Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Hukum Lingkungan
BENTUK-BENTUK MEKANISME HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA
LINGKUNGAN INTERNASIONAL

Dosen Pengampuh : LESTA INDRA WASPADA SH.MH


Di Susun Oleh : Kelompok 3
ARDIANSAH (I0120503)
IBNU HASYIM (I0120502)
MUALLIF FATURRAHMAN (I0120534)
M. ILHAM (I0120315)
ILHAM (I0120527)
IRMA ANDRIANI (I0120355
NURIATI (I0120316)
MARDINA (I0120356)

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Bentuk-Bentuk Mekanisme Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Internasional
ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad
SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus yang sempurna dan menjadi anugrah
terbesar bagi seluruh alam semesta.

Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Hukum Lingkungan
dengan judul Bentuk-Bentuk Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan Internasional Disamping
itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu selama pembuatan
makalan ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami
mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami
sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat kekurangannya.

Majene, 19 April 2022


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................

DAFTAR ISI .......................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang…………………………………………………………………...I

Rumusan Masalah……………………………....................................................I

Tujuan…………………………………………………………………………..I

BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Sengketa Lingkungan Internasional ...................................................II

Klasifikasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan


Internasional............................................................................................................III

Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Lingkungan Internasional………………..IV

BAB III

Kesimpulan……………………………………………………………………..V

Saran…………………………………………………………………………....VI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lingkungan hidup merupakan Anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib
dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber
penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan
peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan
sumberdaya yang lainmenentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa
udara dan
air. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya
alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang
termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tidak
terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang kita
perlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan
tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya.
Persoalan lingkungan muncul sebagai akibat dari adanya kegiatan industri. Sengketa
lingkngan muncul bukan saja karena peningkatan kesadaran masyarakat tetapi juga dari
penyimpangan yang dilakukan oleh pengusaha industri
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup diatur dalam UUPPLH 1997 yang
menyebutkan “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan
berdasarkan pilihan secara sukarela pada pihak yang bersengketa”. Penyelesaian yang
dilakukan secara Litigasi/Jalur Pengadilan dapat berupa Gugatan Class Action, Legal
Standing,. Sedanggkan penyelesaian Non Litigasi / diluar pengadilan (ADR) Alternatif
Dispute Resolations dengan menggunakan pendekatan koperatif dan partisipatif antara lain;
Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Pencari Fakta, dan Arbritase.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian Sengketa Lingkungan Internasional
2. Klasifikasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Internasional
3. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Lingkungan Internasional

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Sengketa Lingkungan Internasional
2. Untuk mengetahui Klasifikasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Internasional
3. Untuk Mengetahui Penyelesaian Sengketa Lingkungan Internasional

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN SENGKETA LINGKUNGAN INTERNASIONAL
Sengketa internasional adalah perselisihan yang terjadi antarnegara. Hal yang menjadi
sengketa biasanya berupa masalah wilayah, warga negara, hak asasi manusia, atau masalah
terorisme. Untuk mengatasi sengketa antarnegara, hukum internasional mengatur batas negara,
mengatur hubungan diplomasi, membuat, melaksanakan, dan menghapus traktat. Selain itu,
hukum internasional juga mengatur masalah kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial,
budaya, hukum, dan pertahanan keamanan
Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan
adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Sengketa lingkungan
(“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik
atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan: “Dispute. A conflict or
controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim, or demand on oneside,
met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan
bahasa Inggrisnya pun beragam: “dispute resolution”, “conflict management”, conflict
settlement”, “conflict intervention”.
Kata dispute mengandung pengertian pertikaian atau sengketa dimana keduanya yang
dipergunakan secara bergantian John G. Merrills (1991:1). John G. Merrills memahami suatu
persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang
diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak lainnya. Karena itu, sengketa
internasional adalah perselisihan, yang tidak secara eksklusif melibatkan negara, dan memiliki
konsekuensi pada lingkup internasional. Persoalan yang timbul adalah apa yang bisa dijadikan
sebagai subjek persengketaan. Menurut John G. Merrills subyek dari persengketaan dapat
bermacam-macam, mulai dari sengketa mengenai kebijakan suatu negara sampai persoalan
perbatasan John G. Merrills (2003: 529).
2.2 KLASIFIKASI PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN INTERNASIONAL
Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Sengketa
lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang
bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan:
“Dispute. A conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim,
or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi
“penyelesaian sengketa” rujukan bahasa Inggrisnya pun beragam: “dispute resolution”, “conflict
management”, conflict settlement”, “conflict intervention”.5 Dalam suatu sengketa, termasuk
sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi ”perse1isihan para pihak ansich, tetapi perselisihan
yang diiringi adanya “tuntutan” (claim). Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu
sengketa (konflik). Dengan demikian, rumusan Pasal 1 angka 19 UUPLH yang hanya
mengartikan sengketa lingkungan sekedar “perselisihan antara dua pihak atau lebih…” tanpa
mencantumkan “claim” adalah kurang lengkap dan tidak merepresentasikan secara utuh
keberadaan suatu sengketa.
1. Penyelesaian Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (non litigasi)
Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk melindungi hak
keperdataan para pihak yang bersengketa dengan cara cepat dan efisien. Hal mana
mengingat penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi cenderung membutuhkan waktu
lama dan biaya yang relative tidak sedikit. Hal ini disebabkan proses penyelesaian
sengketa lambat, biaya beracara di pengadilan mahal, pengadilan di anggap kurang
responsif dalam penyelesaian perkara, sehingga putusan sering tidak mampu
menyelesaikan masalah dan penumpukan perkara ditingkat Mahkamah Agung yang tidak
terselesaikan.
Mahkamah Agung adalah penjaga gawang utama untuk menjamin adanya supremacy of
law dan meniadakan supremacy of personal interest seperti pernah diamati oleh ahli
filsafat hukum. Paradigma ini berbeda dengan negaranegara penganut commond law
system, menurut H.L.A.Hart7 , pandangan-pandangan Mahkamah Agung sangatlah
disegani baik dari Cour de Cassation Perancis, Hoge Read Belanda, Oberste Gerichtshof
Austria, Supreme Court Amerika Serikat, maupun Privy Concil Inggris. Pengusaha dari
Negara-negara ini, termasuk para bankir-bankirnya sudah biasa hidup dalam alam
naungan payung pandangan-pandangan hukum (legal opinion Mahkamah Agung), karena
ini merupakan kristalisasi kebudayaan hukum negara bersangkutan. Dalam rangkaian
bisnis internasionalnya, mereka tidak saja memperhatikan dengan seksama pandangan-
pandangan hukum Mahkamah Agung mereka sendiri, tetapi juga pandangan-pandangan
hukum dari Mahkamah Agung negara-negara dimana mereka berusaha. Sementara itu,
dalam persidangan perdata di Indonesia, kapan perkara dapat terselesaikan secara
normatif tidak ada aturan hukum yang jelas, sehingga bagi yang beritikad buruk akan
semakin lama menikmati sesuatu hak kebendaan yang bukan miliknya, sebaliknya bagi
yang beritikad baik akan semakin menderita kerugian oleh karena suatu sistem yang tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai
tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif
terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan tersebut dapat difasilitasi melalui jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil
keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, seperti
Pemerintah dan/ atau masyarakat. Masyarakat dalam hal ini dapat membentuk lembaga
penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan
tidak berpihak.
Apabila dikaitkan dengan lembaga diluar pengadilan yang menyelesaikan sengketa
lingkungan, maka pada dasarnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup juga dapat
menggunakan lembaga arbitrase. Sengketa sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Penyelesaian sengketa di
luar pengadilan dapat dibedakan antara penyelesaian sengketa secara damai dan
penyelesaian sengketa secara adversarial. Penyelesaian sengketa secara damai lebih
dikenal dengan penyelesaian secara musyawarah mufakat. Sementara penyelesaian
sengketa secara adversrial lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga
yang tidak terlibat dalam sengketa.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak
dan bersifat sukarela. Para pihak juga bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa
yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa
menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan
menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya. Apabila para pihak
telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat di tempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau salah satu
atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan.
2. Penyelesaian Lingkungan Hidup melalui Pengadilan (litigasi)
Berdasarkan metode penafsiran (“interpretatie” (methode)), maka dapat di tentukan
subyek sengketa lingkungan, yakni: “para pihak yang berselisih”. Meski disadari bahwa
dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang paling
penting adalah: “how to prevent dispute, not how to settle dispute” sesuai dengan
adagium: “prevention Is better than cure”, dan pepatah yang tidak tersangkal
kebenarannya: “an ounce of prevention is worth a pound of cure”. Tujuan diaturnya
penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini antara lain adalah agar pencemaran dan
kerusakan lingkungan dapat di hentikan, ganti kerugian dapat diberikan, penanggung
jawab usaha/kegiatan menaati peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup dan
Pemulihan lingkungan dapat dilaksanakan.
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum pengadilan dilakukan dengan
mengajukan “gugatan lingkungan” berdasarkan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 BW
tentang “ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum” (onrechtmatigedaad). Atas
dasar ketentuan ini, masih sulit bagi korban untuk berhasil dalam gugatan lingkungan,
sehingga kemungkinan kalah perkara besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi korban
pencemaran sebagai penggugat adalah antara lain : pertama, pembuktikan unsur-unsur
yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan (“schuld”) dan unsur
hubungan kausal.12 Pasal 1365 BW mengandung asas tanggunggugat berdasarkan
kesalahan (“schuld aansprakelijkheid”), yang dapat dipersamakan dengan “Liability
based on fault” dalam sistem hukum AngloAmerika. Pembuktian unsur hubungan kausal
antara perbuatan pencemaran dengan kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi
penderita untuk menerangkan dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah,
sehingga tidaklah pada tempatnya. Kedua, masalah beban pembuktian (bewijslast atau
burde of proof) yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan
kewajiban penggugat.13 Padahal, dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada
umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah.
Berdasarkan kelemahan tersebut, Hukum Lingkungan Keperdataan (privaatrechtelijk
miliuerecht) mengenal asaa tanggunggugat mutlak (strick liability-risico
aansprakelijkheid) yang dianut pula oleh Pasal 35 UUPLH. Tanggunggugat mutlak
timbul seketika pada pada saat terjadinya perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan
tergugat. Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah untuk memenuhi rasa
keadilan; menyesuaikan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya
alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk
menginternalisasikan biaya. sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya.14 Hukum
Lingkungan Keperdataan tidak saja mengenal sengketa lingkungan antara individu, tetapi
juga atas nama kelompok masyarakat dengan kepentingan yang sama melalui “gugatan
kelompok” (class action/ actio popularis).
2.3 BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
INTERNASIONAL
Pada umumnya metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan ke dalam dua
kategori yaitu cara-cara penyelesaian secara damai dan cara-cara penyelesaian secara paksa atau
dengan kekerasan (A.A.S.P. Dian Saraswati, 2007:19).
-Penyelesaian Sengketa Secara Damai
Cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan apabila para pihak telah
menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. J.G. Starke mengklasifikasikan
suatu metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai atau bersahabat yaitu
sebagai berikut (J.G. Starke, 2007: 646): arbitrase, penyelesaian yudisial, negosiasi, jasa-jasa
baik (good offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian di bawah naungan
organisasi PBB. Sementara itu, F. Sugeng Istanto (1998:88), menyatakan bahwa penyelesaian
secara damai dapat dilakukan melalui beberapa cara yakni: rujuk, penyelesaian sengketa di
bawah perlindungan PBB, arbitrasi dan peradilan. Melihat pandangan kedua ahli hukum di atas
maka dapat terlihat bahwa penyelesaian sengketa secara damai pada dasarnya dapat dilakukan
berdasarkan:
1. Arbitrasi
Arbitrasi adalah sebuah salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa yang telah
dikenal lama dalam hukum internasional. Dalam penyelesaian suatu kasus sengketa
internasional, sengketa diajukan kepara para arbitrator yang dipilih secara bebas oleh
pihak-pihak yang bersengketa. Menurut F. Sugeng Istanto, arbitrasi adalah suatu cara
penyelesaian sengketa dengan mengajukan sengketa kepada orang-orang tertentu, yang
dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk memutuskan sengketa itu
tanpa harus memperhatikan ketentuan hukum secara ketat.
2. Negosiasi
Negosiasi atau perundingan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk dapat mempelajari
dan merujuki mengenai sikap yang dipersengketakan agar dapat mencapai suatu hasil
yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Apa pun bentuk hasil yang
dicapai, walaupun sebenarnya lebih banyak diterima oleh satu pihak dibandingkan
dengan pihak yang lainnya. Negosiasi merupakan suatu teknik penyelesaian sengketa
yang paling tradisional dan paling sederhana. Dalam teknik penyelesaian sengketa tidak
melibatkan pihak ketiga. Pada dasarnya negosiasi hanya berpusat pada diskusi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang telah dimiliki oleh
keduabelah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti
persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Bilamana jalan keluar ditemukan oleh
pihak-pihak, maka akan berlanjut pada pemberian konsesi dari tiap pihak kepada pihak
lawan (Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 226). Karena itu, dalam hal salah
satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salahsatu cara penyelesaian
ini akan mengalami jalan buntu. Di dalam melakukan negosiasi para pihak harus bisa
bersifat universal, harus memenuhi aturan-aturan tentang niat baik, dan tidak sekedar
dilaksanakan secara formalitas.
3. Mediasi
Mediasi sebenarnya merupakan bentuk lain dari negosiasi sedangkan yang
membedakannya adalah terdapat keterlibatan pihak ketiga. Dalam hal pihak ketiga yang
hanya bertindak sebagai pelaku mediasi atau mediator komunikasi bagi pihak ketiga
untuk mencarikan negosiasi-negosiasi, maka peran dari pihak ketiga disebut sebagai good
office. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran yang aktif untuk
mencari solusi yang tepat untuk melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihakpihak
yang bertikai dan untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di
antara para pihak. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau
hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara, individu, dan organisasi
internasional. Para mediator ini dapat juga bertindak baik atas inisiatifnya sendiri,
menawarkan jasanya sebagai mediator, atau menerima tawaran untuk menjalankan
fungsi-fungsinya atas permintaan dari salah satu atau keduabelah pihak yang bersengketa.
Dalam hal ini, agar mediator dapat berfungsi diperlukan kesepakatan atau konsensus dari
para pihak sebagai prasyarat utama.
4. Konsiliasi
Menurut J. G. Starke (1991:673), istilah konsiliasi mempunyai suatu arti yang luas dan
sempit. Dalam pengertian luas, konsiliasi mencakup berbagai ragam metode dimana
suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau
badanbadan penyelidik dan komite-komite penasihat yang tidak berpihak. Dalam
pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komisi
atau komite untuk membuat laporan beserta usulan-usulan kepada para pihak bagi
penyelesaian sengketa tersebut, usulan itu tidak memiliki sifat mengikat.
5. Pencarian Fakta (Inquiry)
Ketika terjadi pertikaian mengenai fakta dari suatu persoalan, metode inquiry dapat
dipandang paling tepat. Sebab metode ini digunakan untuk mencapai penyelesaian
sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan yang bersifat
internasional untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang relevan dengan
permasalahan kemudian. Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul badan
ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya. Tujuan
dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya adalah: membentuk suatu dasar
bagi penyelesaian sengketa di antara dua negara, yaitu mengawasi pelaksanaan dari suatu
perjanjian internasional, memberikan informasi guna membuat putusan di tingkat
internasional. Pencarian fakta oleh J. G. Starke, disarankan dengan istilah penyelidikan,
tujuan dari penyelidikan tanpa membuat rekomendasirekomendasi yang spesifik adalah
untuk menetapkan fakta yang mungkin diselesaikan dan dengan cara demikian
memperlancar suatu penyelesaian sengketa yang dirundingkan.
-Penyelesaian Sengketa Secara Paksa atau Dengan Kekerasan
Apabila negara-negara tidak dapat mencapai suatu kesepakatan untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa mereka secara damai maka cara pemecahan yang mungkin adalah dengan
melalui cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip cara penyelesaian melalui kekerasan adalah sebagai
berikut:
1. Perang dan Tindakan Bersenjata Non Perang
Menurut F. Sugeng Istanto, pertikaian bersenjata atau perang adalah suatu pertentangan
yang disertai penggunaan kekerasan angkatan bersenjata masingmasing pihak dengan
tujuan menundukkan lawan dan menetapkan persyaratan perdamaian secara sepihak.
Sementara itu, menurut J. G. Starke, keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk dapat
menaklukkan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana
negara yang ditaklukkan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya.
2. Retorsi
Menurut J.G. Starke, retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu
negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas
dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di
dalam konferensi negara yang kehormatannya telah dihina, misalnya merenggangnya
hubunganhubungan diplomatik, pencabutan privilege-privilege diplomatik, atau
penarikan diri dari konsensi-konsensi fiskal dan bea
3. Tindakan-Tindakan Pembalasan (Reprisal)
Menurut pemikiran dari Richard B. Lilich (1980: 130), pembalasan adalah suatu metode-
metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti
kerugian dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya
pembalasan. Sementara itu juga, F. Sugeng Istanto, memberikan definisi reprisal adalah
pembalasan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap tindakan yang melanggar hukum
dari negara lawan dalam suatu sengketa. Reprisal berbeda dengan retorsi karena
perbuatan retorsi hakikatnya merupakan perbuatan yang tidak melanggar hukum
sedangkan perbuatan reprisal pada hakikatnya merupakan perbuatan yang melanggar
hukum.
4. Blokade Secara Damai (Pacific Blockade)
Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang telah terlibat perang
sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Namun, blokade secara damai adalah suatu
tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Sementara itu menurut pendapat dari F.
Sugeng Istanto, blokade adalah suatu pengepungan wilayah, digolongkan sebagai suatu
pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang
pelabuhannya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh
negara yang memblokade.
5. Intervensi
Perkataan intervensi seringkali dipakai secara umum untuk menunjukkan hampir semua
tindakan campurtangan oleh suatu negara dalam urusan negara lain. Menurut suatu
pengertian yang lebih khusus intervensi itu terbatas pada tindakan mencampuri urusan
dalam negeri atau luar negeri dari negara lain yang melanggar kemerdekaan negara itu,
bukanlah satu intervensi suatu pemberian nasehat oleh suatu negara pada suatu negara
lain mengenai beberapa hal yang terletak di dalam kompetensi dari negara yang disebut
kemudian untuk mengambil keputusan untuk dirinya, walaupun pada umumnya orang
mengangap itu sebagai suatu intervensi. Campurtangan harus berbentuk suatu perintah,
yaitu bersifat memaksakan atau ancaman kekerasan berdiri dibelakangnya (J. L. Brierly,
1996:256), campurtangan tersebut hampir selalu disertai dengan suatu bentuk atau
implikasi tindakan untuk mengganggu kemerdekaan politik negara bersangkutan.

BAB III
KESIMPULAN
 Berdasarkan Pasal 84 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
 Klasifikasi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Internasional dibagi menjadi yaitu
Penyelesaian Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (non litigasi) dan Penyelesaian
Lingkungan Hidup melalui Pengadilan (litigasi). Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup dapat ditempuh melalui jalur litigasi dan non litigasi, dengan mengacu sebab
akibat pada hak-hak masyarakat yang dirugikan sebagai pihak penggugat akibat
adanya suatu kegiatan industri ataupun eksploitasi sumber daya alam yang tanpa
memperhatikan kualitas dan kelestarian lingkungan sekitarnya.
 Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa lingkungan internasionl digolongkan dalam dua
bagian yaitu Penyelesaian Sengketa Secara Damai dan Penyelesaian Sengketa Secara
Paksa atau Dengan Kekerasan.

SARAN
Adapun terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah diatas
masih banyak kesalahan dan kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Adapun nantinya
penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan
pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun para pembaca

Anda mungkin juga menyukai