Anda di halaman 1dari 25

UUPA dan Politik Hukum AGRAIA

Pendapat dari Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH


UUPA sebagai Produk Hukum Agraria Bangsa
Indonesia

• UUPA merupakan produk peraturan perundang-undangan yang fenomenal


baik dari dasar filosofis maupun sosiologis dan yuridis-konstitusional :
Pertama, Dari aspek dasar filosofis, UUPA merupakan undang-undang yang
dijabarkan dari nilai-nilai sosial yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila
sehingga asas-asas hukum dalam UUPA sungguh menjadi cermin dan
jabaran nilai-nilai sosial Pancasila; Kedua, Dari aspek sosiologis, UUPA
mengandung asas-asas hukum yang dimaksudkan untuk merombak
struktur sosial penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan sumber daya
agraria agar terdistribusi secara merata dan berkedilan kepada seluruh
komponen Bangsa Indonesia;
Aspek Yuridis Konstitusional

• Ketiga, Dari aspek yuridis-konstitusional, UUPA harus ditempatkan sebagai penjabaran


dari beberapa UUD Negara RI 1945 yaitu Pasal 18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3)
tentang pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat, Pasal 27 ayat (2) tentang jaminan
bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak
melalui kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria, Pasal 33 ayat (1) dan ayat
(2) tentang pengembangan usaha di bidang sumber daya agraria yang ditekankan pada
koperasi dan bentuk usaha gotong royong lainnya serta peranan negara untuk
menguasai usaha di bidang sumber daya agraria yang berkaitan dengan hajat orang
banyak, dan Pasal 33 ayat (3) tentang dasar konstitusional dan politik hukum
pembangunan hukum agraria nasional yaitu dengan menempatkan Negara Kesatuan
RI sebagai organisasi kekuasaan Bangsa Indonesia sebagai ”Bapak Pembuat kebijakan,
pengatur, pengelola, pengurus, dan pengawas” yang baik dan adil terhadap bumi, air,
dan kekayaan alam di wilayah Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh
komponen Bangsa Indonesia
UUPA sebagai jabaran dari nilai-nilai Pancasila
dirancang untuk menyeimbangkan antara:
1. Individualisme dengan
kolektivisme/komunalisme dengan meletakkan
asas hukum yang memberikan pengakuan dan
akses bagi setiap orang baik perseorangan
individual maupun badan hukum untuk
Kedudukan UUPA menguasai, memiliki, dan memanfaatkan tanah di
diantara paradigma/Isme Indonesia, namun diiringi dengan asas hukum
yang membebankan kewajiban-kewajiban kepada
setiap pemegang hak atas tanah yang
menekankan agar kepentingan bersama baik
sebagai kelompok maupun sebagai masyarakat
dan bangsa Indonesia tetap terjamin dan
terpenuhi;
2. Nasionalisme dengan globalisme dengan meletakkan asas hukum yang
memberikan prioritas dan perlakuan khusus kepada Warga Negara Indonesia
untuk mempunyai dan memanfaatkan serta menikmati hasil dari sumber daya
agraria karena UUPA dibuat oleh Bangsa Indonesia melalui organisasi
kekuasaannya yang disebut Negara sebagai instrumen untuk memakmurkan
Nasionalism and globalism rakyatnya atau warga negaranya, namun UUPA tetap mengiringinya dengan
asas hukum yang memberikan akses atau kesempatan kepada Warga Negara
Asing (WNA) untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia yang berstatus
lebih rendah dari yang dipunyai WNI

This Photo by Unknown author is licensed under CC BY.


Modernisme dengan Tradisionalisme

• 3. Modernisme dengan Tradisionalisme dengan meletakkan asas


hukum yang mendorong kemajuan dengan memanfaatkan atau
mengusahakan tanah secara produktif dan rasional memperoleh hasil
secara optimal serta tidak membiarkan tanah idle dan terlantar tanpa
menghasilkan produk apapun (Pasal 10 jo. Pasal 15), namun UUPA
juga mengiringinya dengan asas hukum yang mendorong agar dalam
menggapai dan mewujudkan kemajuan tidak meninggalkan kelompok
masyarakat yang masih hidup dalam ketradisionalan dan belum
mampu memasuki arus kemodernan atau kemajuan dengan cara
memberikan jaminan keadilan korektif atau afirmatif dalam hubungan
kerja (Pasal 11 ayat (1)), pemberlakuan hukum yang berbeda (Pasal 11
ayat (2)), dan pemberian tanah dan akses lain melalui program khusus
landreform atau Reforma Agraria (Pasal 7 dan Pasal 17);

This Photo by Unknown author is licensed under CC BY-SA.


Liberalism
and Statisme
4. Liberalisme dengan Kontrol Negara (Statisme) dengan
meletakkan asas hukum yang memberikan kebebasan bagi
siapapun baik WNI maupun WNA untuk mempunyai dan
memanfaatkan hak atas tanah di Indonesia untuk berbagai
kegiatan sesuai kebutuhannya (Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal-Pasal
terkait hak atas tanah), namun UUPA juga mengiringi dengan
asas hukum yang memberikan peranan kepada Negara untuk
memberikan batasan mengenai luas, jangka waktu, dan/atau
kewajiban-kewajiban serta Negara berwenang melakukan
pengawasan terhadap pemanfaatan hak atas tanah oleh
pemegang hak (Pasal 2 jo. Putusan MK tentang Tafsir Hak
Menguasai Negara
Elitisme dengan Egalitarianisme
5. Elitisme dengan Egaliterisme dengan meletakkan asas hukum yang
mendorong kegiatan usaha berskala besar dengan batasan luas
tertentu untuk mencegah terjadinya sentripetal atau konsentrasi
kegiatan usaha pada sekelompok kecil pelaku usaha (vide Pasal-Pasal
HGU dan HGB), namun UUPA juga mengiringi dengan asas hukum yang
mendorong kegiatan usaha skala kecil-menengah sehingga terjadi
sentrifugal atau pemerataan kegiatan usaha (vide Pasal-Pasal HGU dan
HGB)
• UUPA masih terus diperlukan sebagai dasar legitimasi yuridis dari
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya di
bidang pertanahan dengan dicantumkannya sebagai salah satu ”Dasar
Mengingat.” Kadang pencantuman UUPA sebagai ”Dasar Mengingat”
mengandung ketidakkonsistenan antara semangat dan karakter UUPA
dengan dasar pertimbangan filosofis atau dasar pertimbangan
sosiologis dan/atau substansi norma peraturan yang
diberlakukan. Ketidakkonsistenan tersebut berkaitan dengan
kemampuan memahami secara utuh semangat dan asas hukum
UUPA serta kemampuan menjabarkannya dari para pengambil
kebijakan
Posisi UUPA
• UUPA masih terus diperlukan sebagai dasar legitimasi yuridis dari
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya di
bidang pertanahan dengan dicantumkannya sebagai salah satu ”Dasar
Mengingat.” Kadang pencantuman UUPA sebagai ”Dasar Mengingat”
mengandung ketidakkonsistenan antara semangat dan karakter UUPA
dengan dasar pertimbangan filosofis atau dasar pertimbangan
sosiologis dan/atau substansi norma peraturan yang
diberlakukan. Ketidakkonsistenan tersebut berkaitan dengan
kemampuan memahami secara utuh semangat dan asas hukum
UUPA serta kemampuan menjabarkannya dari para pengambil
kebijakan
Posisi UUPA
• Dalam langkahnya yang tertatih-tatih, ada kebijakan pertanahan yang
justeru mendorong UUPA meninggalkan keseimbangan antar-isme-
isme yang menjadi semangat dan karakter pokoknya dengan
mendasarkan pada kebijakan pertanahan dan pelaksanaannya yang
menekankan.
• Semangat individualisme yaitu semangat kepemilikan hak atas tanah
yang absolut sebagaimana pernah dianut dalam Hukum Perdata Barat
dengan mengabaikan beban kewajiban-kewajiban sosial. Hal ini
tampak dari:
• Pertama, fenomena yang membiarkan pemegang hak atas tanah
untuk secara bebas menggunakan atau tidak menggunakan tanah
seperti yang terjadi pada pemegang HGU atau HGB yang membiarkan
tanahnya tidak segera dimanfaatkan dalam rentang waktu yang
bertahun-tahun dengan alasan untuk cadangan usaha di masa yang
akan datang. Padahal UUPA sangat menekankan agar pemegang hak
atas tanah, di samping melaksanakan hak atau kewenangannya, juga
dibebani kewajiban untuk menggunakan atau memanfaatkan tanah,
memproduktifkan tanah, dan memelihara kesuburan tanah;
• Kedua, melalui PP No.11 Tahun 2010 tentang Penataan dan
Penertiban Tanah Terlantar, penelantaran tanah yang dilakukan oleh
instansi pemerintah atau pemerintah daerah atau badan usaha milik
negara/daerah tidak harus dikenakan sanksi penghapusan hak atas
tanah. Jika tanah yang ditelantarkan itu digunakan untuk pelayanan
publik dengan status Hak Pakai Selama Digunakan atau Hak
Pengelolaan, pembebasan dari sanksi dapat dipahami. Namun sulit
dipahami jika tanah yang ditelantarkan itu dimanfaatkan untuk kerja
sama pemanfaatan untuk mencari keuntungan bagi instansi
pemerintah. Padahal UUPA dengan tegas menentukan bahwa setiap
pemegang hak atas tanah yang menelantarkan tanah harus dikenakan
sanksi penghapusan hak atas tanahnya;
• Ketiga, pembiaran bekas pemegang yang hak atas tanahnya sudah
hapus atau berakhir yang masih menilai dirinya mempunyai
kewenangan keperdataan. Di antaranya sebagaimana diatur dalam PP
No.27/2014 bahwa instansi pemerintah/pemda & BUMN/D masih
mempunyai kewenangan meskipun haknya berakhir. Padahal UUPA
tegas menentukan jika hak atas tanahnya berakhir, maka berakhir
juga kewenangan keperdataannya
• Semangat globalisme yang masih terus diperjuangkan untuk masuk ke dalam
kebijakan pertanahan meskipun jelas-jelas bertentangan dengan asas nasionalitas
dari UUPA dan PP No.40 Tahun 1996. Hal ini dapat dicermati dari semangat untuk
memberikan kepada WNA hak atas tanah yang sama dengan WNI yang
dimaksudkan untuk menjadi daya tarik bagi WNA untuk membeli properti (rumah
dan tanah) yang dibangun oleh perusahaan pembangunan perumahan. Di
antaranya : Pertama, PP No.103 Tahun 2015 yang memberikan Hak Pakai Dengan
Jangka Waktu kepada WNA untuk paling banyak 30 tahun dan ini bertentangan
dengan PP No.40 Tahun 1996 yang hanya memberikan Hak Pakai kepada WNA
untuk paling banyak 25 tahun; Kedua, semangat globalisme yang dimasukkan ke
dalam Rancangan UU Cipta Kerja yang memperbolehkan WNA mempunyai HGB;
Ketiga, perhatian pada semangat globalisme telah mengurangi perhatian pada
upaya memenuhi kebutuhan tanah dan rumah bagi WNI di strata bawah seperti
rencana pembangunan Rumah Susun Milik yang sederhana yang belum terujud
• Semangat modernisme yang lebih mendominasi sebagai bagian upaya
mewujudkan pertumbuhan ekonomi melalui penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya tanah oleh pelaku usaha yang mampu
berkontribusi terhadap orientasi pertumbuhan ekonomi. Perlu
dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi menuntut persyaratan usaha
berskala besar dengan penguasaan tanah yang sangat luas, modal
usaha besar, teknologi pengusahaan yang tinggi, dan kemampuan
manajemen yang andal dengan tujuan mampu menghasilkan produk
yang massal.

• Tekanan dan dominasi semangat modernisme telah menyebabkan terabaik
annya hak tradisional (hak ulayat) masyarakat hukum adat beserta kelompo
k warga yang tradisional yang oleh Pasal 3 UUPA sudah diamanahkan.
Amanah UUPA ini semakin terpinggirkan karena :
(1) penerapan politik pembangunan yang meminggirkan eksistensi dan per
anan mereka sejalan dengan prinsip dasar modernisme:
(2) adanya pengaturan hak tradisional masyarakat hukum adat dalam berb
agai UU Sektoral yang semangatnya sudah berbeda dengan UUPA;
(3) masih diinisiasi terus menerus & berlarut-larut pembentukan RUU
Masyarakat Hukum Adat
dan ini dijadikan dasar untuk meminggirkan terlebih dahulu kebijakan pene
tapan keberadaan masyarakat hukum adat secara riil
UUPA ke depan bagaimana?
• Ada beberapa fakta yang harus disadari bersama :
• Pertama, UUPA memang harus diakui sebagai produk undang-undang
yang sudah meletakkan dasar berupa asas hukum yang harus
digunakan untuk membangun peraturan perundang-undangan
pelaksanaannya;
• Kedua, proses penjabaran asas hukum UUPA baik ke dalam asas
hukum jabaran maupun ke dalam norma hukum yang kongkret
terbuka adanya tafsir yang memperkuat atau justeru memperlemah
semangat dan karakter UUPA itu sendiri;
• Ketiga, UUPA harus menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan
politik namun diyakini bahwa asas-asas hukum UUPA sebagai jabaran
nilai-nilai dari Sila-Sila Pancasila masih dapat mengakomodasi dan
menjadi penuntun bagi tercapainya tujuan kemakmuran semua orang
dan kelompok;
• Keempat, untuk menjamin penjabaran UUPA yang akomodatif
terhadap perubahan dan terlindunginya kepentingan semua
kelompok diperlukan aktor-aktor yang memahami secara utuh dan
komprehensif asas hukum dan semangat UUPA serta mempunyai visi
ke depan tanpa mengorbankan keseimbangan dari berbagai isme-
isme yang menjadi dasar filosofis dan tujuan UUPA.
• Upaya menjaga keberlangsungan semangat dan karakter UUPA
tergantung pada kelompok-kelompok aktor untuk saling bersinergi
dan memadukan kepentingan-kepentingan masing-masing yang
berbeda. Jika kelompok aktor berkemauan untuk bersinergi dan
memadukan, maka semangat dan karakter UUPA akan terjamin
keberlangsungannya. Sebaliknya, jika mereka saling berlomba untuk
memenangkan kepentingannya masing-masing, maka UUPA hanya
akan ”mati suri” (masih berlaku namun akan tidak berfungsi) dan
tujuan memakmurkan semua orang & kelompok akan semakin sulit
diujudkan.

Kelompok-
kelompok aktor yang dimaksud yaitu :
• Kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memperjuangkan
kepentingannya masing-masing baik dalam penjabaran UUPA ke
dalam peraturan pelaksanaannya maupun dalam pelaksanaan UUPA
dan peraturan jabarannya. Kelompok-kelompok dimaksud dapat
dibagi 2 yaitu :
• Pertama, kelompok dalam strata bawah-menengah yang sangat
membutuhkan tanah namun tidak mempunyai akses dan kemampuan
untuk menyampaikan kebutuhan dan mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya, seperti masyarakat hukum
adat, petani bertanah sempit atau tidak bertanah, kelompok marjinal
perkotaan yang memerlukan tanah baik untuk tempat berusaha
maupun tempat tinggal;
• Kedua, kelompok dalam strata atas yang mampu memenuhi keinginannya akan
tanah karena mempunyai akses dan mampu menyampaikan dan bahkan
mempengaruhi proses pengambilan kebijakan dan pelaksanaannya. Kelompok
inilah yang kadang disebut sebagai The real ruling group karena kemampuannya
mempengaruhi kebijakan pertanahan, dan ada yang menyebutnya Contributor of
the State (financial) Interest karena kemampuannya memberikan kontribusi
terhadap kepentingan negara
• Ketiga, Kelompok organisasi masyarakat sipil yang melakukan edukasi dan
advokasi terhadap kelompok masyarakat pada strata bawah-menengah yang
lemah akses dan kemampuannya untuk memperjuangkan kepentingan dan
mempengaruhi proses pengambilan dan pelaksanaan kebijakan pertanahan.
Organisasi masyarakat sipil ini juga menginisiasi pembentukan undang-undang
dan peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan
kelompok yang diadvokasi seperti RUU Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan
Reforma Agraria
• Keempat, Kelompok penyeimbang terhadap kelompok yang memperjuang
kan kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompok lain serta pembuat
dan pelaksana kebijakan melalui bangunan kerangka berfikir yang konsisten
dengan semangat dan karakter UUPA dengan tujuan agar kebijakan dan
pelaksanaan yang menyimpang dari UUPA dapat dikembalikan ke semangat
dan karakter UUPA;
• Kelima, Kelompok perumus, pengambil, dan pelaksana kebijakan sebagai
penjabaran dan pelaksanaan UUPA. Kelompok ini mempunyai kedudukan
dan peranan sentral karena di satu sisi kelompok ini harus mampu
memahami komprehensif UUPA dan menjabarkannya dengan konsisten
pada peraturan pelaksanaannya serta sisi lain harus menyerap dan
mengakomodasi kepentingan-kepentingan semua kelompok yang memang
sesuai asas hukum dan tujuan UUPA.
• Keenam, Kelompok-kelompok aktor di atas akan saling bersinerji dan memadukan jika ada proses
perumusan kebijakan pertanahan dan pelaksanaannya yang demokratis yaitu terbuka substansi
kebijakan kepada semua kelompok warga masyarakat, partisipatif dengan memberikan kesempatan
kepada semua kelompok untuk memberikan masukan, responsif dengan mengakomodasi masukan
dan kepentingan yang sejalan ke arah tercapainya tujuan kemakmuran bagi semua warga negara, dan
akuntabilitas dengan mempertanggungjawabkan pilihan substansi kebijakan dan pelaksanaannya baik
kepada warga negara dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
• Jika semua kelompok aktor sudah saling bersinerji dan memadukan, maka harus ada upaya untuk
menyempurnakan UUPA dalam pengertian memperkuat asas hukum dan tujuan UUPA dengan
menjabarkan asas-asas hukumnya dan bukan memperlemah. Jika ini dapat dilakukan, maka insyaallah
semangat dan karakter UUPA akan dapat dijaga keberlangsungannya di masa yang akan datang.
sebagaimana terdapat dalam Buku Prof Maria.
Paham Free fight liberalisme adalah
adanya kebebasan yang tidak
terkendali sehingga menyebabkan
eksploitasi ekonomi lemah
liberalisme
dan Etatisme Etetisme adalah keikutsertaan
pemerintah secara dominan yang
mematikan kreatif masyarakat untuk
bisa bersaing secara sehat
(https://brainly.co.id/tugas/9969531)

Anda mungkin juga menyukai