesti juga diperlakukan layaknya seseorang yang hidup.
Sadar atau tidak sebenarnya kehidupan kitalah bergantung
kepada keberadaan mereka, bukan mereka yang bergantung
kepada kita. Berkontemplasilah agar menjadi bijak. n

DAFTAR PUSATAKA
Ashton, P.S. 1982. Dipterocarpaceae. Flora Malesiana Series
I-Spermatophyta Flowering Plants 9 (2): 237-55.
Irwan. Z.D. 2015. Prinsip-Prinsi Ekologi Ekosistem,
Lingkungan dan Pelestariannya. Bumi Aksara: Jakarta.
IUCN. 2009. Red List of Endangered Species. International
Union for the Conservation of Nature and Natural Resources,
Gland. Switzerland. Available from URL: http://www.
iucnredlist.org/
Newman, M.F., P.F. Burgess, and T.C. Whitmore. 1999.
Pedoman identifikasi pohon-pohon Dipterocarpaceae: Jawa
sampai Niugini. PROSEA Indonesia. Bogor.
Robiansyah, I dan Davy, A.J. 2015. Population Status and
Habitat Preferences of Critically Endengered Dipterocarpus
littoratis in West Nusakambangan, Indonesia. Makara
Jorunal of Science 19 (4): 150-160.
183 Yulita, K, S dan Partomihardjo, K. 2011. Keragaman Genetika
Populasi Pelahlar (Dipterocarpus ittoralis (Bl.) Kurz) di Pulau
Nusakambangan berdasarkan Profil Enhanced Random
Amplified Polymorphic DNA. Berita Biologi 10(4): 541-548.
PESONA EBONI,
‘EMAS HIJAU’
KEBANGGAAN
SULAWESI
ASADIA DIAJENG REFORMANTI AKIL,
DIKI SETIADI PERMANA

Jika kita bicara tentang emas, mungkin emas akan identik


dengan benda logam yang berwarna kuning mengilap itu.
Namun, di Indonesia ada istilah “emas hijau”. Emas hijau
merupakan sebutan bagi tumbuhan yang memiliki nilai
ekonomis tinggi. Nilai ekonomisnya yang tinggi bahkan
setara atau bisa mengalahkan nilai ekonomis dari logam
emas. Salah satu “emas hijau” yang dimiliki oleh Indonesia
adalah Eboni.

Eboni yang lebih dikenal dengan panggilan kayu hitam


atau kayu arang adalah nama suatu jenis asli pohon yang
berasal dari Indonesia. Eboni secara alami berasal dari
pulau Sulawesi. Persebarannya dapat ditemukan di Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Gorontalo.

Keberadaannya yang tidak bisa ditemukan di sembarang


daerah alias langka, membuat kayu eboni menjadi kayu
184 yang mahal dan mewah. Harga kayunya yang fantastis itu
membuatnya mendapat julukan “emas hijau”. Pada 1987,
harga kayu eboni bisa melebihi 3 kalinya kayu jati yang
digadang-gadang sebagai kayu yang mahal, dan bahkan pada
masa ini eboni memiliki harga melebihi dari logam emas.

Eboni memiliki nama latin Diospyros celebica Bakh. Diospyros


termasuk ke dalam kelompok famili Ebenaceae. Dalam bahasa
Yunani Diospyros diambil dari kata deion dan pyrus. Deion
artinya “dewa”, sedangkan pyrus berarti “buah”. Sehingga
Diospyros memiliki makna ‘buahnya para dewa’, dewa dari
kerajaan-kerajaan yang ada di rimba. Baik burung maupun
mamalia, memanfaatkan buah Eboni yang berdaging
menjadi salah satu alternatif santapan bagi mereka.

Nama-nama lain yang digunakan untuk menyebut eboni yaitu


‘Eboni Makasar’, ‘Eboni Sulawesi’, ‘Black Eboni’, ‘Coromandel
Ebony’. Adapun di setiap daerah memiliki nama lokal yang
berbeda-beda, seperti Maito (Manado), Limaru (Luwu), Sora
(Maliti dan Cerekang), dan Ayu Moitong (Parigi).

Sesungguhnya, bukan buahnya lah yang menjadikan eboni


sebagai “emas”. Namun, karakteristik dari kayu eboni yang
membuatnya menjadi salah satu kayu yang dinilai mahal.
Dalam dunia perdagangan, eboni termasuk kategori kayu
indah. Rupa kulit luarnya yang berwarna hitam membuat
eboni disebut-sebut ‘Kayu Arang’.

Hal ini membuat eboni lebih mudah untuk dicirikan jika


ditemukan di dalam hutan. Tidak hanya kulit luarnya yang
gelap, warna dari batang kayu arang sering ditemukan
berwarna cokelat gelap, atau hitam belang-belang. Eboni
termasuk kayu yang kuat dan keras sehingga jika direndam
di dalam air, kayu ini akan tenggelam.

Kelebihan lainnya dari kayu ini yaitu memiliki permukaan


185 kayu yang licin dan bertekstur halus, sehingga dalam
pengerjaannya seolah dapat menghemat biaya pemolesan.
Hal-hal inilah yang menjadi daya tarik eboni dan membuat
pembisnis sektor perkayuan saling berburu untuk
memperoleh kayu yang indah ini.

Kayu eboni dengan karakteristiknya yang khas dapat


dikaryakan menjadi barang yang memiliki nilai jual tinggi.
Alat musik seperti piano atau gitar, patung tradisional,
berbagai ukiran indah biasanya menggunakan bahan
baku dari kayu ini. Nilai estetika kayu eboni menjadi poin
tambahan yang diperhitungkan.

Potongan-potongan kayu yang kecil juga bermanfaat untuk


sekadar menjadi cinderamata buatan tangan khas Sulawesi,
seperti gantungan kunci, asbak, hiasan berbentuk perahu,
sendok, maupun garpu. Inilah yang dapat menjadikan eboni
sebagai penggerak sektor ekonomi di wilayah Sulawesi, seba­
gai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat di sana.

Kualitas kayunya mampu menjadikan kayu eboni sebagai


bahan utama untuk membuat furniture kelas tinggi. Bahkan,
pasar mebel kayu eboni tidak main-main. Indonesia
mengekspor kayu khas Sulawesi ini ke berbagai negara dunia
semenjak abad ke-18. Pasar utama dari kayu Eboni yaitu
Jepang, Eropa, dan Amerika.

Di Jepang, kayu eboni menggambarkan status sosial


seseorang. Orang-orang Jepang menggunakan kayu eboni
menjadi bahan dasar untuk membuat rumah tradisional
berbentuk rumah panggung, seperti yang biasa kita lihat di
film atau di kartun-kartun. Bisa dibayangkan berapa banyak
pohon Eboni yang harus ditebang untuk membuat sebuah
rumah. Bahkan dulu hampir setiap tahunnya sebanyak
seribu ton kayu eboni diekspor ke Jepang dari Indonesia.

186 Permintaan pasar yang membludak menjadi cikal bakal


terancamnya populasi si Hitam dari Sulawesi. Pada saat
pasar terus meraung-raung untuk dipenuhi permintaannya,
Di Jepang, kayu eboni
menggambarkan status sosial
seseorang. Orang-orang Jepang
menggunakan kayu eboni
menjadi bahan dasar untuk
membuat rumah tradisional
berbentuk rumah panggung.

pedagang terus bekerja keras menebang di sana-sini untuk


memenuhi permintaan pasar, sedang bahan baku yang terse­
dia semakin sedikit karena fase pertumbuhannya yang lambat.

Eboni tidak seperti kayu Jabon atau pun Sengon yang dapat
dipanen ketika usianya sudah sepantaran dengan anak usia
Taman Kanak-Kanak. Eboni termasuk kayu yang “Slow
Growing Spesies”, butuh 100 tahun agar kayu eboni dapat
menghitam agar dapat mengambil predikat dirinya sebagai
si kayu hitam dengan kualitas yang maksimal.

Pohon ini dapat tumbuh tinggi menjulang hingga 20-40


meter dengan diameter barangnya yang bisa mencapai 100 cm.
Makasar eboni juga dapat hidup hingga 100-200 tahun lamanya.

Tingginya permintaan memicu pedagang berlomba-lomba


untuk mendapatkan kayu eboni dengan berbagai cara,
seperti illegal logging. Illegal logging kayu eboni sudah marak
sekali dilakukan.

Banyak oknum yang hanya berorientasi pada keuntungan


187 dirinya semata tanpa memikirkan kelestarian lingkungan
di masa yang akan datang. Penyelundupan kayu eboni
ke negara-negara tetangga sudah menjadi rahasia umum.
Sayangnya, meski eboni sudah
terdaftar sebagai jenis yang rentan
punah oleh IUCN, Eboni sendiri
belum termasuk di dalam daftar
Jenis-Jenis Tumbuhan dan Satwa yang
Dilin­dungi oleh Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999.

Bukan satu atau dua kali, bahkan sudah ratusan kali Polda
Sulteng menangani masalah penyulundupan kayu eboni.

Budidaya tanaman eboni ternyata belum dapat


mengimbangi permintaan pasar yang tiada habisnya.
Upaya pelestarian kayu eboni masih dirasa kurang. Fase
pertumbuhannya yang lambat membuat pelestarian eboni
harus dikerjakan dengan strategi dan ilmu silvikultur yang
tepat. Meski pada tahun 2015 telah diadakan program
penananaman kembali di Palu dan Donggala. Palu dan
Donggala, yang pada Oktober 2018 kemarin mengalami
bencana tsunami merupakan salah satu lokasi harta karun
terbaik untuk menemukan tanaman eboni.

World Concervation Union (IUCN) sebagai organisasi


dunia yang didedikasikan untuk pelestarian konservasi
sumberdaya alam telah merilis The 2000 IUCN Red List of
Threatened Species dan eboni merupakan salah satu tanaman
yang terdaftar di dalamnya. Daftar 2000 tanaman yang
perlu dilindungi itu menggolongkan eboni dengan kategori
Vulnerable (VU Ai cd).
188
Vulnerable berarti eboni beresiko tinggi untuk punah di
alam terutama dengan adanya eksplotasi. Namun, CITES
(Convention on International Trade in endangered Species
Of Wild Fauna and Flora) yang mengendalikan lalu lintas
perdagangan flora dan fauna liar terancam di dunia belum
memasukkan Diospyros celebica ke dalam kategori apendiks
II. Apendiks II pada CITES merupakan daftar spesies yang
mungkin akan terancam punah bila diperdagangkan terus-
menerus tanpa adanya peraturan.

Sayangnya, meski eboni sudah terdaftar sebagai jenis yang


rentan punah oleh IUCN, Eboni sendiri belum termasuk di
dalam daftar Jenis-Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilin­
dungi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7
Tahun 1999. Sehingga akan menjadi sulit eboni mendapatkan
perilaku khusus di bawah jalur hukum di Indonesia.

Padahal. seperti yang sudah kita ketahui, pohon terancam


punah buruan seluruh dunia ini adalah aset kebanggaan
negara Indonesia. Diperlukan pembaharuan terhadap daftar
jenis tumbuhan yang dilidungi oleh pemerintah. Khususnya
tentang peraturan perdagangan liar agar perdagangan kayu
eboni dapat terpantau dengan baik.

Saat ini, masih banyak masyarakat belum mengetahui bahwa


pohon eboni sudah termasuk golongan tumbuhan langka.
Untuk itu, masyarakat Indonesia harus mengetahui betapa
pentingnya menjaga dan melindungi pohon eboni.

Masyarakat dapat turut melestarikan dengan menjadikan


eboni sebagai tanaman pekarangan rumah atau kantor
sebagai peneduh. Tidak hanya rumah dan kantor,
pertumbuhannya yang cenderung perlahan memungkinkan
eboni ditanam sebagai tanaman hutan kota dan peneduh
189 di sepanjang pinggir jalan. Dilindungi bukan berarti tidak
boleh dimanfaatkan, tetapi terdapat batasan-batasan dalam
melakukan pemanfaatan agar kelestariannya terjaga. n
POHON SONOKELING,
SI HITAM NAN RUPAWAN
AZMI WAHYUNI, SRI WAHYUNI DAN INDRIANI

Sonokeling atau Dalbergia latifolia Roxb merupakan


tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Jawa bagian
tengah dan timur. Sonokeling atau Dalbergia latifolia Roxb
memiliki sebaran alaminya selain di Indonesia ada di India
(Andhra Pradesh, Karenataka, Sikkim, Tamil Nadu, Uttar
Pradesh) dan Nepal.

Habitat Sonokeling atau Dalbergia latifolia Roxb adalah hutan


hujan tropis dengan ketinggian di bawah 600 meter dpl. Tum­
buh secara berkelompok terutama di daerah berbatu, kering,
dan kurang subur yang mengalami kering secara berkala.

Sonokeling merupakan salah satu jenis tumbuhan langka yang


termasuk dalam famili Leguminosae. Sonokeling memiliki
deskripsi pohon berukuran sedang hingga besar, tingginya
mencapai 20-40 meter dengan gemang mencapai 1,5–2 meter.
Pohon ini memiliki kulit kayu bagian luar berwarna abu-abu
kecoklatan dengan alur pecah-pecah membujur.

Pohon ini memiliki daun majemuk menyirip gasal, dengan


5-7 anak daun yang tak sama ukurannya, berseling pada
tangkai daunnya. Anak daun berbentuk tumpul (obtusus)
lebar, berwarna hijau di atas dan keabu-abuan di sisi
190 bawahnya. Kemudian, dia juga memiliki buah seperti pada
famili Leguminosae pada umumnya, serta memiliki bunga
majemuk yang berwarna putih.
Sonokeling terdaftar pada IUCN dengan status VU
(Vulnerable) A1cd ver. 2.3. Status ini diberikan pada
sonokeling karena spesies ini sedang menghadapi risiko
kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang.
Tumbuhan ini mengalami risiko kepunahan disebabkan oleh
banyak faktor, salah satunya yaitu karena ulah perbuatan
tangan manusia yang tak pernah puas akan hasil alam hutan
Indonesia. Cukup membuat geram sebenarnya tingkah
manusia yang tak pernah puas ini, tetapi sebenarnya kitapun
tak bisa menyalahkan perbuatan mereka sepenuhnya.

Memang bukan tanpa alasan manusia-manusia yang tak


memliki kepuasan atas sumber daya alam ini memilih
sonokeling sebagai pohon yang memiliki nilai ekonomi yang
cukup tinggi. Pohon sonokeling memiliki banyak manfaat,
terutama kayunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan perabot rumah tangga dan barang kerajinan.

Bagi industri perkayuan, kayu sonokeling dikenal memiliki


kualitas yang sangat baik, baik dalam hal tekstur dan juga
serat kayu maupun kekuatan serta keawetannya. Tekstur
atau pola serat pada kayu sonokeling sangat indah dengan
warna ungu bercoret-coret hitam atau kadang berwarna
hitam keunguan berbelang dengan cokelat kemerahan.

Selain memiliki tekstur halus dan serat kayu yang dekoratif


karena memiliki corak merah nan cantik, kayu Sonokeling
pun dikenal mempunyai tingkat kekuatan dan keawetan.
Kayu sonokeling mampu tahan terhadap serangan rayap,
serangga, maupun dari jamur perusak kayu lainnya meski
tanpa memakai bahan pengawet. Dengan keunggulannya
tersebut, kayu sonokeling layak dianggap sebagai kayu
mewah dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi.
191
Bahkan kualitasnya dianggap hampir menyamai kayu jati,
sehingga kayu jenis ini kerap dipakai dalam industri mebel,
kerajinan tangan, dan pembuatan perabot rumah tangga
lainnya. Digunakan juga sebagai venir kayu lapis kualitas
prima hingga sebagai bahan lantai parket (lantai kayu).

Si hitam nan rupawan ini memang sangat terkenal di


kalangan pecinta perabot rumah tangga yang terbuat dari
kayu. Jujur, saya memang belum pernah menjumpai pohon
ini secara langsung.

Namun, rasa ingin tahu saya yang cukup tinggi cukup


membuat saya tertarik untuk mengulas tentang pohon ini.
Pengalaman pribadi saya, saat itu orangtua saya membeli
sebuah kursi goyang. Bentuknya unik serta warnanya
menarik, dan saya pun bertanya kepada orang tua saya
mengenai jenis kayunya.

Orang tua saya menjawab kalau jenis kayu yang digunakan


sebagai bahan baku kursi goyang tersebut adalah sonokeling.
Awalnya, saya mengira kalau kursi tersebut memang dicat
dengan warna hitam, ternyata tidak demikian adanya.
Kursi tersebut memiliki warna hitam dengan sedikit corak
berwarna merah karena memang bahan bakunya memiliki
serat seperti itu.

Percaya enggak percaya sih awalnya, tetapi setelah saya


mencari di Google tentang pohon tersebut, ternyata memang
benar adanya. Pohon tersebut memiliki serat kayu berwarna
hitam dan bercorak kemerahan. Dengan corak nan indah
tersebut membuatnya memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi.

Pada saat itu, orangtua saya membeli produk kursi goyang


yang terbuat dari kayu sonokeling tersebut dengan harga
192 yang cukup tinggi yaitu kisaran 1 juta sampai dengan 1,5
juta per unit. Mahal tetapi indah, sayang kalau tak dibeli
begitulah kata orang tua saya.
Populasi pohon sonokeling
di alam bebas terus menurun
bahkan cenderung sulit
ditemukan. Ada berbagai upaya
yang bisa dilakukan jika memang
ingin tetap mengeksploitasi
hasil alam tersebut, salah satu
upayanya yaitu menanam kembali
tumbuhan yang sudah ditebang.

Dengan nilai ekonomisnya yang cukup tinggi tersebutlah


yang membuat eksploitasi tanaman ini menjadi ancaman
utama bagi kelestarian pohon sonokeling. Populasi pohon
sonokeling di alam bebas terus menurun bahkan cenderung
sulit ditemukan.

Ya, lagi-lagi ini semua terjadi karena keserakahan manusia


yang tak bertanggung jawab. Sebenarnya, kita boleh-boleh
saja memanfaatkan hasil alam. Namun, tentu saja kita juga
harus memikirkan dampak yang akan ditimbulkan jika kita
mengeksploitasinya dalam jumlah yang banyak.

Ada berbagai upaya yang bisa dilakukan jika memang


ingin tetap mengeksploitasi hasil alam tersebut, salah satu
upayanya yaitu menanam kembali tumbuhan yang sudah
ditebang. Hal ini setidaknya bisa menanggulangi ancaman
kepunahan terhadap pohon tersebut.

Selain upaya tersebut, masih ada upaya-upaya lainnya yaitu


dengan cara melakukan perbanyakan melalui salah satu
193 metoda perbanyakan yaitu kultur jaringan. Kultur jaringan
akan menghasilkan bibit dalam skala jumlah yang cukup
besar serta memiliki keseragaman.
Apakah semuanya itu akan berhasil membuat status
Sonokeling berubah dari Vulnerable (VU) menjadi
tumbuhan yang berstatus tidak memiliki keterancaman
kepunahan?

Semuanya itu tergantung dari upaya-upaya yang akan


kita lakukan. Ketika kita benar-benar memandang sebuah
permasalahan sebagai hal yang harus diselesaikan, maka
kita akan benar-benar mendapatkan solusinya. Setidaknya
kita harus mencoba terlebih dahulu. Karena ketika kita
belum mencoba sesuatu maka kita tidak akan pernah tahu
bagaimana hasil ke depannya.

Sebelum upaya-upaya di atas dapat dilaksanakan, hal


yang paling utama untuk dilakukan yaitu meningkatkan
nilai kesadaran dan nilai kepedulian masyarakat terhadap
tumbuhan yang ada di sekitarnya. Tumbuhan tak seharusnya
dieksploitasi secara habis-habisan karena tanpa mereka kita
juga yang akan mengalami banyak kerugian.

Untuk meningkatkan nilai kesadaran serta kepedulian


masyarakat tersebut, langkah-langkah yang bisa dilakukan
salah satunya yaitu denngan adanya sosialisasi serta
pendekatan terhadap masyarakat tersebut.

Marilah kita sebagai generasi senantiasa peduli akan


lingkungan yang membutuhkan perhatian dari kita.
Jika bukan kita yang peduli, maka siapa yang akan
mempedulikannya.

Saling mengingatkan serta saling gotong-royong dalam


memelihara dan menjaga biodiversitas yang ada akan
membuat biodiversitas itu tetap terjaga dengan baik dan
194 terhindar dari ancaman kepunahan. Sayangilah pohon
sebagaimana pohon memberikan manfaatnya kepadamu
dan lingkungan sekitarmu. n
195
Daun pohon ulin Eusideroxylon zwageri
(Foto : Rina Wahyuni)
POHON ULIN,
SI BESI YANG PENUH
KEKUATAN MAGIS
EVA FARERA A.

Pernah dengar istilah pohon ulin atau bulin? Pada saat jalan-
jalan ke toko bangunan atau ke tukang kayu pasti familiar
dengan yang namanya kayu ulin. Mengapa demikian?

Ulin atau bulin adalah nama lokal yang sering disebut


dan didengar di beberapa daerah di Indonesia untuk
menggambarkan spesies Eusideroxylon zwageri. Selain itu,
Kayu Besi Borneo juga sering muncul untuk mendeskripsikan
spesies pohon tersebut. Spesies pohon ini dapat ditemukan
di berbagai tempat yang tersebar mulai dari Pulau Sumatra,
Kepulauan Belitung, hingga ke Pulau Kalimantan.

Penduduk daerah Sumatra dan Kalimantan memberikan


identitas spesies ini dengan nama Pohon Ulin dan di
Belitung biasa disebut dengan Pohon Bulin. Sedangkan,
untuk pengenalan secara nasional dikenal dengan Pohon
Kayu Besi Borneo.

Pohon Kayu Besi Borneo merupakan satu dari beberapa


pohon yang terancam keberadaannya di Indonesia. Menurut
data IUCN (International Union for the Conservation of
Nature and Natural Resources) tahun 1998, status konservasi
196 Pohon Ulin sudah digolongkan ke dalam Vurnerable (rentan).
Rentan di sini berarti spesies ini sedang menghadapi risiko
kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang.
Berdasarkan statusnya ini, pohon ulin termasuk pohon
yang dilindungi di Indonesia menurut Surat Keputusan
Menteri Pertanian No 54/Kpts/Um/1972. Untuk itu, perlu
penanganan khusus dalam melestarikan keberadaannya.

Tingginya angka penjarahan pohon ini disebabkan beberapa


faktor yang melibatkan nilai ekonomis, religius, dan sebagai­
nya yang saling berkaitan. Berdasarkan sisi ekonomis, teran­
camnya keberadaan pohon ini dikarenakan harga perkubik­nya
yang mahal sehingga banyak pihak-pihak tidak bertanggung
jawab melakukan penebangan pohon secara liar dan ilegal
untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan pohon ini.

Terkait dengan harga, kayu pohon ulin dijual bervariasi


dan berbeda beda di tiap daerah. Misalnya, di kawasan
Kalimantan, pohon ulin dihargai 5-6 juta rupiah per kubik­
nya. Sementara di kawasan Sulawesi harganya melambung
tinggi hingga 10-12 juta rupiah per kubiknya, tentunya di
kawasan Jawa harganya akan semakin melambung tinggi.

Tingginya harga pohon ulin dikarenakan karakteristik


khas dari kayunya. Sebutan kayu besi Borneo didapatkan
karena kayu ulin memiliki tekstur keras dan kuat seperti
besi sehingga sering disebut kayu besi. Tekstur seperti besi
ini menyebabkan kayu tersebut memiliki kekuatan dan
ketahanan terhadap berbagai macam gangguan, seperti
kondisi alam dan serangan organisme perusak seperti rayap.

Perlindungan terhadap pohon ulin juga disebabkan sifat po­hon


yang memiliki umur panjang, tetapi memiliki masa pertum­
buhan yang lambat. Menurut penelitian Hiroko Kurakawa dkk
pada tahun 2003 dalam “The age of tropical rain-forest canopy
species, Borneo Ironwood (Eusideroxylon zwageri)” pohon ulin
memiliki usia tumbuh hingga lebih dari seribu tahun.
197
Hiroko menggunakan penangganalan radio carbon-14 pada
beberapa sampel Eusideroxylon zwageri di taman nasional
Kubah, Sarawak, Malaysia. Dari penelitian tersebut dapat
diketahui bahwa Eusideroxylon zwageri memiliki variasi
usia yang berbeda beda, dari penelitian tersebut diketahui
bahwa pohon ulin tertua dengan usia mencapai 2045 tahun
dan termuda 449 tahun. Dalam hal ini, usia termuda 449
tahun bukanlah waktu yang singkat untuk hidup dan selalu
bertumbuh, sehingga pengunaan pohon ulin sebagai bahan
baku kayu untuk pembangunan harus dikurangi, dibatasi
bahkan dicegah sedini mungkin.

Berdasarkan observasi yang penulis lakukan di Kepulauan


Belitung, tepatnya berlokasi di daerah taman wisata alam Batu
Mentas, Provinsi Bangka pada Agustus 2018 lalu ditemukan
beberapa fakta unik mengenai pohon ulin. Meskipun
dinamakan taman wisata alam batu mentas, tempat tersebut
ber­­sebelahan dengan hutan lindung Gunung Tajam, di sana
kita dapat menemukan pohon bulin yang sudah berumur
sangat tua dan memiliki diameter yang sangat lebar.

Masyarakat lokal Batu Mentas biasa menyebut pohon ulin


dengan sebutan pohon bulin. Fakta unik dari warga lokal
adalah kepercayaan masyarakat Belitung pada kekuatan magis
yang terdapat pada pohon bulin. Nilai religius yang dipercayai
dari pohon bulin adalah kemampuan pohon bulin untuk
mengusir hewan liar, menghilangkan kesurupan, bahkan
menolak bala atau hal yang berbau negatif, jika dipajang
sebagai hiasan di rumah. Penduduk sekitar, daerah Belitung
percaya bahwa jika seseorang memajang hiasan yang terbuat
dari kayu bulin, maka santet tidak akan bisa masuk ke dalam
rumah, dan orang yang melakukan santet akan meledak.

Masyarakat daerah Belitung biasanya sering menggosok


198 potongan kayu bulin dengan benda tajam, mengapa?
Ketika kayu besi tersebut digosok, maka warna cokelat kayu
tersebut akan terkikis dan tergantikan oleh warna hitam
yang mengilat dan elegan. Bahkan, bisa dikatakan warna
yang menyerupai besi.

Setelah digosok, maka potongan si besi tersebut akan diukir


dan disesuaikan dengan bentuk hiasan yang diinginkan.
Penduduk setempat, biasanya mendapatkan potongan kayu
bulin tersebut dari pohon yang sudah mati dan menyisakan
akar-akar, dan bagian cabang yang masih bagus.

Hiasan tersebut akan dipajang di dalam rumah dan diguna­


kan untuk keperluan supranatural. Namun, ada saja oknum
yang tidak bertanggung jawab dan mencoba mengambil
keuntungan lebih. Mereka memotong kayu bulin dan meng­
ambil semua bagian kayu tersebut untuk dijual dan dijadikan
bahan pondasi rumah. Seperti dijelaskan di atas, kayu bulin
memiliki harga per kubiknya mencapai belasan juta rupiah.

Berdasarkan deskripsi di atas tentunya tergambarkan bahwa


nilai-nilai yang ada pada pohon ini menyebabkan pohon
ini digunakan secara tidak terkontrol di alam sehingga
keberadaannya terancam. Khawatirnya si besi yang tak kenal
masa ini ke depannya hanya tinggal nama dan tidak dapat
dinikmati anak cucu pada masa yang akan datang. Untuk
itu, dibutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak dalam
menjaga kelestarian pohon ini. n

REFERENSI :
http://www.iucnredlist.org/details/31316/0
Irawan, B.dkk (2016). Linkning indigenous knowledge, plant morphology,
and molecular differentiation: the case of ironwood ( Eusideroxylon zwageri
Teijm. Et Binn. ). Springer (63) :1297—1306.
199
Kurokawa, H. dkk. 2003. The age of tropical rain-forest canopy species,
Borneo Ironwood (Eusideroxylon zwageri), determined by 14C dating.
Cambridge University Press (19) : 1—7.
RAKSASA BERBANI
DI BUKIT TIGA PULUH
INDRA PERDANA

Suasana berbeda terasa begitu menjejakkan kaki di dalam


hutan. Padatnya permukiman, monotonnya hamparan
tanaman pertanian dan perkebunan, serta panasnya
areal tambang akan terganti dengan segarnya udara.
Pemandangan beragam tumbuhan serta kicauan burung
yang bebas terbang terdengar ketika kita berada di hutan.

Kondisi hutan saat ini makin merana. Kalau berbicara


lingkup Pulau Sumatera, dapat dilihat bahwa hutan tropis
yang ada semakin hilang.

Pembukaan lahan hutan untuk perkebunan dan tambang


merupakan faktor penyebab terbesar kerusakan hutan.
Hutan perawan yang tersisa hanya berada di beberapa
kawasan konservasi. Lokasinya pun tidak lagi dalam
satu hamparan yang kompak, tetapi telah terpisah-pisah.
Sementara itu, potensi yang tersimpan di dalamnya masih
banyak yang belum tergali.

Tumbuhan dan satwa yang beragam masih banyak yang


belum diketahui manfaatnya. Kita harus berpacu dengan
waktu. Sumber daya hutan tersebut merupakan penyangga
kehidupan saat ini dan masa mendatang.
200
Tumbuhan di hutan tropis berupa pohon berkayu dengan
ukuran besar hingga lumut dapat dengan mudah kita
temui. Beragam potensi tumbuhan hutan sebagai penghasil
makanan, serat pakaian, obat alami, hingga kayu sebagai
bahan bangunan dapat kita peroleh.

Pohon berkayu jenis meranti mendominasi sebagian besar


kawasan hutan di Sumatera. Potensi kayu ini merupakan
daya tarik bagi ilmu pengetahuan untuk mengembangkan
sekaligus ancaman bagi kelestarian hutan.

Pohon berkayu dengan ukuran super besar (raksasa) masih


dapat ditemukan di dalam kawasan konservasi. Mersawa
daun lebar (Anisoptera costata Korth.) adalah salah satunya.
Banyak orang tidak mengenal pohon ini.

Salah satu pohon langka di Indonesia ini memperoleh status


terancam punah (Endangered) oleh (IUCN – International
Union for Concervation of Nature dan Natural Resources).
Organisasi yang menetapkan standar daftar spesies (jenis)
dan upaya penilaian konservasi ini memperoleh data terkait
keberadaan jenis mersawa di alam yang kondisi populasinya
sangat jarang.

Catatan menunjukkan bahwa populasi pohon mersawa daun


lebar sangat jarang. Bahkan di Filipina hanya tersisa satu
batang pohon saja. Di Kawasan TN Ujung Kulon, Banten,
pun hanya ditemukan satu batang pohon saja tanpa anakan.

Daerah sebaran asli pohon dari famili Dipterocarpaceae


(meranti-merantian) ini meliputi Indonesia (Sumatera,
Kalimantan dan Jawa bagian barat), Brunei Darussalam,
Filipina, Kamboja, Malaysia (semenanjung, Sabah, Serawak),
Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Tumbuhan
berkayu ini di Kalimantan kerap disebut juga sebagai
baripung, damar ketimpun, damar tingkis, katimpun,
201 kenuar, laripung, merlangat, mersawa, pengiran, dan
tempudau. Sedangkan di Sumatera, tumbuhan ini dikenal
sebagai masegar, tenan, atau meluwang tikus.
Pohon mersawa daun lebar merupakan tumbuhan berkayu
dengan ukuran besar. Tinggi pohon mencapai 67 meter
dengan diameter batang bagian bawah di atas banir (perakar­
an menonjol berbentuk papan) mencapai lebih dari 150 cm.
Batang pohon tinggi, lurus, dan berbentuk silinder. Bagian
bawah yang berbanir dapat mencapai ketinggian 4 meter pada
pohon tua. Kulit batang umumnya berwarna kelabu, kelabu
kekuningan, kelabu kecokelatan, hingga cokelat.

Pohon muda memiliki tekstur kulit kayu halus, sedangkan


pohon tua memiliki tekstur beralur dangkal dan sedikit
terkelupas. Bagian batang mengeluarkan resin (semacam
getah) berwarna keputihan, hijau muda, hingga kekuningan.
Daun berbentuk lonjong atau jorong, simetris dengan ujung
lancip pendek dan pangkal membulat. Daun berukuran
panjang 7-15 cm dengan lebar 4-7,5 cm. Bagian bawah daun,
terutama pada pertulangan daun berbulu halus menyerupai
beludru berwarna kuning kecokelatan.

Bunga mersawa berwarna keputihan atau merah muda


dengan ukuran sekitar 1,5 cm. Buah mersawa berbentuk
bulat telur dan berbulu halus dengan sayap lima berbentuk
sodet, di mana dua sayapnya berukuran besar dan tiga sayap
lain berukuran kecil.

Mersawa daun lebar dapat tumbuh baik di hutan hujan tropis


dataran rendah hingga ketinggian 700 meter dpl. Jenis ini
dapat tumbuh di tanah berpasir, tanah liat, maupun sedikit
berbatu kapur. Mersawa daun lebar adalah pohon penghasil
kayu berkualitas. Kayunya digunakan sebagai bahan baku
furniture, kayu lapis, kayu konstruksi, dan papan kapal.

Salah satu kawasan konservasi yang masih menyimpan


202 raksasa hutan ini adalah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
Kawasan konservasi ini berada di tengah Pulau Sumatera
dengan karakteristik bentang alam berbukit-bukit.
Mersawa si raksasa hutan dapat
mudah dijumpai dalam kawasan
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.

Perbukitan berupa hamparan ini terpisah dari deretan


perbukitan di sebelah barat Pulau Sumatera yang lengkap
dengan deretan gunung berapinya. Gugusan perbukitan di
dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh memiliki
ketinggian 200 hingga 800 meter di atas permukaan laut.

Jenis tanah kawasan ini sebagian besar adalah podsolik


merah kuning dengan karakter liat dan lengket pada bagian
atas, sementara bagian bawah cenderung berpasir dan
porous. Kondisi ini menjadi faktor penting yang mendukung
tumbuh dan tegaknya mersawa. Pertumbuhan mersawa di
dalam kawasan didukung oleh ketersediaan humus yang
melimpah di lantai hutan.

Mersawa si raksasa hutan dapat mudah dijumpai dalam


kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, salah satunya
melalui akses masuk utama ke area Camp Granit. Camp
bekas pertambangan batu granit oleh perusahaan PT Isatama
Bumi Nusa yang beroperasi sebelum penunjukan kawasan
sebagai taman nasional ini cukup dikenal masyarakat.

Bekas penambangan batu granit di lokasi tersebut kini telah


berubah menjadi lokasi wisata minat khusus. Daya tarik
utama obyek wisata di sini ada pada air terjun yang terbentuk
akibat aktivitas penambangan, serta jungle tracking yang
menawarkan panorama hutan tropis perbukitan dengan
iklim yang sejuk. Pengamatan satwa burung maupun
primata dapat juga dilakukan di sepanjang jalur track wisata.
203
Kala melewati salah satu jalur track wisata di area Camp
Granit, yaitu jalur Bukit Lancang, dapat ditemui Mersawa
berumur ratusan tahun yang tumbuh menjulang di atas
bukit. Meskipun jalur track cukup terjal dan menantang
untuk pengunjung, daya tarik Mersawa raksasa ini menjadi
poin utama. Selain juga suguhan hutan tropis perbukitan
dengan pepohonan yang tumbuh rapat dan udara sejuk.

Track sejauh kurang lebih 1 km dari camp utama ini cukup


banyak diminati pengunjung. Mersawa Bukit Lancang
demikian sering disebut, memiliki diameter lebih dari 150
cm dengan tinggi banir lebih dari 3 meter.

Butuh 15 orang untuk memeluk mengitari pohon


raksasa ini karena akar papan yang menopang tegaknya
membentang lebih dari 6 meter. Kulit kayu bagian banir
yang kasar menjadi saksi sentuhan para pengunjung yang
ingin mengabadikan keberadaanya. Berdiri serta berfoto
di mersawa raksasa ini seolah berada di dunia lain dimana
manusia menjadi sangat kecil.

Keberadaan Mersawa di dalam kawasan Taman Nasional


Bukit Tiga Puluh sangatlah penting. Pohon ini merupakan
salah satu komponen ekosistem yang menyediakan tempat
bersarang bagi satwa seperti burung dan primata.

Sistem perakaran mersawa mampu mendukung ekosistem


hutan untuk menjaga kestabilan tanah juga keberadaan air
tanah pada musim kemarau. Mersawa menghasilkan kayu
berkualitas. Potensi kayu yang dihasilkan pohon mersawa
menarik untuk dikembangkan.

Menjadikan Mersawa yang tumbuh di dalam kawasan


Taman Nasional Bukit Tiga Puluh sebagai sumber benih
merupakan salah satu upaya pemanfaatan berkelanjutan
salah satu potensi kawasan konservasi. Budi daya dan
204 pemuliaan jenis ini di luar kawasan konservasi akan
mendukung pemenuhan kebutuhan kayu komersial
sekaligus melestarikan keberadaan mersawa di alam. n
205
Pohon di pinggir jalan di hutan hulu Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur
(Foto : Yanuar Ishaq Dc)
SANINTEN: KUDAPAN
DARI HUTAN INDONESIA
YANG LANGKA
YANUAR ISHAQ DWI CAHYO

Tak seperti kerabatnya, kastanya


(chestnut), saninten atau berangan
masih jarang diman­faatkan
potensinya sebagai buah tangan
dari hutan yang menjanjikan.
Namun, kita tak sempat lagi
jika tak melindunginya karena
jumlahnya yang tak seberapa.

Seorang teman yang tinggal di kampung sekitar Hutan


Halimun, Jawa Barat, berkata bahwa saat ini sudah jarang
ditemui pohon saninten. Baginya buah saninten adalah salah
satu oleh-oleh yang bisa dibawa pulang ke rumahnya setelah
menjelajah rimba Hutan Halimun. Lantas, saninten dimakan
bersama teh yang hangat sangat nikmat saat suhu udara
dingin seiring dengan petang yang beranjak ke malam.

206 Buahnya mirip rambutan, tapi lebih keras seperti duri


yang tajam. Buah berseliput duri tersebut berwarna kuning
keemasan dan bergerombol dalam satu tangkai. Satu buah
berisikan 2-3 biji yang dilapisi kerak tipis yang berwarna
cokelat mengkilap.

Pernah suatu kali saya memanggangnya. Kulit biji saninten


yang pecah mengeluarkan aroma yang harum yang meresap
masuk ke dalam hidung. Saat menggigit inti bijinya terasa
seperti memakan es krim magnum dengan lapisan keras
yang tipis di bagian luar, tapi lembut di bagian dalamnya.
Teksturnya gurih dengan rasa manis sedikit asin seperti
memakan kacang yang dilapisi dengan keju. Memakannya
memberi sensasi rasa yang memanjakan lidah dan tak
kuasa untuk berhenti mengunyahnya. Inti biji saninten
mengandung banyak zat tepung dan protein.

Saninten adalah jenis pohon rimba yang tumbuh alami


di daerah perbukitan hingga pegunungan dalam rentang
elevasi 150-1750 meter di atas permukaan laut. Pohon
dengan nama ilmiah Castanopsis argentea (Blume), A.DC.
ini tersebar dari Sumatera hingga Jawa menurut Dr. Engkik
Soepadmo (1972) dalam tulisannya di Fagaceae: Flora
Malesiana - Series 1, Spermatophyta, Vol. 7.

Menurut Wibowo (2006) pohon yang dapat tumbuh hingga


30meter ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap kandung­
an batu di tempat mereka tumbuh. Secara alami, dengan keter­
sediaan air minim pun saninten bisa tumbuh dengan baik.

Saninten berbuah pada bulan Januari hingga April. Meski


daya berkecambah dari biji saninten ini cukup cepat, tak
cukup waktu untuk menghindar dari gigi tajam satwa
pemakan biji serta tangan manusia. Pohon saninten menye­
diakan ruang hidup yang nyaman bagi satwa liar di hutan.

207 “Dari pohon saninten didapatkan sumber pakan, beristirahat


serta tempat bersarang bagi mamalia dan burung”, ungkap
Heriyanto et al. (2013).
SEJARAH PERTELAAN

Penamaan ilmiah dari jenis tumbuhan terkadang berasal


dari karakter spesial yang dimiliki oleh tumbuhan
tersebut. Castanopsis argentea terdiri dari dua suku kata
yang menandakan garis taksonomi sebuah nomenklatur
tumbuhan. “Castanopsis” adalah penanda kelompok marga,
sedangkan “argentea” menjadi penanda jenis. Merujuk
penamaan latinnya, David Gledhill (2008) dalam bukunya
The Name of Plants mengatakan Castanopsis merupakan
gabungan dari “castanea” dan “opsis” yang berarti chestnut–
like atau diterjemahkan sebagai “menyerupai kastanya”.
Sedangkan “argentea” berarti keperak-perakan yang
dicirikan pada warna lapisan bawah daun saninten.

Pertelaan pertama tumbuhan saninten dilakukan oleh


Carl Ludwig Blume, seorang botaniwan sekaligus dokter
dari Jerman yang berambisi besar dalam menjelajah
dan mempelajari gunung- gunung di Jawa Barat. Deputi
Direktur Kebun Raya Bogor tahun 1823-1826 tersebut
men­deskripsikan saninten dan menamainya dengan Fagus
argentea dalam publikasinya di Flora 7 (1824), yang kemu­dian
direvisi lagi dalam bukunya Flora Javae nec non insularum
adjacentium vol. 2 (1851) menjadi Castanea argentea dileng­
kapi dengan gambar-gambar indah yang berwarna.

Koleksi herbariumnya kemudian dibawa ke Belanda sebagai


modal awal dia membangun Rijksherbarium Leyden.
Karyanya menjadi acuan pemerintah Hindia Belanda kala
itu dalam memanfaatkan sumber daya nabati yang ada di
Jawa, termasuk saninten yang mirip dengan kerabatnya,
yakni kastanya (chestnut), yang sudah dikenal lama di Eropa.
208
Kemudian seorang botaniwan asal Swiss, Alphonse Louis
Pierre Pyrame de Candolle yang biasa disingkat A.DC. me­
“Nama latin Castanea diambil
dari salah satu kota Kerajaan
Roma yang bernama Castanea
yang terdapat banyak sekali
pohon kastanya”
- Conedera et al -

rombak susunan taksonomi yang mengacu pada herbarium


yang dikoleksi oleh Blume. A.DC. kemudian mempublika­
sikannya dengan nama Castanopsis argentea (Blume), A.DC.
dalam Journal of Botany, British and Foreign (1863).

BELAJAR DARI KERABAT YANG TERKENAL

Pemanfaatan biji dari kerabat saninten, yakni kastanya


(Castanea spp.), di negara lain sebenarnya sudah berkem­
bang ribuan tahun lamanya. Kastanya merupakan bahan
makanan yang sudah lama terkenal di Eropa dan Asia.

Marco Conedera dan rekannya (2004), peneliti tumbuhan


Swiss, menjelaskan bahwa kastanya (Castanea sativa)
pertama kali dibudidayakan di Eropa pada masa Kerajaan
Yunani kuno di wilayah Mediterania kurang lebih 3000
tahun yang lalu. Kemudian tersebar di Eropa bagian tengah
pada masa invansi Kerajaan Roma.

“Nama latin Castanea diambil dari salah satu kota Kerajaan


Roma yang bernama Castanea yang terdapat banyak sekali
pohon kastanya” tulis Conedera et al. dalam publikasinya
209 di Vegetation History and Archaeobotany yang berjudul The
cultivation of Castanea sativa (Mill.) in Europe, from its origin
to its diffusion on a continental scale.
Kastanya (Castanea crenata) juga telah menjadi sumber
makanan utama bagi masyarakat Jepang pada periode
Jomon, periode sebelum budi daya tanaman berkembang
(2500 tahun yang lalu) menurut Masaki Nishida (2002)
dalam publikasinya “Another Neolithic in Holocene Japan”.
Sedangkan di China menurut Li Zai-Long (1998), “kastanya
(Castanea mollisima) menjadi salah satu buah-buahan yang
tercatat telah dibudidayakan sejak 6000 tahun yang lalu”
dalam publikasinya di Deciduous Fruit Development in Asia,
FAO Regional Asia Pacific.

Sampai saat ini China telah berhasil secara kontinu


memanfaatkan kastanya sebagai sumber makanan yang
menjadi komoditas ekspor, tercatat dalam laporan IndexBox,
sebuah perusahaan marketing dan konsultasi terpercaya
berbasis di California, USA, World - Chestnut - Market
Analysis, Forecast, Size, Trends and Insights 2017. Ekspor
kastanya dari China sebesar 34 ribu ton pada tahun 2017
dengan nilai ekspor sebesar $73 juta atau Rp 1,108 triliun.

Hal ini bisa menjadi penggugah bahwa saninten sebagai


kerabat kastanya bisa menjadi salah satu komoditas ekspor
yang bernilai tinggi. Tidak menutup kemungkinan saninten
jika dikelola dengan baik akan mendatangkan nilai tambah
bagi masyarakat Indonesia.

Masyarakat sekitar hutan di Indonesia telah memanfaatkan


biji saninten sebagai bahan makanan serta sebagai campuran
kue dan cokelat (Bailey et al., 1995). Menurut Heyne
(1987), kandungan tanin pada kulit kayu dan buahnya
juga digunakan sebagai pewarna alami, seperti untuk
210 menghitamkan rotan agar awet dan tahan air. Saninten
mengandung senyawa fenolik pada biji yang masih segar
yang berguna sebagai pemberi aroma serta antioksidan.
Tumbuhan endemik Indonesia
ini menjadi bagian dari 1252 jenis
tumbuhan Indonesia yang masuk
dalam IUCN Red List. Sebelum
terlambat, pemerintah Indonesia
melalui Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KHLK)
telah mengatur upaya konservasi
jenis, termasuk saninten.

MENJAGA SANINTEN

Kayu dari pohon saninten memiliki guratan yang indah


serta tergolong dalam kayu yang keras, sehingga cocok
sebagai kayu bangunan, papan, lantai, pintu, jendela bahkan
jembatan. Pembalakan terus terjadi tanpa henti. Satu persatu
pohon saninten tumbang dari hutan rimba. Pembakaran
meniadakan regenerasi dari pohon dengan sebutan lain
“berangan” ini.

Saninten kini berstatus terancam punah (endangered)


menurut International Union for Conservation Network
(IUCN). Tumbuhan endemik Indonesia ini menjadi bagian
dari 1252 jenis tumbuhan Indonesia yang masuk dalam
IUCN Red List.

Sebelum terlambat, pemerintah Indonesia melalui


211 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK)
telah mengatur upaya konservasi jenis, termasuk saninten,
dalam Permenhut No. P. 57/Menhut- II/2008 tentang Arahan
Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018. Serta status
perlindungan melalui peraturan yang sudah diperbarui,
yakni PerMen LHK No. 92 Tahun 2018.

Selain itu, tumbuhan dengan daun tunggal berseling ini


merupakan salah satu dari 12 jenis pohon yang masuk dalam
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Pohon
Langka Indonesia. Dokumen yang digagas oleh Forum
Pohon Langka Indonesia tersebut akan menjadi landasan
hukum serta pedoman terkait upaya konservasi pohon
langka di Indonesia.

Sebaran pohon saninten saat ini berada pada hutan-


hutan yang masih alami, terutama yang berstatus area
konservasi. Patroli serta penegakan hukum menjadi bagian
penting dalam upaya konservasi pohon langka yang ada
di alam. Perbanyakan in vitro atau kultur jaringan dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi kelangkaan permudaan
alami (Surya, 2017) serta perbanyakan konvensional yang
memakan waktu cukup lama (Fitria, 2015). Pengelolaan
hutan yang berbasis masyarakat berlandaskan kearifan lokal
telah menjadi pembelajaran penting sebagai salah satu
tawaran konservasi hutan yang berhasil.

Menjaga tidak hanya melindunginya di alam, tetapi juga


menghadirkannya sebagai sebuah entitas yang berharga
milik bersama. Popularitas saninten serta jenis pohon
langka Indonesia lainnya perlu dibangun dengan cara
berkolaborasi dengan berbagai pihak. Wacana pohon
langka perlu menjadi bagian dalam rencana pembangunan
tata ruang daerah. Perlu kolaborasi dalam menghadirkan
kembali saninten pada habitat alaminya. Upaya preventif
212 dapat melalui penanaman kembali eksistensi saninten, serta
merawat keberadaannya untuk diwariskan kepada generasi
berikutnya. n
213
Anggrek epifit Dendrobium yang menempel
pada pohon damar (Anisoptera thurifera)
(Foto : Yanuar Ishaq Dc)
SERUPA TAPI TAK SAMA,
BUAH KERANTUNGAN
DIBILANG MIRIP DURIAN
GUNTUR PRABOWO

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki beragam


jenis buah. Buah-buah tersebut dapat ditemukan secara
liar maupun yang sudah dibudidayakan. Tanaman buah ini
dapat berbentuk pohon, semak, perdu, ataupun liana.

Salah satu jenis buah yang merupakan buah khas dari


Indonesia yaitu buah durian. Buah durian banyak tumbuh
di daerah tropis. Buah ini dikenal karena aroma khasnya
yang cukup kuat. Aroma kuat ini terkadang membuat orang
enggan untuk mendekat, karena dapat menyebabkan mual.

Kekhasan buah durian juga terlihat dari bentuk kulit


buahnya. Kulit buah dilapisi oleh duri yang besar dan
cukup tajam, sehingga untuk memegang buah ini kita harus
berhati-hati. Ada banyak buah yang memiliki ciri seperti
durian sehingga seringkali disebut sebagai kerabat durian.
Salah satu dari buah tersebut yaitu buah kerantungan.

Buah kerantungan sebagai buah khas pulau Kalimantan,


khususnya Kalimantan Tengah, memiliki perawakan lebih
kurang mirip dengan durian. Buah yang bernama latin
Durio oxleyanus ini biasanya ditemui tumbuh liar di alam.
214 Buah kerantungan mudah dijumpai di alam karena pohon
dari jenis buah ini memiliki syarat tumbuh yang tidak rumit
dan cenderung dapat bertahan di berbagai macam keadaan.
Agar pohonnya produktif, maka diperlukan habitat yang
memiliki ciri-ciri yaitu pH tanah berkisar antara 6 sampai
7, intensitas cahaya berada di antara 45% sampai 50%, suhu
yang berkisar antara 22oC sampai 30oC, serta ketinggian
dari habitat tersebut harus 200 sampai 600 m dpl.

Buah kerantungan memiliki perawakan berbeda dengan


buah durian pada umumnya. Perbedaan ini meliputi perbe­
daan morfologi buah dan perbedaan dari morfologi pohon.

Perbedaan morfologi buah dilihat dari dua aspek yaitu


perawakan luar dan perawakan dalam buah. Perbedaan
yang terlihat dari luar buah ini yaitu ukuran, warna, dan
duri. Ukuran buah kerantungan berukuran lebih kecil.
Warnanya pun cenderung lebih berwarna kuning kehijauan
sedangkan warna kulit pada buah durian cenderung kuning
kecokelatan. Duri pada buah kerantungan ini juga lebih
panjang dibandingkan buah durian pada umumnya.

Perbedaan penampakan bagian dalam terlihat pada


warna, tekstur, dan rasa dagingnya serta warna daun.
Daging buah kerantungan saat masak warnanya terlihat
terlihat putih seperti susu atau tulang, sedangkan pada
buah durian berwarna kuning, begitu juga dengan tekstur
daging buahnya. Tekstur pada kerantungan lebih lembut
dibandingkan dengan tekstur pada buah durian.

Sedangkan, rasa buah kerantungan sedikit pahit, tidak


terlalu manis, dengan aroma yang tidak terlalu menyengat
karena kadar alkohol pada kerantungan lebih rendah
daripada durian. Daun pohon kerantungan juga berbeda
dari daun pohon durian. Daun buah ini berwarna hijau
215 pada bagian atas dan hijau keabuan pada bagian bawah serta
bentuk daun yang cenderung lonjong. Sedangkan, daun
durian cenderung berwarna hijau pada bagian atas dan hijau
kecokelatan pada bagian bawah, serta bentuk daun yang
cenderung lebih lebar dibandingkan daun kerantungan.

Permukaan daun dari kedua buah ini kasar. Hal ini


dikarenakan pada daun buah ini dilapisi oleh jenis rambut
tipis yang berwarna putih. Setelah dilihat menggunakan
mikroskop, rambut tipis yang berwarna putih ini terlihat
menyerupai bentuk bintang. Sehingga banyak orang
menyebut rambut pelindung tersebut dengan sebutan
rambut bintang atau star hair.

Perbedaan juga terdapat pada percabangan antara pohon


kerantungan dan pohon durian. Percabangan pada pohon
durian pada batang utama langsung bercabang dua atau
yang disebut dengan dikotom, sedangkan pada kerantungan,
batang utamanya tidak mengalami percabangan langsung
melainkan bercabang pada sisi batang dari pohon tersebut.

Selain perbedaan yang didapat dari buah kerantungan dan


buah durian, ada pula persamaan yang terdapat dikeduanya.
Dilihat dari perawakannya, pohon buah kerantungan me­
miliki tinggi yang lebih kurang serupa dengan pohon durian.
Batang dari pohon ini tinggi membulat dengan diameter
batang yang tidak terlalu besar. Warna dari kulit batang
pohon ini yaitu cokelat muda. Pada batang pohon ini terlihat
pecah- pecah. Pecahan tersebut akan semakin membesar
seiring dengan pertambahan diameter dari batang.

Kandungan yang terdapat kedua pohon ini juga banyak


memiliki kesamaan. Menurut jurnal yang berjudul
“Keunggulan dan Potensi Pengembangan Sumber Daya
Genetik dalam Durian Kalimantan Tengah” karya Amik
Krimawati menyatakan bahwa buah kerantungan dan
216 buah durian memiliki kandungan sukrosa, lemak, protein,
vitamin A, dan vitamin C. Dilihat dari kandungan yang
ada, buah kerantungan tidak berbahaya jika dikonsumsi
Buah kerantungan dan buah
durian memiliki kandungan
sukrosa, lemak, protein, vitamin
A, dan vitamin C. Dilihat dari
kandungan yang ada, buah
kerantungan tidak berbahaya
jika dikonsumsi secara langsung.
Hanya saja masih sedikit
masyarakat yang mengetahui
informasi tersebut sehingga buah
kerantungan jarang dikonsumsi
di kalangan masyarakat.

secara langsung. Hanya saja masih sedikit masyarakat yang


mengetahui informasi tersebut sehingga buah kerantungan
jarang dikonsumsi di kalangan masyarakat.

Selain dimakan langsung, buah kerantungan juga dapat


digunakan untuk keperluan lainnya. Misalnya pada bagian
kulit buah biasa digunakan anak-anak untuk dijadikan
mainan. Daging buah dapat diolah menjadi eskrim, dodol,
selai, keripik, serta tepung. Bahkan, sampai biji buah
kerantungan pun dapat dimanfaatkan. Biji buah dapat diolah
menjadi tepung yang nanti dapat diolah kembali menjadi
dodol, kue ataupun roti.

Karena banyaknya kegunaan yang terdapat pada kerantungan


217 maka diperlukan suatu upaya untuk melestari­kan pohon ini.
Meskipun status keterancaman IUCN jenis ini belum dinilai,
namun jenis ini mulai jarang ditemukan sehingga bisa saja
sudah langka dan terancam punah. Hal ini terjadi juga di
habitatnya di Kalimantan Tengah, yang sudah mulai jarang.
Untuk itu, diperlukan budidaya pohon kerantungan agar
manfaat yang ada dari buah atau pohon kerantungan dapat
digunakan dengan sebaik- baiknya.

Kegiatan budidaya buah kerantungan ini dapat dilakukan


dengan cara generatif ataupun cara vegetatif. Cara generatif
dilakukan dengan menggunakan biji yang ditanam di
daerah yang memiliki ciri seperti yang sebelumnya sudah
disebutkan. Kemudian untuk budidaya dengan cara vegetatif
dapat dilakukan dengan okulasi. Cara okulasi ini merupakan
suatu cara untuk budidaya buah kerantungan yang
dilakukan dengan menyatukan mata tunas dari tanaman
kerantungan ini yang nantinya akan menjadi suatu individu
baru. Biasanya untuk meningkatkan kualitas buah dari
kerantungan cara okulasi lebih banyak dipilih dibandingkan
dengan cara penanaman biji.

Walaupun cara untuk kegiatan budidaya kerantungan ini


sudah ada, tetapi masih terdapat kendala dalam upaya
budidaya ini. Kendala yang ada yaitu kurangnya sumber
indukan unggul untuk dikembangkan, masih kurangnya
intensitas pemeliharaan pohon, masa panen yang terlalu
lama, dan penebangan liar.

Semua upaya harus dilakukan untuk mengatasi kendala


yang ada, sehingga diharapkan budidaya kerantungan
menjadi suatu kenyataan. Dengan memunculkan kenyataan
kerantungan itu ada, maka tentunya kita akan selalu
berusaha agar jumlah individu kerantungan dapat terus
bertambah. Status kerantungan yang awalnya diduga
218 terancam punah akan turun menjadi status aman . Budidaya
akan terus dilakukan untuk tetap menjaga eksistensi dari
buah kerantungan ini. n
219
Batang Dipterocarpus retusus yang lurus
dan berwarna kelabu (Foto : Peniwidyanti)
SPESIES
MANGROVE LANGKA
DI HUTAN BORNEO
EMILIA MALIK

Indonesia memiliki kawasan hutan terluas kedua di dunia


yang menampung keanekaragaman hayati kompleks.
Bahkan Indonesia salah satu negara yang termasuk lima
negara tergolong Megadiversity Country.

Sejarah geologi pembentukan yang berbeda di antara


pulau-pulau di Indonesia, variasi iklim dari bagian barat
yang lembab sampai bagian timur yang kering sangat
mempengaruhi pembentukan ekosistem dan distribusi
hewan dan tumbuhan di dalamnya.

Hasil proses ini tercermin dalam keragaman ekosistem dan


taksa tumbuhan di wilayahnya. Khususnya di Kalimantan,
proses geologi di pulau ini dengan distribusi iklim, jenis
tanah, ketinggian, topografi dan keberadaannya di sepanjang
garis khatulistiwa, membuat pulau ini sangat kaya akan
spesies fauna dan flora, dan habitat yang yang sangat
bervariasi, khususnya di hutan-hutan hujan tropis basah
terluas di Asia Tenggara.

Salah satu keanekaragaman hayati yang ada yaitu flora


mangrove langka di dunia yaitu Bruguiera hainesii atau
220 dengan nama lokal tumuk putih yang baru pertama kali
ditemukan untuk di Indonesia. Tanaman itu ditemukan
tepatnya di Kecamatan Kubu Raya Kalimantan Barat.
Kawasan pesisir dan laut Indonesia memiliki potensi dan
keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega biodiver­
sity). Selain itu juga termasuk dalam kawasan CTC (Coral
Triangle Center).

Tingginya potensi dan keanekaragaman hayati tersebut baik


dalam bentuk keanekaragaman genetik, spesies maupun
ekosistem merupakan aset yang sangat berharga untuk
menunjang pembangunan ekonomi Indonesia.

Tingginya keanekaragaman hayati perairan tersebut dapat


memberikan manfaat bagi lingkungan dan kesejahteraan
bila dikelola secara optimal dan berkelanjutan dengan
memperhatikan karakteristik dan daya dukung (carrying
capacity) lingkungan.

Wilayah pesisir Kalimantan Barat merupakan salah satu


habitat penting berbagai jenis tumbuhan mangrove untuk
tumbuh dan berkembang. Analisis spasial SAMPAN
Kalimantan pada Oktober 2016 menyatakan bahwa tutupan
hutan mangrove di Provinsi Kalimantan Barat seluas kurang
lebih 153.592 hektar.

Kabupaten Kubu Raya merupakan kabupaten dengan


luas tutupan hutan mangrove terbesar seluas kurang lebih
115.142 hektar (75 persen), kemudian disusul Kabupaten
Kayong Utara kurang lebih 19.914 hektar (13 persen),
Kabupaten Sambas kurang lebih 9.153 hektar (6 persen),
Kabupaten Ketapang kurang lebihh 7.511 hektar (4,9
persen), Kabupaten Mempawah 1.611 hektar (1 persen),
Kabupaten Bengkayang 183 hektar (0,12 persen) dan Kota
Singkawang 78 hektar (0,05 persen).

Bentang Pesisir Padang Tikar di Kecamatan Batu Ampar,


221 Kabupaten Kubu Raya memiliki tingkat keanakaragaman
spesies mangrove yang tinggi jika dibandingkan dengan
wilayah lain di Kalimantan Barat.
Informasi dari IUCN
menyebutkan bahwa tumuk
putih tercatat di tiga negara
dengan jumlah populasi
tidak lebih dari 203 pohon.
Status tumbuhan ini sangat
mengkhawatirkan karena dua
langkah lagi masuk dalam
kategori Extinct atau punah.

Istilah Bentang Pesisir Padang Tikar merupakan hasil


kesepakatan masyarakat saat inisiasi pengajuan Hutan Desa
dengan pendekatan bentang alam pada 2013. Istilah ini
menggambarkan kesatuan ekologis dan kesamaan historis,
sosial, budaya, serta ekonomi masyarakat yang mendiami
wilayah ini.

Secara geografis, Bentang Pesisir Padang Tikar merupakan


wilayah yang dipisahkan oleh Sungai Kapuas dari daratan
utama. Letaknya di sebelah barat daya Pulau Kalimantan,
tepatnya di 00°37’2.11” sampai dengan 00°100’13,18”
Lintang Selatan dan 109°015’26,49” sampai dengan
109°044’53,91” Bujur Timur. Secara administratif, Bentang
Pesisir Padang Tikar bagian dari wilayah administrasi
11 desa, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya,
Provinsi Kalimantan Barat.

Bruguiera hainesii atau tumuk putih merupakan salah


222 satu jenis tumbuhan mangrove sejati, dikutip dalam www.
iucnredlist.org, menyebut tumuk putih masuk dalam
kategori Critically Endangered (CR) atau terancam punah.
Informasi dari IUCN menyebutkan bahwa tumuk putih
tercatat di tiga negara dengan jumlah populasi tidak lebih
dari 203 pohon (80 pohon di Malaysia, tiga pohon di
Singapura dan 120 pohon di Papua Nugini). Data tersebut
belum termasuk populasi dari Indonesia. Status tumbuhan
ini sangat mengkhawatirkan karena dua langkah lagi masuk
dalam kategori Extinct atau punah.

Tumbuhan ini ditemukan di Hutan Desa Bentang Pesisir


Padang Tikar dengan luas 76.370 Ha dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tepatnya di
Desa Tanjung Harapan.

Penemuan ini merupakan hasil penelitian dari Lembaga


Pengelola Hutan Desa (LPHD) Tanjung Harapan dan tim
peneliti SAMPAN Kalimantan pada 2017. Total luas
mangrove di Bentang Pesisir Padang Tikar yaitu 59.847 Ha.
Lokasi penemuan tepatnya berada di Teluk Pari Tanjung
Terong Desa Tanjung Harapan, tepatnya berada di titik
koordinat 109024’38.50” Bujur Timur, 0055’25.38” Bujur
Selatan. Lokasi tersebut merupakan bagian dari areal kerja
Hak Pengelolaan Hutan Desa Bentang Pesisir Padang Tikar.

Spesies ini ditemukan hidup pada substrat lumpur berpasir


dan hanya di temukan satu individu tingkat pohon yang
lang­sung menghadap ke Laut Natuna Selatan dan berasosia­
si dengan Bruguiera gymnorrhyza, Bruguiera parviflora dan
Bruguiera cylindrica.

Ekosistem mangrove di Bentang Pesisir Padang Tikar menjadi


tempat pelestarian keanekaragaman flora dan fauna pesisir. Ter­
dapat 67 jenis flora mangrove yang terdiri dari 33 jenis tumbuhan
mangrove sejati dan 34 jenis tumbuhan mangrove asosiasi.
223 Beberapa diantaranya merupakan flora terancam punah
seperti berus mata buaya (Bruguiera hainesii) dengan status
Critically Endangered (CR); dungun (Heritieria globosa)
dengan status Endangered (EN); gedabu (Sonneratia ovata)
dengan status Near Threatened (NT); dan terumtum
(Aegiceras floridum) dengan status Near Threatened (NT).

Serta, mangrove di Bentang Pesisir Padang Tikar menjadi


habitat bagi fauna terancam punah seperti bekantan (Nasalis
larvatus), buaya muara (Crocodylus porosus), pesut (Orcaella
brevirostris), belangkas (Limulus Polyphemus) dan kucing
bakau (Prionailurus viverrinus).

Selain itu, kemampuan hutan mangrove dalam menangkap


(menyimpan dan melepaskan) karbon membuat mangrove
sangat berguna bagi masyarakat global dalam upaya mitigasi
perubahan iklim. Mangrove di Bentang Pesisir Padang Tikar
menyimpan kurang lebih 8.707.155,64 ton C karbon (169,54
ton C/hektar).

Serta, kemampuan hutan mangrove Bentang Pesisir Padang Ti­kar


menyerap Co2 di atmoster sebesar 31.955.261ton CO2 ha-1 eq.

Penemuan spesies ini menjadi indikator ekosistem mangrove


Bentang Pesisir Padang Tikar masih sehat dan terjaga dengan
baik. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan tutupan hutan
mangrove di Bentang Pesisir Padang Tikar yang masih terjaga
dengan baik. Terjaganya mangrove membuktikan komitmen
tinggi masyarakat Bentang Pesisir Padang Tikar untuk
menjaga dan melestarikan keberadaan ekosistem mangrove.

Penemuan ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak


dalam mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan
mangrove oleh masyarakat secara serius dan konkrit.

Dalam konteks perlindungan, meskipun Hutan Desa


224 Bentang Pesisir Padang Tikar telah mengantongi Hak
Pengelolaan Hutan Desa seluas 76.370 dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai alas
hukum perlindungan, areal mangrove yang sangat luas dan
tidak adanya akses transportasi darat untuk memantau
membuat upaya perlindungan dari ancaman kerusakan baik
dalam skala kecil ataupun skala besar sangat sulit dilakukan.

Dalam konteks pengelolaan, memastikan masyarakat


memperoleh intensif atas perlindungan dengan melakukan
optimalisasi hasil hutan bukan kayu mangrove dan jasa
lingkungan merupakan upaya yang tidak dapat dipisahkan.
Insentif atas perlindungan tersebut akan menjamin upaya
perlindungan masyarakat tetap berlanjut. n

DAFTAR PUSTAKA
Duke, N., Kathiresan, K., Salmo III, S.G., Fernando,
E.S., Peras, J.R., Sukardjo, S., Miyagi, T., Ellison, J.,
Koedam, N.E., Wang, Y., Primavera, J., Jin Eong, O.,
Wan-Hong Yong, J. & Ngoc Nam, V. 2010. Bruguiera
hainesii. The IUCN Red List of Threatened Species 2010:
e.T178834A7621565. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.
UK.2010-2.RLTS.T178834A7621565.en.
Denni Nurdwiansyah dkk.2017. Buku Hutan Desa
Bentang pesisir Padang Tikar “MEGA BIODIVERSITY
MANGROVE DI INDONESIA”.
SAMPAN.2016. Analisis Spasial Data. Pontianak,
Kalimantan Barat

225
TAXUS SUMATRANA
(MIQ) DE LAUB
RIPIN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di ka­was­


an tropis antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Australia, dan
dua samudera, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Indonesia memiliki tutupan hujan tropis terluas ketiga di
dunia setelah Brasil dan Congo. Indonesia juga diperkirakan
memiliki 25% dari spesies tumbuhan berbunga yang ada
di dunia atau merupakan urutan negara terbesar ketujuh
dengan jumlah spesies mencapai 20.000 spesies dengan 40%
merupakan tumbuhan endemik atau asli Indonesia.

Famili tumbuhan yang memiliki anggota spesies paling


banyak adalah Orchidaceae (anggrek-anggrekan) yang
mencapai 4.000 spesies. Untuk jenis tumbuhan berkayu,
famili Dipterocarpaceae memiliki 386 spesies, anggota
famili Myrtaceae (Eugenia) dan Moraceae (Ficus) sebanyak
500 spesies dan anggota famili Ericaceae sebanyak 737
spesies, termasuk 287 spesies Rhododendron dan 239
spesies Naccinium (Whitemore, 1985). Tumbuhan berkayu
sendiri sejak tahun 1970-an hingga 2000-an mengalami laju
kerusakan mencapai 2,8 juta ha/tahun.

Kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia tengah


meng­hadapi berbagai tantangan. Pengelolaan yang tidak
tepat, metode eksploitasi yang tidak lestari, gangguan pada
226 populasi dan habitat, perubahan iklim, serta berbagai
macam hal lainnya telah menyebabkan penurunan tajam
ukuran populasi, distribusi, dan kemampuan regenerasi
beberapa jenis kayu lokal bernilai tinggi. Penurunan tutupan
hutan yang berlangsung secara terus-menerus tentu akan
berdampak pada kerusakan habitat suatu tumbuhan, teruta­
ma pada berbagai jenis endemik yang dilindungi serta yang
terancam punah.

Salah satu jenis yang terancam punah tersebut adalah Taxus


sumatrana yang sering dikenal dengan nama cemara sumatra.
Taxus tumbuh secara alami di lereng-lereng terjal, punggung
gunung atau tepian jurang yang bersuhu rendah. Kisaran
suhu udara antara 16-23oC, dengan pH tanah berkisar antara
4,8-6,1 (Susilo, 2015). Cemara sumatra tumbuh di dataran
hutan tropis dan subtropis dekat garis khatulistiwa dengan
ketinggian 1.500 hingga 2.800 meter diatas permukaan
laut. Di Sumatra sendiri populasi cemara sumatra (Taxus
sumatrana) tersebar secara alami dan dapat ditemukan di
beberapa daerah, yakni Gunung Kerinci, Kawasan Hutan
Lindung Dolok Sibuaton, dan Gunung Dempo.

Pada bulan September 2018 lalu saya melakukan perjalanan


ke Gunung Kerinci selama kurang lebih satu hari ditemani
salah satu pemandu lapangan, yakni Pak Jecki. Tujuan dari
perjalanan ini adalah mengoleksi dan mendata jenis temuan
Taxus berdasarkan perjumpaan di lapangan. Hasilnya
kemudian saya jadikan sebagai data acuan apabila dilakukan
survei lanjutan. Pengamatan dilakukan dengan eksplorasi di
sekitar jalur pendakian yang dilewati. Setiap jenis individu
yang dijumpai direkam menggunakan GPS, diukur diameter
(DBH), lalu dicatat berbagai informasi mengenai jenis
tersebut serta dilakukan pembuatan herbarium (untuk
koordinat masing-masing temuan dan foto terlampir).

227 Berdasarkan hasil eksplorasi di lapangan, tercatat sebanyak


sembilan individu cemara sumatra (Taxus sumatrana) dite­
mu­kan. Perjumpaan individu pertama berada di keting­gian
Tanaman cemara sumatra sangat
menarik karena diyakini semua bagian
daun, cabang, ranting, kulit maupun
akarnya merupakan sumber Taxane
atau paclitaxel yang dapat diekstraksi
sebagai obat anti kanker (Taxol).

mulai dari 1360 sampai dengan 2000 meter diatas per­­mu­kaan


laut. Secara umum semua jenis yang ditemu­kan berada di
lereng-lereng gunung dan hidup secara berkelompok.

Di sekitar pos Lumut kita menemukan sebanyak delapan indi­­


vidu dengan jarak tumbuh berdekatan. Apabila dilihat dari
peta kontur, sangat jelas bahwa jenis cemara sumatra ini tum­
buh di punggung-punggung gunung yang terjal dan kering.

Taxus ini termasuk ke dalam famili Taxaceae dan sub-divisi


Gymnospermae. Di dunia internasional, Taxus sumatrana
dikenal dengan nama sumatran yews atau cemara sumatra.
Habitus dari tanaman ini berbentuk semak sampai pohon
dengan tinggi bisa mencapai 30 m. Daun berbentuk elip-
lanset, berwarna hijau dengan ukuran panjang sekitar
1,8-3,0 cm, lebar 2,0-2,5 mm. Warna kulit batang merah
keabu-abuan dengan tebal kulit 0,5-0,8 cm, memiliki batang
yang lurus dan kadang-kadang terdapat lumut yang hidup
menempel di kulit pohon. Buah berbentuk kerucut kaku.

Seluruh genus Taxus dikenal sebagai jenis yang berumur


228 panjang. Bahkan, pohon tertua di daratan Eropa dengan
umur diperkirakan 3.000-4.000 tahun yang berdiameter
lebih dari 4 m adalah Taxus baccata (Spjut, 2003).
Tanaman cemara sumatra sangat menarik karena diyakini
semua bagian daun, cabang, ranting, kulit maupun akarnya
merupakan sumber Taxane atau paclitaxel yang dapat
diekstraksi sebagai obat anti kanker (Taxol). Di Gunung
Kerinci, cemara sumatra dijadikan sebagai obat tradisional.
Bagian yang digunakan mulai dari tunas muda, daun, dan
bagian kulit. Sementara bagian dalam kulit bisa menghasilkan
perwarna merah. Untuk memenuhi kebutuhan taxol yang
sangat tinggi, eksploitasi Taxus spp., termasuk T. sumatrana
semakin meningkat, sehingga populasi tumbuhan tersebut di
dunia menurun secara drastis (Huang et al., 2008).

Kementerian Kehutanan telah memberi arahan terhadap


konservasi jenis, sebagaimana diatur dalam Permenhut No.
P. 57/MenhutII/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi
Spesies Nasional 2008-2018. Dalam rencana konservasi, dari
22 jenis yang menjadi prioritas konservasi terdapat jenis
tumbuhan termasuk diantaranya T. sumatrana, Raflesia
dan Nephentes. Penurunan populasi T. sumatrana membuat
jenis ini termasuk ke dalam Convention on International
Trade in Endangered Species (CITES) Apendix II pada tahun
2007. Tercatat di International Union for Conservation of
Nature (IUCN) Redlist sebagai spesies berstatus Endangered
(EN) versi 3.1 2011 serta termasuk jenis yang dilindungi
berdasarkan PermenLHK No.106 tahun 2018.

Dalam upaya menjaga kelestarian jenis tumbuhan yang


dilindungi Badan Litbang dan Inovasi LHK menciptakan
satu program kegiatan kerja sama dengan International
Tropical Timber Organization (ITTO) yang berkedudukan
di Yokohama, Jepang. ITTO menyambut baik dan positif
usulan kerja sama ini karena konservasi dan promosi
229 jenis-jenis pohon asli di dunia umumnya dan khususnya di
wilayah Sumatra merupakan tantangan dan permasalahan
bersama yang perlu diatasi. n
TENGKAWANG,
PRIMADONA ENDEMIK
KALIMANTAN BARAT
AULIYA RAHMAH FACHRUDIN
DAN EKA RIZQITA DAROJAH FAHRUDIN

Apa itu Tengkawang? Tengkawang merupakan tumbuhan


berbiji yang penyebarannya memanfaatkan bantuan angin.
Bijinya memiliki lima sayap, tiga sayap berukuran lebih
panjang dari dua sayap yang lainnya. Biji – biji ini selalu
jatuh tidak jauh dari pohon induknya. Oleh sebab itu,
pembungaan Tengkawang seringkali tidak serempak.

Buah tengkawang berwarna coklat ketika matang, berbentuk


bulat telur, dan memiliki dua belah biji lembaga. Batang
pohonnya tegak lurus dengan permukaan berwarna abu-abu
dan berbercak. Daun tengkawang berbentuk bulat panjang,
tunggal, tebal, kaku, dan besar. Sebagian diantaranya
merupakan flora endemik Pulau Kalimantan Barat yang
belum banyak dikenal oleh masyarakat luar Kalimantan.

Tanaman endemik adalah tanaman yang hanya terdapat


pada suatu wilayah atau daerah tertentu. Tanaman endemik
biasanya menjadi ikon suatu wilayah dan pada umumnya
terdapat di pulau-pulau terpencil yang belum banyak dihuni.
Menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1999 tentang peng­
230 awetan jenis tumbuhan dan satwa menyebutkan bahwa teng­
kawang tergolong ke dalam jenis tanaman yang dilindungi
dan merupakan kategori tanaman yang terancam punah.
Hal di atas diperkuat dengan IUCN Red List yang
dikeluarkan oleh International Union for the Conservation
of Nature and Natural Resources (IUCN) yang
mengeluarkan status konservasi Endangered (EN) atau
terancam punah untuk tengkawang. Keadaan tersebut
disebabkan oleh eksploitasi terhadap tengkawang yang
menjadi kayu primadona di Kalimantan Barat. Akan tetapi,
kepedulian masyarakat setempat terhadap keberlangsungan
hidup pohon tengkawang masih minim.

Tengkawang tergolong ke dalam genus Shorea. Terdapat


sepuluh jenis Shorea yang hidup di hutan Kalimantan yaitu
Shorea amplexicaulis (Tengkawang Mege), S. beccariana
(Tengkawang Tengkal), S. compressa, S. mecystopteryx
(Tengkawang Layar), S. havilandii (Selangan Batu Pinang,
Tengkawang Ayer), S. lepidota (Tengkawang Gunung),
S. macrantha (Engkabang Bungkus), S. macrophylla
(Tengkawang Hantelok), S. pinanga (Tengkawang Rambai),
dan S. stenoptera (Tengkawang Tungkul). Akan tetapi, hanya
ada satu jenis Shorea di Kalimantan Barat yaitu Shorea
stenoptera atau dikenal dengan meranti merah. Masyarakat
sekitar menyebutnya tengkawang tungkul.

Tengkawang disebut juga Illipe nut atau Borneo Tallow nut


dalam Bahasa Inggris. Tengkawang tungkul memiliki buah
yang relatif lebih besar daripada jenis tengkawang lainnya.
Habitat Tengkawang adalah kawasan hutan hujan tropis dan
pohon tersebut tumbuh dengan baik pada ketinggian tidak
lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut.

Pohon yang tumbuh di topografi lembah dapat berbuah


lebih berkualitas dibandingkan dengan pohon yang tumbuh
231 di topografi lereng atau puncak. Pohon tengkawang dapat
tumbuh hingga mencapai 45 meter atau lebih. Akan tetapi,
semakin tinggi pohon menyebabkan produksi buah semakin
menurun. Hal ini berbanding terbalik dengan ukuran
diameter dan tajuk pohon. Semakin besar diameter dan
lebar tajuk, maka produksi buah semakin tinggi.

Tengkawang merupakan tanaman yang cukup sulit


dibudidayakan karena bijinya yang bersifat rekalsitran
(kandungan air dalam biji akan segera menurun ketika biji
jatuh dari pohon). Padahal, Tengkawang merupakan pohon
yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena seluruh bagian
tanamannya dapat dimanfaatkan.

Bagian yang paling memberikan kontribusi terhadap


pandapatan masyarakat sekitar adalah buah dari
tengkawang. Buah tengkawang merupakan bahan baku
pembuatan minyak nabati yang kualitasnya lebih baik
dari minyak kelapa. Hal ini disebabkan oleh titik leburnya
yang lebih tinggi, yaitu dapat mencapai suhu 340. Minyak
Tengkawang ini selanjutnya dapat digunakan sebagai lauk
atau sebagai minyak lampu dalam skala rumah tangga.
Sedangkan dalam skala industri, minyak tengkawang
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kosmetik
(kecantikan), obat – obatan (farmasi), mentega, keju,
permen dan coklat (makanan), lilin, serta pakan ternak.

Selain minyak, buah tengkawang segar dapat diolah menjadi


es krim dan manisan. Sedangkan, produk turunan dari buah
tengkawang yang sudah dikeringkan dapat dijadikan sebagai
tepung yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan kue.

Batang tengkawang juga bernilai ekonomis tinggi yaitu dapat


digunakan sebagai venir, kayu lapis, kayu pengepakan, industri
furniture, kayu perumahan, alat musik, dan kayu per­ka­palan.
232
Selain itu, kayu tengkawang juga cocok dija­dikan sebagai
bu­­bur kayu yang merupakan bahan dasar pembuatan kertas.
Buah tengkawang merupakan bahan
baku pembuatan minyak nabati yang
kualitasnya lebih baik dari minyak
kelapa. Hal ini disebabkan oleh titik
leburnya yang lebih tinggi, yaitu dapat
mencapai suhu 340. Minyak Tengkawang
ini selanjutnya dapat digunakan sebagai
lauk atau sebagai minyak lampu dalam
skala rumah tangga.

Adapun damar atau getah tengkawang dapat dimanfaatkan


sebagai bahan baku pembuatan lem perekat.

Secara keseluruhan, pohon Tengkawang menjadi salah


satu pendukung terciptanya keseimbangan hidrologi di
hutan Kalimantan Barat. Buah Tengkawang dipanen oleh
masyarakat sekitar. Para pengumpul buah mengumpulkan
buah dengan cara memungut buah yang berjatuhan di
tanah. Buah yang telah berkecambah tidak lagi diambil
karena kualitas buah telah menurun.

Buah Tengkawang yang sudah jatuh harus segera


dikumpulkan karena apabila telah berkecambah kandungan
minyaknya menurun dengan cepat. Selain itu, buah
tengkawang disukai oleh babi hutan dan hewan liar lainnya.
Hewan – hewan liar menyukai buah tengkawang karena
bergizi tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan wawasan yang
luas terhadap karakteristik pohon dan pembudidayaan yang
lebih efisien terhadap tengkawang.

233 Pembudidayaan tengkawang dapat dilakukan dengan dua


cara, yaitu secara generatif dan vegetatif. Pembudidayaan
secara generatif melalui biji cukup sulit dilakukan karena
Penyuluhan dan pelatihan kepada
masyarakat bertujuan agar masyarakat
setempat dapat aktif menanam
kembali pohon Tengkawang apabila
telah ditebang dan dimanfaatkan.

biji tengkawang bersifat rekalsitran. Pembudidayaan secara


vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek batang atau
stek pucuk. Pohon tengkawang dapat hidup berdampingan
dengan tanaman atau pohon lain sehingga dapat dilestarikan
dalam model agroforestry. Model tanam agroforesty dipilih
karena menghasilkan banyak manfaat karena petani dapat
memanfaatkan lebih dari satu produk tanaman atau pohon.

Kebutuhan kayu yang semakin tinggi menyebabkan pohon


tengkawang semakin sulit ditemukan di pasaran, karena mas­
ya­rakat menebang pohon tengkawang tanpa disertai dengan
penanaman kembali pohon tersebut. Selain untuk dijual,
batang pohon tengkawang digunakan sebagai kayu bakar.

Alih fungsi kawasan hutan secara massif juga menjadi


faktor pemicu ancaman kepunahan Pohon Tengkawang.
Oleh sebab itu, Pohon tengkawang harus dilestarikan
karena dapat dijadikan sebagai upaya potensial pendapatan
masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan.
Selain itu, pelestarian harus dilakukan agar anak cucu kita
kelak masih dapat melihat wujud asli dari flora endemik
Kalimantan Barat ini.

234 Upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan Pohon


tengkawang dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu
pemerintah, masyarakat, kepala adat, para pecinta
lingkungan, dan para peneliti. Pemerintah diharapkan
dapat memperjelas hukum konservasi terhadap pengawasan
Pohon Tengkawang.

Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan instruksi


kepada seluruh elemen terkait untuk menambah
wawasan masyarakat melalui upaya penyuluhan dan
pelatihan. Penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat
bertujuan agar masyarakat setempat dapat aktif menanam
kembali pohon tengkawang apabila telah ditebang dan
dimanfaatkan. Pemberian wawasan juga diharapakan dapat
meningkatkan produktivitas Tengkawang yang dihasilkan
dari pohon Tengkawang.

Peningkatan produktivitas berupa mutu, kualitas, dan


kuantitas produk dapat dilakukan salah satunya dengan
cara mekanisasi alat - alat yang digunakan dalam proses
pengolahan biji menjadi minyak agar hasil minyak yang
didapatkan lebih banyak, jernih, dan tahan lama.

Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa biji


tengkawang dijual dalam bentuk biji yang telah disalai dan
tidak dijadikan minyak. Sehingga, penggunaan alat untuk
memeras minyak sangat diperlukan agar nilai jual semakin
tinggi. Jika alat - alat yang digunakan dalam proses produksi
dimekanisasikan maka akan didapatkan minyak tengkawang
dengan harga yang lebih tinggi dan lebih optimal.

Upaya selanjutnya agar Tengkawang dapat selalu terjaga


kelestariannya yaitu dengan memberikan hak suara kita
sebagai rakyat mengenai regulasi pemerintah dalam
235 mekanisme penjualan harus berpihak kepada masyarakat
agar masyarakat tidak merasa dirugikan dan tetap memiliki
semangat tinggi untuk melestarikan Tengkawang. n
TERPINCUT DAYA PIKAT
KAYU HITAM SULAWESI
(DIOSPYROS CELEBICA)
ANANDA FEBYA CITRA MAHARANI

Menurut Departemen Kehutanan (2009), kawasan hutan di


Indonesia mencapai sekitar 60 persen dari luas total Indo­
nesia. Sebagai negara dengan kawasan hutan tropis terbesar
ketiga di dunia, Indonesia mempunyai pengaruh jauh ke
depan terhadap kelangsungan hidup masyarakat global.

Selain berfungsi sebagai carbon sink, hutan juga berperan


penting sebagai gudang keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman sumber daya hayati tersebut dimanfaatkan
secara optimal oleh pemerintah dan masyarakat dengan
memerhatikan aturan dan dampak yang dihasilkan dari
kegiatan pemanfataan tersebut.

Dengan memperhatikan jenis dan value setiap komponen


hutan, kita dapat mengetahui cara pemanfaatan yang tepat
sehingga tidak mengganggu keseimbangan ekosistem hutan.
Ekosistem hutan umumnya terdiri dari flora dan fauna,
yang mana didominasi oleh tegakan pohon sehingga disebut
sebagai hutan. Tingkat curah hujan yang tinggi menjadikan
hutan tropis Indonesia memiliki jenis tanah yang subur.
236
Sekitar 25.000–30.000 jenis (spesies) tumbuhan berbunga
dan berbiji terdapat pada hutan alam Indonesia dan sekitar
4.000 jenis berupa pohon yakni tumbuhan berkayu juga
mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu gudang
megabiodevirsitas di dunia selain hutan Amazon di Brasil
(Lekitoo, 2010). Megabiodiversity atau megabiodiversitas
sendiri artinya hutan Indonesia memiliki keanekaragaman
sumber daya hayati yang kaya dan beragam.

Tidak sedikit dari jumlah tumbuhan di Indonesia tersebut


merupakan tumbuhan endemik yang tidak ditemukan
di negara lain. Mustaid Siregar, Kepala Pusat Konservasi
Tumbuhan LIPI, menyatakan bahwa meskipun Indonesia
kaya akan keragaman flora, tetapi, saat ini baru ada 8.000
jenis atau 20% dari jumlah keseluruhan yang sudah
teridentifikasi. Seiring dengan perkembangan teknologi,
kita dapat dengan mudahnya mengetahui kondisi hutan
Indonesia dengan mengecek status IUCN suatu spesies.

Berdasarkan data IUCN Redlist, Indonesia memiliki


sedikitnya 397 spesies tumbuhan yang terancam punah.
Jumlah tumbuhan Indonesia yang terancam punah tersebut
tergolongkan dalam 2 spesies dengan status Extinct
In the Wild (punah di alam liar), 115 jenis dengan
status Critically Endangered (kritis), 74 jenis tumbuhan
berstatus Endangered (terancam), dan 206 spesies tumbuhan
dengan status Vulnerable (rentan). 

Beberapa media massa dunia telah membahas mengenai


tingkat ancaman terhadap hutan Indonesia yang kian
melonjak dari tahun ke tahun. Jenis ancaman tersebut
berupa faktor abiotik maupun faktor manusia. Faktor
abiotik di antaranya penyakit, musim, dan bencana alam.
Sedangkan, faktor manusia berupa perubahan habitat
237 (selective logging dan clear cutting), overexploitation,
perambahan lahan hutan, kebakaran hutan, dan lain
sebagainya. Jika terus berlanjut tanpa penanganan yang
signifikan, performa hutan Indonesia akan mengalami
penurunan kualitas bahkan kerusakan total pada hutan.

Laju deforestasi yang tinggi ini juga akan berdampak pada


peningkatan emisi gas rumah kaca, kerawanan bencana,
hilangnya satwa liar dan habitatnya, dan konflik antara
berbagai pemangku kepentingan (Purba et al., 2014).

Salah satu contoh tumbuhan endemik Indonesia yang


juga berstatus rentan adalah Diospyros celebica atau Macassar
Ebony. Spesies dari famili bisbul ini memiliki beberapa se­but­
an di negara lain, di antaranya Striped Ebony, Amara Ebony,
Coromandel Ebony, atau di Indonesia dikenal dengan ber­ba­
gai sebutan sora, toetandu, kayu maitong, dan kayu lotong.

Masyarakat setempat lebih sering menyebutnya kayu arang


atau toe, sesuai nama perbukitan Tambora-Kagila di hulu
Sungai Poso, Donggala, dan Manado. Terdapat beberapa
kisah legenda mengenai kayu hitam Sulawesi ini.

Menurut suatu tradisi, menyimpan kayu hitam diyakini


dapat mengusir roh jahat dan membawa keberuntungan. Hal
ini kemudian dijelaskan berdasarkan studi scientific bahwa
daun ebony mengandung flavon, triterpen pentacyclic yang
bersifat antimikroba. Kulit kayu eboni membuktikan adanya
aktivitas antihyperglycemic, dan beberapa memiliki efek anti-
plasmodial yang dianggap mampu melawan Plasmodium
falciparum, salah satu penyebab malaria pada manusia.

Pohon yang kerap disebut sebagai kayu hitam sulawesi ini


rata-rata memiiki ketinggian 40 meter dengan diameter yang
mencapai 1,5 meter. Seperti yang telah disebutkan di atas,
pohon ini merupakan pohon endemik karena hanya tumbuh
238 dan tersebar secara alami di Pulau Sulawesi.

Tanah Sulawesi memiliki tipe kompleks land system, yang


terdiri dari dataran aluvial, jalur meander, lembah aluvial,
Kulit kayu eboni membuktikan
adanya aktivitas antihyperglycemic,
dan beberapa memiliki efek anti-
plasmodial yang dianggap mampu
melawan Plasmodium falciparum,
salah satu penyebab malaria.

kipas dan lahar, teras, dataran, perbukitan dan pegunungan


sehingga memungkinkan untuk pohon eboni tumbuh
dengan baik (Achmad, 2002).

Menurut The Wood Database, kayu hitam makassar ini


memiliki berat jenis yang melebihi berat jenis air (1.000 kg/
m3) yaitu sebesar 1.120 kg/m3. Nilai tersebut membuatnya
tenggelam dalam air sehingga dinilai cukup kuat. Berat
keringnya bernilai 70 lbs/ft3 atau sekitar 1.120 kg/m3.
Dengan kekuatan tekan sebesar 11.630 lbf/in2, kayu eboni
Makassar dikategorikan sebagai kayu berkualitas tinggi.

Sebagai perbandingan, kayu ipe asal Brasil mampu bertahan


50 tahun dan dikenal memiliki kualitas paling tinggi dian­
tara kayu-kayu impor dengan kekuatan tekan sebesar 13.510
lbf/in2. Dengan selisih kekuatan tekan yang tidak begitu jauh,
bukannya tidak mungkin jika kualitas kayu asli Indonesia ini
dapat segera merebut posisi kayu ipe di pasar internasional.

Ditinjau dari penampakan luarnya, kayu eboni makassar


memiliki tipe kulit batang beralur dan sedikit mengelupas
dalam ukuran kecil dengan warna kayu luar cokelat kehitam­
239 an. Walaupun begitu, permukaan kayu eboni ini termasuk
licin sehingga tidak memerlukan usaha yang terlalu besar
untuk memolesnya.
Permintaan pasar yang tinggi
didukung dengan nilai jualnya
yang menggiurkan mendorong
hasrat para pedagang yang hanya
berorientasi pada keuntungan
pribadi atau kelompok untuk
melakukan overeksploitasi

Macam daunnya tunggal, tersusun berseling, dan berbentuk


jorong memanjang. Bagian adaksial mengilap hijau tua, sedang­
kan bagian abaksialnya berbulu hijau keabuan. Bunga berwarna
putih dengan buah berbentuk bulat telur, permukaan sedikit
berbulu, dan berwarna kekuningan sampai cokelat.

Buah yang edible atau dapat dimakan ini menjadi sasaran


utama beberapa hewan seperti monyet dan kelelawar. Buah
eboni berbuah sekitar bulan September sampai dengan
November dengan jumlah biji 1.100/kg (Martawijaya et al,
1981). Spesies lain dari genus Diospyros yang buahnya pada
umumnya dimakan adalah buah Diospyros kaki atau sering
disebut buah kesemek.

Bagian dalam yaitu kayu terasnya memiliki pola garis-garis


(stripes) atau guratan yang berupa bercak-bercak acak tak
beraturan menjadi ciri khas yang paling menonjol. Warna
bagian dalam yang cukup indah, didominasi dengan hitam
dan cokelat menjadikan kayu ini memiliki fungsi utama
yaitu dekorasi.

240 Strukturnya yang bernilai estetika tinggi dan ‘mahal’ sering


digunakan sebagai bahan kabinet mewah, cue stick (tongkat
sodok biliar), patung-patungan, ukiran, hingga bahan baku
alat musik seperti piano, gitar, dan biola. Tidak hanya itu
tentunya, kayu eboni makassar juga digunakan sebagai vinir
dan konstruksi bangunan karena kekuatannya. Salah satu
produk khas yang menjadi incaran pembeli adalah model
perahu Pinisi Sulawesi.

Di Jepang, kayu eboni menjadi tolok ukur status sosial sese­


orang (Kuhon dkk., 1987), sehingga ekspor kayu eboni ke negara
Jepang tergolong tinggi. Banirnya yang besar dan tinggi­­nya bisa
mencapai 4 meter membantunya untuk dapat berdiri kokoh,
tetapi tidak begitu resisten terhadap serangga tanah.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Soerianegara (1976)


bahwa pohon eboni rentan terkena serangan jamur
Peniulliopsis clavariaeformis. Selain itu, proses pengeringan
kayu juga harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena
tergolong rentan retak akibat perubahan suhu yang drastis.

Harga kayu eboni di pasar internasional bisa mencapai


hingga Rp30 juta/m3 sedangkan di pasar dalam negeri
kisarannya mencapai Rp6 juta -Rp10 juta/m3. Permintaan
pasar yang tinggi didukung dengan nilai jualnya yang
menggiurkan mendorong hasrat para pedagang yang hanya
berorientasi pada keuntungan pribadi atau kelompok untuk
melakukan overeksploitasi akan spesies ini, ditambah fakta
bahwa Pulau Sulawesi dikenal sebagai salah satu pusat utama
kegiatan ekspor di Indonesia.

Pusat pemasaran terbesar berbahan baku eboni berada di


Kota Palu, sedangkan pusat perajin suvenirnya terdapat di
Poso. Setelah kegiatan produksi dilakukan, produk suvenir
disebar dari Ranononcu ke Palu untuk diperdagangkan.
241 Sesampainya di Palu, produk kemudian disebar ke
berbagai daerah di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan
Kalimantan Timur.
Untuk kegiatan ekspor mancanegara, kayu eboni biasanya
didistribusikan ke Jepang, Eropa, hingga Amerika.
Ketidakseimbangan antara ketersediaan stok dan
permintaan pasar mengakibatkan semakin terpuruknya
spesies ini di Indonesia sehingga dirasa butuh tindakan
lanjut untuk mempertahankan keberadaannya.

IUCN Red List of Threatened Species menggolongkan


eboni (Diospyros celebica) dalam kategori vulnerable sejak
tahun 1998 dan mulai tanggal 12 Juni 2013 jenis ini telah
masuk Appendix II CITES, yang berarti kayu ini hanya
dapat diperdagangkan melihat kuotanya. Hal ini diperkuat
berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 57/
Menhut-II/2008 yang menyatakan bahwa eboni merupakan
salah satu spesies prioritas untuk dilestarikan.

Sebagai salah satu anggota anggota CITES (Convention on


International Trade in endangered Species of Wild Fauna and
Flora), Indonesia memiliki kewenangan untuk mengendali­
kan lalu lintas perdagangan kayu eboni. Beberapa kasus
penyelundupan dan illegal logging eboni telah mencapai
jumlah ratusan dan tengah ditangani oleh Polda Sulteng.

Hutan Sulawesi Tengah yang luasnya 4,5 juta hektare kini


telah dilindungi oleh Pemda Sulawesi Tengah sekitar 57
hektare tepatnya di Maleali, Kecamatan Sausu, Kabupaten
Parigimoutong.

Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah,


pemerintah pusat telah menurunkan proyek pema­garan lokasi
itu melalui dana alokasi khusus yang diambil dari dana reboi­
sasi. Hingga saat ini, Dinas Kehutanan telah menanam sekitar
50.000 hektare eboni yang sudah berumur 5 tahun lebih.
242
Pihak Cagar Alam Panggi-Binangga juga tengah melakukan
pengawasan ketat sebagai bentuk upaya menjaga tegakan
eboni supaya tidak dirambah. Sejak 2015, tercatat sudah
tertanam sebanyak 50.000 tegakan eboni di Donggala serta
7.000 hektare di Palu untuk meningkatkan populasi pohon
kayu eboni di Indonesia.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk


mempertahankan keberadaan spesies ini adalah dengan
melakukan konservasi ex-situ di hutan kota, hutan wisata,
hutan lindung, halaman rumah, dan arboretum. Contoh
nyata tindakan konservasi ex situ yang penulis lihat secara
langsung adalah keberadaan spesies Diospyros celebica di
Kebun Raya Bogor saat kegiatan kuliah lapangan mata
kuliah Taksonomi Tumbuhan tahun 2017 silam. n

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, A. 2002. Strategi Konservasi In-situ Eboni Bergaris/Kayu Hitam
Makassar (Diospyros celebica Bakh.) Di Sulawesi. Berita Biologi 6 (2): 337-
351: Edisi Khusus Manajemen Eboni. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia No. 33/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Inventarisasi
Hutan Menyeluruh Berkala Pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada
Hutan Produksi. Jakarta : Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Kuhon A, Pattiradjawane RL dan Badil R. 1987. Kayu Hitam yang Semakin
Hitam. Kompas. 1 Nov. 1987, 2.
Lekitoo K, Matani OPM, Remetwa H, Heatubun CD. 2010. Buah-Buah
Yang Dapat Dimakan di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja Papua
Barat. Papua: Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K. dan Prawira, SA. 1981. Atlas Kayu
Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Purba, C. P. ., Nanggara, S. ., Ratriyono, M., Apriani, I., Rosalina, L., Sari,
243 N. ., & Meridian, A. . (2014). Potret keadaan hutan indonesia 2009 - 2013.
Forest Watch Indonesia. Bogor
Soerianegara I, Indrawan A. 1976. Ekologi Hutan Indonesia. Lembaga Kerja
Sama Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
USAHA PELESTARIAN
POHON DAMAR
(AGATHIS LABILLARDIERI WARB.)
DENGAN CARA
PERBANYAKAN VEGETATIF
APRILILA DWI JAYANTI DAN SITI MAIMUNAH

Damar (Agathis labillardieri Warb.) merupakan jenis


tanaman kehutanan penghasil kayu dengan harga mahal
dari Irian Jaya. Tanaman ini, termasuk ke dalam familia
Araucariaceae (conifer). Tumbuh di hutan tropis basah, di
dataran rendah dekat pantai sampai ketinggian lebih dari
800 mdpl (Soedjarwo, 1976).

Tanaman damar mempunyai tinggi kurang lebih 60 m dan


berdiameter 2 m. Sistem perakarannya tunggang, tetapi akar
akan menumbuk besar dan menjadi akar superfisial. Batang
lurus dan hampir silindris. Kulit mati batang berwarna
coklat gelap dan bersisik sedangkan kulit yang masih hidup
berwarna merah muda.

Kulit merah muda yang hidup akan menjadi putih, karena


kanal resin memecah pada lapisan tipis. Daun berlawanan,
244 lonjong, pangkal samar bulat, pucuk daun biasanya accute,
kasar, dengan banyak saraf paralel dan kanal resin yang tidak
berpasangan (Westphal and Jansen, 1900).
Kayu damar memiliki sifat ringan, lunak dan kuat. Kayu
damar sering digunakan sebagai bahan plywood, alat rumah
tangga, bahan baku kertas serta konstruksi bangunan. Selain
itu, damar menghasilkan beragam resin seperti kauri kopal,
Monilla kopal dan damar gum (Soedjarwo, 1976). Banyak
manfaat yang dari tanaman damar membuat permintaan
terhadap kayu damar semakin meningkat.

Peningkatan permintaan konsumen terhadap kayu damar


membuat para produsen melakukan penebangan secara besar-
besaran terhadap pohon damar. Hal ini, menyebabkan kebe­
ra­daan pohon damar semakin jarang ditemukan di alam bebas.

Sebagian kecil produsen telah melakukan budidaya pohon


damar untuk memenuhi permintaan konsumen. Namun
untuk melakukan budidaya pohon damar terdapat beberapa
kendala antara lain yaitu: adanya serangan penyakit busuk
akar merah disebabkan jamur Ganoderma spp. yang sering
menyerang tanaman kehutanan (Herliyana, 2012).

Serangan Ganoderma biasa pada tegakan berumur 3-5 tahun


sebnayak 3-28% (Irianto et al. 2006). Kendala lainnya, yaitu
benih pohon damar bersifat semi-rekalsitran (Syamsuwida
et al., 2007 dalam Danu et al,. 2011).

Pohon damar dapat berbuah sepanjang tahun, tetapi tingkat


kematangan pada satu pohon tidak seragam (Whitmore,
1980). Kematangan buah damar dicirikan dengan warna
hijau tua, disertai bintik-bintik kecoklatan, berbentuk bulat
dan permukaan buah licin

Kadar air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan benih


berkecambah sebelum ditanam atau berakibat pembusukan
245 pada benih. Sebaliknya kadar air yang terlalu rendah dapat
menyebabkan benih kehilangan viabilitas serta kemampuan
berkecambahnya (Sutopo, 2002 dalam Rachman, 2007).
Benih yang bersifat semi-rekalsitran tidak dapat disimpan
lama atau mudah mengalami kerusakan. Oleh karena
itu perbanyakan secara generatif sulit dilakukan. Teknik
perbanyakan secara vegetatif dapat dilakukan untuk
membantu perbanyakan pohon Damar yang memiliki benih
yang semi-rekalsitran.

Selain itu, teknik perbanyakan secara vegetatif juga


digunakan untuk mendorong proses pemuliaan, untuk
melestarikan dan memperbanyak klon tanaman unggul serta
perbanyakan bibit secara masal. Jenis-jenis perbanyakan
secara vegetatif yang cocok untuk pohon damar antara lain:

STEK PUCUK

Perbanyakan bibit secara masal, dapat dilakukan dengan


teknik stek. Teknik stek merupakan teknik yang mudah,
sederhana dan ekonomis. Perbanyakan melalui stek
mempunyai beberapa keuntungan antara lain: diperoleh
tanaman baru dalam jumlah yang cukup banyak dengan
induk yang terbatas, biaya lebih murah, penggunaan lahan
pembibitan di lahan sempit, pelaksanaannya lebih cepat dan
sederhana (Suprapto, 2004).

Menurut Hartmann et al., 1997 Faktor yang mempengaruhi


keberhasilan stek yaitu:

1 Faktor genetik
Faktor genetik yang meliputi kandungan cadangan
makanan, ketersediaan air, umur tanaman, hormon
endogen dan jenis tanaman

2 Faktor lingkungan
246 Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan
stek yaitu media perakaran, kelembaban, suhu, intensitas
cahaya dan teknik penyetekan.
Faktor lingkungan yang
mempengaruhi keberhasilan
bahan stek untuk tumbuh adalah
suhu dan kelembaban udara.

Faktor-faktor tersebut dapat dimaksimalkan untuk


keberhasilan stek secara maksimal. Menurut Danu (2011)
langkah-langkah dalam perbanyakan stek pucuk pohon
damar antara lain:

1. Pemotongan bahan stek pucuk damar dengan ukuran


dua ruas daun 3 modul.

Hampir semua bagian tanaman dapat dipakai sebagai stek,


tetapi batang muda (pucuk) yang sering dipakai. Kesuburan
dan banyak akar yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh
asal bahan steknya, yaitu keadaan lingkungan pada waktu
pengambilan, keadaan tanaman dan bagian tanaman yang
dipergunakan (Suprapto, 2004).

Bagian tanaman yang digunakan adalah pucuk dengan daun


dipotong separuh, sedangkan tunas atau daun muda (shoot
tip) dibuang. Hal ini, karena komposisi senyawa kimia pada
cabang bervariasi antara bagian pangkal, tengah dan ujung.
Pada jaringan tua memiliki kandungan karbohidrat dan
nitrogen yang rendah, sebaliknya pada tunas muda yang me­
miliki kandungan karbohidrat dan nitrogen yang lebih tinggi.

Hal tersebut mempengaruhi hasil, stek yang berasal dari batang


tua sering mengalami kekeringan, sedangkan pada bagian
247 yang terlalu muda sering mengakibatkan stek menjadi busuk
(Rochiman dan Harjadi, 1973). Sehingga perlu dilakukan
pemotongan pada tunas untuk menghindari kebusukan.
Faktor lingkungan yang
mempengaruhi keberhasilan
bahan stek untuk tumbuh adalah
suhu dan kelembaban udara.

2. Pemberian zat pengatur tumbuh Indole Butyric Acid


(IBA) 200 ppm.

Perbanyakan secara stek membutuhkan waktu yang lama


untuk tanaman damar tumbuh dengan baik. Tetapi dengan
pemberi zat pengatur tumbuh dapat mempersingkat pertum­
buhan tanaman. Dalam perbiakan secara stek pada umumnya
menggunakan zat pengatur tumbuh kelompok auksin.

Karena auksin mempunyai pengaruh terhadap:


pertumbuhan sel, fototropisme, geotropisme, apikal
dominansi, pertumbuhan akar, partenokarpi, absission,
pembutukan kalus dan respirasi. Auksin dalam stek
yang diperlukan untuk mendorong pemanjangan akar
dan memperbanyak akar lateral sehingga produksi akar
bertambah (Kusumo, 1984).

Auksin yang digunakan yaitu jenis Indole Butyric Acid


(IBA) dengan konsentrasi 200 ppm karena IBA memiliki
kandungan kimia yang lebih stabil dan daya kerjanya lebih
lama sehingga dapat memacu pembentukan akar. IBA akan
tetap berada pada tempat pemberiannya sehingga tidak
menghambat pertumbuhan tunas (Ramadiana, 2008).

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Danu, et al.


248 (2011) pemberian IBA dengan konsentrasi 200 ppm mampu
menghasilkan pertumbuhan akar damar paling maksimal
dari pada konsentrasi yang lain.
3. Penanaman pada media cocopeat dan arang
sekam dengan perbandingan 2:1.

Menumbuhkan stek memerlukan persiapan lahan yang


memenuhi syarat-syarat khusus, sehingga tercipta
lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman stek.
Faktor penting dalam pembentukan akar pada stek yaitu:
menyediakan air yang cukup, mengurangi penguapan dari
daun, persediaan udara yang cukup di bagian bawah stek,
oksigen yang cukup untuk perkembangan dan pertumbuhan
akar, cahaya menyebar merata dan suhu optimum secara
konstan (Suprapto, 2004). Sehingga media digunakan adalah
media cocopeat dan arang sekam.

Cocopeat dan arang sekam padi memiliki struktur yang


dapat menjaga keseimbangan aerasi, memperbaiki
porositas media sehingga respirasi akar menjadi lancar,
dapat mengikat air, dapat mempertahankan kelembapan
tanah dan mendorong pertumbuhan mikroorganisme
yang menguntungkan bagi tanaman. Sifat ini, yang
memudahkan akar stek damar dapat menembus media,
daerah pemanjangan akar semakin dalam dan mempercepat
perkembangan akar (Irawan and Yeremias, 2015).

4. Penyungkupan

Faktor lingkungan mempengaruhi keberhasilan bahan stek


untuk tumbuh adalah suhu dan kelembaban udara. Faktor
lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhan stek dapat
dimanipulasi dengan menggunakan penyungkupan.

Pierik (1987) menyatakan bahwa penyungkupan akan


mendorong pertumbuhan akar tanaman lebih cepat.
249 Penyungkupan dapat meningkatkan kelembaban udara
sehingga tanaman tidak mengalami kekeringan sebelum
membentuk akar.
Sterilisasi menggunakan larutan klorida
merkuri sangat efektif, tetapi kerusakan
kimia pada eksplan sering terjadi.

KULTUR JARINGAN

Kultur jaringan adalah budidaya suatu jaringan tanaman


menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induk­
nya. Pada teori sel oleh Scheiden dan Schwann menyatakan
bahwa sel mempunyai sifat autonomi dan totipotensi.
Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, apabila diletakkan
dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi
tanaman yang sempurna (Suryowinoyo, 1991).

Menurut Hendaryono dan Ari (1994) syarat-syarat keber­


hasilan kultur jaringan yaitu; pemilihan eksplan sebagai
bahan dasar pembentukan kalus, medium yang sesuai,
keadaan aseptik dan sirkulasi udara pada medium cair.

Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya


jika menggunakan jaringan meristem, sebab jaringan
meristem mempunyai zat hormon yang mengatur
pembelahan. Metode perbanyakan tanaman dengan cara
ini dapat menghasilkan tanaman baru dalam jumlah yang
banyak dalam waktu yang relatif singkat.

Usaha kloning ini, populasi dari tanaman yang terancam


punah akan terselamatkan, bahkan dapat bertambah dan
sifat tanaman tetap terjamin. Langkah-langkah perbanyakan
kultur jaringan pohon Damar antara lain:

250 1. Inisiasi
Inisiasi ialah proses pengambilan eksplan dari bagian
tanaman induk yang akan dikulturkan. eksplan yang baik
adalah bagian jaringan yang mempunyai sifat meristematik.
Namun, eksplan pohon Damar yang paling baik adalah
dari biji dan disimpan pada suhu 4 ºC untuk meminimalisir
kerusakan pada biji.

Panjang eksplan mencakup segmen nodal atau ujung tunas


dipotong dan dibiakkan di media dasar (Gough et al, 2012).
Sumber eksplan harus mempertimbangkan jenis, varietas,
bebas hama, bebas penyakit dan spesiesnya.

2. Formulasi Media
Media merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan
eksplan menjadi tunas. Media yang digunakan untuk
inisiasi pohon damar yaitu varian media LP, kemudian
ditambahkan dengan kasein 0,05 g/L dan glutamat 1,0 g/L,
sebagai suplemen untuk menyediakan pasokan nitrogen
organik. Komposisi media inisiasi memiliki pengaruh
terhadap jumlah tunas yang dihasilkan (Gough et al, 2012).

3. Sterilisasi
Sterilisasi menggunakan larutan klorida merkuri sangat
efektif, tetapi kerusakan kimia pada eksplan sering terjadi.
Eksplan direndam dalam air semalam, kemudian direndam
dalam larutan chlorodux 50% selama 20 menit, selanjutnya
dibilas dan dikeringkan.

Permukaan yang licin menyebabkan sterilisasi sulit dan tidak


sempurna (ISHII et al, 1994). Selain eksplan yang harus
steril, setiap proses, tempat dan peralatan yang digunakan
umumnya disterilkan. Sterilisasi dapat menggunakan
laminar flow atau dengan cara menyemprotkan etanol.

4. Multiplikasi
Multiplikasi merupakan kegiatan menanam eksplan yang
251 telah dipilih ke media. Langkah multiplikasi yaitu dengan
mengangkat embrio zigotik dengan secara aseptik dan
ditempatkan pada media inisiasi tunas dalam cawan petri.
Setiap cawan berisi lima embrio dan ditempatkan dalam
inkubator yang diterangi oleh foton fotosintetik 80 µE
ms-1 dengan periode 16 jam terang pada 24 ºC dan 8 jam
gelap pada 18 ºC. Untuk mengurangi intensitas cahaya
pada dua minggu pertama dapat menggunakan kain
warna (Gough et al, 2012). Proses multiplikasi dilakukan
pada laminar flow untuk meminimalisir kontaminasi.

5. Pengakaran
Perakaran merupakan sebuah indikasi keberhasilan
kultur jaringan. Setelah radikula keluarkan dari embrio
dan hipokotil dengan kotiledon dan epikotil, kemudian
kecambah ditransfer ke gelas kaca yang mengandung 30
mL media inisiasi yang sesuai. Setelah elongasi, tunas
dapat dibagi menjadi segmen batang, daun dan tunas
berkembang kemudian dipindahkan ke media segar
setiap 8-12 minggu (Gough et al, 2012).

6. Aklimatisasi
Aklimatisasi dilakukan secara bertahap, yaitu dengan
cara memberikan sungkup. Bibit vitro tumbuh dilakukan
dengan menutupi mereka dengan kantong plastik selama
1 minggu, kemudian kantong plastik dilubangi untuk
mengurangi kelembaban. Pot ditempatkan di green house
dengan 1 menit per jam semprotan air (ISHII et al, 1994).
Hal tersebut dilakukan supaya tanaman beradaptasi
dengan lingkungan.

Teknik perbanyakan secara vegetatif sangat efektif


untuk digunakan dalam perbanyakan tanaman dengan
cepat dan dapat meningkatkan kualitas tanaman Damar
(Agathis labillardieri Warb.). Dengan adanya teknik ini,
252 diharakan keberadaan pohon Damar tetap terjaga dan
dapat dilestarikan, sehingga kepunahan tidak dapat
terjadi pada tanaman Agathis. n
253
Pohon di pinggir jalan di hutan hulu Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur
(Foto : Yanuar Ishaq Dc)
WANGI GAHARU
YANG KIAN LANGKA
TUBAGUS MARDONGAN SIAGIAN, AKRIMILLAH YUNUS

Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) merupakan salah satu


jenis tanaman hutan tropis penghasil atsiri yang bernilai
ekonomi tinggi. Gaharu merupakan komoditi elit, langka,
dan bernilai ekonomi tinggi.

Gaharu memiliki morfologi atau ciri-ciri fisiologi yang


sangat unik. Tinggi pohon ini mencapai 40 meter dengan
diameter 60 cm. Pohon ini memiliki permukaan batang
licin, warna keputihan, kadang beralur dan kayunya agak
keras. Bentuk daun lonjong agak memanjang, panjang 6-8
cm, lebar 3-4 cm, bagian ujung meruncing. Daun yang
kering berwarna abu-abu kehijaun, agak bergelombang,
melengkung, permukaan daun atas-bawah licin dan
mengkilap, tulang daun sekunder 12-16 pasang.

Sementara bunganya terdapat di ujung ranting, ketiak


daun, kadang-kadang di bawah ketiak daun. Berbentuk
lancip, panjang sampai 5 mm. Buahnya berbentuk bulat
telur, tertutup rapat oleh rambut-rambut merah. Biasanya
memiliki panjang hingga 4 cm lebar 2,5 cm.

SEBARAN DAN HABITAT GAHARU

254 Pohon Gaharu tersebar di beberapa daerah di Indonesia,


antara lain Sumatera dan Kalimantan (Aquilaria malaccensis,
Aquilaria microcarpa, dan Aquilaria beccariana), Papua
dan Maluku (Aquilaria filaria, Aquilaria tomntosa, Grynops
audate dan Grynops podocarpus), Sulawesi (Aquilaria
cumingiana), Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Papua
(Grynops versteegii), Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan
Sulawesi (Wikstoemia androsaemifolia).

Tanaman gaharu secara ekologis berada pada ketinggian


0-2400 m dpl, pada daerah beriklim panas dengan suhu
antara 28º– 34ºC, berkelembaban sekitar 80 persen dan
bercurah hujan antara 1000-2000 mm/thn.

Tanaman gaharu banyak dijumpai di hutan alami. Lahan


tempat tumbuhnya ada pada berbagai variasi kondisi struktur
dan tekstur tanah, baik pada lahan subur, sedang hingga
lahan marginal. Gaharu dapat dijumpai pada ekosistem hutan
rawa, gambut, hutan dataran rendah atau hutan pegunungan,
bahkan dijumpai pada lahan berpasir berbatu yang ekstrem.

Gaharu tergolong jenis semi toleran yaitu membutuhkan


naungan pada saat tingkat anakan atau semai, dan
memerlukan cahaya yang cukup pada saat dewasa serta
memiliki tingkat asosiasi dengan tanaman lain yang tinggi.
Dengan demikian perlu dicari cara penanaman yang tepat
untuk untuk memperoleh presentase tumbuh yang tinggi
dan perkembangan pertumbuhan yang pesat.

Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman gaharu yang


baik maka diperlukan hara yang cukup. Kebutuhan hara
bagi tanaman tidak selamanya tersedia cukup dalam tanah.
Dengan demikian perlu ada tambahan hara dari luar tanah itu
sendiri. Hara tersebut dapat diberikan melalui pemupukan.

STATUS GAHARU
255
Permintaan akan gaharu yang semakin tinggi menyebabkan
tanaman ini makin langka. Dengan menurunnya populasi
Pemanfaatan kayu gaharu
sebagian besar dijadikan sebagai
perlengkapan ritual adat istiadat
serta keagamaan, seperti
pembakaran kayu gaharu yang
berfungsi semacam dupa, tasbih.

gaharu di alam khususnya jenis Aquilaria malaccensis,


Lamk. dikhawatirkan akan menyebabkan kelangkaan untuk
jenis ini. Oleh karena itu pada konferensi IX pada bulan
Nopember 1994 di Florida Amerika Serikat, para anggota
CITES (Confention on International Trade Endengered
Species of Wild Flora and Fauna) memasukkan Aquilaria
malaccensis, Lamk. dalam appendix II. Artinya, pohon jenis
ini terancam punah, karena itu volume perdagangannya
perlu dibatasi dan dilakukan usaha penyelamatan dengan
berbagai cara, baik konservasi in situ maupun ex situ.

Usaha domestikasi jenis ini dilakukan sesuai dengan


karakteristik ekologis yang dibutuhkan oleh jenis tersebut.
Eksportir gaharu di Indonesia wajib memiliki surat ijin
CITES sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun
1978. Jumlah dan spesifikasi gaharu yang diekspor harus
dilaporkan kepada pemerintah, dalam hal ini Departemen
Kehutanan, ditembuskan ke Asgarin untuk dikonfirmasikan
sesuai dengan jumlah kuota yang telah ditetapkan.

Pada event konferensi ke XIII di Bangkok, Thailand pada


256 2004, ditetapkan pembatasan perdagangan juga berlaku untuk
semua jenis gaharu alam, seluruh produk dan hasil gaharu
masuk CITES appendix II. Apalagi sampai saat ini tanaman
tersebut terus diburu dan ditebang pada umur 5-8 tahun,
yang notabene tanaman tersebut belum berisi, karena di alam
gaharu baru berbunga dan berbuah pada umur 10 tahun.

Di Sumatera misalnya, pohon gaharu yang masih tersisa


hanya 26 persen. Hal itu diperparah dengan aktivitas
pembalakan liar. Ketersedian pohon gaharu di alam semakin
menipis, bahkan mendekati kategori yang rentan punah.

PEMANFAATAN GAHARU

Demi menjaga kelestarian, pemanfaatan gaharu sudah


selayaknya mengambil bagian pohon yang ada gaharunya
saja, tanpa harus menebang pohonnya. Hingga saat ini
gaharu yang diperdagangkan dalam bentuk bongkahan,
chips, serbuk, destilat, serta produk akhir seperti chopstick,
pensil, dan parfum.

Manfaat dan kegunaannya yang banyak membuat gaharu


bernilai jual tinggi, harganya bisa mencapai ratusan juta
rupiah. Daun dari pohon ini dapat dimanfaatkan sebagai
bahan teh. Teh gaharu dipercaya punya banyak khasiat,
mulai dari mampu menyembuhkan penyakit dalam, sakit
kepala, sebagai stimulan, meningkatkan imunitas dan
stamina tubuh hingga mengobati berbagai penyakit kronis.

Pemanfaatan kayu gaharu sebagian besar dijadikan sebagai


perlengkapan ritual adat istiadat serta keagamaan, seperti
pembakaran kayu gaharu yang berfungsi semacam dupa,
tasbih, dan semua hal tersebut sebenarnya hanya untuk
mengharumkan ruangan.

Kayu gaharu juga bisa menjadi aksesori, seperti gelang,


257 kalung yang juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan
tubuh, pembuatan patung dewa dan dewi dari agama
Buddha atau Hindu, patung kuda, patung naga kemudian
miniatur yang unik dan ornamen hiasan, ukiran yang
semuanya memiliki wangi yang khas.

Awalnya tanaman gaharu hanya diambil minyaknya,


digunakan sebagai terapi penghilang stres, menyegarkan
pikiran, dan memperdalam dan meningkatkan spiritual
seseorang. Minyak gaharu juga digunakan untuk minyak
urut yang dapat membantu menyembuhkan beberapa jenis
penyakit, seperti gangguan tulang dan sendi, nyeri pada
persendian dan reumatik. Selain kitu, minyak gaharu juga
dipercaya mampu mengobati penyakit kulit dan masalah
seksual. n

258

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai