OLEH:
NIP : 195208191984031001
JURUSAN BIOLOGI
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR – BALI
2016
1
KATA PENGANTAR
Om Swatyastu.
Puji syukur penulis haturkan kehadapan ida Hayng Widhi, Tuhan Ynag Maha Esa,
karena berkat-Nya lah, sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat terselesaikan .
Dalam penyusunan karya ilmiah ini, banyak pihak telah memberikan bantuan
kepada penulis. Melalui kesempatan ini kamu penulis menyampaikan penghargaan dan
2. Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Semoga kebaikan dan bantuan yang diberikan kepada penulis, dapat balasan dari
Penulis
ii
2
DAFTAR ISI
Halaman
BAB IV KESIMPULAN................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA
iii
3
INVENTARISASI DAN FUNGSI TUMBUH-TUMBUHAN
YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBUATAN BANTEN DAKSINA
INTISARI
Melaksanakan upacara bagi umat Hindu di Bali, selalu memakai banten (sesajen)
sebagai sarananya. Banten Daksine merupakan salah satu jenis banten yang sering digunakan
untuk upacara.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan dan fungsinya dalam
pembuatan Banten Daksina. Inventarisasi tumbuhan yang dilakukan untuk Banten Daksina,
dilakukan dengan melihat langsung pada saat pembuatannya, di Desa Beng, Gianyar, Bali.
Dalam pembuatan Banten Daksina, menggunakan tumbuhan yang tergolong dalam
19 suku, yang terdiri dari 25 jenis. Diantara jenis tumbuhan tersebut, terdapat jenis-jenis
tumbuhan yang dikategorikan langka seperti, Aleurites moluccana Wild., Pangium edule
Reinw., dan Coix lacryma jobi L.
iv
4
ABSTRACT
For religion purpose, Balinese commonly use banten as offrings for God. Banten
Daksina is one type of the offering.
The objective of the study was to identify plant spcies and their function on the
making of banten Daksina. Plant inventarisation was condaucted in Desa Beng, Gianyar,
Bali, where banten Daksina was prepared.
Nineteen (19) familit with 25 species were identified. Among those species, few
were categorized rare, such as Aleurites moluccana Wild., Pangium edule Reinw., dan Coix
lacryma jobi L.
(Key Words: inventarisation, plant, banten Daksina).
5
BAB I. PENDAHULUAN
Pengalaman agama bagi umat Hindu terutama di Bali dapat terlihat dengan jelas
melalui pelaksanaan upacara. Upacara keagamaan merupakan salah satu kerangka agama
Hindu berupa rangkaian kegiatan-kegiatan, dalam upaya mendekatkan diri kehadapan Sang
Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Setiap pelaksanaan upacara disertai dengan
upakara / banten (sesajen) sebagai sarananya. Mengenai bahan banten untuk persembahan
atau yadnya (korban suci), dapat dibedakan menjadi tiga jenis : 1. Mataya sesuatu yang
tumbuh. Bahan-bahan ini terdiri dari tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan . 2. Mantiga adalah
yang lahir dua kali seperti telur, itik, ayam, angsa dan sejenisnya. 3. Maharya yang lahir
sekali langsung menjadi binatang seperti kerbau, kambing, babi dan lainnya yang sejenis
(Mas Putra, 1982; Sri Arwati, 1997).
Dalam kehidupan beragama Hindu di Bali, setiap pelaksanaan upacara, selalu
mempergunakn banten yang dibuat dari berbagai jenis materi atau bahan-bahan yang telah
tersedia. Diatur sedemikian rupa sehingga membentuk persembahan yang indah untuk dilihat,
mempunyai arti simboliss dan makna filosofis keagamaan sesuai dengan fungsinya masing-
masing, misalnya banten Daksina merupakan simbul dari tapakan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa atau sebagai upasaksi dalam upacara kegamaan bagi umat Hindu (Surayin, 1992; Sri
Arwati, 1997).
Menurut Surayin (1992), ada empat jenis Daksina.
1. Daksina alit, banten ini banyak kegunaannya baik menyertai banten yang lainnya
merupakan pelngkap maupun digunakan sendiri, seperti Daksina Lepas.
2. Daksina perkala-kalaan, isi Daksina ini dilipat dua kali dengan penambahan dua kemiri
dan dua pangi. Digunakan pada saat ada perkawinan atau pada saat upacara penyepihan
bayi.
3. Daksina Krepa merupakan Daksina yang isinya kelipatan tiga kali. Fungsinya untuk
penebosan otonan (hari lahir).
4. Daksina Gede, isinya kelipatan lima kali, dasar tempat Daksina tersebut sebuah sok
(wadah) yang berisi cerobong dan pada dasarnya di beri taledan (tempat yang dibuat
sedemikian rupa bahannya dari daun kelapa).
Menurut Nala (2004), Pemilihan bahan upacara yang terdiri tanaman, binatang, logam
atau bahan lainnya, selalu dipilih dari bahan yang mudah diperoleh, praktis dan efisien sesuai
dengan makna filosofis yang terkandung dalam dalam bahan tersebut yang akan
dipergunakan dalam satu upacara. Beberapa tanaman yang sering dimanfaatkan dalam
6
upacara panca yadnya di Bali, sesuai desa-kala-patra, ditinjau dari daun, bunga buah, biji,
umbi, batang, rimpang dan akar, adalah sebagai berikut:
Daun
Daun terutama merupakan lambang utpatti (srsti atau tumbuh) dari Bhatar atau
Dewa Brahma. Dapat pula daun ini berfungsi sebagai lambang Sthiti (kehidupan) dari Bhatara
atau Dewa Wisnu, bila ditinjau dari warna daunnya, daun dapat pula berfungsi sebagai
lambang pralina atau udara dari Bhatara atau Dewa Iswara kalau dikaitkan dengan baunya
yang harum.
Setiap alas, wadah, dasar atau aled senagai bagian terbawah dari sebuah banten akan
mempergunakan daun sebagai kekuatan dasar untuk tumbuh (mentik). Daun kelapa muda
(janur Cocos nucifera), daun kelapa hijau tua (slepan), daun rontal (ental) , ron (daun enau,
Arenga pinata), daun pisang (musa paradisiaca), merupakan pilihan utama sebagai desa-
kala-patra (daerah, zaman, tersurat) sebagai bahan dasar untuk alas sebuah banten.bagian
dari banten yang merupakan alasa berasal dari daun kelapa muda (janur, warna putih kuning)
atau daun kelapa tua (slepan, warna hijau tua) adalah celemik (berbentuk segi tiga dari janur
tanpa lidi) ituk-ituk ( bentuk segitiga dari janur dengan lidinya), kekojong (bentuk kerucut),
tangkih (bentuk satu sudut), tetampak ( silang), taledan (segi empat besar). Sedangkan yang
mempergunakan janur, slepan, ron atau daun rontal adalah taledan bundar, taledan sesayut
(bundar, ditengah-tengahnya ada uresan, lambang perputaran swastika), ceper (segi empat
kecil), bedogan (slinder) dan tamas (bundar). Bentuk segi tiga, mengambil sifat api yang
menyala membentuk segi tiga merupakan lambang kekuatan Bhatara atau Dewa Brahma,
bentuk segi empat seperti sifat air yang selalu mendatar sebagai lambang kekuatan Bhatara
atau Dewa Wisnu dan bentuk bundar, sifat udara yang selalu memenuhi segenap penjuru
ruang merupakan lambang Bhatara atau Dewa Siwa.
Selain itu warna daun dimanfaatkan pula sebagai lambang kesaktian dari para
Bhatara atau Dewa, yang merupakan sinar suci dari Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Kuasa
(lontr Yadnya Prakerti). Misalnya:
1. Daun manggis (Garsinia manggostana L. yang berwarna merah dipergunakan sebagai
simbol keperkasaan Bhatara atau Dewa Brahma.
2. Daun mangga (Mangifera indica L.) yang berwarna hijau tua dimanfaatkan sebagai
lambang kekuatan Bhatara atau Dewa Wisnu.
3. Daun durian ( Dorio zibethinus L) yang berwana putih, dipergunakan sebagai niasa
kemahakuasaan Bhatara atau Dewa Iswara.
7
4. Daun ceroring (Lansium deomesticum Corr) yang berwana kuning dipergunakan sebagai
simbol kekuatan Bhatara atau Dewa Siwa.
5. Daun salak (Salacca edulis L.) yang berwarna campuran dimanfaatkan sebagai lambang
kemahakuasaan Bhatara atau Dewa Siwa.
Kadang-kadang daun itu disimbolkan sebagau kemahakuasaan Bhatara atau Dewa
Wisnu, bukan Bhatara atau Dewa Brahma kerena dilihat dari warnanya. Salah satu dari daun
yang dipergunakan sebagai lambang sthiti, tumbuh dan berkembang dari Bhatara atau Dewa
Wisnu adalah kakap (piper betle L.) yakni daun sirih tua berwana hijau tua kehitaman.
Berdasarkan atas warnanya ini daun sirih menduduki peranan penting dalam beberapa banten.
Porosan yang terbuat dari daun sirih tua (hijau kehitaman, lambang Bhatara/Dewa Wisnu)
serta pinang (merah, lambang Bhatara/Dewa Brahma) dan kapur (putih, lambang
Bhatara/Dewa Iswara) merupakan inti pada setiap canang (canang genten, buratwangi,
tubungan, sari, pangrawes, pasucian, raka) dan kawangen (ka + wangi + an). Porosan di
dalam kawangen terdiri dari dua buah daun sirih, yang satu tampak tundun ( punggung,
bagian kasar daun) dan yang satu tampak basang ( perut, bagian halus daun), lambang
purusha dan pradana yang menyatu sehingga porosan jenis ini disebut porosan silih asih,
lambang kasih dari Hyang Widhi kepada umatNya. Tanpa adanya porosan ini canang atau
kwangen itu tidak ada artinya karena tidak bernilai religius, walaupun sudah beralaskan plawa
(berbagai daun) serta berisi beraneka bunga warn awarni dan sampian urasari, lambang
padma astadala (lontar Aji Kembang).
Di dalam mitos, umat Hindu percaya tentang keberadaan panca wriksha, yakni lima
jenis pohon yang tumbuh di surga. Tanaman tersebut adalah beringin (Ficus benyamina L),
ancak (ara jawi-jawi, Fiscus rumphii BL), pisang (Musa sapientum L), uduh (Caryita mitis)
dan peji (Dryomophloeus olivaeformis Mart). Umat Hindu di Bali sewaktu melaksanakan
yadnya atau upacara tertentu membangun sanggar tawang, sanggar tutuwan atau panggungan
yang dianggap sebagai simbol parhyangan, surga tempat bersthana para Dewa. Surga di
niskala yang tidak tampak dihadirkan atau diturunkan ke bumi menjadi surga di sekala
sehingga menjadi tampak. Wajarlah kalau pada upacara tersebut dilibatkan tanmana panca
wriksha, terutama dalam bentuk daun sebagai pohon surga.
Identik dengan jalan pikiran ini maka pelinggih atau bangunan suci di Pura,
disimbolkan sebagai sthana atau istana para Bhatara atau Dewa. Oleh sebab itu tanaman
surga sering pula merupakan salah satu bahan upakara yang dihadirkan di tempat tersebut.
Malahan phon beringin sering kali tumbuh subur di halaman sebuah Pura.
8
Bunga
Fungsi utama adalah sebagai lamban sthiti, simbol hidup dan berkembang dari
Bhatara/ Dewa Wisnu. Tetapi karena bunga itu warna warni maka sudah wajar bila warna
bunga ini dipergunakan pula sebagai simbol kemahakuasaan para Bhatara atau Dewa, bukan
hanya untuk Bhatara/Dewa Wisnu saja. Bunga yang berwarna merah dipergunakan sebagai
lambang kemahakuasaan Bhatara/Dewa Brahma. Bunga yang berwarna biru atau hijau
dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan Bhatara/Dewa Wisnu. Bunga yang berwarna
putih sebagai lambang kemahakuasaan Bhatara/Dewa Iswara. Bunga yang berwarna kuning
dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan Bhatara/Dewa Mahadewa. Disamping itu bau
harum dari bunga merupakan faktor utama dalam pemilihan bunga. Selain dilihat dari
keindahan warna, bau bunga dapat dipergunakan untuk melambangkan unsur udara sebagai
simbol kemahakuasaan Bhatara/Dewa Iswara.
Menurut isi lontar Aji Kembang dan Siwa Pakarana, bunga tunjung atau teratai
(Nymphaea sp.) merupakan lambang Dewata Nawasanga, Bhatara/Dewa yang berada
disembilan arah mata angin sebagai pangider-ider bhuana. Bungan tujung atau teratai
merupakan simbol utama dalam ajaran Siwa. Hal ini disebabkan tumbuhan ini mampu
melambangkan kehidupan tri bhuana, tiga alam jagat. Pertama, akarnya berada di tanah.
Kedua, batangnya terendam serta daunnya melayang di air. Ketiga, bunganya menyembul di
udara. Selain itu warna bunganya dapat pula dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan
para Bhatara/Dewa. Teratai berwarna putih lambang kesaktian Bhatara/Dewa Iswara, teratai
merah lambang kesaktian Bhatara/Dewa Brahma, teratai biru tua simbol kesaktian
Bhatara/Dewa Wisnu, teratai kuning lambang kesaktian Bhatara/Dewa Mahadewa dan
seterusnya. Di dalam lontar Jiwatman disebutkan bahwa bunga tunjung sebagai lambang
jiwatman manusia.
Di samping bunga teratai, bunga ratna (Gomphrena globosa L) juga mempunyai
kedudukan yang cukup penting dalam kepercayaan umat Hindu Siwa Siddhanta di Bali.
Diceritakan dalam kitab Adiparwa, Bhatara/Dewa Brahma melalui Dewa Wiswakarma
menciptakan seorang dewi yang amat cantik dengan sarana bunga ratna. Tujuannya adalah
memusnahkan dua orang raksasa kembar yang mata sakti dan tekun bersemadi. Para Dewa
khawatir akan kesaktian kedua raksasa ini yang semakin hari akan semakin meningkat,
karena bertapa dan bersemadi dengan tekun sehingga kelak akan membahayakan kedamaian
kahyangan. Dewi ciptaan yang diberinama Dewi Tilotama ini ternyata mampu mengadu
domba dua orang raksasa kembar dan sakti tersebut, yang bernama Sunda dan Aupasunda
sehingga keduanya tewas dalam perang tanding. Untuk mengenang jasa dari bunga ratna
9
maka bunga ini diberi anugerah (tirobhawa) dapat diperbunakan sebagaisarana
persembahyangan sejajar kedudukannya dengan bunga teratai.
Bunga yang paling tepat dipergunakan untuk memuja Bhatara/Dewa Siwa menurut
lontar Siwaratri Kalpa adalah bunga angsoka, cempaka, gambir gajah, kecubung, kenyeri,
kutat, medori putih, menuh, nagarsari, seroja (biru, merah dan putih), sulasih (selasih, sarana
terbaik untuk memuja di pagi hari) dan tenguli bakula. Semua bunga ini hendaknya sengaja
dipetik dari pohonnya untuk sarana pemujaan dan tanpa ada cacat karena dimakan serangga.
Bunga yang telah jatuh dengan sendirinya sebaiknya jangan sipergunakan sebagai sarana
persembahyangan.
Bunga medori putih (widuri, Calotropis gugantea D) dan bambu buluh (Bambusa
sp) dapat dipergunakan dalam upacara Pitra Yadnya atma wedhana (nyekah, nyekar), sebagai
bahan atau sarana membuat puspa lingga yakni badan tempat atma bersthana (lontar
Brahmokta Widisastra). Sebagai lambang wujud dari suksma sarisa (badan halus) atau sekah
dalam upacara atma wedhana, dipergunakan bunga medori putih (Calotropis gigantea D),
sulasih (Ocimum bacilicum L), pudak (Pandanus sp), padma, tunjung (Nymphaea sp), serta
dilengkapi dengan daun beringin dan daun medori. Sekah (sekar = bunga) ini dibakar untuk
memperceoat proses kembalinga atma ke tempat asalnya, menyatu pada Sang Hyang
Paramatma (lontar Ligya, dan Yama Purana Tattwa).
Dalam lontar Kusuma Dewa Indik Tatandingan ditulis bahwa banten sesayut
kusumajati hanya boleh mempergunakan satu warna bunga yakni bunga yang berwarna putih
tetapi berasal dari lima jenis bunga. Sedangkan sesayut purba subha hanya boleh
menggunakan dua macam warna bunga yaitu bunga putih dan kuning. Kedua sesayut itu
dipersembahkan di Pura Kawitan (Pura asal keluarga besar) untuk memuja Bhatara atau
Dewa Pitara leluhur.
Bunga dapat pula dipergunakan sebagai lambang keperwiraan. Dalam lontar
Dasanama bunga pucuk bang (kembang sepatu merah, Hibiscus rosa-sinensis) dianggap
sebagai simbol wirakusuma, lambang sifat yang gagak berani. Para prajurit atau teruna
senang sekali menyumpangkang bunga ini di atas daun telinganya agar tampak gagah.
Bunga yang mekar dan harum baunya merupakan lambang aksara suci wijaksara
(bijaksara) yang mampu membentengi tubuh manusia dari degala mara bahaya yang akan
mengganggu dan masuk ke dalam dirinya. Oleh sebab itu umat Hindu di Bali sering sekali
menyelipkan bunga diatas daun telinganya sebagai lambang penolak bahaya.
10
Bunga yang Tidak Diperkenankan dalam Upacara
Ada juga bunga yang menurut lontar Siwagama tidak diperkenankan dipergunakan
sebagai sarana untuk memuja Hyang Widhi. Bunga tersebut adalah turuk umung (turukmung,
keduduk, kedukduk; Melastoma afine D.Don). Berdasarkan mitologi bunga ini tumbuh
berqasla dari kain tapih (pakaian dalam) dari Bhatari/Dewa Uma yang penuh darah ketika
melahirkan, karena itu tidak baik dipergunakan untuk memuja Bhatar atau Dewa.
Berdasarkan lontar Aji Janantaka, bunga jempiring alit (tulud nyuh) dan sarikonta
(salikonta) tidak diperkenankan dipergunakan dalam upacara panglukatan. Alasannya karena
bunga ini tidak mau dilukat (dibersihkan) oleh Bhatara/Dewa Siwa sewaktu beliau turun di
kerajaan Janantaka untuk membasmi wabah oenyakit gering agung (kusta, lepara). Tetapi
menurut lontar Wariga Gemet, kedua bunga ini dapat sipergunakan sebagai sarana penebus
atma dalam upacara Pitra Yadnya.
Bunga bekas dililit binatang (ulat, belalang), cacat, bunga yang jatuh dari pohonnya
tanpa dipetik, bungan yang telah layu dianggap tidak memenuhi syarat dan disebut bunga
camah. Bunga yang demikian ini tidak baik dipergunakan sebagai sarana persembahyangan
atau upakara (lontar Yama Purana Tattwa).
Ada pula kepercayaan sebagian masyarakat bahwa bunga gumitir atau kemitir tidak
boleh dipergunakan sebagai warana untuk persembahyangan tetapi boleh dipergunakan untuk
bahan upakara (banten) suatu upacara. Alasan filosofisnya belum penulis temukan.
Buah
Buah merupakan lambang pralina atau kematian dari Bhatara/Dewa Iswara. Contoh
lambang ini adalah pohon pisang setelah berbuah akan mati. Padi setelah berbuah akan mati.
Warna buahlun dimanfaatkan pula untuk meperlihatkan kemahakuasaan dari para Bhatara atu
Dewa, yang merupakan manifestasi dari Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Buah yang
berwarna merah (jambu merah, kepundung merah, delima merah), lambang kemahakuaaan
Bhatara/Dewa Brahma. Buah berwarna hijau (srikaya, jerungga), lambang kemahakuasaan
Bhatara/Dewa Wisnu. Buah yang berwarna putih (jambu putih, kepundung putih, delima
putih) lambang kemahkuasaan Bhatara/Dewa Iswara. Buah yang berwarna kuning (jambu
atau sotong masak, mentimun kuning) lambang kemahkuasaan Bhatara/Dewa Mahadewa.
Buah yang warnanay campuran (manggis, nenas, salak, sawo) melambangkan kemahkuasaan
dari Bhatara/Dewa Siwa.
Buah kelapa (Cococ nucifera) berdasarkan warnanya capat pula dipergunakan
sebagai lambang kemahkuasaan Panca Dewata (5 dewa) atau Dewata Nawasanga (9 dewa).
11
Buah kepala yaitu nyuh bulan, berwarna putih lambang kemahkuasaan Bhatara/Dewa Iswara
(timur), nyuh udang (merah) simbol kemahkuasaan Bhatara/Dewa Brahma (selatan), nyuh
gading (kuning) lambang kemahkuasaan Bhatara/Dewa Mahadewa, nyuh gadang (hijau tua)
lambang kemahkuasaan Bhatara/Dewa Wisnu, dan nyuh sudamala (warna campuran)
lambang kemahkuasaan Bhatara/Dewa Siwa (tengah, pusat). Kemudian ditambah dengan
nyuh surya (dadu) lambang kekuatan Bhatara/Dewa Maheswara, nyuh bingin (jingga)
lambang kekuatan Bhatara/Dewa Rudra, nyuh bojog (hijau) lambang kekuatan Bhatara/Dewa
Sangkara, nyuh be julit (biru) lambang kekuatan Bhatara/Dewa Sambhu. dipercayai dan
diyakini bahw aair kelapa tersebut mengandung kekuatan para Bhatara atau dewa sehingga
buahnya dipergunakan dalam upacara panglukatan, panyucian, pabersihan, padudusan,
pangenteg, panyegjeg, caru dan sejenisnya yang secara simbolis niskala dianggap mampu
membersihkan sthula sarira dan suksma sarira sehingga badan jasmani dan rohani umat yang
diupacarai menjadi bersih.
Biji
Biji sebagai benih (wija, bija) memiliki kekuatan untuk tumkbuh (mentik) karena
itu dipergunakan sebagai perlambang kekuatan Bhatara/Dewa Brahma.
Banten daksina yang merupakan lambang kemahakuasaan srsti atau utpatti
Bhatara/Dewa Brahma isinya adalah kacang kara (Phaseolus lunatus), komak (Phaseolus sp),
undis, jagung (Zea mays L), selain butiran kelapa (Cococs nucifera), telur, batang tebu
(Saccharum sp) dan lain-lainnya yang dapat tumbuh, hidup dan berkembang biak. Bentuk
banten daksina mengambil simbol dari tunas yang siap untuk tumbuh dan berkembang,
disesuaikan pula dengan tugas Bhatara/Dewa Brahma sebagai lambang tumbuh, mentik.
Selain itu biji ini dimanfaatkan pula sebagai simbol warna, lambang
kemahakuasaan dari para Bhatara atau Dewa yang disebut bujararus dan terdiri atas:
1. Biji jagung nasi (Zea mays L) yang berwarna merah atau beras merah melambangkan
kemahakuasaan Bhatara/Dewa Brahma.
2. Biji godem yang berwarna hitam atau injin melambangkan kekuatan dari
Bhatara/Dewa Wisnu.
3. Biji jawa yang berwarna putih, kacang komak (Phaseolus sp) atau ketan
melambangkan kedigjayaan dari Bhatara/Dewa Iswara.
4. Biji jagung yang berwarna kuning merupaka simbol kemahkuasaan dari
Bhatara/Dewa Mahadewa.
5. Biji jali atai jali-jali (Coix lacrima-jobi L) yang berwarna campuran (keabu-abuan,
brumbun) melambangkan kemahkuasaan dari Bhatara/Dewa Siwa.
12
Semua biji yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dapat dipergunakan sebagai sarana
upakara adal memenuhi syarat yang dikehendaki serta mudah diperoleh.
Selain daun, bunga, buah serta biji, bagian lain dari tanaman sering pula
dimanfaatkan oleh umat Hindu di Bali sebagai sarana dan prasarana dalam upaya
mengejawantahkan kekuatan dan kemahakuasaan dari para Bhatara atau Dewa. Upaya ini
dilakukan agar umat lebih meresap dalam memahami serta menghayati keberadaan Hyang
Widhi beserta ajarannya di dalam alam pikiran dan hati sanubarinya.
Batang pohon cendana (Santalum album) dipergunakan karena baunya yang arum
untuk mengharumkan bahan banten. Dimanfaatkan pula sebagai adegan, badan jiwatma
ketika dilaksanakan upacara Atma Wedhana Pitra Yadnya. Batang pohon menyan
dipergunakan sebagai lambing Bhatara/Dewa Siwa, mejegau (Dysoxylum densifloru)
sibolisasi Bhatara/Dewa Sadasiwa dan cendana (Santaium album) niasa Bhatara/Dewa
Paramasiwa.
Batang bamboo (Bambusa sp). Yang masih ada ruasnya dipergunakan sebagai
tatimpug yang ketika dikabar mengeluarkan suara ledakan. Suara ini sebagai simbolis
pemanggilan terhadap bhuta kala untuk menghindari upacara yang sedang digelar, untuk
diberi “tatadahan” agar terjadi somia sehingga upacara berjalan lancar, harmonis, tanpa ada
gangguan apapun. Bunyi ledakan dapat pula dipergunakan sebagai simbolisasi kekuatan
Bhatara Siwa.
Batang tebu ireng (hitam, Saccharum sp.) dipergunakan sebagai padangal pada
upacara mapandes Manusia Yadnya. Selain sebagai simbol adanya kekuatan dari
Bhatara/Dewa Wisnu, diduga rasa manis (salah satu dari sad rasa, enam rasa) batang tebu
merupakan pilihan sebagai simbol agar senyumnya selalu manis (termasuk hatinya) setelah
upacar ini dilaksanakan. Secara kurang tepat masyarakat menyebut pada hal tujuannya bukan
memotong giginya tetapi memotong sifat sad ripunya, enam musuh utama atau sifat jelek
yang ada dalam diri manusia.
Akar tanaman yang harum baunya dipergunakan sebagai pengharum minyak pada
canang burat wangi atau lenga wangi. Umbi-umbi disebut pala bungkah karena harus
membungkah tanah untuk mengambilnya. Sedangkan buah-buahan disebut pala gantung
karena letaknya bergantung di pohonnya. Umbi atau rimpang jahe (Zingiber officinale Roxb),
isen (lengkuas, languas galangal L.) kunyit (kunir, Curcuma domestica Val), cekuh (kencur,
13
Kaempferia galangal L.), bawang (Bawang merah, Allium cepa L.) dan kesuna (bawang
putih, Allium sativum L,) merupakan pala bungkah.
Dan masih banyak lagi batang, umbi dan akar yang dimanfaatkan sebagai simbol
Hyang Widhi, manusia atau bhuana dalam upacar yadnya oleh umat hindu di Bali yang perlu
digali makna filosofisnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka kalau ditinjau dari segi Etnobotani
sangat perlu untuk menginventarisasi dan mengetahui fungsi masing-masing tumbuhan yang
15
BAB II. MATERI DAN METODE
16
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini bahwa tumbuhan yang dipergunakan untuk Pembuat Banten
Daksina terdapat 25 jenis dengan 19 suku (Tabel 1), sedangkan organ tumbuhan yang
dipergunakan meliputi : daun, Bunga, buah, biji, dan akar. Bagian organ tumbuhan yang
dipergunakan pada pembuatan banten daksina ini sesuai dengan sebuah kalimat yang
tercantum didalam Bhagavad Gita yaitu:
Artinya, siapa yang sujud kepada Ku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum
bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk air. Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang
yang berhati suci. Berdasarkan bait tersebut diatas betapa pentingnya hampir semua organ
tumbuhan untuk persembahan kehadapan Nya (Pandit, 1989).
17
JENIS-JENIS TUMBUHAN
1 2 3 4 5 6 7
1 Nyuh Kelapa Cocos Arecaceae Daun, Buah Wakul
nucifera Canang wangi
Isi Daksina
2 Padi Padi Oryza sativa Gramineae Biji Jumputan
L.
3 Tingkih Kemiri Aleurites Euphorbiaceae Biji Hidung
moluccana
Wild
4 Pangi Pangi Pangium Flacourtlceae Biji Dagu
edule Reinw.
5 Biyu Pisang Musa sp. Musaceae Buah Jeriji
18
mangostana L
17 Ceroring Duku Lansium Meliaceae Daun Plawa Peselan
domesticum
Correa.
18 Poh Mangga Mangifera anacardiaceae Dau Plawa Peselan
indica L.
19 Salak Salak Salacca edulis Palmae Daun Plawa Peselan
Reinw.
20 Base Sirih Piper betle L. Piperaceae Daun Base Tampel
19
Pada dasarnya isi Daksina dibagi menjadi 4 jenis: 1. Jenis daun-daunan (plawa
peselan). 2. Jenis buah-buahan (beras, kelapa, bije ratus dll). 3. Janis bunga (bunga pada
canang sari). 4. Air (air pada kelapa) (Mas Putra, 1982).
Surayin (1992) menyatakan bahwa, masing-masing tumbuhan dari bahan Daksina
tersebut mempunyai arti masing-masing arti misalnya, pinang, melambangkan Hyang
Brahma. Sirih, melambangkan Hyang Wisnu, dan terdapat juga kapur (di dalam bungkusan
sirih) melambangkan Hyang Ciwa. Kelapa merupakan buah yang serba guna dan
melambangkan Kepala atau Bumi. Beras (padi), merupakan sumber pokok kehidupan dan
warnanya kuning melambangkan kemakmuran. Kemiri, kalau ditinjau dari segi warnanya
putih berarti suci, kalau ditinjau dari bentuknya untuk tetandingan (pembuatan) banten
melambangkan hidung. Pangi, warnanya adalah merah, ditinjau dari bentuknya seperti dagu.
Pisang yang dipakai dipilih yang masih mentah, diharapkan warnannya masih hijau. Pisang
dalam tetandingan (pembuatan) banten melambangkan jari tangan. Kapas (benang),
merupakan alat pengikat, dalam tetandingan dilambangkan sebagai usus. Pada gegantusan,
berisi bermacam-macam bahan, diharapkan supaya dapat mewakili berbagai kehidupan baik
darat maupun laut. Wakil kehidupan darat adalah beberapa tumbuhan yang dapat
dipergunakan sebagai bumbu masak (tabel 1.) sedangkan yang mewakili kehidupan dilaut
yaitu, ikan teri.
Pelawa-peselan, plawa melambangkan ketenangan dan kesucian hati, sedangkan
peselan melambangkan satu kesatuan (persatuan), mempergunakan lima jenis daun yang
berwarna-warni merupakan lambang pengider-ider yaitu tata letak arah mata angin,
menyangkut beberapa aspek kepentingan kehidupan termasuk mengenai arah letak para dewa,
misalnya warna putih diwakili oleh daun durian dan pada saat pembuatan (Tetandingan)
Banten Daksina, diletakkan pada posisi sebelah timur. Warna merah diletakkan diposisi
sebelah selatan yang mewakili oleh daun manggis. Daun duku warnannya kuning diletakkan
diposisi sebelah barat, sedangkan warna hitam diletakkan diposisi utara diwakili oleh daun
mangga. Terakhir diposisi tengah yaitu warna campuran yang mewakili adalah daun salak
(Mas Putra, 1982; Surayin, 1992).
20
GAMBAR JENIS-JENIS TUMBUHAN YANG DIPERGUNAKAN UNTUK BANTEN
DAKSINA:
1.KELAPA
Sumber: internet
21
2.PADI
Sumber: internet
22
3.KEMIRI
Sumber: internet
23
4.PANGI
Sumber: internet
24
5.PISANG
Sumber: internet
25
6. KAPAS
Sumber: internet
26
7. OTEK
Sumber: internet
27
8. JAGUNG
Sumber: internet
28
9. JALI
Sumber: internet
29
10. BAWANG MERAH
Sumber: internet
30
11. KUNIR
Sumber: internet
31
12. CABAI
Sumber: internet
32
13. JAHE
Sumber: internet
33
14. KENCUR
Sumber: internet
34
15. DURIAN
Sumber: internet
35
16. MANGIS
Sumber: internet
36
17. DUKU
Sumber: internet
37
18. MANGGA
Sumber: internet
38
19. SALAK
Sumber: internet
39
20. SIRIH
Sumber: internet
40
21. PINANG
Sumber: internet
41
22. KAMBOJA
Sumber: internet
42
23. PANDAN WANGI
Sumber: internet
43
24. KENANGAN
Sumber: internet
44
25. CEMPAKA
Sumber: internet
45
BAB IV. KESIMPULAN
46
KEPUSTAKAAN
Backer, C.A.& R.C. Bakhuizen van den Brink.1965. Flora of Java. The Auspices of The
Ruksherbarium, Leyden.
Mas Putra, I.G.A. 1982. Upakara yadnya. Dinas Agama Hindu dan Buddha Kabupaten
Badung.
Nala,N (2004), Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu UPT
Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” LIPI. Bali, 7 Oktober 2004. 9-28.
47