Anda di halaman 1dari 8

PERMASALAHAN JUAL BELI: IKAN YANG TIDAK MENGGUNAKAN

TIMBANGAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu : Eef Saefulloh M.Ag

Disusun Oleh :

Nama : Cintya Clarisa

Nim : 2108205035

Semester/Kelas : 3A Akuntansi Syariah

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

2022/2023
A. LATAR BELAKANG

Jual beli menurut bahasa yaitu mutlaq al-mubadalah yang berarti tukar menukar secara
mutlak. Atau dengan ungkapan lain muqabalah syai' bi syai' berarti tukar menukar sesuatu
dengan sesuatu. Menurut Sayyid Sabiq jual beli adalah penukaran benda dengan benda lain
dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan adanya penggantinya
dengan cara yang dibolehkan.

Jual beli dalam Islam telah ditentukan baik berdasarkan Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Landasan al-Qur’an dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 275 :

Artinya: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual
beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya lalu dia berhenti, maka apa yang telah
diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa
mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Hukum jual beli dalam Islam diperbolehkan atau halalkan dengan syarat-syarat tertentu.
Karena pada dasarnya, manusia tidak dapat hidup sendiri dalam melakukan kehidupannya di
dunia. Oleh karena itu, setiap manusia satu dengan yang lainnya saling bergantung satu sama lain.
Hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam Islam disebut dengan bermuamalah.
Setiap muslim dituntut untuk menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala apa
yang larang-Nya. Dan dalam agama Islam pun, setiap manusia harus menjalin hubungan yang
baik dan saling menghargai satu sama lain. Salah satu hubungan tersebut, dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia selalu melakukan transaksi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.

Dalam kegiatan jual beli terdapat ukuran atau takaran dalam setiap benda atau barang yang
dijual.. Kata “takaran” dalam kamus bahasa Arab, yaitu mikyāl, kayl. Takaran dapat diartikan
proses mengukur untuk mengetahui besaran, berat, atau menentukan harga berdasarkan ukuran
atau takaranya. Proses mengukur tersebut, dikenal dengan istilah menakar. Menakar sering
disamakan dengan menimbang. Menimbang merupakan bagian dari perniagaan yang sering
dilakukan oleh pedagang. Para pedagang menggunakan alat untuk menakar yaitu dengan
menggunakan kaleng, tangan, dan lainnya. Sedangkan alat untuk menimbang yaitu timbangan

2
yang juga disebut dengan neraca. Timbangan dipakai untuk mengukur satuan berat seperti ons,
gram dan kilogram. Sedangkan kata “timbangan” dalam kamus bahasa Arab yaitu wazn, mīzān.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan jual beli ikan laut tanpa menggunakan
timbangan: 1) Pendapatan yang akan didapatkan oleh penjual jauh lebih besar dibandingkan
dengan jual beli ikan laut biasanya. 2) Tidak ada waktu untuk memilih ikan satu persatu karena
kondisi pelabuhan yang ramai. 3) Mempercepat jual beli tanpa ada kesulitan.

B. PERTANYAAN

1. Bagaimana praktik jual beli ikan tanpa menggunakan timbangan?

2. Bagaimana hukum jual beli ikan tanpa menggunakan timbangan?

3. Bagaimana menyelesaikan permasalah jual beli ikan tanpa menggunakan timbangan?

C. PEMBAHASAN

1. Praktik jual beli ikan tanpa menggunakan timbangan

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah luas lautan yang luas mencapai
3.257.357 km². Artinya bahwa Indonesia memiliki banyak sumber daya laut yang dapat
dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia. Dan banyaknya pelabuhan-pelabuhan sebagai dermaga
para nelayan menjual hasil tangkapannya dilaut. Mekanisme ketika ikan sampai di dermaga
dikoordinasikan oleh lembaga yang bertugas:

1. Kapal yang masuk di PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) melaporkan kepada kantor yang
ada di pelabuhan tersebut,

2. Hasil tangkapan para nelayan disortir sesuai dengan mutu maupun jenisnya untuk
ditempatkan pada basket ikan yang disediakan,

3. Setelah para bakul siap lelang, ikan dilelang sesuai dengan nomor urutnya,

4. Ikan dilelang secara terbuka dengan penawaran meningkat dan diberikan kepada bakul
yang berani menawar dengan harga tertinggi,

5. Bakul membayar kepada kantor yang ada di pelabuhan dengan ditambah retribusi
biasanya 2% dari nilai lelangnya,

6. Nelayan menerima uang dari kasir TPI (kasir bayar) yang ada di pelabuhan tersebut
setelah dipotong retribusi 3% dari jumlah lelangnya,

7. Semua transaksi/kegiatan pelelangan ikan setiap hari tercatat dan dibukukan


menggunakan administrator di pelabuhan.
3
Tahapan dalam menjual ikan:

1. Pemeriksaan ikan laut oleh pembeli

Biasanya dalam jual beli, pembeli melihat dan memeriksa apakah barang yang akan dia beli
sesuai dengan kebutuhannya. Dalam penjualan ikan ini, pembeli tidak dapat melihat secara jelas
kualitas maupun kuantitas ikan yang dia akan beli. Ikan sebagian besar berada didalam basket
(tempat ikan) karena jumlah ikannya banyak, sehingga penjualan hanya memberikan semple atau
contoh ikan yang dimiliki penjual. Misalnya jika pembeli A membeli ikan dipasar sebanyak 5
ton, maka penjual B akan memberikan sample atau contoh ikan 1-3 kwintal. Hal tersebutlah yang
menyebabkan munculnya ketidakpastian tentang kualitas dan kuantitas ikan yang akan dibeli.
Meskipun pembeli mendapatkan informasi dari para pekerja yang berada ditempat tersebut,
tetapi dalam kegiatan jual beli pembeli harus mengetahui secara jelas baik dari tingkat kesegaran
semua ikan yang pembeli akan membelinya dan jumlah pasti ikan yang akan dibelinya.

2. Proses penaksiran dan penentuan harga ikan

Dalam proses jual beli ikan di pelabuhan tersebut, menggunakan sistem taksiran harga.
Pihak penjual yang menentukan karena diantara pembeli dan penjual yang lebih mengetahui
tentang taksiran harganya adalah penjual. Ketika penjual telah menentukan taksiran harga
ikannya, penjual akan memberikan kesempatan kepada pembeli untuk melakukan tawar-
menawar sehingga menemukan harga yang dapat disepakati oleh keduanya. Dalam proses
tersebut, dilakukan dengan waktu yang cepat sehingga tergesa-gesa dalam melakukannya.

3. Akad dalam penyerahan ikan

Dalam proses ini harga sudah disepakati oleh kedua belah pihak antara penjual dan pembeli.
Dan biasanya penjual tidak mau tahu apabila ada barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pembeli. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dari pihak pembeli sehingga pembeli mendapatkan
kerugian.

4. Proses pembayaran ikan

Setelah melakukan akad, pembeli menyerahkan uang untuk membayar sejumlah ikan yang
dia beli. Jika pembeli tidak melakukan pembayaran secara tunai, maka harus ada kesepakatan
lagi dari pihak penjual apakah dapat menyetujui atau tidak.

2. Hukum Jual Beli Ikan Tanpa Menggunakan Timbangan

Dalam agama Islam, kegiatan jual beli harus dilakukan dengan seadil-adilnya baik dari
pihak penjual dan pembeli. Pihak penjual harus dengan jujur memberikan penjelasan kepada
pembeli terkait dengan kondisi baik dari kualitas maupun kuantitas barang yang dia jual. Dan
4
Islam melarang jual beli yang mengandung unsur riba, ghoror, dan maysir. Praktik jual beli ikan
tanpa menggunakan timbangan merupakan jual beli yang mengandung unsur ghoror, karena
adanya ketidakjelasan kadar atau berat dan kualitas ikan yang dibeli oleh pembeli. Untuk
meyakinkan pembeli, penjual hanya memberikan semple atau contoh ikan saja. Hal ini
disebabkan karena penjual hanya menggunakan sistem taksiran dalam bertransaksi dengan
pembelinya. Proses jual beli seperti ini, dapat menimbulkan kerugian pada pihak pembeli dan
transaksi yang dilakukan berlangsung dengan waktu yang cepat sehingga tergesa-gesa. Dalam
hal ini, pihak penjuallah yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan
pembeli. Hal ini dilarang dalam Islam, sebagai mana terdapat dalam Al-Qur'an surat An-Nisa
ayat 29:

‫يْ يا ْي ذمني َو ذم َ ي ذو يمَ ي َو ذم ا ي ذ ََُُ ذهمَ يا ََ يونَ ذمَ َ ن يَْذَّي َ هَييَا يٰٓي‬
‫يا يْي ذاي ي‬
‫ياج ِ اي َو ذمني َ ي ذن َ ن ه‬ ‫يو ذن َو ذم َ ض ا يير ي‬
‫ْ ذَّ يا ية ي‬ ‫س َو ذم ا ي ذََُُ ذهمَ يا يا‬
‫َ ي ذمكَ ي‬ ٰ ‫يْ َو ذم يُيني‬
‫َهي َ نين‬
‫يا يم ذم ِحي‬

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas
dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah
Maha Penyayang kepadamu."

Menurut tokoh agama, kegiatan jual beli dengan menggunakan sistem taksiran awalnya
tidak diperbolehkan, hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Iman Muslim yaitu:

Artinya: "Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual
beli gharar."

Berdasarkan hadits tersebut, melarang jual beli yang terdapat unsur ghoror atau adanya
ketidakpastian atau ketidakjelasan, dari kualitas maupun kuantitas ikan yang diperjualbelikan.
Hal ini disebabkan karena dalam proses jual beli ikan laut di tempat pelelangan ikan
menggunakan sistem taksiran dan tanpa menggunakan alat timbang yang terjadi ini kualitas
jenis, ukuran, dan kesegaran ikan laut belum diketahui secara pasti. Jual beli semacam ini
termasuk di kecualikan dari hukum asalnya yang bersifat umum, karena masyarakat banyak yang
membutuhkannya.

Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Majah menjelaskan yang artinya: "jual beli itu
didasarkan kepada suka sama suka". Berdasarkan hadits tersebut, pada proses jual beli ikan laut
di tempat pelelangan ikan merupakan jual beli yang diperbolehkan karena sudah ada kesepakatan
dan kepercayaan antara penjual dan pembeli dan sudah ada keridhoan antara keduannya pada
saat akad.

5
Saat ini jika dilihat dari kondisi masyarakat yang lebih memilih jual beli tanpa
menggunaman alat timbangan dan menggunakan sistem taksiran. Jual beli ikan laut seperti ini
sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya dan dapat dijadikan pertimbangan dalam
menetapkan hukum jual beli yang menggunakan sitem taksiran, sesuai dengan kaidah fiqih yang
artinya: "Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum."

Proses jual beli taksiran juga sudah ada sejak zaman sahabat Rosulullah saw. Sesuai dengan
hadits nabi yang diriwayatkan oleh Iman Muslim yang artinya:

Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, ‚Dahulu kami (para sahabat) membeli makanan
secara taksiran, maka Rasulullah melarang kami menjual lagi sampai kami memindahkannya
dari tempat belinya.‛ (HR. Muslim: 1526).
Hadits tersebut sudah menunjukan bahwa Rosullulah memperbolehkan jual beli secara
taksiran. Melihat kondisinya ikannya memang tidak dapat dipastikan secara jelas, maka perlu
dianalisa kembali berdasarkan timbangannya, baik pada masa Nabi maupun pada zaman
sekarang. Hal tersebut dapat diperkirakan oleh orang-orang yang sudah berpengalaman karena
memang sudah menjadi adat atau kebiasaan masyarakat. Pada zaman nabi, jual beli jizaf terdapat
upaya untuk memprediksi kadar tumpukan atau dengan jalan memasukkan tangan ke dalam
tumpukan tersebut untuk mengetahui kondisi tumpukan bagian bawahnya. Bedannya dengan jual
beli ikan saat ini yaitu tumpukan ikan sudah terlihat, karena ikan berada pada basket (wadah ikan)
bentuknya memang sudah didesain terdapat ruang untuk melihat objek ikannya dari bawah
sampai atas. Disitulah pembeli dapat melihat dan memastikan keadaan ikannya.

3. Penyelesaian Permasalahan Jual Beli Ikan Tanpa Menggunakan Timbangan

Berdasarkan hukum yang telah dijelaskan diatas bahwa, jual beli jizaf diperbolehkan oleh
Rasulullah Saw. Jiraf adalah jual beli yang dilakukan tanpa menggunakan alat timbangan dan
menggunakan sistem taksiran. Jiraf diambil dari bahas Persia yang diarabkan. Jual beli jizaf
dibolehkan dengan syarat:

 Barang yang diperjualbelikan oleh penjual benar-benar nyata, artinya bahwa ketika
pembeli ingin membeli barang yang dijual penjual, pembeli harus menyediakan barang
tersebut dihadapan pembeli secara langsung. Sehingga pembeli dapat melihat dan
memeriksa barang yang akan dia beli.

 Barang tersebut bukan berupa bangkai, artinya bahwa barang yang dijual oleh penjual
harus dengan keadaan segar. Karena dalam Islam melarang membeli atau memakan ikan
atau lainnya yang sudah menjadi bangkai.

 Penjual memberikan penjelasan sejelas-jelasnya kepada pembeli tentang kondisi barang


yang dia jual

6
 Melakukan sistem penaksiran dengan cermat

 Terdapat keridhoan dan kesepakatan diatas akad yang telah dilakukan oleh penjual dan
pembeli

 Penjual memberikan kesempatan kepada pembeli bila barang yang dijual tidak sesuai
dengan kualitas atau kuantitas yang penjual berikan

D. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan yaitu sebagai berikut:

1. Tahapan pertama dalam praktik jual beli ikan tanpa menggunakan timbangan yaitu
memeriksaan ikan laut oleh pembeli. Pembeli hanya dapat melihat ikan didalam basket
(tempat ikan) karena jumlah ikannya banyak, sehingga penjualan hanya memberikan
semple atau contoh ikan yang dimiliki penjual. Misalnya jika pembeli A membeli ikan
dipasar sebanyak 5 ton, maka penjual B akan memberikan sample atau contoh ikan 1-3
kwintal. Kedua adalah proses penaksiran dan penentuan harga ikan. Dalam proses jual
beli ikan di pelabuhan tersebut, menggunakan sistem taksiran harga. Pihak penjual yang
menentukan karena diantara pembeli dan penjual yang lebih mengetahui tentang taksiran
harganya adalah penjual. Ketiga adalah akad dalam penyerahan ikan. Dalam proses ini
harga sudah disepakati oleh kedua belah pihak antara penjual dan pembeli. Keempat
adalah Proses pembayaran ikan.

2. Hukum jual beli ikan tanpa menggunakan timbangan dilarang karena mengandung unsur
ghoror atau ketidakjelasan yang terdapat dalam Q.S An-Nisa Ayat 29. Dan terdapat
dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menyatakan bahwa Rasulullah
Saw. Melarang jual beli yang mengandung unsur ghoror. Tetapi pada zaman nabi juga
terdapat kegiatan jual beli yang disebut jizaf. Menurut hadist riwayat Muslim, Rasulullah
Saw. Tidak melarang jual beli tanpa menggunakan timbangan, tetapi dengan syarat-syarat
yang ditentukan oleh Rasulullah Saw.

Penyelesaiannya bahwa jual beli tanpa menggunakan timbangan dan jual beli dengan
menggunakan sistem taksiran diperbolehkan oleh Rasulullah Saw berdasarkan hadits
riwayat Muslim. Tetapi dengan syarat-syarat diantaranya barang yang diperjualbelikan
harus jelas, barang yang dijual bukan bangkai, penjual memberikan penjelasan sejelas-
jelasnya kepada pembeli tentang kondisi barang yang dia jual, melakukan sistem
penaksiran dengan cermat, terdapat keridhoan dan kesepakatan diatas akad yang telah
dilakukan oleh penjual dan pembeli, penjual memberikan kesempatan kepada pembeli
bila barang yang dijual tidak sesuai dengan kualitas atau kuantitas yang penjual berikan.

7
Wallahu ta’ala a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Aini Qurrotul. 2020. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI IKAN
LAUT TANPA MENGGUNAKAN ALAT TIMBANG DI TEMPAT PELELANGAN
IKAN. Skripsi. Lamongan: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Rahmawati Agustina. 2020. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI IKAN
DENGAN PEMBULATAN TIMBANGAN DI TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI)
TASIKAGUNG REMBANG. Skripsi. Semarang: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
WALISONGO

Pratiwi Wulan Pramudia. 2020. PRAKTIK JUAL BELI JIZAF PERSPEKTIF HUKUM
EKONOMI SYARIAH. Skripsi. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

Anda mungkin juga menyukai