Anda di halaman 1dari 13

PERTEMUAN 1

KONSEP DASAR AKUNTANSI KOMERSIAL DAN AKUNTANSI


FISKAL

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari Pertemuan 1 mengenai Konsep Dasar Akuntansi Komersial
dan Akuntansi Fiskal, mahasiswa mampu membedakan konsep dasar akuntansi
komersial dan akuntansi fiscal berdasarkan peraturan perpajakan dan Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).

B. Uraian Materi
1.1 Pengertian Akuntansi Pajak
Akuntansi Pajak pada dasarnya berasal dari dua kata yaitu Akuntansi dan
Pajak dengan definisi sebagai berikut : Akuntansi menurut Sumarsan (2017)
merupakan “suatu seni untuk mengumpulkan, mengidentifikasi,
mengklasifikasikan, mencatat transaksi serta kejadian yang berhubungan
dengan keuangan sehingga dapat menghasilkan informasi keuangan atau suatu
laporan keuangan yang dapat digunakan oleh pihak-pihak berkepentingan”.
Sedangkan definisi pajak yang diatur dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor 28
Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah
“kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Akuntansi Pajak adalah suatu proses pengklasifikasian dan pencatatan suatu
transaksi keuangan yang berkaitan dengan adanya kewajiban perpajakan
diakhiri dengan penyusunan Laporan Keuangan Fiskal yang dijadikan dasar
dalam penyusunan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan sesuai
dengan ketentuan dan peraturan perpajakan yang berlaku.
Penyataan diatas menunjukkan bahwa wajib pajak memiliki kewajiban untuk
menyusun dua laporan keuangan yang berbeda pada setiap tahunnya, yaitu
laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal. Laporan keuangan
komersial dan laporan keuangan fiscal memiliki dua dasar penyusunan yang
berbeda, dimana laporan keuangan komersial atau dikenal dengan laporan
keuangan Akuntansi disusun berdasarkan prinsip-prinsip Akuntansi yang
diterima secara umum berlandaskan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK), sedangkan laporan keuangan Fiskal disusun berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dalam hal ini mengacu pada Undang Undang
Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008 sebagaimana terakhir diubah dengan
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan (HPP). Pada dasarnya, laporan keuangan fiskal disusun
berdasarkan apa yang diatur dalam Akuntansi seperti jenis laporan keuangan,
posisi pencatatan dan lain sebagainya, hanya saja perpajakan tidak mengatur
mengenai hal tersebut sehingga laporan keuangan fiskal hanya mengubah
pencatatan yang sesuai dengan prinsip dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.

1.2 Konsep Dasar Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal
Dalam Akuntansi, terdapat 5 jenis laporan keuangan yaitu Laporan Laba
Rugi, Laporan Posisi Keuangan, Laporan Perubahan Modal, Laporan Arus Kas
dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Namun, akuntansi perpajakan hanya
berfokus pada perolehan laba yang akan dijadikan dasar pengenaan pajak
terutang sehingga laporan keuangan yang akan dibahas dalam modul ini adalah
Laporan Laba Rugi. Laporan Laba Rugi inilah yang kemudian akan disusun oleh
wajib pajak menjadi Laporan Laba Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal.
Laporan laba rugi komersial seperti diketahui disusun untuk berbagai tujuan dan
pengguna, sedangkan laporan laba rugi fiscal bertujuan untuk menghitung
besarnya pajak terutang yang harus dibayarkan oleh wajib pajak. Laporan laba
rugi komersial tersebut disesuaikan dengan apa yang diatur dalam peraturan
perpajakan hingga didapatkan laba atau rugi fiscal pada tahun pajak
bersangkutan. Siklus akuntansi komersial dan akuntansi fiscal dapat terlihat pada
gambar berikut ini :
Gambar 1. Siklus Akuntansi Komersial dan Akuntansi Fiskal

Pada gambar diatas terlihat bahwa dasar utama dalam penyusunan laporan
laba rugi fiscal adalah laporan laba rugi komersial yang disusun berdasarkan
PSAK yang kemudian disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam
Undang Undang Perpajakan. Proses penyesuaian tersebut yang dikenal dengan
istilah Rekonsiliasi Fiskal yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Dengan
demikian, berikut digambarkan siklus atau mekanisme penyelesaian kewajiban
perpajakan dalam sebuah badan usaha selama satu tahun :

Sumber : Afifudin (2019)


Gambar 2. Siklus Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Badan Usaha
1.3 Laporan Keuangan Fiskal
Laporan keuangan fiscal merupakan laporan keuangan yang disusun
berdasarkan pada peraturan perpajakan dan digunakan untuk kepentingan
perhitungan pajak terutang. Tidak ada satupun Undang Undang Perpajakan yang
mengatur secara khusus bentuk dari laporan keuangan, namun hanya
memberikan pembatasan-pembatasan terkait hal-hal tertentu, misalnya dalam
mengakui biaya dan penghasilan. Akibat dari perbedaan itulah laba fiscal dan
laba komersial akan menunjukkan hasil yang berbeda. Wajib pajak badan dapat
Menyusun laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiscal secara
terpisah atau dengan melakukan koreksi fiscal terhadap laporan keuangan
komersial. Laporan keuangan komersial yang telah dilakukan rekonsiliasi dengan
koreksi fiscal akan menghasilkan laporan keuangan fiscal. Jika wajib pajak tidak
hanya Menyusun Laporan Laba Rugi Fiskal namun juga ingin Menyusun laporan
keuangan fiscal, maka komponen berikut ini harus ada dalam laporan keuangan
fiscal :
a. Neraca Fiskal
b. Perhitungan Laba Rugi Fiskal
c. Penjelasan Laporan Keuangan Fiskal
d. Kertas Kerja Rekonsiliasi Laporan Keuangan Komersial dan Laporan
Keuangan Fiskal

Sama halnya dengan laporan keuangan komersial, laporan keuangan fiscal


memiliki beberapa prinsip yang juga diterapkan dalam laporan keuangan
komersial diantaranya :
1. Cost Principle, sesuai pasal 10 ayat 6 Undang-Undang No 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Perpajakan, persediaan dan pemakaian persediaan
untuk perhitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang
dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang
diperoleh lebih dulu
2. Revenue Principle, sesuai pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Perpajakan menyebutkan bahwa yang menjadi objek
pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik berasal dari dalam negeri maupun
luar negeri, yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan
wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dalam bentuk apapun
3. Matching Principle, menurut Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Perpajakan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan.
4. Objectivity Principle, menurut penjelasan pasal 11A ayat 1 Undang-Undang
No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai
dan goodwill yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun yang
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar yang dihitung dengan cara
menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa
buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat
dilakukan dengan taat asas
5. Consistency Principle, menurut pasal 28 ayat 5 Undang-Undang No 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, pembukuan diselenggarakan dengan
prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas
6. Disclosure Principle, menurut penjelasan pasal 14 Undang-Undang No 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, informasi yang benar dan
lengkap tentang penghasilan wajib pajak sangat penting untuk dapat
mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis
wajib pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, wajib pajak harus
menyelenggarakan pembukuan
7. Conservatism Principle, menurut pasal 9 ayat 1 huruf C Undang-Undang No
7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap tidak boleh dikurangkan dengan pembentukan atau penumpukan dana
cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan
usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen dan perusahaan anjak piutang.
8. Materiality Principle, menurut pasal 9 ayat 2 Undang-Undang No 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat dari 1
tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan
melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 11
atau 11A
9. Uniformity dan Comparability Principle, menurut pasal 13 Undang-Undang No
7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, kewajiban pembukuan
menggunakan cara atau sistem yang dipakai di Indonesia yaitu SAK kecuali
perundang-undangan perpajakan menentukan lain. Jika ada perbedaan
antara akuntansi komersial dengan perpajakan maka Undang-Undang
perpajakan memiliki prioritas untuk dipenuhi agar tidak menimbulkan kerugian
yang material bagi wajib pajak.

C. Tes Formatif
Pilihlah jawaban yang menurut saudara paling tepat :
1. Berikut adalah perbedaan laporan keuangan komersial dan fiscal, kecuali :
a. Laporan keuangan komersial digunakan untuk pengguna internal dan
eksternal, sedangkan laporan keuangan fiscal hanya untuk menghitung pajak
terutang
b. Laporan arus kas merupakan salah satu jenis laporan keuangan komersial
yang tidak ada dalam komponen laporan keuangan fiscal
c. Laba komersial dan laba fiscal akan menunjukkan angka yang sama
d. Jika laporan laba rugi komersial menunjukkan angka laba, bisa saja laporan
laba rugi fiscal menunjukkan angka rugi
2. Berikut ini adalah pernyataan yang salah mengenai laporan keuangan fiscal,
kecuali :
a. Laporan keuangan fiscal dijadikan dasar dalam penyusunan SPT Tahunan
Wajib Pajak Orang Pribadi
b. Laporan keuangan fiscal terdiri dari Laporan Laba Rugi, Neraca, Laporan Arus
Kas, Laporan Perubahan Ekuitas dan Catatan Atas Laporan Keuangan
c. Laporan keuangan fiscal dijadikan dasar dalam penyusunan SPT Tahunan
Wajib Pajak Badan
d. Laporan keuangan fiscal disusun menjadi satu dengan laporan keuangan
komersial
3. Berikut ini adalah pernyataan yang benar mengenai Laporan Keuangan
Komersial, kecuali :
a. Laporan keuangan komersial disusun berdasarkan peraturan perpajakan
yang disesuaikan dengan PSAK untuk menghasilkan laporan keuangan fiscal
b. Laporan keuangan komersial disusun berdasarkan PSAK
c. Laporan keuangan komersial disusun berdasarkan PSAK yang disesuaikan
dengan peraturan perpajakan untuk menghasilkan laporan keuangan fiscal
d. Laporan keuangan komersial disusun untuk kepentingan investor dalam
pengambilan keputusan
4. Berikut ini adalah fungsi penghasilan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 1
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 :
a. Konsumsi dan Menambah Kekayaan
b. Investasi dan Konsumsi
c. Investasi dan Menambah Kekayaan
d. Konsumsi dan Pembayaran
5. Berikut ini adalah statement yang tepat terkait dengan Uniformity atau
Comparability Principle baik dalam laporan keuangan akuntansi dan fiscal,
kecuali :
a. Uniformity atau Comparability Principle merupakan prinsip yang digunakan
dalam penyusunan laporan keuangan komersial dan juga fiscal
b. Comparability Principle dalam akuntansi mengatur bahwa laporan keuangan
harus dapat dibandingkan dengan industry sejenis
c. Comparability Principle dalam perpajakan menyatakan bahwa ketentuan
perpajakan berada diatas PSAK
d. Uniformity Principle menyatakan bahwa PSAK yang digunakan dalam
penyusunan laporan keuangan komersial dan fiscal agar seragam

D. Tugas
Jelaskan point of view yang anda dapatkan mengenai garis besar perbedaan laporan
keuangan komersial dan laporan keuangan fiscal. Point of view dibuat dalam 2
kalimat !

E. Referensi
PERTEMUAN 2
PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari Pertemuan 2 mengenai Pembukuan dan Pencatatan,
mahasiswa mampu mengklasifikasikan wajib pajak yang melakukan pembukuan dan
pencatatan.

B. Uraian Materi
1. Ketentuan Umum
Ketentuan mengenai Pembukuan tertuang dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, yang menyatakan bahwa “yang wajib menyelenggarakan
pembukuan adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan
semua wajib pajak badan di Indonesia”. Sedangkan wajib pajak orang pribadi
ataupun wajib pajak badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang diperkenankan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
(NPPN) dikecualikan dari kewajiban tersebut. Ketentuan mengenai NPPN
selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 14 yang
menyatakan bahwa “yang diperkenankan untuk menghitung penghasilan neto
dengan NPPN adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran bruto dalam satu tahun kurang dari
4.800.000.000”. Sehingga, wajib pajak orang pribadi yang melakukan usaha atau
pekerjaan bebas serta semua wajib pajak badan di Indonesia dengan peredaran
bruto melebihi 4.800.000.000 per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan.
Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 M per tahun dan memilih
untuk melakukan pencatatan atau menghitung penghasilan neto dengan NPPN,
wajib mengajukan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak pada 3 bulan
pertama tahun pajak yang bersangkutan, jika hal tersebut tidak dilakukan maka
wajib pajak dianggap menyelenggarakan pembukuan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam perpajakan dikenal dua istilah mengenai
dokumentasi perputaran uang yang dilakukan oleh pelaku usaha dan pekerja
bebas sebagai basis dilakukannya perhitungan pajak, yaitu pencatatan dan
pembukuan. Maka, pada pertemuan ini pembahasan akan terbagi dalam 3 bagian
besar yaitu Pembukuan, Pencatatan dan Sekilas NPPN.
2. Ketentuan Mengenai Pembukuan
Pembukuan merupakan sebuah proses pencatatan yang dilakukan secara
teratur dalam rangka pengumpulan data dan informasi keuangan yang meliputi
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang diakhir dengan penyusunan laporan keuangan
berupa neraca dan laporan laba rugi pada tahun pajak yang bersangkutan. Dalam
perpajakan, ketentuan mengenai tahun pajak menjadi hal yang sangat penting
karena perpajakan memperkenankan tahun pajak diluar Januari-Desember atau
wajib pajak diperbolehkan menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan
tahun kalender, maka tahun pajaknya adalah tahun yang didalamnya termasuk
enam bulan pertama atau lebih. Misalnya : 1 Januari sampai 31 Desember 2019,
maka dikatakan tahun pajak 2019. 1 April 2019 sampai 31 Maret 2020, maka
disebut tahun pajak 2013. 1 Oktober 2019 sampai 30 September 2020, maka
disebut tahun pajak 2020.
Pembukuan yang dikenal dalam perpajakan juga dikenal dalam Akuntansi.
Siklus akuntansi yang dimulai dari pengumpulan bukti transaksi hingga
penyusunan laporan keuangan dinamakan pembukuan, sehingga akuntansi dan
perpajakan mengenal pembukuan hanya yang membedakan adalah dalam
perpajakan digolongkan kedalam dua kelompok besar wajib pajak yang wajib
menyelenggarakan pembukuan dan yang tidak wajib. Sedangkan dalam
Akuntansi, pembukuan diperlukan untuk semua lini usaha tidak memandang
berapapun omzetnya. Ketentuan pembukuan dalam Akuntansi diatur dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, berupa bentuk jurnal, jenis laporan
keuangan, pengakuan dan pengukuran biaya dan penghasilan, dan lain
sebagainya. Sedangkan perpajakan mengatur secara khusus mengenai
Pembukuan dalam Pasal 28 Undang Undang KUP, dimana pasal ini tidak
mengatur teknis menyelenggarakan pembukuan namun mengenai prinsip-prinsip
dan tata cara menyelenggarakan pembukuan, sebagai berikut :
a. “Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya
b. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan di Indonesia
dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan
disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh
Menteri Keuangan.
c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel
akrual atau stesel kas.
d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
f. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh Wajib pajak setelah mendapat izin Menteri
Keuangan.
g. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
dan dokumen lain termasuk hasil pengelolaan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan
selama sepuluh tahun di Indonesia, yaitu ditempatkan kegiatan atau tempat
tinggal wajib pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan wajib pajak badan”.

3. Ketentuan Mengenai Pencatatan


Pencatatan merupakan proses dokumentasi data-data terkait penerimaan
dan/atau penghasilan bruto yang dikumpulkan secara teratur, termasuk
didalamnya adalah penghasilan yang bukan objek pajak maupun penghasilan
yang dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final. Wajib pajak yang diperbolehkan
menggunakan metode pencatatan dalam konteks pelaku usaha atau pekerja
bebas adalah sebagai berikut :
a. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dengan omzet kurang dari 4,8 M dan tidak memilih menggunakan PPh
Final sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018
b. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dengan omzet
dibawah 4,8 M, dikenakan PPh Final berdasarkan PP 23 namun memilih
menggunakan NPPN
Namun, ketentuan Pajak Penghasilan dalam Undang Undang Harmonisasi
Perpajakan menyatakan bahwa pelaku usaha atau pekerja bebas dengan omzet
per tahun maksimal 500 juta tidak dikenakan Pajak Penghasilan.
Berikut akan dijabarkan secara khusus mengenai Peraturan Pemerintah No 23
Tahun 2018. PP No 23 Tahun 2018 merupakan “Pajak Penghasilan yang
dikenakan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu”. Jika dilihat dari judulnya, sudah jelas
bahwa PP ini digunakan hanya untuk wajib pajak yang memiliki usaha tertentu
dengan penghasilan bruto tertentu. Penghasilan bruto yang dimaksud dalam
peraturan tersebut adalah tidak melebihi Rp 4.800.000.000 per tahun. Tarif yang
berlaku adalah 0,5%. Dalam PP 23, ditentukan bahwa tidak hanya wajib pajak
badan yang berhak menggunakan PP ini, namun juga ditujukan kepada wajib
pajak orang pribadi. Berikut adalah kriteria wajib pajak yang tidak berhak
menggunakan tarif final ini :
a. Wajib pajak dengan peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 per tahun
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki penghasilan dari jasa yang berkaitan
dengan pekerjaan bebas.
c. Penghasilan yang diterima Wajib Pajak di luar negeri yang pajak terutangnya
telah dibayar di negara tersebut.
d. Penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri.
e. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
f. Wajib Pajak Badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk
oleh beberapa WP Orang Pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan
jasa yang berkaitan dengan pekerjaan bebas.
g. Wajib Pajak yang meski di tahun berlakunya peraturan ini memiliki penghasilan
bruto kurang dari Rp 4.800.000.000 per tahun, namun di tahun sebelumnya
memiliki penghasilan lebih Rp 4.800.000.000 per tahun.
h. Wajib pajak yang memilih dikenakan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan
umum

Tarif 0,5% yang berlaku dalam PP 23 memiliki jangka waktu penggunaan yaitu
sebagai berikut :
a. 7 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.
b. 4 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, CV, atau firma.
c. Tahun bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT).

Adapun jangka waktu penerapan PPh Final ini terhitung sejak:


a. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak
berlakunya PP No.23 Tahun 2018..
b. Tahun Pajak berlakunya PP No.23 Tahun 2018, bagi Wajib Pajak yang telah
terdaftar sebelumnya berlaku peraturan ini.

Untuk pembayarannya, PPh final disetor sendiri paling lambat 15 bulan


berikutnya setelah Masa Pajak berakhir menggunakan SSP atau sarana
administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP. Berikut adalah ilustrasi
pengenaan PP 23 :
a. PT XYZ merupakan perusahaan yang bergerak dibidang manufaktur, pada
tahun 2019 mendapatkan penghasilan atas penjualan kendaraan bermotor
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan sebelumnya
digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan. Maka, atas penghasilan
tersebut tidak dikenakan PPh Final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 karena bagi
perusahaan, penghasilan tersebut bukan berasal dari usaha
b. Tuan X pegawai yang menerima dan memperoleh penghasilan dari usaha
dengan peredaran bruto kurang dari 4.8 M, maka atas penghasilan tersebut
dikenakan PP 23
c. Tuan O memiliki usaha toko kelontong yang terdaftar pada tanggal 3 Agustus
2019. Bersamaan dengan pendaftaran NPWP, Tuan O mengajukan
pemberitahuan bahwa usahanya memilih untuk dikenakan PPh berdasarkan
ketentuan umum, sehingga pada tahun pajak 2019 dan seterusnya Tuan O
melakukan penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh berdasarkan
ketentuan umum PPh
d. Tuan C memiliki usaha yang terdaftar sejak 8 Oktober 2017, telah melakukan
penghitungan, penyetoran dan pelaporan usaha berdasarkan PP 46 tahun
2013. Sejak berlakunya PP 23 dan penghapusan PP 46 sejak Juli 2018, Tuan
C melakukan perhitungan, penyetoran dan pelaporan usahanya menggunakan
PP 23 Tahun 2018. Pada bulan November 2019, Tuan C menyampaikan surat
pemberitahuan kepada KPP untuk dikenakan PPh berdasarkan ketentuan
umum Pajak Penghasilan. Sampai dengan akhir tahun pajak 2019, tuan C tetap
menggunakan PP 23 sebagai dasar perhitungan pajaknya dan akan dikenakan
PPh dengan tarif umum mulai tahun pajak 2020 dan selanjutnya.
4. Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Penggunaan NPPN diatur dalam Pasal 14 UU Pajak Penghasilan dan lebih
lanjut diatur pada PER-17/PJ/2015. Dengan NPPN, wajib pajak tidak menghitung
penghasilan neto dengan mengurangi biaya-biaya seperti wajib pajak yang
melakukan pembukuan. Untuk itu, dalam rangka kemudahan bagi wajib pajak,
wajib pajak hanya perlu mengalikan peredaran bruto satu tahun dengan norma
penghitungan penghasilan netto. NPPN dalam modul ini hanya dibahas sekilas
sebagai tambahan pembaca, karena modul ini berfokus pada pembukuan yang
dilakukan oleh wajib pajak dengan omzet diatas 4.8 M per tahun.

C. LATIHAN SOAL
Buatlah point of view menurut saudara mengenai konsep dasar Akuntansi Komersial
dan Akuntansi Fiskal. Pendapat saudara tidak boleh lebih dari 2 kalimat.

D. REFERENSI

Anda mungkin juga menyukai