Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Politik organisasi dipandang sebagai perilaku obyektif melalui

penyelidikan taktik politik. Taktik perilaku politik merupakan perilaku yang

secara organisasional tidak ada sanksinya, yang mungkin dapat merugikan bagi

tujuan organisasi atau bagi kepentingan orang lain dalam organisasi (Harrell-Cook

et al., 1999). Melalui politik organisasi yang diterapkanan diberikan kepada

karyawannya, organisasi dapat mempertahankan persaingan bisnis dengan

organisasi lainnya. Menurut Thompson & Ingraham (1995; dalam Vigoda-Gadot,

2006) tingginya tingkat politik dalam organisasi seringkali menghadirkan

ketidakadilan dan distribusi ketidakadilan sumber-sumber diantara para karyawan

dan juga diantara klien eksternal. Lingkungan dan suasana mungkin juga

mengakibatkan berkurangnya kinerja karyawan, tingginya tingkat stres dan

ketegangan (Harris & Kacmar 2005; Vigoda 2002; dalam Vigoda-Gadot, 2006),

rendahnya tingkat kepuasan kerja, berkurangnya komitmen terhadap organisasi

dan menambah reaksi negatif dari para karyawan seperti pelayanan kualitas yang

rendah, meningkatnya pergantian para karyawan dan tingginya tingkat perputaran

yang sebenarnya (Ferris et al. 1996; Folger, Konovsky, & Cropanzano 1992;

Vigoda-Gadot 2003; dalam Vigoda-Gadot, 2006).

Kekuasaan adalah kapasitas seseorang, tim, atau organisasi untuk

mempengaruhi yang lain. Kekuasaan tidak dimaksudkan untuk mengubah


perilaku seseorang, melainkan potensi untuk mengubah seseorang (Mc. Shane &

Von Glnow, 2010: 300). Lebih jauh lagi, kedua ahli ini menjelaskan bahwa

kekuasaan mensyaratkan kebergantungan. Pihak yang berkuasa memiliki hal yang

dianggap penting oleh pihak lainnya sehingga pihak tersebut merasa berada di

bawah kendali pihak yang memiliki kekuasaan. Seseorang dapat dikatakan

memiliki kekuasaan terhadap orang lain jika ia dapat mengontrol perilaku orang

lain. Kekuasaan adalah hubungan nonresiprokal antara dua orang atau lebih.

Nonresiprokal di dalam konteks ini dapat diartikan sebagai ketidakseimbangan

kuasa yang dimiliki oleh individu yang satu dan individu yang lain. Dengan kata

lain, dua pihak yang memiliki hubungan nonresiprokal mungkin saja tidak

memiliki kekuasaan yang sama di dalam wilayah yang sama (Brown dan Gilman,

2003: 158).

Organisasi sebagai salah satu entitas sosial juga tidak terlepas dari politik.

Setiap orang dalam organisasi akan menggunakan taktik dan strateginya masing-

masing untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas, baik itu menyangkut

distribusi informasi, kekuasaan, karir maupun penghargaan lainnya. Organisasi

kesehatan, seperti rumah sakit juga tidak terlepas dari kegiatan politik

(Ayuningtyas, 2009). Strauss dalam penelitiannya di institusi rumah sakit

mengidentifikasi pola interaksi antara aktor di rumah sakit (dokter, perawat dan

staf administrasi) sebagai ëke teraturan hasil negosiasi. Tak dapat disangkal

bahwa negosiasi merupakan salah satu bentuk aktivitas politik untuk mendapatkan

komitmen bersama. Untuk menjadi manajer yang efektif, seorang manajer harus

sadar bahwa politik selalu ada dalam setiap kehidupan organisasi. Berkenaan
dengan praktik manajemen melalui pendekatan politik, maka seorang manajer

(termasuk pemain lainnya) harus paham bagaimana bermain politik yang etis dan

elegant, sehingga secara etis dapat diterima oleh anggota lainnya (Siswanto,

2007). Permainan politik yang tidak etis dalam jangka panjang akan berakibat

buruk terhadap kredibilitas pelakunya.

Politik organisasi berpengaruh negatif terhadap berbagai sikap kerja

karyawan. Menurut Cropanzano (1997), politik organisasi berpengaruh terhadap

variabel sikap kerja seperti: kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen

organisasi. Sikap kerja yang telah dipengaruhi politik organisasi pada akhirnya

akan mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior (Organ et al. dalam

Titisari, 2014:6). Studi literatur yang meneliti tentang pengaruh kepuasan kerja

dan komitmen organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior pernah

dilakukan Oleh Darmawati et al. (2013) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja

berpengaruh positif terhadap Organizational Citizenship Behavior akan tetapi

komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap Organizational Citizenship

Behavior. Chen dan Indartono (2011) serta Maslyn dan Fedor (1998) berpendapat

bahwa politik organisasi berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi.

Namun, Cropanzano et al. (1997) serta Khumar dan Ghadialy (1989) justru

berpendapat bahwa semakin tinggi politik organisasi maka komitmen organisasi

semakin tinggi pula. Sementara itu, politik organisasi berpengaruh negatif

terhadap kepuasan kerja (Ferris & Kacmar, 1992; Cropanzano et al., 1997;

Kacmar, 1999) dikarenakan berbagai hal seperti pelanggaran kontrak sosial.

Sedangkat Ferris dan Kacmar (1992) menemukan politik organisasi dapat


meningkatkan keterlibatan kerja. Ketika karyawan menyadari politik organisasi,

maka mereka akan berusaha untuk menghindarinya dan bekerja dengan dedikasi

yang tinggi. Berbeda dengan riset Cropanzano et al. (1997) yang menyatakan

bahwa politik organisasi justru mengurangi keterlibatan kerja karyawan.

Perbedaan dari beragam hasil penelitian dan menilik pada fenomena yang

terjadi secara khusus di Aceh Barat pada umumnya, peneliti kemudian merasa

tertarik untuk mengangkat judul mengenai “Politik Organisasi melalui Sikap

Kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior di Aceh Barat: Studi

Kasus RSUD Cut Nyak Dhien”

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penentuan judul penelitian, maka penulis

melakukan identifikasi masalah yaitu untuk mengetahui bagaimana Politik

Organisasi melalui Sikap Kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior di

Aceh Barat: Studi Kasus RSUD Cut Nyak Dhien.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penentuan judul penelitian, maka penulis

melakukan rumusan masalah yaitu

1. Bagaimana pengaruh Politik Organisasi terhadap Sikap Kerja?

2. Bagaimana pengaruh sikap kerja terhadap Organizational Citizenship

Behavior?
3. Bagaimana Politik Organisasi melalui Sikap Kerja terhadap

Organizational Citizenship Behavior?

1.4 Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi dengan merujuk pada peubah Politik Organisasi, Sikap

Kerja dan Organizational Citizenship Behavior dengan locus penelitian pada

RSUD Cut Nyak Dhien – Aceh Barat.

1.5 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian akan baik jika penelitian tersebut memberikan manfaat.

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan paling sedikit 2

manfaat yaitu:

1. Secara teoritis, pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan yang berkaitan dengan Politik Organisasi melalui Sikap

Kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior di Aceh Barat:

Studi Kasus RSUD Cut Nyak Dhien

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan

dan informasi pada pihak RSUD Cut Nyak Dhien tentang Politik

Organisasi melalui Sikap Kerja terhadap Organizational Citizenship

Behavior.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Organizational Citizenship Behavior

Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah komitmen sukarela

seseorang dalam organisasi atau perusahaan yang bukan bagian dari tugas

kontraktualnya. Perilaku kewargaan organisasi telah dipelajari sejak akhir 1970-

an. Selama tiga dekade terakhir, minat terhadap perilaku ini telah meningkat

secara substansial. Perilaku organisasi telah dikaitkan dengan efektivitas

organisasi secara keseluruhan, sehingga jenis perilaku karyawan ini memiliki

konsekuensi penting di tempat kerja. Dennis Organ umumnya dianggap penemu

Organizational Citizenship Behavior (OCB). Organ memperluas karya asli Katz

(Katz, 1964) yang berjudul “The motivational basis of organizational behaviour”.

Organ (1988) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang diskresioner,

tidak secara langsung atau eksplisit diakui oleh sistem penghargaan formal, dan

secara agregat mempromosikan fungsi organisasi yang efektif. Definisi organ

tentang OCB mencakup tiga aspek penting yang penting untuk konstruksi ini:

Pertama, OCB dianggap sebagai perilaku diskresioner, yang bukan

merupakan bagian dari deskripsi pekerjaan, dan dilakukan oleh karyawan sebagai

hasil dari pilihan pribadi. Kedua, OCB melampaui apa yang merupakan

persyaratan yang dapat ditegakkan dari deskripsi pekerjaan. Akhirnya, OCB

berkontribusi positif terhadap efektivitas organisasi secara keseluruhan. Pada saat

yang sama, definisi OCB dari Organ (1988) telah menimbulkan banyak kritik.
Sifat konstruk membuatnya sulit untuk didefinisikan secara operasional. Kritikus

mulai mempertanyakan apakah OCB, seperti yang didefinisikan oleh Organ,

bersifat diskresioner atau tidak. Organ (1997), dalam menanggapi kritik, mencatat

bahwa sejak definisi aslinya, pekerjaan telah berpindah dari serangkaian tugas dan

tanggung jawab yang jelas dan telah berkembang menjadi peran yang jauh lebih

ambigu. Tanpa peran yang ditentukan, dengan cepat menjadi sulit untuk

menentukan apa yang diskresioner.

OCB sering dibandingkan dengan kinerja kontekstual. Mirip dengan OCB,

konsep ini muncul sebagai tanggapan atas kesadaran bahwa hanya melihat

perilaku kerja spesifik pekerjaan mengabaikan sebagian besar domain pekerjaan.

Awalnya, para ahli di bidang ini hanya fokus pada kegiatan yang secara langsung

mendukung output organisasi. Karena pasar kerja menjadi lebih agresif, menjadi

perlu bagi karyawan untuk melampaui apa yang secara formal disyaratkan oleh

deskripsi pekerjaan agar tetap kompetitif. Kinerja kontekstual didefinisikan

sebagai perilaku dan aktivitas kerja yang tidak terkait dengan tugas yang

berkontribusi pada aspek sosial dan psikologis organisasi.

Kinerja kontekstual terdiri dari empat elemen: kegigihan antusiasme,

bantuan kepada orang lain, mengikuti aturan dan prosedur yang dilarang, dan

membela tujuan organisasi secara terbuka. OCB dan kinerja kontekstual berbagi

atribut yang menentukan karena keduanya terdiri dari perilaku selain yang

diperlukan untuk melakukan fungsi rutin pekerjaan. Keduanya juga mensyaratkan

bahwa perilaku ini berkontribusi pada kesuksesan organisasi secara keseluruhan.

Selain itu, mereka juga setuju dengan tema bahwa perilaku ini bersifat
diskresioner dan setiap karyawan memilih jumlah dan sejauh mana mereka akan

melakukannya. Namun, sementara kinerja kontekstual dan OCB berbagi sebagian

besar domain konten mereka, ada beberapa perbedaan penting antara kedua

konstruksi tersebut. Salah satu persyaratan utama OCB adalah bahwa mereka

tidak diberi penghargaan secara formal, yang tidak berlaku untuk kinerja

kontekstual. Organ (1997) berpendapat bahwa OCB mungkin pada titik tertentu

mendorong semacam penghargaan, tetapi penghargaan ini tidak langsung dan

tidak pasti. Juga, kinerja kontekstual tidak mengharuskan perilaku menjadi peran

tambahan, hanya saja itu bukan tugas. Perbedaan antara kinerja kontekstual dan

OCB sedikit dan mudah dilewatkan, namun memang ada.

Gambar 2.1

Sumber: (Katz, 1964)

Organ (Robbins, 2013) menjelaskan bahwa organizational citizenship

behavior merupakan bentuk perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif


individual, tidak berkaitan terhadap sistem reward formal organisasi tetapi secara

agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Robbins dan Judge (2013)

mengatakan bahwa organisasi yang memiliki organizational citizenship behavior

yang baik akan memiliki kinerja yang baik pula. Turnley, dkk (2003)

organizational citizenship behavior adalah perilaku karyawan yang bersedia

bekerja melebihi peran atau tugas yang diwajibkan dan tidak secara langsung

diakui oleh sistem reward. Organ, dkk (2006) mengemukakan lima aspek

organizational citizenship behavior, yaitu: Altruism, perilaku anggota dalam

menolong rekannya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi

baik mengenai tugas organisasi maupun masalah pribadi. Conscientiousness,

perilaku yang ditunjukkan terhadap berusaha melebihi yang diharapkan

organisasi. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas

anggota.

2.2 Sikap Kerja

Sikap kerja terkait dengan anggapan dasar tentang kerja dengan

karyawannya. Dalam organisasi perusahaan tergantung dari sudut mana seorang

karyawan memandang tentang pekerjaannya. Menurut Von Magnis dalam

Anoraga (2002), yang dimaksud dengan pekerjaan adalah “kegiatan yang

direncanakan“.Jadi pekerjaan itu memerlukan pemikiran yang khusus dan

dilaksanakan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai suatu hasil, baik berupa

benda, karya, tenaga maupun sebagai pelayanan terhadap masyarakat, termasuk

dirinya sendiri. Dengan demikian bekerja mengandung arti melaksanakan suatu


tugas yang diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh manusia yang

bersangkutan. Dalam pengertian yang paling sederhana, pekerjaan adalah

“Sesuatu yang dilakukan seseorang untuk dapat memperoleh imbalan, baik berupa

uang atau balas jasa lain”.

Seperti yang dikemukakan oleh Smith, yang juga dalam Anoraga (2002)

mengenai tujuan dari kerja adalah untuk hidup. Jadi mereka yang melakukan

kegiatan fisik maupun kegiatan otak dengan mendapat imbalan sarana kebutuhan

untuk hidup berarti bekerja. Sikap karyawan bekerja dalam organisasi perusahaan

sangat menentukan berhasil atau tidaknya kehidupan pribadi atau karir. Karena

sikap atau gaya kerja yang baik merupakan kebutuhan dalam meniti karir,

sedangkan sistim kerja yang baik merupakan kebutuhan bagi organisasi

perusahaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Calhoun dan Acocella (2007)

dalam buku Psychology of Ajustment and Human Relationship yaitu sikap kerja

dibutuhkan suatu individu untuk menata pola atau ritme kehidupan pribadi,

sebagai dasar harga diri seseorang dalam membangun kompetensi dirinya,

membangun kehidupan sosial dan memberikan kehidupan sosial serta

memberikan identitas atau status bagi dirinya, dengan demikian sikap kerja

merupakan mental psikologi seseorang dalam bekerja. Pengertian sikap juga di

kemukakan oleh New com dalam Walgito (2001) adalah sebagai berikut:

“From a cognitive point of view, an attitude represents an organization of

valanced cognitions from of motivational point of readiness for motive arousal”

Di sini New com menghubungkan antara sikap dengan motif, sikap merupakan

kesiapan atau keadaan siap untuk tumbuhnya suatu motif. Sikap merupakan suatu
keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku. Jadi

bila seorang karyawan tidak mempunyai sikap tertentu terhadap suatu kejadian

atau keadaan yang ada di luar dirinya maka karyawan tersebut tidak akan bergerak

motifnya untuk sesuatu tindakan atau kegiatan kerha tertentu. Tetapi sebaliknya

bila seorang karyawan mempunyai suatu sikap tertentu, maka segala sesuatu yang

menyangkut masalah kegiatan kerja tersebut akan menjadi motif yang dapat

menimbulkan tingkah laku kerja bagi seorang karyawan tersebut. Menurut All

Port, konsep sikap yang dikembangkan oleh Sherief (2008), sebagai kesiapan

saraf (Neutral Setting) sebelum merespons, maka sikap mempunyai karakteristik

sebagai berikut:

a. bukan gaya tetapi kecenderungan gaya,

b. kecenderungan bertindak, berfikir, berperasaan, dan berprestasi dalam

menangkap obyek, nilai, situasi dan ide,

c. memiliki daya pendorong,

d. relatif mapan,

e. mengandung aspek evaluatif, diorganisir oleh pengalaman.

Menurut Pophan (2005) bahwa terdapat perbedaan antara sikap dan nilai

terutama yang berhubungan dengan sentimen adalah bersifat langsung. Jadi

karena sintimen merupakan curahan rasa terhadap sesuatu yang direspon, maka

sikap karyawan terhadap organisasinya dapat dilihat dari respon positif maupun

negatif yang diekspresikan dalam bekerja. Sikap terdiri dari dua komponen,

Kognisi dan Affeksi. Komponen kognisi yang berhubungan dengan belief

(kepercayaan atau keyakinan), ide, konsep persepsi, stereotipe, opini yang dimiliki
individu mengenai sesuatu. Komponen Afeksi yang berhubungan dengan

kehidupan emosional seseorang menyangkut perasaan individu terhadap objek

sikap dan menyangkut masalah emosi. Komponen Kognisi yang merupakan

kecenderungan bertingkah laku “kecenderungan” belum berperilaku. Interaksi

antara komponen sikap: seharusnya membentuk pola sikap yang seragam ketika

dihadapkan pada objek sikap. Apabila salah satu komponen sikap tidak konsisten

satu sama lain, maka akan terjadi ketidakselarasan akibat terjadi perubahan sikap.

2.3 Politik Organisasi

Politik didefinisikan sebagai setiap pola hubungan yang kokoh antar

manusia dan melibatkan secara cukup mencolok kendali, pengaruh, kekuasaan

dan kewenangan. Jeffrey Pfeffer menciptakan suatu model teori organisasi yang

memuat koalisi kekuasaan, konflik-konflik inherent pencapaian tujuan organisasi,

dan keputusan-keputusan yang diambil seputar bagaimana mendesain organisasi

yang mendukung kepentingan pribadi dari mereka yang berkuasa. Pfeffer &

Salancik (2003) berpendapat bahwa kekuasaan bias vertikal dan horizontal dalam

organisasi, dan focus mereka, seperti Hickson et al. (2002), adalah pada kekuatan

subunit. Mereka berhipotesis bahwa kekuasaan akan digunakan dalam organisasi

untuk mencoba mempengaruhi keputusan tentang alokasi sumber daya (Pfeffer

&Salancik 2003).

Subunit dapat dianggap sebagai departemen dalam organisasi. Sejauh

subunit menyumbangkan sumberdaya penting, termasuk pengetahuan, yang


dibutuhkan organisasi, subunit lain tunduk pada tuntutan mereka dan

menyerahkan

kekuasaan kepada mereka. Pfeffer mengusulkan agar kendali di dalam organisasi

menjadi tujuan ketimbang hanya sebagai alat untuk mencapai tujuantujuan yang

rasional, seperti produksi output yang efisien. Organisasi adalah koalisi yang

terdiri atas individu yang punya tuntutan berbeda serta aneka kelompok yang

saling bersaing. Desain organisasi tidak lain merupakan hasil dari perjuangan

kekuasaan

yang dilakukan oleh koalisi-koalisi yang berbeda tujuan ini. Pfeffer (1992)

mengatakan bahwa jika kita hendak memahami mengapa dan bagaimana

organisasi didesain, kita perlu mengkaji pilihan-pilihan dan

kepentingankepentingan dari mereka yang punya pengaruh atas pembuatan

keputusan di dalam organisasi.

Pandangan ini sekarang sedang digemari. Pada prinsipnya politik adalah

suatu jaringan interaksi antar manusia dengan kekuasaan diperoleh, ditransfer, dan

digunakan. Dengan menggunakan definisi ini, maka dapat dikatakan bahwa

politik tidak hanya terjadi pada system pemerintahan, namun politik juga terjadi

pada organisasi formal, badan usaha, klub-klub pribadi, organisasi keagamaan,

kelompok suku primitif, marga, dan bahkan pada unit keluarga. Pusat analisis

politik adalah kekuasaan dan pengaruh. Kekuasaan didefinisikan sebagai potensi

seorang actor dapat mempengaruhi actor lain, sehingga actor lain tersebut

menuruti kemauan actor pertama. Dalam kontes saling pengaruh-mempengaruhi

ini, maka tiap-tiap actor akan saling beradu kekuasaan untuk memenangkan
kepentingani, dengan taktik memainkan kekusaannya masing-masing. Selain itu

pendapat McShane & Van Glinow (2010) menganggap politik organisasi terkait

erat dengan taktik organisasi. Menurut kedua pakar ini, politik organisasi adalah

prilaku yang dianggap oleh orang lain sebagai taktik yang menguntungkan diri

sendiri dengan mengatas namakan organisasi. Taktik tersebut sering kali

bertentangan dengan kepentingan organisasi.

2.3.1 Kekuasaan dalam Organisasi

Kekuasaan adalah kapasitas seseorang, tim, atau organisasi untuk

mempengaruhi yang lain (Paramaartha, 2015). Kekuasaan tidak dimaksudkan

untuk mengubah perilaku seseorang, melainkan potensi untuk mengubah

seseorang. Lebih jauh lagi, kedua ahli ini menjelaskan bahwa kekuasaan

mensyaratkan kebergantungan. Dengan kata lain, pihak yang berkuasa memiliki

hal yang dianggap penting oleh pihak lainnya sehingga pihak tersebut merasa

berada di bawah kendali pihak yang memiliki kekuasaan.

Seseorang dapat dikatakan memiliki kekuasaan terhadap orang lain jika ia

dapat mengontrol perilaku orang lain. Kekuasaan adalah hubungan nonresiprokal

antara dua orang atau lebih. Nonresiprokal di dalam konteks ini dapat diartikan

sebagai ketidakseimbangan kuasa yang dimiliki oleh individu yang satu dan

individu yang lain. Dengan kata lain, dua pihak yang memiliki hubungan

nonresiprokal mungkin saja tidak memiliki kekuasaan yang sama di dalam

wilayah yang sama. Kekuasaan memungkinkan seseorang memaksakan

kehendaknya untuk mencapai tujuan yang ia inginkan. Perbedaan tujuan berbagai


pihak yang terhimpun di dalam organisasi akan mendorong pihak-pihak tersebut

melakukan politik organisasi.

Politik organisasi inilah yang selanjutnya menimbulkan benturan-benturan

atau konflik di dalam organisasi. Namun, konflik tidak selalu membawa dampak

buruk bagi organisasi, tetapi juga dapat membawa dampak positif jika dikelola

dengan benar. Politik dalam organisasi merupakan tindakan-tindakan yang

dilakukan oleh individu dalam organisasi untuk memperjuangkan kepentingannya

sendiri (Colquitt et al., 2011). Politik organisasi tumbuh subur dalam

kondisikondisi tertentu, misalnya pada saat kurangnya sumber daya manusia,

sangat mungkin ada individu-individu yang mempertahankan satu posisi atau

jabatan di organisasi. Secara faktual, politik organisasi bukanlah merupakan suatu

hal yang tabu bagi orang-orang tertentu. Hal ini merupakan imbas dari

berkumpulnya banyak individu di dalam organisasi. Semakin banyak individu di

dalam organisasi, semakin banyak pula tarik menarik kepentingan di dalam

organisasi tersebut. Hal tersebut berimplikasi pada maraknya politik organisasi.

Setiap pihak akan melakukan apa pun yang bias mereka lakukan untuk

mendukung kepentingannya serta untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan

dirinya.

Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan politicking atau berpolitik

dalam organisasi. Selain itu ketidakmerataan distribusi kekuasaan sebenarnya

dialami oleh setiap individu. Pertama kali individu mengenal adanya

ketidakseimbangan distribusi kekuasaan di dalam keluarga. Seorang anak harus

menyapa orang tuanya dengan sapaan yang dianggap santun. Seperti yang
dikemukakan oleh Brown dan Gilman di atas, anak pertama kali mengenal kata

ganti V pada saat ia berinteraksi dengan orang tuanya. Seiring dengan

berkembangnya individu, subordinasi dalam hal kekuasaan merambah kehal-hal

lain, seperti dalam hubungan kerja.


2.4 Penelitian yang Relevan

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Judul Pembahasan


(Gandz & Murray, The Experience of Workplace Politics Studi ini menyelidiki politisasi yang dirasakan dari proses organisasi
1980) dan sikap serta keyakinan mereka tentang politik di tempat kerja.
Politisasi yang dirasakan terkait dengan karakteristik pekerjaan
responden, organisasi tempat mereka bekerja, dan variabel demografis.
Diusulkan bahwa politisasi yang dirasakan mungkin menjadi salah satu
dimensi kepuasan kerja secara keseluruhan.
(Vigoda-Gadot, 2002) Stress-related aftermaths to workplace Tiga sampel (n1=155, n2=184, n3=201) digunakan untuk menguji
politics: the relationships among politics, hubungan langsung dan tidak langsung/mediasi antara variabel
job distress, and aggressive behavior in penelitian. Peserta adalah karyawan Israel dari sektor swasta, publik,
organizations dan ketiga. Temuan menunjukkan bahwa: (1) tekanan kerja adalah
respon langsung terhadap politik organisasi di tiga jenis organisasi, dan
(2) tekanan kerja membuktikan mediator yang mungkin antara politik
organisasi dan perilaku agresif seperti yang dilakukan oleh karyawan itu
sendiri. Beberapa implikasi teoretis dan praktis dari temuan yang dapat
memperluas pengetahuan kita tentang berbagai akibat terkait stres dari
politik organisasi dicatat.
(Rosen et al., 2017) Workplace Politics and Performance Berdasarkan dari teori Johns tentang perilaku mementingkan diri
Appraisal: A Two-Study, Multilevel Field sendiri, kami mengidentifikasi politik tempat kerja sebagai faktor
Investigation kontekstual yang memengaruhi biaya dan manfaat relatif yang terkait
dengan perilaku peringkat supervisor. Investigasi kami menguji ide-ide
ini dengan mempertimbangkan bagaimana politik memengaruhi cara
penilai menggabungkan informasi saat mengevaluasi kinerja bawahan.
Nama Peneliti Judul Pembahasan
Secara khusus, kami memeriksa interaksi tiga arah dari perilaku dalam
peran, perilaku peran ekstra, dan persepsi politik pada penilaian kinerja
secara keseluruhan dalam investigasi bertingkat dua studi. Di dua studi,
hasil umumnya konsisten dengan interaksi tiga arah yang
dihipotesiskan, sehingga efek bersama dari perilaku ekstra-peran dan
dalam-peran pada peringkat kinerja bervariasi di seluruh tingkat politik.
Implikasi dari temuan ini dan arah penelitian masa depan dibahas.
(Allen & Rush, 1998) The effects of organizational citizenship Dalam penelitian laboratorium, 136 siswa melihat dan menilai segmen
behavior on performance judgments: A kinerja pengajaran yang direkam dengan video yang menunjukkan
field study and a laboratory experiment. kinerja tugas tinggi atau rendah dan OCB tinggi atau rendah. Dalam
kedua penelitian tersebut, menyukai dan merasakan komitmen afektif
memediasi hubungan antara OCB dan evaluasi secara keseluruhan.
Menyukai juga memediasi hubungan antara OCB dan rekomendasi
hadiah. Selanjutnya, studi lapangan menunjukkan bahwa motif kausal
dikaitkan dengan manajer untuk OCB karyawan memediasi hubungan
antara OCB dan evaluasi secara keseluruhan.
(Bolino et al., 2015) "Well, i'm tired of tryin'!" organizational Studi ini berusaha untuk mengidentifikasi kondisi tempat kerja yang
citizenship behavior and citizenship memengaruhi sejauh mana karyawan merasa lelah, lelah, atau gelisah
fatigue yang dikaitkan dengan perilaku kewargaan organisasi (OCB) dan juga
bagaimana fenomena ini, yang kami sebut sebagai kelelahan kewargaan,
dikaitkan dengan kejadian OCB di masa depan. Dengan menggunakan
data yang dikumpulkan dari 273 karyawan dan rekan-rekan mereka di
berbagai titik waktu, kami menemukan bahwa hubungan antara OCB
dan kelelahan kewarganegaraan bergantung pada tingkat dukungan
organisasi yang dirasakan, kualitas hubungan pertukaran anggota tim,
dan tekanan untuk terlibat dalam OCB. Secara khusus, hubungan antara
OCB dan kelelahan warga secara signifikan lebih kuat dan positif ketika
Nama Peneliti Judul Pembahasan
dukungan organisasi yang dirasakan rendah, dan secara signifikan lebih
kuat dan negatif ketika kualitas pertukaran anggota tim tinggi dan
tekanan untuk terlibat dalam OCB rendah. Hasil kami juga
menunjukkan bahwa kelelahan kewarganegaraan berhubungan negatif
dengan tindakan OCB selanjutnya. Akhirnya, analisis tambahan
mengungkapkan bahwa hubungan antara OCB dan kelelahan
kewarganegaraan dapat bervariasi sebagai fungsi dari aspek OCB
tertentu. Kami menyimpulkan dengan diskusi tentang implikasi teoretis
dan praktis utama dari temuan kami.
(Webster et al., 2018) “Dirty” Workplace Politics and Well- Peneliti menggunakan desain buku harian harian dengan 64 orang
Being: The Role of Gender dewasa yang bekerja selama 12 hari kerja. Untuk mendukung hipotesis
kami, paparan terhadap NPITs––yaitu, “politik kotor”––menimbulkan
penilaian ancaman yang, pada gilirannya, terkait dengan aktivasi emosi
negatif. Selain itu, tidak seperti pria, wanita yang melaporkan tingkat
NPIT yang lebih tinggi mengalami tingkat penilaian ancaman yang
lebih tinggi dan akhirnya emosi negatif. Kami menunjukkan bahwa
memasangkan teori peran sosial dengan teori stres transaksional adalah
pendekatan yang berguna bagi peneliti yang tertarik untuk lebih
memahami perbedaan gender dalam proses stres kerja. Siapa pun yang
tertarik untuk mengurangi stres di tempat kerja didorong tidak hanya
untuk mengurangi terjadinya NPIT tetapi juga untuk
mempertimbangkan cara-cara untuk mengurangi ancaman yang terkait
dengannya, terutama bagi wanita.
(Sunargo & Hastuti, Mengatasi perilaku kerja kontraproduktif Perilaku kerja kontraproduktif merupakan fenomena umum yang
2019) melalui peran integratif politik menjadi masalah dalam sumber daya manusia. Perilaku tersebut dapat
organisasional dan kecerdasan emosional dipertimbangkan melalui faktor situasional dan individual. Situasi
pada era revolusi industri 4.0 lingkungan tempat kerja yang mengandung unsur politik dan
Nama Peneliti Judul Pembahasan
kemampuan individu yang memiliki kecerdasan emosional dapat
menentukan perilaku kerja. Penelitian ini menguji pengaruh politik
organisasional persepsian terhadap perilaku kerja kontraproduktif, serta
menguji peran moderasi pada pengaruh tersebut. Pengujian dilakukan
menggunakan data responden 200 karyawan yang bekerja pada
perusahaan di kawasan industri Batam. Dengan menggunakan analisis
regresi bertingkat hasil penelitian menunjukkan bahwa politik
organisasional persepsian berpengaruh positif dan signifikan pada
perilaku kerja kontraproduktif. Selanjutnya, kecerdasan emosional dapat
memitigasi perilaku kerja kontraproduktif yang disebabkan oleh situasi
politik organisasional. Penelitian ini memberikan manfaat secara praktis
dalam mengatasi masalah perilaku kerja kontraproduktif.
(Gunawan & Santosa, Politik Organisasi Dan Dampaknya Politik adalah realitas kehidupan dalam sebuah organisasi. Organisasi
2012) Terhadap Komitment Organisasi, politik merupakan realitas sosial yang harus dihadapi oleh anggota
Kepuasan Kerja, Kinerja Dan organisasi itu sendiri dimana mereka melibatkan interaksi satu sama
Organizational Citizenship Behavior lain. Beberapa literatur menyebutkan bahwa ketika anggota suatu
(OCB) organisasi memiliki persepsi bahwa ada rasa politik dalam suatu
organisasi, yang harus memiliki hubungan dan akan memberikan
pengaruh terhadap komitmen organisasi, kepuasan kerja, kinerja kerja,
dan perilaku kewargaan organisasi (OCB). Selanjutnya, penelitian ini
mengkaji hubungan dan pengaruh antara organisasi politik terhadap
komitmen organisasi, kepuasan kerja, prestasi kerja, dan OCB. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa organisasi politik memiliki hubungan
dengan komitmen organisasi dan prestasi kerja tetapi tidak memiliki
hubungan dengan OCB. Organisasi politik juga berpengaruh terhadap
komitmen organisasi tetapi tidak berpengaruh terhadap kinerja dan
OCB. Hasil lainnya menyatakan bahwa kepuasan kerja tidak memenuhi
Nama Peneliti Judul Pembahasan
uji validitas.
(Saryono et al., 2022) Hubungan Antara Pemahaman Etika Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
Politik dan Kesadaran Hukum Dengan yang spesifik tentang budaya politik mahasiswa anggota organisasi
Budaya Politik Organisasi Mahasiswa kemahasiswaan STKIP Kusuma Negara Jakarta. Secara khusus (1)
Memperoleh informasi kajian hubungan antara pemahaman Pancasila
sebagai etika politik ketatanegaraan Indonesia dengan budaya politik
mahasiswa anggota anggota organisasi kemahasiswaan STKIP Kusuma
Negara Jakarta. (2) Memperoleh informasi kajian hubungan antara
kesadaran hukum sebagai alat rekayasa sosial dengan budaya politik
mahasiswa anggota organisasi kemahasiswaan STKIP Kusuma Negara
Jakarta. (3) Memperoleh informasi kajian hubungan kausalitas antara
pemahaman Pancasila sebagai etika politik dan kesadaran hukum
dengan budaya politik mahasiswa anggota organisasi kemahasiswaan
STKIP Kusuma Negara Jakarta. Berdasarkan penelitian ini terbuktilah
bahwa terdapat hubungan antara Pemahaman Etika Politik dan
Kesadaran Hukum dengan Budaya Politik Anggota Organisasi
Kemahasiswaan STKIP Kusuma Negara Jakarta. Implikasi dari
penelitian ini, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan baka Budaya
Politik ORMAWA sangat dipengaruhi oleh Pemahaman Etika Politik
dan Kesadaran Hukum mahasiswa anggota ORMAWA itu sendiri.
Untuk itu Budaya Politik Mahasiswa Anggota ORMAWA perlu
ditingkatkan, dengan cara aktif dalam urusan-urusan bersama,
mengorganisasikan diri sendiri pada sebuah kelompok, dan berani
menyampaikan aspirasi.
(Suci, 2017) Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi: Perguruan Tinggi (PT) didorong untuk mengembangkan Sistem
Dilema Politik Organisasi Dan Urgensi Penjaminan Mutu Internal (SKI) yang dapat membantu proses audit
Penggunaan Profesional Eksternal eksternal, akreditasi dan menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Nama Peneliti Judul Pembahasan
Fenomena umum IQAS PT selama ini masih jauh dari kata baku bahkan
cenderung manipulatif. Artikel berbasis literatur ini bertujuan untuk
meninjau peran kepemimpinan dalam praktik politik kampus dan
urgensi penggunaan profesional eksternal dalam rangka meningkatkan
penjaminan mutu internal di PT. Studi ini mengungkapkan bahwa
praktik politik kampus yang tidak tepat telah menjadi hambatan bagi
efektivitas IQAS. Perlu perubahan mendasar dari paradigma pimpinan
puncak, khususnya dalam kebijakan penempatan auditor internal.
Terobosan revolusioner untuk mempekerjakan profesional eksternal
untuk ditempatkan sebagai auditor internal tampaknya diperlukan,
khususnya untuk menjaga independensi dan objektivitas, serta untuk
memastikan kinerja yang berkualitas dari semua unit di PT.
2.5 Kerangka Konseptual

Sumber Daya Manusia merupakan hal yang sangat penting dalam suatu

organisasi, karena keefektifan dan keberhasilan suatu organisasi sangat tergantung

pada kualitas dan kinerja sumber daya manusia yang ada pada organisasi tersebut.

Kinerja sumber daya manusia (karyawan) yang tinggi akan mendorong

munculnya organizational citizenship behavior (OCB), yaitu perilaku melebihi

apa yang telah distandarkan perusahaan (Krietner & Kinicki, 2004).

Organizational Citizenship Behavior dapat timbul dari berbagai faktor

dalam organisasi, di antaranya karena adanya kepuasan kerja dari karyawan dan

komitmen organisasi yang tinggi (Robbin & Judge, 2007). Ketika karyawan

merasakan kepuasan terhadap pekerjaan yang dilakukannya, maka karyawan

tersebut akan bekerja secara maksimal dalam menyelesaikan pekerjaannya,

bahkan melakukan beberapa hal yang mungkin di luar tugasnya. Begitu juga

dengan ketika seseorang mempunyai komitmen yang tinggi terhadap

organisasinya, maka orang tersebut akan melakukan apapun untuk memajukan

perusahaannya karena keyakinannya terhadap organisasinya (Luthans, 1995).

Ketika seseorang mendapatkan kepuasan kerja dan mempunyai komitmen yang

tinggi terhadap organisasi, karyawan akan memberikan pelayanan yang baik dan

begitu juga sebaliknya, ketika karyawan saja tidak mengalami kepuasan maka

pelayanan yang diberikan kepada konsumen, dalam hal ini mahasiswa dan dosen

bisa tidak memuaskan.

Kepuasan kerja diartikan sebagai tanggapan emosional seseorang terhadap

aspekaspek di dalam atau pada keseluruhan pekerjaannya (Nawawi, 1998).


Keadaan emosional atau sikap seseorang tersebut akan diperlihatkan dalam bentuk

tanggung jawab, perhatian, serta perkembangan kinerjanya. Kepuasan kerja

merupakan respon afektif atau emosional dari sebuah pekerjaan (Krieter &

Kinicki, 2004). Salah seorang bisa merasakan kepuasan di satu aspek dan di aspek

yang lain. Robbins dan Judge (2007) menyatakan bahwa kepuasan kerja

merupakan perasaan positif tentang suatu pekerjaan yang merupakan hasil

evaluasi dari beberapa karakteristik. Dari pengertian tersebut di atas, perasaan

positif maupun negatif yang dialami karyawan menyebabkan seorang dapat

mengalami kepuasan maupun ketidakpuasan kerja merupakan masalah yang

kompleks, karena berasal dari berbagai elemen kerja, misalnya terhadap pekerjaan

mereka sendiri, gaji/upah, promosi, supervisi, rekan kerja, ataupun secara

keseluruhan.

Dari berbagai penelitian yang telah banyak dilakukan, ketika karyawan

ditanya tentang respon dari pekerjaan yang telah mereka lakukan, hasilnya

bervariasi untuk berbagai elemen kerja, Dari hasil penelitian, secara umum

karyawan merasakan kepuasan secara keseluruhan (Robbins & Judge, 2007).

Dalam pekerjaan, banyak sekali elemen yang berpengaruh terhadap kepuasan dan

ketidakpuasan. Seseorang dapat mengalami kepuasan untuk satu elemen

pekerjaan, tetapi tidak untuk elemen pekerjaan yang lain. Elemen-elemen

pekerjaan itu adalah: pekerjaan mereka sendiri, gaji/upah, promosi, supervisi,

rekan kerja, dan pekerjaan secara keseluruhan.

Krieter & Kinicki (2004) menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan

kepuasan dan ketidakpuasan adalah pemenuhan kebutuhan, pencapaian tujuan,


deviasi dari yang seharusnya diterima dengan yang didapatkan, dan keadilan.

Menurut Teori Herzberg, terdapat dua faktor yang menyebabkan kepuasan dan

ketidakpuasan. Pertama, faktor Motivator merupakan karakteristik pekerjaan

berkaitan dengan kepuasan pekerjaan, yaitu sejumlah kebutuhan yang apabila

dipenuhi akan menimbulkan kepuasan tetapi jika tidak dipenuhi akan mengurangi

kepuasan. Kedua, faktor Hygiene merupakan karakteristik pekerjaan berkaitan

dengan ketidakpuasan pekerjaan, yaitu sejumlah kebutuhan yang apabila dipenuhi

tidak akan meningkatkan motivasi, tetapi jika tidak dipenuhi akan menimbulkan

kepuasan. Faktor yang termasuk dalam faktor motivator adalah prestasi kerja,

promosi, tanggung jawab, pengakuan, dan kerja itu sendiri.

Sedangkan faktor yang termasuk hygiene faktor adalah hubungan antar

pribadi, keamanan kerja, kehidupan pribadi, keamanan kerja, kebijakan

administrasi, gaji, status, supervisi, dan kondisi kerja. Baik faktor motivator dan

hygiene sangat penting bagi pemeliharaan tingkat kepuasan pegawai. Kedua

faktor ini selalu berjalan seiring dengan aktivitas kerja seseorang dalam

organisasinya.

Komitmen organisasi adalah suatu keadaan seseorang karyawan yang

memihak organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya untuk

mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Robbins dan Judge

(2007) didefinisikan sebagai keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak

pada pekerjaan tertentu seseorang individu. Komitmen organisasional yang tinggi

berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Dalam organisasi

sekolah guru merupakan tenaga profesional yang berhadapan langsung dengan


siswa, maka guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik mampu

menjalankan berbagai kebijakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan mempunyai

komitmen yang kuat terhadap tempat dia bekerja.

Menurut Griffin (2004), komitmen organisasi adalah sikap yang

mencerminkan sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada

organisasinya. Seseorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan

akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi. Menurut Luthans (1995),

komitmen organisasi didefinisikan sebagai keinginan kuat untuk tetap sebagai

anggota organisasi tertentu keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan

organisasi; dan keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi.

Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan

pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi

mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta

kemajuan yang berkelanjutan.

Allen dan Mayer dalam Greenberg & Baron (2003) mengemukakan tiga

dimensi komitment organisasi. Pertama, komitmen afektif (affective

commitment). Mengacu pada keterikatan emosional, identifikasi serta keterlibatan

seorang karyawan pada suatu organisasi. Komitmen afektif seseorang akan

menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam suatu organisasi konsisten dengan

harapan-harapan dan memuaskan kebutuhan dasarnya dan sebaliknya. Komitmen

afektif menunjukkan kuatnya keinginan seseorang untuk terus bekerja bagi suatu

organisasi karena ia memang setuju dengan organisasi itu dan memang

berkeinginan melakukannya. Pegawai yang mempunyai komitmen afektif yang


kuat tetap bekerja dengan perusahaan karena mereka menginginkan untuk bekerja

di perusahaan itu.

Kerangka Berpikir

Politik
Sikap Kerja OCB
Organisasi

2.6 Hipotesis

Demikian adalah hipotesis dalam penelitian ini:


H1 : Variabel politik organisasi berpengaruh terhadap variabel sikap kerja
H2 : Variabel sikap kerja berpengaruh terhadap variabel OCB
H3 : Variabel politik organisais melalui variabel sikap kerja berpengaruh
terhadap variabel OCB
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis metode

korelasional. Menurut Creswell (2014), penelitian kuantitatif korelasional adalah

penelitian dengan menggunakan metode statistik yang mengukur pengaruh antara

dua variabel atau lebih. Penelitian ini ingin menguji pengaruh dari tiap komponen

dari politik organisasi terhadap OCB melalui sikap kerja menggunakan data dari

laporan kuesioner penelitian yang disebarkan pada objek penelitian oleh sebab itu

penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode korelasional.

3.2 Waktu dan Tempat

Lokasi penelitian adalah di RSUD Cut Nyak Dhien-Aceh Barat dengan

waktu penelitian akan berlangsung dengan time line sebagai berikut:

Tabel 3.1
Waktu Penelitian
Februari
Januari

Maret

April

Penulisan proposal penelitian


Mengumpulkan data
penelitian
Mengolah data penelitian
Menulis hasil penelitian
Revisi skripsi
3.3 Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek /subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulanya. Sample adalah bagian dari jumlah

dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono,2006:90). Populasi

dari penelitian ini adalah pegawai RSUD Cut Nyak Dhien baik dokter, perawat

dan tenaga administrasi kesehatan. Metode pengambilan sampel dalam penelitian

ini dilakukan dengan menggunakan metode convenience sampling. Sample

penelitian menerapkan teknik quota sampling dengan

3.4 Sumber Data

Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data primer yang

diperoleh dengan cara koleksi melalui kuesioner penelitian dimana data yang

diperoleh diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti. Penelitian ini juga

menggunakan data-data literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti

3.5 Definisi Konseptual dan Indikator

Adapun definisi konseptual dan indikator penelitian adalah sebagai

berikut:

Tabel 3.2
Definisi Konseptual dan indicator penelitian

Variabel Definisi Skala


Exogen Politik Politik tempat kerja adalah Likert 7
Organisasi proses dan perilaku yang dalam poin
interaksi manusia melibatkan
kekuasaan dan otoritas yang juga
merupakan alat untuk menilai
kapasitas operasional dan untuk
menyeimbangkan pandangan
yang beragam dari pihak yang
berkepentingan. Ini juga dikenal
sebagai politik kantor dan politik
organisasi. Ini melibatkan
penggunaan kekuatan dan
jejaring sosial di dalam tempat
kerja untuk mencapai perubahan
yang bermanfaat bagi individu di
dalamnya.
Intervening Sikap Kerja Pikiran dan perasaan puas atau
tidak puas dan dapat disimpulkan
sebagai suka dantidak suka
bekerja dengan kecenderungan
untuk merespons secara positif
atau negatif untuk mendapatkan
apa yang diinginkan di tempat
kerja.
Endogen OCB Perilaku karyawan yang secara
sukarela mengerjakan pekerjaan
yang melebihi dari standar tugas
yang diberikan kepadanya, demi
membantu keberlangsungan
perusahaan dalam mencapai
tujuannya

3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

3.6.1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu

kuesioner. Sebuah instrumen atau kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada

instrumen atau kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh

kuesioner tersebut (Ghozali, 2018:51). Uji signifikansi dilakukan dengan cara

membandingkan nilai r hitung dengan nilai r tabel. Di dalam menentukan layak


dan tidaknya suatu item yang akan digunakan, biasanya dilakukan uji signifikansi

koefisien korelasi pada taraf signifikansi 0,05 yang artinya suatu item dianggap

valid jika berkorelasi signifikan terhadap skor total. Jika r hitung lebih besar dari r

tabel dan nilai positif maka butir atau pertanyaan atau variabel tersebut dinyatakan

valid. Sebaliknya, jika r hitung lebih kecil dari r tabel, maka butir atau pertanyaan

atau variabel tersebut dinyatakan tidak valid

3.7.2. Uji Reliabilitas

Menurut Ghozali (2018:45) reliabilitas sebenarnya adalah alat untuk

mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk.

Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap

pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Uji reliabilitas

digunakan untuk mengukur konsistensi hasil pengukuran dari kuesioner dalam

penggunaan yang berulang. Jawaban responden terhadap pertanyaan dikatakan

reliabel jika masing-masing pertanyaan dijawab secara konsisten atau jawaban

tidak boleh acak. Dalam mencari reliabilitas dalam penelitian ini penulis

menggunakan teknis Cronbach Alpha untuk menguji reliabilitas, alat ukur yaitu

kompleksitas Dengan kriteria pengambilan keputusan sebagaimana dinyatakan

oleh Ghozali (2018:46), yaitu jika koefisien Cronbach Alpha > 0,70 maka

pertanyaan dinyatakan andal atau suatu konstruk maupun variabel dinyatakan

reliabel. Sebaliknya, jika koefisien Cronbach Alpha < 0,70 maka pertanyaan

dinyatakan tidak andal. Perhitungan reliabilitas formulasi Cronbach Alpha ini

dilakukan dengan bantuan program IBM SPSS 25. Jika dibuat dalam bentuk tabel
maka akan menjadi seperti berikut:

Tabel 3.3
Tingkat Reliabilitas
Koefisien Kriteria
> 0,9 Sangat reliabel
0,7 – 0,9 Reliabel
0,4 – 0,7 Cukup reliabel
0,2 – 0,4 Kurang reliabel
< 0,2 Tidak reliabel
Sumber: Imam Ghozali (2018)

3.7 Uji Asumsi Klasik

3.7.1 Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk melihat residual data terdistribusi normal

atau tidak. Menurut Priyatno (2014:90), standar data dikatakan normal jika > 0,05.

3.7.2 Uji Autokorelasi

Menurut Ghozali (2016:110), uji autokorelasi bertujuan untuk menguji

dalam model regresi linier apakah ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada

periode t-1. Menurut Sunyoto (2016:97), standar untuk sampel penelitian

dikatakan tidak terjadi autokorelasi adalah memiliki nilai Durbin-Watson diantara

-2 dan 2 atau -2 < DW < 2.

3.7.3 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel independen (Ghozali, 2016:105). Uji

multikolinearitas dilakukan dengan cara melihat nilai VIF pada variabel


independen, jika VIF lebih besar dari 10 maka data bebas dari gejala

multikolinearitas (Priyatno, 2014:99).

3.7.4 Uji Heteroskedastisitas

Menurut Priyatno (2014:108), uji heteroskedatisitas bertujuan untuk

mengetahui apakah dalam model regresi terjadi kesamaan varian residual pada

semua pengamatan. Uji koefisien korelasi spearman’s rho digunakan untuk uji

heteroskedastisitas, dengan standar jika sig. > 0,05 maka tidak terjadi

heteroskedastisitas (Priyatno, 2014:109).

3.8 Metode Analisa Data dan Uji Hipotesis

Data dalam penelitian ini diolah menggunakan aplikasi SPSS versi 20.

Tahap pertama, peneliti melakukan analisis data deskriptif. Tahap kedua,

dilakukan uji asumsi klasik. Tahap ketiga, dilakukan uji F untuk melihat

kecocokan model analisis dalam penelitian ini. Tahap keempat, peneliti

melakukan uji regresi untuk menguji pengaruh antar variabel. Tahap terakhir,

peneliti melakukan uji hipotesis.

3.8.1 Analisis Data Deskriptif

Analisis data deskriptif digunakan untuk memaparkan nilai minimum,

nilai maksimum, jangkauan, rata-rata, standar deviasi dan variansi. Tujuan dari

analisis ini adalah untuk menunjukkan gambaran hasil analisis berdasarkan

sampel yang diteliti.

3.9 Analisa Jalur


Penelitian ini menggunakan pengujian analisis jalur. Analisis jalur dapat

dilakukan setelah model dari penelitian memenuhi syarat lolos dari asumsi klasik.

Syarat tersebut adalah data harus terdistribusi secara normal, tidak mengandung

multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Uji analisis jalur adalah:

a. Analisis Jalur (Path Analysis) Untuk menguji pengaruh variabel

intervening digunakan metode analisis jalur (Path Analysis). Analisi

jalur merupakan perluasan dari analisis regresi linear berganda, atau

analisi jalur adalah perluasan analisis regresi untuk menaksir hubungan

kualitas antar variabel yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan

teori (Ghazali, 2011). Analisis jalur sendiri tidak dapat menentukan

hubungan sebab akibat dan juga tidak dapat digunakan sebagai

substitusi bagi peneliti untuk melihat hubungan kualitas antar variabel.

Hubungan kualitas antar variabel telah dibentuk dengan model

berdasarkan landasan teoritis. Apa yang dapat dilakukan analisis jalur

adalah menentukan pola hubungan antara tiga atau lebih variabel dan

tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi atau menolak hipotesis

kasualitas imajenir.

b. Uji ketepatan model

1. Uji Signifikansi Simultan (Uji statistik F). Uji statistik F pada

dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau

bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara

bersama-sama terhadap variabel dependen atau terikat. (Ghozali,

2012:98). Uji F dilakukan dengan membandingkan signifikansi


nilai F. Jika hasil Fhitung > F-tabel maka model yang dirumuskan

sudah tepat (googness of fit). (Ghozali,2009).

2. Uji Koefisien Determinasi R2. Koefisien determinasi (R²)

digunakan untuk mengetahui seberapa besar varian dari variabel

dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Nilai

koefisien determinasi adalah antara 0 - 1. Apabila nilainya

mendekati satu berarti variabelvariabel independen memberikan

hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi

variasi variabel dependen. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan

variabelvariabel independen dalam menjelaskan variabel dependen

amat terbatas. Setiap tambahan satu variabel independen, maka R2

meningkat, nilai R2 dapat naik atau turun apabila satu variabel

independen ditambahkan dalam model (Ghozali, 2011:97).

c. Pengujian Hipotesis

Uji Statistik t (Uji t). Uji t dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh

pengaruh satu variabel independen secara individual dalam

menerangkan variasi variabel dependen (Ghazali,2011). Uji t

dilakukan dengan cara membandingkan nilai statistik t dengan titik

kritis menurut tabel. Apabila nilai statistik t hasil perhitungan lebih

tinggi dibandingkan nilai t tabel, kita menrima hipotesis alternatif yang

menyatakan bahwa suatu variabel independen secara individual

mempengaruhi variabel dependen.


Daftar Pustaka

Abraham, S dan P. Cox. 2007. “Analyzing The determinants of Narrative


Risk Information in UK FTSE 100 Annual Reports.” British Accounting
Review. Vol. 39. No.3. PP. 227-248.
Aljifri, Khaled dan Khaled Hussainey. 2007. “The Determinant of Forward
Looking Information in Annual Reports of UAE.” International bussiness
Review. Vol. 16. No.1. PP. 1-26.
Almilia, Luciana Spica dan Ikka Retrianasari. 2007. “Analisis Pengaruh
Karakteristik Perusahaan Terhadap Kelengkapan Pengungkapan Dalam
Laporan Tahunan Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di BEJ.”
Seminar nasional FE Universitas Trisakti.
Ampri, Irfa. 2006. “Manajemen Risiko di Lingkungan Pemerintah: Pengantar
Aplikasi Pada Unit-Unit Departemen Keuangan.” Jurnal Akuntansi
Pemerintah. Vol 2. No. 1. PP. 79-91.
Amran, Azlan, Abdul Manaf Rosli Bin dan Bin Che Haat Mohd Hassan. 2009.
“Risk Reporting An Explanatory Study on Risk management Disclosure in
Malaysian Annual Reports.” Managerial Auditing Journal. Vol 24. No.1.
PP. 39-57.
Barako, Dulacha G; Phil Hancock dan H. Y. Izan. 2006. “Factors Influencing
Voluntary Corporate Disclosure by Kenyan Companies.” Corporate
Governance: An International Review. Vol 14. No. 2. PP. 107-125.
Bastian, Indra, 2006. ”Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar.”
Jakarta. Erlangga.
Beretta, Sergio dan Saverio Bonzzolan. 2004. “A Framework for The Analysis of
Firm Risk Communication.” The International Journal of Accounting. Vol.
39. No. 3. PP. 265-288.
Committee of Sponsoring Organization (COSO) of the Treadway Commission.
1992. “What is COSO: Background and Events Leading to Internal
Control-Integrated Framework.”
Damanpour, Fariborz. 1991. “Organizational Innovation: A Meta-Analiysis Of
Effects Of Determinants And Moderators.” Academy of Management
Journal. Vol. 34. No. 3. PP. 555-590.
Dwirandra. A.A.N.B. 2007. “ Efektivitas dan Kemandirian Keuangan Daerah
Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali Tahun 2002-2006. Skripsi FE
Udayana.
Emm, E. Katerina; Gerald D Gay dan Chen Miaulin. 2007. “Choices and Best
Practice in Corporate Risk Management Disclosure.” Journal of Applied
Corporate Finance. Vol.9. No.4. PP. 17-28.
Fitriani. 2001. “Signifikasi Perbedaan Tingkat Kelengkapan Pengungkapan Wajib
dan Sukarela Pada Laporan Keuangan Perusahaan Publik Yang Terdaftar
Di Bursa Efek Jakarta.” Makalah dipresentasikan dalam Simposium
Nasional Akuntansi IV Surabaya.
Ghozali, Imam. 2006. ”Aplikasi Analisis Multivariat dengan
Program SPSS”. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
--------------------. 2009. “Ekonometrika.” Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Halim, Abdul, 2002. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah.
Jakarta: Salemba Empat.
Hassan, M.K. 2009. “UAE corporations-Specific Characteristik and Level of Risk
Disclosure.” Managerial Auditing Journal. Vol. 24. No. 7. PP. 668-687.
Indra, Sigit Lesmana. 2010. “Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Terhadap
Tingkat Pengungkapan Wajib Di Indonesia.” Tesis FE Universitas Negeri
Sebelas Maret.
Institute of Chartered Accountants in England and Wales. 2002. “Financial
Reporting of Risk-Proposals for a Statement Business Risk.” ICAEW.
Lajili, Kaoutar dan Daniel Zeghal. 2005. “A Content Analysis of Risk
Management Disclosure in Canadian Annual Report.” Canadian Journal of
Administrative Science. Vol. 22. No. 2. PP. 125-142.
Linsley, M Philip dan Michael J. Lawrence. 2007. “Risk Reporting by The
Largest UK Companies: Readability and Lack of Obfuscation.”
Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol.20. No.4. PP. 620-
627.
Machfoedz, Mas’ud. 1994. “Financial Ratio Analysis and The Prediction of
Earnings Changes in Indonesia.” Gajah Mada University Business review.
Vol. 3. No. 7. PP. 114-137.
Mahmudi. 2007. “Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.”
Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Mandasari, Putriesti. 2009. “Practice of Mandatory Disclosure Compliance, In
Indonesian Local Government.” Tesis FE UNS
Mardiasmo. 2009. “ Akuntansi Sektor Publik.” Yogyakarta: Penerbit Andi.
----------, 2005. “Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui
Akuntansi
Sektor Publik:Suatu Sarana Good Governance.” Jurnal Akuntansi Pemerintah.
Vol.2. No. 1. PP. 1-17.
----------, 2005. “Elaborasi Reformasi Akuntansi sektor Publik: Telaah Kritis
Terhadap
Upaya Aktualisasi Kebutuhan Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah.”
JAAI. Vol. 6. No. 1. PP. 65-82
Marwata, 2001. “Hubungan Antara Karakteristik Perusahaan dan Kualitas
Ungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Perusahaan Publik di
Indonesia.” Makalah dipresentasikan dalam Simposium Nasional
Akuntansi IV.
Okkarisma, Diastiti Dewi. 2010. “Pengaruh Jenis Usaha, Ukuran Perusahaan dan
Financial Leverage Terhadap Tindakan Perataan Laba Pada Perusahaan
Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.” Skripsi FE Universitas
Diponegoro.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia.
Rasmussen, Jens. 1997. “Risk Management in Dynamic Society a Modelling
Problem.” Safety Science Vol. 27 No. 2. PP. 183-213.
Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60
Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Daerah.
-------------------------.2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
-------------------------.2005. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 24
Tahun 2005 Tanggal 13 Juni 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Pernyataan No. 04
Retno, Reni Anggraeni. 2006. “Pengungkapan Informasi Sosial Dan Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial Dalam
Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang
Terdaftar Bursa Efek Jakarta).” Simposium Nasional Akuntansi IX.
Sitepu, Andre Christian. 2009. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Tahunan Pada Perusahaan
Manufaktur Yang Terdaftar di BEJ.” Skripsi FE Universitas Sumatera
Utara.
Sofi, Nazila Istna Taures. 2011. “Analisis Hubungan Antara karakteristik
Perusahaan Dengan Pengungkapan Risiko”. Skripsi FE Universitas
Diponegoro.
Wibisono, Nuharibnu. 2010. “Analisis Kinerja dan Keberpihakan APBD Untuk
Rakyat.” Tesis FE Universitas Sebelas Maret.
Widiastuti, Lusy dan Binsar H. Simanjuntak. 2004, “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta.” Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia. Vol 7. No.3. PP. 251-366. www.wikipedia.com
akses 24 Januari 2011
Yulita, Lidia. 2010. “The Effect Characteristics of Company Toward Corporate
Social Responsibility Disclosures in Minning Company Listed at
Indonesia Stock Exchange.” http://www.gunadharma.ac.id.
Yudawijaya, Yogy Budi. 2010. Praktik Risk Management Disclosure Pada
Pemerintah Daerah. Tesis Magister Akuntansi FE UNS-Tidak Dipublikasi.
Yunanto.2010. “Intelectual Capital Disclosure dan Karakteristik Pemerintah di
Indonesia.” Tesis FE Universitas Negeri Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai