Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konon menurut Richard M. Bird (1992) pemungutan pajak disuatu negara dianggap
sukses apabila terdapat enam kondisi pendukung, salah satunya adalah adanya praktik
pembukuan (administrasi) yang sehat dan dapat dipercaya (reliable). Pajak secara
administratif dihitung berdasarkan masa pajak tertentu (bulanan atau tahunan), sedangkan
transaksi keuangan diakumulasi dalam suatu masa tertentu. Setiap transaksi didukung dengan
dokumen sebagai dasar pembukuan. Berdasarkan informasi dari pembukuan itu kemudian
dihitung pajak yang terutang atas jumlah seluruh objek pajak yang diterima / diperoleh atau
diserahkan dan dilakukan selama masa pajak yang bersangkutan.
Sirkuler No. SE-50/PJ.71/1989 menyebutkan tiga arti pentingnya pembukuan untuk
perpajakan, yaitu :
1. Mempermudah wajib pajak dalam mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)nya
2. Mempermudah perhitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak (dasar pengenaan pajak
untuk PPN)
3. Menyajikan informasi tentang posisi finansial dan hasil usaha wajib pajak untuk bahan
analisis maupun pengambilan keputusan perusahaan.

Selain itu pembukuan serta bukti pendukungnya juga sangat diperlukan dalam
pemeriksaan pajak, penyidikan, pengajuan keberatan, banding, peninjauan administratif dan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa saja ketentuan kewajiban pembukuan?
2. Apa saja sanksi tidak menyelenggarakan pembukuan?
3. Bagaimana penggunaan noma penghitungan penghasilan neto?
4. Bagaimana hubungan akuntansi pajak dengan hubungan akuntansi komersial?
5. Apa saja persyaratan pembukuan yang menggunakan bahasa dan mata uang asing?
6. Bagaimana pencatatan transaksi dengan mata uang asing?
7. Adakah contoh kasus kewajiban pembukuan?

BAB II

1
PEMBAHASAN

A. Kewajiban Pembukuan

1. Ketentuan Kewajiban Pembukuan


Sesuai dengan Pasal 1 huruf v UU No. 6 Tahun 1983 jo. UU No. 9 Tahun 1994
pembukuan didefinisikan sebagai berikut.
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang,
modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa yang terutang maupun ynag tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, yang
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0 % (nol persen) dan yang dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan
berupa neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap Tahun Pajak berakhir.
Pasal 28 UU No. 6 Tahun 1983 jo. UU No. 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum
Perpajakan mengatur penyelenggaraan pembukuan untuk keperluan perpajakan yaitu
dengan ketentuan sebagai berikut.
a) Wajib Pajak pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib
Pajak badan di Indonesia dengan omset minimal setahun Rp 4,8 miliar (Pasal 14 UU
PPh) wajib menyelenggarakan pembukuan. Mereka yang mempunyai omset dibawah
itu dapat memilih (optional) untuk menyelenggarakan pembukuan (kepadanya
penghasilan netonya dihitung sesuai dengan pembukuan dan bukan berdasar norma
perhitungan).
b) Pembukuan harus harus diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usahayang sebenarnya.
c) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
kas. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat
persetujuan dari Dirjen Pajak.
d) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban atau
utang, modal penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian.
e) Pencatatan dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang dikecualikan (optional) ari
pembukuan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur (ledgerless-book
keeping) tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai
dasar untuk menghitung jumlah pajak terutang termasuk penghasilan yang bukan
objek pajak atau yang dikenakan pajak final.
f) Pembukuan atau pencatatan hasrus diselenggarakan di Indonesia dengan huruf Latin,
angka Arab, dengan bahasa Indonesia dan satuan mata uang rupiah (atau dengan
bahasa Inggris dan mata uang US$ dengan izin Menteri Keuangan).
g) Pembukuan atau pencatatan dokumen yang menjad dasarnya serta dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
secara program aplikasi on line yang berhubungan dengan kegiatan usaha (pekerjaan
bebas) harus disimpan selama sepuluh tahun.
h) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang asing selain rupiah
dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing,
Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil dan kegiatan uasha atau badan lain, setelah
mendapat izin Menteri Keuangan dengan ketentuan bahwa Surat Pemberitahuan harus
diisi dalam bahasa Indonesia dan mata uang rupiah, yang pelaksanaannya ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.

2
i) Pedoman penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak.

Beberapa persyaratan diatas terlihat selaras dengan prinsip pemberdayaan masyarakat


dalam pemajakan dengan adanya sistem self assessment, prinsip itikad baik, dan taat asas
yang merupakan tuntutan moral dan etika dalam pembukuan. Tuntutan itu sejalan dengan
kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat untuk menghitung, membayar dan
melapor sendiri jumlah pajak terutang selama satu masa (tahun) pajak.

Penyimpanan dokumen pembukuan untuk keperluan pajak diatur dalam Pasal 6


KUHD. Jangka waktu penyimpanan sepuluh tahun yang tidak selaras dengan kedaluarsa
penyidikan pajak akhirnya diperpendek menjadi 5 tahun berdasar UU Nomor 28/2007.

2. Sanksi Tidak Diselenggarakannya Pembukuan


Sebagaimana dinyatakan Bird (1992) bahwa keefektifan administrasi pajak
memerlukan adanya sistem pembukuan (administrasi) yang sehat dan dapat dipercaya.
Reliabilitas pembukuan untuk pajak merupakan persyaratan mutlak yang tak dapat
ditawar lagi.
Sanksi bagi wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan diantaranya
adalah:
a) Penghasilan netonya akan dihitung berdasarkan norma penghitungan. Penghitungan
ini tidak memperhatikan realitas bisnis. Oleh karena itu kemungkinan dapat terjadi
bahwa persentase penghasilan neto lebih tinggi dari jumlah sebenarnya yang dapat
dicapai wajib pajak. Selain itu karena norma selalu memberikan angka penghasilan
positif (menghasilkan laba), wajib pajak tidak mungkin menikmati kompensasi
kerugian.
b) Dikenakan sanksi administrasi yang berupa kenaikan pajak 50 % atau 100 % dari
pajak yang kurang dibayar (Pasal 13 ayat 3 UU KUP).

Selanjutnya apabila pajak yang ditetapkan berdasarkan norma penghitungan setelah


diperiksa dan Wajib Pajak merasa keberatan karena tidak menyelenggarakan pembukuan
akan mengalami kesulitan dalam pembuktiannya. Akibatnya dia tidak bisa efektif
memanfaatkan proses keadilan pajak karena tidak mampu menyerahkan buku dan catatan
keuangan. Daro segi finansial pengenaan sanksi administrasi dapat mengganggu arus kas
wajib pajak dan merupakan pemborosan sumber daya yang seharusnya dapat dihindari.

3. Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto


Dasar Hukum dari penggunaan norma penghitungan penghasilan neto adalah :
a) Pasal 14 UU Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan
keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

b) KEP-536/PJ/2000 (berlaku sejak tahun pajak 2001) tentang Norma Penghitungan


Penghasilan Netto (NPPN) untuk Wajib Pajak (WP) yang dapat menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan.

c) PER-4/PJ/2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang petunjuk pelaksanaan


pencatatan bagi WP Orang Pribadi (OP).

Ruang lingkup penggunaan norma ini adalah :

a) Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha

3
b) Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung,
Semarang, Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak.
c) Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan.
d) Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas.

Yang dapat menggunakan norma penghitungan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1
tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh).

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila WP
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Kewajiban wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan adalah :

a) Menyampaikan surat perberitahuan penggunaan norma kepada Direktur Jenderal


Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(Pasal 14 ayat (2) UU PPh). Bagi yang tidak menyampaikan dianggap memilih
menggunakan pembukuan. (UU PPh Pasal 14 ayat 4).
b) Menyelenggarakan pencatatan Peredaran Usaha sesuai format Lampiran I PER-
4/PJ/2009.

Sanksi menggunakan norma penghitungan tanpa pemberitahuan adalah :

Bagi yang tetap menggunakan Norma padahal tidak menyampaikan Surat


Pemberitahuan Penggunaan Norma dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam
tahun pajak yang bersangkutan. Pasal 3 ayat 2 KEP-536/PJ./2000.

4. Hubungan Akuntansi Pajak dengan Akuntansi Komersial


Pada akuntansi komersial seorang akuntan menyajikan informasi tentang keadaan
yang sudah terjadi selama suatu periode tertentu untuk manajemen internal atau pihak
lain yang berkepentingan. Tujuan akuntansi komersial antara lain untuk menyediakan
laporan dan informasi keuangan serta informasi lain kepada pihak pihak yang
berkepentingan.
Akuntansi perpajakan, menurut Niswonger dan Fees dalam buku Accounting
Principles dirumuskan sebagai bagian dari akuntansi yang menekankan pada penyusunan
surat pemberitahuan pajak (tax return) dan pertimbangan konsekuensi perpajakan
terhadap transaksi atau kegiatan perusahaan. Akuntansi perpajakan menyajikan laporan
keuangan dan informasi lain kepada administrasi pajak.

B. Pembukuan dengan Bahasa dan Mata Uang Asing


1. Persyaratan
Adapun bahasa asing dapat digunakan dalam pembukuan wajib pajak sejak Mei 1989
yaitu bahasa Inggris yang dipertegas dalam UU No. 7 Tahun 1991 dan UU No. 9 Tahun
1994. Dalam Kep. Men. Keuangan No. 609/KMK.04/1994, empat kelompok wajib pajak
yang diperkenankan menggunakan bahasa asing dan mata uang asing dalam
pembukuannya yaitu :
a) Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA)

4
b) Wajib Pajak yang berusaha dalam rangka kontrak karya antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan kontraktor
c) Wajib Pajak yang berusaha dalam rangka Kontrak Bagi Hasil antara Pertamina
dengan perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi.
d) Wajib Pajak yang mempunyai kegiatan usaha dan badan-badan usaha lainnya yang
ditentukan oleh Direktur Jendral Pajak.
Sedangkan menurut PMK No. 196/DMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007
kelompok wajib pajak yang diperkenankan menggunakan bahasa asing dan mata uang
asing dalam pembukuannya yaitu :
a) WP Penanaman Modal Asing yang beroperasi berdasarkan ketentuan perundangan
PMA.
b) WP Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan ketentuan perundangan
pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi.
c) WP KKS yang yang beroperasi berdasarkan ketentuan perundangan pertambangan
minyak dan gas bumi.
d) Badan Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 5 PPh atau dalam P3B
terkait.
e) WP yang mendaftarkan sebagian maupun seluruh emisi sahamnya di Bursa efek luar
negeri.
f) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yg menerbitkan reksadana dalam dominasi $ dan
telah memperoleh Surat Pemberitahuan \pendaftaran dari Bapepam sesuai dengan
perundangan yang berlaku.
g) WP berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di LN yaitu perusahaan anak yg
dimiliki / dikuasahi oleh perusahaan induk di LN yg mempunyai hubungan istimewa
sebagai mana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 4 huruf (a) dan (b) UU PPh.

Izin tertulis diperoleh dengan cara mengajukan surat permohonan paling lambat tiga
puluh hari sebelum tahun buku dimulai. Keputusannya selambat-lambatnya tiga puluh
hari sejak diterimanya permohonan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah lewat dan
Menteri Keuangan tidak memberi keputusan maka permohonan wajib pajak tersebut
dianggap diterima.

2. Pencatatan Transaksi dengan Mata Uang Asing


Penyelenggaraan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika
Serikat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
a) Untuk transaksi yang dilakukan dengan mata uang Dollar Amerika Serikat,
pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan.
b) Untuk transaksi dalam negeri yang menggunakan mata uang Rupiah atau amata uang
asing selain Dollar Amerika Serikat, konversi ke mata uang Dollar Amerika Serikat
dilakukan berdasarkan kurs konversi Bank Indonesia pada saaat pengakuan
penghasilan atau biaya sesuai dengan metode pembukuan yang dianut.
c) Untuk transaksi luar negeri yang menggunakan mata uang asing selain Dollar
Amerika Serikat, konversi ke mata uang Dollar Amerika Serikat dilakukan
berdasarkan kurs konversi Bank Indonesia pada saat pembebanan rekening wajib
pajak pada bank relasinya.

Surat Pemberitahuan Masa dan Tahunan harus disampaikan dalam bahasa Indonesia
dan pembayaran pajaknya dilakukan dalam mata uang Rupiah. Sedang Laporan
Keuangan berupa Neraca dan Perhitungan Rugi Laba tetap disajikan dalam bahasa
Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat. Pelunasan pajak dari wajib pajak harus

5
dilakukan dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang berlaku menurut
surat Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembayaran dilakukan. Departemen
Keuangan secara berkala menerbitkan keputusan tentang kurs yang berlaku pada saat
pembayaran utang pajak dilakukan.

3. Ilustrasi Kasus
Kasus tagihan pajak atas PT Makindo Tbk senilai Rp 494 miliar bisa menjadi contoh
menarik bagaimana sistem administrasi perpajakan di Indonesia dijalankan. Kasus
seperti ini sangat mungkin juga terjadi pada wajib pajak lainnya. Yang membedakan
hanya skalanya, ada yang kena tagihan dalam jumlah sangat besar, ada yang relatif kecil.
Wajib Pajak belum tentu bisa tidur nyenyak meski masa kedaluwarsa hampir terlampaui.
Ini yang menimpa Makindo. Surat ketetapan pajak (SKP) terbit pada 30 Oktober
2006. Jika SKP ini tidak terbit, .maka surat pemberitahuan tahunan yang disampaikan
Makindo menjadi pasti pada akhir Desember 2006. Namun Dewi Fortuna tampaknya tak
bersama Gunawan Yusuf, presdir Makindo. Lima catatan Kembali ke kasus Makindo.
Berdasarkan penjelasan manajemen Makindo kepada kepada PT Bursa Efek Surabaya
maupun isi surat ketetapan pajak yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan
Masuk Bursa paling tidak ada lima hal yang menarik untuk dibahas atau didiskusikan.
Pertama, soal kedaluwarsa. Dalam penjelasannya, Makindo menyatakan tagihan
tersebut dikenakan untuk tahun buku 1996 yang sudah berselang 10 tahun lebih.
Dalam pembahasan RUU Pajak yang tengah berlangsung di DPR, batas kedaluwarsa
diperpendek menjadi lima tahun. Sehingga jika UU ini kelak diberlakukan mulai 1
Januari 2008, maka surat pemberitahuan pajak untuk tahun pajak 2008 akan menjadi
lampau pada 1 Januari 2014. Tapi untuk tahun pajak 2007, menjadi kedaluwarsa pada 1
Januari 2018. Sebab kewajiban pajak 2007 masih mengikuti UU Pajak 2000 yang masa
kedaluwarsanya 10 tahun. Untuk membahas poin ini, ada baiknya kita lihat bagaimana
bunyi pasal dalam UU perpajakan. Pasal 13 angka (4) UU Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan menyatakan: Besarnya pajak terutang yang diberitahukan oleh wajib
pajak dalam surat pemberitahuan (SPT) menjadi pasti...., apabila dalamjangka waktu
sepuluh tahun sesudah saat tentangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun
pajak atau tahun pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
Makindo mendapat SKP kurang bayar pada 31 Oktober 2006 dan jatuh tempo
pembayaran adalah 30 November 2006. Jangka waktu kedaluwarsa dihitung sesudah
berakhirnya tahun pajak. Sehingga argo mulai jalan per 1 Januari 1997 [bukan 1 Januari
1996]. Jika ditarik ke 10 tahun kemudian maka batas kedaluwarsa adalah 31 Desember
2006. Artinya, penetapan SKP atas Makindo ini memang sudah masuk injury time, tapi
masih dalam jangka waktu 10 tahun. Secara formal penerbitan SKP tersebut tetap sah.
Kedua, Makindo menyatakan SKP tersebut bukan keputusan final, tapi masih dalam
proses. Penjelasan ini benar adanya. WP mempunyai hak untuk mengajukan keberatan ke
Ditjen Pajak dalam jangka waktu tiga bulan sejak SKP diterbitkan. Ditjen Pajak sendiri
harus memberi keputusan atas keberatan itu paling lambat 12 bulan. Ditjen Pajak
kabarnya akan mempercepat proses keberatan tersebut. Pekan lalu Dirjen Pajak Darmin
Nasution dan jajarannya sibuk membahas permohonan keberatan Makindo ini. Kita lihat
nanti, bagaimana keputusan Dirjen Pajak atas keberatan Makindo.
Dalam banyak kasus, Ditjen Pajak cenderung mempertahankan SKP yang dibuat oleh
anak buahnya. Ada spirit kesatuan yang tidak bisa luntur begitu saja. Jadi meski ada
koreksi, baik atas pokok utang pajak maupun sanksinya, biasanya tidak terlalu signifkan.
Jika Makindo bisa meyakinkan kantor pajak bahwa penetapan pajak tersebut salah,
tentu tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan koreksi atas utang dan sanksi tersebut.

6
Misalnya, Makindo harus bisa menunjukkan bukti-bukti yang memadai bahwa sejumlah
private placementyang oleh kantor/pajak diklaim sebagai pendapatan Makindo adalah
salah. Tapi jika bukti-bukti tidak cukup, bisa jadi Makindo hanya bisa menikmati
pengurangan yang tidak terlalu besar. Berarti Makindo harus siap tempur di Pengadilan
Pajak. WP memang didorong untuk maju ke Pengadilan Pajak dan jika perlu ke
Mahkamah Agung untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).
Bahkan ada satu Dirjen Pajak di masa lalu yang selalu menolak keberatan yang
diajukan WP karena merasa conflict of interest. Kala itu, kebijakan seperti ini, tidak
masalah karena banding ke Majelis Per-4 timbangan Pajak (cikal bakal Peradilan Pajak)
tidak ada kewajiban membayar sebagian atau seluruh utang pajak. Sehingga WP juga
tidak masalah mengajukan , banding, apalagi di MPP ada perwakilan Kadin yang
biasanya menjadi pelindung dunia usaha. Surat paksa Kembali ke masalah SKP
Makindo. Meski SKP ini sifatnya belum final, manajemen Makindo perlu memerhatikan
surat paksa yang diterbitkan kantor pajak.
Surat paksa adalah sarana bagi petugas pajak untuk melakukan penagihan seketika
dan sekaligus. Yang istimewa dari surat paksa adalah kedudukannya yang setara dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mempunyai
kekuatan eksekutorial. Setara putusan kasasi Mahkamah Agung.
Ketiga, soal tax clearance atau surat keterangan fiskal' (SKF). Selembar surat ini dulu
menjadi salah satu syarat bagi perusahaan yang akan masuk bursa. Kini kewajiban
memperoleh SKF sudah dicabut oleh Darmin Nasution, setelah mantan ketua Bapepam
itu duduk sebagai Dirjen Pajak.
Namun SKF bukan surat ketetapan pajak. Selembar kertas yang dikeluarkan oleh
kantor pajak ini hanya menyebutkan bahwa perusahaan dalam status tidak punya utang
pajak (berdasarkan SKP atau surat tagihan pajak) dan tidak dalam proses penyidikan
karena dugaan tindak pidana pajak. SKF sama sekali tidak mempunyai nilai hukum apa-
apa di mata undang-undang pajak maupun undang-undang pasar modal. Dengan
demikian, apakah penerbitan SKF tidak menghilangkan hak fiskus untuk memeriksa
pemenuhan kewajiban perpajakan WP dan menetapkan pajak terutang beserta denda dan
sanksinya.
Keempat, kepentingan umum dan kepentingan negara. Di banyak negara, termasuk
Indonesia, utang pajak mempunyai hak mendahului dibandingkan utang lainnya. Pasal
21 UU KUP menyatakan negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak, yang
mencakup pokok pajak, sanksi administrasi, denda, kenaikan dan biaya penagihan. Hak
mendahulu ini hilang setelah melampaui dua tahun.
Dengan demikian siapapun di negara ini apalagi aparat negara-seharusnya
mempunyai tanggung jawab untuk mengedepankan kepentingan negara. Namun bila
melihat pernyataan pejabat Bapepam-LK menyangkut kasus tagihan pajak Makindo ini,
rasanya hak mendahului atas tagihan pajak kurang dipahami. Ketua Bapepam-LK Fuad
Rahmany kepada Bisnis menyatakan rencana go private Makindo tidak berarti
perusahaan terlepas dari kewajiban pajaknya dan itu bukan kompetensi lembaga itu
untuk membicarakan apakah mereka masih punya tunggakan pajak atau tidak. Bapepam-
LK, menurut dia, tidak bisa menggunakan alasan itu [tunggakan pajak] untuk menolak
go private Makindo. Lembaga ini tetap menyetujui rencana Makindo go private karena
dinilai telah memenuhi persyaratan administratif dan menaati prosedur keluar dari bursa.
Pernyataan seperti ini jelas mengundang tanda tanya. Apalagi Bapepam-LK dan Ditjen
Pajak yang sama-sama dalam asuhan Departemen Keuangan.
Bila ditarik ke belakang, misalnya dalam kasus Energi Mega Persada, Fuad melarang
rencana spin off Lapindo Brantas dengan alasan untuk melindungi kepentingan

7
pemegang saham minoritas atas melindungi kepentingan publik. Jika kepentingan publik
saja harus dilindungi, bagaimana soal utang pajak Makindoyang di dalamnya ada hak
negara dijawab "bukan kompetensi kami untuk membicarakannya." Apakah kepentingan
negara di bawah kepentingan publik?
Terakhir, soal NPWP Gunawan Yusuf. Gunawan disidik aparat pajak berdasarkan
surat perintah penyidikan No. Prin-02-Dik/PJ.701/2003 tanggal 6 Maret 2003. Surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dikirim oleh Direktur P4 Ditjen Pajak
kepada Jaksa Agung melalui Kabid Korwas PPNS Bareskrim, Polri pada 7 Maret 2003.
Sebelumnya sumber Bisnis di Ditjen Pajak menyebutkan penyidikan terhadap
Gunawan dihentikan karena dia sudah mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Namun, keterangan tersebut dibantah seorang pejabat senior di Ditjen Pajak. Dia
menyatakan penyidikan tersebut tidak mungkin dihentikan kecuali ada permintaan dari
Menteri Keuangan seperti diatur dalam Pasal 44B UU KUP.
Penyidikan, kata dia, tidak menghasilkan surat ketetapan pajak, melainkan berkas
penuntutan perkara jika oleh kejaksaan atau kepolisian dianggap sudah lengkap (P21). '
"Bisa jadi penyidikan tersebut berjalan lambat, tapi bukan berarti dihentikan. NPWP atas
nama Gunawan Yusuf terbit setelah penyidikan berjalan. Artinya, Ditjen Pajak bisa
menggunakan pasal pidana perpajakan seperti diatur Pasal 39 UU KUP," kata sumber ini.
Ditjen Pajak kabarnya menetapkan nilai kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai
Rp 6 miliar. Namun, angka ini belum pasti karena para penyidik pegawai negeri sipil
(PPNS) masih terus mengumpulkan bukti-bukti. (parwito@bisnis.co.id) Oleh Parwito
Wartawan Bisnis Indonesia)

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1. Informasi laporan keuangan tidak hanya dibutuhkan oleh pihak internal berupa manajer
internal dan pihak eksternal berupa investor asing dan lain lain, tetapi informasi laporan
keuangan juga dibutuhkan oleh pemerintah untuk kemudahan perpajakan.
2. Informasi laporan keuangan serta bukti transaksi atau aktivitas wajib pajak untuk kepentingan
perpajakan di sajikan dalam pembukuan.

8
3. Peranan pembukuan dalam pajak sangat esensial, tampak bahwa permintaan pembukuan oleh
ketentuan perpajakan tidak memperberat dan menambah beban pebisnis dan kalangan profesi,
walaupun pencatatan untuk perpajakan kadangkala diminta lebih rinci dan berbeda dari
pencatatan komersial.

DAFTAR PUSTAKA

Lumbantoruan, Sophar. 1996.Akuntansi Pajak, Edisi Revisi.Jakarta:PT. Grasindo

Gunadi.1997.Akuntansi Pajak, Edisi Revisi 2009.Jakarta:PT. Grasindo

http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-norma-perhitungan-penghasilan-netto

http://dokumen.tips/documents/akuntansi-perpajakan-a-uskp.html

http://ononiha88.blogspot.com/2012/10/kewajiban-pembukuanpencatatan-dan.html

Anda mungkin juga menyukai