Anda di halaman 1dari 4

Taksa Rasa

(Triana Yulianti|XII MIPA 5|36)

Lantunan lagu Don’t Let Me Down dari The Chainsmokers menghentak dari dalam
studio tari milik SMA Cendikia pada pagi hari ini. Dari dalam studio tari tersebut
terlihat gadis berambut panjang yang dibiarkan terurai itu terlihat tengah menyeka
bulir keringat yang ada di dahinya. Ia Gayatri Mandanu, gadis bermata bulat dengan
bibir tipis itu tengah menutup botol air mineral yang baru saja diminumnya.

Gadis itu biasa disapa Aya, dia berhasil menjadi juara tari kontemporer pada tingkat
nasional. Selanjutnya dia akan mengikuti pertandingan ke tingkat internasional di
Paris empat bulan ke depan.

Di hadapan cermin besar, manik mata itu terus menatap pantulan tubuhnya yang
bergerak mengikuti lantunan lagu. Rambut hitam panjangnya yang dibiarkan terurai,
seolah-olah ikut menari, mengikuti tempo lagu.

Setiap satu minggu sekali Aya akan menunjukkan hasil latihannya pada Bu Iris,
guru tarinya untuk direvisi. Terlihat sangat melelahkan, saat dirinya harus bisa
membagi waktu antara belajar dengan menari. Namun, hobi ini sangat
menyenangkan.

Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pekikannya tertahan, lima


belas menit lagi bel sekolah akan berbunyi, lalu dengan terburu-buru dia mengambil
handuk dan seragam sekolahnya menuju kamar mandi yang ada di dalam studio tari
tersebut.

Setelah bersih-bersih, gadis itu bergegas menuju kelasnya. Koridor pagi ini tampak
sepi, hal ini membuat Aya menjadi lebih leluasa menuju kelas. Mungkin sebagian
orang akan beranggapan bahwa menari adalah hobinya. Namun, bagi Aya sendiri,
menari adalah hidupnya. Ada begitu banyak perasaan yang tak mampu diungkapkan
melalui perkataan, maka dari itu, dia lebih memilih untuk mengungkapkannya melalui
tarian.

Derap langkah kakinya tertahan tatkala ia melihat gadis bermata sipit yang berdiri di
depan pintu kelas dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku roknya. Gadis
dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai itu dapat merasakan bahwa sorot mata
tajam itu menghunusnya.

“Anne” ujar Aya.

“Mundur” ucap Anne, tampak gadis bermata sipit itu menarik nafasnya, “Mundur
dari perlombaan itu” sambungnya.

Kelas yang semula berisik, sesaat menjadi hening mendengar ucapan Anne.
Memang, seisi kelas sudah mengetahui adanya perang dingin antara Aya dan Anne.
Kejadian ini bermula saat Aya yang terpilih seleksi untuk mengikuti perlombaan
tingkat internasional di Paris itu. Dulunya baik diantara Aya maupun Anne
merupakan teman dekat, karena hobi yang sama itu menjadikan mereka berdua
sebagai partner menari pada tingkat nasional kemarin.

Namun, semua itu berubah kala Bu Iris menyebutkan hanya Aya saja yang
mengikuti perlombaan itu. Anne mulai menjauhi Aya dan menganggap gadis itu
sebagai musuhnya.

Aya menatap gadis yang ada di hadapannya, “Keputusan Bu Iris udah mutlak, dan
gak mungkin juga buat mundur dari perlombaan itu”

“Kamu!” kata Anne geram.

Bel masuk berbunyi nyaring, hal itu membuat Anne bersungut-sungut


meninggalkan Aya yang masih berdiri di ambang pintu.

***

Sudah jadwalnya untuk menunjukkan hasil latihan menarinya kepada Bu Iris.


Perlahan, gadis itu membuka pintu studio tari. Ia cukup terkejut kala lantunan lagu I
See The Light menyapa indera pendengarannya. Terlebih lagi, gadis dengan rambut
panjang yang selalu dibiarkan terurai itu melihat siluet tubuh Anne yang tengah
menari.

Cukup lama dirinya memperhatikan Anne yang tengah menari, lagu berganti dengan
lagu A Thousand Years. Sontak, tubuh Aya mengikuti alunan lagu, tubuh mereka
berdua bergerak mengikuti alunan lagu. Tanpa mereka sadari, Bu Iris ikut
menyaksikan tarian mereka. Lagu selesai, Bu Iris tersenyum, lampu studio tari
kemudian menyala.

“Bagus sekali” puji Bu Iris.

Aya tersenyum tipis lalu mengikat rambutnya. Anne, menutup kembali botol air
mineralnya. Ekspesinya berubah menjadi datar berbeda saat tadi ia menari.

“Anne” panggil Bu Iris, yang membuat Anne mengurungkan niatnya untuk keluar
dari studio tari ini.

Bu Iris sudah mengetahui apa yang terjadi antara Aya dengan Anne. Keduanya
sama-sama berbakat, namun, Aya yang terbaik. Gadis bermata bulat itu, menjadikan
tariannya menjadi hidup, seolah-olah dirinya menjadi tokoh nyata dari lagu yang
dibawakan.

“Kalian berdua sangat menakjubkan” ujar Bu Iris.

“Tapi, kenapa harus Aya? Seolah-olah saya menjadi tokoh figuran saat ini” balas
Anne, lalu menutup pintu studio tari.

Aya menghela nafasnya, selalu seperti ini saja. Dirinya lelah membahas persoalan
yang sama. Dia ingin mundur, tapi, keputusan Bu Iris tidak dapat diganggu.
Perlombaan tinggal menhitung beberapa minggu lagi, namun, konsentrasinya harus
terbagi pada persoalan yang tiada habisnya.
Kondisi rumah sepulang sekolah ini sepi, mengingat Aya hanyalah anak tunggal
dari kedua orang tua yang sibuk bekerja. Papanya bekerja sebagai kepala HRD di
sebuah perusahaan di bidang material sedangkan mamanya memilih untuk membuka
usaha toko kue.

Malam ini seperti malam-malam sebelumnya, Aya akan makan malam bersama
kedua orang tuanya. Gyani, mama Aya duduk di hadapannya setelah menuangkan teh
hangat untuk papa. Saat itu, pandangannya tak berpindah dari ekspresi datar mama.
Kepribadian mama dan papanya sangat berbanding terbalik. Papa periang sedangkan
mama cenderung pendiam seperti dirinya.

“Gimana latihan hari ini Aya?” Tanya Papa setelah menyesap teh yang baru saja
dituangkan oleh mama

Pertanyaan itu mengagetkan Aya, kontan ia langsung menoleh ke arah papanya.


“Berjalan dengan baik Pa”

Papa menganggukkan kepalanya sambil menikmati makan malam, Papa kemudian


mengajak Aya berceloteh. Mulai dari berbagai cerita tentang perlombaannya.
Sedangkan mama, fokus untuk menghabiskan makan malamnya. Sejujurnya, dia ingin
dekat dengan mama. Tapi, wanita paruh baya itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

***
Aya merasa udara yang ada di sekitarnya tinggal segenggam, membuatnya sedikit
sulit untuk bernapas. Dadanya naik turun seiring dengan tanah yang kini sudah
menumpuk, meninggalkan jejak tubuh Gyani yang terkubur di bawah sana. Terlihat
raut wajah sedih yang begitu ketara, bahkan tanpa suara sudut matanya menitikan air
mata.
Mama pergi selama-lamanya, semalam. Bahkan sebelum Aya mengatakan bahwa
dia ingin dekat dengan wanita itu. Sejak pagi, langit Jakarta menangis. Menandakan
bahwa hari ini, dunianya runtuh. Pada saat prosesi pemakaman hanya dihiasi oleh
langit mendung.
Sama seperti dirinya, papa juga ikut hancur, mendung di wajah papa begitu ketara.
Perlombaan yang tinggal satu minggu lagi membuat hidup Aya berantakan. Dia tidak
siap menerima hari-hari itu.
Aya mengerjapkan matanya, rupanya dia baru saja melamun. Empat hari sudah
kepergian mama, membuatnya semakin tidak berdaya. Di hari pemakaman mama,
Anne datang, gadis itu sudah bisa menerima, mereka berdua menjadi dekat lagi. Saat
ini dirinya sudah berada di Paris ditemani Bu Iris. Papa dan Anne tidak dapat ikut,
papa karena masalah kesehatan. Sedangkan Anne, harus menjalani operasi leukimia.
Dirinya terkejut saat mengetahui Anne mempunyai penyakit seperti itu. Entah
mengapa dunia sangat mempermainkannya. Perlombaan akan dimulai beberapa menit
lagi. Mengingat ucapan Anne waktu itu, dirinya harus memenangkan perlombaan ini.
“Gak bisa gini terus Aya, kamu harus bangkit, jangan bersedih terus. Kamu harus
menang lagi”
Sekarang dirinya mengerti mengapa Anne sangat ingin mengikuti perlombaan ini.
Dia menarik nafasnya, namanya telah dipanggil, gadis itu melangkahkan kakinya
dengan jantung yang berdebar kencang. Tubuh gadis itu mengikuti lantunan lagu,
menjabarkan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Sedangkan Bu Iris, wanita itu
tersenyum tipis menyaksikan pertunjukkan Aya.
Gadis itu selesai dengan tarian keduanya, dia meneguk air mineral. Bu Iris
menatapnya lamat, kemudian memeluk gadis itu.
“Apapun hasilnya nanti, kamu yang terbaik bagi Ibu” ucapnya.

Gadis itu tersenyum, meski jantungnya berdebar dengan kencang. Sebentar lagi
pengumuman kejuaraan, Aya menerima kabar bahwa Anne sudah selesai operasi dan
sudah siuman. Gadis itu menerima panggilan video dari Anne.

Dan, detik-detik berharga bagi Aya, saat namanya disebut sebagai juara kedua.
Gadis itu menangis sambil memeluk Bu Iris, sedangkan Annen tersenyum dengan
mata terpejam.

Kepulangannya disambut air mata bahagia, dan air mata kesedihan. Anne telah
berpulang, membuat Aya semakin runtuh. Lewat tarian dia bisa mengungkapkan
perkataan yang tak bisa ia ungkapkan. Semuanya tentang kamu yang tak kunjung
peduli. Percayalah, bahwa sebenarnya aku menunggumu kembali. Datang ke sini dan
tak pernah pergi lagi.

Anda mungkin juga menyukai