Anda di halaman 1dari 10

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN (TYPHUS ABDOMINALIS)

Pokok Bahasan : Gangguan Sistem Pencernaan (typhua abdominalis)


Sasaran : Mahasiswa ITKM WCH
Metode : ceramah dan tanya jawab
Media : leaflet
Waktu : 30 menit
Tempat : Aula institut teknologi kesehatan malang
Hari/Tanggal :

A. TIU ( Tujuan Intruksional Umum ) Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti penyuluhan 30 menit tentang gangguan sistem pencernaan


(typhus abdominalis) diharapkan sasaran mampu mengetahui dan memahami tentang
gangguan sistem pencernaan (typhus abdominalis)
B .TIK ( Tujuan intruksional Khusus ) Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan ini diharapkan sasaran mampu :
1. Pengertian dan penyebab tifus abdominalis
2. Tanda dan gejala serta penularan tifus abdominalis
3. Pengobatan dan pencegahan tifus abdominalis
C. SASARAN
Mahasiswa ITKM WCH
D. POKOK MATERI
1. Pengertian dan penyeba tifus abdominalis
2. Tanda dan gejala serta penularan tifus abdominalis
3. Pengobatan dan pencegahan tifus abdominalis
E .METODE
1. Ceramah
2. Diskusi/tanya jawab
F.MEDIA
1. Leaflet
G.KEGIATAN PENYULUHAN

NO KEGIATAN RESPON WAKTU


1. Pendahuluan 5 menit

a. Penyampaian salam a. Menjawab salam

b. Perkenalan b. Memperhatikan

c. Menjelaskan topik penyuluhan c. Memperhatiksn

d. Menjelaskan tujuan d. Memperhatikan

e. Menjelaskan waktu e. Memperhatikan


pelaksanaan

2. Penyampaian Materi 20 menit


1. Memperhatikan
1. Materi penjelasan dan
 Pengertian dan penyebab mencermati materi
typhus abdomenialis 2. Bertanya
 Tanda dan gelaja serta 3. Memperhatikan jawaban
penularan typhus
abdomenialis
 Pengobatan dan
pencegahan typhus
abdomenialis
2. Memberikan kesempatan untuk
bertanya tanya
3. Menjawab pertanyaan audien
3. Penutup a. Memperhatikan 5 menit
a. Menyimpulkan hasil b. Menjawab salam
penyuluhan
b. Mengakhiri dengan salam

H.KRITERIA EVALUASI
1. Kriteria struktur
a. Peseta hadir 12 orang
b. Penyelenggara penyuluhan dilakukan di runag kelas
2. Kriteria proses
a. Peserta antusias terhadap materi penyuluhan
b. Peserta mengajukan pertanyaan
3. Kriteria hasil
a. Peserta mampu memahami klasifikasi typhus abdomenialis
b. Peserta mampu memahami tanda dan gelaja serta penularan typhus abdomenialis
c. Peserta mampu memahami pengobatan dan pencegahan typhus abdomenialis
Materi edukasi Kesehatan
Gangguan system pencernaan (Typhus Abdomenialis)
A. Pengertian
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang terjadi di selaput lendir
usus dan jika tidak diobati secara progresif menyerang jaringan di seluruh tubuh. Aspek paling
penting dari infeksi ini adalah kemungkinan terjadinya perforasi usus karena satu kali
organisme ini memasuki perut pasti timbul Peritonitis yang mengganas, bila ini terjadi
progonosisnya sangat jelek. Komplikasi lain ialah pendarahan per anus dan infeksi terlokalisasi
(Meningitis, dan lain lain) (Tambayong, 2000). Menurut Ochiai, R Leon (2008) Tifus
Abdominalis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmenella Enterica serotipe
Typhi (Salmonella Tyhpi).
B. Etiologi Tifus Abdominalis
Etiologi Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella. Bakteri Salmonella adalah
bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella dan tidak membentuk spora. Bakteri
Salmonella Tpypi mempunyai 3 antigen penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu Antigen
O (Somatik), antigen H (flagella) dan antigen K (selaput) (Kunoli, 2013).
Mikoorganisme penyebab Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella Typhi dari
genus Salmonella. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk basil atau batang, gram negatif,
bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan
anaerob fakultatif. Bakteri Salmonella Typhi memiliki ukuran antara 2-4x0,6 µm. Suhu
optimum untuk bakteri ini berkembang biak adalah 370C dengan pH antara 6-8. Bakteri
Salmonella Typhi ini dapat hidup sampai beberapa minggu di lingkungan seperti di dalam air,
es, sampah dan debu. Reservoir bakteri Salmonella Typhi adalah manusia yang sedang sakit
atau karier. Bakteri Salmonella Typhi mati pada pemanasan (suhu 600C) selama 15-20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorisasi.
Masa inkubasi Tifus Abdominalis 10-14 hari pada anak, variasi 5-40 hari, dengan
perjalanan penyakit kadang-kadang tidak teratur. Pembiakkan bakteri Salmonella Typhi selama
satu malam dalam kaldu, maka akan terjadi kekeruhan menyeluruh tanpa pembentukan selaput.
Koloni bakteri Salmonella Typhi tampak besar dengan garis tengah 2-3 mm, bulat agak
cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis (Kepmenkes RI No. 364, 2006).
C. Patofisiologi Tifus Abdominalis
Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi urin/feces dari penderita tifus akut dan dari para pembawa kuman/carrier.
Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui Finger, Files, Fomites, dan Fluids (Empat
F) ke makanan, minuman, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak (Kunoli,
2013).
D. Gejala Klinik Tifus Abdominalis
Kumpulan gejala-gejala klinis Tifus Abdominalis disebut dengan sindrom Tifus
Abdominalis. Beberapa gejala klinis yang sering pada Tifus Abdominalis diantaranya adalah
(Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
a. Demam
Gejala utama Tifus Abdominalis adalah Demam. Pada awal sakit, demam kebanyakan samar-
samar saja, selajutnya suhu tubuh sering turun naik. Demam pada pagi hari lebih rendah
dibandingkan sore dan malam (demam intermitten). Intensitas demam dari hari ke hari makin
tinggi yang disertai gejala lain seperti sakit kepala (pusing) yang sering dirasakan di area
frontal, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas
demam makin tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila kondisi pasien
membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada
akhir minggu ke 3. Demam intermitten pada pasein Tifus Abdominalis tidak selalu ada. Hal ini
bias terjadi karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada
anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.
b. Gangguan saluran pencernaan
Pada penderita Tifus Abdominalis sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam
yang lama, bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah, lidah kelihatan kotor dan ditutupi
selaput putih, ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih),
Pada umumnya penderita Tifus Abdominalis sering mengeluh sakit perut, terutama pada regio
epigastric (nyeri ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada awal sakit, sering terjadi
meteorismus dan konstipasi dan pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.
c. Gangguan kesadaran
Pada penderita Tifus Abdominalis umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa
penurunan kesadaran ringan. Penderita Tifus Abdominalis tampak apatis dengan kesadaran
seperti berkabut. Bila gejala klinis berat, tidak jarang penderita Tifus Abdominalis sampai
somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada
penderita Tifus Abdominalis toksik, gejala delirium lebih menonjol.
d. Hepatosplenomegali
Pada penderita Tifus Abdominalis sering ditemukan pembesaran hati dan atau limpa. Organ hati
terasa kenyal dan terdapat nyeri tekan.
e. Bradikardia relatif dan gejala lain
Pada penderita Tifus Abdominalis bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena
teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang
tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang paling sering digunakan adalah
bahwa setiap peningkatan suhu tubuh 10C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut
dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada Tifus Abdominalis adalah rose
spot yang biasanya ditemukan di regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang
berhubungan dengan komplikasi. Rose spot pada anak sangat jarang ditemukan malahan lebih
sering epistaksis.
E. Penularan Tifus Abdominalis
Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh tinja dan urine dari penderita atau carrier. Di beberapa negara penularan
terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-
buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu
yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga
berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikroogranisme dari tinja ke makanan. Di
dalam makanan, mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif,
dimana dosisnya lebih rendah pada Tifus Abdominalis dibandingkan dengan Paratifoid (Kunoli,
2013).
Bakteri Salmonella Typhi Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan
minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia dapat tercemar oleh komponen
feses atau urin dari pengidap Tifus Abdominalis. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang
sangat berperan pada penularan penyakit Tifus Abdominalis adalah (Kepmenkes RI No. 364,
2006) :
1. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa
Budaya cuci tangan yang tidak terbiasa tampak jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta
pengasuh anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rakhman, dkk (2009) tentang faktor–faktor
risiko yang berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid pada orang dewasa di RSUD dr H.
Soemarno Sosroatmodjo Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur diperoleh bahwa
faktor resiko kejadian Tifus Abdominalis adalah kebiasaan mencuci tangan pakai sabun
sebelum makan, dimana diketahui bahwa kebiasaan tidak mencuci tangan pakai sabun sebelum
makan, risiko terkena demam tifoid meningkat 2,625 kali lebih besar dibandingkan dengan
orang dewasa yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan pakai sabun.
2. Higiene makanan dan minuman yang rendah
Higiene makanan dan minuman yang rendah merupakan faktor paling berperan pada penularan
Tifus Abdominalis. Banyak sekali contoh untuk ini, diantaranya : makanan yang dicuci dengan
air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan
tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang
tidak dimasak dan sebagainya. Menurut Rakhman, dkk (2009) kebiasaan jajan makanan di luar
rumah berisiko terkena Tifus Abdominalis meningkat 1,17 kali lebih besar dibandingkan
dengan orang dewasa yang tidak pernah jajan makanan di luar penyediaan rumah.
3. Sanitasi lingkungan kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang
tidak memenuhi syarat Kesehatan
Penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) diperoleh bahwa determinan
kejadian Tifus Abdominalis di Indonesia adalah variabel lingkungan yang masih eksis yaitu
adanya saluran pembuangan limbah dan mempunyai tempat sampah diluar rumah masing-
masing Odds Ratio (OR) untuk terkena Tifus Abdominalis adalah 1,180 dan 1,098.
4. Penyediaan air bersih yang tidak memadai
Penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) diperoleh bahwa salah satu
determinan kejadian Tifus Abdominalis di Indonesia adalah penyediaan air bersih. Kualitas air
yang buruk mempunyai peluang sebesar 1,401 untuk terkena Tifus Abdominalis.
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
Menurut Rakhman, dkk (2009) keluarga yang tidak mempunyai jamban mempunyai risiko
terkena Tifus Abdominalis 1,1 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai
jamban.
6. Pasien atau karier Tifus Abdominalis yang tidak diobati dengan sempurna
Penyakit Tifus Abdominalis, meskipun sudah dinyatakan sembuh, penderita belum dikatakan
sembuh total karena mereka masih dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain (bersifat
carrier). Penderita dengan jenis kelamin perempuan kemungkinan untuk menjadi carrier 3 kali
lebih besar dibandingkan laki-laki. Menurut Rakhman, dkk (2009) adanya riwayat Tifus
Abdominalis mempunyai risiko terkena Tifus Abdominalis meningkat 2,244 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang yang anggota keluarganya tidak mempunyai riwayat Tifus
Abdominalis.
7. Belum membudaya program imunisasi untuk Tifus Abdominalis.
F. Masa Inkubasi
Masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bakteri yang menginfeksi ; masa
inkubasi berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata 8-14 hari. Untuk
Gastroenteris yang disebabkan oleh Paratifoid masa inkubasi berkisar antara 1-10 hari (Kunoli,
2013).
G. Komplikasi Tifus Abdominalis
Komplikasi Tifus Abdominalis sering timbul pada minggu ke 2 atau lebih, mulai dari
komplikasi ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi Tifus Abdominalis yang
sering terjadi diantaranya (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
1. Tifoid Toksik (Tifoid Enselofapati)
2. Syok Septik
a. Perdarahan dan Perforasi Intestinal
b. Peritonitis
c. Hepatitis Tifosa
d. Pankreatitis Tifosa
e. Pneumonia
f. Komplikasi lain
H. Gambaran Laboratorium Tifus Abdominalis
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk pasien Tifus Abdominalis adalah
(Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
1. Gambaran darah tepi
2. Pemeriksaan bakteriologis
1) Jenis pemeriksaan menurut biakan spesimen yaitu biakan darah, biakan bekuan darah,
biakan tinja, biakan cairan empedu, dan biakan air kemih.
2) Biakan Salmonella Typhi
3) Serologis Widal
Tes serologi Widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah dimatikan)
dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap komponen basil Salmonella di
dalam darah manusia (saat sakit, karier atau pasca vaksinasi). Prinsip tes serologi Widal adalah
terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yaitu aglutinin O dan H.
Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai puncaknya pada minggu
ke 3 sampai ke 5. Aglutinin O dapat bertahan sampai lama 6-12 bulan. Aglutinin H mencapai
puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun
kemudian.
Interpretasi hasil Widal :
1) Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Masing-masing daerah tidak
memiliki patokan nilai titer berbeda, tergantung endemisitas daerah masing-masing dan
tergantung hasil penelitiannya.
2) Batas titer yang dijadikan diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan atau perjanjian
pada satu daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong
kuat diagnosis Tifus Abdominalis.
3) Reaksi Widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis Tifus Abdominalis
4) Diagnosis Tifus Abdominalis dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan kenaikan
titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa
banyak faktor yang mempengaruhi reaksi Widal sehingga mendatangkan hasil yang
keliru baik negatif palsu atau positif palsu. Hasil negatif palsu seperti pada keadaan
pembentukan antibodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi
buruk, konsumsi obat-obat imunosupresif, penyakit Agammaglobulinemia, Leukemia,
Karsinoma lanjut, dan lain-lain. Hasil test positif palsu dapat dijumpai pada keadaan
pasca vaksinasi, mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu, aglutinasi
silang, dan lain-lain.
5) Mencari kuman pembawa Tifus Abdominalis
6) Pemeriksaan lain : PCR (Polymerase Chain Reaction), Typhi Dot IEA
I.Pengobatan Tifus Abdominalis
Pengobatan Tifus Abdominalis dilakukan dengan prinsip triologi penatalaksanaan
(Widoyono, 2011) yaitu :
1. Pemberian antibiotic
Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab Tifus Abdominalis.
Obat-obatan yang sering digunakan adalah :
a. Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari, dibagi 4 dosis selama 14 hari
b. Pemberian Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali
c. Pemberian Kotrimoksazol 480 mg, 2x2 tablet selama 14 hari
d. Sefalosporin generasi II dan III (Ciprofloxacin 2x500 mg) selama 6 hari; Ofloxacin 600
mg/hari selama 7 hari; Ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari).
2. Istirahat dan perawatan
Istirahat dan perawatan berguna untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita sebaiknya
beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari Tifus Abdominalis.
Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan keadaan penderita. Mengingat
mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan perlu dijaga karena ketidak
berdayaan pasien untuk buang air besar dan kecil.

3. Terapi penunjang
Terapi penunjang dilakukan agar tidak memperberat kerja usus. Pada tahap awal penderita
Tifus Abdominalis diberi makanan berupa bubur saring, selanjutnya dapat diberi makanan
yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.
Pemberian zat gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan
pasien.
J. Pencegahan dan Pemberantasan Tifus Abdominalis
1. Pencegahan
a. Penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan setelah buang air
besar dan sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan fasilitas untuk mencuci
tangan secukupnya. Hal ini penting terutama bagi mereka yang pekerjaannya sebagai
penjamah makanan dan bagi mereka yang pekerjaannya merawat penderita dan
mengasuh anak-anak.
b. Pembuangan kotoran pada jamban yang baik dan yang tidak terjangkau oleh lalat.
c. Sumber air perlu dilindungi dari zat yang bias mengkontaminasi. Lakukan pemurnian
dan pemberian klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada masyarakat.
Sediakan air yang aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari kemungkinan
terjadinya pencemaran (back flow) antara sistem pembuangan kotoron (sewer system)
dengan sistem distribusi air.
d. Pemberantasan lalat dengan menghilangkan tempat berkembangbiaknya dengan sistem
pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik (Kunoli, 2013).
Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan Tifus Abdominalis.
Merebus air minum dan makanan sampai mendidih juga sangat membantu. Sanitasi lingkungan,
termasuk pembuangan sampah dan imunisasi, berguna untuk mencegah penyakit. Secara lebih
detail, strategi pencegahan Tifus Abdominalis mencakup hal-hal berikut (Widoyono, 2011) :
a. Penyediaan sumber air minum yang baik
b. Penyediaan jamban yang sehat
c. Sosialisasi budaya cuci tangan
d. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
e. Pembersihan lalat
f. Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
g. Sosialisasi pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada ibu menyusui
h. Imunisasi
i. Walaupun imunisasi tidak dianjurkan di Amerika Serikat (kecuali pada kelompok yang
beresiko tinggi), imunisasi pencegahan Tifus Abdominalis termasuk dalam program
pengembangan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia. Akan tetapi, program ini masih
belum diberikan secara gratis karena keterbatasan sumber daya pemerintah. Oleh sebab
itu, orangtua harus membayar biaya imunisasi untuk anaknya.
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :
a. Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel Salmonella Typhi yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung
sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-
12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali dengan interval 4
minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin
jenis ini sudah tidak beredar lagi.

b. Vaksin oral Ty21a


Ini adalah vaksin oral yang mengandung Salmonella Typhi strain Ty21a hidup.
Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari
selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan
perlindungan selama 5 tahun.

c. Vaksin parenteral polisakarida


Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan
secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intra muscular pada usia mulai 2
tahun dengan dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama perlindungan sekitar 60-
70%. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena relative paling aman.
Imunisasi rutin dengan vaksin tifoid pada orang yang kontak dengan penderita
seperti anggota keluarga dan petugas yang menangani penderita tifoid dianggap
kurang bermanfaat, tetapi mungkin berguna bagi mereka yang terpapar oleh carrier.
Vaksin oral tifoid bisa juga memberi perlindungan parsial terhadap demam
Paratifoid, karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang efektif untuk
demam Paratifoid.

2. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya

a. Isolasi : pada waktu sakit, lakukan kewaspadaan enterik ; sebaiknya perawatan


dilakukan di rumah sakit pada fase akut. Supervisi terhadap penderita dihentikan
apabila sampel darah yang diambil 3 kali berturut-turut dengan interval 24 jam dan
48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir memberikan hasil negatif.
b. Desinfeksi serentak : desinfeksi dilakukan terhadap tinja, urin dan alat-alat yang
tercemar. Di negara maju dengan fasilitas sistem pembuangan kotoran yang baik,
tinja dapat dibuang langsung ke dalam sistem tanpa perlu dilakukan desinfeksi
terlebih dahulu.
c. Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : sumber infeksi yang
sebenarnya dan sumber infeksi yang potensial harus diidentifikasi dengan cara
melakukan pelacakan penderita yang tidak dilaporkan, carrier dan melacak
makanan dan minuman yang terkontaminasi.
d. Pengobatan spesifik : meningkatnya resistensi terhadap berbagai macam strain
antibiotic menentukan jenis obat yang dipakai. Terapi secara umum, untuk orang
dewasa Cifrofloxacin oral dianggap sebagai obat pilihan utama penderita Tifus
Abdominalis di Asia.

3. Penanggulangan wabah
a. Lakukan pelacakan secara intensif terhadap penderita dan carrier yang berperan
sebagai sumber penularan. Cari dan temukan media (air, makanan) yang tercemar
yang menjadi sumber penularan.
b. Lakukan pemusnahan terhadap makanan yang diduga sebagai sumber penularan
c. Lakukan pasteurisasi atau rebuslah produk susu yang akan dikonsumsi
d. Terhadap sumber air yang diduga tercemar dilakukan klorinasi sebelum digunakan
dengan pengawasan yang ketat. Apabila tindakan klorinasi tidak dapat dilakukan,
air dari sumber yang diduga tercemar tersebut jangan digunakan, semua air minum
harus diklorinasi, diberi iodine atau direbus sebelum diminum (Kunoli, 2013).

Anda mungkin juga menyukai