Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HADITS TEMATIK
(Hadits Tentang Pemimpin)

Dosen Pengampuh:
Siti Qurratul Aini., Lc., M.Hum.

Disusun Oleh :
1. Baihaqi (U20181102)
2. Faiqotul himmah (U20181072)
3. Aiyatus syarifah (U20181069)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
2018-2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur tercurahkan kehadirat Allah S.W.T. Yang telah
memberikan segala nikmat sehat dan kesempatan sehingga makalah ini bisa
diselesaikan dengan tepat waktu dan semaksimal mungkin.

Shalawat beserta salam senantiasa tersampaikan kepada junjungan Nabi


besar Muhammad SAW. Beserta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan
seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan dan
kesabarannya telah membawa ummatnya dari alam kebodohan menuju ke alam
yang berilmu pengetahuan.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah HADITS TEMATIK


yang mana tersusun sebuah makalah dengan judul “Hadits Tentang Pemimpin”.
Dalam penulisan makalah ini penyusun masih dalam proses bimbingan dan
pembelajaran. Oleh karena itu, makalah ini jauh dari kata sempurna, baik dari segi
penulisan maupun isinya.

Dan dengan disusunnya makalah ini, diharapkan bisa bermanfaat bagi para
pembacanya. Kritik dan saran yang benar sangat diharapkan oleh penyusun.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................
Daftar Isi............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................
1.2 Rumusan masalah.......................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN................................................................................
2.1 Definisi Pemimpin....................................................................................
2.2 macam-macam Pemimpin.......................................................................
2.3 hadits tentang pemimpin............................................................................

2.4 Perbedaan Pendapat Ulama’.....................................................................

BAB III PENUTUP........................................................................................


3.1 Kesimpulan................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Seiring perkembangan zaman, kepemimpinan secara ilmiah mulai


berkembang bersamaan pertumbuhan manajemen ilmiah yang lebih dikenal
dengan ilmu tentang memimpin. Hal ini terlihat dari banyaknya literatur yang
mengkaji tentang kepemimpinan dengan berbagai sudut pandang atau
perspektifnya. Kepemimpinan tidak hanya dilihat bak saja, akan tetapi dapat
dilihat dari penyiapan sesuatu secara berencana dan dapat melatih calon-calon
pemimpin.
Sejarah timbulnya kepemimpinan, sejak nenek moyang dahulu kala,
kerja sama dan saling melindungi telah muncul bersama-sama dengan perdaban
manusia. Kerja sama tersebut muncul pada tata kehidupan sosial masyarakat atau
kelompok-kelompok manusia dalam rangka untuk mempertahanakan hidupnya
menentang kebuasan binatang dan menghadapi alam sekitarnya. Berangkat dari
kebutuhan bersam tersebut, terjadilah kerja sama antar manusia dan mulai unsur-
unsur kepemimpinan. Orang yang ditunjuk sebagai pemimpin dari kelompok
tersebut ialah orang-orang yang paling kuat dan pemberani, sehingga ada aturan
yang disepakati secara bersama-sama misalnya seorang pemimpin harus lahir dari
keturunan bangsawan, sehat, kuat, berani, ulek, pandai, mempunyai pengaruh dll.
Hingga sampai sekarang seorang pemimpin harus memiliki syarat-syarat yang
tidak ringan karena pemimpin sebagai ujung tombak kelompok.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi pemimpin?
2. Bagaimana Landasan hadits tentang pemimpin?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengatahui definisi pemimpin dan cara pengaplikasiannya
2. Untuk mengkaji hadits-hadits yang berkenaan perihal kepemimpinan
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI PEMIMPIN
Dalam bahasa Indonesia “pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka,
pelopor, Pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala dan
sebagainya. Sedangkan istilah memimpin digunakan dalam konteks hasil
penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi
orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin, kepemimpinan, dan memimpin pada mulanya, berasal
dari kata dasar yang sama yaitu “pimpin”. Namun demikian ketiganya digunakan
dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam system tertentu, karenanya
seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki keterampilan kepemimpina
dan belum tentu mampu memimpin. Istilah kepemimpinan pada dasarnya
berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang
dimiliki seseorang, oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang
bukan pemimpin.
Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan
kelebihan, khususnya kecakapan atau kelebihan disuatu bidang, sehingga dia
mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan
aktifitas-aktifitas tertentu untuk pencapaian beberapa tujuan.
Pemimpin jika dialih bahasakan ke bahasa inggris menjadi “leader”, yang
mempunyai tugas untuk me-lead anggota di sekitarnya. Sedangkan makna lead
adalah:
a. Loyality
Seorang pemimpin harus mampu membangkitan loyalitas rekan kerjanya
dan memberikan loyalitasnya dalam kebaikan.
b. Educate
Seorang pemimpin mampu mengedukasi rekannya dan mewariskan tacit
knowledge pada rekan-rekannya.
c. Advice
Memberikan saran dan nasehat dari permasalahan yang ada.
d. Discipline
Memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan kedisiplinan
dalam setiap aktifitasnya.

B. LANDASAN HADITS TENTANG PEMIMPIN

Hadits bahwa setiap manusia adalah pemimpin:

‫ه‬FF‫ئول عن ر عيت‬FF‫ اال كلكم را ع و كلكم مس‬:‫ا ل‬FF‫ه ق‬FF‫لم ان‬FF‫عن ابن عمر عن النبي صلى هللا عليه و س‬
‫ئو ل‬F‫و مس‬F‫ه و ه‬F‫ل بيت‬F‫ل راع على اه‬F‫فاالمير الذي على الناس راع وهو مسئول عن رعيتهو الرج‬
‫و‬FF‫يده وه‬FF‫ال س‬FF‫ راع على م‬F‫د‬F‫ئولة عنهم مالعب‬FF‫ده وهي مس‬FF‫ا وول‬FF‫عنهم والمرأة راعية على بيت بعله‬
‫>مسئول عنه اال فكلكم راع و كلكم مسئول عن رعيته <رواه مسلم‬
Artinya: Dari Ibnu Umar RA dari Nabi Muhammad SAW berkata:
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: setiap orang adalah pemimpin
dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang
kepala Negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami
adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal
keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah
tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggung jawabnya.
Seorang pembantu rumah tangga adalah bertugas memelihara barang milik
majikannya dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya. Dan kamu
sekalian adalah pemimpin dan akan ditanya atas pertanggung jawabannya.
(HR. Muslim)

Penjelasan dari hadits diatas adalah bahwasannya di dalam setiap diri


manusia mempunyai tanggung jawab untuk memimpin , baik pada diri sendiri
ataupun orang lain. Dan salah satu contohnya telah disebutkan pada hadits diatas.
Diantaranya adalah seorang suami wajib memimpin rumah tangganya.
Pemimpin harus mempunyai sifat adil di dalam semua aspek
kepemimpinannya. Sebagaimana yang tertera dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhory dan Muslim.

‫حدثنا محمد بن سالم اخبرنا عبد هللا عن عبيد هللا بن عمر عن خبيب بن عبد الرحمن عن حفص َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد‬
‫ ٍم ع َْن َأبِي‬F‫َاص‬ ِ ‫ص ْب ِن ع‬ ِ ‫رَّحْ َم ِن ع َْن َح ْف‬F‫ ِد ال‬F‫ب ْب ِن َع ْب‬ ِ ‫ َر ع َْن ُخبَ ْي‬F‫ ِد هَّللا ِ ْب ِن ُع َم‬F‫ ُد هَّللا ِ ع َْن ُعبَ ْي‬F‫ا َع ْب‬FFَ‫اَّل ٍم َأ ْخبَ َرن‬F‫بْنُ َس‬
‫ا ِد ٌل‬FF‫ا ٌم َع‬FF‫ َّل ِإاَّل ِظ ُّلهُ ِإ َم‬F‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َس ْب َعةٌ يُ ِظ ُّلهُ ْم هَّللا ُ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة فِي ِظلِّ ِه يَوْ َم اَل ِظ‬
َ ‫هُ َر ْي َرةَ ع َْن النَّبِ ِّي‬
‫ ِج ِد َو َر ُجاَل ِن ت ََحابَّا‬F‫ق فِي ْال َم ْس‬
ٌ َّ‫هُ ُم َعل‬Fُ‫ت َع ْينَاهُ َو َر ُج ٌل قَ ْلب‬ َ َ‫َو َشابٌّ نَ َشَأ فِي ِعبَا َد ِة هَّللا ِ َو َر ُج ٌل َذ َك َر هَّللا َ فِي خَاَل ٍء فَف‬
ْ ‫اض‬
‫ا‬FFَ‫ َدقَ ٍة فََأ ْخفَاه‬F‫ص‬
َ ِ‫ق ب‬ َ ‫ ٌل ت‬F‫ افُ هَّللا َ َو َر ُج‬F‫ب َو َج َما ٍل ِإلَى نَ ْف ِسهَا قَا َل ِإنِّي َأ َخ‬
َ ‫ َّد‬F‫َص‬ ِ ‫ات َم ْن‬
ٍ ‫ص‬ ُ ‫فِي هَّللا ِ َو َر ُج ٌل َد َع ْتهُ ا ْم َرَأةٌ َذ‬
َ ‫َحتَّى اَل تَ ْعلَ َم ِش َمالُهُ َما‬
ْ ‫صنَ َع‬
Fُ‫ت يَ ِمينُه‬

Dari Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang
bakal bernaung di bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan
allah: Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada allah.
Dan orang yang hatinya selalu gandrung kepada masjid. Dan dua orang yang
saling kasih sayang karena allah, baik waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang
laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan
kata: saya takut kepada allah. Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-
sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh
tangan kanannya. Dan orang berdzikir ingat pada allah sendirian hingga
mencucurkan air matanya. (Bukhary dan Muslim)

Meski hadis ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter orang yang
dijamin keselamatannya oleh allah nanti pada hari kiamat, namun yang sangat
ditekankan oleh hadis ini adalah karakter orang yang pertama, yaitu pemimpin
yang adil. Bukannya kita menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi
karakter pemimpin yang adil memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh
umat manusia. Tanpa pemimpin yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke
dalam jurang penderitaan yang cukup dalam.
Untuk melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil
terhadap rakyatnya adalah melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan yang
dikeluarkannya. Bila seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama dan
setara kepada semua warganya yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa
tebang pilih, maka pemimpin itu bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun
sebaliknya, bila pemimpin itu hanya menghukum sebagian orang (rakyat kecil)
tapi melindungi sebagian yang lain (elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama
melanggar hukum, maka pemimpin itu telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku
yang adil.

Ketika pemimpin sudah melakukan keadilan, maka Allah sudah memberikan


jaminan baginya. Sebagaimana yang telah tertera pada hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim dibawah ini:

َ‫رو يَ ْعنِي ا ْبن‬F ٍ F‫ةَ ع َْن َع ْم‬Fَ‫ ْفيَانُ بْنُ ُعيَ ْين‬F‫ َّدثَنَا ُس‬F‫الُوا َح‬FFَ‫ر ق‬F ٍ ْ‫ ر‬F‫ ُر بْنُ َح‬F‫َح َّدثَنَا َأبُو بَ ْك ِر بْنُ َأبِي َش ْيبَةَ َو ُزهَ ْي‬
ٍ F‫ب َوابْنُ نُ َم ْي‬
‫لَّ َم‬F‫ ِه َو َس‬F‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬F‫ص‬
َ ‫ي‬ ٍ F‫ال ابْنُ نُ َمي ٍْر َوَأبُو بَ ْك‬
َّ ِ‫ ِه النَّب‬Fِ‫ ُغ ب‬Fُ‫ر يَ ْبل‬F ٍ ْ‫َار ع َْن َع ْم ِرو ْب ِن َأو‬
َ َ‫س ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو ق‬ ٍ ‫ِدين‬
ٍ ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َّن ْال ُم ْق ِس ِطينَ ِع ْن َد هَّللا ِ َعلَى َمنَابِ َر ِم ْن ن‬
ِ ‫ور ع َْن يَ ِم‬
‫ين‬ َ ِ ‫ث ُزهَي ٍْر قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ‫َوفِي َح ِدي‬
‫ين الَّ ِذينَ يَ ْع ِدلُونَ فِي ُح ْك ِم ِه ْم َوَأ ْهلِي ِه ْم َو َما َولُوا‬
ٌ ‫الرَّحْ َم ِن َع َّز َو َج َّل َو ِك ْلتَا يَ َد ْي ِه يَ ِم‬

Abdullah bin ‘amru bin al ‘ash r.a berkata: rasulullah saw bersabda: sesungguhnya
orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi allah ditempatkan diatas mimbar dari
cahaya, ialah mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja yang
diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (HR.Muslim)

Bila hadis sebelumnya berbicara tentang keharusan pemimpin bersifat


adil, maka hadis ini lebih mengulas tentang “imbalan” bagi seorang pemimpin
yang adil. Dalam hadis ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin yang adil
adalah kelak di sisi allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya. Secara
harfiyah, mimbar berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang yang hendak
berdakwah atau berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at
biasanya mengacu pada sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk
kepentingan khotib. Sementara cahaya adalah sebuah sinar yang menerangi
sebuah kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada matahari sebagai
penerang bumi, lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb. Oleh sebab itu, kata
mimbar dari cahaya di dalam hadis di atas tentu tidak serta merta dimaknai secara
harfiyah seperti mimbar yang dipenuhi hiasan lampu-lampu yang bersinar terang,
melainkan mimbar cahaya adalah sebuah metafor yang menggambarkan sebuah
posisi yang sangat terhormat di mata allah. Posisi itu mencrminkan sebuah
ketinggian status setinggi cahaya matahari.

Adapun batas-batas kepatuhan rakyat terhadap pemimpin dijelaskan pada hadits


yang selanjutnya yaitu:

ُ ‫لَّى هَّللا‬F‫ص‬ َ ‫هُ ع َْن النَّبِ ِّي‬F‫ َي هَّللا ُ َع ْن‬F‫ض‬ِ ‫ ِد هَّللا ِ َر‬F‫افِ ٌع ع َْن َع ْب‬FFَ‫ َّدثَنِي ن‬F‫َح َّدثَنَا ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ َس ِعي ٍد ع َْن ُعبَ ْي ِد هَّللا ِ َح‬
ِ ‫ َر بِ َمع‬F‫صيَ ٍة فَِإ َذا ُأ ِم‬
‫يَ ٍة فَاَل‬F ‫ْص‬ ِ ‫ال ال َّس ْم ُع َوالطَّا َعةُ َعلَى ْال َمرْ ِء ْال ُم ْسلِ ِم فِي َما َأ َحبَّ َو َك ِرهَ َما لَ ْم يُْؤ َمرْ بِ َم ْع‬ َ َ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ‫َس ْم َع َواَل طَا َعة‬

Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib mendengar dan
ta’at pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali
jika diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib
mendengar dan tidak wajib ta’at.

Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat


terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang
rakyat wajib ta’at dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh,
bahkan boleh berontak atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan
kepatuhan terhadap pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan
rakyatnya untuk berbuat ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan
ma’siyat itu?

Secara bahasa ma’siyat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada
allah. Namun secara istilahi, makna ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah
salah kaprah bila kita membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara
semacam pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok
orang yang mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat
hiburan dengan dalih menghapus kema’siyatan.
Padahal kem’siyatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan
tetapi di kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siyatan dalam
bentuknya yang samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di
kantor-kantor departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di
masjid sekalipun, kita bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud
kema’siyatan di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang
mabuk-mabukan, melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang
dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-
ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak
jujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang tidak
berpihak pada rakyat kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya itu, seorang
ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang
korup juga telah masuk dalam kategori berbuat ma’siyat. Bahkan tindakan yang
tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga
termasuk ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah, dan bagi siapa
yang tidak melaksanakan perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan
orang yang durhaka berarti berbuat ma’siyat kepada allah.

Dengan demikian, kema’siyatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakayat


terhadap pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan pengertiannya yang cukup
luas (mendurhakai allah) bukan saja kema’siyatan yang berarti sempit (seperti
pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan
bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip
kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan
kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena
pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk di hapuskan
di muka bumi ini.

Di dalam pemerintahan, haruslah ada hak rakyat dan tanggung jawab


kepemimpinan yang dikeduanya haruslah seimbang. Lalu, bagaimana hal tersebut
dalam pandangan islam?marilah kita bahas pada hadits dibawah ini.
Hadits tentang keseimbangan hak rakyat dan tanggung jawab pemimpin:

َ‫ب ع َْن ع َْلقَ َمة‬ ٍ ْ‫ك ب ِْن َحر‬ ِ ‫ار قَااَل َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َج ْعفَ ٍر َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ ع َْن ِس َما‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ْال ُمثَنَّى َو ُم َح َّم ُد بْنُ بَ َّش‬
ِ ‫ي هَّللا‬ َ َ‫لَّ َم فَق‬F‫ ِه َو َس‬Fْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَي‬
َّ ِ‫ا نَب‬Fَ‫ال ي‬F َ ‫ْب ِن َواِئ ٍل ْال َحضْ َر ِم ِّي ع َْن َأبِي ِه قَا َل َسَأ َل َسلَ َمةُ بْنُ يَ ِزي َد ْال ُج ْعفِ ُّي َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
‫هُ ثُ َّم‬F‫ض َع ْن‬ َ ‫َأ ْع َر‬Fَ‫َألَهُ ف‬F‫هُ ثُ َّم َس‬F‫ض َع ْن‬ َ ‫َأ ْع َر‬Fَ‫ا ف‬Fَ‫ت َعلَ ْينَا ُأ َم َرا ُء يَ ْسَألُونَا َحقَّهُ ْم َويَ ْمنَعُونَا َحقَّنَا فَ َما تَْأ ُم ُرن‬ْ ‫َأ َرَأيْتَ ِإ ْن قَا َم‬
‫ا‬FF‫وا َو َعلَ ْي ُك ْم َم‬FFُ‫ا ُح ِّمل‬FF‫ا َعلَ ْي ِه ْم َم‬FF‫س َوقَا َل ا ْس َمعُوا َوَأ ِطيعُوا فَِإنَّ َم‬
ٍ ‫ث بْنُ قَ ْي‬ ُ ‫َسَألَهُ فِي الثَّانِيَ ِة َأوْ فِي الثَّالِثَ ِة فَ َج َذبَهُ اَأْل ْش َع‬
ُ ‫ال فَ َج َذبَهُ اَأْل ْش َع‬
‫ث‬ َ َ‫اك بِهَ َذا اِإْل ْسنَا ِد ِم ْثلَهُ َوق‬
ٍ ‫ُح ِّم ْلتُ ْم و َح َّدثَنَا َأبُو بَ ْك ِر بْنُ َأبِي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا َشبَابَةُ َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ ع َْن ِس َم‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْس َمعُوا َوَأ ِطيعُوا فَِإنَّ َما َعلَ ْي ِه ْم َما ُح ِّملُوا َو َعلَ ْي ُك ْم َما ُح ِّم ْلتُ ْم‬
َ ِ ‫س فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ٍ ‫بْنُ قَ ْي‬

Abu hunaidah (wa’il) bin hadjur r.a. Berkata : salamah bin jazid aldju’fy bertanya
kepada rasulullah saw : ya rasulullah, bagaimana jika terangkat diatas kami
kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka
bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada mulanya rasulullah
mengabaikan pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka rasulullah saw
bersabda : dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi masing-masing kewajiban
sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas kamu tanggung
jawabmu. (HR. Muslim)

Kesimpulan dari hadits diatas adalah rakyat memiliki hak dan pemimpin
memiliki tanggung jawab. Begitu pula sebaliknya, rakyat memiliki tanggung
jawab dan pemimpin juga memiliki hak. Antara keduanya harus ada
keseimbangan dan kesetaraan. Yang satu tidak boleh mendominasi yang lain.
Akan tetapi kekuasaan sepenuhnya adalah tetap berada di tangan rakyat. Karena
hakekat kepemimpinan hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang
pemimpin. Bila sang pemimpin tidak bisa menjaga amanat itu dengan baik, maka
kekuasaan kembali berada di tangan rakyat.

Oleh sebab itu, mengingat kesetaraan poisi rakyat dan pemimpin ini, maka
masing-masing memilki hak dan tanggung jawabnya. Hadis di atas menjelaskan
bahwa seorang pemimpin jangan hanya bisa memenuhi haknya, dan mengebiri
hak rakyatnya, akan tetapi seorang pemimpin harus mengakui dan menjamin hak-
hak rakyatnya secara bebas.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, mungkin kita sudah
mengenal konsep hak azazi manusia (ham). Oleh sebab itu, bila kita tarik hadis di
atas dalam kontek saat ini, maka sebanarnya nabi muhammad s.a.w jauh
sebelumnya sudah mengajarkan prinsip-prinsip ham dalam kehidupan politik
rakyatnya. Betapa tidak, dari hadis di atas dapat kita gali sebuah pesan bahwa
islam menjamin ham termasuk di dalamnya hak-hak sipil dan politik (isipol) dan
hak-hak ekonomi sosial dan budaya (ekosob). Karena itu, bila seorang peimimpin
tidak menjamin hak-hak azasi manusia (ham) warganya, maka pemimpin itu telah
keluar dari sunnah rasul s.a.w.

Pemimpin dzalim dibenci oleh Allah, sebagaimana yang tertera pada hadits
dibawah ini:

َ َ‫ال ق‬
‫ال‬FF َ َ‫َطيَّةَ ع َْن َأبِي َس ِعي ٍد ق‬ ِ ‫ق ع َْن ع‬ ٍ ‫ضي ِْل ب ِْن َمرْ ُزو‬ َ ُ‫ضي ٍْل ع َْن ف‬ َ ُ‫َح َّدثَنَا َعلِ ُّي بْنُ ْال ُم ْن ِذ ِر ْال ُكوفِ ُّي َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ف‬
َ ‫ا ِد ٌل َوَأ ْبغ‬Fَ‫ا ٌم ع‬F‫ا ِإ َم‬F‫هُ َمجْ لِ ًس‬F‫اهُ ْم ِم ْن‬Fَ‫ ِة َوَأ ْدن‬F‫وْ َم ْالقِيَا َم‬Fَ‫اس ِإلَى هَّللا ِ ي‬
‫َض‬ ِ َّ‫لَّ َم ِإ َّن َأ َحبَّ الن‬F‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬ َ ِ ‫َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫و ِع‬FFُ‫ال َأب‬F
ُ ‫ ِد‬F‫ى َح‬F‫يس‬
‫يث‬ َ Fَ‫اس ِإلَى هَّللا ِ َوَأ ْب َع َدهُ ْم ِم ْنهُ َمجْ لِسًا ِإ َما ٌم َجاِئ ٌر قَا َل َوفِي ْالبَاب ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َأبِي َأوْ فَى ق‬
ِ َّ‫الن‬
‫ْرفُهُ ِإاَّل ِم ْن هَ َذا ْال َوجْ ِه‬
ِ ‫َريبٌ اَل نَع‬ ٌ ‫َأبِي َس ِعي ٍد َح ِد‬
ِ ‫يث َح َس ٌن غ‬

Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya manusia yang paling dicintai allah pada
hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi allah adalah seorang
pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci allah dan sangat jauh
dari allah adalah seorang pemimpin yang zalim. (HR. Turmudzi)

Hadis ini sekali lagi menekankan bahwa kriteria adil sangat penting bagi
seorang pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh seorang
pemimpin, maka sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil mengangkat
kesejahteraan umatnya. Karena itu, bisa kita fahami mengapa rasul berkali-kali
menekankan akan pentingnya seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini,
seorang pemimpin yang adil akan ditempatkan sangat dekat sekali kedudukannya
dengan allah, sedangkan pemimpin yang dzalim adalah sangat dibenci sekali oleh
allah. Kedua balasan (imbalan dan ancaman) ini tentunya mencerminkan sebuah
penghargaan allah yang begitu besar kepada pemimpin yang mampu berbuat adil
kepada rakyatnya.
Pemimpin dianjurkan memberi suri tauladan yang baik (nasehat) kepada
rakyatnya, sebagaimana yang tertera pada hadits dibawah ini:

‫ ْيبَانِ ِّي ع َْن‬F‫الس‬ ٍ F‫ وَّاصُ ع َْن يَحْ يَى ْب ِن َأبِي َع ْم‬F‫َح َّدثَنَا َمحْ ُمو ُد بْنُ خَالِ ٍد َح َّدثَنَا َأبُو ُم ْس ِه ٍر َح َّدثَنِي َعبَّا ُد بْنُ َعبَّا ٍد ْال َخ‬
َّ ‫رو‬F
‫و ُل اَل‬FFُ‫لَّ َم يَق‬F‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ك اَأْل ْش َج ِع ِّي قَا َل َس ِمع‬
َ ‫ْت َرس‬ ِ ْ‫َع ْم ِرو ب ِْن َع ْب ِد هَّللا ِ ال َّس ْيبَانِ ِّي ع َْن عَو‬
ٍ ِ‫ف ب ِْن َمال‬
‫يَقُصُّ ِإاَّل َأ ِمي ٌر َأوْ َمْأ ُمو ٌر َأوْ ُم ْختَا ٌل‬

Rasulullah saw bersabda: tidak ada yang berhak untuk memberikan ceramah
(nasehat/cerita hikmah) kecuali seorang pemimpin, atau orang yang mendapatkan
izin untuk itu (ma’mur), atau memang orang yang sombong dan haus kedudukan.
(HR. Muslim)

Hadis ini bukan berarti hanya pemimpin yang berhak memberi nasehat
kepada umat, melainkan hadis ini mengandung pesan bahwa seorang pemimpin
seharusnya bisa memberikan suri tauladan yang baik kepada umatnya. Karena
yang dimaksud ceramah disini bukan dalam arti ceramah lantas memberi
wejangan kepada umat, akan tetapi yang dimaksud ceramah itu adalah sebuah
sikap yang perlu dicontohkan kepada umatnya. Seorang penceramah yang baik
dan betul-betul penceramah tentunya bukan dari orang sembarangan, melainkan
dari orang-orang terpilih yang baik akhlaqnya. Begitu pula dalam hadis ini,
pemimpin yang berhak memberikan ceramah itu pemimpin yang memiliki akhlaq
terpuji sehingga akhlaqnya bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya.

Jadi kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang penceramah, maka


itu juga harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Karena pada zaman rasul dulu,
seorang penceramah atau yang memberikan hikmah kepada umat adalah para
penceramah ini, sehingga rasul mengharuskan seorang pemimpin harus memiliki
akhlaq yang sama dengan penceramah ini.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam system tertentu, karenanya


seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki keterampilan kepemimpina
dan belum tentu mampu memimpin. Istilah kepemimpinan pada dasarnya
berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang
dimiliki seseorang, oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang
bukan pemimpin.
Ada beberapa hadits yang berkaitan dengan kepemimpinan dan hadits-
hadits tersebut menjelaskan tentang:
1. Dalam setiap diri seseorang harus memiliki tanggung jawab untuk
memimpin diri sendiri.
2. Pemimpin harus bersifat adil.
3. Jaminan bagi pemimpin yang adil.
4. Batas kepatuhan terhadap pemimpin.
5. Pemimpin yang dzolim.
6. Pemimpin harus memberi tauladan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu

https://islamislogic.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai