Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang menjadi penolong


dan penuntun dalam menjalani kehidupan, sekaligus untuk memperbaiki nasib dan
peradaban umat manusia yang bisa dilakukan sejak masih dalam kandungan (Mansur,
2005: 1). Begitu pentingnya pendidikan bagi kita, tak dapat dibayangkan misalkan
tanpa pendidikan, manusia sekarang tak akan berbeda dengan manusia zaman dahulu,
bahkan mungkin akan lebih terpuruk atau lebih rendah kualitas peradabannya. Dan
perlu menjadi kekhawatiran bersama bila hal senada ternyata mulai menggejala pada
masyarakat kita. Sangat memilukan bahwa masyarakat Indonesia yang relegius
dewasa ini terpuruk dalam himpitan kritis dan terbelakang dalam berbagai aspek
kehidupan (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 122).1

Masyarakat madani, masyarakat yang selalu kita idam-idamkan (Imagined


Community) sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat yang saling menghargai
dan menghormati sesama, akan dapat diwujudkan hanya dengan pendidikan.
Tentunya pendidikan yang bermutu bukan pendidikan asal-asalan. Pendidikan yang
dimaksud terutama adalah pendidikan agama. Yaitu melalui peningkatan pendidikan
umat dalam suatu bangsa, hal ini berlaku juga bagi bangsa Indonesia yang mayoritas
pendudukanya beragama Islam (Azwar Anas, 1993: xiii). Tepat sebagaimana
dikatakan Ghulam Nabi Syaqib; Education may be use to help modernize a society
education, therefore is certainly the key to the modernization of muslim societies
(Ghulam Nabi Syaqib, 1983: 296).

Dengan demikian tepat juga dikatakan, pendidikan diartikan sebagai berikut:


Education is social continuity of life, education is more narrowly as transmission
from some persons to others of the skills, the arts and the sciences (Kingleys Price,
1965: 4).

1
Khaeruddin, Mahfud Junaedi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Konsep dan
Implementasinya di Madrasah, (Jateng: Madrasah Development Center (MDC), 2007) hal. 3

1
2

Dalam mencapai tujuan pendidikan tersebut maka diperlukan berbagai faktor


atau unsur yang mendorongnya terutama kurikukulum yang diterapkan atau dipakai.

Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan.


Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktifitas pendidikan demi tercapainya tujuan-
tujuan pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan,
memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup dan uraian isi, serta proses
pendidikan (Nana Saodih Sukmadinata, 1999: 4). Kurikulum dalam sistem
persekolahan merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam
proses kegiatan belajar mengajar.

Kurikulum yang baik harus berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan
perkembangan zaman, dan sejak tahun 2004-2005 pemerintah telah menetapkan
Kurikkulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai kurikulum yang berlaku di
Indonesia (E. Mulyasa, 2003: 5-7).

Saat itu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ditetapkan oleh pemerintah


sebagai alternatif kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan, yang diberlakukan
mulai tahun ajaran 2004-2005 (E. Mulyasa, 2003: 5-7). KBK itu sendiri
dikembangkan dengan tujuan untuk membekali peserta didik (siswa dan Mahasiswa)
dalam menghadapi tantangan hidupnya di masa depan yang cenderung semakin
komplek secara lebih madiri, cerdas, rasional dan kritis.

Bila dilihat dari berbagai sisi, KBK menjadi kurikulum yang memenuhi
kesempurnaan secara konseptual. Namum berdasarkan penelitian di lapangan KBK
menemukan berbagai kendala, terkait dengan pelaksanaannya. Sehingga perlu
perangkat khusus yang mengatur secara teknis dan detail tentang pelaksaannya
tersebut. Dimana perangkat tersebut disusun berdasarkan pada kesesuaian dengan
kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Maka
dibentuklah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam rangka
menjembatani hal itu. Akhirnya melalui Undang-Undang Republik Indonesia,
3

Nomor; 20 tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 (PP. 19/2005) tentang Standar Nasional
Pendidikan, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22, 23
dan 24 tahun 2006 mengamanatkan setiap satuan pendidikan untuk membuat KTSP
sebagai pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan
pendidikan yang bersangkutan.2

KTSP bukanlah perubahan kurikulum yang sudah ada melainkan representasi


dari kurikulum yang berlaku selama ini, yaitu kurikulum tahun 2004/2006. di dalam
konteks aktual masing-masing sekolah atau sistem persekolahan.

Diperlukan penyikapan yang tepat dan proposional dari semua pihak agar
KTSP tidak memicu penolakan pada tataran psikologis atau praksis organisasi
sekolah. Implementasi KTSP akan menimbulkan konsekuensi yang berupa perubahan
sikap, kultur dan kebiasaan yang selama ini diikuti oleh semua pihak di dalam
lingkungan sekolah, karena KTSP memang menggunakan paradigma baru yang
berbeda dengan formatif dan operasional organisasi yang diikuti sebelumnya.

Pemberlakuan KTSP pada tahun 2006 ini merupakan awal yang baik untuk
mencapai tujuan pembelajaran di sekolah. Sekolah mempunyai wewenang dalam
mengembangkan kurikulum sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Pengembangan KTSP tentunya berbeda antara satu sekolah dengan sekolah yang lain.
KTSP pada sekolah mandiri berbeda dengan sekolah standar. Sekolah kategori
standar merupakan sekolah yang memiliki komponen pendidikan yang memerlukan
bantuan penuh dari pemerintah dan belum bisa secara mandiri memenuhi kebutuhan
sekolahnya. Sedangkan sekolah kategori mandiri dapat mengembangkan diri menjadi
sekolah yang unggul dan dapat mengalami percepatan dan pembelajaran (accelerated
learning).

2
Khaeruddin, Mahfud Junaedi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Konsep dan
Implementasinya di Madrasah, hal. 5
4

Kelas akselerasi itu bukan merupakan kelas khusus ,tetapi kelas reguler
dengan siswa yang memiliki tingkat kemampuan keberbakatan heterogen yang masih
jarang kita dapati di sekolah-sekolah.

Program kelas ini dimaksudkan untuk menampung anak siswa pintar yang
memiliki kemampuan lebih dari rata-rata kelas sehingga siswa kelas ini dapat
menyelesaikan sekolah setara SMU hanya 2 tahun. Kelas Aksel (demikian istilah
yang sering digunakan) ini mirip kelas Sekolah Luar Biasa (SLB) namun kategorinya
SLB plus.

Kelas akselerasi ini ruang kelasnya tersendiri tidak bercampur-baur dengan


kelas lainnya. Murid-murid itu secara individual diberi kesempatan untuk
berkembang sesuai kemampuan, kecepatan dan irama belajarnya. Biarkan anak di
sekolah mengeluarkan kemampuannya secara maksimal secara tuntas. Oleh karena
itu, sekolah harus mengakomodasi segala kebutuhan yang menunjang baik sarana,
dana, teknologi dan guru yang berkualitas.

Menyikapi KTSP dan apa yang telah dilakukan beberapa sekolah yang ada
dalam kategori mandiri dapat mengembangkan diri menjadi sekolah unggul dan dapat
mengalami percepatan dalam pembelajaran (accelerated learning) yang dapat ditiru
oleh sekolah-sekolah lain. Apabila semakin banyak sekolah yang menyelenggarakan
program kelas akselerasi ini, maka akan lebih banyak lagi siswa berkualitas tinggi di
negeri ini. Kelak mereka akan menjadi SDM unggul, seperti yang selama ini kita cita-
citakan dalam pembangunan SDM. Ditangan mereka inilah kelak nasib negeri ini
ditaruhkan.

Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum


Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. KTSP
memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap
memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. 3

3
http://helniemag.blogspot.com Tgl 15 Oktober 2008
5

Sebelum KTSP diluncurkan, Depdiknas mengumpulkan sejumlah sekolah


negeri yang dinilai unggulan di Malang, Jawa Timur, untuk diberi penataran.
Sekembalinya ke daerah, sekolah tersebut diminta menularkan ilmunya. Dengan
sistem getok tular sederhana ini, misi dan visi Depdiknas mudah sampai ke akar
rumput.

Pertanyaan mendasar, apakah KTSP akan dimanfaatkan semaksimal mungkin


sekolah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki? Perlu diingat, KTSP tidak
berjalan maksimal jika para pejabat Depdiknas tidak berubah lebih dahulu. Tanpa
semangat perubahan makna KTSP bak macan ompong.4

Sejak tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang


pemerintah daerah, telah diberlakukan otonomi daerah bidang pendidikan dan
kebudayaan. Visi pokok dari otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan bermuara
pada upaya pemberdayaan (empowering) terhadap masyarakat setempat untuk
menentukan sendiri jenis dan muatan kurikulum, proses pembelajaran dan sistem
penilaian hasil belajar, guru dan kepala sekolah, fasilitas dan sarana belajar untuk
putra-putri mereka. Peran pemerintah baik diwakili oleh Departemen teknis maupun
oleh Pemerintah Daerah (Pemda) di tingkat kecamatan, kabupaten, profinsi adalah
memberikan dukungan baik berupa dana, fasilitas dan ekspertis agar dapat
terselenggaranya pelayanan pendidikan yang bermanfaat bagi pembangunan
kehidupan riil di masyarakat dan dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan mengacu
pada standar mutu akademik secara nasional maupun international.5

Dilihat dari visi tersebut, maka kata kuncinya dari otonomi daerah adalah
”kewenangan” dan ”pemberdayaan”. Otonomi daerah di bidang pendidikan berusaha
memberikan kembali pendidikan kepada masyarakat pemiliknya (daerah) agar hidup
dari, oleh dan untuk masyarakat di daerah tersebut, atau berusaha memandirikan
suatu lembaga atau suatu daerah untuk mengurus dirinya sendiri melalui
4
http://www. Duniaguru.com Tgl 15 Oktober 2008 Lihat: Kompas Cyber Media 
5
Muhaimin, Sutiah, Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 1
6

pemberdayaan SDM yang ada di daerahnya. Sebagai konsekuensinya, maka sebagian


besar sumber pembiayaan nasional dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai
dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda-beda.

Otonomi penyelenggaran pendidikan tersebut pada gilirannya berimplikasi


kepada perubahan sistem manajemen pendidikan dari pola sentralisasi ke
desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan. Sebagai implikasi selanjutnya ialah
dikembangkannya pendidikan yang demokratis dan non-monopolistik dalam
menentukan jenis dan muatan kurikulum, proses pembelajaran dan sistem penilaian
hasil belajar, fasilitas dan sarana belajar, dan lain-lain. Bersamaan dengan otonomi
penyelenggaraan pendidikan tesebut, maka manajemen yang dikembangkan lebih
mengarah pada manjemen berbasis sekolah/madrasah (guru, peserta didik, kepela
sekolah, karyawan, orang tua peserta didik, dan masyarakat) atau stakeholders untuk
meningkatkan mutu sekolah/madrasah.

Di antara otonomi yang lebih besar diberikan kepada sekolah/madrasah adalah


menyangkut pengembangan kurikulum, yang kemudian disebut dengan KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), yakni kurikulum operasional yang disusun
oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah/madrasah).
Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam
pengembangan kurikulum, yaitu:

1. Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 (PP. 19/2005) tentang Standar


Nasional Pendidikan.

3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22, tahun 2006 tentang Standar Isi
(SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23, tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
7

5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24, tahun 2006 tentang Pelaksanaan
dari kedua Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut.

6. Panduan dari BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).

Anda mungkin juga menyukai