Anda di halaman 1dari 25

Makalah “Kepemimpinan Non Muslim”

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu

Pada Mata Kuliah Manajemen Kepemimpinan Islam

Dosen : Dr. Nazaruddin, S.Sy.,MH.I 

Oleh :

EKO SANTOSO
NIM. 190307001

ASFANDI
NIM. 190307002

HUKUM PIDANA ISLAM 5A

FAKULTAS EKONOMI DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH SINJAI

2021/2022
KATAPENGANTAR

AssalamualaikumWr.Wb.

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Manajemen
Kepemimpinan Islam dengan judul : “Kepemimpinan Non Muslim”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan do’a. saran dan kritik sehingga
makalah dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurana


dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak.

Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan

Hormat Kami

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Non Muslim 3
B. Pandangan Pro dan Kontra Kepemimpinan Non Muslim 12
C. Pandangan Hadits Terhadap Kepemimpinan Non Muslim 18

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN 22
B. SARAN 22

DAFTAR PUSTAKA 23

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Pendahuluan

Agar kehidupan suatu umat berjalan secara teratur dan hubungan


sesama manusia berjalan dengan rukun dan damai. Maka diangkatlah seorang
pemimpin yang diberikan kewenangan untuk mengomandoi pelaksanaan
aturan yang telab ditetapkan. Mengingat peranannya yang sangat signifikan,
maka dalam Islam pengangkatan seorang pemimpin adalah sesuatu yang
sangat urgen. Bahkan jika ada tiga orang muslim melakukan perjalanan jauh, 
Rasulullah menganjurkan agar salah seorang mereka diangkat sebagai
pemimpin.

Seorang pemimpin dalam Islam mempunyai tanggung jawab yang


sangat besar, bukan hanya menjadi pengarah dalam pelaksanaan kebijakan
yang dibuat oleh manusia. Tetapi ia merupakan khalifah Alfah di dunia yang
berperan mengomandoi dan mengarahkan umat manusia agar mereka
melaksanakan aturan dan hukum Allah.

Dalam era globalisasi ini, masalah kepemimpinan bukan hanya


masalah lokal atau wilayah suatu negara saja. Pengangkatan seorang
pemimpin lebih banyak dipengaruhi oleh permasalahan politik dunia. Apalagi
dengan adanya sistem demokrasi, seorang  pemimpin yang akan diangkat
adalah yang mempunyai dukungan terbanyak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimna Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Non Muslim ?
2. Bagaimana Pandangan Pro dan Kontra Kepemimpinan Non Muslim ?
3. Apa pandangan Hadits Terhadap Kepemimpinan Non Muslim ?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Non
Muslim ?
2. Untuk mengetahui Pandangan Pro dan Kontra Kepemimpinan Non
Muslim ?

3. Untuk mengetahui pandangan Hadits Terhadap Kepemimpinan Non


Muslim ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Non Muslim


1. Pendekatan Tafsir

Al-Qur'an adalah kitab pedoman dan tuntunan bagi manusia dalam


mengatur kehidupannya. Al-Qur'an telah memberikan aturan-aturan
umum atau prinsip-prinsip dasar terhadap  permasalahan hidup. Ketika al-
Qur"an berbicara masalah kepemimpinan maka bahasa yang digunakan
adalah bahasa yang  umum makna dan cakupannya.

Tidak ditemukan dalam al-Quran kata rais, mudir, atau amir untuk
pemimpin serta ayat yang secara sharih memerintahkan atau mengatur
cara pemilihan rais, amir atau mudir tersebut. Ketika berbicara masalah
kepemimpinan maka bahasa yang digunakan adalah auliya dan ulil arnri.
Kata auliya adalah bentuk jamak dari wali yang mempunyai banyak arti.
Di antaranya pemimpin, penolong, teman dekat, halif (orang yang
bersumpah untuk saling menolong), yang dicintai, yang mengikuti, yang
menta'ati, penanggungjawab dan kerabat1.

Namun menurut para mufassir baik dari kalangan sahabat maupun


tabi'in, auliya bisa ditafsirkan dengan para pemimpin. Menurut penulis,
al-Qur'an memakai kata auliya, karena pada hakikatnya seorang
pemimpin dalam Islam adalah pemandu dan penolong umat menuju
kebenaran.

Seorang pemimpin dalam Islam harus memperlakukan Raknyatnya


seperti is memperlakukan kerabatnya sendiri, bukan hanya seseorang

1 Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasth, ( Kairo, Dar-al Ma’rif 1972) h.1058

3
amir (pemerintah) atau rais (yang mengepalai) atau mudir
(pengendali). Pemimpin dalam Islam tidak menyebabkan derjatnya
berbeda dengan umatnya, tetapi ia diangkat untuk mengayomi umat
dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.

Untuk lebih jelasnya penulis akan kutip beberapa ayat al-Qur'an yang
berbicara tentang kepemimpinan seperti berikut:

1. Surat Ali Imran ayat 28

ٰ
‫س مِنَ ٱهَّلل ِ فِى‬
َ ‫ُون ٱ ْل ُمْؤ ِمنِينَ ۖ َو َمن َي ْف َعلْ َذلِ َك َفلَ ْي‬
ِ ‫ٓاء مِن د‬ َ ‫اَّل َي َّت ِخ ِذ ٱ ْل ُمْؤ ِم ُنونَ ٱ ْل ٰ َكف ِِرينَ َأ ْولِ َي‬
ُ‫سهُۥ ۗ َوِإلَى ٱهَّلل ِ ٱ ْل َمصِ ير‬
َ ‫وا ِم ْن ُه ْم ُت َق ٰى ًة ۗ َو ُي َح ِّذ ُر ُك ُم ٱهَّلل ُ َن ْف‬
۟ ُ‫ش ْىءٍ ِإٓاَّل َأن َت َّتق‬ َ

Lā yattakhiżil-mu`minụnal-kāfirīna auliyā`a min dụnil-mu`minīn, wa may


yaf'al żālika fa laisa minallāhi fī syai`in illā an tattaqụ min-hum tuqāh, wa
yuḥażżirukumullāhu nafsah, wa ilallāhil-maṣīr
Artinya: Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah
kembali (mu).

Ayat ini menurut Ibnu Abbas turun berkenaan dengan peristiwa


adanya hubungan akrab antara orang Yahudi al-Hajjaj bin Amar, Kahmas bin
Abi al-Hagiq dan Qais bin Zaid dengan beberapa orang anshar. Hubungan itu
untuk menimbulkan fitnah dalam agama. Maka beberapa orang sahabat
seperti Rifa'ah bin al-Munzir. Abdullah bin Jubair dan Sa'id bin Khaitsamah
menasehati mereka agar menjauhi orang Yahudi tersebut dan waspada
terhadap fitnah mereka. Namun mereka enggan untuk mengikuti nasehat

4
mereka dan tetap saja mengadakan hubungan akrab dengan mereka,
maka Allah menurunkan ayat ini2.

Menurut riwayat Jubair bin al Dahhak dari Ibnu Abbas Ayat ini turun
berkenaan dengan tindakan 'Ubadah bin Shamit ketika terjadi perang al-
Ahzab. 'Ubadah pemah mengikat perjanjian untuk saling membantu
dengan lima ratus orang Yahudi, maka ketika perang'al-Ahzab tersebut ia
berinisiatif dan mengusulkan kepada Rasulullah untuk minta bantuan mereka
menghadapi musuh. Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan
peristiwa tersebut3.

Ayat ini secara sharih melarang orang-orang yang beriman


menjadikan orang kafir menjadi wali. Kalau dilihat asbab al-nuzul yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ayat ini. yang dimaksud menjadikan wali
adalah menjalin hubungan akrab dengan mereka ( Yahudi ) Sehingga wali itu
dijadikan tempat meminta nasehat dan tempat bercerita, termasuk hal-hal
yang sangat pribadi.

Kalau dilihat dari asbab al-nuzul riwayat Jubair, maka larangan


menjadikan mereka wali maksudnya adalah meminta bantuan kepada. mereka
dalam menghadapi musuh. Namun menurut Abdurrahman al-Sa'di larangan di
sini tidak hanya terbatas seperti dalam asbab al-nuzul, tetapi mencakup
larangan untuk menjadikan mereka pemimpin diwilayah kaum muslimin4.

2 Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, Fath al-Qadir, (Beriut, Dark alFikr, 1994) Juz I,
h. 418
3 Al-Wahidi,, Abi al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, ( Kairo, Matba’ah al-
manar, 1968) h, 58
4 Al-Sa’did, Abdurahman bin Nashir, Tafsir al-karim al-Rahman fi Tafsir kalam al-
Manar, ( Mu’assasah al-Risalah, 2001), h.128

5
Ayat ini juga memberikan pengecualian. Ketika seseorang terpaksa
untuk berwali kepada non muslim, maka dalam rangka menjaga jiwanya ia
dibolehkan Allah mengakui hal tersebut secara lahir, tetapi tidak secara batin.

2. Surat al-Nisa' ayat 144


‫َأن تَ ْج َع لُ وا‬
ْ ‫ون‬ ُ ‫ َأتُ ِر‬7ۚ ‫ين‬
َ ‫يد‬ ِِ ِ ِ ‫َأي ه ا الَّ ِذ ين آم ن وا اَل َت تَّ ِخ ُذ وا الْ َك افِ ِر ين َأو لِ ي‬
َ ‫اء م ْن ُد ون الْ ُم ْؤ م ن‬
َ َ ْ َ َُ َ َ ُّ ‫يَ ا‬

‫لِ لَّ ِه َع لَ ْي ُك ْم ُس ْل طَ انً ا ُم بِ ينً ا‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-


orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)

Ayat ini secara sharih juga melarang orang mukmin menjadikan orang kafir
sebagai wali. Dan Allah mengancam orang yang melakukan itu dengan siksaan-
Nya.Ayat ini berhubungan dengan masalah orang munafiq, yang tidak punya
pendirian. Karena itu al-Syaukani menafsirkan ayat ini dengan mangatakan :'' Jangan
kamu jadikan orang-orang kafir itu tempat curhat dan membuka rahasia seperti yang
dilakukan oleh orang munafik terhadap orang-orang kafir5.

3.  Surat al-Maidah ayat 51

۞ ُ‫َأو لِ يَ اء‬
ْ ‫ض ُه ْم‬
ُ ‫ َب ْع‬7ۘ ‫اء‬ ِ ‫َأي ه ا الَّ ِذ ين آم ن وا اَل َت تَّ ِخ ُذ وا الْ ي ه ود و النَّ ص ار ٰى‬
َ َ‫َأو ل ي‬
ْ َ َ َ َ َُ َُ َ َ ُّ ‫يَ ا‬

ِِ ِ ِ ِ َّ
َ ‫ ِإ َّن اللَّ هَ اَل َي ْه د ي الْ َق ْو َم الظَّ ال م‬7ۗ ‫ َو َم ْن َي َت َو ل ُه ْم م ْن ُك ْم فَ ِإ نَّ هُ م ْن ُه ْم‬7ۚ ‫ض‬
‫ين‬ ٍ ‫َب ْع‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-


orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu

5 Al-Syaukani, op.cit, Jilid I, h. 669

6
Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.

Menurut Athiyah al-'Aufa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa


yang terjadi antara 'Ubadah bin al-Shamit ( salah seorang tokoh Islam dari
bani Auf bin Khazraj) dengan Abdullah bin Ubay bin Salul ( tokoh
munafiq ) terikat oleo suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi
Bani Qainuqa’. Ketika Qainuqa’ memerangi Rasulullah SAW Abdullah bin
Ubai tidak melibatkan diri, dan Ubadah bin Shamit berangkat menghadap
kepada Rasulullah saw. Untuk membersihkan dirir kepada Allah dan
Rasulnya dari ikatan Bani Qinuqa’ itu, serta serta menggabungkan diri
kepada Rasulullah dan menyatakan diri taat hanya kepada Allah dan
Rasullnya. Maka turunlah ayat ini. Yang mengingatkan orang beriman untuk
tetap taat kepada Allah dan Rasulnya dan tidak mengangkat kaum yahudi
dan nashara menjadi pemimpin mereka6.

Ayat ini juga menjelaskan dengan sharih tentang larangan


menjadikan orang Yahuni dan Nasrani menjadi wali. Allah mangancam
orang-orang yang menjadikan mereka wali adalah termasuk golongan
mereka. Menurut Sayyid Quthub, menjadikan mereka wali adalah dengan
mengadakan kesepakatan dalam hal mengikuti agama mereka7.

2. Pendekatan Hadits

Hadist - Hadist yang berhubungan dengan masalah kepemimpinan dalam


Islam diantaranya adalah:

6 Al-Wahidi, op,cit.,h. 113
7 Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur’an, ( Beriut, Ihya’ al-Turast al-‘Arabi, 1971) Juz IV,
h. 759

7
a. Hadits Pertama

“Diriwayatkan dari Auf bin Malik dari Rasulullah SAW, beliau


berkata : " Sebaik-balk pemimpin kamu adalah mereka yang
kamu cintai dan merekapun mencintai kamu, mereka mendoakan
kamu dan kamupun mendoakannya. Dan seburuk-buruk
pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan kamupun
dibenci oleh mereka, kamu melaknat mereka dan merekapun
melaknat kamu ". Lalu ditanyakan kepada Rasulullah saw.
Apakah tidak sebaiknya kamu perangi saja mereka dengan
pedang? Beliau menjawab: jangan, selama mereka mendirikan
sholat. Dan apabila kamu nielihat dari pemimpinmu sesuatu
yang kamu benci,bencilah perbuatannya dan jangan kamu
melepaskam diri dari ketaatan”. (HR Muslim.) 8

Kata-kata menunjukkan bahwa, tidak diizinkan membangkang


terhadap pemimpin (khalifah) dengan semata-mata kedhaliman dan
kefasikannya selagi ia mendirikan sholat. 9 Dan kaum mukmimin
dianjurkan mencari pemimpim yang mereka cintai dan selalu
mendoakan mereka. Hal ini tentu lebih layak ditujukan kepada
sesama muslim dari pada terhadap orang non muslim.

b. Hadits Kedua
" Siapa yang mentaatiku, maka sungguh Ia telah mentaati Allah
SWT. Dan siapa yang durhaka kepadaku, sungguh ia telah

8 AI-Wahidi, op_cit, 240, lihat juga Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim,


(Beirut, Dar alFikr, 1994), Jilid 4, h. 414
9 Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, ( Kairo: Dar al Hadits, 1994), Jilid
6h.486

8
durhaka kepada Allah SWT. Siapa yang mentaati amir berarti ia
telah taat kepadaku, dan Siapa yang mendurhakai amir berarti
ia durhaka kepadaku.( HR: Muslim ) 10
Hadist ini menunjukkan bahwa mentaati amir adalah bagian
dari mentaati Rasul SAW, mentaati Rasul SAW adalah dalam
rangka taat kepada Allah SWT. Maka mentaati amir adalah bagian
dari ibadah bagi seorang muslim. Maka seorang amir haruslah
orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Kekafiran
seseorang sudah menjadi bukti yang amat nyata betapa ia tidak
mau takut kepada Allah swt dan Rasul-Nya.

3. Pendekatan Ushul Fikih dan Fikih

Dalam kitab-kitab fikih imam mazhab, masalah pengangkatan khalifah


jarang dibicarakan. Hal ini, barangkali karena pada masa keemasan fikih,
proses pengangkatan khalifah sering kali hanya ditunjuk oleh khalifah
sebelumnya tanpa berkonsultasi dengan para fuqaha'. Di samping itu ada
juga khalifah naik tahta dengan cara revolusi.

Ketika berbicara masalah kepemimpinan biasanya hal tersebut hanya


dibicarakan dalam masalah syarat imam shalat serta syarat calon hakim atau
qadi. Tidak banyak ditumukan tulisan para mujtahidin tentang pengankatan
seorang khalifah , apalagi presiden atau perdana menteri seperti saat ini. Di
antara ulama yang membahas agak lebih rinci masalah ini adalah al-
Mawardi dan Muhammad bin al-Husain al-Hanbali dalam buku mereka
masing-masing " al-Ahkam al-Sultllaniyah".

10 Ibid

9
Menurut Muhammad Abdurrahman al-Bakr para ulama telah sepakat umuk
memasukkan Islam sebagai salah satu syarat calon gadi11. Yusuf al-Qardawi
ketika menjelaskan ayat ke-28 surat Ali Imran dan surat al-Nisa' ayat 138,139
dan 144 juga menyatakan bahwa ayat- ayat tersebut merupakan peringatan untuk
tidak menjadikan orang kafir atau non muslim sebagai pemimpin12

Mahmud Yusuf Musa dalam kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam menukilkan


beberapa pendapat ulama tentang syarat seorang al-hakim al-A'la ( penguasa tertinggi
). Mereka adalah al-Mawardi, Ibn Hazm, alJuwaini, al-Ghazali, al-Kamal bin Abi
Syarif dan al-Kamal bin al-Hammam dan alBaqillani. Mereka pada umumnya
berpendapat bahwa Islam adalah salah satu syarat al-Hakim al-A'la. Pendapat ini juga
disetujui oleh Mamud Yusuf Musa. 13Al-Syirazi juga menyatakan bahwa seorang
qadhi tidak boleh diangkat dari orang kafir,fasik, budak, anak kecil dan orang
bodoh.14

Abu Ya'la Muhammad bin al-Husain al-Hanbali membagi wilayah


kepemimpinan kedalam empat wilayah.

1. Wilayah umum dengan tugas umum seperti para pembantu (wazir) khalifah
dalam melaksanakan tugasnya.
2. Wilayah umum dengan tugas khusus seperti kepala pemerintahan di daerah.
3. Wilayah khusus dengan tugas umum seperti para pimpinan para hakim (qadi
qudhat) dan pimpinan tentara.
4. Wilayah khusus dengan tugas khusus seperti para hakim (qadhi) di daerah.

Dan masing-masingnya mempunyai salah satu dari dua kewenangan.

11 Imam al-Hafidz ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Ba'ri Bi al-Syarh Sahih al-
Bukhari, ( Kairo: Dar al-Hadits, 1998 ), jilid 13. h.10
12 Ibid h, 11
13 Ibid
14 Imam an-Nawawi, op.cit, h.463

10
a) al-Tafwid

yaitu pimpinan yang mempunyai kewenangan penuh untuk memimpin


Wilayahnya ia diberi kekuasaan untuk menentukan kebijakan
pemerintahannya. Untuk pemimpin yang seperti ini Islam merupakan salah
satu syaratnya. Dengan  mengemukakan dalil surat al-Nisa' ayat 141:

Artinya: ... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-
orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

Menurut Abu Ya’la Yang dimaksud dengan jalan disini adalah


kekhilafahan. ia juga mengemukakan dalil surat Ali Imran ayat 118 yang
melarang orang beriman untuk memberikan kepercayaan kepada mereka serta
surat al-Mumtahanah ayat 1 yang melarang menjadikan musuh Allah dan
orang beriman dijadikan wali.

b) Tanfizh

Kewenanga tanfizd yaitu pimpinan yang berwenang melaksanakan


perintah dan aturan yang telah dibuat oleh pimpinan tertinggi ia tidak
mempunyai kebijakan untuk mengatur sendiri daerah yang
dipimpinnya. Semua kebijakan ditentukan oleh atasannya. Untuk pimpinan
yang seperti ini tidak disyaratkan seperti syarat pimpinan yang mempunyai
kewenangan tafwidz.15

15 Muhammad Abdurrahman al-Bakr, al-Sulthah al-Qadhaiyah f i   Syahshiyah al-


Qad fi nizham al-Islam, ( Kairo, al-Zahra' lil i'lam al-Arabi, 1988 ), h. 312

11
B. Pandangan Pro dan Kontra Kepemimpinan Non Muslim
a. Pro Kepemimpinan Non Muslim
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hal yang harus dimiliki seorang
pemimpin adalah keadilan, terlepas dari apakah pemimpin tersebut muslim
maupun Non Muslim, karena kadilan yang akan membawa masyarakatnya
menuju kemaslahatan yang menjadi kunci dari segala permasalah
mu’amalah termasuk didalamnya adalah masalah politik.16
Dari pandangan tersebut kemudian munculah pendapat dari Ibnu
Taimiyah yang cukup kontrovesional yaitu “lebih baik dipimimpin oleh
pemimpin kafir yang adil yang adil, daripada pemimpin oleh pemimpin
muslim yang zalim”. Pendapat Ibnu Taimiyah juga dikutip oleh Sa’id Aqil
Siraj ketua umum pengurus besar Nahdlatul Ulama’ yang berpendapat
bahwa “Dalam urusan dunia, diluar konteks akhirat keadilah adalah salah
satu acuan kepemimpinan yang ada didunia”. Lebih lanjut Ibnu
Taimiyahjuga menambahkan bahwa pemilihan seorang pemimpin bukan
karena nash akan tetapi karena persetujuan rakyat dan kesepakatan bersama
demi sebuah kadilan. Imam Al Mawardi berpendapat dalam Kitab al-
Ahkamus Sultoniyah, bahwa posisi pejabat negara boleh pegang oleh Non
Muslim dalam hal ini Kafir Dimmi (tidak memerangi Islam) dalam tatanan
kenegaraan dibagian eksekutif/ tanfiz atau pelaksana dari keputusan yang
telah dibuat seperti kepala daerah, akan tetapi tidak diperbolehkan dalam
tatanan legislatif/Tafwidh atau perumus sebuah kebijakan, jika konteksnya
pada masa lampau dalam peperangan adalah pengatur starategi dan
kebijakan kenegaraan lainnya dan tidak diperbolahkan dalam tatanan
yudikatif atau pemberi keputusan hukum. Oleh sebab itu sepanjang

16 Khalik, “Pemimpin Non-Muslim Dalam Perspektif Ibnu Taymiyah,” 77

12
pemimpin Non Muslim tidak sebagai otoritas tertinggi maka itu tetapi
diperbolehkan.17
Nahdlatul Ulama’ sesuai dengan hasil Muktamar NU tahun 1999 di
Lirboyo, Kediri, menghasilkan sebuah kesepakatan tentang syarat
diperbolehkannya memilih pemimpin non muslim
a. Apabila tidak ada pemimpin muslim yang berkompeten dalam
memimpin.
b. Apabila calon dari Non muslim tersebut tidak dicurigai berkhianat kepada
Islam atau memiliki track record yang buruk.
c. Apabila orang non muslin tersebut tidak membahayakan dan menjadi
ancaman bagi Islam. 18
Pernyataan hampir sama juga dinyatakan dalam Batshul Masa’il
Ulama Muda NU tentang kepemimpinan non muslim, menghasilkan
kesepakatan bahwa terpilihnya non muslim dalam kontestasi politik
berdasarkan konstitusi adalah sah, dan setiap warga negara dalam ranah
pribadi sepenuhnya memiliki hak dalam memilih pemimpin baik muslim
maupun non muslim atau tanpa melihat latarbelakang agama yang dianut.
Syarat-syarat yang berhasil dirumuskan dalam Muktamar NU diatas,
bisa dikategorikan sebagai batasan kaum muslim dalam bekerja sama
dengan non Muslim. Selain tiga point tadi, Farid Esack menyebutkan
beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika terjadi kerja sama antara
muslim dengan nonmuslim, hal ini tentu saja untuk tetap menjaga hak-
hak yang harus diperoleh, dan mewujudkan Islam sebagai agama yang
rahmatan lil ‘alamin, diantaranya adalah sebagai berikut:

17 AlhafizKurniawan, “Memilih Pemimpin Non Muslim, Bolehkah?,” accessed


December 18, 2019, https://islam.nu.or.id/post/read/63567/memilih-pemimpin-non-
muslim-bolehkah.
18 Mukafi Niam, “Pilihan Antara Pemimpin Muslim Dan Non-Muslim,” accessed
December 18, 2019

13
a. Kerjasama tersebut tidak boleh sampai meninggalkan umat Islam
sendiri.
b. Kerjasama tersebut harus memberikan perlindungan jangka panjang
terhadap Islam dan bukan berupa kepentingan sesaat.
Dalam menentukan pihak-pihak yang bisa diajak untuk kerjasama juga
harus memenuhi beberapa persyaratan yang ada, yaitu:
a. Telah terikat perjanjian damai atau tidak menunjukkan permusuhan
terhadap Islam.
b. Bukan pihak-pihak yang membuat Islam menjadi bahan ejekan.
c. Bukan orang yang mengingkari kebenaran.
d. Bukan pihak yang membantu pihak-pihak yang mengusir Islam.19
Batasan diatas bisa juga diaplikasikan ketika pemilihan pemimpin yang
berasal dari golongan non-muslim. Disini pemimpin bisa diartikan
sebagai pihak yang diajak kerja sama saling menguntungkan antara
muslim dengan non-muslim, karena tentu mereka akan menawarkan janji-
janji manis saat masa kampanye untuk dapat menrik suara kaum muslim.
Disinilah yang kami maksud sebagai hubungan kerja sama yang saling
menguntungkan antara kedua belah pihak. Namun dalam pelaksanaannya
tentu dengan memperhatikan batasan-batasan di atas.
Dari beberapa pandagan diatas dapat kita simpulkan bahwa,
kepemimpinan non muslim boleh dilakukan apabila konteks negara yang
dianut bukan mengikuti sistem agama Islam, dikarenakan negara yang
menganut sistem demokrasi seperti Indonesia memberikan hak seluas-
luasnya bagi setiap individu baik muslim maupun non muslim untuk
memililih pemimpinnya dan hak untuk memimpin. Yang menjadi

19 Muhammad Yusuf, “Hubungan Muslim Dengan Non-Muslim Perspektif Ulama


Bugis,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 14, no. 2 (November 1, 2014): 282,
doi:10.21154/al-tahrir.v14i2.74

14
penekanan dalam memilih seorang pemimpin adalah apakah orang
tersebut mampu berbuat adil,
b. Kontra Kepemimpinan Non Muslim
Dalam tafsir al-Wasith, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat ini
turun berkenaan dengan dua orang yaitu Ubadah bin Shamit dan Abdullah
bin Ubai. Ubadah bin Shamit tetap berpegang teguh untuk membela Allah
dan Rasul-Nya sementara Abdullah bin Ubai lebih memilih untuk berpindah
membela Yahudi dengan alasan keselamatan. Kemudian dijelaskan juga
bahwa melalui ayat ini, Allah melarang kaum mukmin untuk menjadikan
orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin dalam pembelaan dan
pergaulan yang menyebabkan pembaruan dan sikap saling menguatkan satu
sama lain.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pelarangan ini dalam hal janji setia,
pemberian informasi-informasi rahasia, dan berteman dekat dengan mereka.
Hal ini dengan asumsi bahwa mereka semua tidak tulus dalam melakukan itu
semua. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti kaum muslimin tidak
diperbolehkan untuk berhubungan sosial dengan mereka. Interaksi antara
kaum muslimin dengan mereka diperbolehkan selama tidak sampai
memberikan loyalitas kepada mereka.20
Pemberian loyalitas yang sangat mendalam kepada mereka dikhawatirkan
akan membuat mereka bersikap semaunya, dan kita bisa jadi akan mengikuti
segala yang diperintahkan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu dan
mengindahkan aturan-aturan yang ada, khususnya dalam hal keagamaan.
Penggambaran orang yang memiliki loyalitas berlebih bisa kita lihat dalam
sepak bola, ketika seseorang sudah sangat loyal terhadap klubnya, maka tak
jarang mereka akan berbuat diluar dugaan dan mengesampingkan aturan

20 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith, terj. Muhtadi, dkk., (Jakarta; Gema Insani
2012), Jilid 1, 411-412

16
yang ada. Senada dengan Wahbah az-Zuhaili, Sayyid Quthb, mengartikan
kata walayah/wilayah dengan makna saling memberikan kesetiaan dengan
mereka, dan tidak terikat dengan makna mengikuti agama mereka.21
Maksud dari pemberiaan kesetiaan ini adalah bersifat loyalitas kepada
mereka dalam segala hal. Namun berbeda lagi dengan bersikap toleransi,
perlu digaris bawahi di sini adalah pemberian toleransi dan pemberian
kewenangan sebagai pemimpin adalah hal yang berbeda. Kedua hal ini
terkadang menjadi samar dihadapan mereka yang kaum muslimin yang
belum matang dan belum lengkap pengetahuannya terhadap hakikat agama
dan fungsinya sebagai gerakan manhajiyah yang realistis. Maksud dari
gerakan ini adalah gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan realitas di
bumi yang berdasarkan nilai-nilai Islami.22
“… sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain…”,
Penggalan ayat ini ditafsirkan oleh Sayyid Quthb bahwa mereka (Yahudi
dan Nashrani) tidak akan memimpin kaum muslimin dalam arti yang
sebenar-benarnya, dan tidak akan pernah melindungi mereka di negeri
manapun dan dalam sejarah yang manapun. Sementara dalam hal pemberian
wewenang kepada Yahudi dan Nashrani, Sayyid Quthb menjelaskan bahwa
seorang muslim yang menjadikan mereka sebagai pemimpin berarti orang itu
telah melepaskan diri dari barisan Islam.23
Masih dari kalangan yang menolak pemimpin dari golongan nonmuslim,
dari penafsiran Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya berdasarkan kisah Umar bin
Khattab, Abu Musa al-Asy’ari, dan juru tulisnya. Dalam kisah tersebut Umar
memerintahkan Abu Musa untuk memecat sekretarisnya dikarenakan ia
seorang Nashrani.

21 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, terj. As’ad Yasin, (Jakarta; Gema Insani,
2013), Jilid 3, 249.
22 Ibid., 250.
23 Ibid., 251-252

17
Kemudian Ibn Katsir mengambil kesimpulan bahwa tidak boleh bagi umat
Islam untuk mengangkat pemimpin dari non-muslim, memandang dalam
kisah tersebut mereka yang menjabat sebagai sekretaris saja tidak
diperbolehkan, apalagi untuk jabatan yang lebih tinggi juga berlaku hukum
yang sama.
Lebih lanjut Ibn Katsir mengungkapkan dalam QS. Al-Maidah ayat 51 ini
bahwa orang-orang muslim yang memilih selain golongan mereka sebagai
pemimpin kaum muslimin, maka mereka termasuk dalam golongan
orangorang munafik.
C. Pandangan Hadits Terhadap Kepemimpinan Non Muslim

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada
kami Al Laits dari 'Uqail berkata, Ibnu Syihab telah mengabarkan kepada saya
'Urwah bin Az Zubair bahwa 'Aisyah radliallahu 'anha isteri Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu
Bakar menyewa seorang dari suku Ad-Dil sebagai petunjuk jalan yang dipercaya
yang orang itu masih memeluk agama kafir Quraisy. Maka keduanya
mempercayakan kepadanya perjalanan keduanya lalu keduanya meminta
kepadanya untuk singgah di gua Tsur setelah perjalanan tiga malam.”

Dalam hadist di atas yang diriwayatkan Imam Bukhori bahwa Rasulullah


dan Abu Bakar pernah mengupah seorang laki-laki kafir Quraisy sebagai
petunjuk jalan. Untuk memahami hadit ini bisa kita lihat melalui dua sudut
pandang, pertama, kerjasama antara Nabi dan Kafir Quraisy hanya sebata
kerjasama yang dibayar dengan upah, seperti kerjasama antara majikan dan
buruh. Kedua, Nabi memberikan tugas yang cukup penting kepada orang kafir
Quraisy sebagai petunjuk jalan, yang artinya nabi percaya sepenuhnya kepada
orang kafir ini, sehingga kerjasama antara muslim dan non muslim harus didasari
dengan rasa percaya sepenuhnya. Jika ditarik kapada tema kepemimpnan non
Muslim maka ini merupakan bentuk kerjasama antara Muslim sebagai rakyat dan

18
Non Muslim sebagai pemimpin berlandaskan kepercayaan bersama.
Muslim percaya terhadap pemimpin yang mempunyai kompetensi dalam
memimpin menuju keadilan dan kesejahteraan dan Non Muslim percaya bahwa
amanah yang telah dipercayakan kepadanya akan menghasilakan hal baik
dikemudian hari dari para rakyatnya.

Selain hadist di atas, pembahasan kita selanjutnya mengenai kisah


mengenai Umar bin Khattab, Abu Musa, dan juru tulisnya yang dijadikan dasar
oleh Ibn Katsir dalam penetapan hukum pemimpin non-muslim dan telah kita
singgung sedikit di muka. Sebelum kita membahasnya lebih lanjut, lebih baiknya
untuk kita simak bagaimana kisah tersebut sepenuhnya sebagai berikut;

“Umar pernah menyuruh Abu Musa al-Asy’ari untuk melaporkan kepadanya


pemasukan dan pengeluaran (yang dicatat) pada selembar kulit yang telah
disamak. Pada waktu itu, Abu Musa al-Asy’ari mempunyai seorang sekertaris
beragama Nasrani. Kemudian sekertarisnya itu menghadap ‘Umar untuk
memberikan laporan, maka ‘Umar sangat kagum seraya berujar, ‘Ia benar-
benar orang yang sangat teliti. Apakah engkau bisa membacakan untuk kami di
masjid, satu surat yang baru kami terima dari syam.’ Maka Abu Musa al-Asy’ari
mengatakan, bahwa ia tidak bisa. Maka ‘Umar bertanya : ‘Apakah ia junub?’
Abu Musa menjawab : ‘Tidak, tetapi ia seorang Nasrani.’ Maka ‘Umar pun
menghardikkudan memukul pahaku, lalu berkata : ‘Pecatlah orang itu.’
Selanjutnya ‘Umar membaca, QS Al-Maidah: 51. 24

Dari kisah di atas sepintas kita bisa menyimpullkan bahwa khalifah Umar
melarang seorang non-Muslim untuk menduduki jabatan yang sangat strategis
dalam pemerintahan. Karena jika orang tersebut memiliki niatan untuk
berkhianat, dengan membocorkan informasi-informasi penting kepada musuh-

24 Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibn Katsir, terj. Muhammada Abdul Ghoffar,
(Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2003), 106-107.

19
musuh Islam, maka saat Islam akan dengan mudah dapat dikalahkan.
Mengingat saat itu sedang gencar-gencarnya Islam melakukan ekspansi ke
berbagai wilayah. Illat yang dapat kita pahami dalam kasus Umar bin Khattab
dan Abu Musa tersebut adalah kebergantungan Abu Musa terhadap anak
buahnya, posisi strategis dalam hal catatan keluar masuk zakat jizyah, serta
potensi bocornya informasi rahasia Negara yang tengah melakukan ekspansi
dakwah.25

Ketika penulis cari kisah tersebut di Kutubut Tis’ah, penulis tidak


berhasil menemukannya. Namun, menurut Gus Nadirsyah yang telah melakukan
kajian lebih mendalam, mendapati bahwa kisah di atas bukanlah sebuah hadist,
melainkan atsar (perkataan) sahabat yang termuat dalam kitab Sunan al-Kubro lil
Baihaqi, Imam Baihaqi memasukkan memasukkan dua riwayat berbeda dari atsar
di atas.26

Jika melihat dari kedudukannya untuk digunakan sebagai hujjah, atsar


masih berada di bawah hadist, dan penggunaannya pun masih menjadi perbedaan
pendapat ulama. Untuk penggunaan atsar (yang dalam hal ini menurut ilmu
Ushul Fiqh dikatakan sebagai qaulus shahabi, karena kisahnya berhenti di Umar
dan tidak sampai pada Rasulullah SAW) sebagai hujjah dan menjadi perbedaan
pendapat ulama diantaranya adalah, dari ulama yang menerima kehujjahan
qaulus shahabi27

Dari beberapa pembahasan di atas, dapat kita lihat bersama mengenai


perbedaan pendapat mengenai atsar, apakah dapat digunakan sebagai hujjah atau
tidak. Sementara jika kita melihat di Indonesia yang mayoritas mengikuti
madzhab Imam Syafi’I tentu dengan tidak keberatan untuk memperbolehkan

25 Nadisrsyah Hosen, Tafsir Al-Quran…, 85.


26 Nadisrsyah Hosen, Tafsir Al-Quran…, 86
27 Ibid., 87

20
pemimpin dari non-Muslim. Namun di sisi lain, keluwesan Islam kepada
kita dalam bermadzhab seperti ketika jamaah Indonesia berhaji dan saat di sana
dapat berpindah madzhab akan memberikan warna tersendiri dalam memaknai
persoalan perbedaan non-Muslim.

21
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbedaan Ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tentang kepemimpinan Non
Muslim ditengah-tengah masyaraka Muslim, antara boleh dan tidaknya memiliki
pendapat yang sama-sama didasarakan pada Al-Qur’an dengan analisa dan
pengambilan sudut pandangan yang berbeda-beda. Pembahasan tentang
kepemimpinan meruapakan pembahasan yang vital, karena besar tidaknya
perubahan dalam suatu masyarakat beragantung pada bagiamana seorang
pemimpin mengatur sistem yang ada, tidak pada persaolan kepada siapa
kepemimpinan itu dijalankan, muslim atau non muslim. Jika dilihat dalam
konteks keindonesiaan, maka yang perlu digaris bawahi bahwa Indonesia adalah
negara denga mayoritas Muslim tetapi bukan berlandaskan pada asas Islam,
tetapi dengan asas hukum, yang artinya semua warga megara memiliki hak yang
sama dalam memimpin maupun dipimpin.

B. Saran
Alhamdulillah berkat kesempatan yang diberikan Allah SWT makalah ini
dapat terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan. Sebagai penyusun, kami
merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu
kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat memperbaiki
makalah yang selanjutnya.

22
DAFTAR KFPUSTAKAAN

Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasth, ( Kairo, Dar-al Ma’rif 1972) h.1058


Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, Fath al-Qadir, (Beriut, Dark alFikr, 1994) Juz I, h.
418
Al-Wahidi,, Abi al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, ( Kairo, Matba’ah al-
manar, 1968) h, 58
Al-Sa’did, Abdurahman bin Nashir, Tafsir al-karim al-Rahman fi Tafsir kalam al-
Manar, ( Mu’assasah al-Risalah, 2001), h.128
Al-Syaukani, op.cit, Jilid I, h. 669
Al-Wahidi, op,cit.,h. 113
Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur’an, ( Beriut, Ihya’ al-Turast al-‘Arabi, 1971) Juz IV,
h. 759
AI-Wahidi, op_cit, 240, lihat juga Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim,
(Beirut, Dar alFikr, 1994), Jilid 4, h. 414
Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, ( Kairo: Dar al Hadits, 1994), Jilid 6h.486
Ibid
Imam al-Hafidz ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Ba'ri Bi al-Syarh Sahih al-
Bukhari, ( Kairo: Dar al-Hadits, 1998 ), jilid 13. h.10
Ibid h, 11 | Ibid
Imam an-Nawawi, op.cit, h.463
Muhammad Abdurrahman al-Bakr, al-Sulthah al-Qadhaiyah f i   Syahshiyah al-Qad
fi nizham al-Islam, ( Kairo, al-Zahra' lil i'lam al-Arabi, 1988 ), h. 312
Khalik, “Pemimpin Non-Muslim Dalam Perspektif Ibnu Taymiyah,” 77
Alhafiz Kurniawan, “Memilih Pemimpin Non Muslim, Bolehkah?,” accessed
December 18, 2019, https://islam.nu.or.id/post/read/63567/memilih-pemimpin-non-
muslim-bolehkah.
Mukafi Niam, “Pilihan Antara Pemimpin Muslim Dan Non-Muslim,” accessed
December 18, 2019
Muhammad Yusuf, “Hubungan Muslim Dengan Non-Muslim Perspektif Ulama
Bugis,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 14, no. 2 (November 1, 2014): 282,
doi:10.21154/al-tahrir.v14i2.74
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Wasith, terj. Muhtadi, dkk., (Jakarta; Gema Insani
2012), Jilid 1, 411-412
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, terj. As’ad Yasin, (Jakarta; Gema Insani,
2013), Jilid 3, 249.
Ibid., 250. | Ibid., 251-252
Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibn Katsir, terj. Muhammada Abdul Ghoffar,
(Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2003), 106-107.
Nadisrsyah Hosen, Tafsir Al-Quran…, 85.
Nadisrsyah Hosen, Tafsir Al-Quran…, 86
Ibid., 87

23

Anda mungkin juga menyukai