Anda di halaman 1dari 19

POLITICA:

Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam


Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

Pencegahan Perundungan (Bullying) Terhadap Siswa Sd Dan Smp


Dalam Implementasi Kota Peduli Ham Di Kota Ternate

Salha Marasaoly
Universitas Khairun
salha@unkhair.ac.id
Sri Indriyani Umra
Universitas Khairun
sri.indriyani@unkhair.ac.id

Abstrak
Perlindungan anak menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Perilaku kekerasan terhadap anak sebagai bentuk ekspresi, dan aksi yang
dilakukan oleh orang lain terhadap anak. Tindakan kekerasan adalah salah satu bentuk manifestasi rasa marah
yang bersifat agresif malignant (berat) yang menyebabkan kesakitan atau kerusakan pada obyek sasarannya.
Perundungan juga dikenal sebagai masalah sosial, terutama ditemukan di kalangan anak-anak sekolah.
Pengembangan sumber daya anak merupakan bagian dari upaya untuk memenuhi hak-hak anak untuk menjamin
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan,
eksploitasi, dan diskriminasi serta berpartisipasi dalam segala hal yang mempengaruhi hidupnya.Tekanan
perlindungan pada hak-hak anak disebabkan karena anak merupakan individu yang sedang berkembang, belum
matang baik secara fisik, mental, maupun sosial. Akibatnya rawan terhadap kekerasan, penelantaran, dan
eksploitasi.
Kata Kunci: Perlindungan Anak, Perundungan, dan Kebijakan

Abstract
Child protection according to Article 1 of Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection are all activities to
guarantee and protect children and their rights so that they can live, grow, develop and participate optimally in
accordance with human dignity and protection. from violence and discrimination. Violent behavior towards children as
a form of expression, and actions taken by others against children. Violence is one of the manifestations of aggressive
malignant (severe) anger that causes pain or damage to the target object. Bullying is also known as a social problem,
especially found among school children. The development of child resources is part of efforts to fulfill children's rights to
ensure survival, growth and development, obtain protection from all forms of violence, exploitation, and discrimination
and participate in all things that affect their lives. Emphasis on protection of children's rights This is because children
are individuals who are developing, immature both physically, mentally, and socially. As a result, they are vulnerable
to violence, neglect, and exploitation.
Keyword: Child Protection, Bullying and Policy

94
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani Konvensi Hak Anak pada
tanggal 26 Januari 1990 dan meratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada
tanggal 25 September 1990. Langkah yang di lakukan Indonesia dalam melaksanakan Konvensi
1989 adalah melakukan Amandemen kedua Undang Undang Dasar Tahun 1945 dengan
memasukkan Pasal 28B Ayat (2) pada 18 Agustus 2000 yang berbunyi:

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas, perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.

Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
beberapa kali diperbaharui dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014. Undang-
undang terkait lainnya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. Anak harus dipersiapkan semenjak dini agar kelak menjadi SDM yang berbudi pekerti
baik, berkarakter kuat, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, unggul, berdaya saing, dan
menjadi agen perubahan di masa depan. Dalam pendidikan menurut Asrorun (2017:33) menyatakan
bahwa di butuhkan penguatan yang menggunakan standard HOTS (high order thinking skill), yaitu
suatu kemampuan berpikir yang tak hanya mengingat saja, namun kemampuan lain seperti berpikir
kreatif dan kritis. Pendidikan tidak hanya aspek koginisi atau intelegensia saja, tetapi penanaman
karakter menjadi hal yang sangat penting. Dalam ruang lingkup pendidikan di sekolah dasar, telah
dirangkum dalam tata nilai, yaitu cerdas dan berkarakter.

Pengembangan sumber daya anak sebagaiamana Abu Huraerah (2006:36) merupakan bagian
dari upaya untuk memenuhi hak-hak anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi
serta berpartisipasi dalam segala hal yang mempengaruhi hidupnya. Tekanan perlindungan pada
hak-hak anak disebabkan karena anak merupakan individu yang sedang berkembang, belum matang
baik secara fisik, mental, maupun sosial. Akibatnya rawan terhadap kekerasan, penelantaran, dan
eksploitasi. Banyak anak terancam hidupnya secara fisik, mental, maupun sosial di seluruh dunia.
Karena itu, pemerintah di semua perangkat, Aparat Penegak Hukum, berbagai kelembagaan agama,
pendidikan, dan sosial, elemen masyarakat, dan satuan pendidikan wajib melakukan tindakan yang
proaktif melindungi anak dari berbagai tindak kekerasan, baik dengan mempromosikan hak-hak
anak, pencegahan, dan penanggulangan tindak kekerasan pada anak.

Pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan mengakui kewajiban negara


terhadap hak-hak anak, yang diantaranya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan dan
perlindungan dari tindak kekerasan. Pemenuhan kedua hak utama ini terus mendapatkan tantangan
karena meningkatnya kekerasan pada anak, termasuk di sekolah. Berbagai riset tentang kekerasan
anak selalu menunjukkan bahwa anak-anak mengalami kekerasa di tempat atau lokasi yang mereka

95
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

kenal dan oleh orang-orang yang mereka kenal. Hal ini tak terkecuali terjadi di sekolah oleh teman
sebaya, pendidik atau tenaga kependidikan. Dalam data rilisan Tempo (2022) menyebutkan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis sejumlah pelanggaran hak anak pada tahun 2021,
didominasi terjadi kekerasan di lingkungan. Dari 5.953 kasus yang ditangani sepanjang 2021 laporan
tertinggi berasal dari kluster lingkungan keluarga dan pendidikan sebantak 76,8 persen.

Kekerasan terhadap peserta didik di satuan pendidikan adalah krisis yang mengkhawatirkan
saat ini dan hanya bisa diatasi dengan melibatkan semua pihak, mulai dari orang tua/wali, pendidik,
tokoh masyarakat, dan pemerintah. Sebagai bentuk tanggung jawab Pemerintah melalui
Kemendikbud telah menerbitkan regulasi tentang penanggulangan kekerasan di sekolah dalam
bentuk Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak
Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Permendikbud ini mengatur tata cara pencegahan
dan penanggulangan kekerasan untuk menghadirkan rasa aman pada peserta didik khususnya di
lingkungan sekolah sebagai rumah kedua yang bebas dari tindak kekerasan.

Kecerdasan emosional ternyata dapat mengurangi kemungkinan seseorang melakukan


perundungan. Hal ini menjustifikasi pentingnya pencegahan untuk mengembangkan empati, salah
satu aspek penting kecerdasan emosional untuk di integrasikan dalam program anti perundungan.
Perundungan (bullying) merupakan tindakan menyakiti seseorang dengan sengaja oleh seseorang atau
kelompok yang merasa lebih berkuasa dan dapat berdampak negatif baik bagi para pelaku maupun
penyintas. Penelitian Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada sebagaimana dijelaskan Abintoro (2016:7) menemukan adanya korelasi negatif yang
signifikan antara kecerdasan emosional dan kecenderungan untuk melakukan perundungan. Hal ini
membuktikan bahwa tingginya kecerdasan emosional berhubungan dengan rendahnya
kecenderungan melakukan perundungan. Temuan ini menegaskan bahwa optimalisasi program
pendidikan menjadi hal penting dalam melindungi hak-hak anak dalam satuan pendidikan.
Pembahasan hak anak sejalan dengan pemenuhan hak asasi anak dalam satuan pendidikan.

Hal ini berkesinambungan dengan kriteria kota peduli hak asasi manusia. Meningkatkan
kepedulian terhadap hak asasi manusia diartikulasikan ke dalam kota peduli hak asasi manusia yang
kembali menyeruak di Indonesia. Dalam Surat Keputusan Menkumham Nomor M.HH-04.HA.04.03
Tahun 2020 sebanyak 514 (lima ratus empat belas) kabupaten/kota di Indonesia, tercatat 439 (empat
ratus tiga puluh sembilan) kabupaten/kota atau sekitar 85,5(delapan puluh lima koma lima persen),
yang telah berpartisipasi menyampaikan data capaian untuk dilakukan penilaian kabupaten/kota
peduli hak asasi manusia oleh tim yang dibentuk Menteri Hukum dan HAM. Dari jumlah partisipan
tersebut, hanya 259 (dua ratus lima puluh sembilan) kabupaten/kota atau sekitar 59 (lima puluh
sembilan) persen saja yang meraih penghargaan kategori kabupaten/kota peduli hak asasi manusia
termasuk diantaranya Kota Ternate. Sebagai kota peduli hak asasi manusia, penelitian ini menjadi
penting terhadap pencegahan perundungan pada satuan pendidikan dengan berfokus pada sekolah

96
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

dasar dan sederajat. Berdasarkan latar belakang tersebut sehingga penulis memberikan batasan
pembahasan yakni (1) bagaimana bentuk perundungan yang dialami anak-anak pada pada lingkungan
sekolah dasar dan sederajat. (2) Bagaimana peran satuan pendidikan dalam melakukan pencegahan
perundungan pada tingkat sekolah dasar dan sederajat.

Tinjauan Umum Perlindungan Anak


Perlindungan anak menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berparsipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pengeran
perlindungan anak ini dibangun berdasarkan hak-hak anak dan pemenuhan hak-hak anak tersebut
anak perlu mendapat perlindungan. Berdasarkan pengeran ini, perlindungan anak harus
diarusutamakan pada semua sektor khususnya sektor-sektor kesehatan, pendidikan, dan sosial;
termasuk di satuan pendidikan. Selain pengertian mendasar tersebut, diatur pula pada Pasal 59 ayat
(1) tentang Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa Pemerintah Daerah dan
Lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan
khusus kepada anak. Dalam hal ini perlindungan anak di satuan pendidikan perlu dilakukan agar
peserta didik terhindar dari kekerasan fisik dan/mental serta terhindar dari diskriminasi yang dijamin
pada Pasal 4, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berparsipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.

Undang-undang Perlindungan Anak mengikat setiap warga negara. Pelanggaran terhadap


undang-undang Ini dalam bentuk tindak kekerasan pada anak, berakibat pada sanksi pidana bagi
pelakunya. Setiap lembaga yang memiliki program, layanan, atau SDM yang langsung berhubungan
dengan anak oleh karenanya wajib melengkapi ketentuan peraturan perundang- undangan ini
dengan memberlakukan Kebijakan Keselamatan Anak. Kebijakan ini untuk memaskan bahwa SDM
atau siapapun yang bekerja langsung dengan anak dapat memaskan sikap dan perilaku yang tidak
mengarah pada tindak kekerasan pada anak.

Perlindungan anak mempunyai tujuan sebagaimana Ali Imron (2021:22) untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendaptkan perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak di Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Menurut Moch. Faisal (2005:3) Perlindungan anak adalah segala upaya yang ditujukan untuk
mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan yang salah,
eksploitasi dan penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya.

97
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

Untuk memberi perlindungan dan menghargai anak sebagai bagian dari warga masyarakat yang
memiliki hak untuk berpartisipasi dan berdaya, harus diakui bukan hal yang mudah. Namun
demikian, agar tidak terjadi proses dehumanisasi yang makin parah dan memojokkan anak,
bagaimanapun sebuah langkah sekecil apapun harus segera dimulai Bagong Suyanto (2003:361).
Pertama, yang terpenting adalah bagaimana menyusun sebuah strategi dan langkah aksi yang benar-
benar nyata untuk membongkar dikotomi domestik publik dalam persoalan anak. Kedua,
menumbuhkan kepekaan elite politik dan aparat di birokrasi pemerintah terhadap persoalan
kelangsungan masa depan anak-anak. Selama ini, harus diakui bahwa tanpa didukung oleh
kepedulian dari para pejabat dan elite politik lokal, niscaya sulit dapat dilakukan sebuah program aksi
bersama untuk penanganan anak-anak yang dirampas haknya secara berkelanjutan. Ketiga, untuk
memperoleh platform politik tentang pentingnya investasi yang signifikan bagi kegiatan dan
pelayanan dasar bagi anakanak seperti pendidikan, kesehatan, gizi, perlindungan hukum dari
perlakuan salah, diskriminasi, dan eksploitasi, serta perhatian yang serius terhadap anak yang menjadi
korban dislokasi sosial. Keempat, menumbuhkan potensi swakarsa dan mendorong proses
pembentukan mekanisme penanganan anak yang bersifat kontekstual, khususnya ditingkat
komunitas melalui bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Community Base Organization
(CBO). Adapun mengenai buruh anak niscaya dapat lebih dikurangi bila disana didukung campur
tangan CBO, Forum Peduli Anak, atau fasilitas-fasilitas yang mendukung perkembangan anak.

Tinjauan Umum Perundungan (Bullying)


Perilaku kekerasan terhadap anak (child abuse), sebagai bentuk ekspresi, dan aksi yang dilakukan
oleh orang lain terhadap anak. Tindakan kekerasan adalah salah satu bentuk manifestasi rasa marah
yang bersifat agresif malignant (berat) yang menyebabkan kesakitan atau kerusakan pada obyek
sasarannya. Perundungan juga dikenal sebagai masalah sosial, terutama ditemukan di kalangan anak-
anak sekolah. Secara harfiah perundungan, adalah penindasan. Kata perundungan berasal dari kata
bully, yang dalam bahasa Inggris berarti penggerak. orang yang mengganggu orang lemah. Istilah
yang seringkali dipakai masyarakat tentang perundungan di antaranya adalah penindasan,
penggencetan, per peloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi.

Perundungan dapat dianggap sebagai suatu kejahatan, karena unsur-unsur yang ada di
dalam perundungan itu sendiri sebagaimana Mufidah (2006:17), American Psychological Association
(2013) mengartikan Perundungan sebagai: “a form of aggressive behavior in which someone intentionally and
repeatedly causes another person injury or discomfort. Bullying can take the form of physical contact, words or
more subtle actions”. Coloroso mengemukakan bahwa perundungan akan selalu melibatkan unsur-
unsur berikut:

1. Ketidakseimbangan kekuatan (imbalance power), Perundungan bukan persaingan antara


saudara kandung, bukan pula perkelahian yang melibatkan dua pihak yang setara. Pelaku

98
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

perundungan bisa saja orang yang lebih tua, lebih besar, lebih kuat, lebih mahir secara verbal,
lebih tinggi secara status sosial, atau berasal dari ras yang berbeda;
2. Keinginan untuk mencederai (desire to hurt). Dalam perundungan tidak ada kecelakaan atau
kekeliruan, tidak ada ketidaksengajaan dalam pengucilan korban. Perundungan berarti
menyebabkan kepedihan emosional atau luka fisik, melibatkan tindakan yang dapat melukai,
dan menimbulkan rasa senang di hati sang pelaku saat menyaksikan penderitaan
korbannya.
3. Ancaman agresi lebih lanjut. Perundungan tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang
hanya terjadi sekali saja, tapi juga repetitif atau cenderung diulangi.
4. Teror. Unsur keempat ini muncul ketika ekskalasi perundungan semakin meningkat.
Perundungan adalah kekerasan sistematik yang digunakan untuk mengintimidasi dan
memelihara dominasi. Teror bukan hanya sebuah cara untuk mencapai perundungan tapi
juga sebagai tujuan perundungan.

Unsur ketidak seimbangan kekuatan dan keinginan untuk menyakiti, sejalan dengan temuan
dari penelitian SEJIWA tahun 2018, tentang perundungan yang juga terdapat tindakan
menggunakan kekuasaan,. untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang sehingga korban
merasa tertekan, trauma dan tak berdaya. Hal yang sma juga dinyatakan oleh Sarwono bahwa dalam
perundungan terdapat penekanan dari sekelompok orang yang lebih kuat, lebih senior, terhadap
seseorang atau beberapa orang yang lebih lemah, lebih junior, lebih kecil. Demikian halnya
dengan Rigby merumuskan bahwa perundungan merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti,
yang dapat, menyebabkan seseorang menderita. Unsur ketidakseimbangan kekuatan dari
perundungan juga sebagai sesuatu yang terkait secara situasional karena ketidakseimbangan
kekuatan sewaktu-waktu bisa saja berubah saat korban memperoleh keterampilan untuk
mempertahankan diri dan pelaku kehilangan para pendukungnya.

Kemudian Olweus memberikan pengertian bahwa “It’is not bullying when two student of about the
same strange or power argue or fight.” Dengan demikian, dalam pengertian perundungan lebih
menekankan pada konteks ketidakseimbangan kekuatan, yang nyata terlihat saat beberapa bentuk
perundungan terjadi, seperti pengucilan, penyebaran rumor, dan sarkasme yang menyakitkan dari
sekelompok orang terhadap satu orang. Artinya, dalam perundungan, ada ketidakseimbangan
kekuatan yang berlangsung secara berkelanjutan selama periode waktu yang lama. Dilakukan
kepada anak yang lebih ‘rendah’ atau lebih lemah untuk mendapatkan keuntungan atau
kepuasan tertentu. Kejadian tersebut sangat mungkin berlangsung pada pihak yang setara, namun,
sering terjadi pada pihak yang tidak berimbang secara kekuatan maupun kekuasaan. Salah satu
pihak dalam situasi tersebut tidak mampu mempertahankan diri atau tidak berdaya. Korban
perundungan biasanya memang telah diposisikan sebagai target. Menurut Rigby bahwa unsur-
unsur yang terkandung dalam pengertian perundungan antara lain keinginan untuk menyakiti,

99
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

tindakan negatif, ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan atau repetisi, bukan sekedar


penggunaan kekuatan, kesenangan yang dirasakan oleh pelaku dan rasa tertekan di pihak korban.

Dengan memanfaatkan ketidakseimbangan kekuatan, maka pelaku Perundungan


melakukan secara berulang- ulang, bahkan sistematis dalam bentuk suatu ancaman, atau paksaan
dari seseorang atau kelompok terhadap seseorang atau kelompok lain, Hal ini didukung oleh
pendapat Olweus (1993) bahwa: “Bullying can consist of any action that is used to hurt another child repeatedly
and without cause”. Dalam hal ini, perundungan sebagai tindakan untuk. melukai siswa lain secara
terus-menerus dan tanpa sebab. Selanjutnya Olweus (1993) berpendapat bahwa perundungan
merupakan tindakan negatif dan dilakukan secara perseorangan maupun kelompok siswa; “… negative
actions on the part of one or more other students. Pendapat yang sama dari para psikolog behavioral
yang menyatakan bahwa bahwa dalam perundungan bukan sekedar keinginan untuk menyakiti
orang lain, namun selalu diikuti oleh tindakan negatif. Craig dan Pepler, berpendapat bahwa
perundungan sebagai “tindakan negatif secara fisik atau lisan yang menunjukkan sikap
permusuhan, sehingga menimbulkan distress bagi korbannya, berulang dalam kurun waktu tertentu
dan melibatkan perbedaan kekuatan antara pelaku dan korbannya.

METODE

Kota Ternate dipilih sebagai lokasi penilitian dengan judul Pencegahan Perundungan (Bullying)
Terhadap Siswa Sekolah Dasar pada sekolah SD IT Nurul Hasan dan SD Negeri 25 Kota Ternate,
dan Sekolah Menengah Pertama pada sekolah SMP Negeri 4 Kota Ternate dan SMP
Muhammadiyah 1 Kota Ternate dalam Implementasi Kota Peduli Hak Asasi Manusia dikarenakan
sejak tahun 2020 Kota Ternate meraih penghargaan kategori kabupaten/kota peduli HAM melalui
Surat Keputusan Menkumham Nomor M.HH-04.HA.04.03. Penelitian Pencegahan Perundungan
(Bullying) Terhadap Siswa SD dan SMP dalam Implementasi Kota Peduli Hak Asasi Manusia di Kota
Ternate” merupakan penelitian empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Sumber data dalam penelitian ini
adalah subjek darimana data ini diperoleh, yakni dengan cara meneliti data lapangan dengan
dukungan bahan kepustakaan. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan
dengan wawancara dengan bahan hukum primer, sekunder dan tersier diperoleh dengan cara
mengumpulkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan, buku literatur, jurnal, dan bukti
empiris serta bahan-bahan yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil inventarisasi studi lapangan
dianalisis untuk mendapatkan konklusi kemudian dianalisis dengan metode analisis secara integratif
dan konseptual yang cenderung diarahkan untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan
menganalisis bahan hukum untuk memahami makna, signifikansi, dan relevansinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

100
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

Bentuk Perundungan yang Dialami Anak-Anak Pada Pada Lingkungan Sekolah Dasar dan
Sederajat

Perilaku perundungan dapat dikatagorikan sebagai bagian dari bentuk kekerasan anak (child
abuse). Tindakan tersebut akhir-akhir ini telah menjadi permasalahan bersama. Perilaku perundungan
sangat rentan terjadi di lingkungan remaja baik laki-laki maupun perempuan. Perilaku perundungan
ini mengandung tindakan agresi yang ditujukan pada seseorang yang lebih berkuasa, dapat
berlangsung di lingkungan sekolah, pekerjaan, di rumah atau di lingkungan tempat bermain.

Kekerasan yang terjadi di sekolah ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus yang muncul dan
nampak merupakan bagian kecil dari jumlah kasus sebenarnya. Kasus kekerasan di sekolah akan
terus berulang, jika tidak ditangani secara tepat dan berkesinambungan dari akar persoalannya.
Maraknya pemberitaan di berbagai media menunjukkan bahwa ada budaya perundungan terjadi di
lingkungan sekolah, yang mengatasnamakan senioritas melakukan perundungan kepada juniornya
sebagai peserta didik baru, melalui kegiatan Orientasi sekolah. Kegiatan dimaksud nyatanya telah
mewariskan kekerasan kepada murid baru, tidak hanya mengalami luka fisik namun juga telah
menelan korban jiwa, karena perbuatan senioritasnya. Tindak kekerasan terus berlanjut terjadi secara
sisematis, seolah-olah diwariskan kepada yuniornya untuk kembali melakukan tindak kekerasan, pada
saat kegiatan orientasi sekolah pada tahun berikutnya. Adanya kasus-kasus korban kekerasan saat
Orientasi sekolah, sempat menimbulkan keresahan di masyarakat. Untuk itu pemerintah telah
mengeluarkan peraturan untuk menghapus kegiatan Orientasi Sekolah. Namun demikian tidak
menutup kemungkinan bahwa kekerasan sekolah terjadi saat anak berada diantara proses belajar
berlangsung Korban perundungan biasanya adalah anak yang lebih rendah atau lebih lemah, dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau kepuasan tertentu bagi pelaku. Tindakan ini dapat
disebut perundungan jika terjadi secara berulang kali, bahkan hanya sekali saja dan mengadung unsur
agresi, dengan pelakunya bisa perorangan atau kelompok.

Perundungan di lingkungan sekolah tidak menutup kemunginan dilakukan oleh Guru,


mengatasnamakan mendisiplinkan murid, yang sebenarnya guru telah melakukann tindak kekerasan.
Bentuk perlakuan perundungan oleh anak bisa secara fisik seperti menyerang, memukul, menampar.
Mendorong atau secara emosional sebagaimana Apriadi (2019:16) menyebutkan terdapat beberapa
jenis bentuk perlakuan yaitu mengejek, menyebarkan gossip, menghasut, mengucilkan, menakut-
nakuti, melakuka intimidasi, mengancam, memalak. Bahkan bersifat seksual seperti mencolek bagian
vital dari badan seseorang. Selain itu, dengan populernya penggunaan media sosial dikalangan anak-
anak, maka perundungan bisa melalui media sosial (Cyber Violence), seperti menyebarkan isu, fitnah,
atau berita yang memojokkan seseorang melalui Facebook, instagram dan lain sebagainya.

Dampak dari perundungan dapat menimbulkan trauma pada korban bahkan dapat
mempengaruhi kehidupan anak selanjutnya, selain merasa tertekan, tak berdaya, tidak nyaman dan

101
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

tidak bahagia sampai akhirnya tidak ingin masuk sekolah. Jika perlakuan tersebut terjadi berulang
maka dampak lebih lanjut dapat menimbulkan dendam, stress, depresi bahkan akhirnya dapat
menimbulkan perilaku anti sosial, seperti kembali melakukan tindakan kriminal atau kekerasan. Hasil
penelitian dari Kaspersky Lab dan icon Kids & Youth sebagaimana Yayasan Semai Jiwa Amini (2008:7)
menuturkan bahwa dampak dari cyber Bully, dapat menimbulkan masalah serius pada kesehatan dan
sosialisasi. Hasilnya menunjukkan anak-anak memiliki kepercayaan diri yang rendah (30 persen) dan
depresi (20 persen). Sedangkan 25 persen orangtua korban menyebutkan bahwa dampak dari cyber
perundungan dapat mengganggu pola tidur sekaligus menyebabkan mimpi buruk (21 persen).
Penyebab seseorang melakukan perundungan bisa berasal dari keluarga, yang selalu diliputi tindak
kekerasan, sehingga anak mencontoh pola relasi dengan temannya dengan cara kekerasan. Media
masa dan masyarakat yang selalu menampilkan kekerasan, selain kepribadian dari pelaku yang
mengalami masalah psikologis.

Bentuk perlakuan perundungan bisa berbeda-beda, bisa secara fisik, verbal dan non verbal,
seksual, bahkan cyber. Bentuk fisik seperti didorong, dipukul, ditendang, atau diludahi. Bentuk psikis
seperti memberi nama panggilan yang tidak disukai, mengasingkan, menyebarkan isu yang tidak
benar, mengucilkan, mengintimidasi, bahkan disentuh pada bagian vital. Perlakuan tersebut bisa
berbasis suku, agama, gender. Biasanya pengalaman perundungan di sekolah dilakukan pada anak-
anak yang merasa badannya lebih besar, lebih berkuasa, punya power mem-bully anak yang tampak
lebih lemah. Bentuk-bentuk perundungan menurut Astuti (2008:36) yang terjadi pada umunya
diantaranya :

1. Mengatakan hal yang tidak menyenangkan atau memanggil seseorang dengan julukan yang
buruk;
2. Mengabaikan atau mengucilkan seseorang dari suatu kelompok karena suatu tujuan;
3. Memukul, menendang, menjegal atau menyakiti orang lain secara fisik;
4. Mengatakan kebohongan atau rumor yang keliru mengenai seseorang atau membuat siswa lain
tidak menyukai seseorang dan hal-hal semacamnya.

Bentuk perundungan menurut Coloroso (2008:27) dibagi menjadi empat yaitu:


1. Perundungan fisik: Penindasan fisik merupakan jenis perundungan
yang paling tampak dan paling dapat diidentifikasi diantara bentuk-bentuk penindasan
lainnya, namun kejadian penindasan fisik terhitung kurang dari sepertiga insiden
penindasan yang dilaporkan oleh siswa. Perilakunya berupa kontak fisik langsung atau
serangan fisik yang dilakukan secara langsung, dapat berupa memukul, mendorong,
menendang,, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, serta
meludahi anak yang ditindas sehingga menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan
pakaian serta barang-barang milik anak yang tertindas.

102
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

2. Perundungan verbal dan non verbal, sebagai bentuk kekerasan yang palng umum digunakan
oleh anak perempuan maupun laki-laki, kerana mudah dilakukan. Seperti melalui bisikan yang
dilakukan dihadapan orang dewasa atau teman-teman tanpa terdeteksi. Bentuk penindasan
verbal seperti memberi julukan nama, mencela, memfitnah, mengkritik dengan kejam,
menghina, menyebarkan gosip, membuat surat ancaman kekerasan serta menuduh hal-hal yang
tidak benar.
3. Perundungan atau penindasan dalam bentuk non verbal dilakukan dengan menggunakan
bahasa tubuh secara langsung, misalnya memandang sinis, ekspres wajah dengan
merendahkan, mengabaikan lawan bicara, mengalhkan pandangan dan gerakan gerakan tubuh
yang menghina orang lain. Perundungan verbal dan non verbal, disebut juga sebagai
penindasan relasional. Bentuk ini paling sulit dideteksi dari luar, bertujuan untuk melemahkan
harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian atau
penghindaran. Perilaku penghidaran ini berupa penyingkiran, sebagai alat penindasan yang
terkuat. Anak yang digunjingkan mungkin akan tidak mendengar gosip itu, namun tetap akan
mengalami efeknya. Penindasan relational dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak
seorang teman atau secara sengaja ditujukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat
mencakup sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, hela
nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek dan bahas tubuh yang kasar.
4. Perundungan Seksual Pelecehan seksual dilakukan ssecara fisik atau lisan. Secara lisan berupa
ejekan atau kata-kata tidak sopan terhadap organ vital (seksual). penghinaan-penghinaan
terhadap lawan jenis atau sejanis seperti halnya mengatakan teman laki-laki banci bagi laki-laki
yang feminim. Perundungan seksual seperti sengaja memegang wilayah-wilayah seksual lawan
jenis.
5. Cyber perundungan Ini adalah bentuk perundungan terbaru karena semakin berkembangnya
teknologi, internet dan media sosial. Pada intinya adalah korban terus menerus mendapatkan
pesan negative edari pelaku perundungan baik dari sms, pesan di internet dan media sosial
lainnya. Bentuknya berupa, Mengirim pesan yang menyakitkan atau menggunakan gambar,
Meninggalkan pesan voicemail yang kejam, Menelepon terus menerus tanpa henti namun tidak
mengatakan apa-apa (silent calls), Membuat website yang memalukan bagi si korban, Si korban
dihindarkan atau dijauhi dari chat room dan lainnya, Happy slapping yaitu video yang berisi
dimana si korban dipermalukan atau dibully lalu disebarluaskan.

Perundungan dapat terjadi dimana saja dimana terdapat interaksi sosial antar manusia. Sekolah
merupakan salah satu lingkungan yang rentan terhadap terjadinya aksi perundungan. Perundungan
yang terjadi di sekolah biasa disebut dengan school bullying dan biasanya akan berdampak lama dan
mendalam. Perundungan anak di sekolah secara tidak sadar banyak terjadi, karena anak sering
meniru perilaku orang di sekitarnya ataupun tayangan televisi. Tindakan perundungan sering terjadi
berawal dari saling mengejek, baik ejekan secara fisik, kekurangan, maupun nama orang tua. Ketika

103
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

seorang anak ataupun kelompok kemudian merasa dirinya lebih unggul dibandingkan yang lain,
maka perilaku penyalahgunaan ketidakseimbangan tersebut dilakukan untuk menyakiti orang atau
kelompok yang lebih lemah.

Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di Kota Ternate diperoleh hasil bahwa, bentuk-bentuk perundungan yang terjadi
pada umumnya memiliki kesamaan, diantaranya:

1. Panggilan nama orang tua, bentuk tindakan perundungan ini terjadi pada semua satuan
pendidikan yang menjadi lokasi penelitian. Kebiasaan memanggil marga atau nama orang tua
teman yang lain menjadi momok tersendiri dalam interaksi siswa di sekolah. Seringkali
tindakan memanggil marga menjadi penyebab ketersinggungan siswa bahkan berujung pada
tindakan perkelahian sebagaimana hasil wawancara yang dilakukan bahwa akibat saling ejek
nama orang tua yang berujung pada perkelahian yang terjadi pada SMP Negeri 4 Kota Ternate
dan SMP Muhammadiyah 1 Kota Ternate.
2. Membentuk kelompok pertemanan sendiri dan saling mengucilkan, tindakan perundungan
dengan memilih lingkaran pertemanan tertentu sangat berdampak psikis pada siswa. Sebab,
Pergaulan dengan memilih lingkaran pertemanan mengakibatkan siswa mudah terpengaruh.
Latipah dalam Elisa Dian Laksono (2016:2) menyatakan bahwa teman sebaya berperan
terhadap perkembangan pribadi dan sosial yaitu dengan menjadi agen sosialisasi yang
membantu membentuk perilaku dan keyakinan mereka. Lingkungan pergaulan di sekolah
menentukan pilihan tentang cara, sikap dan tindakan siswa dalam berinteraksi. Teman yang
terlibat dalam pergaulan dengan siswa haruslah orang yang memiliki karakter, perilaku, dan
kebiasaan belajar yang baik. Karakter, perilaku, dan kebiasaan yang mampu mendukung
mencapai hasil belajar yang baik diantaranya mempunyai sikap jujur, senang membantu teman,
memiliki rasa tanggungjawab saat melakukan sesuatu, serta memiliki rasa toleransi dengan
teman seperti senang bekerja sama, tidak membeda-bedakan teman, berani bertanya jika
merasa kesulitan dan lain sebagainya.
3. Ejekan fisik (Body Shame), Menurut Chaplin Body shaming adalah bentuk dari tindakan
mengomentari fisik, penampilan, atau citra diri seseorang. Body shaming merupakan tindakan
mengejek atau menghina dengan cara mengomentari bentuk atau ukuran tubuh dan
penampilan seseorang. Body shaming adalah bentuk menyakiti seseorang dengan menjelek-
jelekkan atau memberikan komentar buruk mengenai bentuk tubuhnya. Body shame sebagai
rasa malu pada korban yang dipicu pandangan yang diberikan masyarakat terkait standar
tertentu atas tubuh kepada seseorang. Body shame sangat erat kaitannya dengan citra tubuh,
yaitu mengenai pembentukan persepsi mengenai tubuh yang ideal menurut masyarakat,
sehingga muncul suatu standar kecantikan yang membuat seseorang merasa rendah diri apabila
tidak dapat mencapai standar tersebut. Di Indonesia contohnya, seorang perempuan dianggap
cantik apabila berkulit putih, berambut lurus dan panjang, serta bertubuh langsing. Dengan

104
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

adanya standar kecantikan ini, seringkali perempuan yang dianggap tidak memenuhi standar
lantas mendapatkan perlakuan berbeda, seperti sindiran yang secara disengaja maupun tidak,
hal tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu kekerasan verbal yang selanjutnya lebih umum
disebut sebagai body shame. Hal tersebut menjadi jenis perundungan yang paling sering di
temui pada lingkungan satuan pendidikan.
4. Foto korban dibagikan ke grup sekolah. Bentuk perundungan ini terjadi pasca Covid-19 yang
mengakibatkan proses belajar mengajar diakses lewat media online. Pada umumnya media
yang digunakan adalah Whatsapp, dengan mengakomodir nomor kontak siswa dengan guru
dalam satu grup whatsapp. Media inilah yang digunakan pelaku untuk menyebarkan foto-foto
korban.

Upaya-upaya perlindungan terhadap anak dari aksi perundungan sesungguhnya sudah banyak
dilakukan, diantaranya melalui penetapan peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang
Perlindungan Anak, yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.

Upaya tersebut sejalan dengan arah kebijakan pemerintah melalui pemberian penghargaan kota
peduli Hak Asasi Manusia yang diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM terhadap kabupaten/kota
yang memenuhi kriteria. Sebagai kota yang menerima penghargaan tersebut, Kota Ternate melalui
satuan-satuan pendidikan sudah sepatutnya jauh dari peilaku-perilaku perundungan. Sampai saat ini
di beberapa satuan pendidikan yang menjadi target penelitian masih terdapat kasus perundungan
meskipun dalam kurun waktu 2 (dua) tahun tekahir hanya sekitar 4 sampai 5 kasus yang dilaporkan
ke pihak sekolah dan ditangani atau diselesaikan oleh para guru, namun sayangnya hingga saat ini
sekolah tidak melakukan pencatatan dengan baik perilaku perundungan yang dilaporkan oleh siswa.

Peran Satuan Pendidikan Dalam Melakukan Pencegahan Perundungan Pada Tingkat


Sekolah Dasar dan Sederajat.

Ketentuan umum butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menjelaskan bahwa segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara opmtial sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pengertian perlindungan
anak ini dibangun berdasarkan hak-hak anak dan pemenuhan hak-hak anak tersebut anak perlu
mendapat perlindungan. Berdasarkan pengeran ini, perlindungan anak harus diarusutamakan pada
semua sektor khususnya sektor-sektor kesehatan, pendidikan, dan sosial, termasuk di satuan
pendidikan. Kemudian Pasal 20 menyatakan bahwa:

105
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

“Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Masyarakat, keluarga dan orang tua atau wali berkewajiban
dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”

Undang-undang Perlindungan Anak mengikat setiap warga negara. Pelanggaran terhadap


undang-undang ini dalam bentuk upaya yang mengarah pada tindak kekerasan pada anak
(perundungan), tindak kekerasan pada anak yang berakibat pada sanksi pidana bagi pelakunya. Setiap
lembaga yang memiliki program, layanan, atau sumber daya manusia yang langsung berhubungan
dengan anak oleh karenanya wajib melengkapi ketentuan peraturan perundang-undangan ini dengan
memberlakukan kebijakan keselamatan anak. Kebijakan ini untuk memaksakan bahwa sumber daya
manusia atau siapapun yang bekerja langsung dengan anak dapat memastikan sikap dan perilaku
yang tidak mengarah pada tindak kekerasan pada anak. Dalam menanggapi fenomena tersebut Rika
Saraswati (2009:15), pemerintah telah berupaya menangani masalah kekerasan di sekolah secara
serius. Jika fenomena ini tidak ditangani, secara tepat dan berkesinambungan dari akar persoalannya
maka peristiwa ini akan terus berulang dan cukup meresahkan.

Penanganan perilaku perundungan di lingkungan sekolah tidak hanya tanggung jawab sekolah
semata. Tentunya diperlukan peranan dan tindakan yang kolaboratif dari seluruh ekosistem sekolah
dan orang tua atau keluarga di rumah, serta peran dari masyarakat di lingkungan sekitar. Untuk
mendukung para stakeholder dalam penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap anak, maka
berbagai sektor dapat ikut berperan, utamanya dari lingkungan sosial, sebagai lingkungan yang dapat
menciptakan dan menginformasikan tentang kekerasan terhadap anak-anak didik, melalui proses
belajar mengajarnya.

Berdasarkan hasil penelitian, peran sekolah atau satuan pendidikan dalam upaya untuk
mencegah terjadinya perundungan di sekolah dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya adalah:

1. Upaya Preventif
Untuk mencegah terjadinya perundungan maka upaya prefentif yang dilakukan di beberapa
sekolah yang menjadi objek penelitian antara lain adalah sosialisasi, ceramah setiap apel pagi atau hari
Jumat dan melalui pelaksanaan program sekolah model.
Berbagai upaya tersebut merupakan bagian upaya preventif yang dilakukan di berbagai satuan
pendidikan atau sekolah yang menjadi sasaran penelitian. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka
untuk menumbuhkan rasa saling menghargai antar siswa, melatih dan mematangkan sikap dan
karakter siswa serta diharapkan dapat mencegah siswa dalam melakukan tindakan kekerasan
termasuk perundungan.
Hal yang sangat mendasar dalam pencegahan perundungan adalah pemahaman terkait
perundungan itu sendiri. Satuan pendidikan atau sekolah harus bisa memberikan pemahaman
mengenai perundungan kepada seluruh warga sekolah, baik guru, tenaga kependidikan, hingga siswa
sebagai peserta didik. Pemahaman terkait perundungan dapat dimulai dari menanamkan pengertian

106
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

bahwa rasa aman adalah hak dan milik semua orang, menyadarkan semua orang di sekolah bahwa
tindakan perundungan dalam bentuk apapun tidak dapat diterima. Selain itu pihak sekolah juga dapat
membekali siswa untuk mau melaporkan segala bentuk perundungan kepada pihak yang lebih
dewasa, berkompeten atau yang bisa dipercaya. hal-hal kecil seperti yang disebutkan dapat dilakukan
melalui ceramah pada hari jumat atau setiap apel pagi dan amanat pembina upacara saat dilaksanakan
upacara kenaikan bendera setiap hari senin.
Selain ceramah, melalui program sekolah model Sekolah Dasar Islam Terpadu Nurul Hasan
(SD IT Nurul Hasan) menyisipkan program sosialisasi pencegahan tindakan kekerasan di lingkungan
sekolah termasuk pencegahan perundungan. Di sisi lain, Sekolah Dasar Negeri 25 Kota Ternate
dalam upaya pencegahan perilaku perundungan menerapkan program ceramah atau tausiyah yang
dilaksanakan pada setiap Jum’at pagi. Dalam kegiatan tersebut pemberi ceramah diminta untuk
menyampaikan pemahaman terkait penrundungan termasuk informasi tentang pelaporan kepada
pihak sekolah jika ada yang mengalami perundungan atau menjadi korban perundungan di
lingkungan sekolah.
a. Upaya Pencegahan oleh Anak
1. Mengembangakan budaya relasi/ pertemanan yang positif.
2. Ikut serta membuat dan menegakkan aturan sekolah terkait pencegahan bullying.
3. Ikut membantu teman yang menjadi korban.
4. Stop bullying.
5. Memahami dan menerima perbedaan tiap individu di lingkungan sebaya
6. Saling mendukung satu sama lain.
7. Merangkul teman yang menjadi korban bullying.
b. Upaya Pencegahan oleh Keluarga
1. Membangun komunikasi antara anak dengan orangtua.
2. Memperkuat peran orang tua dalam mencegah perundungan baik dirumah maupun di
sekolah.
3. Sosialisasi dan advokasi terkait hak anak pada orang tua.
4. Menyiapkan anak untuk menghadapi perundungan dengan berkata tidak.
5. Menyelaraskan pendisiplinan tanpa merendahkan martabat anak baik dirumah maupun di
sekolah.
6. Melaporkan kepada sekolah jika anak menjadi korban.
7. Memberikan pengertian kepada pelaku perundungan untuk ikut mencegah.
c. Upaya Pencegahan oleh Satuan Pendidikan
1. Upaya pencegah adanya layanan pengaduan kekerasan/ media bagi murid untuk
melaporkan bullying secara aman dan terjaga kerahasiannya.
2. Bekerjasama dan berkomunikasi aktif antara siswa, orang tua, dan guru.
3. Kebijakan anti bullying yang dibuat bersama dengan siswa.
4. Memberikan bantuan bagi siswa yang menjadi korban.

107
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

5. Pendidik dan tenaga kependidikan memberi keteladanan dengan berperilaku positif dan
tanpa kekerasan.
6. Program anti bullying di satuan pendidikan yang melibatkan siswa, guru, orang tua, alumni,
dan masyarakat/lingkungan sekitar satuan pendidikan.
7. Memastikan sarana dan prasarana di satuan pendidikan tidak mendorong anak berperilaku
bullying.
d. Upaya Pencegahan oleh Pemerintah Pusat
1. Sosialisasi terkait Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan
Pendidikan sampai pada level bawah diikuti dengan penerbitan komunikasi informasi dan
komunikasi.
2. Sosialisasi kebijakan satuan pendidikan ramah anak dan Konvensi Hak Anak pada satuan
pendidikan.
3. Melakukan monitoring evaluasi dengan membentuk lembaga layanan atau call center
pengaduan.
4. Melakukan koordinasi antar kementerian lembaga yang memiliki kebijakan atau program
berbasis sekolah untuk bersama-sama melakukan pencegahan terhadap perundungan
(bullying).
e. Upaya Pencegahan oleh Masyarakat
1. Mengembangkan perilaku peduli dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan semua
anak adalah anak kita yang harus dilindungi.
2. Bekerjasama dengan satuan pendidikan untuk bersama-sama mengambangkan budaya anti
kekerasan.
3. Bersama-sama dengan satuan pendidikan melakukan pengawasan terhadap kemungkinan
munculnya praktik-praktik bullying di lingkungn sekitar satuan pendidikan.
4. Bersama dengan satuan pendidikan memberikan bantuan pada siswa yang menjadi korban
dengan melibatkan stakeholder terkait.

2. Upaya Kuratif

Upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah perundungan di lingkungan satuan pendidikan
atau sekolah dasar selain upaya preventif adalah upaya kuratif. Pada poin ini upaya yang dilakukan
pihak sekolah atau satuan pendidikan yang menjadi target penelitian adalah Pertama, guru sebagai
pihak yang berwenang berhak menyelesaikan permasalahan siswa ketika terjadi perundungan di
lingkungan sekolah. Kedua, siswa sebagai pelaku diberikan pembinaan, sedangkan siswa korban
diberikan support dan dukungan. Ketiga, baik korban maupun pelaku harus didekati secara persuasif
selayaknya teman agar mudah untuk diberikan pemahaman dan arahan.

108
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

Upaya sebagaimana disebutkan di atas adalah bentuk upaya Kuratif atau penyelesaian yang
dilaksanakan oleh sekolah atau satuan pendidikan pada saat terjadi masalah atau kasus perundungan
di lingkungan sekolah. Upaya tersebut harus dilakukan karena akan mempengaruhi perilaku korban
maupun pelaku di masa yang akan datang. Di sisi lain, upaya tersebut juga dilakukan dalam rangka
memberikan efek jera bagi pelaku agar dikemudian hari tidak lagi melakukan hal yang sama.

Pada tahap ini, pihak sekolah tidak menerapkan sanksi dalam bentuk hukuman fisik sebagai
upaya dalam penyelesaian masalah atau kasus perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah. Hal
ini dikarenakan setiap ada kasus yang dilaporkan baik guru kelas maupun bagian kesiswaan dan
kepala sekolah mengambil langkah dengan memberikan pembinaan atau, support maupun dukungan
kepada pelaku maupun korban sehingga masalah langsung dapat diatasi di lingkungan sekolah.

Penanganan perilaku perundungan di lingkungan sekolah tidak hanya tanggung jawab sekolah
semata, namun peran dari masyarakat, lingkungan sekitar dan keluarga sangat dibutuhkan. Untuk
mendukung para stakeholder dalam penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap anak, maka
berbagai sektor dapat ikut berperan, utamanya dari lingkungan sosial, sebagai lingkungan yang dapat
menciptakan dan menginformasikan tentang kekerasan terhadap anak-anak didik, melalui proses
belajar mengajarnya. Dalam hal pencegahan perundungan tindakan yang dapat dilakukan antaranya:

PENUTUP
Kesimpulan
1. Pada dasarnya anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai macam tindakan yang
menimbulkan kerugian mental, fisik dan sosial. Oleh sebab itu anak membutuhkan
perlindungan dari orang lain dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Bentuk
perundungan yang terjadi pada satuan pendidikan berdasarkan penelitian pada umumnya
memiliki kesamaan, diantaranya adalah ejekan panggilan nama orang tua, membentuk
kelompok pertemanan sendiri dan saling mengucilkan, ejekan fisik (body shame), serta
mengirimkan foto-foto korban dibagikan di grup Whatsapp sekolah.
2. Untuk mendukung para stakeholder dalam penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap
anak, maka berbagai sektor dapat ikut berperan, utamanya dari lingkungan sosial, sebagai
lingkungan yang dapat menciptakan dan menginformasikan tentang kekerasan terhadap anak-
anak didik, melalui proses belajar mengajarnya. Peran sekolah atau satuan pendidikan dalam
upaya untuk mencegah terjadinya perundungan di sekolah dilakukan melalui berbagai cara
yakni Upaya Preventif dan Upaya Kuratif. Pada poin ini yang dilakukan Untuk mencegah

109
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

terjadinya perundungan adalah sosialisasi, ceramah setiap apel pagi atau hari Jumat dan melalui
pelaksanaan program sekolah model. Di sisi lain, untuk mengatasi masalah perundungan yang
terjadi di lingkungan sekolah atau satuan pendidikan Pertama, guru sebagai pihak yang
berwenang berhak menyelesaikan permasalahan siswa ketika terjadi perundungan di
lingkungan sekolah. Kedua, siswa sebagai pelaku diberikan pembinaan, sedangkan siswa
korban diberikan support dan dukungan. Ketiga, baik korban maupun pelaku harus didekati
secara persuasif selayaknya teman agar mudah untuk diberikan pemahaman dan arahan.

Saran
1. Pihak sekolah diharapkan lebih tegas dalam pemberian sanksi jika terdapat tindakan yang
merugikan banyak pihak, agar dapat meminimalisir tindakan tindakan yang berdampak buruk
baik bagi peserta didik dan bagi pihak sekolah.
2. Orangtua diharap dan diwajibkan untuk menuntun, memberikaN kasih sayang lebih kepada
anak agar menjadi lebih produktif dalam melakukan berbagai hal.
3. Pemerintah Kota Ternate wajib melaksanakan Peraturan Daerh Kota Ternate Nomor 1 Tahun
2019 tentang Kota Layak Anak sehingga upaya pencegahan dan penindakan terhadap
tindakan perundungan menjadi upaya terpadu.

REFERENSI
Asrorun Niam Sholeh,(2017),Membangun Indonesia Ramah Anak,Jakarta:KPAI

Abu Huraerah, (2006),Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa

Abintoro Prakoso, (2016),Hukum Perlindungan Anak, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo

Ali Imron,(2012),Penguatan Pendidikan Kesadaran Hukum Perlindungan Anak bagi Guru TPQ RA PAUD
dan Madrasah Diniyah Se-Kecamatan Tugu Kota Semarang, IAIN Walisongo,Semarang

Astuti,P.R,(2008),Meredam Bullying:Tiga cara efektif mengatasi kekerasan pada anak,Jakarta:PT.Grasindo


Apriadi dkk,”Perlindungan Anak Korban Tindakan Kekerasan”. Societas: Jurnal Ilmu Administrasi dan
Sosial, Edisi No 2, Vol 8
Bagong Suyanto, (2003), Masalah Sosial Anak, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

110
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

Moch. Faisal Salam, (2005), Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar Maju

Mufidah, (2006), Haruskah Perempuan dan Anak di Korbankan?, Yogyakarta: Pilar Media

Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa),(2008), Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan
Sekitar Anak, Jakarta: Grasindo
Yusuf dkk, “Perilaku Bullying: Asesmen Multidimensi Dan Intervensi Sosial”, “Jurnal Psikologi
Universitas Diponegoro” Edisi No 2 Vol. 11, 2012

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 Tentang perlindungan Anak.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Tindak kekerasan di Lingkungan Satuan pendidikan.

Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 1 Tahun 2019 tentang Kota Layak Anak.

Website

Tempo,”Kasus Pelanggaran Hak Anak”,


https://nasional.tempo.co/read/1553436/sepanjang-2021-kpai-catat-ada-5-953-kasus-pelanggaran-
hak-anak/full&view=ok (Diakses Tanggal 22 Februari 2022)

Kemenkumham RI,”Kabupaten/kota penerima kota peduli HAM”,


https://www.kemenkumham.go.id/berita/59-kabupaten-kota-di-indonesia-peduli-ham (Diakses
Tanggal 21 Februari 2022

Wawancara

Wawancara dengan Nurfajriawati Sadiah Guru BK SMP Negeri 4 Kota Ternate, Tanggal 18 Juli
2022

Wawancara dengan Ona Raiyani Rahman Kesiswaan SMP Muhammadiyah 1 Kota Ternate, Tanggal
18 Juli 2022

111
POLITICA:
Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam
Volume IX, Nomor II
Halaman 94-112
P-ISSN 2477-2844 E-ISSN 2615-5745

Wawancara dengan Rahmania M. Ahmad,Waka Kesiswaan SD IT Nurul Hasan, Tanggal 22 Agustus


2022

Wawancara dengan Kepala Sekolah SDN 25 Kota Ternate, Tanggal 24 Agustus 2022

112

Anda mungkin juga menyukai