Anda di halaman 1dari 9

Nadran dan Jurig Topeng

Cerpen karya Adelia Agustin

Bel istirahat berbunyi. Siswa dan siswi berhamburan keluar kelas


menyambut istirahat.

Seorang gadis dengan jepitan rambut berwarna merah muda menghias di


rambutnya yang panjang. Gadis itu menghabiskan waktu istirahat di sebuah taman
di pinggir surau dan menghadap ke sebuah kolam ikan. Gadis itu lantas memandang
tajam dengan bahagia melihat betapa cantiknya bias pelangi di air mancur yang
terbentuk karena sinar matahari.
Tidak lama setelah gadis itu duduk memandang ke arah kolam teman-
temannya pun menghampiri, dan mereka asyik menyanyi.
Seorang gadis dengan paras manis dan pipi cabi yang tengah duduk di kursi
panjang berwarna abu bernama Alea. Di sampingnya duduk seorang lelaki
berambut ikal dengan lengan baju dilipat bernama Aksha. Di depannya seorang
lelaki tampan yang tengah asyik bermain gitar bernama Affandra.
Gadis itu memanggil teman-temannya yang tengah asyik menyanyi, “Sha,
Dra, Lea. Sini, ada pelangi!”
“Dimana?”, sahut Alea.
“Lihat ke arah air mancurnya. Cantik, kan?”, ujar Arunika.
“Wah. Iya.”, ujar Alea kegirangan.
“Iya, nih cantik banget pelanginya mirip kamu Nika.”, ujar Affandra
menggombal.
“Emang boleh segombal itu?”, ujar Aksha menimpali Affandra.
Kemudian, mereka membahas tugas kelompok P5 (Proyek Penguatan Profil
Pelajar Pancasila) bertemakan Kearifan Lokal yang tenggatnya pekan
depan.
“Teman-teman ada yang punya usulan soal objek apa yang harus kita
laporkan untuk P5?,” tanya Arunika.
“Kalau objeknya Wayang Golek, bagaimana?” usul Affandra..
“Kalau wayang golek, mungkin kita harus ke Bandung. Takut, polisi.”,
balas Arunika.
“Reog sepertinya seru.”, usul Aksha.
“Itu jauh banget. Memangnya kita ada ongkos buat pergi ke sana?”, timpal
Alea.
“Sudah wayang golek saja. Soal ongkos, gampang!”, ujar Affandra.
“Jelas gampang menurut anak tunggal kaya raya yang kebun rambutannya
satungtung deuleu. Apa kabar aku.”, timpal Alea.
“Ya terus apa?”, ucap Affandra.

Mereka masih kebingungan akan objek tugas P5nya. Mereka benar-benar


tidak tahu mesti kemana mencari objek kearifan lokal.
“Sudah jangan bertengkar. Bagaimana kalau kita ke pantura Subang saja,
kan asyik tuh pulangnya bisa nongkrong sambil minum es kelapa di pinggir
sawah.”, sahut Affandra yang sepertinya begitu ingin minum es kelapa di
pinggir sawah.
“Memang di pantura ada apa dan siapa yang bisa kita wawancarai soal
tugas kita.”, tanya Arunika.
“Bibiku bilang di sana katanya bakal ada acara Nadran. Kalau mau ke sana
nanti aku minta pamanku untuk mengantar.”, balas Affandra.
“Hah. Nadran?”, tanya Alea dan Arunika kebingungan.
“Setahuku, nadran itu pesta laut. Nah, itu tuh salah satu tradisi orang-orang
di pantura.”, jelas Aksha.
“Boleh. Selain dekat, sepertinya menarik juga.”, ujar Arunika dengan nada
kekinian pada diksi boleh.

Bunyi bel menggema di seluruh penjuru sekolah menandakan waktu


istirahat telah usai. Siswa dan siswi kembali memasuki ruang kelas untuk
melanjutkan pembelajaran. Mereka menyudahi diskusi dengan keputusan akan
pergi ke pantura Subang.

***
Beberapa hari kemudian setelah bunyi bel pulang sekolah Affandra, Aksha,
Alea, dan Arunika terlihat berjalan bersama menuju parkiran untuk pergi ke
pantura. Mereka tampak gembira. Apalagi jam pulang lebih awal, karena sekolah
ada persiapan untuk kegiatan-kegiatan penyambutan tamu.
Ketika hampir sampai parkiran mereka bertemu dengan Shanum teman
sekelas mereka.
“Eh kalian!”, panggil Shanum.
“Iya, Shan.”, sahut Arunika.
“Kalian mau pergi ke pantura, ya?”, tanya Shanum.
“Iya. Emangnya kenapa, Shan?”, tanya balik Arunika.
“Kamu tahu dari mana, Shan?”, tanya balik Alea.
“Aku enggak sengaja dengar perbincangan kalian pas di depan surau.
Omong-omong kalian yakin mau kesana sekarang? Sudah, cukup sore, lho.
Kalau ke sana mau pulang jam berapa nantinya. Apalagi nanti malam,
malam Jumat. Kalau tidak salah nanti malam juga ada gerhana bulan, kan.”,
ujar Shanum bercerita.
“Iya, nih, Sha. Acaranya memang hari ini. Kebetulan juga, kita dipulangkan
lebih awal. Jadi, makanya kita langsung gas ke sana. Semoga saja tidak
kemalaman di jalan.”, ujar Arunika membalas cerita Shanum.
“Hm. Ya sudah. Cuman, hati-hati! Setahuku di sana masih kental cerita
lisan tentang hal mistis.”, ujar Shanum memberitahukan.
“Ya ampun, Shanum. Zaman sekarang masih percaya saja dengan hal-hal
begitu.”, timpal Affandra membantah Shanum.
“Aku tahu, sih tentang cerita itu. Cuman, ayolah itu kan hanya cerita.”,
balas Aksha.
“Ya, itu terserah kalian. Aku hanya menginfokan saja. Setidaknya, kalian
jejaga. Jangan sampai kemalaman. Semoga menyenangkan penelitian
kalian.”, ujar Shanum mengingatkan.
Setelah mengatakan itu, Shanum meninggalkan mereka. Hanya Aksha yang
mengindahkan perkataan Shanum, sedangkan yang lainnya hanya mendengarkan
sebelah kuping saja.
***

Sesampainya di parkiran mereka lantas dengan segera menuju tempat


diadakannya Upacara Nadran.
Kurang lebih satu jam perjalanan akhirnya mereka sampai. Di sana mereka
sudah ditunggu oleh pamannya Affandra.
Pamannya Affandra menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan di Upacara Nadran itu. Kemudian, mereka mulai mengerjakan tugas
laporan.
Upacara pun dimulai sekiranya pukul satu siang. Upacara diawali dengan
warga yang mengarak gunungan yang berisi hasil bumi dan hasil laut yang dibawa
ke bibir pantai. Upacara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan dan persembahan
tari-tarian daerah seperti jaipong, tari sintren, dan tari merak.
Kemudian, pemimpin upacara yang disebut sesepuh Nadran pun mulai
merapalkan mantra-mantra dan memanjatkan pujian serta doa. Setelah pembacaan
mantra dan doa selesai gunungan pun disilakan untuk diperebutkan oleh peserta
upacara ataupun masyarakat umum lainnya dan makan bersama.
Lalu, pemimpin upacara dan beberapa panitia serta peserta upacara
bergegas ke perahu untuk melanjutkan puncak upacara yakni melarungkan kepala
kerbau dan hasil bumi di tengah lautan.
Mereka mengikuti kegiatan upacara sampai selesai termasuk ikut
melarungkan kepala kerbau dan saji-sajian lainnya ke tengah lautan.
Tidak terasa sudah setengah lima sore. Mereka mesti pulang karena
khawatir kemalaman di perjalanan. Hanya saja, pamannya Affandra mengajak
mereka untuk makan terlebih dahulu di rumahnya. Mereka pun mengindahkan
ajakan pamannya Affandra.
Sesampainya mereka di rumah paman dan bibinya Affandra. Mereka
disuguhkan nasi liwet, ikan bakar etong, udang bakar, dan semur kepiting. Mereka
begitu menikmati suguhan paman dan bibinya Affandra yang begitu baik.
Selepas makan, mereka pun beristirahat sambil memandangi pantai nan
indah dengan angin yang sepoi-sepoi yang membuat mereka hampir saja ketiduran.
Menjelang magrib, karena khawatir terlalu malam di perjalanan mereka pun
pamit.
“Teman-teman pulangnya sehabis magrib saja, bagaimana? Soalnya
nanggung bentar lagi magrib. Selain itu, gak boleh lho, keluar rumah atau bepergian
menjelang magrib begini. Kalau kata mamaku namanya sandekala.”, ujar Alea.
“Ealah kirain cuman shanum yang percaya begituan, ternyata kamu juga,
Alea.” ujar Affandra.
“Bukan begitu. Setidaknya kita mengindahkan ucapan orangtua, kan.”,
timpal Alea.
“Iya, juga.”, sahut Aksha.

Namun, akhirnya mereka pun memilih untuk tetap pulang.


***
Di perjalanan pulang mereka mendengar suara ombak pantai yang
berkejaran dan mendebur menghantam bebatuan di pinggir pantai. Mereka pun
melihat matahari yang hampir terbenam yang menghasilkan semburat jingga yang
menawan. Sepanjang perjalanan mereka begitu menikmati pemandangan dan
bernyanyi bersama.
Sekiranya sepuluh menit perjalanan tetiba motor yang dikendarai Aksha dan
Arunika hampir menabrak seekor kucing dan kemudian motor tersebut mogok.
“Kenapa, Sha?”, tanya Affandra.
“Tadi ada kucing lewat. Aku kurang tahu, nih. Perasaan bensin penuh dan
tadi juga motor baik-baik saja. Tetiba saja begini.”, sahut Aksha.
“Perasaan aku tidak lihat kucing lewat.”, sahut Affandra dan Alea.
Alea melihat ke sekitar dengan pandangan 360 derajat. Alea begitu
ketakutan karena di tempat motor itu mogok benar-benar hanya pesawahan, kebun,
sungai, dan makam-makan kuno yang dibentengi tembok dan pohon-pohon cemara
yang melambai-lambai dan bergerak kiri-kanan tertiup angin.
“Lea, kita tunggu di situ, yuk! Ada gubuk. Biar cowok-cowok saja yang
benerin motornya.”, ujar Arunika.
“Iya. Kalian tunggu saja di sana. Lumayan butuh waktu, ini sepertinya.
Kesian kalau berdiri terus.”, sahut Aksha.
Alea dan Arunika pun duduk di sebuah dipan di gubug itu. Sambil
menunggu kedua temannya tengah memperbaiki motor, Arunika mengalihkan
pandangan ke sebuah tempat.
“Lea, itu tempat apa?”, tanya Arunika.
“Aduh, Nika kan kita baru saja ke sini. Ya, mana aku tahu. Sudah, ah
jangan lihat kemana-mana.”, balas Alea.
“Tapi aku penasaran, Alea. Mungkin saja ada orang di dalamnya yang bisa
kita mintai bantuan.”
Affandra dan Aksha yang tengah memperbaiki motor nampak cukup
kelelahan, karena motor tak kunjung membaik. Affandra merasa ingin kencing dan
ia pun akhirnya kencing di balik gubug.
Arunika merasakan hal aneh. Ia merasa ada yang memperhatikannya dan
mendengar suara gamelan yang begitu jelas.
“Alea, kamu dengar sesuatu tidak?”, tanya Arunika.

“Dengar apa, Nika?”, balas Alea.


“Sha, Dra, kalian dengar ada suara gamelan?”, Arunika meyakinkan
dirinya.
“Aku tidak dengar suara gamelan, Nika. Cuman dengar suara nyamuk, nih
dari tadi muter-muter ngiang di kuping.”, sahut Affandra.
“Mungkin cuman perasaanmu saja, Nika. Barusan memang kita ikutin
Upacara Nadran, tuh. Ada musik-musik begitu yang mengiring tarian.”. ujar
Aksha.
Arunika seolah terpanggil dengan alunan gamelan itu. Ia mulai berjalan
mendekati sebuah tempat yang dikelilingi dengan tembok dan pohon cemara.
Arunika berjalan menghampiri tempat tersebut dengan tatapan kosong dan tanpa
pamit atau minta ditemani Alea. Alea yang ketakutan terjadi sesuatu pada
sahabatnya. Ia pun berteriak memanggil Aksha dan Affandra.
Alea teringat ucapan Shanum akan sebuah cerita rakyat di pantura Subang
tentang Jurig Topeng. Alea pun semakin takut setelah mengingat hal itu. Aksha
yang sebenarnya sudah mengetahui cerita tersebut berusaha tetap tenang agar tidak
membuat suasana semakin mencekam.
Arunika yang tak terkendali, kendati sudah diberitahukan oleh teman-
temannya untuk tidak mendekati tempat itu sepertinya dihiraukan begitu saja. Tidak
lama, Arunika pun pinsan.
Alea tetiba mendengar alunan gamelan. Ternyata bukan cuman Alea,
Affandra pun kini mendengarnya.
Sebenarnya Aksha mendengar juga alunan gamelan tersebut. Hanya saja
supaya tidak membuat suasana menjadi tidak karuan. Aksha berusaha
menenangkan teman-temannya. Aksha, Affandra, dan Alea pun mendekati Arunika
yang pingsan dan mencoba untuk membangunkannya.
Arunika tak kunjung sadarkan diri. Alea mendengar alunan gamelan
semakin jelas yang membuatnya semakin takut. Tercium wangi-wangian daun
pandan, kemenyan, melati, dan kenanga begitu menyengat hidungnya. Hal itu pun
dirasakan oleh Affandra dan Aksha.
Tetiba Arunika terbangun dan tertawa serta menangis tak terkendali. Rupanya
Arunika kerasukan. Makhluk itu pun meminta pertolongan untuk dibawa pulang.
Arunika beranjak berdiri dan menari tak terkendali mengikuti alunan
gamelan yang Affandra, Alea, dan Aksha dengar. Mereka tak tahu mesti melakukan
apa. Affandra mencoba menelpon pamannya untuk meminta bantuan.
Arunika menari dengan tatapan kosong. Alea, Affandra, dan Aksha merasa
ada kabut putih menyelimuti mereka. Alunan gamelan terdengar semakin keras.
Alea sangat ketakutan dan hanya bisa menjerit histeris. Hingga akhirnya Alea pun
ikut tak sadarkan diri. Arunika masih saja menari dengan tak terkendali.
Sekitar 15 menit kemudian paman dan bibi Affandra serta ustaz dan tetua
kampung juga beberapa tetangga paman dan bibi Affandra tiba di tempat. Arunika
yang masih menari tak terkendali dibantu oleh Pak Ustaz dan tetua kampung untuk
disadarkan. Sementara, Alea dibantu oleh bibinya Affandra untuk disadarkan.
Beberapa waktu kemudian Arunika akhirnya sadarkan diri begitu juga Alea.
Arunika terlihat begitu capek, karena tubuhnya dipakai oleh makhluk penghuni
tempat tersebut. Menurut tetua kampung, makhluk yang masuk ke tubuh Arunika
adalah Jurig Topeng yang memang akan masuk ke tubuh seseorang yang tepat
untuk dimintai bantuan terlebih saat Samagaha. Selain itu, Jurig Topeng dan
beberapa penunggu lainnya yang ada di sana pun marah karena ada yang buang air
kecil sembarangan.
Mereka dibawa kembali ke rumah paman dan bibinya Affandra untuk
bermalam di rumahnya dan akan pulang di keesokan harinya.

***
Tulat mereka kembali ke sekolah seperti biasa dan menyampaikan
presentasi hasil penelitian mereka tentang Upacara Nadran dan Perjalanan empat
serangkai ke Pantura.
Hasil penelitian mereka mendapat pujian dan tepuk tangan yang gemuruh
dari seluruh hadirin di Aula Sekolah dalam kegiatan pelaporan hasil penelitian
tentang kearifan lokal.

Glosarium
Satungtung deuleu berarti terlihat sampai ujung mata memandang.
Samagaha berarti gerhana bulan atau matahari.

Biodata Penulis
Namaku Adelia Agustin. Saat ini aku duduk di bangku kelas IX SMP. Aku
sering dipanggil Adel atau bocil oleh temen-temenku, karena sifatku yang mirip
anak kecil. Aku lahir pada tanggal 6 Agustus 2009. Jadi, saat ini usiaku sekarang
15 tahun. Aku punya hobi menulis dan menggambar. Aku pun senang membuat
poster dan komik. Aku suka menulis saat aku duduk di bangku kelas 7 SMP.
Makanan kesukaanku banyak banget, tapi yang paling aku suka itu nasi goreng, mie
goreng dan ramen. Aku suka liat anime. Anime kesukaanku adalah Kimetsu No
Yaiba, Naruto, Blue lock, dll. Aku aktif sebagai anggota ekstrakurikuler Paskibra,
Komunitas Literasi Sekolah, dan Kelas Tiba untuk Berkarya.

Anda mungkin juga menyukai