Anda di halaman 1dari 23

ANALISIS

KASUS LONGSOR GUNUNG MANDALAWANGI DI JANUARI 2003 DENGAN


MENGGUNAKAN UU NO.32 TAHUN 2009

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Lingkungan

Semester Ganjil 2022/2023

Dibawah bimbingan :

ZAKI ABDILAH SJAM , S.H. , M.H.

oleh Kelompok II :

FIRMAN NASRUL FERDIANSYAH 181000208 MUHAMMAD ILYAS KARLMARK 211000116


PUTRI AULIA TRIADI 211000094 ARETA ZIAZELDA 211000123
REISA PINASTIKA 211000105 VIOLINE PRAMITHA PUTRI 211000124
ZETA OKTAVIA RAHMAN 211000106 ESTER TANIA MARBUN 211000134
MARSYANDA 211000110

Kelas 06

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-nya sehingga saya bisa menyelesaikan tugas Hukum Lingkungan tentang “Analisis
Kasus Longsor Gunung Mandalawangi di Januari 2003 dengan menggunakan UU No.32
Tahun 2009 “

Tidak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada Pak Zaki Abdilah Sjam , S.H., M.H. ,
sebagai dosen pengampu dan memberi ilmu kepada kami tentang hukum lingkungan.
Sebagai penyusun , saya ucapkan mohon maaf apabila dalam penulisan tugas tersebut
terdapat kekeliruan dan masih terdapat banyak kekurangan sekian tugas ini kami buat.

Terima kasih

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................................1

B. Perumusan Masalah .........................................................................................................2

C. Tujuan ..............................................................................................................................2

D. Manfaat ............................................................................................................................3

BAB II KASUS POSISI ..............................................................................................................3

A. Pembahasan......................................................................................................................4

B. Definisi Class Action ........................................................................................................6

C. Unsur-Unsur Gugatan .......................................................................................................8

D. Persyaratan-Persyaratan Mengenai Gugatan .................................................................. 15

E. Ketentuan Gugatan Perdata dalam Hukum Lingkungan .................................................. 16

BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 19

Kesimpulan ........................................................................................................................... 19

Saran ..................................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 20


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Hal tersebut dapat kita lihat didalam
penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, butir 1, yang menyatakan bahwa
negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), bukan berdasar atas kekuasaan belaka
(machtstaat). Dalam negara hukum hubungan pemerintah dengan yang diperintah tidak
berdasarkan kekuasaan, tetapi berdasar norma obyektif yang mengikat kedua pihak baik yang
memerintah dan juga yang diperintah. Hak-hak dan kewajiban warga negara juga diatur oleh
hukum dan harus dijamin serta dilindungi pemenuhannya. Hukum di Indonesia dituntut agar
mampu dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul akibat adanya
pelanggaran-pelanggaran hak dan atau kewajiban oleh pihak lain. Selain itu hukum harus
mampu menyediakan sarana yang memadai untuk dapat menyelesaikan permasalahan
tersebut dan dituntut untuk selalu berkembang mengikuti kebutuhan publik, kebutuhan dalam
hal perlindungan terhadap hak-haknya.

Perkembangan hukum di negara Indonesia, khususnya dalam lapangan hukum acara


perdata salah satunya ditandai dengan di implementasikannya prinsip-prinsip class action
yang dikenal di negara-negara dengan sistem hukum common law kedalam system peradilan
di Indonesia. Pada tahun 1997, melalui UU UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH), di Indonesia diperkenalkan mekanisme pengajuan sengketa
lingkungan hidup ke pengadilan secara perwakilan, yakni dimana satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok (Class Representative) mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan
sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak (Class Members), yang
memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
kelompoknya.Class action yang dikembangkan di Indonesia timbul karena masalah
Lingkungan Hidup yang terjadi, akibat perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.
Para pembuat UUPLH mungkin coba menerapkan class action agar dapat menekan laju

1
kerusakan Lingkungan yang terjadi di Indonesia, sebagai salah satu negara dengan tingkat
kerusakan hutan tertinggi di dunia.

Gugatan Perwakilan atau yang lebih dikenal dengan Class Action di negara-negara
common law, merupakan lembaga penyelesaian sengketa perdata baru dalam lapangan
hukum perdata di Indonesia, oleh karena itu dalam perkembangannya masih terdapat
kekurangan-kekurangan baik dalam penerapannya dan perangkat hukumnya. Hal ini coba di
antisipasi dengan dikeluarkannya UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini ditutupi dengan berpegang kepada ketentuan-
ketentuan hukum acara perdata yang berlaku secara umum di Indonesia. Menurut penelitian
gugatan class action masih belum begitu dikenalnya di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari
minimnya kasus class action yang terjadi di Indonesia, yang berkaitan dengan laju kerusakan
lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu penulis coba mengkaji, Gugatan
class action akibat tanah longsor di Mandalawangi Garut (2003). Kajian ini sebagai tugas dan
bahan pembelajaran bagi penulis.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas penulis mencoba merumuskan masalah yang berkaitan dengan
gugatan Class Action akibat tanah longsor di Mandalawangi Garut :
1. Analisa hukum mengenai unsur-unsur dan persyaratan gugatan Class Action akibat tanah
longsor di Mandalawangi Garut menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
2. Analisa hukum mengenai unsur-unsur dan persyaratan gugatan Class Action akibat tanah
longsor di Mandalawangi Garut menurut UU No. 32 Tahun 2009
3. Perkembangan prosedur class action dalam UU No. 23 Tahun 1997 dan UU No. 32
Tahun 2009 di Indonesia dan kaitannya dengan pelestarian Lingkungan di Indonesia.

C. Tujuan
Tujuan penelitian ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Lingkungan.

2
D. Manfaat
Manfaat kajian ini untuk memperdalam pengetahuan tentang tata cara dan prosedur
pelaksanaan Class Action dan penerapan UU No. 32 Tahun 2009

BAB II KASUS POSISI

“Pada tanggal 28 Januari 2003 terjadi bencana alam tanah longsor terjadi di kaki
Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Bencana longsor
itu telah mengakibatkan 21 orang tewas dan 408 keluarga atau 1.781 orang harus mengungsi.
Selain itu, 70 hektar sawah dan 25 hektar kebun rusak serta 5.150 ternak mati tertimbun
longsor. Pada tanggal 18 Februari 2003, sebanyak 275 korban longsor Gunung Mandalawangi,
yang terbagi dalam sembilan kelompok, mengajukan gugatan perwakilan atas bencana longsor
yang menimpa kampung halaman mereka. Gugatan perwakilan (class action) diajukan kepada
Perum Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan di Gunung Mandalawangi. Selain itu mereka
juga didampingi oleh para advokat yang bertindak untuk dan atas nama para korban longsor
gunung Mandalawangi, Garut. Dan pada 4 September 2003, Pengadilan Negeri (PN) Bandung,
Jabar, mengabulkan gugatan perwakilan yang diajukan para korban longsor Gunung
Mandalawangi, Kabupaten Garut. Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Dedi
Subandi memutuskan pihak Perhutani sebagai tergugat I harus membayar biaya rehabilitasi
hutan dan lahan di Gunung Mandalawangi sebesar Rp 20 miliar. Selain itu, Perhutani juga
diwajibkan membayar ganti rugi kepada masyarakat sebesar Rp 10 miliar.” Kasus tersebut
diatas adalah kasus sengketa tentang lingkungan hidup. Penggugat dalam kasus tersebut adalah
275 warga yang diwakili oleh sembilan kelompok dan didampingi oleh tim advokat, pengacara,
dan penasehat hukum. Dengan demikian para penggugat yang mengajukan gugatan adalah
manusia dan badan hukum yang secara langsung atau tidak langsung menjadi korban akibat
tanah longsor yang terjadi tanggal 28 Januari 2003 di kaki Gunung Mandalawangi, Kecamatan
Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Para tergugatnya adalah :

3
1. Direksi Perum Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, yang
berkedudukan di Jl. Soekarno Hatta No. 628, selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT I.
2. Pemerintah Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia, yang berkedudukan di Jl.
Merdeka Utara No. 18 Jakarta Pusat, selanjutnya disbut sebagai TERGUGAT II.
3. Pemerintah Republik Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq. Menteri Kuhutanan
Republik Indonesia, yang berkedudukan di Jl. Gatot Soebroto Jakarta Pusat, selanjutnya
disbut sebagai TERGUGAT III.
4. Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jawa Barat Cq. Gubernur Propinsi Jawa Barat, yang
berkedudukan di Jl. Diponogoro Bandung, selanjutnya disbut sebagai TERGUGAT IV.
5. Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat Cq. Bupati Garut Propinsi
Jawa Barat, yang berkedudukan di Jl. Pembangunan Garut, selanjutnya disbut sebagai
TERGUGAT V.

Dalam surat gugatannya juga secara tegas diajukan Gugatan Perwakilan (Class Action)
sebagaimana diatur dalam pasal 37 (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup jo. PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Para
penggugat tersebut bertindak untuk kepentingan mereka sendiri, sekaligus mengatasnamakan
kepentingan seluruh korban tanah longsor, yang terbagi dalam 9 sub-sub kelompok, dan
mendapat kuasa dari seluruh warga yang diwakili tersebut.

A. Pembahasan

Pada hari Selasa malam tanggal 28 Februari 2003 sekitar jam 21.00 WIB di Desa
Karang Mulya (Kampung Bunianten dan Kampung Babakan Nenggeng, Desa Mandalasari,
Kampung Bojongjambu dan Kampung Sindangsarin) Kecamatan Kadungora sekitar kawasan
Gunung Mandalawangi Kabupaten Garut Jawa Barat telah terjadi banjir dan tanah longsor,
sehingga menimbulkan kerugian korban jiwa maupun harta benda yang cukup besar, yang
mana banjir dan longsor tersebut disebabkan oleh antara lain karena kondisi
topografi,kerusakan/pencemaran lingkungan, pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan
fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung, adanya kebakaran hutan dan curah
hujan di atas normal terus menerus selama tujuh hari. Peristiwa ini disebabkan karena Perum

4
Perhutani yaitu Pengelola kawasan hutan di jawa barat termasuk kawasan Rutan Gunung
Mandlawangi yang statusnya adalah hutan lindung berdasarkan Pasal 24 PP No. 53 Tahun
1999, kemudian diubah statusnya menjadi hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menhut
No. 419/KPTS/II/1999. Dikarenakan Perum Perhutani, kondisi alam sekitar Gunung
Mandalawangi antara lain menjadi kerusakan ekosistem lingkungan, pengelolaan atau
pengawasan lingkungan yang belum optimal dari pihak pengelola, rawan terjadi longsor dan
banjir serta reboisasi yang gagal dilaksanakan. Selain itu, sebagaimana diakui oleh pihak
Perum Perhutani bahwa Perum Perhutani telah mengetahui terdapat 8 titik longsor sejak 6
bulan silam di kawasan Mandalawangi tersebut.

Oleh karena itu, masyarakat setempat melakukan gugatan class action dan menggugat
Direksi Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah setempat ke Pengadilan Negeri Bandung.
Pengertian Gugatan Class action itu sendiri adalah gugatan yang berisi tuntutan melalui
proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil
kelompok(class representative). Perwaklian kelompok itu bertindak mengajukan gugatan
tidak hanya untuk dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok
yang mereka wakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok. Dalam
pengajuan gugatan tersebut tidak perlu disebutkan secara individual satu persatu identitas
anggota kelompok yang diwakili, karena yang terpenting adalah asal kelompok yang diwakili
dapat didefinisikan identifikasi anggota kelompok secara spesifik sehingga dengan adanya
wakil kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan kesamaan
kepentingan, kesamaan penderitaan, dan apa yang dituntut memenuhi syarat untuk
kemanfaatan bagi seluruh anggota. Di tingkat pengadilan negeri tersebut, hakim
memenangkan perkara masyarakat dan memutuskan para tergugat untuk melaksanakan
gugatan dari para penggugat. Merasa tidak puas dengan keputusan hakim tersebut, Direksi
Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah melakukan banding ke Pengadilan Tinggi sebagai
Penggugat. Dan ternyata Pengadilan Tinggi juga memenangkan pihak masyarakat setempat
tersebut. Kembali merasa tidak puas dengan keputusan Pengadilan Tinggi, Direksi Perum
Perhutani dan Pemerintah Daerah mengajukannya ke Mahkamah agung. Dan setelah
mencermati kasusnya dengan seksama, akhirnya Mahkamah Agung menolak gugatan yang
diajukan pihak Direksi Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah.
5
Berdasarkan UUPPLH 2009 selain dalam wujud AMDAL, precautionary principle
diimplementasikan dalam wujud Kajian Lingkungan Hidup Strategis(KLHS), dan Analisa
Risiko Lingkungan (ARL). Melalui instrumen AMDAL, setiap rencana kegiatan atau usaha
yang diperkirakan berdampak besar dan penting terhadap lingkungan dikaji secara teliti dan
mendalam kemungkinan dampak negatifnya. Apabila tidak tersedia teknologi atau ilmu
pengetahuan yang mampu menghilangkan atau meminimalisir risiko dampak negatif yang
akan ditimbulkan oleh suatu kegiatan dan/atau usaha maka pertimbangan lingkungan menjadi
pertimbangan yang harus diutamakan oleh pengambil kebijakan. Precautionary principle
menghendaki kepentingan lingkungan harus selalu dipertimbangkan dalam setiap kebijakan
terkait pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan. Perkembangan prinsip strict liability dan
precautionary yang tercermin dalam pertimbangan dan amar putusan hakim dalam kasus
longsor Gunung Mandalawangi, telah mewarnai penyempurnaan UUPLH 1997, sebagaimana
disempurnakan menjadi UUPPLH 2009. Pasal88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menambahkan criteria
implementasi strictliability selain yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan bahan
berbahaya beracun dan limbah bahan berbahaya beracun, juga meliputi kegiatan dan/atau
usaha yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
(extrahazardous/abnormally dangerous/non-naturaluse). Dengan demikian pengaruh Civil
Liability for Oil Pollution Damage 1969 telah diimbangi pengaruh dari kasus Ryland v
Fletcher dari Inggris. Terkait precautionary principle UUPPLH2009 telah mengatur secara
eksplisit asas tersebut sebagai asas kehati-hatian sebagaimana diatur pada Pasal 2 huruf F.

B. Definisi Class Action

Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang


dimaksud class action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta
hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup. Di Indonesia terminologi class action diubah menjadi Gugatan Perwakilan Kelompok.
PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)
sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili
6
kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok
orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum
antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

Selanjutnya dalam Pasal 91 UU Lingkungan Hidup dikenal gugatan perwakilan


kelompok. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action
untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau kepentingan masyarakat apabila mengalami
kerugian akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Tujuan gugatan perwakilan
kelompok dalam UU Lingkungan Hidup diharapkan sebagai salah satu cara untuk
menimbulkan efek jera dan meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan terkait
pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Adapun, dalam UU Perlindungan Konsumen mengakui adanya gugatan kelompok atau class
action yang diajukan oleh sekelompok konsumen yang benar-benar dirugikan serta memiliki
kepentingan yang sama dan dibuktikan secara hukum, salah satunya dengan adanya bukti
transaksi. Prosedur class action dapat di aplikasikan apabila beberapa syarat berikut
terpenuhi:

1. Jumlah anggota kelompok harus banyak karena jika gugatan dilakukan sendiri-sendiri
atau secara bersama-sama dalam satu gugatan, maka tidak efektif dan efisien;
2. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum yang digunakan yang bersifat
substansial, dan kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota
kelompoknya;
3. Wakil kelompok bersifat jujur dan sungguh-sungguh untuk melindungi kepentingan
anggota kelompok yang diwakilinya;
4. Hakim dapat menganjurkan wakil kelompok untuk mengganti advokat, jika advokat
melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi
kepentingan anggota kelompoknya.

7
Yang dimana secara umum, mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action
harus memenuhi syarat-syarat formal surat gugatan dalam hukum acara perdata. Mengenai
unsur gugatan class action dalam kasus longsor gunung mandalawangi tersebut antara lain
akan dijelaskan sebagai berikut. Unsur gugatan tersebut berupa sebuah tuntutan yang
disebabkan karena adanya perusakan Lingkungan Hidup.

Dengan adanya perubahan tata guna lahan bagian atas bukit dari tanaman
keras/hutan ke tanaman musiman. Pengajuan gugatan dimaksudkan untuk meminta
tanggung jawab pihak pengelola hutan di Gunung Mandalawangi, lokasi asal muasal
terjadinya longsor. Selain gundul, ada lima hektar kawasan hutan di lereng Gunung
Mandalawangi yang telah beralih fungsi menjadi kebun tembakau, kacang-kacangan, dan
umbi-umbian. Padahal, dalam kenyataannya Gunung Mandalawangi dinyatakan sebagai
kawasan lindung terbatas, selain itu ada delapan titik longsor di area kawasan lindung
terbatas Gunung Mandalawangi namun data tentang titik-titik longsor tersebut tidak
diinformasikan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut ataupun kepada masyarakat
yang tinggal di sekitar Gunung Mandalawangi sehingga menyebabkan bencana di kemudian
hari. Itulah yang menyebabkan timbulnya dugaan atas kelalaian dalam pengelolaan hutan
yang dilakukan oleh direksi Perum Perhutani Jawa Barat yang tidak menghiraukan
kelestarian lingkungan dan ekosistem serta tata guna lahan sebagaimana mestinya.

Yang dimana dasar hukumnya kini berada dalam Pasal 91 UU No 32 Tahun 2009
sebagaimana berbunyi:

1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan


dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian
akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum,
serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

8
C. Unsur-Unsur Gugatan

Untuk mengajukan tuntutan hak ke pengadilan, maka seseorang harus membuat gugatan.
Yang dimaksud dengan gugatan adalah suatutuntutan hak yang diajukan oleh penggugat
kepada tergugat melalui pengadilan. Menurut pakar hukum positif, gugatan adalah
tindakanguna memperoleh perlindungan hakim untuk menuntut hak ataumemeriksa pihak
lain memenuhi kewajibannya. Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari
setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya
dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain
yang menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan. Surat gugatan ialah surat yang diajukan
oleh penggugat kepada ketua pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang
didalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan landasan dasar
pemeriksaan perkara.

Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan (yaitu penggugat dan
tergugat). Permohonan atau gugatan yang prinsipnya harus dibuat tertulis oleh pemohon atau
penggugat atau kuasanya. Secara umum dan teoritis untuk membuat suatu surat gugatan
dikenal dua pola penyusunan, yaitu :

1. Substantieringstheorie
Suatu teori yang membahas cara pembuatan surat gugatan hendaknya harus diperinci
secara detail mulai dari adanya hubungan hukum sebagai dasar gugatan (rechtsfronden,
legal grounds), dasar dan sejarah gugatan, serta kejadian formal atau material dari
gugatan. Misalnya penggugat mendalilkan dalam surat gugatannya bahwa iasebagai
pemilik dari sebidang tanah dengan luas dan batas-batas tertentu sebagaimana sertifikat
hak atas tanah. Maka menurut substantieringstheorie, tidak cukup penggugat hanya
menyebutkandalam gugatannya bahwa ia sebagai pemilik, tetapi juga harusdiuraikan
terlebih dahulu secara mendetail dan terperinci dalam gugatannya dengan menyebutkan
data dan hubungan hukum.

9
2. Individualiseringstheorie
Suatu teori yang membahas agar dalam penyusunan surat gugatan dibuat secara garis
besarnya saja tentang dasar hubungan hukum dalam gugatan atau kejadian material. Jadi,
terhadap ketentuan kaidah atau pasal tersebut dirumuskan secara umum kemudian
diindualisasikan pada gugatan dan terhadap hal lainnya, seperti dasar pokok gugatan,
sejarah gugatan, dan lainnya dapat dijelaskan dalam sidang berikutnya, baik dalam tahap
replik, duplik maupun pembuktian. Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
perumusan kejadian material secara singkat telah memenuhi syarat dan gugatan tidak
obscuur libel.

Tentang bentuk gugatan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal118 ayat (1) HIR atau Pasal
142 ayat (1) RBg dan Pasal 120 HIR atau Pasal 144 ayat (1) RBg. Dari ketentuan pasal-pasal
tersebut, gugatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Bentuk tertulis
Pada prinsipnya semua gugatan atau permohonan harus dibuat secara tertulis. Gugatan
tertulis diatur dalam Pasal 118 HIR dan Pasal 142 ayat (1) R.Bg. Dalam kedua Pasal ini
ditentukan bahwa gugatan harus diajukan secara tertulis dan diajukan kepada Ketua
Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat gugatan yang ditulis itu
harus ditandatangani oleh Penggugat atau para Pengggat. Jika perkara itu dilimpahkan
kepada kuasa hukumnya, maka yang menandatangani surat gugat itu adalah kuasa
hukumnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan Pasal 147ayat (1)
R.Bg.

2. Bentuk lisan
Bilamana Penggugat tidak dapat menulis, maka gugatan dapat diajukan secara lisan
kepada Ketua Pengadilan, Terhadap gugatan lisan tersebut, Ketua Pengadilan mencatat
atau menyuruh mencatat kepada salah seorang pejabat pengadilan. Kemudian dari catatan
tersebut Ketua Pengadilan menformulasikan berupa surat gugatan.

10
Macam-macam gugatan dalam amar putusan terdiri dari :

1. Gugatan dikabulkan
Dikabulkannya suatu gugatan adalah dengan syarat bila dali lgugatannya dapat
dibuktikan oleh penggugat sesuai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau Pasal 164 HIR. Dikabulkannya gugatan ini pun ada
yang dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya, ditentukan oleh
pertimbangan majelis hakim.

2. Gugatan ditolak
Bahwa bila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikandalildalil gugatannya, akibat
hukum yang harus ditanggungnya ataskegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah
gugatannya mestiditolak seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat dibuktikandalil
gugatannya bahwa tergugat patut dihukum karena melanggarhal-hal yang disampaikan
dalam gugatan, maka gugatan akan ditolak.

3. Gugatan tidak dapat diterima


Bahwa ada berbagai cacat formil yang mungkin melekat padagugatan. Antara lain,
gugatan yang ditandatangai kuasa berdasarkan surat kuasa tidak memenuhi syarat yang
digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. SEMA Nomor 4 Tahun 1996 :
a. Gugatan tidak memiliki dasar hukum;
b. Gugatan error in persona dalam bentuk dikualifikasi atau plurium litis consortium;
c. Gugatan mengandung cacat atau obscuur libel; atau
d. Gugatan melanggar yuridiksi (kompetensi) absolut atau relative dan sebagainya.

Menghadapi gugatan yang cacat formil (surat kuasa, error in persona, obscuur libel,
premature, kadaluwarsa, nebis in idem), putusan yang dijatuhkan harus dengan jelas dan

11
tegas mencantumkan dalam amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (neit
ontvankerlijke verklaard/N.O) Abdul Manan dalam bukunya menyebutkan ada 5 prinsip
yang harus ada dalam suatu gugatan, yaitu :

1. Harus ada dasar hukum


Para pihak yang dimaksud mengajukan gugatan kepada pengadilan haruslah mengetahui
terlebih dahulu dasar hukumnya. Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti
akan ditolak oleh hakim dalam sidang pengadilan karena dasar hukum inilah yang
menjadi dasar putusan yang diambilnya. Disamping mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan masalah persidangan, terutama hal-hal yang berhubungan dengan pembantah
jawaban lawan dan pembuktian. Dalam mempertahankan dalil-dalil di dalam persidangan
tidak hanya sekedar menjawab atau membantah saja, akan tetapi semuanya haruslah
didukung oleh dasar hukum yang kuat dalam mempertahankan dalil gugat. Dasar hukum
ini dapat berupa peraturan perundang-undangan, doktrin, praktek pengadilan dan
kebiasaan yang sudah diakui sebagai hukum.

2. Adanya kepentingan hukum


Penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang melekat pada
dirinya sebelum menuangkan suatu tindakan dan sebuah gugatan, hal ini menjadi syarat
mutlak untukdapat mengajukan gugatan. Orang yang tidak mempunyai kepentingan
hukum tidak dibenarkan mengajukan gugatan, hanyaorang yang berkepentingan langsung
yang dapat mengajukan gugatan,sedangkan orang yang tidak mempunyai kepentingan
langsung haruslah mendapat kuasa terlebih dahulu dari orang untuk dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan.

3. Merupakan suatu sengketa


Gugatan yang diajukan kepada pengadilan haruslah bersifatsengketa dan persengketaan
itu telah menyebabkan kerugian daripihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan melalui
pengadilansebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. Dalam gugatanini,

12
tuntutan haknya harus mengandung sengketa sebagaimana yangdimaksud Pasal 118 HIR/
Pasal 132 RBg.

4. Dibuat dengan cermat dan terang


Gugatan secara tertulis haruslah disusun dalam surat gugatan yang dubuat secara cermat
dan terang, jika tidak dilakukan secara demikian maka akan mengalami kegagalan dalam
sidang pengadilan. Surat gugatan tersebut harus disusun secara singkat, padat dan
mencakup dalam persoalan yang disengketakan. Gugatan tidak boleh obscuur libel,
artinya tidak boleh kabur baik mengenai pihak pihaknya, objek sengketanya, dan
landasan hukum yang dipergunakannya sebagai dasar gugat.

5. Memahami hukum formil dan materiil


Pemahaman dalam hukum formil dan materiil merupakanprinsip gugatan, sebab kedua
hukum tersebut berkaitan erat denganseluruh isi gugatan yang akan dipertahankan dalam
sidang pengadilan.Namun jika seorang belum memahami hukum formil atau
materiilmaka sebagaimana tertuang dalam Pasal 119 HIR dan Pasal 143 RBgdengan
tujuan agar tidak mengalami kesulitan dalam membuat gugatan bagi orng-orang yang
kurang pengetahuannya tentang hukumformil dan materiil.

Mengenai unsur-unsur daripada gugatan tidak ada ketentuannya, akan tetapi jika kita melihak
dalam Rv Pasal 8 angka (3)yang mengharuskan pokok gugatan yang meliputi :

1. Identitas para pihak


Yang dimaksud dengan identitas adalah ciri-ciri dari penggugat dan tergugat, yaitu :
a. Nama (beserta bin/binti dan aslinya);
b. Umur;
c. Agama;
d. Pekerjaan;
e. Tempat tinggal; dan
f. Kewarganegaraan (jika perlu).

13
Identitas ini merupakan bagian penting dalam gugatan, sebab apabila penggugat salah
menuliskan nama ataupun alamat si tergugat kemungkinan bisa menimbulkan gugatan
tidak dapat diterima atau bisa terjadi subjek yang mengajukan gugatan termasuk tidak
memenuhi persyaratan undang-undang (error in persona).

2. Fundamentum petadi/posita gugatan


Fundamentum petadi adalah dalil-dalil posita konkret tentang adanya hubungan hukum
yang merupakan dasar dari suatu tuntutan hak, Fundamentum petadi terbagi atas dua
bagian :
a. Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa (feitelijke gronden);
b. Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden).
Uraian dalam posita harus memuat fakta hukum dan bukan fakta rill (apa adanya). Untuk
itu diperlukan pengetrahuan hukum yang memadai, khususnya yang ada kaitannya
dengan materi gugatan agar dapat melakukan seleksi atau analisis fakta rill yang ada.
Faktamana yang harus dikesampingkan atau cukup disampaikan melalui keterangan saksi
di depan siding.
3. Petitum (tuntutan)
Dalam surat gugatan harus pula dilengkapi dengan petitum, yaitu hal-hal apa yang
diinginkan atau diminta oleh penggugat untuk diputuskan, ditetapkan dan diperintahkan
Hakim. Petitum ini harus lengkap dan jelas, karena bagian dari surat gugatan ini yang
terpenting. Apabila petitum tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak
diterimannya petitum tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan
yang bertentangan satu sama lain disebut obscuur libel (gugatan yang tidak jelas atau
gugatan kabur), yang berakibat tidak diterimanya atauditolaknya gugatan tersebut.

Petitum ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu :

a. Petitum primer (pokok) yang langsung berhubungan dengan pokok perkara


Merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat dan Hakim tidak boleh
mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut).

14
b. Petitum tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan
pokok perkara
Merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok seperti dalam perceraian
berupa tuntutan pembayaran nafkah anak, mut’ah, nafkah iddah dan pembagian
harta bersama.

c. Tuntutan subsidair atau pengganti


Petitum subsidair atau pengganti. Biasanya berisi kata- kata “apabila Majelis
Hakim perkara pendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et
bono).” Jadi, maksud dan tujuan tuntutan subsidair adalah apabila tuntutan primer
ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas
kebebasan atau kebijaksanaan hakim berdasarkan keadilan.

D. Persyaratan-Persyaratan Mengenai Gugatan


Persyaratan-persyaratan mengenai Gugatan yang terkandung dalam UU No. 23 Tahun 1997
dan PERMA No. 1 Tahun 2002:

1. Numerosity, yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak, sebaiknya


orang banyak itu diartikan dengan lebih dari 10 orang; sehingga tidaklah efektif dan
efisien apabila gugatan dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan.
Diatur dalam PERMA No. 1/2002 (Pasal 2 a.): “Jumlah anggota kelompok sedemikian
banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-
sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan”. Dalam kasus gugatan class action
akibat tanah longsor di Mandalawangi Garut, kepentingannya menyangkut 376 KK, yang
terdiri dari 1769 jiwa penduduk yang menjadi korban tanah longsor. Apabila semua
korban mengajukan gugatan secara sendiri-sendiri, tentu tidaklah efektif, selain itu

15
apabila menggunakan penyelesaian sengketa melalui penggabungan perkara (komulasi)
juga tidaklah efektif, karena dari segi administrasi tidaklah efektif apabila pengadilan
harus memberitahukan dan memanggil seluruh korban tersebut secara sendiri-sendiri.
Berdasar uraian diatas sangatlah tepat menggunakan penyelesaian melalui prosedur class
action. Oleh karena itu dalam kasus ini penggugat hanya berjumlah 9 orang dalam surat
gugatannya sebagai class representatif, dan tidak menyebutkan seruh class members,
karena tidaklah efektif dan efisien.

2. Commonality, yaitu adanya kesamaan fakta (question of fact) dan kesamaan dasar
hukum (question of law) yang bersifat subtansial, antara perwakilan kelompok dan
anggota kelompok; misalnya pencemaran; disebabkan dari sumber yang sama,
berlangsung dalam waktu yang sama, atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair di lokasi yang sama, dll. Menurut PERMA
No. 1/2002 (Pasal 2 b.), “terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar
hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan
di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya”. Dalam kasus ini question of
fact adalah sama-sama menjadi korban tanah longsor yang diduga akibat dari kelalaian
pihak tergugat, baik langsung ataupun tidak langsung. Selain itu gugatan didasarkan
karena diduga adanya pelanggaran terhadap UUPLH dan UUK.

3. Tipicality, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara perwakilan kelompok dan
anggota kelompok; Persyaratan ini tidak mutlak mengharuskan bahwa penggugat
mempunyai tuntutan ganti rugi yang sama besarnya, yang terpenting adalah jenis
tuntutannya yang sama, misalnya tuntutan adanya biaya pemulihan kesehatan, dimana
setiap orang bisa berbeda nilainya tergantung tingkat penyakit yang dideritanya. Diatur
dalam PERMA No. 1/2002 (Pasal 2 b.). dalam kasus ini pihak Penggugat secara
keseluruhan (class members dan class representatif) menggugat para tergugat yang
diduga menyebabkan secara langsu maupun tak langsung, untuk membayar ganti
kerugian yang diderita oleh mereka yang diduga akibat perbuatan dan atau kelalaian para
tergugat.
16
4. Adequacy of Representation, yaitu perwakilan kelompok merupakan perwakilan
kelompok yang layak, yang diatur dalam PERMA No.1 Th.2002 c. “Wakil kelompok
memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok
yang diwakilinya”. Dalam hal ini Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan
untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Untuk menentukan
apakah wakil kelompok memiliki kriteria Adequacy of Repesentation tidakalah mudah,
hal ini sangat tergantung dari penilaian hakim. Untuk mewakili kepentingan hukum
anggota kelompok, wakil kelompok tidak diperyaratkan memperoleh surat kuasa khusus
dari anggota kelompok.

E. Ketentuan Gugatan Perdata dalam Hukum Lingkungan

Gugatan Perdata Dalam Undang Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata
cara tertentu oleh pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut
Gugatan lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang no.32 tahun 2019 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan UUPLH).
Gugatan Perdata merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui
pengadilan (Pasal 84 ayat (1)) Sengketa lingkungan hidup adalah adalah sengketa
perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau
telah berdampak pada lingkungan Hidup (Pasal 1 angka 25 UUPPLH). Gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan
yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa
(Pasal 84 ayat (3)). Dasar pertanggung jawaban gugatan tersebut dibagi menjadi dua yaitu
perbuatan Melawan Hukum dan strict liability .

Gugatan Perdata Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

17
Gugatan Perdata di bidang kehutanan merupakan bagian dari penyelesaian sengketa
kehutanan yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan (diatur dalam Pasal 76)
Penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh
putusan mengenai
a) pengembalian suatu hak,
b) besarnya ganti rugi, dan atau
c) tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.
d) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu pengadilan dapat menetapkan
pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelakanaan tindakan tertentu tersebut
setiap hari.

Adapun jenis gugatan dapat dilakukan menggunakan gugatan biasa, gugatan class action,
gugatan atas nama lngkungan hidup. Masyarakat punya hak melakukakan gugatan class
action, Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan
hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan
berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan
(Pasal 73 ayat 1). Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan harus
memenuhi persyaratan:

a) Berbentuk badan hukum; Gugatan Perdata Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
di Indonesia Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 2, Oktober 2019 147
b) Organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan
didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan
c) Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Menurut Undang undang nomor 32 tahun 2009 tentang tragedi longsor Mandalawangi
yang secara harfiah dinyatakan bahwa pihak perhutani adalah tergugat dari kasus longsor
tersebut, maka pihak tergugat akan mendapatkan penetapan menurut yaitu mulai dari
Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Pasal 97 UUPPLH menyatakan bahwa
tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan

18
(rechtdelicten), sehingga maknanya bahwa level perbuatan tercelanya di atas
pelanggaran. Dan dalam ketentuannya yang terdapat dalam hukum pidana dinyatakan
bahwa “Lalai melakukan perusakan yang mengakibatkan pencemaran pidana penjara 3
tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000”

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Diterapkannya prosedur Class Action dalam sistem peradilan di Indonesia merupakan suatu
kemajuan dalam lapangan hukum acara perdata, kebutuhan akan suatu prosedur yang dapat
membuka akses dalam mendapatkan keadilan yang sebesar-besarnya untuk publik adalah tujuan
utamanya. Dalam dictum pertimbangan Perma No.1 Th. 2002 disebutkan bahwa asas
penyelenggaraan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, dan transparan dimaksudkan
antara lain agar akses masyarakat terhadap keadilan dapat terus menerus dikembangkan. Dalam
hal ini diwujudkanlah suatu jalan keluar dengan Gugatan Perwakilan (Class Action) Namun
prosedur class action haruslah lebih dikembangkan agar perlindungan hukum kepada publik
menjadi lebih efektif dan efisien, dan mengenai akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dapat diwujudkan. Pentingnya class action dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup terkait dengan efek jera yang ditimbulkannya, dilakukannya
prosedur class action dapat merubah sikap pelaku pelanggaran dan Mendorong untuk lebih
bersikap hati-hati (Behaviour Modification). Hal ini terjadi karena mudahnya akses masyarakat
yang merasa membutuhkan keadilan menjadi terbuka. Walaupun sampai sekarang kasus diatas
masih berjalan di tingkat kasasi, dan belum mendapatkan titik terang. Akses terhadap keadilan
ini juga dijadikan lebih efektif dan efisien dalam menuntut keadilannya. Manfaat yang
mempunyai peranan cukup penting bagi pelestarian lingkungan di Indonesia, sebagai salah satu
negara dengan tingkat kerusakan tertinggi di Dunia.

Saran

Dalam hal ini, pihak yang berwenang dalam pembuatan UU (legislatif) seharusnnya membuat
RUU tentang aturan acara dalam prosedur class action, hal ini dikarenakan semakin banyaknya
gugatan melalui prosedur class action ini. Memang kekurangan dalam prosedur class action ini
ditutupi dengan aturan yang berlaku dalam hukum perdata umum. Tetapi sebenarnya masih
banyak aspek-aspek lain yang perlu diatur agar asas legalitas dapat diwujudkan. Dengan
terwujudnnya asas ini maka memperkecil ruang gerak para mafi peradilan. Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Indonesia sebaiknnya memiliki peradilan yang terpisah dengan lingkungan
peradilan lain, mengingat berlarut-larutnya penyelesaian pada setiap kasus lingkungan hidup
yang terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kasus ini, yang telah memakan waktu hamper
5 tahun, dan belum memperoleh keputusan final

19
DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan mengenai baku mutu
lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya
tampungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Perma No.1 Tahun 22 Tentang Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

BUKU

Sundari. 2002. Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Penerbitan Universitas Atmajaya.
Yogyakarta.

Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 1999. Hukum Tata Lingkungan. Edisi ketujuh, Cetakan


Ketujuhbelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

INTERNET

“Gugatan Perdata dalam bidang hukum lingkungan” Aminah Lana


file:///Users/macbook/Downloads/26624-76050-1-PB%20(1).pdf (diakses pada tanggal 2 Januari
2023)

https://newberkeley.wordpress.com/2011/05/18/kajian-hukum-gugatan-class-action-di-
mandalawangi-garut/

https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Class-Action_Sebuah-Pengantar.pdf
20

Anda mungkin juga menyukai