Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Ayyubiyah adalah sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyarbakr hingga tahun 1249
M. Dinasti ini di dirikan oleh Shalahuddin Yusuf alAyyubi, wafat tahun 1193 M1 . Ia
berasal dari suku Kurdi, putra Najwaddin Ayyub, dimasyurkan oleh bangsa Eropa dengan
nama “Saladin” Pahlawan Perang Salib2 . Keberhasilannya dalam perang Salib, membuat
para tentara mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah
meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia tetap mempertahankan lembaga-
lembaga ilmiah yang di dirikan oleh Dinasti Fathimiyah tetapi mengubah orientasi
keagamaannya dari Syiah menjadi Sunni. Dinasti Ayyubiyah berdiri di atas puing-puing
Dinasti Fatimiyah Syi’ah di Mesir. Pada dinasti ini banyak menciptakan ilmuan ilmuan
berbakat, seperti As-Suhrawardi al-Maqtul, Ibnu Al-Adhim dan banyak lainnya. Makalah
ini dibuat agar para pembaca dapat mengetahui ilmuan pada dinasti ayyubiyah dan
karyanya.

1.2. Tujuan

a. Mengetahui para ilmuan pada masa dinasti ayyubiyah


2

BAB II

PEMBAHASAN

Dinasti Ayyubiyah yang berdiri menggantikan Dinasti Fatimiyah, juga mencapai kemajuan di
berbagai bidang, salah satunya di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu buktinya, lahirnya
ilmuwan-ilmuwan Muslim terkemuka yang mahir dalam bidangnya. Peran ilmuwan Muslim
dalam membawa kegemilangan Dinasti Ayyubiyah pun sangat besar.

2.1 Adul Latif bin Yusuf Muhammad Al-Bagdadi

Nama lengkap Abdul Latief al-Baghdadi adalah Abu Mohammad Abdul Latief bin
Yusuf bin Mohammad. Ia lahir pada tahun 1162 di Baghdad. Sejak kecil ia telah
mempelajari alquran dan ilmu agama dari al-Wajih al-Wasiti. Menjelang dewasa, ia
melanjutkan pendidikannya dengan mempelajari ilmu kedokteran dan filsafat. Salah
seorang gurunya adalah Ibnu Tilmiz. Selanjutnya, ia pergi ke Damaskus dan Mesir. Di
sana, ia mendalami ilmu-ilmu agama, kedokteran, sastra, dan filsafat.

Abdul Latief adalah seorang ahli anatomi, sastrawan, dan filosof. Namanya terkenal
sebagai ahli anatomi pertama yang mendeskripsikan tengkorak kepala manusia dan
tulang muka, termasuk tulang rahang bawah, secara lengkap dan akurat. Sepanjang
hidupnya, Abdul Latief sangat tekun mempelajari ilmu kedokteran. Ia meneliti sejumlah
karya para ahli medis Yunani dan mengembangkannya melalui banyak penelitian. Selain
itu, ia juga mengembangkan kajian tentang tulang manusia, khususnya tulang rahang
bawah. Selama berada di Mesir, ia menganalisa Teori Galenus mengenai tulang bawah
dan tulang yang menghubungkan tulang punggung dengan tulang kaki, sebelum
kemudian berhasil menyempurnakannya. Penelitiannya di bidang ini memunculkan
banyak temuan yang mengejutkan.

Di kemudian hari, sejumlah buku karya Abdul Latief banyak diterjemahkan dalam
bahasa Latin dan disimpan di Perpustakaan Universitas Oxford, Inggris (1800). Pada
tahun 1810, karya Abdul Latief juga diterjemahkan dalam bahasa Perancis. Sebelum
diterbitkan, karya tersebut diberi tambahan berupa sejumlah catatan penelitian Abdul
3

Latief. Pada masa itu, karya tersebut sangat berpengaruh bagi perkembangan ilmu
kedokteran Eropa.

Abdul Latief juga dikenal sebagai sastrawan yang sering mengembara. Ia gemar menulis
tentang budaya suatu daerah dengan bahasa yang sangat indah. Oleh beberapa peneliti,
bukunya yang berjudul Account of Egypt dinyatakan sebagai salah satu karya topografi
terpenting pada abad pertengahan. Buku tersebut memuat sejumlah deskripsi yang
menarik tentang bencana kelaparan yang terjadi ketika Sungai Nil dilanda kekeringan
(1200-1202). Saat itu, ia sedang berada dalam perjalanan menuju Mesir dan
menyaksikan sendiri bencana tersebut.

Semasa hidupnya, Abdul Latief telah menghasilkan 173 buku yang mencakup bidang
kedokteran, sastra, geografi, filsafat, matematika, sains, dan sejarah. Selain itu, ia juga
menulis kisah perjalanannya ke berbagai tempat dalam bentuk buku. Para ilmuwan Barat
menggambarkan sosok Abdul Latief sebagai seorang genius yang gemar melakukan
penelitian dan akrab dengan kajian ilmiah. Ia menulis sebuah buku otobiografi tentang
dirinya sendiri. Abdul Latief wafat pada tahun 1231.

2.2. Ibnu Al-Baitar

Ibn al-Baytar lahir di kota Malaga Andalausia (kini Spanyol) pada akhir abad ke-12,
yaitu tahun 1197. Ia belajar ilmu botani kepada seorang ahli botani Malaga, Abu al-
Abbas al-Nabati. Kelak mereka bekerja sama mengumpulkan tanaman di sekitar
Spanyol. Perlu diketahui bahwa Al-Nabati merupakan ilmuwan botani luar biasa. Ia
dikenal sebagai mengembang awal metode ilmiah, orang pertama yang memperkenalkan
teknik pengujian secara empiris dan eksperimental, pengidentifikasi dan deskripsi
berbagai materi obat, serta pembuat laporan dan observasi untuk memverifikasi
bermacam tanaman obat yang sebelumnya ditemukan oleh orang lain. Pendekatan al-
Nabati demikian inilah kelak diadopsi oleh Ibn al-Baitar.

Setelah belajar pada al-Nabati, Ibnu al-Baytar belajar kepada Ibn Al-Rumeyya, sehingga
ia menguasai tiga bahasa sekaligus, Spanyol, Yunani, dan Suriah. Berbekal kemampuan
berbahasa inilah, ia mengadakan perjalanan ke beberapa negara untuk mengembangkan
ilmu yang diminatinya, botani. Dari sinilah, al-Baitar pun lantas banyak berkelana untuk
mengumpulkan beraneka ragam jenis tumbuhan.
4

Tetapi sebagaimana para ilmuwan lain, tidak hanya dua sosok yang mempengaruhi sl-
Baytar. Selain al-Nabati, sosok yang mempengaruhi kreativitas ilmiah Ibn al-Baytar
adalah Maimonides dan al-Ghafiqi. Penelitian dan pemikiran keduanya menginspirasinya
untuk membuat terobosan-terobosan besar dalam ilmu pengetahuan di kemudian hari. Di
samping itu, kelak juga ada banyak generasi ilmuwan setelahnya yang menimba
pengaruh darinya, baik ilmuwan Timur maupun Barat, seperti Ibn Abi Usaybi’a, Amir
Daulat dan Andrea Alpago.

Pada 1219, Ibn al-Baitar meninggalkan Málaga dan mengembara ke negeri-negeri


Muslim di Timur Tengah untuk mengumpulkan tanaman. Dia melakukan perjalanan dari
pantai utara Afrika sampai Anatolia. Di dalam perjalanannya, konon ia mengunjungi
Konstantinopel, Bugia, Tunisia, Tripoli, Barqa dan Adalia.

Dari tahun 1224, al-Baytar diangkat sebagai kepala ahli tanaman obat Kekhalifahan
Ayyubiyah, al-Kamil. Pada 1227 al-Kamil mengembangkan wilayah kekuasaannya ke
Damaskus (kini Suriah), dan Ibn al-Baitar menemaninya di sana. al-Kamil memberinya
kesempatan untuk mengumpulkan tanaman obat di Suriah. Tidak puas hanya di Suriah,
Ibn al-Baytar pergi ke Arabia dan Palestina untuk mengembangkan pengumpulan dan
penelitian tanaman obatnya. Akhirnya, ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun
1248 di Damaskus dan meninggalkan risalah-risalah penting dalam wilayah botani dan
kedokteran. Dunia mengenangnya sebagai seorang yang paling berjasa dalam bidang
ilmu tumbuh-tumbuhan, dan berpengaruhpenting dalam perkembangan ilmu botani.

2.3. Daud Al-Antaki

Nama lengkapnya adalah Daud bin Umar al-Darir al-Antarki dan lebih dikenal dengan
sebutan Daud Al Antaki. Ia dilahirkan di daerah Antokia tanpa diketahui kapan tanggal
pastinya. Tokoh yang sebagai tabib ahli fisioterapi ini juga adalah seorang ahli dalam
meramu obat dan juga dalam kajian ilmu jiwa. Keahliannya inilah yang menyebabkan ia
diberi gelar Thabib Hazhiq al-Wahid. Sejak kecil, ia memang sudah tertarik dengan
bidang kedokteran. Kelebihan Daud al-Antaki terletak pada studi terapi sebagai metode
pengobatan. Ia mengidentifikasi jenis-jenis obat yang dapat dipakai untuk mengobati
bermacam-macam penyakit. Untuk tujuan ini, ia lalu menulis sebuah buku yang sangat
popular berjudul Tazkirah Daud.
5

Karya utama al-Antaki yang dinilai sebagai buku pegangan (hand book) kedokteran yang
dikupas secara mendalam adalah buku berjudul Tadhkirat ulil al-Bab Wal Jami’lil ajab
al-Ujab (terbit di Kairo pada 1308-1309 H/1890-1891 M). buku tebal ini dianggap
memiliki kualitas yang sejajar dengan karya-karya ilmuwan terkemuka lainnya. buku
tersebut juga menjadi simbol majunya perkembangan sains dan ilmu medis di dunia
Islam pada abad keenam belas, masa-masa ketika perkembangan ilmu pengetahuan di
Eropa mulai bergerak ke arah yang baru.

Satu fakta yang tidak boleh dilupakan adalah beliau memperkenalkan sebuah model
kartu identitas untuk mempermudah dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan, di
mana kartu tersebut mencakup sepuluh komponen yang meliputi : nama, bahasa yang
dipakai, kesehatan, penyakit, suhu badan, gejala yang dirasakan pada anggota-anggota
tubuh, pengobatan sendiri, kegiatan yang dilakukan ketika sendirian atau sedang bersama
orang lain, kemampuan serta solusi masalah yang diberikan. Setelah menyebutkan hal-
hal di atas, al-Antaki menyebutkan pula jadwal waktu untuk minum obat agar tidak
menimbulkan kerusakan pada tubuh. Kemudian, ia juga menyebutkan mengenai cara dan
tempat untuk menyimpan obat-obatan dan tempat- tempat untuk mendapatkannya. Hal
ini menunjukkan bahwa al-Antaki sudah begitu sangat cermat dalam upayanya
menangani pasien, dimana prosedur medis yang ia jalankan juga disesuaikan dengan
keadaan masyarakat saat itu.

Dalam banyak kesempatan, Daud al-Antaki selalu menjelaskan mengenai pentingnya


ilmu kedokteran. Ia menjelaskan bahwa ilmu kedokteran perlu mendapat penghormatan
dan proporsi yang tepat. Agar memperoleh hasil yang optimal, ilmu kedokteran harus
diserahkan ke tangan orang-orang yang profesional. Ilmu kedokteran harus bersih dari
tangan-tangan jahil dan dari mereka yang mempunyai sifat tercela. “Jangan sekali-kali
membiarkan ilmu kedokteran jatuh ke tangan orang-orang miskin yang tidak bisa apa-
apa sebab hal itu akan menyebabkan mereka mengerjakan sesuatu yang sesungguhnya
tidak mereka kuasai”, begitu kata beliau.

Ia juga menerangkan tentang batasan-batasan ilmu kimia, astronomi, fiqh, tujuan dari
masing-masing ilmu itu, serta kelebihan dan kekurangannya. Daud menyatakan bahwa
ketika ia tiba ke Mesir, ia melihat seorang ulama – yang menjadi panutan masyarakat dan
menjadi tempat mengadu atas berbagai masalah keagamaan – malah pergi ke tempat
6

salah seorang Yahudi untuk berobat. Sejak saat itu, Daud bertekad untuk mengem-
bangkan ilmu kedokteran sebagaimana ilmu-ilmu lainnya. Hal ini tentunya sangat
penting agar ilmu ini dapat dipelajari oleh orang-orang muslim sekaligus dapat
digunakan untuk menolong mereka.

Tekadnya yang mengebu ini pun ia wujudkan dengan menulis banyak karya. Diantara
karya-karya al-Antaki, kitab yang paling terkenal adalah kitab buku yang juga dikenal
dengan nama Tazkirah Daud ini memiliki ketebalan tujuh ratus halaman dengan
lembaran-lembaran halaman yang besar. buku ini kemudian diberi tambahan judul
Tazkirah Ulil Alhab Ujjah. Karya ini merupakan salah satu warisan peradaban Arab
Islam yang menjadi kebanggaan di perpustakaan Arab. Setelah lama mengembara di
banyak kota, beliau kemudian pergi ke Makkah. Di kota suci inilah al-Antaki meninggal
dunia pada tahun’ 1008 H/1599 M setelah bermukim di sana selama sekitar satu tahun.

2.4. Ibnu Abi Ushaibi’ah

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Al Qasim bin Khalifah bin Yunus, dengan kunyah
Abul ‘Abbas. Sosok yang dikenal sebagai Ibnu Abi Usaibiah berdasarkan nama datuknya
ini dilahirkan di Damaskus pada 596 H, atau kurun akhir abad ke-12 Masehi. Setelah
mempelajari ilmu kedokteran di daerahnya, Ibnu Abi Usaibiah mengembara ke Mesir.

Perlu dicermati bahwa semasa Ibnu Abi Usaibiah hidup, Dinasti Abbasiyah yang pernah
menjadi tolok ukur kejayaan Islam telah mengalami keruntuhan, atau bisa dikatakan,
terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan yang sifatnya lebih lokal.

Sosok yang berasal dari Bani Khazraj ini lahir dari keluarga yang berkecimpung di dunia
medis. Pamannya yang bernama Ali, sebagaimana dicatat oleh Al Dzahabi dalam
Tarikhul Islam, adalah dokter ternama pada masanya. Begitupun ayahnya juga dicatat
Ibnu Khallikan berprofesi sebagai dokter. Hal ini membuat Ibnu Abi Usabi’ah berikut
keluarganya, memiliki status sosial terpandang kala itu.

Himpunan biografi para dokter dan ahli medis karya Ibnu Abi Usaibiah berjudul ‘Uyunul
Anba’ fi Thabaqatil Athibba’. Karya ini lahir tak lepas dari peran penerjemahan naskah-
naskah keilmuan ke bahasa Arab, utamanya dari Yunani, yang berlangsung pada masa
Dinasti Abbasiyah. Ibnu Abi Usaibiah banyak merujuk hasil terjemahan dan telaah
Hunain bin Ishaq, salah satu dokter di masa Abbasiyah yang terkenal sebagai ahli
7

kedokteran mata yang banyak menerjemahkan dan mengomentari karya-karya


kedokteran Yunani.

Pencatatan biografi kaum dokter ini dibaginya ke dalam 15 bab. Setelah membahas
tentang asal usul pondasi ilmu kedokteran, ia menyebutkan para penyusun dasar ilmu
kedokteran dari Yunani, seperti Aesculapius, Hippocrates dan Galen. Dalam bab-bab
selanjutnya, Ibnu Abi Usaibiah menghimpun biografi dokter-dokter peradaban Mesir
kuno, dokter di kalangan Arab-Islam, serta dokter dari negeri terdekat seperti Syria,
Persia dan India.

Ibnu Abi Usaibiah menyebut dalam pengantar karyanya bahwa buku tersebut disusun
sebagai penghargaan kepada gurunya, Abul Hasan bin Ghazal bin Abi Said. Untuk
mendapatkan gambaran yang baik tentang perkembangan ilmu kedokteran masa awal, ia
merujuk pada karya-karya kedokteran terkuno yang bisa diakses, seperti yang disusun
Aesculapius, Hippocrates dan yang paling kesohor, Galen.

Menarik dicermati bahwa selain mencatat biografi para dokter, Ibnu Abi Usaibiah juga
menyertakan kisah-kisah terkait masing-masing dokter tersebut. Semisal al Harits bin
Kaladah, dokter yang disebut hidup semasa dengan Nabi Muhammad, dikisahkannya
perjumpaan al Harits dengan salah seorang Raja Persia.

Karena menghimpun biografi, peran dan karya para dokter, tentu saja dokter-dokter non-
muslim yang berpengaruh juga dicatat. Seperti contoh klan Bakhtisyu’ penganut
Kristiani di masa Abbasiyah. Mulai dari Jirjis, anaknya yang bernama Bakhtisyu’, serta
cucunya yang bernama Jibril, merentang enam sampai tujuh generasi sebagai dokter
yang diakui pemerintah waktu itu.

Tentu saja nama-nama penting seperrti Hunain bin Ishaq, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd atau Al
Razi, yang lebih familiar bagi kita tidak luput tercatat. Sebagai karya yang berisi data
para ilmuwan, tak lupa dihimpun karya dan temuan penting ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan kedokteran seperti botani dan farmasi, lalu berbagai metode pengobatan, serta
tips-tips sehat populer masa itu.

Ibnu Abi Usaibiah menyelesaikan ‘Uyunul Anba’ fi Thabaqatil Athibba’ sekitar tahun
640 H. Meski disebutkan memiliki banyak karya, sayang lainnya tidak terlacak saat ini.
Dokter yang mencatat sejarah para pendahulunya ini pindah ke Damaskus mengikuti
8

salah satu pejabat Ayyubiah bernama Aidamur bin Abdullah sebagai dokter ahli, dan
wafat pada 668 H di kota Sarkhad, di daerah Damaskus.

2.5. Abu Barakat Al Baghdadi

Nama lengkapnya adalah Abu Barakat Hibat Allah bin Malka al-Baghdadi al-Balad.
Beliau dilahirkan sekitar tahun 470 H/1077 M di Balad dan wafat pada tahun 560H/1164
M. Abu Barakat Al-Baladi merupakan seorang ahli ilmu kedokteran sekaligus filsuf yang
cemerlang. Dia bahkan disebut-sebut sebagai seorang dokter yang “tiada duanya pada
zamannya”. Di samping membuka klinik sendiri ia juga bekerja untuk para khalifah dan
pembesar-pembesar negara di Baghdad, termasuk pada Sultan Seljuk sebagai dokter
keluarga.

Karya Abu Barakat Al-Baladi yang paling terkenal adalah Kitab al-Mu’tabar yang berisi
pemikiran-pemikiran beliau mengenai matematika, logika, ilmu alam dan ketuhanan.
Buku ini juga berisi sejumlah pembahasan mengenai filsafat yang berkaitan dengan alam
dan jiwa. Selain itu, beliau juga menulis sejumlah risalah yang lebih “kecil” seperti
Risalah fi Sabab Zuhur al-Kawakib Laylan wa Khafaiha Naharan yang telah
diterjemahkan oleh E. Weideman dalam Eden Jahrhbuch tahun 1909 M.

Di dalam Kitab al-Mu’tabar, Abu Barakat mengambil alih sejumlah tesis dari Kitab
Shifa-nya Ibnu Sina dan mengutipnya secara harafiah. Tapi di sisi yang lain, dia juga
mengkritik sejumlah tesis-tesis Ibnu Sina yang sangat esensial, terutama dalam bidang
fisika.

Bersama John Philopurus, Abu Barakat Al-Baladi menyanggah dan mampu


membuktikan kekeliruan.proporsi yang menjadikan kemungkinan adanya pergerakan
dalam ruang hampa. Namu, satu hal yang jelas adalah bahwa metode dan pembahasan
yang ia terapkan dalam karya besarnya itu sangatlah filosofis.

Bersama John Philopurus, dia menyanggah dan mampu membuktikan’ kekeliruan


proporsi yang menjadikan kemungkinan adanya pergerakan dalam ruang hampa. Setelah
9

mendemonstrasikan berbagai gagasan yang keliru dan argumen-argumen yang berbelit-


belit, serta meluruskannya, ia lantas membuktikan ketakterhinggaan (infiditas) ruang
melalui ketidakmungkinan seorang dalam memahami suatu ruang yang terbatas.

Ketertarikan Abu Barakat Al-Baladi pada misteri tentang pikiran manusia juga
mendorong Abu Barakat untuk menguraikan suatu gagasan mengenai “waktu”.
Menurutnya, penyelesaian tuntas atas hal ini lebih berhubungan dengan konsep
metafisika, bukan hanya pada fisika. Dengan demikian, waktu merupakan ukuran tentang
“ada” bukan ukuran mengenai pergerakan. Ia tidak mengenal perbedaan tingkat-tingkat
waktu yang beragam, tahap-tahapan, dan hal-hal lain sebagainya seperti yang disangka
oleh Ibnu Sina dan filsuf-filsuf besar lainnya. Jadi, waktu merupakan suatu bukti tentang
adanya pencipta (al-Khaliq) dan yang dicipta (al-makhluq).

2.6. Muhamad Ad-Dhumairi

Kamaluddin Ad-Damiri adalah seorang sastrawan dan ahli fikih beraliran madzhab
Syafi'i di Mesir. Dia juga seorang pemerhati hewan sehingga dia mengumpulkan
informasi-informasi tentang berbagai hewan yang ada pada masanya. Dia telah berhasil
menulis sebuah buku yang berjudul "Hayat AlHayawan."

Dia adalah Abu Al-Baqa` Kamaluddin Muhammad bin Musa bin Isa bin Ali. Dia biasa
dipanggil dengan nama Ad-Damiri, karena keluarganya berasal dari desa Damirah, salah
satu pedesaan di Mesir. Dilahirkan di kota Kairo pada tahun 742 H (1341 M). Pada
awalnya dia berprofesi sebagai tukang jahit, namun karena kegemarannya terhadap ilmu
dan bersabar dalam menuntutnya dia menjadi seorang ulama yang berhak mengeluarkan
fatwa dan mengajar di kota Cairo. Dia kemudian pindah dari kota Cairo ke kota Makkah
untuk mengajar di sana, hingga akhirnya dia kembali lagi ke Cairo. Ia hidup sezaman
dengan al maqrizi, dan ia sangat mengagumi ketinggian ilmu Ad damiri.

Selain mendalami ilmu hukum (fiqih), ia juga mendalami hadits, tafsir, filologi, dan ilmu
hewan. Diantara guru-gurunya antara lain: Jamaluddin al asnawi, Ibn Akil (komentator
terkenal Alfiyah Ibn malik), Burhanuddin al Kirati , dan lain-lain.

Ia kemudian mengajar di beberapa pusat pendidikan: Al Azhar, Jami’ al zahir, Madrasah


Ibn bakari dan lain-lain. Ia juga aktif menjadi anggota masyarakat sufi di Khanqah
salahiyah.
10

Ia terkenal seorang yang soleh, sejak muda selalu berpuasa. Ia menunaikan ibadah haji
selama 6 kali antara tahun 762-799 H. Di Mekah dan Madinah, ia belajar, mengajar dan
memberi fatwa, Dan setelah itu menetap di kairo.

Ad-Damiri belajar ilmu bahasa, fikih, hadits, dan sastra di Universitas Al-Azhar. Dia
belajar kepada dosen-dosen senior yang terdapat di universitas tersebut, di antaranya
Syaikh Bahauddin As-Subki, Syaikh Ja-maluddin Al-Isnawi, Al-Kamal Abu Al-Fadhl
An-Nuwairi, Ibnu Al-Mulqin, Al-Bulqini, Burhan Al-Qairathi, Al-Baha Aqil, dan
lainnya. Ketika dia sudah berhasil meraih gelar ustadz (profesor) dan guru-gurunya
mengakui keilmuannya, dia diizinkan untuk mengajar di Universitas Al-Azhar. Dia
memberikan pengajian kepada murid-muridnya pada hari Sabtu. Dia juga mengajarkan
ilmu hadits di Qubah Al-Baibarsiyah. Sedangkan di Madrasah Ibnu Al-Baqari yang
berada di Bab An-Nashr, dia mengajar pada hari Jumat. Setelah selesai shalat Jumat, dia
menyampaikan pengajian di Masjid Azh-Zhahir yang berada di daerah Husein, Mesir.

Di antara orang yang pernah belajar kepada Kamaluddin Ad-Damiri adalah Al-Allamah
Taqiuddin Al-Farisi, seorang ahli hadits dan sejarawan, serta Syaikh Syihabuddin Abu
Abbas Al-Aqfahasi, seorang ahli fikih beraliran madzhab Syafi'i.

Seorang sejarawan, Taqiyuddin Al-Maqrizi, menyebutkan bahwa dia telah berteman


dengan Ad-Damiri beberapa tahun lamanya. Karena kekagumannya kepada Ad-Damiri
dia selalu menghadiri pengajiannya. Di antara murid Ad-Damiri adalah putrinya yang
bernama Ummu Habibah, yang mendapat pengakuan dari beberapa syaikh pada saat itu.

Ad-Damiri adalah seorang yang taat beribadah dan berakhlak mulia. Pada dirinya telah
menyatu keindahan postur tubuh dan kebaikan prilakunya. Dia pandai bergaul serta
santun dalam berbicara. Dia dikenal sebagai seorang khatib yang pandai menyampaikan
pesan dengan santun dan mudah dipahami.

Karyanya

Nama ad-Damiri dikenal lewat karyanya yang berjudul Hayat al-Hayawan al-Kubra,
sebuah ensiklopedi zoologi. Buku ini adalah buku ilmu hewan terbaik sepanjang masa
itu. Di kemudian hari, Hayat al-Hayawan al-Kubra diterjemahkan dalam bahasa Inggris
& diterbitkan dalam 2 jilid (London, 1906-1908).
11

Buku "Hayat Al-Hayawan" mulai ditulis oleh Ad-Damiri pada tahun 773 H (1271 M).
Pada saat itu, dia masih berumur tidak lebih dari 31 tahun. Ini tentunya merupakan usia
yang masih terbilang muda untuk menulis ensiklopedi besar yang dapat mengumpulkan
berbagai informasi dari beberapa disiplin ilmu. Ad-Damiri menyebutkan bahwa dia telah
mengumpulkan bahan tulisannya dari 560 buku disamping peninjauannya kepada 199
kumpulan syair. Dengan demikian, buku ini merupakan referensi besar yang masih
jarang ditulis oleh para ilmuwan dalam bidangnya.

2.7. Kahin Al-Attar

Al-Bushiri adalah keturunan Berber yang lahir di Dallas, Maroko, dan dibesarkan di
Bushir, Mesir. Ia murid sufi besar Imam Asy-Syadzili dan penerusnya yang bernama
Abul Abbas Al-Mursi, tokoh Tarekat Syadziliyah. Di bidang fiqih, Al-Bushiri menganut
Madzhab Syafi‘i, madzhab fiqih mayoritas di Mesir.

Pada masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari Al-Quran, di
samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama
di zamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusastraan Arab, ia pindah ke
Kairo. Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang andal. Kemahirannya di
bidang syair melebihi para penyair pada zamannya. Karya-karya kaligrafinya juga
terkenal indah.

Di dalam qashidah Burdah diuraikan beberapa segi kehidupan Nabi Muhammad SAW,
pujian terhadap dia, cinta kasih, doa-doa, pujian terhadap Al-Quran, Isra Mi’raj, jihad,
tawasul, dan sebagainya. Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, Al-Bushiri
tidak saja telah menanamkan kecintaan umat Islam kepada nabinya, tetapi juga
mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral, kepada kaum muslimin. Oleh
karenanya, tidak mengherankan jika qashidah Burdah senantiasa dibacakan di pesantren-
pesantren salaf.

Al-Burdah, menurut etimologi, banyak mengandung arti, antara lain baju (jubah)
kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan atribut burdah ini,
seorang khalifah bisa dibedakan dengan pejabat negara lainnya, temanteman, dan
12

masyarakat pada umumnya. Burdah juga merupakan nama qashidah yang digubah oleh
Ka‘ab bin Zuhair bin Abi Salma yang dipersembahkan kepada Rasulullah SAW.

Ada sebab-sebab khusus dikarangnya qashidah Burdah. Suatu ketika Al-Bushiri


menderita sakit lumpuh sehingga tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Lalu
dibuatnya syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon
syafa’atnya. Di dalam tidurnya, ia mimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. Nabi
mengusap wajah Al-Bushiri, kemudian dia melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke
tubuh Al-Bushiri. Saat ia bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari
lumpuhnya. Al-Bushiri adalah seorang yang menjalani kehidupan sebagaimana layaknya
para sufi, yang tercermin dalam kezuhudannya, ketekunannya beribadah, serta
ketidaksukaannya pada kemewahan dan kemegahan duniawi. Di kalangan para sufi, ia
termasuk dalam jajaran sufi besar.

Anda mungkin juga menyukai