“HIDUNG”
Dosen Pengampu : Yeti Suryati, S.Kep.,Ners., M.M.Pd.
Disusun Oleh :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan Makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Dalam menyusun makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
alami, namun berkat dukungan, dorongan dan semangat dari orang terdekat,
sehingga penulis mampu menyelesaikannya. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada pada Ibu Yeti Suryati, S.Kep.,Ners., M.M.Pd.
selaku Dosen mata kuliah Kodifikasi Terkait Sistem Penginderaan, Syaraf dan
Gangguan jiwa dan Perilaku (A-F) yang telah memberikan tugas ini kepada
Penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna sebagai referensi dalam
rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Kodifikasi Terkait
Sistem Penginderaan, Syaraf dan Gangguan jiwa dan Perilaku (A-F) khususnya
tentang Anatomi dan Fisologi “Hidung”. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang
penulis harapkan. Untuk itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.
KELOMPOK 3
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................iv
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN........................................................................................................................2
2.1 Indera Pembau Pada Manusia..........................................................................................2
2.2 Anatomi Hidung Manusia................................................................................................2
2.3 Fisiologi Hidung Manusia................................................................................................6
2.4 Mekanisme Penciuman Manusia......................................................................................8
2.5 Kelainan Pada Indera Pembau Manusia...........................................................................8
BAB III.....................................................................................................................................10
PENUTUP................................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................10
3.2 Saran...............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
5. Untuk mengetahui dan memahami berbagai kelainan pada indera pembau pada
manusia
BAB II
PEMBAHASAN
Olfaktori adalah organ pendeteksi bau yang berasal dari makanan. Pada manusia, bau
mempunyai muatan afeksi yang bisa menyenangkan atau membangkitkan rasa penolakan
dan keterlibatan memori, selain itu bau juga penting untuk nafsu makan.
2
Gambar 2.1 Bagian Hidung Luar
Pada tulang tengkorak lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura
piriformis. Tepi laterosuperior dibentuk oleh kedua os nasal dan profesus frontal os
maksila. Dasarnya disebut spina nasalis anterior
b. Hidung Dalam
Struktur hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana
di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring. Septum nasi merupakan
struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Pada
dinding lateral hidung terdapat konka dengan rongga udara yaitu meatus superior, media
dan inferior.
3
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan lateral
dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur demikian
pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk
mencapai daerah olfaktorius dan dengan demikian dapat mengganggu penciuman.
Gambar 2.4 Anatomi Hidung bagian dalam Gambar 2.5 Bagian Saraf Olfaktori
Sel reseptor olfaktorius terletak dibagian mukosa hidung yang khusus, yaitu
membrane mukosa olfaktorius yang berpigmen kekuningan. Pada manusia daeraj ini
luasnya 5 cm2 berada di atap rongga hidung dekat septum. Membrane ini
mengandung sel-sel penunjang dan sel-sel calon reseptor penghidu. Diantara sel ini
terdapat 10-20 juta sel reseptor. Setiap reseptor penghidu adalah neuron, dan di tubuh,
membrane mukosa olfaktorius merupakan system saraf yang terletak paling dekat
dengan dunia luar.
Setiap neuron memiliki dendrite pendek tebal dengan ujung melebar yang
disebut batang olfaktorius. Dari batang ini, timbul tonjolan silia yang merebak
kepermukaan mucus. Silia adalah prosesus tidak bermielin sengan panjang 2µm dan
garis tengah 0,1µm. untuk setiap neuron terdapat 10-20 silia. Akson neuron reseptor
penghidu menembus lamina kribiformis tulang etmiod dan masuk ke bulbus
olfaktorius.
4
Gambar 2.6 Membrane Mukosa Olfaktori
Bulbus Olfaktorius
Pada bulbus olfaktorius, akson reseptor bersinap dengan dendrite primer sel
mitral dan tufted cells untuk membentuk sinap globular kompleks yang disebut
glomerolus olfaktorius. Tufted cell (sel berumbai) lebih kecil dari pada sel mitral dan
memilki akson yang tipis, tetapi kedua jenis sel mengirim aksonnya menuju korteks
penghidu serta bagian otak lain, dan tanpaknya merit jika ditinjau dari segi fungsi.
Rata-rata 26.000 akson sel reseptor berkonvergensi pada setiap glomerolus. Selain sel
mitral dan sel tufted, bulbus olfaktorius mengandung sel periglomeruler, yaitu neuron
inhibisi yang menghubungkan satu glomerolus dengan glomerolus lainya, dan sel
granula, yang tidak memunyai akson dan membentuk sinaps timbale balik (resiprokal)
dengan dendrite lateral sel mitral dan sel tufted. Di sinaps ini, sel mitral dan sel tufted
merangsang sel granula dengan pelepasan glutamate, sedang di sisi sel granula sinaps
akan menghambat sel mitral dan sel tufted dengan mengeluarkan GABA.
5
Gambar 2.7 Lokasi dan Sirkuit dasar di bulbus olfaktorius
Korteks Olfaktorius
Akson sel mitral dan sel tufted berjalan ke posterior melalui stria olfaktorius
intermedia dan stria olfaktorius lateral ke korteks olfaktorius. Akson sel mitral
berakhir di dendrite apical sel pyramid di korteks olfaktorius. Pada manusia, tindakan
mengendus-endus akan menggiatkan korteks piriformis, tetapi menghidu dengan atau
tanpa mengendus-endus menggiatkan girus orbitofrontal lateral dan anterior dari
lobus frontalis. Penggiatan orbitofrontalis pada umumnya lebih besar pada sisi kanan
dari pada sisi kiri. Dengan demikian , representasi penghidu pada korteks bersifat
asimetris. Serat lain menuju ke amigdala, yang mungkin berperan dalam respon emosi
terhadap rangsang penghidu, dan ke korteks entorinal, yang berperan dalam ingatan
penghidu.
6
Saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media kemudian turun kearah nasofaring, sehingga udara berbentuk lengkungan atau
arkus. Saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang
sama seperti saat inspirasi, di bagian depan aliran udara memecah sebagian melalui nares
anterior dan sebagian lagi ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
udara nasofaring.
b. Pengatur kondisi udara
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
c. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir dan enzim yang
dapat menghancurkan beberapa bakteri yang disebut lisozim.
d. Indera penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum nasi. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.
Epitel olfaktorius adalah epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan terdiri dari tiga
macam sel-sel saraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Lamina propia di
daerah olfaktorius mengandung kelenjar olfaktorius Bowman. Sel penunjang dan kelenjar
Bowman (Graziadei) yang menghasilkan mukus cair.
Diantara sel-sel penunjang terdapat sel olfaktorius yang bipolar, sedangkan di bagian
puncak sel terdapat dendrit yang telah berubah bentuk dan melanjutkan diri ke permukaan
epitel, kemudian membentuk bulatan disebut vesikel olfaktorius. Menurut teori
stereokimia untuk penghidu setiap bau dari ketujuh bau-bauan kimia atau dasar, indera
penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat elektrofilik
atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor-reseptor yang bentuk dan
dimensinya tertentu sehingga satu molekul bau yang spesifik membutuhkan partikel
reseptor tersendiri. Bau-bauan primer seperti bau-bauan eterial, kamper, “musky”, wangi
bunga, bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau amandel, merupakan
kombinasi yang ditimbulkan oleh pertautan molekul-molekul dengan dua atau lebih
reseptor primer.
Teori lain berpendapat bahwa kualitas molekul yang dianggap sebagai bau
adalah interaksi antara vibrasi dengan organ reseptor. Kemungkinan besar, permulaan
perjalanan impuls pada nervus olfaktorius adalah rangsangan pada batang olfaktorius atau
silia, mungkin oleh larutan partikel bau-bauan dalam lendir. Pada perangsangan sel
reseptor, akan timbul perubahan potensial listrik yang menghasilkan penjalaran impuls ke
bulbus olfaktorius untuk merangsang sel mitral. Bulbus olfaktorius mempunyai aktivitas
listrik yang menetap dan terus-menerus.
Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen setebal 1
mikrometer, yakni akson. Bersama-sama akson lainnya berkumpul membentuk gabungan
7
20 filamen disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui lubang pada lamina kribrosa dan
memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini tidak bermielin.
Di dalam bulbus olfaktorius akson dari nervus olfaktorius akan berhubungan dengan
sel-sel mitral dan akson ini meninggalkan bulbus untuk membentuk traktus olfaktorius
yang berjalan sepanjang dasar lobus frontalis untuk kemudian masuk ke korteks
piriformis, komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus olfaktorius dan limbus
anterior kapsula interna dengan hubungan sekunder.
e. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia).
f. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan
palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
g. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.
8
Gambar 2.9 Alur Proses Penciuman
Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein
membran pada dendrit. Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-
ribu akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori). Saraf
otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga hidung kemudian
bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan impuls dijalarkan ke daerah
pembau primer pada korteks otak untuk diinterpretasikan.
Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau),
atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau). Pada manusia telah telah ditemukan
beberapa lusin jenis anosmia yang berbeda; kelainan-kelaina ini diperkirakan desebabkan
oleh tidak adanya atau gangguan fungsi salah satu dari banyak kelompok reseptor bau.
Ambang penghidu meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan lebih dari 75%
orang berusia di atas 80 tahun mengalami gangguan mengidentifikasi bau.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hidung merupakan salah satu dari panca indra yang berfungsi sebagai indra pembau.
Indra pembau berupa kemoreseptor yang terdapat di permukaan dalam hidung, yaitu pada
lapisan lendir bagian atas. Reseptor pencium tidak bergerombol seperti tunas
pengecap.Epitelium pembau mengandung 20 juta sel-sel olfaktori yang khusus dengan
aksonakson yang tegak sebagai serabut-serabut saraf pembau. Di akhir setiap sel pembau
pada permukaan epitelium mengandung beberapa rambut-rambut pembau yang bereaksi
terhadap bahan kimia bau-bauan di udara, Hidung manusia di bagi menjadi dua bagian
rongga yang sama besar yang di sebut dengan nostril. Dinding pemisah di sebut dengan
septum, septum terbuat dari tulang yang sangat tipis.
Rongga hidung di lapisi dengan rambut dan membran yang mensekresi lendir lengket.
Cara kerja indera penciuman yaitu indera penciuman mendeteksi zat yang melepaskan
molekul-molekul di udara. Di atap rongga hidung terdapat olfactory epithelium yang
sangat sensitif terhadap molekul-molekul bau, karena pada bagian ini ada bagian
pendeteksi bau(smell receptors). Receptor ini jumlahnya sangat banyak ada sekitar 10
juta. Ketika partikel bau tertangkap oleh receptor, sinyal akan di kirim ke the olfactory
bulb melalui saraf olfactory. Bagian inilah yang mengirim sinyal ke otak dan kemudian di
proses oleh otak bau apakah yang telah tercium oleh hidung kita, apakah itu harumnya
bau sate padang atau menyengatnya bau selokan. Fungsi hidung terbagi atas beberapa
fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring
udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses
bicara,(7) Reflek nasa.
3.2 Saran
1. Jagalah kebersihan pada hidung
2. Hindarilah hal-hal yang dapat membuat hidung mengalami gangguan
3. Jika sudah mengalami gangguan/kerusakan pada hidung segeralah diobati
4. Gunakanlah masker jika berada pada tempat yang banyak debu dan polusi agar
terhindar dari gangguan pada indera penciuman / pembau
10
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger, JJ. 1994. Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara.
Hilger, PA. 1997. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit
THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.
Soetjipto, D., Mangunkusumo, E. 2001. Sumbatan Hidung dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Seksi Laboratorium Psikologi Faal, 2001, Petunjuk Praktikum Psikologi Faal, Yogyakarta :
Laboratorium Psikologi Faal Fakultas Psikologi UGM.
11