Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AL-QUR’AN HADIS
“KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU, MENGEMBANGKAN DAN
MENGAMALKANNYA”

Penyusun:
An Nisa Nurrahmah
Assyifa Nur Aina
Musdalifah
Nena Fernanda
Muhammad Taher
Rizky Jaka Wahyudi

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 KOTABARU


2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perintah Menuntut Ilmu 3
B. Keutamaan Orang yang Berilmu 7
C. Kedudukan Ulama dalam Islam 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 18
B. Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT.


Atas izin-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
waktu. Tak lupa pula kami kirimkan shalawat serta salam kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta
keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang
senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari ibu guru


mata pelajaran Al-Qur’an Hadis. Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan
pada mata pelajaran yang sedang dipelajari, agar kami semua
menjadi pelajar yang berguna bagi agama,bangsa dan negara.

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak


terdapat kekurangan dan kelemahan, demi kesempurnaan
makalah ini kami sangat berharap perbaikan, kritik dan saran
yang bersifat membangun apabila terdapat kesalahan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita


semua, khususnya kami sebagai penyusun makalah ini umumnya
para pembaca makalah ini.

Terima kasih, wassalamu’alaikum.

Kotabaru, 03 November 2022


Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sebagai umat muslim (orang yang beragama Islam) kita memerlukan belajar secara teratur
(long live education). Belajar dalam Islam bertujuan agar kita dapat ilmu untuk hidup di dunia
dan memperoleh bekal untuk di akhirat. Hal-hal penting tentang ilmu yang harus kita pelajari
nantinya akan berpengaruh dan InsyaAllah dapat menjadi pegangan kita selama hidup di dunia
yaitu dengan ilmu kita dapat mencari nafkah untuk kebutuhan hidup.
Ilmu Adalah Bunga-bunga Ibadah . Kita harus memahami juga untuk apa kita hidup di dunia
ini. Allah menciptakan makhluknya hanya untuk beriman dan bertakwa kepadaNya. Jadi semua
hal di dunia yang telah dan akan kita lakukan, semua ditujukan hanya pada Allah. Setiap hal di
dunia memerlukan ilmu. Sebab kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal. Dengan akal maka
manusia dapat berpikir dan mempergunakan pikirannya untuk memperoleh dan mengamalkan
ilmu.
Menuntut ilmu sebaiknya jangan dianggap kewajiban tetapi sebuah kebutuhan yang asasi
dan sangat penting. Menuntut ilmu dapat mengembangkan pola berpikir seseorang sehingga
dapat memudahkan dalam menjalani kehidupan. Orang yang menghargai ilmu dan
mengamalkannya dengan baik maka hidupnya akan menjadi damai dan sejahtera. Tak jarang
manusia menyepelekan ilmu sebab untuk menuntut ilmu memerlukan biaya dan waktu yang
lama. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa membuka hati dan pikirannya untuk menerima
ilmu. Apabila kita telah membuka hati dan pikiran kita untuk menerima bahwa ilmu itu ada dan
berguna, maka dengan sendirinya diri kita akan terbiasa menuntut ilmu karena kebutuhan hidup
selalu berkaitan dengan ilmu.
Mencari ilmu adalah kebutuhan yang akan menjadi kewajiban bila sudah ditanamkan dalam
hati. Hal tersebut sangat penting karena akan menjadi bekal manusia di dunia dan di akherat.
Islam dianggap sebagai agama pemersatu bangsa dan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Kita sebagai umat muslim akan menjadi orang yang merugi bila tidak menuntut ilmu. Sebab
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina”.
Sabda nabi tersebut menunjukkan bahwa ilmu sangatlah berharga. Ilmu yang kita miliki baru
akan berharga bila sudah diamalkan di jalan Allah. Dengan demikian kita akan mampu
meningkatkan amal ibadah kita kepada Allah SWT.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil judul makalah “Kewajiban Menuntut
Ilmu, Mengembangkan dan Mengamalkannya”

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.         Bagaiman perintah menuntut ilmu dalam Islam ?
2.         Bagaimana keutamaan orang berilmu ?
3.         Bagaimana kedudukan ulama dalam Islam ?

C.       Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.         Bagaiman perintah menuntut ilmu dalam Islam ?
2.         Bagaimana keutamaan orang berilmu ?
3.         Bagaimana kedudukan ulama dalam Islam ?

D.      Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai sumber pengetahuan serta
sebagai tambahan materi khususnya bagi penulis.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Perintah Menuntut Ilmu Dalam Islam


Pada dasarnya kita hidup didunia ini tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah.
Tentunya beribadah dan beramal harus berdasarkan ilmu yang ada di Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Tidak akan tersesat bagi siapa saja yang berpegang teguh dan sungguh-sungguh perpedoman
pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Disebutkan dalam  hadist, bahwasanya ilmu yang wajib dicari seorang muslim ada 3,
sedangkan yang lainnya akan menjadi fadhlun (keutamaan). Ketiga ilmu tersebut adalah ayatun
muhkamatun (ayat-ayat Al-Qur’an yang menghukumi), sunnatun qoimatun (sunnah dari Al-
hadist yang menegakkan) dan faridhotun adilah (ilmu bagi waris atau ilmu faroidh yang adil)
Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda :

‫ِّث ع َْن دَا ُو َد ْب ِن‬ ُ ‫ء ْب ِن َح ْي َوةَ يُ َحد‬Vِ ‫ص َم ْبنَ َر َجا‬ ِ ‫ت عَا‬ ُ ‫َح َّدثَنَا ُم َس َّد ُد ب ُْن ُم َسرْ هَ ٍد َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن دَا ُو َد َس ِم ْع‬
V‫ل يَا َأبَا‬Vَ ‫ل فَقَا‬Vٌ ‫ َر ُج‬Vُ‫ق فَ َجا َءه‬ َ ‫د ِد َم ْش‬Vِ ‫ َم َع َأبِي ال َّدرْ دَا ِء فِي َم ْس ِج‬V‫ت َجالِ ًسا‬ ُ ‫س قَا َل ُك ْن‬ ٍ ‫ير ْب ِن قَ ْي‬ِ ِ‫َج ِمي ٍل ع َْن َكث‬
ِ ‫ك تُ َح ِّدثُهُ ع َْن َرسُو ِل هَّللا‬ َ َّ‫ث بَلَ َغنِي َأن‬ ٍ ‫ه َو َسلَّ َم لِ َح ِدي‬Vِ ‫ هَّللا ُ َعلَ ْي‬V‫صلَّى‬
َ ‫ك ِم ْن َم ِدينَ ِة ال َّرسُو ِل‬ َ ُ‫ ِجْئ ت‬V‫ال َّدرْ دَا ِء ِإنِّي‬
‫ك‬ Vَ َ‫ل َم ْن َسل‬Vُ ‫ه َو َسلَّ َم يَقُو‬Vِ ‫ هَّللا ُ َعلَ ْي‬V‫صلَّى‬ َ ِ ‫ت َرسُو َل هَّللا‬ Vُ ‫ة قَا َل فَِإنِّي َس ِم ْع‬Vٍ ‫ج‬Vَ ‫ت لِ َحا‬ ُ ‫ه َو َسلَّ َم َما ِجْئ‬Vِ ‫ هَّللا ُ َعلَ ْي‬V‫صلَّى‬ َ
Vِ ِ‫ ِرضًا لِطَال‬V‫ض ُع جْ نِ َحتَهَا‬
‫ب‬ ‫َأ‬ ْ ْ
َ َ‫ لَت‬Vَ‫ُق ال َجنَّ ِة َوِإ َّن ال َماَل ِئ َكة‬ Vِ ‫ ِم ْن طُر‬V‫ه طَ ِريقًا‬Vِ ِ‫ك هَّللا ُ ب‬ ْ
Vَ َ‫ب فِي ِه ِعل ًما َسل‬ ْ
Vُ ُ‫ يَطل‬V‫طَ ِريقًا‬
‫ء َوِإ َّن فَضْ َل‬Vِ ‫ف ْال َما‬ Vِ ْ‫ َجو‬V‫َان فِي‬ Vُ ‫ض َو ْال ِحيت‬ ِ ْ‫ اَأْلر‬V‫ت َو َم ْن فِي‬ َّ ‫ ال‬V‫ْال ِع ْل ِم َوِإ َّن ْال َعالِ َم لَيَ ْستَ ْغفِ ُر لَهُ َم ْن فِي‬
ِ ‫س َم َوا‬
‫ء َو َرثَةُ اَأْل ْنبِيَا ِء َوِإ َّن اَأْل ْنبِيَا َء‬Vَ ‫ب َوِإ َّن ْال ُعلَ َما‬ ِ ‫ َساِئ ِر ْال َك َوا ِك‬V‫ر لَ ْيلَةَ ْالبَ ْد ِر َعلَى‬Vِ ‫ ْال َعابِ ِد َكفَضْ ِل ْالقَ َم‬V‫م َعلَى‬Vِ ِ‫ْال َعال‬
‫ي‬ ِ ‫ َوافِ ٍر َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ب ُْن ْال َو ِز‬Vٍّ‫ َأ َخ َذ بِ َحظ‬Vُ‫ َو َّرثُوا ْال ِع ْل َم فَ َم ْن َأ َخ َذه‬V‫لَ ْم يُ َو ِّرثُوا ِدينَارًا َواَل ِدرْ هَ ًما‬
Vُّ ِ‫ير ال ِّد َم ْشق‬
‫ ال َّدرْ دَا ِء يَ ْعنِي ع َْن‬V‫ان ْب ِن َأبِي َسوْ َدةَ ع َْن َأبِي‬ Vَ ‫ه ع َْن ُع ْث َم‬Vِ ِ‫يب ْبنَ َش ْيبَةَ فَ َح َّدثَنِي ب‬ َ ِ‫يت َشب‬ ُ ِ‫َح َّدثَنَا ْال َولِي ُد قَا َل لَق‬
ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ َم ْعنَاه‬ َ ‫النَّبِ ِّي‬

Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad telah


menceritakan kepada kami Abdullah bin Daud aku
mendengar 'Ashim bin Raja bin Haiwah menceritakan
dari Daud bin Jamil dari Katsir bin Qais ia berkata, "Aku pernah
duduk bersama Abu Ad Darda di masjid Damaskus, lalu datanglah
seorang laki-laki kepadanya dan berkata, "Wahai Abu Ad Darda,
sesungguhnya aku datang kepadamu dari kota Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam karena sebuah hadits yang sampai kepadaku bahwa
engkau meriwayatannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Dan tidaklah aku datang kecuali untuk itu." Abu Ad Darda lalu
berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka
Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat
merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu.
Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan
bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan serang alim
dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam
purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi,
dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah
mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah
mengambil bagian yang banyak." Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Al Wazir Ad Dimasyqi telah
menceritakan kepada kami Al Walid ia berkata; aku berjumpa
dengan Syabib bin Syaibah lalu ia menceritakannya kepadaku
dari Utsman bin Abu Saudah dari Abu Ad Darda dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dengan maknanya."
Juga pada hadist rasulullah yang lain,”carilah ilmu walau sampai ke negeri cina”. Dalam
hadist ini kita tidak dituntut mencari ilmu ke cina, tetapi dalam hadist ini rasulullah menyuruh
kita mencari ilmu dari berbagai penjuru dunia. Walau jauh ilmu haru tetap dikejar.
Dalam kitab “ Ta’limul muta’alim” disebutkan bahwa ilmu yang wajib dituntut terlebih
dahulu adalah ilmu haal yaitu ilmu yang seketika itu pasti digunakan dn diamalkan bagi setiap
orang yang sudah baligh. Seperti ilmu tauhid dan ilmu fiqih. Apabila kedua bidang ilmu itu telah
dikuasai, baru mempelajari ilmu-ilmu lainya, misalnya ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan
lainya.
Kadang-kadang orang lupa dalam mendidik anaknya, sehingga lebih mengutamakan ilmu-
ilmu umum daripada ilmu agama. Maka anak menjadi orang yang buta agama dan menyepelekan
kewajiban-kewajiban agamanya. Dalam hal ini orang tua perlu sekali memberikan bekal ilmu
keagamaan sebelum anaknya mempelajari ilmu-ilmu umum.
Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda, “sedekah yang paling utama adalah orang
islam yang belajar suatu ilmu kemudian diajarkan ilmu itu kepada orang lain.”(HR. Ibnu
Majah)
Maksud hadis diatas adalah lebih utama lagi orang yang mau menuntut ilmu kemudian ilmu
itu diajarkan kepada orang lain. Inilah sedekah yang paling utama dibanding sedekah harta
benda. Ini dikarenakan mengajarkan ilmu, khususnya ilmu agama, berarti menenan amal yang
muta’adi (dapat berkembang) yang manfaatnya bukan hanya dikenyam orang yang diajarkan itu
sendiri, tetapi dapat dinikmati orang lain.

B.       Keutamaan Orang Berilmu


Orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah dan
masyarakat. Al-Quran menggelari golongan ini dengan berbagai gelaran mulia dan terhormat
yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah SWT dan
makhluk-Nya. Mereka digelari sebagai “al-Raasikhun fil Ilm” (Al Imran : 7), “Ulul al-Ilmi” (Al
Imran : 18), “Ulul al-Bab” (Al Imran : 190), “al-Basir” dan “as-Sami' “ (Hud : 24), “al-
A'limun” (al-A'nkabut : 43), “al-Ulama” (Fatir : 28), “al-Ahya' “ (Fatir : 35) dan berbagai nama
baik dan gelar mulia lain.

Dalam surat ali Imran ayat ke-18, Allah SWT berfirman: "Allah menyatakan bahwasanya
tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang  berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang- orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada  Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi  Maha Bijaksana".
Dalam ayat ini ditegaskan pada golongan orang berilmu bahwa mereka amat  istimewa di
sisi Allah SWT . Mereka diangkat sejajar dengan para  malaikat yang menjadi saksi Keesaan
Allah SWT. Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat keras terhadap kalangan yang
menyembunyikan kebenaran/ilmu, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan
petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati
Allah dan dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati." (Al-Baqarah: 159)
Rasulullah SAW juga bersabda: "Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, akan dikendali
mulutnya oleh Allah pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka." (HR Ibnu Hibban di
dalam kitab sahih beliau. Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim. Al Hakim dan adz-Dzahabi
berpendapat bahwa hadits ini sahih) Jadi setiap orang yang berilmu harus mengamalkan ilmunya
agar ilmu yang ia peroleh dapat bermanfaat. Misalnya dengan cara mengajar atau mengamalkan
pengetahuanya untuk hal-hal yang bermanfaat.

C.      Kewajiban Mengamalkan Ilmu


Banyak orang menuntut ilmu yang tidak diamalkan,ilmunya menjadi sia-sia hanya
digunakan untuk menunjukan kehebatan dan keutamaan dirinya,serta untuk tujuan yang berbau
keduniaan.
Amalkan ilmumu bila engkau ingin selamat dari adzab Allah. Dalam mengamalkan ilmu
kita harus memperhatikan hal-hal berikut,diantaranya :
1.         Jangan melihat tempat dan waktu dalam mengamalkan ilmu
2.         Meskipun sedikit amalkan ilmumu,
Dikisahkan ,sesungguhnya Al – Junaid setelah meninggal dunia ada seorang yang bermimpi
bertemu dia,lalu ia bertanya kepada Al – junaid : “Wahai Abu Qasim (imam junaid), bagaimana
keadaanmu setelah meninggal? ,Al – Junaid menjawab,”Aduh … kebaikan yang aku lakukan
hilang semuanya,dan seluruh isyarah amal-amal itu juga hilang tidak ada manfa’atnya sedikitpun
,kecuali beberapa rakaat yang aku lakukan di tengah malam”. Keterangan Al- Junaid
membuktikan bahwa derajat seseorang disisi Allah itu tidak dilihat dari banyaknya  ilmu yang
dipelajari dan dikuasai,melainkan dilihat dari pengamalannya. Meskipun ilmunya sedikit lalu
diamalkan itu lebih baik dan berarti dari pada memiliki ilmu yang banyak tetapi tidak diamalkan.
3.         Janganlah menunggu masa tua dalam mengamalkan ilmu.
4.         Jangan beranggapan ilmu itu bisa mengangkat derajat mu bila tanpa diamalkan.
Ali ra berkata : “Barangsiapa menyangka bahwa tanpa jerih payah beribadah dirinya bisa
mencapai derajat yang tinggi,itu berarti dia mengharapkan perkara yang sulit datangnya.
Barangsiapa menyangka bahwa dengan menyepelekan ibadah dirinya bisa mencapai derajat
tinggi,itu menunjukan kesombongan dirinya (ia sudah merasa cukup amal ibadahnya)
Al Hasan berkata : “Mencari surga tanpa beramal adalah suatu dosa,dari jenis dosa-dosa
yang lain
Nabi Isa bersabda: “Orang yang mempelajari suatu ilmu tetapi tidak mau
mengamalkannya,bagaikan seorang wanita yang berbuat zina ditempat tersembunyi,lalu ia hamil
dan perut wanita itu semakin besar,yang akhirnya ketahuan dia hamil. Begitu juga dengan orang
yang tidak mau mengamalkan ilmunya,pada hari kiiamat nanti Allah akan memperlihatkan dia
dihadapan semua makhluk yang hadir di Makhsyar”

D.      Kedudukan Ulama Dalam Islam         


Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya
kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama
bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang
membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang
penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama
menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

َ ‫ون َوالَّ ِذ‬


َ ‫ين اَل يَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬ َ ‫ين يَ ْعلَ ُم‬ ْ َ‫قُ ْل َه ْل ي‬
َ ‫ستَ ِوي الَّ ِذ‬
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9) Dan firman-Nya Azza wa Jalla:

ٍ ‫ين ُأوتُوا ا ْل ِع ْل َم َد َر َجا‬


‫ت‬ َ ‫ين َآ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذ‬
َ ‫يَ ْرفَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذ‬
Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. al-Mujadilah: 11)
Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk
akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut memohonkan
ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama
kedudukannya dengan yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang
sama dengan yang mewariskannya itu. Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniti suatu jalan
untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhya
para malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan
apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan ampun oleh
makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya
keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang.
Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa
yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang paling
banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah
(223) dan Ibnu Hibban (80/al-Mawarid). Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh
para Nabi, dan melanjutkan peranan dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada
Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama
Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam
memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang
tak berdalih dan menerangi jalan.
Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah
dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-
hamba-Nya.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang
menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.”
Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka
hendaklah dia melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian
bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada
istrinya demikian dan demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian
datang orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang bersumpah
pada istrinya demikian-demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah melanggar sumpahnya
dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka cari
tahulah tentang mereka itu).”
 Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan
mata air yang tawar di negeri itu.”
Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib
atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya. Dari Ubadah bin
Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Bukan termasuk umatku
orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan
tidak tahu kedudukan ulama.”

Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal keahlian dan
kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta penetapan  hukum-hukum dan
yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan kedudukannya, serta sewenang-
wenang dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang
biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan martabat para ulama.
Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-cabang
ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta pendapat
tentang kedokteran kepada makanik, dan jangan pula meminta pendapat tentang senibena kepada
para dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya.
Maka bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh
kontemporer? Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak terkenal alim
mengenainya dan tidak pula punya kemampuan memahaminya jauh sekali sebagai ulama yang
mujtahid dan para imam yang kukuh ilmunya serta ahli fiqh yang memiliki keupayaan sebagai
ahli istimbath?
Allah Ta’ala berfirman:

‫ول‬
ِ ‫س‬ُ ‫ف َأ َذاعُوا^ بِ ِه َولَ ْو َردُّوهُ ِإلَى ال َّر‬ ِ ‫وَِإ َذا َجا َء ُه ْم َأ ْم ٌر ِم َن اَأْل ْم ِن َأ ِو ا ْل َخ ْو‬
ْ َ‫ستَ ْنبِطُونَهُ ِم ْن ُه ْم َولَ ْواَل ف‬
‫ض ُل هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم‬ ْ َ‫ين ي‬َ ‫وَِإلَى ُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُه ْم لَ َعلِ َمهُ الَّ ِذ‬
َ َ‫ش ْيط‬
‫ان ِإاَّل قَلِياًل‬ َّ ‫َو َر ْح َمتُهُ اَل تَّبَ ْعتُ ُم ال‬
"Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul
dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan
karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian
kecil saja (di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)
Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang 'Alim dan
cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah, karena nash-
nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh permasalahan kontemporer dan
hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu mahir untuk beristimbath serta mengerluarkan
hukum-hukum dari nash-nash kecuali para ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah mengatakan
tentang makna “Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu
Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”
Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan
Ulil Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal
itu.”
Dan dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga
beliaulah yang akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham
agama.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari: Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi,
bahwasanya beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir (al-Qur`an)
kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka.”
An-Nahl : 44,: Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih bersifat
global, kemudian ditafsirkan oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan pada waktu itu,
sedangkan apa-apa yang belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada para
ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83)

Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan


pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan mereka tidak layak,
maka sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan yang penting, juga untuk kemaslahatan
umum, yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan
yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak tergesa-
gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, dan nasehat , yang faham akan
permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya. Jikalau mereka memandang pada penyebaran
berita itu ada maslahat dan sebagai penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan
mereka, serta dapat melindungi dari musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila
mereka memandang hal itu tidak bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya
lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan berita itu, oleh karena itu Allah berfirman
: “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
(secara resmi) dari mereka.” Yaitu: mengerahkan pikiran dan pandangannya yang lurus serta
ilmunya yang benar.
Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam
suatu masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka, karena itu
lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-
gesa menyebarkan berita tatkala mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan
merenungi sebelum berbicara, apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka
dicegah. Selesai ucapan syaikh rahimahullahu. Dengan penjelasan ini diketahui wahai teman-
teman semua, bahwa perkara yang sulit dan hukum-hukum yang kontemporer serta penjelasan
hukum-hukum syariatnya tidak semua orang boleh campur tangan dalam masalah itu, kecuali
para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah
menjadikan orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam
ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan sulthan
(pemimpin negara) lebih berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai fatwa
oleh manusia, dan mereka kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami baik
dalam ilmu ataupun agama. Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu
pada dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam satu
pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka
orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap pendapatnya.” Selesai
ucapan Ibnu Taimiyah.
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Ilmu Adalah Bunga-bunga Ibadah . Kita harus memahami juga untuk apa kita hidup di dunia
ini. Allah menciptakan makhluknya hanya untuk beriman dan bertakwa kepadaNya. Jadi semua
hal di dunia yang telah dan akan kita lakukan, semua ditujukan hanya pada Allah. Setiap hal di
dunia memerlukan ilmu. Sebab kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal. Dengan akal maka
manusia dapat berpikir dan mempergunakan pikirannya untuk memperoleh dan mengamalkan
ilmu
Menuntut ilmu sebaiknya jangan dianggap kewajiban tetapi sebuah kebutuhan yang asasi
dan sangat penting. Menuntut ilmu dapat mengembangkan pola berpikir seseorang sehingga
dapat memudahkan dalam menjalani kehidupan. Orang yang menghargai ilmu dan
mengamalkannya dengan baik maka hidupnya akan menjadi damai dan sejahtera. Tak jarang
manusia menyepelekan ilmu sebab untuk menuntut ilmu memerlukan biaya dan waktu yang
lama. Mereka adalah orang-orang yang tidak bisa membuka hati dan pikirannya untuk menerima
ilmu. Apabila kita telah membuka hati dan pikiran kita untuk menerima bahwa ilmu itu ada dan
berguna, maka dengan sendirinya diri kita akan terbiasa menuntut ilmu karena kebutuhan hidup
selalu berkaitan dengan ilmu.
Mencari ilmu adalah kebutuhan yang akan menjadi kewajiban bila sudah ditanamkan dalam
hati. Hal tersebut sangat penting karena akan menjadi bekal manusia di dunia dan di akherat.
Islam dianggap sebagai agama pemersatu bangsa dan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Kita sebagai umat muslim akan menjadi orang yang merugi bila tidak menuntut ilmu.

B.       Saran
Untuk menuntut dan mengamalkan Ilmu Pengetahuan harus kita dasar dengan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah swt. agar dapat memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan
serta lingkungan sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA

T-end RI: Kewajiban Menuntut Ilmu, Mengembang kan dan Mengamalkannya (tenri02.blogspot.com)

Anda mungkin juga menyukai