Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ANATOMI FISIOLOGI

“HIDUNG”
Dosen Pengampu : Yeti Suryati, S.Kep.,Ners., M.M.Pd.

Disusun Oleh :

Chesilia Rizky Ramadhanty (E712111012)


Intan Sriwahyu Rizky (E712111020)
Salsa Aulya (E712111032)
Inal Abidin (E712111035)

POLITEKNIK TEDC BANDUNG


PROGRAM STUDI REKAM MEDIS & INFORMASI
KESEHATAN
2022

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan Makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Dalam menyusun makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
alami, namun berkat dukungan, dorongan dan semangat dari orang terdekat,
sehingga penulis mampu menyelesaikannya. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada pada Ibu Yeti Suryati, S.Kep.,Ners., M.M.Pd.
selaku Dosen mata kuliah Kodifikasi Terkait Sistem Penginderaan, Syaraf dan
Gangguan jiwa dan Perilaku (A-F) yang telah memberikan tugas ini kepada
Penulis.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna sebagai referensi dalam
rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Kodifikasi Terkait
Sistem Penginderaan, Syaraf dan Gangguan jiwa dan Perilaku (A-F) khususnya
tentang Anatomi dan Fisologi “Hidung”. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang
penulis harapkan. Untuk itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan memohon kritik
serta saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Cimahi, 24 September 2022

KELOMPOK 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................iv
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN........................................................................................................................2
2.1 Indera Pembau Pada Manusia..........................................................................................2
2.2 Anatomi Hidung Manusia................................................................................................2
2.3 Fisiologi Hidung Manusia................................................................................................6
2.4 Mekanisme Penciuman Manusia......................................................................................8
2.5 Kelainan Pada Indera Pembau Manusia...........................................................................8
BAB III.....................................................................................................................................10
PENUTUP................................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................10
3.2 Saran...............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagian Hidung Luar……………………………………………………… 2


Gambar 2.2 Anatomi Hidung Luar……………………………………………………. 3
Gambar 2.3 Anatomi Hidung Bagian Dalam………………………………………….. 3
Gambar 2.4 Anatomi Hidung bagian dalam……………………………………………4
Gambar 2.5 Bagian Saraf Olfaktori…………………………………………………… 4
Gambar 2.6 Membrane Mukosa Olfaktori……………………………………………. 4
Gambar 2.7 Lokasi dan Sirkuit dasar di bulbus olfaktorius……………………………5
Gambar 2.8 Olfaktorius………………………………………………………………...6
Gambar 2.9 Alur Proses Penciuman……………………………………………………8

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Setiap makhluk hidup di bumi diciptakan berdampingan dengan alam, karena alam
sangat penting untuk kelangsungan makhluk hidup. Karena itu setiap makhlukhidup,
khususnya manusia harus dapat menjaga keseimbangan alam. Untuk dapat menjaga
keseimbangan alam dan untuk dapat mengenali perubahan lingkungan yangterjadi, Tuhan
memberikan indera kepada setiap makhluk hidup. Indera ini berfungsi untuk mengenali
setiap perubahan lingkungan, baik yang terjadi di dalam maupun di luar tubuh. Indera
yang ada pada makhluk hidup, memilikisel-sel reseptor khusus. Panca indera pada
manusia merupakan sekumpulan reseptor tertentu yang terlokalisasi dan merupakan
paling ujung yang dapat menerima rangsangan-rangsangan (stimulus) dari lingkungan
untuk direspon oleh tubuh (efektor). Salah satu dari panca indera tersebut adalah indera
pembau.
Indera pembau merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, erat hubungannya dengan
indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena keduanya bekerja
bersama-sama. Stimulusnya berupa rangsangan kimiawi. Reseptor organ pembau terdapat
di regio olfaktorius di bagian hidung sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan
melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju ke bulbus olfaktorius di
dasar fossa kranii posterior. Anatomi berikut mekanisme (fisiologi) dari
indera pembau patut diketahui agar dapat mengetahuinya secara lebih rinci.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan indera pembau pada manusia?
2. Bagaimana anatomi dari hidung manusia?
3. Bagaimana fisiologi dari hidung manusia?
4. Bagaimana mekanisme penciuman manusia?
5. Apa saja kelainan pada indera pembau manusia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan indera pembau pada
manusia
2. Untuk mengetahui dan memahami anatomi dari hidung pada manusia
3. Untuk mengetahui dan memahami fisiologi dari hidung pada manusia
4. Untuk mengetahui dan memahami mekanisme penciuman pada manusia

1
5. Untuk mengetahui dan memahami berbagai kelainan pada indera pembau pada
manusia

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Indera Pembau Pada Manusia


Indera pembau atau hidung merupakan alat visera (alat dalam rongga badan) yang erat
hubungannya dengan gastrointestinalis. Sebagian rasa berbagai makanan merupakan
kombinasi penciuman dan pengecapan. Reseptor penciuman merupakan kemoreseptor
yang dirangsang oleh molekul larutan di dalam mukus. Reseptor penciuman juga
merupakan reseptor jauh (telereseptor). Jaras penciuman tidak disalurkan dalm talamus
dan tidak di proyeksikan neokorteks bagi penciuman.

Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan. Pada manusia, bau
mempunyai muatan afeksi yang bisa menyenangkan atau membangkitkan rasa penolakan
dan keterlibatan memori, selain itu bau juga penting untuk nafsu makan.

2.2 Anatomi Hidung Manusia


a.       Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramida dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal hidung


(bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares
anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan
menyempitkan lubang hidung. Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal,
prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis
inferior (kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Tepi
medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan tepi kranial
melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus frontal os maksila.

2
Gambar 2.1 Bagian Hidung Luar

Pada tulang tengkorak lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura
piriformis. Tepi laterosuperior dibentuk oleh kedua os nasal dan profesus frontal os
maksila. Dasarnya disebut spina nasalis anterior

Gambar 2.2 Anatomi Hidung Luar

b. Hidung Dalam
Struktur hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana
di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring. Septum nasi merupakan
struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Pada
dinding lateral hidung terdapat konka dengan rongga udara yaitu meatus superior, media
dan inferior.

3
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan lateral
dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur demikian
pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk
mencapai daerah olfaktorius dan dengan demikian dapat mengganggu penciuman.

Gambar 2.3 Anatomi Hidung Bagian Dalam

Gambar 2.4 Anatomi Hidung bagian dalam Gambar 2.5 Bagian Saraf Olfaktori

 Membrane Mukosa Olfaktorius

Sel reseptor olfaktorius terletak dibagian mukosa hidung yang khusus, yaitu
membrane mukosa olfaktorius yang berpigmen kekuningan. Pada manusia daeraj ini
luasnya 5 cm2 berada di atap rongga hidung dekat septum. Membrane ini
mengandung sel-sel penunjang dan sel-sel calon reseptor penghidu. Diantara sel ini
terdapat 10-20 juta sel reseptor. Setiap reseptor penghidu adalah neuron, dan di tubuh,
membrane mukosa olfaktorius merupakan system saraf yang terletak paling dekat
dengan dunia luar.
Setiap neuron memiliki dendrite pendek tebal dengan ujung melebar yang
disebut batang olfaktorius. Dari batang ini, timbul tonjolan silia yang merebak
kepermukaan mucus. Silia adalah prosesus tidak bermielin sengan panjang 2µm dan
garis tengah 0,1µm. untuk setiap neuron terdapat 10-20 silia. Akson neuron reseptor
penghidu menembus lamina kribiformis tulang etmiod dan masuk ke bulbus
olfaktorius.

4
Gambar 2.6 Membrane Mukosa Olfaktori

Neuron penghidu, seperti reseptor pengecapan, tidak seperti neuron lainnya,


selalu diperbarui dengan waktu paruh beberapa minggu. Perbaruan sel olfaktorius ini
merupakan proses yang diatur, dana ada bukti bahwa pada proses ini, protein
morfogenik tulang (bone morphogenic protein, BMP) member pengaruh inhibisi.
BMP merupakan golongan factor pertumbuhan yang sebelumnya disebutkan sebagai
zat perangsang (promotor) pertumbuhan tulang, tetapi sekarng diketahui bekerja pada
bermacam-macam jaringan tubuh selama pertumbuhan, termasuk berbagai sel saraf.
Membrane mukosa olfaktorius selalu ditutupi oleh mucus, mucus ini dihasilkan oleh
kelenjar Bowman, yang terletak tepat di bawah lamina basal membrane.

 Bulbus Olfaktorius

Pada bulbus olfaktorius, akson reseptor bersinap dengan dendrite primer sel
mitral dan tufted cells untuk membentuk sinap globular kompleks yang disebut
glomerolus olfaktorius. Tufted cell (sel berumbai) lebih kecil dari pada sel mitral dan
memilki akson yang tipis, tetapi kedua jenis sel mengirim aksonnya menuju korteks
penghidu serta bagian otak lain, dan tanpaknya merit jika ditinjau dari segi fungsi.
Rata-rata 26.000 akson sel reseptor berkonvergensi pada setiap glomerolus. Selain sel
mitral dan sel tufted, bulbus olfaktorius mengandung sel periglomeruler, yaitu neuron
inhibisi yang menghubungkan satu glomerolus dengan glomerolus lainya, dan sel
granula, yang tidak memunyai akson dan membentuk sinaps timbale balik (resiprokal)
dengan dendrite lateral sel mitral dan sel tufted. Di sinaps ini, sel mitral dan sel tufted
merangsang sel granula dengan pelepasan glutamate, sedang di sisi sel granula sinaps
akan menghambat sel mitral dan sel tufted dengan mengeluarkan GABA.

5
Gambar 2.7 Lokasi dan Sirkuit dasar di bulbus olfaktorius

 Korteks Olfaktorius

Akson sel mitral dan sel tufted berjalan ke posterior melalui stria olfaktorius
intermedia dan stria olfaktorius lateral ke korteks olfaktorius. Akson sel mitral
berakhir di dendrite apical sel pyramid di korteks olfaktorius. Pada manusia, tindakan
mengendus-endus akan menggiatkan korteks piriformis, tetapi menghidu dengan atau
tanpa mengendus-endus menggiatkan girus orbitofrontal lateral dan anterior dari
lobus frontalis. Penggiatan orbitofrontalis pada umumnya lebih besar pada sisi kanan
dari pada sisi kiri. Dengan demikian , representasi penghidu pada korteks bersifat
asimetris. Serat lain menuju ke amigdala, yang mungkin berperan dalam respon emosi
terhadap rangsang penghidu, dan ke korteks entorinal, yang berperan dalam ingatan
penghidu.

Gambar 2.8 Olfaktorius

2.3 Fisiologi Hidung Manusia


Fungsi hidung antara lain untuk jalan nafas, alat pengatur kondisi udara
(air conditioning), penyaring udara, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses
bicara dan reflek nasal.
a. Sebagai jalan nafas

6
Saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media kemudian turun kearah nasofaring, sehingga udara berbentuk lengkungan atau
arkus. Saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang
sama seperti saat inspirasi, di bagian depan aliran udara memecah sebagian melalui nares
anterior dan sebagian lagi ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
udara nasofaring.
b. Pengatur kondisi udara
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan  mengatur suhu.
c. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir dan enzim yang
dapat menghancurkan beberapa bakteri yang disebut lisozim.
d. Indera penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum nasi. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.
Epitel olfaktorius adalah epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan terdiri dari tiga
macam sel-sel saraf  yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Lamina propia di
daerah olfaktorius mengandung kelenjar olfaktorius Bowman. Sel penunjang dan kelenjar
Bowman (Graziadei) yang menghasilkan mukus cair.
Diantara sel-sel penunjang terdapat sel olfaktorius yang bipolar, sedangkan di bagian
puncak sel terdapat dendrit yang telah berubah bentuk dan melanjutkan diri ke permukaan
epitel, kemudian membentuk bulatan disebut vesikel olfaktorius. Menurut teori
stereokimia untuk penghidu setiap bau dari ketujuh bau-bauan kimia atau dasar, indera
penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat elektrofilik
atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor-reseptor yang bentuk dan
dimensinya tertentu sehingga satu molekul bau yang spesifik membutuhkan partikel
reseptor tersendiri. Bau-bauan primer seperti bau-bauan eterial, kamper, “musky”, wangi
bunga, bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau amandel, merupakan
kombinasi yang ditimbulkan oleh pertautan molekul-molekul dengan dua atau lebih
reseptor primer.
Teori lain berpendapat bahwa kualitas molekul yang dianggap sebagai bau
adalah  interaksi antara vibrasi dengan organ reseptor. Kemungkinan besar, permulaan
perjalanan impuls pada nervus olfaktorius adalah rangsangan pada batang olfaktorius atau
silia, mungkin oleh larutan partikel bau-bauan dalam lendir. Pada perangsangan sel
reseptor, akan timbul perubahan potensial listrik yang menghasilkan penjalaran impuls ke
bulbus olfaktorius untuk merangsang sel mitral. Bulbus olfaktorius mempunyai aktivitas
listrik yang menetap dan terus-menerus.
Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen setebal 1
mikrometer, yakni akson. Bersama-sama akson lainnya berkumpul membentuk gabungan

7
20 filamen disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui lubang pada lamina kribrosa dan
memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini tidak bermielin.
Di dalam bulbus olfaktorius akson dari nervus olfaktorius akan berhubungan dengan
sel-sel mitral dan akson ini meninggalkan bulbus untuk membentuk traktus olfaktorius
yang berjalan sepanjang dasar lobus frontalis untuk kemudian masuk ke korteks
piriformis, komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus olfaktorius dan limbus
anterior kapsula interna dengan hubungan sekunder.
e. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia).
f. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan
palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

g. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.

2.4 Mekanisme Penciuman Manusia


Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel- sel pembau.
Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf kranial (nervus
alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk serabut-serabut saraf pembau
untuk menjalin dengan serabut-serabut otak (bulbus olfaktorius). Zat-zat kimia tertentu
berupa gas atau uap masuk bersama udara inspirasi mencapai reseptor pembau.
Jalannya impuls pembauan adalah sebagai berikut : Impuls – impuls bau dihantarkan
oleh filum olfactorium yang bersinopsi dengan cabang – cabang dari dendrit sel mitral
dan disebut siniopsis glomerulus. Neurit sel mitral meninggalkan bulbus olfactorius untuk
berjalan di dalam area medialis dan berakhir di dalam area. Pusat pembauan ada di incus.
Neurit – neurit sel mitral berjalan dalam strialate ralis dan berakhir dalam incus

8
Gambar 2.9 Alur Proses Penciuman

Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein
membran pada dendrit. Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-
ribu akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori). Saraf
otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga hidung kemudian
bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan impuls dijalarkan ke daerah
pembau primer pada korteks otak untuk diinterpretasikan.

2.5 Kelainan Pada Indera Pembau Manusia


Sebagai indra pembau, hidung dapat mengalami gangguan. Akibatnya,
kepekaanhidung menjadi berkurang atau bahkan tidak dapat mencium bau suatu benda.
Kelainan-kelainan pada hidung yaitu :
 Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau
 Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau
 Disosmia : distorsi identifikasi bau
 Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya
bau tidak enak
 Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau
 Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat
mendeteksi bau.

Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau),
atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau). Pada manusia telah telah ditemukan
beberapa lusin jenis anosmia yang berbeda; kelainan-kelaina ini diperkirakan desebabkan
oleh tidak adanya atau gangguan fungsi salah satu dari banyak kelompok reseptor bau.
Ambang penghidu meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan lebih dari 75%
orang berusia di atas 80 tahun mengalami gangguan mengidentifikasi bau.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hidung merupakan salah satu dari panca indra yang berfungsi sebagai indra pembau.
Indra pembau berupa kemoreseptor yang terdapat di permukaan dalam hidung, yaitu pada
lapisan lendir bagian atas. Reseptor pencium tidak bergerombol seperti tunas
pengecap.Epitelium pembau mengandung 20 juta sel-sel olfaktori yang khusus dengan
aksonakson yang tegak sebagai serabut-serabut saraf pembau. Di akhir setiap sel pembau
pada permukaan epitelium mengandung beberapa rambut-rambut pembau yang bereaksi
terhadap bahan kimia bau-bauan di udara, Hidung manusia di bagi menjadi dua bagian
rongga yang sama besar yang di sebut dengan nostril. Dinding pemisah di sebut dengan
septum, septum terbuat dari tulang yang sangat tipis.
Rongga hidung di lapisi dengan rambut dan membran yang mensekresi lendir lengket.
Cara kerja indera penciuman yaitu indera penciuman mendeteksi zat yang melepaskan
molekul-molekul di udara. Di atap rongga hidung terdapat olfactory epithelium yang
sangat sensitif terhadap molekul-molekul bau, karena pada bagian ini ada bagian
pendeteksi bau(smell receptors). Receptor ini jumlahnya sangat banyak ada sekitar 10
juta. Ketika partikel bau tertangkap oleh receptor, sinyal akan di kirim ke the olfactory
bulb melalui saraf olfactory. Bagian inilah yang mengirim sinyal ke otak dan kemudian di
proses oleh otak bau apakah yang telah tercium oleh hidung kita, apakah itu harumnya
bau sate padang atau menyengatnya bau selokan. Fungsi hidung terbagi atas beberapa
fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring
udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses
bicara,(7) Reflek nasa.

3.2 Saran
1. Jagalah kebersihan pada hidung
2. Hindarilah hal-hal yang dapat membuat hidung mengalami gangguan
3. Jika sudah mengalami gangguan/kerusakan pada hidung segeralah diobati
4. Gunakanlah masker jika berada pada tempat yang banyak debu dan polusi agar
terhindar dari gangguan pada indera penciuman / pembau

10
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger, JJ. 1994. Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara.

Encarta. Anatomy of The Nose. http://www.encarta.msn.com/Anatomy of The Nose.html.


[diakses tanggal 24 September 2022].

Greenstein, Ben. 2000. Color Atlas of Neurosciences, Neuroanatomy and Neurophysiology.


New York: Thieme.

Hilger, PA. 1997. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit
THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.

Mangunkusumo, E. 2001. Gangguan Penghidu dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Soetjipto, D., Mangunkusumo, E. 2001. Sumbatan Hidung dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Seksi Laboratorium Psikologi Faal, 2001, Petunjuk Praktikum Psikologi Faal, Yogyakarta :
Laboratorium Psikologi Faal Fakultas Psikologi UGM.

11

Anda mungkin juga menyukai