Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

RESEPTOR KOLINERGIK DI USUS

KELOMPOK 5
Machika Andaresta Putri 201910330311112 2019
Pasha Ramadhan 201910330311090 2019
Alveolla Digna N 201910330311094 2019
Faizah tunnisa 201910330311107 2019
M. Azzam Siddiq A 201910330311053 2019
Aulia Rahman 201910330311026 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat,
karunia dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah laporan
praktikum farmakologi dengan baik.

Makalah ini disusun untuk membantu pengembangan pemahaman pembaca terhadap


mulai kerja dan respon pada obat yang diberikan secara intraperitonial, dan juga untuk
menyelesaikan tugas praktikum farmakologi.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dr. Fathiyah Safitri, M.Kes selaku dosen
pembimbing praktikum farmakologi Universitas Muhammadiyah Malang, semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari semua pihak

Malang, 25 Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .........................................................................................................i


Daftar Isi .................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan ..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan .........................................................................................................2
1.4 Manfaat........................................................................................................3
Bab II Pembahasan..................................................................................................3
2.1 Landasan Teori............................................................................................3
Bab III Pembahasan................................................................................................9
3.1 Alat dan Bahan.............................................................................................9
3.2 Prosedur Praktikum.......................................................................................9
3.3 Data Hasil Praktikum...................................................................................9
3.4 Hasil Praktikum…………………………………………………………...11

Bab IV Penutup.....................................................................................................15
4.1 Kesimpulan................................................................................................15
4.2 Saran..........................................................................................................15
4.3 Daftar Pustaka....................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Pada prinsipnya semua bagian dari fraktus gastrointestinal dapat digunakan untuk
percobaan organ terpisah (esofagus, gaster, ileum, kolon, dan bahkan rektum).
Ada 2 macam metoda organ terpisah, yaitu yang disertai saraf dan tidak disertai
saraf. Dengan metoda ini dapat diamati respon organ terhadap pemberian obat.
Respon obat terhadap obat dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif sehingga
dapat digunakan untuk menghitung afinitas obat terhadap reseptor. Pada praktikum ini
digunakan beberapa konsentrasi obat untuk melihat efeknya terhadap organ terpisah
(usus).
Asetilkolin adalah salah satu neurotransmitter yang digunakan oleh saraf.
Asetilkolin (Ach) adalah neurotransmitter yang digunakan oleh serat preganglion
simpatis dan parasimpatis. Ach juga digunakan sebagai neurotransmitter serat
pascaganglion parasimpatis. Serat ini, bersama dengan semua serat praganglion otonom,
disebut juga sebagai serat kolinergik.
Ach juga berperan dalam persisteman parasimpatis, yaitu sebagai neurotransmitter
pascaganglion. System parasimpatis sangat berperan dalam system pencernaan. System
ini mendominasi pada keadaan tenang dan santai. System parasimpatis merupakan tipe
rest and digest, yaitu istirahat dan cerna sekaligus memperlambat aktivitas – aktivitas
yang ditingkatkan oleh system simpatis. Sebagai contoh, efek stimulasi parasimpatis
pada system pencernaan adalah sebagai berikut :
• Meningkatkan motilitas organ pencernaan
• Relaksasi sfingter (untuk memungkinkan gerakan maju isi saluran cerna)
• Stimulasi sekresi pencernaan
• Stimulasi sekresi pancreas eksokrin (untuk pencernaan)
• Pengeluaran banyak liur encer kaya enzim

1.2. Tujuan Praktikum


1. Memahami prinsip-prinsip percobaan farmakologi dengan menggunakan sediaan
jaringan usus terpisah
2. Memahami efek farmakologis obat agonis dan antagonis pada jaringan usus terpisah
3. Menghitung afinitas dan selektifitas obat terhadap reseptor pada sediaan usus terpisah.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Sediaan Usus Terpisah


Organ usus yang telah dipisahkan dari tubuh aslinya dan sudah melalui proses kimia
dan siap untuk dilakukan penelitian (KBBI).
2.2. Reseptor
Reseptor merupakan target aksi obat yang utama dan paling banyak. Reseptor
didefinisikan sebagai suatu makromolekul seluler yang secara spesifik dan langsung berikatan
dengan ligan (obat, hormone, neurotransmitter) untuk memicu proses biokimia antara dan di
dalam sel yang akhirnya menimbulkan efek. Suatu senyawa/ligan dapat beraksi sebagai
agonis dan antagonis. Jika aagonis adalah suatu ligan yang jika berikatan dengan reseptor
dapat menghasilkan efek, antagonis dapat berikatan dengan reseptor, tetapi tidak
menghasilkan efek. Dalam hal ini, agonis dikatakan memiliki afinitas (kemampuan berikatan)
dengan reseptor dan efikasi (kemampuan menghasilkan efek). Sementara itu, antagonis
memiliki afinitas, tetapi tidak memiliki efikasi. Aktivasi reseptor oleh suatu agonis atau ligan
akan diikuti oleh respons biokimia atau fisiologi yang melibatkan molekul-molekul
“pembawa pesan” yang dinamakan second messengers.
Reseptor berfungsi mengenal dan mengikat suatu ligan/obat dengan spesifisitas yang
tinggi dan meneruskan signal tersebut ke dalam sel melalui beberapa cara yaitu :
1. Perubahan permeabilitas membrane
Adanya ikatan ligan dengan reseptor dapat menyebabkan membrane menjadi lebih
permeable dengan adanya pembukaan kanal tertentu sehingga ion-ion tertentu dapat
mengalir melintasi membrane.
2. Pembentukan second messenger
Ikatan obat dengan ligan akan memiku rangkaian peristiwa biokimia yang menghasilkan
berbagai molekul intrasel yang berperan dalma penghantaran signal.
3. Mempengaruhi transkripsi gen
Ikatan ligan dengan reseptor dapat memengaruhi transkripsi gen, baik secara langusng
maupun tidak langsung sehingga dapat menentukan macam protein yang disintesis yang
memberi efek farmakologis tertentu
2.3. Tyrode
Komposisi dari larutan Tyrode sendiri adalah Untuk 12 liter Tyrode :
Larutan I : NaCl 96 gram, KCl 2,4 gram, CaCl2 2,4 gram, MgCl2 1,2 gram, 3 liter aquades.
Larutan II : NaHCO3 12 gram, NaHPO4 0,6 gram, Aquades 3 liter
Larutan III : Glukosa 12 gram + aquades 6 liter

2.4. Methacholine
Agonis muskarinik dibedakan atas (1) asetilkolin dan esterkolin sintesis yaitu
metakolin, karbakol, dan betanekol, dan (2) alkaloid kolinergik. Ester kolin lainnya ,
penambahan metil pada ACh menghasilkan metakolin yang afinitasnya terhadap
asetilkolinesterase jauh lebih rendah sehingga masa kerjanya lebih panjang. Metakolin juga
memperlihatkan selektivitas pada sistem kardiovaskular.
Saluran cerna. Perangsangan vagus menyebabkan aktivitas otot dan kelenjar saluran
cerna meningkat, Namun, karena perfusi ke dalam alat yang buruk dan karena ACh segera
dihidrolisis oleh kolenesterase plasma, maka efek di saluran cerna ini tidak selalu tampak
pada pemberian ACh eksogen. Efek perangsangan saluran cerna lebih jelas oleh ester kolin
lainnya dan oleh alkaloid muskarinik. Berbeda dengan metakolin, karbakol, dan betanekol
menimbulkan hal ini tanpa mempengaruhi sistem kardiovaskular.
2.5. Atropin
Atropin menyebabkan blokade reversibel (dapat diatasi) efek kolinomimetik di
reseptor muskarinik; yaitu blokade oleh atropin dosis rendah dapat diatasi oleh peningkatan
konsentrasi asetilkolin atau agonis muskarinik ekivalennya. Kerika berikatan dengan reseptor
muskarinik, atropin mencegah efek-efek seperti pengeluaran inotosol trifosfat (IP3) dan
inhibisi adenilil sildase yang disebabkan oleh agonis muskarinik.
Blokade reseptor msukarinik menimbulkan efek besar pada motilitas dan sebagian
dari fungsi sekresi usus. Namun bahkan blokade muskarinik total tidak dapat menghilangkan
secara total aktifitas dif sistem organ ini, karena hormon-hormon lokal dan neuron non-
kolinergik di susunan saraf enterik juga memodulasi fungsi saluran cerna. Motilitas otot polos
GIT dipengaruhi dari lambung hingga kolon. Secara umum dinding visera melemas dan tonus
dan gerakan mendorong berkurang. Karena itu, waktu pengosongan lambung memanjang dan
waktu transit usus menjadi lebih lama.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Alat dan bahan
Alat :
1. Spuit 1cc
2. Wadah untuk obat
3. Organ bath
Bahan :
1. Metakolin
2. Atropin
3. Cairan Tyrod
4. Usus tikus

3.2. Prosedur Praktikum


Pada praktikum ini digunakan hewan percobaan marmut
B. Preparasi
1. Marmut yang telah dibunuh, diambil ileumnya sepanjang 3-4 cm
2. Ileum dimasukkan ke dalam organ bath yang berisi larutan tyrode dengan
temperatur 370 C dan diaerasi dengan udara dari pompa udara
3. Perubahan pada ileum (kontraksi) diteruskan melalui lever yang diujungnya
dipasang jarum penulis. Besar kontraksi ileum dicatat pada kertas kymograph
melalui jarum penulis
4. Respon organ terhadap obat dapat dilihat dengan pemberian obat ke dalam
larutan di dalam organ bath
C. Pengamatan respon
Pada praktikum ini dapat dilihat :
- perubahan tonus
- perubahan kontraksi
- mula kerja dan masa kerja obat
a. Respon organ terhadap pemberian metacolin (Cholinoseptor agonist)
Injeksikan obat agonis ke dalam larutan di dalam organbath. Gantilah larutan
dengan volume yang sama setelah kontraksi usus mulai turun (lebih kurang 1
menit). Tunggu aktivitas ileum kembali normal sebelum memberikan obat
berikutnya (lebih kurang 3 menit)

3.3 Analisis Data


1. Data grafik kimograf
a. Data grafik kimograf pemberian metakolin
Naik ke-1 pada dosis 10-6 waktu 1 :18

Naik ke-2 pada dosis 10-5 waktu 1 : 57


Naik ke-3 pada dosis 10-4 waktu 2 : 01

Efek Puncak 3 : 22

Data tabel pemberian Metakolin


No Konsentrasi Metakolin dalam Waktu Efek Amplitudo
. Organ Bath (M)
1. 10-8
2. 10-7
3. 10-6
4. 10-5
5. 10-4
6. 10-3
7 10-2
Efek Puncak

b. Data grafik kimograf pemberian atropin-metakolin


Naik ke-1 pada dosis 10-4 waktu 12:05

Naik ke-2 pada dosis 10-3 waktu 12:33

Naik ke-3 pada dosis 10-2 waktu 13:5

Efek puncak waktu 13:22


Grafik kymograph atropin

Setelah pemberian atropin selama 5 menit, grafik turun

Data tabel pemberian Atropin-metakolin

No Konsentrasi Metakolin dalam Waktu Efek Amplitudo


. Organ Bath (M)
1. 10-8
2. 10-7
3. 10-6
4. 10-5
5. 10-4
6. 10-3
7 10-2
Efek Puncak
Data Kurva Dosis-Efek
A. Pembahasan
A.1. Pemberian Metakolin
Pada data di atas menunjukkan bahwa dengan pemberian Metakolin pada
organ terpisah usus dapat menyebabkan usus berkontraksi. Pada saat pemberian
metakoline, usus mengalami kontraksi yang ditandai dengan peningkatan grafik
awal sebesar 0,1 ketika pemberian metakolin dengan konsentrasi 10-4. Puncak
efeknya terjadi setelah pemberian metakolin dengan konsentrasi 10-2 dengan
peningkatan grafik sebesar 0,43. Hal ini terjadi karena metacholine merupakan
salah satu agonis muskarinik yang akan merangsang pelepasan ach. Diketahui
bahwa usus merupakan organ yang terdapat syaraf parasimpatik yang berkerja
memacu peristaltik usus sehingga pada pemberian metacholine akan
meningkatkan ach pada post sinaps sehingga jumlah ach yang berlebih pada
celah sinaps akan diterima oleh reseptor muskarinik yang ada dipermukaan usus.
Hal ini yang menyebabkan usus mengalami kontraksi. Perlu diketahui bahwa
syaraf parasimpatis memiliki ganglion yang dekat dengan organ bahkan
menempel dengan organ yang diinervasinya.

A.2. Pemberian Atropin - Metakolin


Berdasarkan grafik hasil pengamatan diketahui pula bahwa afinitas
metakolin lebih besar jika dibandingkan dengan metakolin yang ditambah dengan
atropine. Hal ini dapat terjadi karena atropin bekerja menghambat Ach menduduki
reseptor muskarinik secara kompetitif sehingga dapat mengurangi efek ach di
tempat kerjanya. Disebut kompetitif karena atropine adalah antagonis yang
bekerja mencegah akses asetilkolin atau segala sesuatu mirip obat agonis dengan
reseptor asetilkolin dan atropine menstabilkan reseptor dan membuatnya inaktif.
Ini dibuktikan dengan data yang ada pada grafik. Ketika atropine ditambahkan
grafik akan turun dari base line sebesar 0.04. Menurut teorinya pun antagonis
akan mengurangi efek asetilkolin maupun ligan endogennya dalam tubuh karena
beberapa reseptor telah dibuat inaktif. Antagonis ini dapat diatasi dengan
peningkatan dosis agonis. Ini dibuktikan dengan ketika usus diberi atropine lalu
ditambahkan metakolin ke dalamnya dengan konsentrasi 10-4 maka grafik akan
naik sebesar 0.02. Puncak efeknya pun terjadi setelah penambahan metakolin
dengan konsentrasi 10-2 dan grafiknya naik sebesar 0.82. Namun seharusnya
menurut teori peak effect yang dihasilkan oleh metakolin yang sebelumnya
ditambahkan atropine akan lebih kecil dari pada saat ditambahkan metakolin saja.
Ini disebabkan karena ketika ditambahkan atropine maka atropine akan
menginaktivasi sebagian reseptor metakolin. Namun dalam hasil praktikum kami
ketika ditambahkan atropine dulu hasilnya malah lebih besar dari pada ketika
hanya ditambahkan metakolin saja. Ini bisa disebabkan karena dosis metakolin
yang diberikan ketika atropine-metakoline lebih besar dari pada metakoline saja,
maka metakoline yang berikatan dengan reseptor semakin banyak sehingga peak
effect semakin besar.
3.4 Tugas dan Diskusi
1. Prinsip Praktikum sediaan organ terpisah (isolated organ)
 Syarat viabilitas isolated organ
Metode Organ Terisolasi Organ terisolasi adalah suatu metode percobaan
in vitro. Pada prinsipnya adalah menggunakan organ yang terendam dalam larutan
fisiologis yang sesuai, temperature diatur atau dikondisikan pada kondisi yang
sama dari mana organ tersebut berasal serta pengaturan aliran oksigen. Percobaan
organ terisolasi ini menggunakan alat organ bath (Perry, 1970).
Sebelum digunakan untuk pengujian hewan uji harus dikondisikan selama
kira-kira 2 minggu dan diamati perkembangan:
- kesehatan hewan uji
- pertumbuhan hewan uji (korelasi umur dengan berat badan)
- pertambahan berat badan rata-rata (± 10 %)
- suhu badan normal (± I °C)
- tinja normal (tidak ada parasit)
- makanan (komposisi, kadar, jumlah), diusahakan tetap
Jenis-jenis hewan uji yang sering digunakan dalam percobaan :
a. Mencit
b. Tikus
c. Marmot
d. Kelinci
e. Merpati
f. Kucing
g. Anjing
h. Domba
Kelebihan dan kekurangan uji dengan organ terisolasi Kelebihan:
a. Efek obat lebih spesifik untuk suatu organ
b. Dapat diketahui letak atau jenis reseptornya
Kelemahan: Tidak 100% menggambarkan keadaan in-vivo karena:
a. tidak ada supply darah ke organ
b. system faali berubah (enzim, syaraf)
c. bila teknik preparasi kurang cermat hasil tidak valid karena timbul variabel baru
yang tak terkendali, misalnya: larutan garam fisiotogis tidak sesuai, kurang
oksigenasi, preparasi organ terlalu lama sehingga banyak sel yang mati, suhu
tidak sesuai
2. Jenis-jenis larutan fisiologis untuk uji Beberapa contoh garam fisiologis
yang digunakan untuk uji menggunakan organ terisolasi:
a. Frog ringer, digunakan untuk jaringan amfibi
b. Krebs ringer, digunakan untuk jaringan mamalia
c. Tyrode solution, digunakan untuk jaringan intestine
d. Locke ringer, digunakan untuk otot jantung
e. Solutio de Jalon, digunakan untuk jaringan uterus
3. Prinsip preparasi jaringan secara umum dan prinsip kerja
a. Prinsip prosedur penetapan - penyiapan larutan fisiologis
- preparasi jaringan
- perlakuan dan pencatatan respon
- pengolahan data
- evaluasi dan pengambilan kesimpulan
b. Prinsip preparasi jaringan secara umum
- hewan uji dikorbankan secara fisik, dan diletakkan pada papan fiksasi,
dibuka badannya, dan diambil organ atau jaringan yang diperlukan
- preparat dibersihkan dan jaringan lain yang tidak dikehendaki
- pencucian jaringan: - menggunakan larutan fisiologis yang sesuai
- over flow, larutan sekali pakai dan langsung dibuang
- intestine, jaringan sangat lunak sehingga harus hati-hati untuk menghindari
penekanan mekanik
- perlu diperhatikan alat-alat yang digunakan krena jaringan sensitive terhadap
logam (Cu, Mg dan Fe) sehingga disarankan digunakan stainless steel, platina
atau yang lain
- organ diikat dengan benang dan dipasang pada kait yang tersedia penting
untuk diperhatikan, temperature dan aliran gas untuk menjaga kondisi organ tetap
baik
4. Jenis-jenis jaringan yang sering digunakan untuk uji organ terisolasi yaitu:
thoracic aorta pada kelinci, ileum, trachea marmot, fundus strip dari tikus dan
jantung terisolasi dari kelinci
Metode organ terisolasi merupakan metode klasik dalam percobaan farmakologi
yang dapat digunakan untuk menganalisa hubungan dosis-respon suatu senyawa
obat. Hasil penelitian Anas, dkk., (2010) mengatakan bahwa dengan metode ini,
konsentrasi agonis dan antagonis reseptor pada tingkat jaringan dapat diketahui
secara pasti. Metode ini mempunyai kemampuan dengan intensitas maksimum.
Hal ini tidak sepenuhnya dapat dilakukan ketika menggunakan organisme utuh
(pengujian secara in vivo). Selain itu, metode ini juga dapat mengukur konsentrasi
agonis terkecil yang dapat menginduksi respon biologis.
Syamsudin dan Darmono (2011) melaporkan bahwa untuk mendapatkan hasil
percobaan yang akurat, maka diperlukan persiapan yang baik dan seluruh
percobaan harus betul-betul terkontrol. Hewan percobaan yang digunakan
dibunuh tanpa dianastesi sehingga tidak mempengaruhi kontraktilitasnya. Organ
yang diambil segera dimasukkan kedalam cairan fisiologis dan dikontrol
oksigenasinya dan dihubungkan ke tranduser dan diteruskan kealat pencatat
misalnya, kymograph atau maclab komputer. Organ yang umum digunakan
dengan metode organ terisolasi menggunakan alat organ bath adalah uterus, usus
halus, otot skeletal, vas deferens, jantung dan lambung (Kitchen, 1984).
Organ yang digunakan pada penelitian ini adalah usus halus marmut
bagian ileum karena relatif lebih tahan terhadap trauma dan kontraksinya lebih
kuat daripada jejunum atau duodenum. Marmut yang sebelumnya telah
dipuasakan selama 10-12 jam dieksekusi dengan cara dislokasi tulang leher
kemudian adomennya dibuka dan caecumnya diangkat ke depan maka ileum akan
ditemukan tergabung pada bagian belakangnya. Ileum dipotong 5 cm dari caecum
sepanjang 2 cm kemudian dimasukkan dalam cawan petri yang berisi larutan
Kreb’s. Agar tidak rusak, dalam menanganinya sebaiknya tidak menggunakan
pinset tetapi jari. Sebelum dimasukkan dalam organ bath mesentrerialnya
dibersihkan dulu kemudian isi usus dibersihkan dengan cara disemprot rongga
ususnya dengan pipet berisi larutab Kreb’s, setelah itu benang diikatkan pada
kedua ujung ileum. Ileum dimasukkan ke dalam organ bath dengan ujung bawah
diikatkan pada tangkai penahan dan ujung atas diikatkan dengan ujung
fulcrum/tangkai pada kimograf dengan diberi beban sebesar 1 gram. Setelah siap,
suhu dalam organ bath diatur setinggi 37°C dan terus diaerasi non stop memakai
air pump. Preparat ileum diinkubasikan dahulu dalam larutan Kreb’s selama 1-2
jam disertai pencucian dengan mengganti larutan kreb’s tiap 10-15 menit agar
preparat teradaptasi.

Sumber :
Tarannita, C., Permatasari, N., Sudiarto, 2006 “EFEK HAMBATAN EKSTRAK
DAUN CEPLUKAN (Physalis Minima L) TERHADAP KONTRAKTILITAS
OTOT POLOS USUS HALUS TERPISAH MARMUT DENGAN STIMULASI
METAKOLIN EKSOGEN” Fakultas Kedokteran Unb

2. Prinsipkontraksi usus sebagai organ otonomik


Pada prinsipnya semua bagian dari fraktus gastrointestinal dapat digunakan
untuk percobaan organ terpisah (esofagus, gaster, ileum, kolon, dan bahkan
rektum). Ada 2 macam metoda organ terpisah, yaitu yang disertai saraf dan tidak
disertai saraf. Dengan metoda ini dapat diamati respon organ terhadap pemberian
obat. Respon obat terhadap obat dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif
sehingga dapat digunakan untuk menghitung afinitas obat terhadap reseptor. Pada
praktikum ini digunakan beberapa konsentrasi obat untuk melihat efeknya
terhadap organ terpisah (usus). Asetilkolin adalah salah satu neurotransmitter
yang digunakan oleh saraf. Asetilkolin (Ach) adalah neurotransmitter yang
digunakan oleh serat preganglion simpatis dan parasimpatis. Ach juga digunakan
sebagai neurotransmitter serat pascaganglion parasimpatis. Serat ini, bersama
dengan semua serat praganglion otonom, disebut juga sebagai serat kolinergik.
Ach juga berperan dalam persisteman parasimpatis, yaitu sebagai neurotransmitter
pascaganglion. System parasimpatis sangat berperan dalam system pencernaan.
System ini mendominasi pada keadaan tenang dan santai. System parasimpatis
merupakan tipe rest and digest, yaitu istirahat dan cerna sekaligus memperlambat
aktivitas – aktivitas yang ditingkatkan oleh system simpatis. Sebagai contoh, efek
stimulasi parasimpatis pada system pencernaan adalah sebagai berikut :
• Meningkatkan motilitas organ pencernaan
• Relaksasi sfingter (untuk memungkinkan gerakan maju isi saluran
cerna)
• Stimulasi sekresi pencernaan
• Stimulasi sekresi pankreas eksokrin (untuk pencernaan)
• Pengeluaran banyak liur encer kaya enzim
Jadi apabila diberi Atropin yang merupakan derivate campuran
rasemik yang berkhasiat anti-kolinergis kuat dan merupakan antagonis
khusus dari efek muskarin ACh.Efek nikotinnya diantagonis ringan
sekali,. Zat ini digunakan sebagai midriatikum kerja panjang yang juga
melumpuhkan akomodasi, dan juga sebagai spasmolitikum pada kejang-
kejang disaluran lambung usus dan urogenital. Sedangkan metakolin
merupakan obat kolinergik (agonis kolinergik) yang bekerja secara
langsung atau tidak langsung meningkatkan fungsi neurotransmitter dan
menghasilkan efek perangsangan

2.1 Isolated Usus- masih ada efek kontraksi


Isolated usus – masih ada efek kontraksi
Usus yang dimasukkan ke dalam organ bath bersuhu 37 derajat celcius ini
berisi larutan tyrode. Larutan tyrode sendiri merupakan larutan larutan buffer
fisiologis yang berfungsi agar organ terisolasi tetap hidup dan tahan lama
(terdiri dari NaCl 8g, KCL 0,2 g, CaCl 0.2g, MgCL2 0.1g, NaH2PO4 0.05g, NaHCO
1.0 g, glukosa 1g, dilarutkan dalam air suling hingga 1.000ml (Lammers
dkk,2002; Grasa dkk,2005)) .oleh karena keadaan lingkungan dijaga seperti
keadaan di asal hidupnya, usus masih ada efek kontraksi karena memiliki sistem
saraf otonom dan otot yang terletak di dindingnya. Hal ini menyebabkan usus
dapat bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan walaupun telah terputus
dari sistem saraf pusat selama organ dijaga dalam kondisi normalnya dengan
suplai nutrisi yang adequat.

3. Prinsip kerja obat pada reseptor


3.1 Teori okupansi
Teori Occupancy oleh Gaddum dan Clark menyatakan bahwa intensitas
efek farmakologis secara langsung proportional dengan jumlah reseptor yang
diduduki obat. Respon biologis hilang ketika komplek obat-reseptor mengalami
disosiasi. Bagaimanapun juga tidak semua agonis menghasilkan suatu respon
maksimal. Oleh karena itu, teori ini tidak menguraikan agonis parsial. Ariens dan
Stephenson memodifikasi teori Occupancy untuk menjelaskan agonis parsial
(istilah yang dibuat oleh Stephenson). Konsep asli Langley mengenai reseptor
menyatakan bahwa interaksi obat-reseptor terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama
terjadi kompleksasi obat dengan reseptor yang disebut afinitas. Kedua terjadi
inisiasi efek biologis yang oleh Ariens disebut dengan aktivitas intrinsic dan oleh
Stephenson disebut juga efikasi. Afinitas merupakan suatu ukuran kapasitas obat
untuk berikatan dengan reseptor dan ini tergantung pada komplemen obat dan
reseptor. Aktivitas intrinsik (α) merupakan ukuran kemampuan komplek obat-
reseptor untuk menimbulkan respon. Aktivitas intrinsik dari suatu obat dianggap
konstan. Jika suatu obat mempunyai α nilai sama dengan 1,0 maka obat tersebut
merupakan suatu agonis, jika kurang dari 1,0 maka obat tersebut merupakan
parsial agonis. Secara umum antagonis berikatan dengan kuat pada suatu reseptor
(afinitas besar) tetapi sama sekali tida k menimbulkan efek (tidak
mempunyai efikasi). Agonis yang poten mungkin mempunyai afinitas terhadap
reseptor yang lebih kecil dibandin agonis parsial atau antagonis. Teori Occupancy
yang termodifikasi digunakan untuk menjelaskan adanya agonis parsial atau
antagonis, tetapi tidak bisa menjelaskan mengapa dua obat bisa menduduki
reseptor yang sama dan mempunyai aksi yang berbeda di mana yang satu sebagai
agonis dan yang lain sebagai antagonsis (Rollando, 2017).
Menurut teori Occupancy, peningkatan dosis obat tidak akan berarti lagi jika
Emax telah tercapai, hal ini terjadi karena pada tahap ini semua reseptor telah
diduduki oleh obat (Setiawati dkk, 2007)
Teori occupancy atau teori pendudukan receptor
1. diawali dengan interaksi ligan pada tempat aksinya
2. Respon timbul akibat fungsi pendudukan reseptor oleh ligan
3. E max adalah seluruh receptor telah ditempati oleh ligan
4. efek yang ditimbulkan sebanding dengan jumlah reseptor yang
diduduki
5. semakin banyak reseptor yang diduduki semakin besar efek

4. Prinsip kerja agonis


4.1 Bagaimana hasil praktikum
Berdasarkan grafik kymograf didapatkan bahwa Metacoline menjadi
agonis reseptor di usus karena menurut teori bahwa Metacoline bekerja mirip
dengan cara kerja asetilkolin pada reseptor kolinergik. Metacoline berkaitan
dengan reseptor pada membran sel dan mempermudah pengaliran kalsium dan
natrium ke dalam sel yang menyebabkan stimulasi otot.
4.2 Mekanisme sinyal tranduksi metakolin sampai dengan timbul efek
kontraksi
Metakolin merupakan salah satu agonis muskarinik yang bekerja langsung
pada reseptor kolinergik dan akan merangsang pelepasan ACh. Diketahui bahwa
usus merupakan organ yang terdapat syaraf parasimpatik yang bekerja memacu
peristaltik usus sehingga pada pemberian metakolin akan meningkatkan ACh pada
post sinaps sehingga jumlah ACh yang berlebih pada celah sinaps akan diterima
oleh reseptor muskarinik yang ada di permukaan usus. Perlu diketahui bahwa
syaraf parasimpatis memiliki ganglion yang dekat dengan organ bahkan
menempel pada organ yang diinervasinya. Sehingga peristaltik usus juga
meningkat karena kontraksi otot polos utamanya melalui aktivasi reseptor M3 dan
beberapa spingter mengalami relaksasi.

5. Prinsip kerja antagonis


5.1 Bagaimana hasil praktikum
Berdasarkan grafik kymograf didapatkan bahwa Atropin menjadi
antagonis reseptor di usus karena menurut teori bahwa Atropin mencegah akses
asetilkolin dan obat agonis serupa ke reseptor asetilkolin dan menstabilkan
reseptor dalam bentuk inaktifnya (atau suatu bentuk lain di luar bentuk yang
diaktifkan oleh asetilkolin).
5.2 mekanisme sinyal tranduksi atropin
Atropin dan senyawa sejenis bersaing dengan ACh dan agonis muskarinik
lain untuk suatu tempat ikatan yang biasa pada reseptor muskarinik. Tempat
ikatan untuk agonis kompetitif dan asetilkolin terdapat di dalam celah yang
diperkirakan akan dibentuk oleh beberapa dari tujuh heliks transmembrn reseptor
Karena antagonisme dengan atropin bersifat kompetitif,
antagonisme tersebut dapat diatasi jika konsentrasi Ach pada tempat reseptor di
organ efektor meningkat cukup memadai. Antagonis reseptor muskarinik
menghambat respon stimulasi saraf kolinergik pascaganglion kurang cepat
dibandingkan antagonis tersebut menghambat respon ester kolin yang diinjeksi

6. membandingka affinitas dan effikasi metakolin jika diberikan


metakolin sajan dengan jika diberikan atropin dulu kemudian metakolin

6.1 prinsip kerja antagonis kompetitif dan non kompetitif


Jika terdapat agonis dalam konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi
antagonis kompetitif reversible secara progresif akan menghambat respons
agonis, konsentrai tinggi antagonis akan mencegah terjadinya resposn agonis
secara komplit. Sebaliknya, konsentrasi agonis yang cukup tinggi juga dapat
melawan efek antagonis secara komplit; artinya agonis tetap sama untuk setiap
antagonis dalam konsentrasi tertentu. Antagonis bersifat kompetitif, maka
keberadaan antagonis akan meningkatkan jumlah konsentrasi agonis yang
dibutuhkan agar dapat menimbulkan respons tertentu.
Antagonis dapat bekerja secara nonkompetitif melalui mekanisme yang berbeda,
yaitu dengan terikat ke tempat lain di protein reseptor tempat terikatnya
agonis, dengan demikian mencegah aktivasi reseptor tersebut tanpa perlu
memblokade agonis untuk terikat dengan reseptor. Walaupun berkerja secara
nonkompetitif, efek kerja obat bersifat reversible jika tidak berikatan secara
kovalen(Katzung, ed. 10).
6.2 Bagaimana hasil praktikum
Hasil praktikum menunjukkan bahwa afinitas metakolin lebih besar
dibandingkan dengan metakolin yang ditambah dengan atropine. Karena atropin
bekerja menghambat Ach menduduki reseptor muskarinik secara kompetitif
sehingga dapat mengurangi efek Ach di tempat kerjanya.
6.3 Tentukan kerja atropin sebagai antagonis kompetitif atau non kompetitif
berdasarkan afinitas dan effikasinya
Atropin berperan sebagai antagonis kompetitif berkompetisi dengan
asetilkolin dan agonis muskarinik lainnya. Lalu akan menghambat rangsang saraf
post-ganglionik parasimpatik yang mengakibatkan terjadinya pelepasan Ach dan
peningkatan reseptor pada neuroreseptor. Hal ini akan mengurangi efek
asetilkolin dan obat yang mirip di dalam tubuh. Antagonis ini dapat diatasi
dengan peningkatan dosis agonis. Antagonis menggeser kurva dosis respon
agonis ke kanan sehingga mengurangi afinitas agonis.(Asep Sukohar. 2014.).
KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. semakin besar dosis pada agonis semakin besar efek yang ditimbulkan.
Efek akan mencapaiefek maksimal apabila obat menempati semua reseptor
2. pemberian antagonis kompetitif sebelum pemberian agonis, akan
menyebabkan peningkatan dosis agonis sampai menimbulkan efek
3. terdapat perbedaan effikasi antara pemberian obat agonis saja dengan
pemberian antagonis dan agonis. Kesalahan ini mungkin terjadi karena
viabilitas usus, durasi pemberian obat dan perlakuan yang salah
DAFTAR PUSTAKA
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Ikawati, Zullies. 2018. Farmakologi Molekuler : Target Aksi Obat dan


Mekanisme Molekulernya. Yogyakarta : UGM Press

Katzung, B. Bertram, dkk. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik. The McGraw-
Hill Companies

KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Mycek, Mary. Dkk. 2011. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medik :


Jakarta.

Rollando. 2017. Pengantar Kimia Medisinal. Malang : Seribu Bintang.

Setiawati, A., dan Nafrialdi, 2007, Obat Gagal Jantung, Farmakologi dan
Terapi, Edisi V, 34 dan 300, Departeman Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Sulistia dan Gunawan. 2007. Farmakologi Terapi. Jakarta (ID): UI Press.

Tarannita,Citra,Nur Permatasari,Sudiarto.2006.Efek Hambatan Ekstrak Daun


Ceplukan (Physalis minima L) Terhadap Kontraktilitas Otot Polos Usus
Halus Terpisah Marmut Dengan Stimulasi Metakolin Eksogen. Vol 22, No
1, pp.18-22

Anda mungkin juga menyukai