0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
3 tayangan25 halaman
UUPA dirancang untuk menyeimbangkan berbagai paradigma hukum seperti individualisme-kolektivisme, nasionalisme-globalisme, modernisme-tradisionalisme, liberalisme-statisme, dan elitisme-egalitarianisme. Namun, beberapa kebijakan pertanahan belakangan cenderung mendorong dominasi individualisme dan mengabaikan kewajiban sosial sebagaimana diatur dalam UUPA.
UUPA dirancang untuk menyeimbangkan berbagai paradigma hukum seperti individualisme-kolektivisme, nasionalisme-globalisme, modernisme-tradisionalisme, liberalisme-statisme, dan elitisme-egalitarianisme. Namun, beberapa kebijakan pertanahan belakangan cenderung mendorong dominasi individualisme dan mengabaikan kewajiban sosial sebagaimana diatur dalam UUPA.
UUPA dirancang untuk menyeimbangkan berbagai paradigma hukum seperti individualisme-kolektivisme, nasionalisme-globalisme, modernisme-tradisionalisme, liberalisme-statisme, dan elitisme-egalitarianisme. Namun, beberapa kebijakan pertanahan belakangan cenderung mendorong dominasi individualisme dan mengabaikan kewajiban sosial sebagaimana diatur dalam UUPA.
UUPA sebagai Produk Hukum Agraria Bangsa Indonesia
• UUPA merupakan produk peraturan perundang-undangan yang fenomenal
baik dari dasar filosofis maupun sosiologis dan yuridis-konstitusional : Pertama, Dari aspek dasar filosofis, UUPA merupakan undang-undang yang dijabarkan dari nilai-nilai sosial yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila sehingga asas-asas hukum dalam UUPA sungguh menjadi cermin dan jabaran nilai-nilai sosial Pancasila; Kedua, Dari aspek sosiologis, UUPA mengandung asas-asas hukum yang dimaksudkan untuk merombak struktur sosial penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan sumber daya agraria agar terdistribusi secara merata dan berkedilan kepada seluruh komponen Bangsa Indonesia; Aspek Yuridis Konstitusional
• Ketiga, Dari aspek yuridis-konstitusional, UUPA harus ditempatkan sebagai penjabaran
dari beberapa UUD Negara RI 1945 yaitu Pasal 18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3) tentang pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat, Pasal 27 ayat (2) tentang jaminan bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak melalui kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya agraria, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) tentang pengembangan usaha di bidang sumber daya agraria yang ditekankan pada koperasi dan bentuk usaha gotong royong lainnya serta peranan negara untuk menguasai usaha di bidang sumber daya agraria yang berkaitan dengan hajat orang banyak, dan Pasal 33 ayat (3) tentang dasar konstitusional dan politik hukum pembangunan hukum agraria nasional yaitu dengan menempatkan Negara Kesatuan RI sebagai organisasi kekuasaan Bangsa Indonesia sebagai ”Bapak Pembuat kebijakan, pengatur, pengelola, pengurus, dan pengawas” yang baik dan adil terhadap bumi, air, dan kekayaan alam di wilayah Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh komponen Bangsa Indonesia UUPA sebagai jabaran dari nilai-nilai Pancasila dirancang untuk menyeimbangkan antara: 1. Individualisme dengan kolektivisme/komunalisme dengan meletakkan asas hukum yang memberikan pengakuan dan akses bagi setiap orang baik perseorangan individual maupun badan hukum untuk Kedudukan UUPA menguasai, memiliki, dan memanfaatkan tanah di diantara paradigma/Isme Indonesia, namun diiringi dengan asas hukum yang membebankan kewajiban-kewajiban kepada setiap pemegang hak atas tanah yang menekankan agar kepentingan bersama baik sebagai kelompok maupun sebagai masyarakat dan bangsa Indonesia tetap terjamin dan terpenuhi; 2. Nasionalisme dengan globalisme dengan meletakkan asas hukum yang memberikan prioritas dan perlakuan khusus kepada Warga Negara Indonesia untuk mempunyai dan memanfaatkan serta menikmati hasil dari sumber daya agraria karena UUPA dibuat oleh Bangsa Indonesia melalui organisasi kekuasaannya yang disebut Negara sebagai instrumen untuk memakmurkan Nasionalism and globalism rakyatnya atau warga negaranya, namun UUPA tetap mengiringinya dengan asas hukum yang memberikan akses atau kesempatan kepada Warga Negara Asing (WNA) untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia yang berstatus lebih rendah dari yang dipunyai WNI
This Photo by Unknown author is licensed under CC BY.
Modernisme dengan Tradisionalisme
• 3. Modernisme dengan Tradisionalisme dengan meletakkan asas
hukum yang mendorong kemajuan dengan memanfaatkan atau mengusahakan tanah secara produktif dan rasional memperoleh hasil secara optimal serta tidak membiarkan tanah idle dan terlantar tanpa menghasilkan produk apapun (Pasal 10 jo. Pasal 15), namun UUPA juga mengiringinya dengan asas hukum yang mendorong agar dalam menggapai dan mewujudkan kemajuan tidak meninggalkan kelompok masyarakat yang masih hidup dalam ketradisionalan dan belum mampu memasuki arus kemodernan atau kemajuan dengan cara memberikan jaminan keadilan korektif atau afirmatif dalam hubungan kerja (Pasal 11 ayat (1)), pemberlakuan hukum yang berbeda (Pasal 11 ayat (2)), dan pemberian tanah dan akses lain melalui program khusus landreform atau Reforma Agraria (Pasal 7 dan Pasal 17);
This Photo by Unknown author is licensed under CC BY-SA.
Liberalism and Statisme 4. Liberalisme dengan Kontrol Negara (Statisme) dengan meletakkan asas hukum yang memberikan kebebasan bagi siapapun baik WNI maupun WNA untuk mempunyai dan memanfaatkan hak atas tanah di Indonesia untuk berbagai kegiatan sesuai kebutuhannya (Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal-Pasal terkait hak atas tanah), namun UUPA juga mengiringi dengan asas hukum yang memberikan peranan kepada Negara untuk memberikan batasan mengenai luas, jangka waktu, dan/atau kewajiban-kewajiban serta Negara berwenang melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan hak atas tanah oleh pemegang hak (Pasal 2 jo. Putusan MK tentang Tafsir Hak Menguasai Negara Elitisme dengan Egalitarianisme 5. Elitisme dengan Egaliterisme dengan meletakkan asas hukum yang mendorong kegiatan usaha berskala besar dengan batasan luas tertentu untuk mencegah terjadinya sentripetal atau konsentrasi kegiatan usaha pada sekelompok kecil pelaku usaha (vide Pasal-Pasal HGU dan HGB), namun UUPA juga mengiringi dengan asas hukum yang mendorong kegiatan usaha skala kecil-menengah sehingga terjadi sentrifugal atau pemerataan kegiatan usaha (vide Pasal-Pasal HGU dan HGB) • UUPA masih terus diperlukan sebagai dasar legitimasi yuridis dari setiap pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya di bidang pertanahan dengan dicantumkannya sebagai salah satu ”Dasar Mengingat.” Kadang pencantuman UUPA sebagai ”Dasar Mengingat” mengandung ketidakkonsistenan antara semangat dan karakter UUPA dengan dasar pertimbangan filosofis atau dasar pertimbangan sosiologis dan/atau substansi norma peraturan yang diberlakukan. Ketidakkonsistenan tersebut berkaitan dengan kemampuan memahami secara utuh semangat dan asas hukum UUPA serta kemampuan menjabarkannya dari para pengambil kebijakan Posisi UUPA • UUPA masih terus diperlukan sebagai dasar legitimasi yuridis dari setiap pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya di bidang pertanahan dengan dicantumkannya sebagai salah satu ”Dasar Mengingat.” Kadang pencantuman UUPA sebagai ”Dasar Mengingat” mengandung ketidakkonsistenan antara semangat dan karakter UUPA dengan dasar pertimbangan filosofis atau dasar pertimbangan sosiologis dan/atau substansi norma peraturan yang diberlakukan. Ketidakkonsistenan tersebut berkaitan dengan kemampuan memahami secara utuh semangat dan asas hukum UUPA serta kemampuan menjabarkannya dari para pengambil kebijakan Posisi UUPA • Dalam langkahnya yang tertatih-tatih, ada kebijakan pertanahan yang justeru mendorong UUPA meninggalkan keseimbangan antar-isme- isme yang menjadi semangat dan karakter pokoknya dengan mendasarkan pada kebijakan pertanahan dan pelaksanaannya yang menekankan. • Semangat individualisme yaitu semangat kepemilikan hak atas tanah yang absolut sebagaimana pernah dianut dalam Hukum Perdata Barat dengan mengabaikan beban kewajiban-kewajiban sosial. Hal ini tampak dari: • Pertama, fenomena yang membiarkan pemegang hak atas tanah untuk secara bebas menggunakan atau tidak menggunakan tanah seperti yang terjadi pada pemegang HGU atau HGB yang membiarkan tanahnya tidak segera dimanfaatkan dalam rentang waktu yang bertahun-tahun dengan alasan untuk cadangan usaha di masa yang akan datang. Padahal UUPA sangat menekankan agar pemegang hak atas tanah, di samping melaksanakan hak atau kewenangannya, juga dibebani kewajiban untuk menggunakan atau memanfaatkan tanah, memproduktifkan tanah, dan memelihara kesuburan tanah; • Kedua, melalui PP No.11 Tahun 2010 tentang Penataan dan Penertiban Tanah Terlantar, penelantaran tanah yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau pemerintah daerah atau badan usaha milik negara/daerah tidak harus dikenakan sanksi penghapusan hak atas tanah. Jika tanah yang ditelantarkan itu digunakan untuk pelayanan publik dengan status Hak Pakai Selama Digunakan atau Hak Pengelolaan, pembebasan dari sanksi dapat dipahami. Namun sulit dipahami jika tanah yang ditelantarkan itu dimanfaatkan untuk kerja sama pemanfaatan untuk mencari keuntungan bagi instansi pemerintah. Padahal UUPA dengan tegas menentukan bahwa setiap pemegang hak atas tanah yang menelantarkan tanah harus dikenakan sanksi penghapusan hak atas tanahnya; • Ketiga, pembiaran bekas pemegang yang hak atas tanahnya sudah hapus atau berakhir yang masih menilai dirinya mempunyai kewenangan keperdataan. Di antaranya sebagaimana diatur dalam PP No.27/2014 bahwa instansi pemerintah/pemda & BUMN/D masih mempunyai kewenangan meskipun haknya berakhir. Padahal UUPA tegas menentukan jika hak atas tanahnya berakhir, maka berakhir juga kewenangan keperdataannya • Semangat globalisme yang masih terus diperjuangkan untuk masuk ke dalam kebijakan pertanahan meskipun jelas-jelas bertentangan dengan asas nasionalitas dari UUPA dan PP No.40 Tahun 1996. Hal ini dapat dicermati dari semangat untuk memberikan kepada WNA hak atas tanah yang sama dengan WNI yang dimaksudkan untuk menjadi daya tarik bagi WNA untuk membeli properti (rumah dan tanah) yang dibangun oleh perusahaan pembangunan perumahan. Di antaranya : Pertama, PP No.103 Tahun 2015 yang memberikan Hak Pakai Dengan Jangka Waktu kepada WNA untuk paling banyak 30 tahun dan ini bertentangan dengan PP No.40 Tahun 1996 yang hanya memberikan Hak Pakai kepada WNA untuk paling banyak 25 tahun; Kedua, semangat globalisme yang dimasukkan ke dalam Rancangan UU Cipta Kerja yang memperbolehkan WNA mempunyai HGB; Ketiga, perhatian pada semangat globalisme telah mengurangi perhatian pada upaya memenuhi kebutuhan tanah dan rumah bagi WNI di strata bawah seperti rencana pembangunan Rumah Susun Milik yang sederhana yang belum terujud • Semangat modernisme yang lebih mendominasi sebagai bagian upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi melalui penguasaan dan pemanfaatan sumber daya tanah oleh pelaku usaha yang mampu berkontribusi terhadap orientasi pertumbuhan ekonomi. Perlu dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi menuntut persyaratan usaha berskala besar dengan penguasaan tanah yang sangat luas, modal usaha besar, teknologi pengusahaan yang tinggi, dan kemampuan manajemen yang andal dengan tujuan mampu menghasilkan produk yang massal. • • Tekanan dan dominasi semangat modernisme telah menyebabkan terabaik annya hak tradisional (hak ulayat) masyarakat hukum adat beserta kelompo k warga yang tradisional yang oleh Pasal 3 UUPA sudah diamanahkan. Amanah UUPA ini semakin terpinggirkan karena : (1) penerapan politik pembangunan yang meminggirkan eksistensi dan per anan mereka sejalan dengan prinsip dasar modernisme: (2) adanya pengaturan hak tradisional masyarakat hukum adat dalam berb agai UU Sektoral yang semangatnya sudah berbeda dengan UUPA; (3) masih diinisiasi terus menerus & berlarut-larut pembentukan RUU Masyarakat Hukum Adat dan ini dijadikan dasar untuk meminggirkan terlebih dahulu kebijakan pene tapan keberadaan masyarakat hukum adat secara riil UUPA ke depan bagaimana? • Ada beberapa fakta yang harus disadari bersama : • Pertama, UUPA memang harus diakui sebagai produk undang-undang yang sudah meletakkan dasar berupa asas hukum yang harus digunakan untuk membangun peraturan perundang-undangan pelaksanaannya; • Kedua, proses penjabaran asas hukum UUPA baik ke dalam asas hukum jabaran maupun ke dalam norma hukum yang kongkret terbuka adanya tafsir yang memperkuat atau justeru memperlemah semangat dan karakter UUPA itu sendiri; • Ketiga, UUPA harus menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan politik namun diyakini bahwa asas-asas hukum UUPA sebagai jabaran nilai-nilai dari Sila-Sila Pancasila masih dapat mengakomodasi dan menjadi penuntun bagi tercapainya tujuan kemakmuran semua orang dan kelompok; • Keempat, untuk menjamin penjabaran UUPA yang akomodatif terhadap perubahan dan terlindunginya kepentingan semua kelompok diperlukan aktor-aktor yang memahami secara utuh dan komprehensif asas hukum dan semangat UUPA serta mempunyai visi ke depan tanpa mengorbankan keseimbangan dari berbagai isme- isme yang menjadi dasar filosofis dan tujuan UUPA. • Upaya menjaga keberlangsungan semangat dan karakter UUPA tergantung pada kelompok-kelompok aktor untuk saling bersinergi dan memadukan kepentingan-kepentingan masing-masing yang berbeda. Jika kelompok aktor berkemauan untuk bersinergi dan memadukan, maka semangat dan karakter UUPA akan terjamin keberlangsungannya. Sebaliknya, jika mereka saling berlomba untuk memenangkan kepentingannya masing-masing, maka UUPA hanya akan ”mati suri” (masih berlaku namun akan tidak berfungsi) dan tujuan memakmurkan semua orang & kelompok akan semakin sulit diujudkan. • Kelompok- kelompok aktor yang dimaksud yaitu : • Kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memperjuangkan kepentingannya masing-masing baik dalam penjabaran UUPA ke dalam peraturan pelaksanaannya maupun dalam pelaksanaan UUPA dan peraturan jabarannya. Kelompok-kelompok dimaksud dapat dibagi 2 yaitu : • Pertama, kelompok dalam strata bawah-menengah yang sangat membutuhkan tanah namun tidak mempunyai akses dan kemampuan untuk menyampaikan kebutuhan dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya, seperti masyarakat hukum adat, petani bertanah sempit atau tidak bertanah, kelompok marjinal perkotaan yang memerlukan tanah baik untuk tempat berusaha maupun tempat tinggal; • Kedua, kelompok dalam strata atas yang mampu memenuhi keinginannya akan tanah karena mempunyai akses dan mampu menyampaikan dan bahkan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan dan pelaksanaannya. Kelompok inilah yang kadang disebut sebagai The real ruling group karena kemampuannya mempengaruhi kebijakan pertanahan, dan ada yang menyebutnya Contributor of the State (financial) Interest karena kemampuannya memberikan kontribusi terhadap kepentingan negara • Ketiga, Kelompok organisasi masyarakat sipil yang melakukan edukasi dan advokasi terhadap kelompok masyarakat pada strata bawah-menengah yang lemah akses dan kemampuannya untuk memperjuangkan kepentingan dan mempengaruhi proses pengambilan dan pelaksanaan kebijakan pertanahan. Organisasi masyarakat sipil ini juga menginisiasi pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan kelompok yang diadvokasi seperti RUU Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan Reforma Agraria • Keempat, Kelompok penyeimbang terhadap kelompok yang memperjuang kan kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompok lain serta pembuat dan pelaksana kebijakan melalui bangunan kerangka berfikir yang konsisten dengan semangat dan karakter UUPA dengan tujuan agar kebijakan dan pelaksanaan yang menyimpang dari UUPA dapat dikembalikan ke semangat dan karakter UUPA; • Kelima, Kelompok perumus, pengambil, dan pelaksana kebijakan sebagai penjabaran dan pelaksanaan UUPA. Kelompok ini mempunyai kedudukan dan peranan sentral karena di satu sisi kelompok ini harus mampu memahami komprehensif UUPA dan menjabarkannya dengan konsisten pada peraturan pelaksanaannya serta sisi lain harus menyerap dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan semua kelompok yang memang sesuai asas hukum dan tujuan UUPA. • Keenam, Kelompok-kelompok aktor di atas akan saling bersinerji dan memadukan jika ada proses perumusan kebijakan pertanahan dan pelaksanaannya yang demokratis yaitu terbuka substansi kebijakan kepada semua kelompok warga masyarakat, partisipatif dengan memberikan kesempatan kepada semua kelompok untuk memberikan masukan, responsif dengan mengakomodasi masukan dan kepentingan yang sejalan ke arah tercapainya tujuan kemakmuran bagi semua warga negara, dan akuntabilitas dengan mempertanggungjawabkan pilihan substansi kebijakan dan pelaksanaannya baik kepada warga negara dan kepada Tuhan Yang Maha Esa. • Jika semua kelompok aktor sudah saling bersinerji dan memadukan, maka harus ada upaya untuk menyempurnakan UUPA dalam pengertian memperkuat asas hukum dan tujuan UUPA dengan menjabarkan asas-asas hukumnya dan bukan memperlemah. Jika ini dapat dilakukan, maka insyaallah semangat dan karakter UUPA akan dapat dijaga keberlangsungannya di masa yang akan datang. sebagaimana terdapat dalam Buku Prof Maria. Paham Free fight liberalisme adalah adanya kebebasan yang tidak terkendali sehingga menyebabkan eksploitasi ekonomi lemah liberalisme dan Etatisme Etetisme adalah keikutsertaan pemerintah secara dominan yang mematikan kreatif masyarakat untuk bisa bersaing secara sehat (https://brainly.co.id/tugas/9969531)