Anda di halaman 1dari 45

Bagian IV

Fisiologi, Patofisiologi dan Pengaturan Anestesi

Bab 19

Fisiologi & Anestesi Kardiovaskuler

Konsep Pokok

 Berkebalikan dengan potensi aksi neuron, peningkatan potensi aksi


jantung diikuti fase plateu yang bertahan 0,2-0,3 detik. Dimana potensi
aksi otot lurik dan saraf didasarkan pada pembukaan mendadak channel
Na cepat pada membran sel, pada otot jantung mengacu pada pembukaan
channel Na cepat dan channel Na lambat.
 Halothan, enfluran, dan isofluran menekan otomatisasi nodus SA. Agen-
agen itu tampaknya hanya berdampak sedang pada nodus AV,
memperpanjang waktu konduksi dan meningkatkan refraktorinya.
Kombinasi efek ini hampir menjelaskan seringnya terjadi takikardi
junctional ketika diberikan anti kolinergik pada pasien yang dianestesi
inhalasi dan sedang mengalami sinus bradikardi, sebab pacemaker
junctional lebih mudah terakselerasi daripada nodus SA.
 Penelitian menyebutkan bahwa semua agen anestesi inhalasi menekan
kontraktilitas jantung dengan menekan masuknya Ca ke dalam sel selama
masa depolarisasi (mempengaruhi channel Ca tipe L dan T), merubah
pergerakan lepasnya dan pengambilan kembali ke dalam retikulum
sarkoplasma, serta menekan sensitivitas protein kontraktil terhadap Ca.
 Karena indeks kardiak normal (CI) memiliki rentang yang luas,
merupakan tehnik pengukuran yang relatif tidak sensitif untuk performa
ventrikel. Abnormalitas CI akan menggambarkan gangguan ventrikel
secara kasar.
 Dalam keadaan tidak adanya hipoksia atau anemia berat, pengukuran
saturasi atau tekanan oksigen vena campuran adalah penentu terbaik
kelayakan cardiac output.
 Karena kontribusi atrial ke pengisian ventrikel sangat penting untuk
menjaga tekanan diastolik ventrikel rata-rata yang rendah, pasien dengan
pengurangan ventricular compliance paling dipengaruhi oleh hilangnya
sistole atrium dengan waktu normal.
 Cardiac output pasien dengan gangguan ventrikel kanan maupun kiri
yang bermakna sangat sensitif terhadap peningkatan akut afterload.
 Fraksi ejeksi ventrikel, fraksi volume end-diastolic ventrikel paling sering
digunakan untuk pengukuran klinis fungsi sistolik.
 Fungsi diastolik ventrikel kiri dapat dinilai menggunakan echokardiografi
Doppler melalui pemeriksaan transthoraks atau transesofagus.
 Karena endokardium merupakan bagian yang paling lemah terhadap
tekanan intramural, endokardium cenderung paling rentan terhadap
iskemia jika terjadi penurunan tekanan perfusi koroner.
 Proses gagal jantung sangat tergantung pada katekolamin yang beredar
dalam darah. Penarikan mendadak outflow simpatis atau penurunan
mendadak kadar katekolamin dalam darah, seperti yang terjadi setelah
induksi anestesi dapat menyebabkan dekompensasi kordis akuta.

Ahli anestesi harus memiliki pengetahuan mendalam mengenai fisiologi


kardiovaskuler, untuk dampaknya yang nyata terhadap ilmu anestesi, dan
penanganan pasien modern dan aplikasinya dalam praktek. Bab ini
meringkaskan fisiologi jantung dan sirkulasi sistemik serta patofisiologi gagal
jantung. Sirkulasi pulmoner dan fisiologi darah dan pertukaran gizi
dibicarakan selanjutnya.
Sistem sirkulasi terdiri dari jantung, pembuluh darah, dan darah.
Fungsinya adalah menyediakan oksigen dan gizi yang dibutuhkan jaringan
serta membawa produk sisa metabolisme. Jantung mendorong darah melalui 2
jalur vaskuler, dalam sirkulasi pulmoner darah mengalir melalui membran
alveoler-kapiler, membawa oksigen, dan mengeliminasi CO2. Pada sirkulasi
sitemik, darah teroksigenasi dipompa ke jaringan yang memetabolisasi, dan
membawa produk sisanya ke paru, ginjal, atau hepar.
Jantung
Walaupun secara anatomis adalah satu organ, jantung dapat berfungsi
sebagai 2 organ pompa, atrium dan ventrikel kanan, serta atrium dan ventrikel
kiri. Atria berperan sebagai pompa pertama dengan kekuatan rata-rata, sedang
ventrikel adalah pompa utamanya. Ventrikel kanan menerima darah dari
sistem vena (darah deoksigenasi) dan memompanya ke sirkulasi pulmoner,
sedang ventrikel kiri menerima darah dari vena pulmoner (darah
teroksigenasi) dan memompanya ke sirkulasi sistemik. Empat katup yang
normal memastikan tidak terjadi aliran dengan arah yang tidak tepat ke setiap
ruangan. Kerja pompa normal jantung adalah hasil dari serangkaian kejadian
elektrik dan mekanik yang kompleks.
Jantung terdiri dari otot serat khusus dalam jaringan ikat lurik. Otot
jantung dapat dibagi menjadi atrial, ventrikuler, dan pacemaker khusus, serta
jaringan ikat. Sel otot jantung yang secara alamiah dapat tereksitasi sendiri dan
pengaturannya yang khusus menyebabkan jantung mampu berfungsi sebagai
pompa yang sangat efektif. Hubungan dengan resistensi rendah yang berseri
(diskus interkalatus) antara sel-sel miokardium menyebabkan penyebaran
aktivitas elektrik yang cepat namun teratur pada tiap ruangan. Aktivitas
elektrik segera menyebar dari satu atrium ke atrium lainnya, satu ventrikel ke
ventrikel lainnya, melalui jalur konduksi khusus. Tidak adanya hubungan
langsung antara atrium dan ventrikel kecuali melalui nodus AV
memperlambat waktu konduksi dan memungkinkan kontraksi atrium
mendahului ventrikel.
Potensi Aksi Kardial
Membran sel miokardium normalnya bersifat permeabel terhadap K,
walaupun relatif tidak terhadap Na. Ikatan membran antara ATPase-Na-K
akan meningkatkan konsentrasi K intraseluler. Na intraseluler dijaga agar tetap
rendah, sedang konsentrasi K intraseluler dijaga tetap tinggi secara relatif
terhadap ruangan ekstraseluler. Impermeabilitas relatif membran terhadap Ca
juga menjaga gradien Ca ekstraseluler terhadap membran yang tinggi.
Pergerakan K keluar dari sel dan melawan gradien konsentrasi menyebabkan
hilangnya kekuatan positif dari dalam sel. Potensi elektrik akan terbangun
melintasi membran sel, dengan kekuatan dalam sel lebih negatif dibandingkan
di luar sel, karena anion tidak menyertai K. sehingga, potensi membran saat
istirahat mewakili keseimbangan antara 2 kekuatan, pergerakan K sesuai
gradien konsentrasinya, dan penarikan elektrik dari ruangan intraseluler yang
bersifat negatif untuk ion K.
Potensi aksi istirahat pada sel ventrikel normal sekitar -80 sampai -90mV.
Sedang pada jaringan yang dapat tereksitasi lainnya seperti saraf dan otot
lurik, ketika potensi membran sel menjadi lebih negatif dan mencapai nilai
ambang batas, potensi aksi yang khas akan terjadi (proses depolarisasi).
Potensi aksi sementara meningkatkan potensi membran sel miokardium
sampai 20mV. Berkebalikan dengan potensi aksi neuron, peningkatan potensi
aksi jantung diikuti fase plateu yang bertahan 0,2-0,3 detik. Dimana potensi
aksi otot lurik dan saraf didasarkan pada pembukaan mendadak channel Na
cepat pada membran sel, pada otot jantung mengacu pada pembukaan channel
Na cepat dan channel Na lambat. Proses depolarisasi juga disertai penurunan
sementara permeabilitas K. restorasi bertahap permeabilitas K dan penutupan
channel Na dan Ca akan membawa potensi membran ke normal.

Setelah depolarisasi, sel kembali ke tahap rangsang di bawah depolarisasi


normal sampai fase 4. Periode refraktori yang efektif adalah interval minimal
antara dua impuls depolarisasi. Pada sel miokardium konduksi cepat, periode
ini sangat berkaitan dengan durasi potensi aksi. Sebaliknya, periode refraktori
efektif dalam sel miokardium konduksi lambat dapat melebihi durasi potensi
aksi.
Ada beberapa tipe channel ion pada membran sel jantung. Beberapa
diaktifkan dengan perubahan voltase membran sel, sedang lainnya dibuka
hanya terikat oleh ligan. Gerbang voltase luar (m) channel Na cepat terbuka
pada voltase -60 sampai -70 mV dan gerbang dalamnya (h) menutup pada
voltase -30 mV. Gerbang voltase T (sementara) channel Ca berperan pada fase
0 depolarisasi. Pada fase 2 (fase plateu), Ca mengalir masuk melalui gerbang
voltase L (tahan lama) channel Ca. Tiga jenis utama channel Kyang berperan
dalam repolarisasi. Tipe pertama menyebabkan arus K keluar sementara (ITo),
tipe kedua berperan pada arus pembalikan pendek (IKR), dan gerbang ketiga
memproduksi arus pembalikan yang bekerja lambat (IKS) yang
mengembalikan potensi membran sel menjadi normal.

Inisiasi & Konduksi Impuls Jantung


Impuls jantung normalnya berasal dari nodus SA, suatu kelompok sel
pacemaker khusus dalam sulkus terminalis, di posterior perbatasan atrium kiri
dan vena cava superior. Sel-sel ini nampaknya memiliki membran luar yang
mengeluarkan Na (kemungkinan juga Ca). Influks lambat Na yang
menyebabkan potensi membran istirahat bernilai kurang negatif (-50 sampai -
60 mV), memiliki 3 nilai penting: inaktivasi konstan channel Na cepat, potensi
aksi dengan ambang -40mV yang diakibatkan pergerakan ion menyeberangi
channel Ca lambat, dan depolarisasi spontan yang terjadi secara reguler.
Selama tiap siklus, kebocoran Na intraseluler menyebabkan membran sel
menjadi kurang negatif secara progresif, sehingga jika ambang batas
terlampaui, Channel Ca akan terbuka, permeabilitas K menurun, dan terjadi
potensi aksi. Pengembalian permeabilitas K normal akan menyebabkan sel-sel
nodus SA kembali pada potensi membran saat istirahatnya.
Impuls yang dibangun pada nodus SA normalnya secara drastis dibentuk
di atrial dan nodus AV. Serabut atrial khusus dapat meningkatkan konduksi
baik di atrium kiri dan nodus AV. Nodus AV yang terletak di dinding septum
atrium kanan tepat di depan terbukanya sinus koroner dan di atas insersi
bagian septum katup trikuspid dapat dibagi menjadi 3 bagian, regio junctional
atas (AN), regio nodus tengah (N), dan regio junctional bawah (NH).
Walaupun regio N tidak memiliki aktivitas intrinsik spontan (otomatisasi),
namun kedua area junctional dapat memiliki aktivitas tersebut. Tingkat
depolarisasi spontan lambat pada area junctional AV (40-60 kali/menit)
menyebabkan nodus SA yang lebih cepatlah yang mengatur irama jantung.
Faktor lain yang dapat menurunkan kecepatan depolarisasi nodus SA atau
meningkatkan otomatisasi area junctional AV akan menyebabkan area
junctional berperan sebagai pacemaker jantung.
Impuls nodus SA normalnya mencapai nodus AV setelah 0,04 detik dan
kemudian dikonduksikan setelah 0,11 detik berikutnya. Perlambatan ini adalah
akibat serabut miokardium yang terkonduksi lambat dalam nodus AV, yang
tergantung pada channel Ca lambat untuk penyebaran potensi aksinya.
Sebaliknya, konduksi impuls antara sel bersebelahan di atrial dan ventrikel
sebagian besar diakibatkan aktivasi dan inaktivasi channel Na cepat. Serabut
rendah nodus AV bergabung membentuk bundle His. Kelompok serat khusus
ini melewati septum interventrikuler lalu terbagi menjadi cabang kanan dan
kiri, lalu membentuk serabut Purkinje yang kompleks, yang mendepolarisasi
kedua ventrikel. Berkebalikan dengan jaringan nodus AV, serabut His-
Purkinje paling cepat mengkonduksi jantung, menyebabkan depolarisasi
bersamaan seluruh endokardium kedua ventrikel (normalnya dalam 0,03
detik). Penyebaran impuls endokardium ke epikardium melalui otot ventrikel
memerlukan tambahan waktu 0,03 detik. Sehingga, impuls dari nodus SA
normalnya membutuhkan 0,2 detik untuk mendepolarisasi seluruh jantung.
Halothan, enfluran, dan isofluran menekan otomatisasi nodus SA. Agen-
agen itu tampaknya hanya berdampak sedang pada nodus AV, memperpanjang
waktu konduksi dan meningkatkan refraktorinya. Kombinasi efek ini hampir
menjelaskan seringnya terjadi takikardi junctional ketika diberikan anti
kolinergik pada pasien yang dianestesi inhalasi dan sedang mengalami sinus
bradikardi, sebab pacemaker junctional lebih mudah terakselerasi daripada
nodus SA. Efek elektrofisiologis agen inhalasi pada serabut Purkinje dan otot
ventrikel bersifat kompleks karena interaksi otonom yang terjadi di dalamnya.
Baik sifat aritmogenik dan antiaritmianya telah dijelaskan. Sifat antiaritmia
mungkin disebabkan penekanan influks Ca langsung, sedang sifat aritmogenik
mungkin melibatkan potensiasi katekolamin. Efek aritmogenik memerlukan
aktivasi reseptor adrenergik α1 dan β1. Agen induksi intravena memiliki efek
elektrofisiologis yang terbatas pada dosis klinis umumnya. Opioids, terutama
fentanil dan sufentanil, dapat mendepresi konduksi jantung, meningkatkan
konduksi AV dan periode refraktori, dan memperpanjang durasi potensi aksi
serabut Purkinje.
Anestetika lokal memiliki efek elektrofisiologis yang penting pada
jantung jika konsentrasinya dalam darah dihubungkan dengan toksisitas
sistemik. Pada konsentrasi rendah, lidokain memiliki efek terapetik pada
elektrofisiologis. Pada konsentrasi tinggi, anestesi lokal mendepresi konduksi
dengan berikatan dengan channel Na cepat, pada konsentrasi lebih tinggi lagi
agen ini akan mampu mendepresi nodus SA. Anestesi lokal paling poten,
bupivacain dan etidocain serta ropivacain (tetapi terutama pada bupivacain)
memiliki dampak paling penting pada jantung, terutama serabut Purkinje dan
otot ventrikel. Bupivacain mengikat channel Na cepat yang tidak teraktivasi
dan lambat memisahkan diri. Dapat menyebabkan sinus bradikardi yang
bermakna, dan sinus nodus arest seperti juga aritmia ventrikuler maligna.
Penghambat Channel Ca adalah komponenorganik yang menghambat
influks Ca melalui channel tipe L, tetapi tidak tipe T. Penghambat
dihidropiridin seperti nifedipin akan menyumbat channel, sedang agen lain
seperti verapamil, dan diltiazem (dengan kemampuan kecil) mengikat channel
pada keadaan depolarisasi inaktivasinya (hambatan yang tergantung keadaan
obyek).
Mekanisme Kontraksi
Sel miokardium berkontraksi akibat interaksi dua protein yang
bertumpangan, dan kaku, yaitu aktin dan miosin. Protein ini terfiksasi dalam
posisi tiap selnya, baik dalam kontraksi maupun relaksasi. Distrofin, protein
intraseluler ukuran besar, menghubungkan aktin ke membran sel (sarkolema).
Pemendekan sel terjadi ketika aktin dan miosin berinteraksi dan bergeser
terhadap satu sama lain. Biasanya interaksi ini dicegah karena adanya 2
protein, troponin dan tropomiosin, troponin terdiri dari 3 jenis, troponin I, C
dan T. Troponin diikat pada aktin dengan interval teratur, sedang tropomiosin
berada di pusat aktin. Peningkatan konsentrasi Ca intraseluler (dari 10-7 ke
10-5 mol/L) menyebabkan kontraksi karena troponin C berikatan dengan ion
Ca. Perubahan mendasar yang diakibatkannya adalah terpaparnya sisi aktif
aktin atas kerja protein-protein pengatur, sehingga dapat membuat jembatan
dengan miosin (pada area mereka bertumpangan). Area aktif yang berfungsi
pada miosin adalah area ATPase dependen Mg, dimana aktivitasnya dipacu
oleh peningkatan Ca intraseluler. Serangkaian ikatan dan pelepasan terjadi
pada tiap-tiap jembatan miosin ke arah sisi aktif aktin yang berikutnya. Selama
pengikatan ini dikonsumsi ATP. Relaksasi terjadi jika Ca secara aktif dipompa
kembali masuk ke retikulum sarkoplasmik oleh ATPase-Ca-Mg; yang
mengakibatkan jatuhnya konsentrasi Ca intraseluler, sehingga kompleks
troponin-tropomiosin dapat mencegah interaksi antara aktin dan miosin.
Pasangan Eksitasi-Kontraksi
Jumlah Ca yang dibutuhkan untuk memulai proses kontraksi melebihi
yang memasuki sel melalui channel lambat selama fase 2. Jumlah kecil yang
memasuki channel lambat akan memacu pelepasan Ca yang disimpan
intraseluler (pelepasan Ca yang bergantung pada Ca) dalam sisterna di
retikulum sarkoplasma. Potensi aksi sel otot lalu mendepolarisasi sistem T,
yaitu pemanjangan tubuler membran sel yang melintang dalam sel seperti
serabut otot, melalui reseptor dihidropiridin (channel Ca gerbang bervoltase).
Peningkatan awal pada Ca intraseluler memacu arus Ca yang lebih besar untuk
masuk melalui reseptor rianodin, channel Ca yang tidak tergantung voltase,
pada retikulum sarkoplasma. Selama relaksasi, ketika terjadi penutupan
channel lambat, ATPase yang terikat membran akan secara aktif membawa
kembali Ca ke dalamretikulum sarkoplasma. Ca juga dikeluarkan ke
ekstraseluler melalui pertukaran Ca intraseluler dengan Na intraseluler melalui
ATPase yang terletak di membran. Karenanya relaksasi jantung juga
memerlukan ATP.
Jumlah Ca intraseluler yang tersedia, kecepatan penghantaran, dan
kecepatan pengambilan menggambarkan secara berurutan ketegangan
maksimal yang terjadi, tingkat kontraksi, dan kecepatan relaksasi. Stimulasi
simpatis meningkatkan kekuatan kontraksi dengan cara meningkatkan
konsentrasi Ca intraseluler melalui peningkatan cAMP (Adenosin monofosfat
siklik) yang dimediasi reseptor β1 adrenergik melalui kerja protein stimulator
G. peningkatan cAMP membutuhkan penambahan channel Ca yang terbuka.
Lebih lagi, agonis adrenergik meningkatkan kecepatan relaksasi dengan
meningkatkan ambilan Ca melalui retikulum sarkoplasma. Inhibitor
fosfodiesterase seperti teofilin, amrinon, dan milrinon menyebabkan efek yang
nyaris sama dengan mencegah penguraian cAMP intraseluler. Digitalis
meningkatkan konsentrasi Ca intraseluler melalui penghambatan ATPase-Na-
K yang terikat di membran, menyebabkan sedikit peningkatan Na intraseluler
sehingga terjadi peningkatan arus masuk Ca akibat mekanisme pertukaran Na-
Ca. Glukagon meningkatkan kontraktilitas dengan menaikkan kadar cAMP
intraseluler melalui aktivasi reseptor noradrenergik spesifik. Sebaliknya,
pelepasan asetilkolin akibat stimulasi nervus vagus menekan kontraktilitas
dengan meningkatkan cGMP (Guanosin monofosfat siklik) dan menghambat
adenil siklase; keduanya dimediasi oleh protein inhibitor G. asidosis
menghambat channel Ca lambat akibatnya menekan kontraktilitas jantung,
dengan cara merubah pergerakan Ca intraseluler.
Penelitian menyebutkan bahwa semua agen anestesi inhalasi menekan
kontraktilitas jantung dengan menekan masuknya Ca ke dalam sel selama
masa depolarisasi (mempengaruhi channel Ca tipe L dan T), merubah
pergerakan lepasnya dan pengambilan kembali ke dalam retikulum
sarkoplasma, serta menekan sensitivitas protein kontraktil terhadap Ca.
Halothan dan enfluran tampaknya lebih kuat menekan kontraktilitas dibanding
isofluran, sevofluran, dan desfluran. Depresi jantung yang disebabkan anestesi
dipotensiasi oleh hipokalsemia, hambatan β adrenergik, dan Ca channel
bloker. Nitro-oksida juga menyebabkan penurunan kontraktilitas yang
tergantung dosisnya dengan menekan tersedianya Ca intraseluler saat
kontraksi. Mekanisme depresi jantung langsung dari agen anestesi intravena
tidak jelas dijabarkan, kemungkinan melalui cara yang sama. Dari semua agen
induksi intravena mayor, ketamin tampaknya memiliki efek depresan langsung
pada kontraktilitas yang paling minimal. Agen anestesi lokal juga menekan
kontraktilitas jantung dengan mengurangi arus masuk Ca, efek ini berkuran
sesuai penurunan dosis yang terjadi. Bupivacain, tetracain dan ropivacain
menyebabkan depresi lebih lanjut daripada lidocain dan kloroprocain.
Inervasi Jantung
Serabut parasimpatis menginervasi atrial dan jaringan penyokong.
Asetilkolin bertindak sebagai reseptor muskarinik jantung (M2) untuk
memproduksi efek kronotropik, dromotropik, dan inotropik negatif.
Sebaliknya, serabut simpatis terdistribusi lebih meluas di jantung. Serat
simpatis jantung berasal dari korda spinalis thorakal (T1-T4) dan melintasi
jantung melalui ganglion servikalis (stelata) lalu sebagai saraf jantung.
Pelepasan Norepinefrin menyebabkan efek kronotropik, dromotropik, dan
inotropik positif melalui aktivasi reseptor β1 adrenergik. Reseptor β2
adrenergik jumlahnya lebih sedikit dan sebagian besar terletak di atrial,
efeknya meningkatkan denyut jantung, dan kontraktilitas namun dalam kadar
yang lebih kecil. Reseptor α1 adrenergik memiliki efek inotropik positif.
Inervasi otonom jantung memiliki keberat-sisian, karena nervus vagus
kanan dan trunkus simpatis kanan mempengaruhi nodus SA, sedang nervus
vagus kiri dan trunkus simpatikus kiri mempengaruhi modus AV. Efek vagal
sering memiliki awitan yang cepat namun juga cepat usai, sedang pengaruh
simpatis biasanya awitan dan selesainya lebih lambat. Aritmia sinus adalah
variasi siklik denyut jantung yang berhubungan dengan respirasi (meningkat
selama inspirasi dan menurun saat ekspirasi, akibat perubahan siklus tonus
vagus.

Siklus Jantung
Siklus jantung dapat diterangkan baik melalui cara elektrik dan mekanis.
Sistolik mengacu pada kontraksi dan diastolik pada relaksasi. Sebagian besar
pengisian diastolik ventrikel terjadi secara pasif sebelum kontraksi atrium.
Kontraksi atrium menyumbangkan 20-30% isi ventrikel. Ada 3 gelombang
yang dapat dikenali dalam pelacakan tekanan atrium. Gelombang a adalah
sistolik atrium. Gelombang c mendahului kontraksi ventrikel, dan dikatakan
gelombang ini diakibatkan penonjolan katup AV ke dalam atrium. Gelombang
v adalah hasil meningkatnya tekanan venous return sebelum katup AV terbuka
kembali. Penurunan x adalah menurunnya tekanan antara gelombang c dan v,
disebabkan penarikan atrium oleh kontraksi ventrikel. Inkompetensi katup AV
pada kedua sisi jantung meniadakan penurunan x, sehingga nampak
gelombang cv yang nyata. Penurunan y mengikuti gelombang v dan mewakili
penurunan tekanan atrium ketika katup AV terbuka. Lekuk pada pelacakan
tekanan aorta disebut insisura dan mewakili aliran darah kembali sementara ke
ventrikel kiri tepat sebelum katup aorta tertutup.

Penentu Performa Ventrikel


Pembicaraan mengenai fungsi ventrikel mengacu pada ventrikel kiri,
tetapi konsep yang sama juga diaplikasikan pada ventrikel kanan. Walaupun
ventrikel dianggap berfungsi secara terpisah, telah terbukti adanya saling
ketergantungan. Lebih lagi, faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sistolik
dan diastolik telah dapat dibedakan. Fungsi sistolik melibatkan ejeksi
ventrikel, sedang fungsi ventrikel berhubungan dengan pengisian ventrikel.
Fungsi sistolik ventrikel sering disamakan dengan cardiac output, yang
dapat didefinisikan sebagai volume darah yang dipompa jantung per menitnya.
Karena kedua ventrikel berfungsi dalam satu rangkaian, hasilnya biasanya
setara. Cardiac output digambarkan dalam persamaan berikut :
CO = SV x HR
dimana SV adalah stroke volume (volume yang dipompa tiap kontraksi)
dan HR adalah denyut jantung per menit. Untuk memperhitungkan variasi
ukuran tubuh, CO sering dimasukkan dalam persamaan :
CI = CO/ BSA
dimana CI adalah cardiac index dan BSA didapatkan dari normogram
tinggi dan berat badan. CI normalnya bervariasi antara 2,5- 4,2 L/menit/m2.
Karena CI normal rentang nilai normalnya cukup las, biasanya tidak sensitif
dalam mengukur performa ventrikel. Abnormalitas CI menggambarkan
gangguan ventrikel berat. Pengukuran yang lebih tepat dapat didapat jika
respon cardiac output exercise yang dinilai. Di bawah kondisi ini, kegagalan
cardiac output meningkat dan mengikuti konsumsi oksigen digambarkan
dengan saturasi oksigen vena campuran yang menurun. Penurunan saturasi
sebagai reaksi peningkatan kebutuhan biasanya menggambarkan perfusi
jaringan yang tidak memadai. Dalam keadaan tidak adanya hipoksia atau
anemia berat, pengukuran saturasi atau tekanan oksigen vena campuran adalah
penentu terbaik kelayakan cardiac output.
1. Denyut Jantung
Cardiac output biasanya berbanding langsung dengan denyut jantung.
Denyut jantung adalah fungsi intrinsik nodus SA (depolarisasi spontan)
tetapi telah dimodifikasi faktor otonom, humoral, dan lokal. Tingkat
intrinsik normal nodus SA pada orang dewasa muda sekitar 90- 100
kali/menit, tetapi menurun seiring usia berdasarkan formula :
Denyut jantung intrinsik normal = 118 kali/men – (0,57 x usia)
Peningkatan aktivitas vagal memperlambat denyut jantung melalui
stimulasi reseptor kolinergik M2, sedangkan aktivitas simpatis memicu
denyut jantung terutama melalui aktivasi reseptor β1adrenergik dan,
dalam skala lebih kecil, reseptor β2 adrenergik.
2. Stroke volume
Stroke volume biasanya ditentukan tiga faktor utama, preload, afterload,
dan kontraktilitas. Analisis ini sama dengan penelitian laboratorium pada
otot serat lintang. Preload adalah panjang otot sebelum kontraksi, sedang
afterload adalah tekanan yang dilawan kontraksi otot. Kontraktilitas
adalah bagian intrinsik otot yang berkaitan dengan kekuatan kontraksi
tetapi tidak tergantung preload dan afterload. Karena jantung merupakan
pompa multi-ruang dalam 3 dimensi, baik bentuk geometrik ventrikel
dan disfungsi katup dapat mempengaruhi stroke volume.
Preload
Preload ventrikel adalah volume diastolik akhir, yang tergantung
pada pengisian ventrikel. Hubungan antara cardiac output dan volume
diastolik akhir ventrikel kiri disebut hukum Starling. Jika denyut
jantung tetap, cardiac output berbanding lurus dengan preload, sampai
terjadinya volume diastolik akhir yang berlebihan. Pada titik ini cardiac
output tidak berubah atau menurun. Distensi berlebihan kedua ventrikel
dapat menyebabkan dilatasi berlebihan dan inkompetensi katup AV.
A. Penentu Pengisian Ventrikel
Pengisian ventrikel dapat dipengaruhi berbagai faktor, yang
paling penting adalah venous return. Karena sebagian besar faktor
yang mempengaruhi venous return bersifat tetap, tonus vena adalah
penentu utama. Peningkatan dalam aktivitas metabolik
meningkatkan tonus vena, sehingga venous return meningkat
ketika volume kapasitas vena menurun. Perubahan volume tubuh
dan tonus vena adalah penyebab penting dalam pengisian ventrikel
dan cardiac output. Faktor lain yang merubah gradien tekanan vena
kecil sehingga mempengaruhi kembalinya darah ke jantung akan
mempengaruhi pengisian ventrikel pula. Faktor tersebut meliputi
perubahan tekanan intrathorakal (ventilasi tekanan positif atau
thorakotomi), postur (posisi selama operasi), dan tekanan
perikardial (penyakit perikardial).
Penentu paling penting preload ventrikel kanan adalah venous
return. Tidak adanya disfungsi ventrikel maupun pulmoner yang
signifikan, venous return adalah penentu utama preload ventrikel
kiri. Normalnya, volume akhir kedua ventrikel adalah sama.
Baik denyut jantung maupun ritmenya dapat mempengaruhi
preload ventrikel. Peningkatan denyut jantung dihubungkan dengan
pengurangan yang lebih besar secara sebanding diastolik daripada
sistolik. Pengisian ventrikel akan tertekan dengan progresif pada
denyut jantung tinggi (>120/menit pada dewasa). Perubahan waktu
kontraksi atrial (ritme junctional atau atrial rendah), atau waktu
kontraksi atrial yang tidak efektif (atrial flutter), bahkan tidak
ditemukan (fibrilasi atrium) dapat mengurangi pengisian ventrikel
sampai 20-30%. Karena kontribusi atrial ke pengisian ventrikel
sangat penting untuk menjaga tekanan diastolik ventrikel rata-rata
yang rendah, pasien dengan pengurangan ventricular compliance
paling dipengaruhi oleh hilangnya sistole atrium dengan waktu
normal.

Fungsi Diastolik dan Komplians Ventrikel


Volume end-diastolic ventrikel sulit diukur secara klinis. Bahkan
teknik pencitraan seperti transesophageal echocardiography (TEE) dua
dimensi, pencitraan radionuklid, dan kontras ventrikulografi hanya mampu
memberikan perkiraan volume. Tekanan end-diastolic ventrikel kiri
(TADVK) dapat digunakan sebagai pengukuran preload hanya bila
hubungan antara volume dan tekanan ventrikel (komplians ventrikel)
konstan. Sayangnya, komplians ventrikel normalnya nonlinear (Gambar 19–
7). Terlebih lagi, karena fungsi diastolik yang berubah menurunkan komplians
ventrikel, TADVK yang sama menggambarkan keadaan preload yang
berkurang. Banyak faktor diketahui mempengaruhi fungsi diastolik dan
komplians ventrikel. Mesipun demikian, pengukuran TADVK atau tekanan
lain yang mendekati TADVK (seperti tekanan kapiler paru) tetap menjadi cara
yang paling sering digunakan untuk memperkirakan preload ventrikel kiri
(lihat Bab 6). Tekanan vena sentral dapat digunakan sebagai indeks dari
preload ventrikel kanan maupun kiri pada kebanyakan individu normal.

Faktor yang mempengaruhi komplians ventrikel dapat dipisahkan


menjadi faktor yang berkaitan dengan kecepatan relaksasi (komplians
awal diastolik) dan kekakuan pasif ventrikel (komplians akhir diastolik).
Hipertrofi, iskemia, dan ketidaksinkronan menurunkan komplians awal,
sedangkan hipertrofi hpertrofi dan fibrosis menurunkan komplians akhir.
Faktor-faktor ekstrinsik (seperti penyakit perikardial, distensi berlebih dari
vetrikel kontralateral, meningkatnya tekanan jalan napas atau pleura, tumor,
dan kompresi bedah) juga dapat menurunkan komplians ventrikel. Karena
dindingnya yang normalnya lebih tipis, ventrikel kanan lebih komplians
daripada ventrikel kiri.
Afterload
Afterload untuk jantung yang intak biasanya sebanding dengan
tegangan dinding ventrikel ventrikel selama sistol atau impedance arteri
terhadap ejeksi? pengeluaran. Tegangan dinding mungkin dapat dipikirkan
sebagai tekanan yang harus diatasi oleh ventrikel untuk mengurangi
kavitasnya. Bila ventrikel dianggap berbentuk sferis, tegangan dinding
ventrikel dapat dijelaskan dengan hukum Laplace:

dimana P adalah tekanan intraventrikel, R adalah radius ventrikel, dan H


adalah ketebalan dinding. Meskipun ventrikel normal biasanya berbentuk
seperti elips, hubungan ini masih dapat digunakan. Semakin besar radius
ventrikel, semakin besar tegangan dinding yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tekanan ventrikel yang sama. Sebaliknya, peningkatan
ketebalan dinding menurunkan tegangan dinding ventrikel.
Tekanan sistolik intraventrikel tergantung pada kekuatan kontraksi
ventrikel; bahan viskoelastis dari aorta; cabang-cabang proksimalnya, dan
darah (viskositas dan densitas); dan resistensi vaskuler sistemik (RVS).
Tonus arteriol adalah penentu utama dari RVS. Karena bahan viskoelastik
pada pasien biasanya diperbaiki, afterload ventrikel kiri biasanya secara klinis
sebanding dengan RVS, yang dihitung dengan persamaan berikut:

Dimana MAP adalah mean arterial pressure (rata-rata tekanan arteri) dalam
millimeter raksa, CVP adalah central venous pressure (tekanan vena sentral)
dalam millimeter raksa, dan CO adalah cardiac output (output jantung) dalam
liter per menit. RVS normal adalah 900–1500 dyn · s cm –5. Tekanan darah
sistolik juga dapat digunakan sebagai perkiraan afterload ventrikel kiri tanpa
adanya perubahan kronik dalam ukuran, bentuk, atau ketebalan dinding
ventrikel atau perubahan akut dalam hamabatan vaskuler sistemik. Beberapa
klinisi lebih memilih menggunakan CI dibanding CO dalam menghitung
indeks resistensi vaskuler sistemik (IRVS) sehingga IRVS = RVS x BSA.
Afterload ventrikel kanan terutama bergantung pada resistensi vaskuler
sistemik (RVS) dan diekspresikan dalam persamaan berikut:
Dimana PAP adalah rerata tekanan arteri pulmonalis (mean pulmonary arterial
pressure) dan LAP adalah tekanan atrium kiri (left atrial pressure). Pada
praktiknya, tekanan kapiler pulmonalis biasanya digantikan disubstitusi
sebagai perkiraan LAP (lihat Bab 6). PVR normal adalah 50–150 dyn · s cm–5.
Cardiac output berhubungan terbalik dengan afterload (Gambar 19-8).
Karena dindingnya yang lebih tipis, ventrikel kanan lebih sensitif terhadap
perubahan afterload dibandingkan dengan ventrikel kiri. Cardiac output pada
pasien dengan kelainan ventrikel kanan atau kiri yang bermakna sangat
sensitif terhadap peningkatan akut pada afterload. Hal tersebut terutama terjadi
pada keadaan depresi miokard (sebagaimana sering terjadi selama anestesia).

Kontraktilitas
Kontraktilitas jantung (inotropik) adalah kemampuan intrinsik miokard
untuk memompa tanpa adanya perubahan dalam preload atau afterload.
Kontraktilitas berhubungan dengan kecepatan pemendekan otot miokard, yang
mana bergantung pada konsentrasi kalsium intraseluler selama sistol.
Peningkatan nadi jantung dapat pula memicu kontraktilitas di bawah kondisi
tertentu, kemungkinan karena meningkatnya ketersediaan kalsium intraseluler.
Kontraktilitas dapat diubah oleh pengaruh-pengaruh syaraf, humoral,
atay farmakologis. Aktivitas sistem syaraf simpatis normalnya mempunyai
efek yang paling penting pada kontraktilitas. Serat-serat simpatis menginervasi
otot atrium dan ventrikel serta jaringan nodus. Selain efek kronotropik
posistifnya, pengeluaran norepinefrin juga meningkatkan kontraktilitas
melalui aktivasi reseptor. Reseptor adrenergik juga terdapat di miokard tetapi
hanya mempunyai efek inotropik dan kronotropik positif yang minor. Obat-
obat simpatomimetik dan sekresi epinefrin dari kelenjar adrenal sama-sama
meningkatkan kontraktilitas melalui aktivasi reseptor ??-1.
Kontraktilitas miokard ditekan oleh keadaan anoksia, asidosis, deplesi
simpanan katekolamin dalam jantung, dan kehilangan massa otot yang
fungsional akibat iskemia atau infark. Sebagian besar agen anestesi dan
antiaritmia bersifat inotropik negatif (seperti, menurunkan kontraktilitas).

Abnormalitas Gerakan Dinding


Abnormalitas gerakan dinding regional menyebabkan kehancuran
analogi antara jantung yang intak dan persiapan otot skelet. Abnormalitasnya
bisa karena iskemia, perlukaan, hipertrofi, atau konduksi yang berubah. Ketika
kavitas ventrikel tidak kolaps secara simetris atau sepenuhnya, proses
pengosongan menjadi terganggu. Hipokinesis (kontraksi yang berkurang),
akinesis (gagal berkontraksi), dan diskinesis (bulging paradoksal) selama
sistol menggambarkan derajat abnormalitas kontraksi. Meskipun kontraktilitas
mungkin bisa normal atau bahkan meningkat di beberapa area, abnormalitas di
area lain dari ventrikel dapat mengganggu pengosongan dan mengurangi
stroke volume. Keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada ukuran dan
jumlah area yang berkontraksi secara abnormal.

Disfungsi Katup
Disfungsi katup dapat melibatkan katup manapun dari keempat katup
yang ada di jantung dan dapat menyebabkan stenosis, regurgitasi
(inkompetensi), atau keduanya. Stenosis suatu katup AV (atrioventrikular)
(tricuspid dan mitral) mengurangi stroke volume terutama dengan menurunkan
preload ventrikel, sedangkan katup semilunar (pulmonalis atau aorta)
mengurangi stroke volume terutama dengan meningkatkan afterload ventrikel
(lihat Bab 20). Sebaliknya, regurgitasi katup dapat menurunkan stroke volume
tanpa perubahan dalam preload, afterload, atau kontraktilitas dan tanpa
abnormalitas gerakan dinding. Stroke volume yang efektif dikurangi oleh
volume yang mengalami regurgitasi pada setiap kontraksi. Ketika katup AV
inkompeten, bagian yang signifikan dari volume end-diastolic ventrikel dapat
mengalir mundur ke dalam atrium selama sistol; stroke volume dikurangi oleh
volume yang regurgitasi. Hal yang sama juga terjadi ketika katup semilunar
inkompeten, fraksi volume end-diastolic kembali mundur ke ventrikel selama
diastol
.
PENILAIAN FUNGSI VENTRIKEL
Kurva Fungsi Ventrikel
Menggambar cardiac output atau stroke volume terhadap preload
berguna dalam mengevaluasi keadaan patologis dan memahami terapi obat.
Kurva fungsi ventrikel kanan dan kiri yang normal terlihat pada Gambar 19-9
Diagram tekanan ventrikel-voulme bahkan lebih berguna karena dapat
memisahkan kontraktilitas dari preload dan afterload. Dua poin diketahui pada
diagram tersebut: -systolic point (poin akhir-sistolik) (ESP) dan end-diastolic
point (EDP) (poin end-diastolic) (Gambar 19-10). ESP mencerminkan fungsi
sistol, sedangkan EDP lebih mencerminkan fungsi diastolik Pada keadaan
kontraktil, seluruh ESP berada pada garis yang sama—seperti, hubungan
antara volume end-systolic dan tekanan end-systolic diperbaiki.

Penilaian Fungsi Sistolik


Perubahan pada tekanan ventrikel over time selama sistol (dP/dt)
ditentukan oleh turunan pertama dari kurva tekanan ventrikel dan sering
digunakan sebagai ukuran kontraktilitas. Kontraktilitas secara langsung
sebanding dengan dP/dt, tetapi pengukuran akurat dari nilai ini memerlukan
kateter ventrikel dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Meskipun tracings
tekanan arterial mengalami distorsi karena sifat-sifat pohon vaskuler,
kecepatan awal kenaikan tekanan (kemiringan/kelandaian) bisa digunakan
sebagai perkiraan kasar; semakin proksimal kateter pada pohon arterial,
semakin akurat perhitungannya. Kegunaan dP/dt juga terbatas dimana dP/dt
dipengaruhi oleh preload, afterload dan nadi jantung. Faktor koreksi yang
bervariasi telah digunakan dengan angka keberhasilan yang kecil.

Fraksi Ejeksi
Fraksi ejeksi ventrikel (EF/Ejection Fraction), fraksi dari volume end-
diastolic ventrikel yang dikeluarkan, adalah ukuran klinis dari fungsi sistolik.
yang paling sering digunakan. EF dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Dimana EDV adalah volume diastolic ventrikel kiri dan ESV adalah volume
end-systolic. EF normal kira-kira 0.67 ± 0.08. Pengukuran dapat dilakukan
sebelum dilakukan operasi kateterisasi jantung, penelitian radionukleotida,
atau transthoracic atau TEE. Kateter arteri pulmonalis dengan termistor respon
cepat memungkinkan pengukuran EF ventrikel kanan. Sayangnya, ketika
resistensi vaskuler paru meningkat, penurunan EF ventrikel kanan lebih
mencerminkan afterload dibandingkan kontraktilitas.
Penilaian Fungsi Diastolik
Fungsi diastolic ventrikel kiri dapat dinilai secara klinis dengan
ekokardiografi Doppler pada pemeriksaan transthoracic atau transesophageal.
Kecepatan aliran diukur melewati katup mitral selama diastol. Tiga pola
disfungsi diastolic umumnya dikenali berdasarkan waktu relaksasi
isovolumetrik, rasio puncak aliran diastolik awal (E) terhadap puncak aliran
sistolik atrium (A), dan waktu deselerasi (DT/Deceleration Time) dari E (DT E)
(Gambar 19-11).

Gambar 19-11

SIRKULASI SISTEMIK
Vaskularisasi sistemik menurut fungsinya dapat dibagi menjadi arteri,
arteriol, kapiler dan vena. Arteri adalah pipa/ saluran bertekanan tinggi yang
mensuplai berbagai organ. Arteriol adalah pembuluh darah kecil yang secara
langsung memberi nutrisi dan mengontrol aliran darah melalui tiap-tiap
cabang-cabang kapiler. Kapiler adalah pembuluh darah berdinding tipis yang
memungkinkan pertukaran nutrien antara darah dan jaringan (lihat Bab 28).
Vena mengembalikan darah dari cabang-cabang kapiler menuju jantung.
Distribusi darah antara komponen yang bervariasi dari sistem sirkulasi
ditunjukkan pada Tabel 19-5. Perhatikan bahwa sebagian besar volume darah
berada dalam sirkulasi sistemik—secara spesifik, di dalam vena sistemik.
Perubahan pada tonus vena sistemik memungkinkan pembuluh darah ini untuk
berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah. Pada keadaan kehilangan darah
atau cairan dalam jumlah yang signifikan, peningkatan tonus vena yang
diperantarai syaraf simpatis mengurangi kaliber pembuluh darah dan
memindahkan darah menuju bagian lain dari sistem sirkulasi. Sebaliknya,
dilatasi vena memungkinkan pembuluh darah ini untuk membantu
meningkatkan volume darah. Pengaturan simpatis dari tonus vena merupakan
penentu penting dari aliran darah balik (venous return) ke jantung. Kehilangan
tonus ini yang menyertai induksi anesthesia sering menyebabkan hipotensi.
Keanekaragaman faktor yang mempengaruhi aliran darah pada pohon
vaskuler. Faktor tersebut meliputi mekanisme pengaturan lokal dan metabolik,
faktor yang berasal dari endotel, sistem syaraf otonom dan hormon yang
bersirkulasi.

Autoregulasi
Sebagian besar jaringan mengatur aliran darahnya sendiri
(autoregulasi). Arteriol umumnya berdilatasi sebagai respon terhadap
menurunnya tekanan perfusi atau meningkatnya kebutuhan jaringan.
Sebaliknya, arteriol mengalami konstriksi sebagai respon terhadap
meningkatnya tekanan atau menurunnya kebutuhan jaringan. Fenomena ini
mungkin disebabkan baik karena respon intrinsik otot polos vaskuler untuk
meregang dan akumulasi produk metabolik yang bersifat vasodilator. Produk
metabolik yang dimaksud meliputi K+ , H+, CO2, adenosin, dan laktat.

Faktor yang berasal dari Endotel


Endotel vaskuler aktif secara metabolic dalam memperluas dan
memodifikasi substansi yang secara langsung atau tidak langsung memainkan
peranan penting dalam mengontrol tekanan dan aliran darah. Hal tersebut
termasuk vasodilator (seperti, nitrit oksida, prostasiklin [PGI2]),
vasokonstriktor (endotelin, tromboksan A2), antikoagulan (seperti,
trombomodulin, protein C), fibrinolitik (activator plasminogen jaringan), dan
factor yang menghambat agregasi platelet (nitrit oksida dan PGI2). Nitrit
oksida disintesa dari arginin oleh nitrit oksida sintetase. Substansi ini
mempunyai beberapa fungsi (lihat Bab 13). Di dalam sirkulasi, nitrit oksida
merupakan vasodilator kuat. Nitrit oksida mengikat guanilat siklase,
meningkatkan kadar cGMP dan menyebabkan vasodilatasi. Vasokonstriktor
yang berasal dari endotel, endotelin, dilepaskan sebagai respon terhadap
thrombin dan epinefrin.

Pengaturan Otonom Vaskularisasi Sistemik


Meskipun sistem simpatis dan parasimpatis keduanya dapat
memberikan pengaruh penting pada sirkulasi, pengaturan otonom
vaskularisasi terutama oleh sistem simpatis. Pengaliran simpatis menuju
sirkulasi berasal dari medulla spinalis seluruh segmen toraks dan segmen
lumbal satu dan dua. Serabut syaraf ini mencapai pembuluh darah melalui
syaraf otonom spesifik atau dengan berjalan sepanjang syaraf-syaraf spinalis.
Serabut simpatis menginnervasi seluruh bagian vaskularisasi kecuali kapiler.
Fungsi dasarnya adalah untuk mengatur tonus vaskular. Variasi tonus vaskuler
arterial berperan mengatur tekanan darah dan distribusi aliran darah menuju
berbagai organ, sedangkan variasi pada tonus vena mengubah aliran darah
balik ke jantung (venous return).
Vaskularisasi mempunyai serabut simpatis vasokonstriktor dan
vasodilator, tetapi pada sebagian besar jaringan, secara fisiologis serabut
simpatis vasokonstriktor lebih penting. Vasokonstriksi yang diinduksi oleh
sistem simpatis (melalui reseptor ?1 adrenergik) dapat menjadi poten pada otot
skelet, ginjal, usus dan kulit; bersifat sangat kurang aktif di otak dan jantung.
Serabut vasodilator yang terpenting adalah serabut-serabut yang mensyarafi
otot skelet, menyebabkan peningkatan aliran darah (melalui reseptor ??2-
adrenergik) sebagai respon terhadap latihan. Sinkop vasodepresor (vasovagal),
yang dapat terjadi setelah ketegangan emosional berhubungan dengan tonus
simpatis yang tinggi. Dihasilkan dari aktivasi refleks serabut vasodilator vagal
dan simpatis.
Tonus vaskuler dan pengaruh otonom pada jantung dikendalikan oleh
pusat vasomotor di formasio retikularis pada medulla dan bagian bawah pons.
Area vasokonstriktor dan vasodilator yang jelas telah teridentifikasi.
Vasokonstriksi diperantarai oleh area anterolateral dari pons bagian bawah dan
medulla bagian atas. Sel-sel adrenergik pada area ini berada pada kolumna
intermediolateral (lihat Bab 18). Sel-sel tersebut juga bertanggung jawab atas
sekresi adrenal katekolamin serta peningkatan otomatisasi dan kontraktilitas
jantung. Area vasodilator, yang treletak di medulla bagian bawah, juga bersifat
adrenergik tetapi fungsinya memproyeksikan serabut-serabut penghambat ke
atas menuju area vasokonstriktor. Output vasomotor dimodifikasi oleh input
dari seluruh sistem syaraf pusat, termasuk hipotalamus, korteks serebri, dan
tempat-tempat lain di batang otak. Area di posterolateral medulla menerima
input dari nervus vagus dan glossofaringeal dan berperan penting dalam
membantu terjadinya berbagai refleks sirkulasi. Sistem simpatis normalnya
mempertahankan tonus vasokonstriksi pada pohon vaskuler. Kehilangan tonus
ini setelah dilakukannya induksi anestesia atau simpatektomi seringkali
menyebabkan keadaan hipotensi perioperatif.

TEKANAN DARAH ARTERIAL


Alirah darah sistemik bersifat pulsatil pada arteri besar karena aktivitas
siklik jantung; pada saat darah mencapai kapiler sistemik, alirannya kontinyu
(laminer). Tekanan rata-rata pada arteri besar, yang normalnya sekitar 95
mmHg, turun hampir mencapai nol pada vena sistemik besar yang
mengembalikan darah ke jantung. Penurunan tekanan terbesar, hampir 50%,
adalah melewati arteriol, dimana sangat berhubungan dengan SVR.
MAP sesuai dengan hasil dari SVR x CO. Hubungan ini berdasarkan
sebuah analogi dari hukum Laplace sebagaimana diterapkan pada sirkulasi:

Karena CVP normalnya sangat kecil dibanding dengan MAP, maka


CVP biasanya dapat diabaikan. Dari hubungan ini, sudah jelas bahwa
hipotensi adalah hasil dari penurunan SVR, CO atau keduanya. Untuk
mempertahankan tekanan darah arterial, penurunan dari salah satunya harus
dikompensasi dengan peningkatan oleh lainnya. MAP dapat diukur sebagai
rerata dari tekanan arterial. Sebagai alternatif, MAP dapat diperkirakan dengan
formula berikut:

Dimana tekanan nadi merupakan perbedaan antara tekanan darah sistolik dan
diastolik. Tekanan nadi arterial secara langsung berhubungan dengan stroke
volume tetapi tidak bersesuaian dengan komplians pohon arterial. Meskipun
demikian, penurunan tekanan nadi mungkin disebabkan olej penurunan stroke
volume, peningkatan SVR, atau keduanya.

Transmisi gelombang arterial dari arteri besar sampai pembuluh darah yang
lebih kecil di perifer lebih cepat dibndingkan kecepatan darah yang
sesungguhnya; gelombangnya berjalan dengan kecepatan 15 kali kecepatan
darah di aorta. Selain itu, refleksi dari dinding arteri yang menyebarkan
gelombang memperluas tekanan nadi sebelum gelombang nadi mengecil
seluruhnya di arteri yang sangat kecil (lihat Bab 6).

Pengaturan Tekanan Darah Arterial


Tekanan darah arterial diatur oleh suatu rangkaian pengaturan cepat,
menengah dan jangka panjang yang melibatkan kompleks neural, humoral dan
mekanisme ginjal.

Pengaturan Cepat
Kontrol tekanan darah menit ke menit merupakan fungsi utama dari
refleks sistem syaraf otonom. Perubahan pada tekanan darah dirasakan baik di
sentral (di area hipotalamus dan batang otak) dan di perifer oleh sensor khusus
(baroreseptor). Penurunan tekanan darah arterial memacu tonus simpatis,
meningkatkan sekresi adrenal yaitu epinefrin, dan menekan aktivitas vagal.
Vasokonstriksi sistemik yang timbul, peninggian denyut jantung dan
peningkatan kontraktilitas jantung meningkatkan tekanan darah.
Sebaliknya, hipertensi menurunkan aliran simpatis dan memacu tonus
vagal.

Baroreseptor perifer terletak di percabangan (bifurkasio) antara arteri


karotis komunis dan arkus aorta. Peningkatan tekanan darah meningkatkan
discharge baroreseptor, menghambat vasokonstriksi sistemik dan memacu
tonus vagal (refleks baroreseptor). Penurunan tekanan darah menurunkan
discharge baroreseptor, menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan tonus
vagal. Baroreseptor karotis mengirimkan sinyal aferen untuk pusat batang otak
yang mengatur sirkulasi melalui nervus Hering (cabang dari nervus
glossofaringeus), sedangkan sinyal aferen dari baroreseptor aorta berjalan
sepanjang nervus vagus. Dari kedua sensor perifer tersebut, baroreseptor
karotis secara fisiologi lebih penting dan terutama bertanggungjawab dalam
meminimalisir perubahan tekanan darah yang disebabkan oleh kejadian akut,
seperti perubahan posisi. Baroreseptor karotis paling efektif dalam mengatur
MAP bila tekanannya antara 80 sampai 160 mmHg. Adaptasi terhadap
perubahan tekanan darah akut terjadi dalam waktu 1-2 hari, membuat refleks
ini menjadi tidak efektif untuk pengaturan tekanan darah jagka panjang.
Semua bahan agen anestesi yang dapat menguap menekan respon baroreseptor
normal, tetapi isoflurane dan desflurane ternyata memiliki efek yang paling
minimal. Reseptor peregangan kardiopulmoner yang terletak di atrium,
ventrikel kiri, dan sirkulasi paru dapat menyebabkan efek yang sama.

Pengaturan Sedang (Intermediate)


Dalam waktu beberapa menit, penurunan tekanan darah yang
dipertahankan bersama dengan aliran simpatis mengaktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron (lihat Bab 31), meningkatkan sekresu
argininevasopressin (AVP), dan mengubah pertukaran cairan kapiler normal
(lihat Bab 28). Angiotensin II dan AVP sama-sama merupakan
vasokonstriktor kuat. Aksi cepatnya adalah meninkatkan SVR. Berbeda
dengan pembentukan angiotensin II, meskipun demikian, hipotensi sedang
sampai berat diperlukan untuk sekresi AVP yang cukup untuk menyebabkan
vasokonstriksi. Angiotensin mengkonstriksikan arteiol melalui reseptor AT 1.
AVP memperantarai vasokonstriksi memlaui reseptor V1 dan menggunakan
efek antidiuretiknya melalui reseptor V2.
Perubahan tekanan darah arterial yang dipertahankan dapat pula
mengubah pertukaran cairan di jaringan dengan efek sekundernyaterhadap
tekanan kapiler. Hipertensi meningkatkan pergerakan interstisial dari cairan
intravaskuler, sedangkan hipotensi meningkatkan reabsorpsi cairan interstisial.
Perubahan kompensatorik dalam volume intravaskuler seperti inidapat
mengurangi fluktuasi tekanan darah, khususnya pada keadaan dimana fungsi
ginjal tidak adekuat (lihat bawah).

Pengaturan Jangka Panjang


Efek mekanisme ginjal yang lebih lambat menjadi jelas dalam
beberapa jam terjadinya perubahan tekanan aterial yang dipertahankan.
Sebagai hasilnya, ginjal mengubah sodium total di tubuh dan keseimbangan
air untuk mengembalikan tekanan darah ke normal. Hipotensi menyebabkan
retensi sodium (dan air), sedangakn hipertensi umumnya meningkatkan
ekskresi sodium pada orang normal (lihat Bab 28).

ANATOMI DAN FISIOLOGI SIRKULASI KORONER


Anatomi
Suplai darah miokardium seluruhnya diperoleh dari arteri koronaria
kanan dan kiri (Gambar 19-12). Darah mengalir dari epikardial menuju
pembuluh darah endokardial. Setelah memasuki miokardium, darah kembali
ke atrium kanan melalui sinus koronaria dan vena-vena jantung anterior.
Sejumlah kecil darah langsung ke ruang jantung melalui vena thebesian.

Gambar 19-12
Anatomi arteri koronaria pada pasien dengan sirkulasi dominan kanan. A:
gambaran oblique anterior kanan. B: Gambaran oblique anterior kiri.
Arteri koronaria kanan (RCA: Right Coronary Artery) normalnya
memsuplai darah ke atrium kanan, sebagian besar ventrikel kanan dan bagian-
bagian tertentu pada ventrikel kiri (dinding inferior). Pada 85% orang, RCA
member percabangan ke arteri desenden posterior (PDA: Posterior Descending
Artery), yang mensuplai septum interventrikuler superior-posterior dan
dinding inferior—sirkulasi dominan kanan; pada 15% orang lainnya, PDA
adalah cabang dari arteri koronaria kiri—sirkulasi dominan kiri.
Arteri koronaria kiri normalnya mensuplai atrium kiri dan sebagian
besar septum interventrikuler dan ventrikel kiri (dinding septal, anterior dan
lateral). Ateri koronaria kiri bercabang menjadi arteri desenden anterior kiri
(LAD) dan arteri sirkumfleksa (CX); LAD mensuplai dinding septum dan
dinding anterior dan CX mensuplai dinding lateral. Pada sirkulasi dominan
kiri, CX melanjut sebagai PDA yang juga mensuplai sebagian besar dinding
septum posterior dan dinding inferior.
Suplai arterial ke nodus SA diperoleh dari RCA (pada 60% orang)
atau LAD (pada 40% orang). Nodus AV biasanya disuplai oleh RCA (85-
90%) atau, lebih jarang lagi, oleh CX (10-15%); Bundle His memiliki dua
suplai darah yaitu dari PDA dan LAD. Otot papilaris anterior dari katup mitral
juga memiliki dua suplai darah yaitu berasal dari cabang diagonal dari LAD
dan cabang marginal dari CX. Sebaliknya, otot papilaris posterior katup mitral
biasanya hanya disuplai oleh PDA dan oleh karena itu lebih rawan untuk
mengalami disfungsi iskemik.

Determinan Perfusi Koroner


Perfusi koroner sifatnya unik karena perfusinya lebih sering terjadi
secara intermiten dibandingkan secara kontinyu, sebagaimana yang terjadi
pada organ lain. Selama kontraksi, tekanan intramiokardium pada ventrikel
kiri mendekati tekanan arteri sistemik. Kekuatan kontraksi ventrikel kiri
hampir menutupi secara keseluruhan bagian intramiokardium dari arteri
koronaria; pada kenyataannya, untuk sementara aliran darah masih dapat
kembali di pembuluh darah epikardial. Bahkan selama akhir diastole, tekanan
ventrikel kiri melebihi tekanan vena (atrium kanan). Jadi, tekanan perfusi
koroner biasanya ditentukan oleh perbedaan antara tekanan aorta dan
tekanan ventrikel, dan ventrikel kiri mendapat perfusi hampir seluruhnya
selama fase diastol. Sebaliknya, ventrikel kanan mendapatkan perfusi selama
fase sistol dan diastol (Gambar 19-13). Selain itu, sebagai determinan/penentu
aliran darah miokardium, tekanan diastolic aterial lebih penting daripada
tekanaan arterial rata-rata.

Gambar 19-13
Aliran darah koroner selama siklus jantung.

(Dimodifikasi dan direproduksi, dengan ijin, dari Berne RM, Levy MD:
Cardiovascular Physiology, Edidi kedua. Mosby, 1972.).

Penurunan tekanan aorta atau peningkatan tekanan end-diastolic ventrikel


dapat menurunkan tekanan perfusi koroner. Penngkatan denyut jantung juga
menurunkan perfusi koroner karena reduksi waktu diastolik yang lebih besar
yang tidak sesuai dengan peningkatan denyut jantung (Gambar 19-14). Karena
hal tekanan intramural terbesar terjadi selama sistol, endokardium cenderung
menjadi sangat rawan terhadap iskemia selama penurunan tekanan perfusi
koroner.

Gambar 19-14
Hubungan antara waktu diastolic dan denyut jantung.

Pengaturan Aliran Darah Koroner


Aliran darah koroner normalnya parallel dengan kebutuhan metabolic
miokardium. Pada rata-rata orang dewasa, aliran darah koroner mencapai 250
mL/menit pasa saat istirahat. Miokardium mengatur aliran darahnya sendiri
agar selalu mendekati tekanan diantara 50 dan 120 mmHg. Bila lebih dari
kisaran ini, aliran darah akan tergantung pada tekanan yang meningkat.
Di bawah kondisi normal, perubahan aliran darah seluruhnya
disebabkan oleh variasi tonus ateri koronaria (resistensi) sebagai respon
terhadap kebutuhan metabolic. Hipoksia—baik secara langsung, atau tidak
langsung melalui pelepasan adenosine—menyebabkan vasodilatasi koroner.
Pengaruh otonom biasanya lemah. Reseptor adrenergik 1 dan 2 terdapat
pada arteri koronaria. Reseptor 1 terutama terletak pada pembuluh darah
epikardial yang lebih besar, sedangkan reseptor 2 terutama ditemukan pada
pembuluh darah intramuskuler dan subendokardial yang lebih kecil. Stimulasi
simpatis umumnya meningkatkan aliran darah miokardium karena terjadi
peningkatankebutuhan metabolic dan karena aktivasi predominan reseptor 2.
Efek parasimpatis pada vaskularisasi koroner umumnya minor dan efeknya
adalah vasodilatasi lemah.

Keseimbangan Oksigen Miokardium


Kebutuhan oksigen miokardium biasanya merupakan penentu
terpenting dari aliran darah miokardium. Kontribusi relatif terhadap kebutuhan
oksigen meliputi kebutuhan basal (20%), aktivitas elektrik (1%), kerja volume
(15%), dan kerja tekanan (64%). Miokardium biasanya mengambil 65%
oksigen di darah arterial, dibandingkan dengan 25% di sebagian besar jaringan
lain (lihat Bab 22). Saturasi oksigen sinus koronaria biaanya adalah 30%. Oleh
karena itu, miokardium (tidak seperti jaringan lain) tidak dapat
mengkompensasi penurunan tekanan darah dengan mengambil lebih banyak
oksigen dari hemoglobin. Setiap peningkatan kebutuhan metabolik
miokardium harus diikuti dengan peningikatan aliran darah koroner. Tabel 19-
6 berisi faktor-faktor yang paling penting dalam kebutuhan dan suplai oksigen
miokardium. Catat bahwa denyut jantung dan tekanan end-diastolic ventrikel
merupakan determinan/penentu penting bagi suplai dan kebutuhan darah.
Tabel 19-6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Suplai dan
Kebutuhan Oksigen Miokardium
Suplai

  Denyut Jantung

    Waktu diastolik

  Tekanan Perfusi koroner

    Tekanan darah diastolic aorta

    Tekanan end-diastolic ventrikel

  Isi oksigen arterial

    Tegangan oksigen arterial

    Konsentrasi hemoglobin

  Diameter pembuluh darah koroner

Kebutuhan

  Kebutuhan basal

  Denyut jantung

  Tengangan dinding

    Preload (radius ventrikel)

    Afterload

  Kontraktilitas

Efek Agen Anestesia


Sebagian besar agen anestesi yang mudah menguap (volatil)merupakan
vasodilator koroner. Efeknya pada aliran darah koroner bervariasi karena
kemampuan langsung dalam menyebabkan vasodilatasi, reduksi kebutuhan
metabolik miokardium (dan penurunan sekunder oleh karena autoregulasi),
dan efeknya pada tekanan darah arterial. Meskipun mekanismenya tidak jelas,
tetapi diketahui melibatkan aktivasi channel ATP yang sensitif terhadap K+
dan stimulasi reseptor adenosine (A1). Halotan dan isoflurane mempunyai efek
yang terkuat; halotan terutama mempengaruhi pembuluh darah koroner yang
besar, sedangkan isoflurane terutama mempengaruhi pembuluh darah yang
lebih kecil. Vasodilatasi yang disebabkan oleh desflurane tampaknya
diperantarai oleh sistem otonom, sedangkan sevoflurane kurang mempunyai
efek vasodilatasi koroner. Pada penggunaan isoflurane tidak terjadi
autoregulasi vasodilatasi yang tergantung pada dosis. Bukti bahwa anestesi
volatil menyebabkan “coronary steal phenomena” pada manusia masih sangat
kurang.
Agen volatile memberikan efek yang menguntungkan pada kondisi
iskemia miokard dan infark. Mereka tidak hanya menurunkan kebutuhan
oksigen miokardium tetapi juga bersifat protektif terhadap kerusakan
reperfusi; efek tersebut juga diperantarai oleh aktivasi channel ATP yang
sensitif terhadap K+. Beberapa bukti juga mengarah bahwa agen anestesi
volatil mempercepat pemulihan miokardium yang “terhenti”. Selain itu,
meskipun menurunkan kontraktilitas miokardium, namun bisa menguntungkan
bagi pasien dengan gagal jantung karena agen anestesi volatil menurunkan
preload dan afterload.

PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG

Gagal jantung sistolik terjadi ketika jantung gagal untuk memompa


darah dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Manifestasi klinis biasanya mencerminkan efek dari output jantung yang
rendah pada jaringan (misalnya, fatique, kekurangan oksigen, asidosis), darah
yang membendung di belakang ventrikel yang mengalami kegagalan (kongesti
vena pulmonaris atau sistemik), atau keduanya. Ventrikel kiri paling sering
terlibat, sering disertai dengan keterlibatan ventrikel kanan. Kegagalan pada
ventrikel kanan saja dapat terjadi pada keadaan penyakit lanjut parenkim paru
atau vascular paru. Kegagalan ventrikel kiri paling sering disebabkann oleh
disfungsi miokardium primer (biasanya dari penyakit arteri koronaria), tetapi
dapat pula disebabkan oleh disfungsi katup, aritmia atau penyakit perikardial.
Disfungsi diastolic dapat pula menyebabkan gejala gagal jantung
sebagai akibat dari hipertensi atrial (Gambar 19-15).Penyebab umum meliputi
hipertensi, penyakit arteri koronaria, kardiomiopati hipertrofi, dan penyakit
perikardial. Meskipun disfungsi diastolik dapat menyebabkan gagal jantung
bahkan pada keadaan fungsi sistolik normal, disfungsi sistolik dan diastolic
umumnya berhubungan.

Gambar 19-15
Hubungan tekanan ventrikel–volume pada disfungsi sistolik dan diastolik.
(Dimodifikasi dan direproduksi, dengan ijin, dari Zile MR: Mod Concepts
Cardiovasc Dis 1990;59:1.)

Cardiac output (output jantung) berkurang pada sebagian besar bentuk


gagal jantung. Penghantaran oksigen yang tidak adekuat ke jaringan
dicerminkan oleh tegangan oksigen vena campuran yang rendah dan
peningkatan perbedaan isi oksigen arteriovenosa (lihat Bab 22). Pada gagal
jantung yang terkompensasi, perbedaan arteriovena bisa normal pada saat
istirahat, tetapi perbedaan tersebut meningkat dengan cepat selama stress dan
beraktivitas.
Gagal jantung jarang berhubungan dengan cardiac output yang
meningkat. Bentuk gagal jantung ini paling sering terlihat bersama sepsis dan
keadaan hipermetabolik lainnya, yang khususnya berkaitan dengan SVR yang
rendah.

MEKANISME KOMPENSASI
Mekanisme kompensasi utama yang umumnya terjadi pada pasien
dengan gagal jantung meliputi meningkatnya preload, meningkatnya tonus
simpatis, aktivasi sistem renin-angitensin-aldosteron, pelepasan AVP, dan
hipertrofi ventrikel. Meskipun mekanisme ini awalnya dapat mengkompensasi
disfungsi jantung ringan sampai sedang, dengan meningkatnya keparahan
disfungsi, mekanisme tersebut malah akan menyebabkan gangguan jantung.

Meningkatnya Preload
Peningkatan ukuran ventrikel tidak hanya mencerminkan
ketidakmampuan untuk mengikuti venous return tetapi juga berperan
memaksimalkan stroke volume dengan menaikkan kurva Starling (lihat
Gambar 19-6). Bahkan ketika EF berkurang, peningkatan volume end-
diastolic ventrikel dapat mempertahankan stroke volume normal. Kongesti
vena yang semakin parah yang disebabkan oleh bendungan darah di belakang
ventrikel yang mengalami kegagalan dan dilatasi ventrikel yang berlebihan
dapat dengan cepat menyebabkan penurunan klinis. Kegagalan ventrikel kiri
menyebabkan kongesti vaskuler dan transudasi cairan yang progresif, pertama
menuju interstisial paru dan kemudian menuju alveoli (udem paru). Kegagalan
ventrikel kanan menyebabkan hipertensi vena sistemik, yang menyebabkan
udem perifer, kongesti dan disfungsi hepar, dan asites. Dilatasi annulus katup
AV ,enyebabkan regurgitasi katup, lebih jauh lagi mengganggu output
ventrikel.

Meningkatnya Tonus Simpatis


Aktivasi simpatis meningkatkan pelepasan norepinefrin dari akhiran
syaraf di jantung dan sekresi epinefrin adrenal menuju sirkulasi. Kadar
katekolamin plasma umumnya sesuai dengan derajat disfungsi ventrikel kiri.
Meskipun aliran simpatis yang dipacu awalnya dapat mempertahankan cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas, fungsi
ventrikel yang semakin parah menyebabkan derajat vasokonstriksi yang
meningkat dalam usaha untuk mempertahankan tekanan darah arterial.
Peningkatan afterload yang terkait, meskipun demikian, menurunkan cardiac
output dan mempercepat kegagalan ventrikel.
Aktivasi simpatis yang kronik pada pasien dengan gagal jantung pada
akhirnya menurunkan respon reseptor adrenergik terhadap katekolamin
(regulasi turun), jumlah reseptor, dan simpanan katekolamin jantung.
Meskipun demikian, jantung yang mengalami kegagalan menajdi semakin
ketergantungan dengan katekolamin yang beredar/bersirkulasi. Penarikan yang
mendadak dari aliran simpatis atau penurunan kadar katekolamin yang
beredar, seperti yang dapat terjadi setelah induksi anestesia , dapat
menyebabkan dekompensasi jantung akut. Densitas reseptor M2 yang
berkurang juga menurunkan pengaruh parasimpatis pada jantung.
Aktivasi simpatis cenderung untuk mendistribusikan kembali output
aliran darah sistemik keluar dari kulit, usus, ginjal, dan otot skelet menuju ke
jantung dan otak. Menurunnya perfusi ginjal bersamaan dengan aktivitas
adrenergik 1 pada apparatus juxtaglomerular mengaktivasi aksis renin-
angiotensin-aldosteron (lihat Bab 28), yang menyebabkan retensi sodium dan
edema interstisial. Selain itu, vasokonstriksi sekunder karena meningginya
kadar angiotensin II meningkatkan afterload ventrikel kiri dan menyebabkan
penurunan fungsi sistolik lebih lanjut. Penurunan fungsi sistolik bertanggung
jawab atas efektifitas penghambat enzim yang mengubah angiotensin pada
gagal jantung. Gejala-gejala dpaat mengalami perbaikan pada sebagian pasien
dengan pemberian penghambat adrenergik dosis rendah secara hati-hati.
AVP yang beredar kadarnya seringkali dua kali di atas normal pada
pasien dengan gagal jantung berat. Peninggian AVP juga meningkatkan
afterload ventrikel dan bertanggungjawab atas defek pada pembersihan air
bebas yang umumnya berkaitan dengan hiponatremia (lihat Bab 28).
Peptida natriuretik atrium terutama ditemukan pada jaringan atrium.
Hormon ini dilepaskan sebagai respon terhadap distensi atrium dan memiliki
efek yang bermanfaat pada gagal jantung. Hormon ini merupakan vasodilator
kuat dan memiliki kemampuan yang berkebalikan dengan efek angiotensin,
aldosteron dan AVP.

Hipertrofi Ventrikel
Hipertrofi ventrikel dapat terjadi dengan atau tanpa dilatasi, tergantung
pada tipe stress yang terjadi pada ventrikel. Ketika jantung mengalami
overload volume ataupun tekanan, rspon awalnya adalah meningkatkan
panjang sarkomer dan menumpuk (overlapping) aktin dan myosin secara
optimal. Dengan berjalannya waktu, massa otot ventrikel mulai bertambah
sebagai respon terhadap stress yang abnormal.
Pada ventrikel yang mengalami kelebihan volume, masalahnya adalah
peningkatan stress pada dinding diastolik. Penambahan massa otot ventrikel
hanya cukup untuk mengkompensasi peningkatan diameter: rasio radius
ventrikel terhadap ketebalan dinding tidak berubah. Sarkomer bereplikasi
secara bertahap, menyebabkan hipertrofi eksentrik. Meskipun RF ventrikel
tetap tertekan, peningkatan volume end-diastolic dapat mempertahankan
stroke volume (dan cardiac output) saat istirahat tetap normal.
Masalah pada ventrikel yang mengalami tekanan berlebih adalah
adanya peningkatan stress pada dinding sistolik. Sarkomer pada kasus ini
terutama bereplikasi secara paralel, menyebabkan hipertrofi konsentrik.
Hipertrofi tersebut seperti yang terjadi bila rasio ketebalan dinding
miokardium terhadap radius ventrikel meningkat. Seperti yang terlihat pada
hukum Laplace, stres dinding sistolik kemudian dapat dinormalkan. Hipertrofi
ventrikel, khususnya yang disebabkan oleh tekana yang berlebihan, biasanya
menyebabkan disfungsi diastolik progresif.

DISKUSI KASUS : SEORANG PASIEN DENGAN INTERVAL P–R


PENDEK
Seorang pria 38 tahun dijadwalkan untuk pembedahan sinus dengan
endoskopi setelah mengalami nyeri kepala baru-baru ini. Dia menceritakan
riwayat pernah pingsan setidaknya satu kali selama mengalami nyeri kepala.
Elektrokardiogram preoperatif (ECG) normal kecuali interval P-R nya 0.116
detik dengan bentuk gelombang P normal.

Apa Makna dari Interval P-R Pendek?


Interval P–R, yang diukur dari permulaan depolarisasi atrium
(gelombang P) sampai permulaan dari depolarisasi ventrikel (kompleks QRS),
biasanya menggambarkan waktu yang dibutuhkan untuk repolarisasi kedua
atrium, nodus AV dan sistem His-Purkinje. Meskipun interval P-R bisa
bervariasi dengan denyut jantung, normalnya berdurasi 0.12-0.2 detik. Interval
P-R pendek yang abnormal dapat munucul dengan ritme atrium yang rendah
(atau AV junction atas) atau fenomena preeksitasi. Keduanya biasanya dapat
dibedakan dengan morfologi gelombang P: Dengan ritme atrium yang rendah,
depolarisasi atrium bersifat retrograde, menyebabkan gelombang P terbalik
(inverted P) pada lead II, II dan aVF; dengan preeksitasi, gelombang P normal
selama ritme sinus. Bila ritme pacemaker yang berasal dari AV junction
bagian bawah, gelombang P akan tertutupi oleh kompleks QRS atau mengikuti
kompleks QRS.
Apakah itu Preeksitasi?
Preeksitasi biasanya mengacu pada depolarisasi dini dari ventrikel
oleh jalur konduksi yang abnormal dari atrium. Jarang terdapat lebih
dari satu jalur seperti itu. Bentuk yang paling umum dari preeksitasi
disebabkan oleh keberadaan jalur tambahan (Bundle of Kent) yang
menghubungkan salah satu atrium dengan salah satu ventrikel. Hubungan
yang abnormal antara atrium dan ventrikel ini menyebabkan impuls elektrik
dapat langsung melewati nodus AV (oleh karena itu istilahnya jalur bypass).
Kemampuan untuk mengkonduksikan impuls sepanjang jalur bypass bisa
sangat bervariasi dan mungkin hanya intermiten atau tergantung kecepatan.
Jalur bypass dapat mengkonduksikan ke dua arah, retrograde saja (ventrikel ke
atrium) atau, antegrade saja (atrium ke ventrikel). Nama sindroma Wolff–
Parkinson–White (WPW) sering digunakan pada preeksitasi ventrikel yang
berhubungan dengan takiaritmia.

Bagaimana Preeksitasi dapat Memperpendek Interval P–R ?


Pada pasien dengan preeksitasi, impuls jantung normal yang berasal
dari nodus SA dikonduksikan secara simultan melalui jalur normal (nodus
AV) dan tidak normal (jalur bypass). Karena konduksi melalui jalur bypass
lebih cepat, impuls jantung dengan cepat mencapai dan mendepolarisasi
area di ventrikel dimana jalur bypass berakhir. Depolarisasi dini dari ventrikel
ini digambarkan oleh interval P-R yang pendek dan defleksi awal yang
tertutup (gelombang ) pada kompleks QRS. Penyebaran impuls yang tidak
normal ke bagian ventrikel lainnya tertunda karena harus dikonduksikan oleh
otot ventrikel biasa, bukan oleh sistem Purkinje yang jauh lebih cepat. Bagian
lain dari ventrikel kemudian mengalami depolarisasi oleh impuls normal dari
nodus AV mengikuti preeksitasi yang sudah lebih dulu terjadi. Meskipun
interval P-R diperpendek, QRS yang timbul hanya sedikit memanjang dan
menggambarkan kompleks perpaduan antara depolarisasi ventrikel yang
normal dan abnormal.
Interval P-R pada pasien dengan preeksitasi tergantung pada waktu
konduksi relatif antara jalur nodus AV dan jalur bypass. Bila konduksi melalui
jalur nodus AV itu cepat, preeksitasi (dan gelombang ) menjadi kurang
menonjol, dan QRS akan relatif normal. Bila konduksi pada jalur nodus AV
terlambat, preeksitasi akan lebih menonjol, dan lebih banyak bagian ventrikel
yang mengalami depolarisasi oleh impuls dengan konduksi yang abnormal.
Ketika jalur nodus AV terhambat total, seluruh ventrikel mengalami
depolarisasi dengan jalur bypass, menyebabkan interval P-R sangat pendek,
gelombang sangat menonjol, dan kompleks QRS yang melebar dan aneh.
Faktor lain yang mempegaruhi derajat preeksitasi meliputi waktu konduksi
interatrial, jarak ujung atrium jalur bypass dari nodus SA dan tonus otonom.
Interval P-R sering normal atau hanya sedikit memendek dengan jalur bypass
lateral kiri (lokasi yang paling sering). Preeksitasi dapat lebih jelas lagi pada
keadaan denyut jantung yang cepat karena konduksi memperlambat melewati
nodus AV dengan bertambahnya denyut jantung. Perubahan segmen ST
sekunder dan gelombang T juga umum terjadi karena repolarisasi ventrikel
yang abnormal.

Apakah Makna Klinis dari Preeksitasi?


Preeksitasi terjadi pada sekitar 0.3% dari populasi umum. Diperkirakan
20-50% dari orang yang terkena mengalami takiaritmia paroksismal,
khususnya takikardi supraventrikuler paroksismal (PSVT: Paroxysmal
Supraventricular Tachycardia). Meskipun sebagian pasien tetap normal,
preeksitasi dapat dihubungkan dengan anomaly jantung lainnya, meliputi
anomaly Ebstein, prolaps katup mitral, dan kardiomiopati. Tergantung pada
kemampuan konduksinya, jalur bypass pada beberapa pasien dpat menjadi
predisposisi terjadinya takiaritmia dan bahkan kematian mendadak.
Takiaritmia meliputi PSVT, fibrilasi atrium, dan lebih jarang lagi, denyut
atrial. Fibrilasi ventrikel dapat dicetuskan oleh denyut atrial yang muncul
terlalu dini yang berjalan melewati jalur bypass dan menyebabkan ventrikel
mengalami periode yang rawan. Alternatifnya, konduksi impuls yang sangat
cepat menuju ventrikel oleh jalur bypass selama fibrilasi atrium dapat dengan
cepat menyebabkan iskemi miokardium, hipoperfusi dan hipoksia dan
memuncaknya fibrilasi ventrikel.
Pengenalan fenomena preeksitasi juga penting karena bentuk QRS
pada permukaan ECG dapat menyerupai bundle branch block (blok cabang
bundle), hipertrofi ventrikel kanan, infark miokard dan takikardi ventrikel
(selama fibrilasi atrium).
Apakah Makna Riwayat Sinkop Pada Pasien ini?
Pasien ini sebaiknya dievaluasi sebelum operasi oleh ahli kardiologi
untuk kemungkinan penelitian elektrofisiologi, ablasi radiofrekuensi kuratif
dari jalur bypass dan kepentingan terapi obat preoperatif. Penelitian seperti ini
dapat emngindentifikasi lokasi jalur bypass, memprediksikan potensi aritmia
maligna akibat pemberian denyut yang terprogram dan menilai efektifitas
terapi antiaritmia bila ablasi kuratif tidak memungkinkan: ablasi dilaporkan
dapat menyembuhkan lebih dari 90% pasien. Riwayat sinkop mungkin
merupakan hal yang tidak baik karena mengindikasikan kemampuan konduksi
impuls yang sangat cepat melalui jalur bypass, menyebabkan hipoperfusi
sistemik dan mungkin menjadi predisposisi bagi pasien untuk mengalami
kematian mendadak.
Pasien dengan takiaritmia asimtomatik yang kambuh-kambuhan
umumnya tidak memerlukan investigasi atau terapi obat profilaksis. Pasien
dengan takiaritmia episode sering atau aritmia yang berhubungan dengan
gejala yang signifikan membutuhkan trerapi obat dan evaluasi ketat.

Bagaimana Takiaritmia Umumnya Terjadi?


Takiaritmia terjadi sebagai akibat dari pembentukan impuls yang
abnormal atau pengembangan dari impuls yang abnormal (reentry). Impuls
abnormal merupakan akibat dari otomatisasi yang dipercepat, otomatisasi
abnormal atau aktivitas yang dipacu. Biasanya hanya sel nodus SA, jalur
konduksi atrial khusus, area junction nodus AV, dan sistem His-Purkinje
mendepolarisasi secara spontan. Karena repolarisasi diastolik (fase 4) tercepat
pada nodus SA, area otomatisasi lainnya tersupresi. Meskipun demikan,
otomatisasi yang dipercepat atau abnormal pada area lainnya, dapat
mengambil alih fungsi pacemaker dari nodus SA dan menyebabkan takikardi.
Aktivitas yang dipacu merupakan akibat dari keadaan awal setelah
depolarisasi (fase 2 atau 3) atau keadaan lanjut setelah depolarisasi (setelah
fase 3). Terdiri dari depolarisasi amplitudo kecil yang dapat mengikuti
potensial aksi di bawah keadaan tertentu pada jaringan atrium, ventrikel dan
His-Purkinje. Bila keadaan setelah depolarisasi ini mencapai potensi ambang,
maka dapat menyebabkan takiaritmia ekstrasistol atau repetitif yang
dipertahankan. Faktor yang dapat menyebabkan pembentukan impuls
abnormal meliputi naiknya kadar katekolamin, kelainan elektrolit
(hiperkalemia, hipokalemia, dan hiperkalsemia), iskemia, hipoksia, regangan
mekanik dan keracunan obat (khususnya digoksin).
Mekanisme takiaritmia yang paling umum adalah reentry. Empat
kondisi diperlukan untuk mengawali dan mempertahankan reentry (Gambar
19-6): (1) dua area di miokardium yang berbeda dalam konduktivitas atau
refractoriness dan yang dapat membentuk loop elektrik tertutup; (2) blok tidak
terarah pada satu jalur (Gambar 19-16 A dan B); (3) konduksi lambat atau
panjang yang cukup pada sirkuit untuk memungkinkan pemulihan blok
konduksi pada jalur pertama (Gambar 19-16 C); dan (4) eksitasi jalur awal
yang terblok untuk memenuhi loop (Gambar 19-16 D). Reentry biasanya
dipicu oleh adanya impuls jantung yang terlalu dini (prematur).

Gambar 19-16
A–D: Mekanisme reentry. Lihat teks untuk penjelasannya.

Apa Mekanisme PSVT pada Pasien dengan Sindroma WPW?


Bila jalur bypass sukar diperbaiki selama konduksi impuls jantung
anterograde, sebagaimana kontraksi premature atrium (APC) dan impulsnya
dikonduksi oleh nodus AV, impuls yang sama dapat dikonduksikan retrograde
dari ventrikel kembali ke atrium melalui jalur bypass. Impuls retrograde
kemudian dapat mendepolarisasi atrium dan berjalan ke jalur nodus AV lagi,
menghasilkan sirkuit repetitif yang kontinyu (pergerakan sirkuler). Impuls
berulang antara atrium dan ventrikel dan konduksi bergantian antara jalur
nodus AV dan jalur bypass. Istilah konduksi tersembunyi sering digunakan
karena tidakadanya preeksitasi selama aritmia ini menyebabkan QRS normal
yang minim gelombang .
Pergerakan sirkuler jarang melibatkan konduksi anterograde melalui
jalur bypass dan konduksi retrograde melalui jalur nodus AV. Dalam hal ini,
QRS mempunyai gelombang dan sepenuhnya abnormal; aritmia dapat
disalah artikan sebagai takikardi ventrikel.
Mekanisme Lain Apa yang Mungkin Berperan dalam PSVT?
Berkaitan dengan sindroma WPW, PSVT dapat disebabkan oleh
takikardi reentrant AV, takikardi reentrant nodus AV dan nodus SA dan
takikardi reentrant atrial. Pasien dengan takikardi reentrant AV memiliki jalur
bypass ekstranodal yang sama dengan pasien dengan sindroma WPW, tetpai
jalut bypass hanya mengkonduksikan retrograde; preeksitasi dan gelombang
tidak ada. PSVT dapat diawali dengan APC maupun kontraksi prematur
ventrikel (VPC). Gelombang P retrograde biasanya tampak karena
depolarisasi atrium selalu mengikuto depolarisasi ventrikel.
Perbedaan fungsional dalam konduksi dan refractoriness dapat terjadi
dalam nodus AV, nodus SA atau atrium; jalur bypass yang besar tidak
diperlukan. Jasi pergerakan sirkular dapat terjadi pada skala kecil dalam nodus
AV, nodus SA atau atrium secara berturut-turut. PSVT selalu diinduksi selama
reentry nodus SA oleh APC dengan pemanjangan interval P-R; gelombang P
retrograde tidak ada atau tertutup oleh kompleks QRS. APC lain dapat
mengakhiri aritmia.
PSVT berkaitan dengan nodus SA atau reentry atrium selalu
dicetuskan oleh suatu APC. Gelombang P biasanya tampak dan memiliki
pemanjangan interval P-R. Morfologinya normal dengan reentry nodus SA
dan abnormal dengan reentry atrium.
Bagaimana Fibrilasi Atrium pada Pasien dengan Sindroma WPW
dibedakan dengan Aritmia pada Pasien Lain?
Fibrilasi atrium dapat terjadi ketika impuls dikonduksikan retrograde
dengan cepat menuju ke atrium dan tiba untuk mencari bagian lain dari
atrium diluar fase pemulihan dari impuls. Bila fibrilasi atrium suda
ditegakkan, konduksi menuju ventrikel paling sering terjadi melalui jalur
bypass saja; karena jalur tambahan untuk mengkonduksikan dengan cepat
(tidak seperti jalur nodus AV), kecepatan ventrikel / sangat cepat (180-300
denyut/menit). Mayoritas kompleks QRS merupakan suatu keanehan, tetapi
konduksi periodic suatu impuls melalui jalur nodus AV menyebabkan
kompleks QRS yang kadang tampak normal. Lebih jarang lagi, impuls selama
fibrilasi atrium dikonduksikan terutama melalui jalur nodus AV
(menyebabkan sebagian besar kompleks QRS normal) atau melalui jalur
nypass dan jalur nodus AV (menyebabkan perpaduan kompleks QRS yang
normal, fusi dan aneh). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, fibrilasi
atrium pada pasien dengan sindroma WPW merupakan aritmia yang sanbgat
berbahaya.

Agen Anestesi Apa yang Aman Digunakan pada Pasien dengan


Preeksitasi?
Hanya sedikit data yang tersedia yang membandingkan agen atau
teknik anestesi pada pasien dengan preeksitasi. Hampir seluruh agen volatile
dan intravena telah digunakan dengan keberhasilan yang sama. Anestesi
volatile meningkatkan refractoriness retrograde pada jalur normal maupun
tambahan (enflurane>isoflurane>halotan) dan meningkatkan
penggandaaninterval (suatu ukuran kemampuan ekstrasistol untuk
menginduksi takikardi). Propofol, opioid, dan benzodiazepine emmepunyai
sedikit efek elektrofisiologis langsung tetapi dapat mengubah tonus otonom,
umumnya mengurangi aliran simpatis. Faktor yang cenderung menyebabkan
stimulasi simpatis dan meningkatnya otomatisasi jantung tidak diinginkan.
Premedikasi dengan benzodiazepin membantu menurunkan tonus simpatis
yang tinggi preoperatif. Agenyang dapat meningkatkan tonus simpatis seperti
ketamin dan mungkin pancuronium dalam bolus dosis besar, sebaiknya
dihindari. Antikolinergik sebaiknya digunakan dengan hati-hati; glikopirolat
lebih dipilih daripada atropine (lihat Bab 11). Intubasi endotrakeal sebaiknya
hanya dilakukan setelah pasien teranestesi dalam (lihat Bab 20); pretreatment
dengan penghambat beta adrenergic seperti esmolol mungkin berguna.
Anestesia ringan, hiperkapnia, asidosis dan bahkan hipoksia akan
mengaktivasi sistem simpatis dan harus dihindari. Ekstubasi dalam dan
analgesia preoperatif yang baik (tanpa asidosis respiratorik) juga dapat
membantu mencegah onset aritmia. Ketika pasien dengan preeksitasi
dianestesi untuk penelitian elektrofisiologi dan bedah ablasi, opioid, propofol
dan bezodiazepin merupakan agen yang paling mungkin untuk mengubah
karakteristik konduksi.

Bagaimana Agen Antiaritmia Terpilih untuk Takiaritmia ?


Sebagian besar agen antiaritmia bekerja mengubah konduksi sel
miokardium (fase 0), repolarisasi (fase 3) atau otomatisasi (fase 4).
Pemanjangan repolarisasi meningkatkan refractoriness dari sel. Banyak obat
antiaritmia yang juga menimbulkan efek otonom langsung dan tidak langsung.
Meskipun agen antiaritmia umumnya diklasifikasikan bedasarkan luas
mekanisme kerjanya atau efek elektrofisiologinya (Tabel 19-7), sistem
klasifikasi yang paling umum digunakan itu tidak sempurna karena beberapa
agen mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja. Selain itu agen yang lebih
baru mempunyai keja yang spesifik dan unik, contohnya defetilide bekerja
meralat channel potassium.

Table 19-7. Klasifikasi Agen Anti aritmia


Kelas Mekanisme Kerja Agen Loading Dose
Intravena

I Memblok cepat channel sodium ;    


menurunkan slope pada fase 0 (Vmax)
 

Ia Depresi sedang Vmax, memperpanjang Quinidine2–4 NR


APD  
 

  Procainamide 5–10 mg/kg


(Pronestyl)1,4
 

  Disopyramide NA
(Norpace) 1,4

Ib Efek minimal pada Vmax, memperpendek Lidocaine 1–2 mg/kg


APD
 

  Phenytoin 5–15 mg/kg

  Tocainide NA
(Tonocard)

  Mexiletine (Mexitil) NA
Kelas Mekanisme Kerja Agen Loading Dose
Intravena

  Moricizine NA
(Ethmozine)

Ic Depresi bermakna dari Vmax, efek Flecainide NA


minimal pada APD (Tambacor)
 

  Propafenone NA
(Rythmol)

II Memblok reseptor -adrenergic Propranolol 1–3 mg


(Inderal)

  Esmolol (Brevibloc) 0.5 mg/kg

  Metoprolol 5–10 mg
(Lopressor)

III Memperlama repolarisasi Amiodarone 150 mg


(Cordarone) 5–7

  Bretylium8 5–10 mg/kg


 

  Sotalol (Betapace)9 NA
 

  Ibutilide (Corvert) 1 mg

  Dofetilide (Tikosyn) NA

IV Memblok channel kalsium yang lambat Verapamil (Calan) 2.5–10 mg

  Diltiazem 0.25–0.35 mg/kg


(Cardizem)

V Bervariasi Digoxin 0.5–0.75 mg

  Adenosine 6–12 mg
Kelas Mekanisme Kerja Agen Loading Dose
Intravena

(Adenocard)

1
Vmax, kecepatan maksimum; APD, durasi potensial aksi ; NR, tidak
direkomendasikan; NA, tidak tersedia untuk penggunaan intravena.
2
Juga mempunyai efek antimuscarinic (aktivitas vagolitik).
3
Juga memblok reseptor -adrenergik .
4
Juga memperpanjang repolarisasi
5
Juga mengikat channel sodium cepat tak teraktivasi.
6
Juga memnyebabkan blokaade nonkompetitif - and -adrenergik .
7
Juga memblok channel kalsium lambat.
8
Melepaskan sementara simpanankatekolamin dari akhiran staraf
9
Juga memiliki aktivitas pengahmbatan -adrenergik nonselektif

Pemilihan agen antiaritmia umumnya tergantung pada apakah aritmia bersifat


ventricular atau supra ventricular dan apakah control akut atau terapi kronik
dibutuhkan. Agen intravena biasanya diberikan pada manajemen akut aritmia
sedangkan agen oral diberikan pada terapi kronik. Tabel 19-8

Tabel 19-8 kemampuan farmakologis klinis obat antiaritmia

1
Dari Katzung BG: Basic and Clinical Pharmacology, Edisi 8. McGraw-Hill,
2001.
2
Dapat mensupresi nodus sinus yang bermasalah.
3
Stimulasi awal oleh pelepasan norepinefrin endogen yang diikuti oleh depresi
4
Efek antikolinergik dan aksi depresan langsung
5
Khususnya pada sindroma Wolff–Parkinson–White.
6
Mungkin efektif pada aritmia atrial yang disebabkan oleh digitalis.
7
Waktu paruh dari metabolit aktif lebih panjang
Agen mana yang paling berguna untuk takiaritmia pada pasien dengan
sindrom WPW?
Kardioversi (lihat Bab 47) adalah treatment pilihan pada pasien yang
mengalami penurunan hemodinamik, Adenosin merupakan obat pilihan pada
PSVT karena durasi kerja nya yang singkat, Dosis kecil phenylephrine (100
g) brsama dengan maneuver vagal (pemijatan karotis) membantu mendukung
tekanan darah arterial dan dapat menghentikan aritmia. Agenfarmakologis
yang paling berguna adalah obat kelas Ia, khususnya prokainamid. Agen ini
meningkatkan periode refaraktory dan menurunkan konduksi jalur tambahan.
Selain itu, obat kelasi Ia sering menghentikan dan mensupresi rekurensi PSVT
dan fibrilasi atrium. Obat kelaos Ic dan amiodarone juga bermanfaat karena
emperlambat konduksi dan memperpanjang refractoriness pada nodus AV dan
ajlur tambahan. Aen penghambat beta adrenergic juga bermanfaat khususnya
dalam mengontrol kecepatan ventrikel ketika ritmenya terjadi. Verapamil dan
digoksin merupakankontraindikasi selama fibrilasi atrium karena dapat
mempercepat respon ventrikel. Kedua tipe agen menurunkan konduksi melalui
nodus AV, membantu menurunkan konduksi impuls jalur tambahan. Jalur
bypass mampu mengkonduksi impuls menuju ventrikel lebih cepat dari jalur
nodus AV. Digoksinjuga dapat meningkatkan respon ventrikel dengan
memperpendek periode refractory dan meninbgkatrkan konduksi jalur
tambahan. Meskipun verapamil dapat mengakhiri PSVT , penggunaannya
pada keadaan ini bisa membahayakan karena pasien dapat mengalami fibrilasi
atrium. Selain itu, fibrilasi atrium tidak mungkin dibedakan dari fibrilasi
ventrikel pada pasein ini bila takikari PRS lebar terjadi. Prokainamid lebih
dipilih daripada lidokain pada kasus ini karena umumnya efektif untuk kedua
jenis aritmia.

Anda mungkin juga menyukai