Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI FARMASI

SEMESTER GENAP 2022-2023

MODUL 1
SEL KOMPETEN DAN TRANSFORMASI PLASMID

Hari / Jam Praktikum : Senin/ 13.00 – 15.50 WIB


Kelompok :3
Asisten : Mutiara Fikri Larasati
Hasna Sania

Oleh :
Joshua Harry Chandra
260110200101

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2023
I. Hasil

Keterangan Gambar Tampak Depan Tampak Belakang

Media agar + sel


kompeten tanpa
plasmid

Media agar +
x-gal/amp/IPTG + sel
kompeten tanpa
plasmid

Media agar
Media agar +
x-gal/amp/IPTG + sel
kompeten berisi
plasmid kelompok 1

Media agar +
x-gal/amp/IPTG + sel
kompeten berisi
plasmid kelompok 2

Media agar +
x-gal/amp/IPTG + sel
kompeten berisi
plasmid kelompok 3
Media agar +
x-gal/amp/IPTG + sel
kompeten berisi
plasmid kelompok 4

Media agar +
x-gal/amp/IPTG + sel
kompeten berisi
plasmid kelompok 5

II. Pembahasan
Transformasi DNA adalah salah satu metode untuk memasukkan DNA
ke dalam sel bakteri. Metode transformasi saat ini dipakai secara luas untuk
mentransfer plasmid yang mengandung bahan genetika (Bernadus dkk.,
2019). Praktikum kali ini bertujuan untuk melakukan transformasi plasmid
yang mengandung gen resistensi ampisilin pada sel kompeten bakteri E.coli
JM109.
Sebelum ditransformasi, sel bakteri E.coli JM109 dibuat menjadi sel
kompeten terlebih dahulu. Tahap pembuatan sel menjadi kompeten
merupakan langkah penting dalam proses transformasi (Silitonga, 2016).
Kultur semalam strain E.coli JM109 dikultivasi ke media LB cair 25 mL
dengan cara memindahkan satu koloni strain E.coli JM109 ke media LB cair.
Inkubasi di dalam shaker-incubator dengan kecepatan rotasi 125 rpm pada
suhu 37oC selama 16 jam (semalam). Lalu, pindahkan kultur E.coli JM109
hasil inkubasi semalam ke media LB cair 25 mL dengan cara mengambil 250
μL kultur E.coli JM109 ke dalam media LB cair 25 mL atau dengan kata lain
perbandingan antara volume media dan volume kultur 10:1, kemudian
dilakukan inkubasi dalam shaker-incubator dengan kecepatan rotasi 125 rpm
selama 120 menit (2 jam) pada suhu 37oC. Sebanyak 1,5 mL kultur hasil
inkubasi 2 jam diambil dan dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifus dan
dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 5.700 x g selama 5 menit.
Supernatan yang dihasilkan dibuang dan ke dalam tabung ditambahkan 500
μL CaCl2 dingin, diresuspensi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
5.700 x g selama 5 menit. Supernatan dibuang kembali dan ke dalam tabung
ditambahkan kembali 200 μL CaCl2 dingin, diresuspensi dan diinkubasi dalam
es. Dalam perlakuan ini terdapat lima tabung mikrosentrifus, dua diantaranya
untuk inkubasi 2 jam dan 3 lainnya untuk inkubasi 16 jam.
CaCl2 menyebabkan DNA mengendap keluar dari sel, atau garam yang
terbentuk bertanggung jawab dalam muatan di dalam dinding sel yang
meningkatkan ikatan DNA (Brown, 2010). Hal inilah yang menyebabkan
penambahan unsur garam dapat membuat lebih efisien dalam transformasi.
Dengan adanya kation bivalen Ca2+, fusi membran akan meningkat sehingga
akan mempercepat interaksi DNA dengan permukaan E.coli (Liu et al., 2014).
Prosedur penambahan plasmid baru dapat dilakukan setelah prosedur
pembuatan sel kompeten berhasil dilakukan. Disiapkan 2 buah tabung
mikrosentrifus yang masing-masing berisi 200 μL sel kompeten, tabung ke-1
ditambahkan 10 μL plasmid pUC19 sirkuler dan tabung ke-2 tidak
ditambahkan dengan plasmid. Tabung ke-2 ini berperan sebagai kontrol pada
percobaan. Selanjutnya proses transformasi dilakukan. Metode yang
digunakan adalah metode heat-shock. Kedua tabung diinkubasi lebih lanjut
dalam air es selama 20 menit, kemudian diberi kejut panas (heat-shock)
selama 60 detik dengan suhu 42oC pada thermoblock dan segera dipindahkan
ke dalam es untuk diinkubasi kembali selama 10 menit. Metode heat shock
adalah metode transformasi yang paling sering digunakan. Prinsip metode ini
yakni heat shock (kejutan panas) selama beberapa waktu sehingga plasmid
dapat masuk ke dalam sel inang. Heat shock mengubah struktur membran
bakteri sehingga membantu DNA masuk ke dalam sel dengan cepat
(Sambrook dan Russel, 2001).
Setelah metode heat-shock dilakukan, prosedur inkubasi dilakukan.
Tabung mikrosentrifus ditambahkan media LB (Luria Bertani) cair hingga 1
mL setelah inkubasi 10 menit. Tabung mikrosentrifus selanjutnya diinkubasi
dalam shaker-incubator pada suhu 37oC dengan kecepatan rotasi 150 rpm
selama 1,5 jam. Sembari menunggu proses inkubasi, kami melakukan
preparasi media. LB agar dilelehkan di atas hot plate (jika belum mau
digunakan maka simpan dalam oven terlebih dahulu). Lalu LB agar
dituangkan dalam tabung reaksi yang sudah ditara 20 mL. Sebanyak 20 μL
ampisilin, 20 μL IPTG, dan 40 μL x-gal dituangkan menggunakan
micropipette ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya media agar
ditambahkan, kemudian dihomogenkan (diaduk membentuk angka 8).
Setelah kultur diinkubasi selama 1,5 jam, pipet 200 μL kultur yang
telah diinkubasi ke dalam cawan petri. Spread menggunakan cotton swab
steril. Cawan petri dibalik dan diinkubasi selama 16 jam untuk diamati
keesokan harinya. Plasmid pUC19 membawa gen resistensi ampisilin dan
sebuah gen yang disebut lacZ’, yang mengkode enzim beta galaktosidase.
Kloning menggunakan pUC19 melibatkan inaktivasi insersi gen lacZ’, dengan
rekombinan yang teridentifikasi akibat ketidakmampuannya untuk
mensintesis beta galaktosidase. Beta galaktosidase merupakan satu dari
serangkaian seri enzim yang terlibat dalam pemutusan laktosa menjadi
glukosa dan galaktosa. Beta galaktosidase biasanya dikode oleh gen lacZ,
yang berada pada kromosom E.coli. Beberapa galur E.coli memiliki gen lacZ
yang termodifikasi, dimana mengurangi segmen yang disebut lacZ’ dan yang
mengkode alpha peptide dari beta galaktosidase. Mutan ini mampu
mensintesis enzim hanya ketika mereka berlabuh pada plasmid seperti pUC19
yang membawa segmen lacZ’ yang hilang pada gen (Brown, 2010).

Eksperimen kloning dengan pUC8 melibatkan seleksi transforman


pada agar ampisilin dilanjutkan dengan skrining aktivitas beta galaktosidase
untuk mengidentifikasi rekombinan. Sel yang berlabuh pada pUC19 normal
bersifat resisten ampisilin dan mampu mensintesis beta galaktosidase;
rekombinan juga bersifat resisten ampisilin namun tidak mampu untuk
mensintesis beta galaktosidase. Skrining untuk keberadaan beta galaktosidase
cukup mudah. Percobaan ini melibatkan analog laktosa yakni X-gal
(5-bromo-4-chloro-3-indolyl-𝛃-D-galactopyranoside) yang mana dirusak oleh
beta galaktosidase menjadi produk yang berwarna biru tua. Bila X-gal
(ditambah dengan penginduksi enzim beta galaktosidase seperti IPTG)
ditambahkan ke dalam agar, bersama dengan ampisilin, maka koloni
non-rekombinan akan mensintesis beta galaktosidase, sehingga akan muncul
warna biru. Sedangkan rekombinan yang gen lacZ’ nya terdisrupsi tidak
mampu membentuk beta galaktosidase, sehingga menghasilkan warna putih
(Brown, 2010).

Pada praktikum kali ini, hasil skrining rekombinan plasmid gagal


dilakukan (pada biakan kelompok 1-5). Hal ini dapat terlihat pada semua
cawan petrinya yang tidak menghasilkan biakan berwarna biru. Prediksi yang
seharusnya terjadi adalah munculnya produk berwarna biru, sebagai akibat
dari sintesis beta galaktosidase pada plasmid yang normal (tidak mengalami
rekombinasi pada situs BamHI). Media agar berisi sel kompeten tanpa
plasmid pada cawan petri nomor 6 (kontrol positif) menunjukkan
pertumbuhan bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa media agar yang dipakai
mampu berfungsi sebagai media perkembangbiakan bakteri (kontrol positif)
Cawan petri nomor 7 berisi sel kompeten tanpa plasmid (yang ditambahkan
X-gal/amp/IPTG) tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri, hal ini
menandakan bahwa ampisilin masih sensitif pada sel bakteri tanpa gen
resistensi bakteri. Cawan petri nomor 8 yang hanya berisi media agar saja
tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri sama sekali (kontrol negatif). Hal ini
menunjukkan bahwa praktikum telah berlangsung secara aseptis.
Saya mengasumsikan telah terjadi kegagalan plasmid untuk
bertransformasi ke dalam sel inang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
kegagalan dalam proses transformasi. Hal ini dapat disebabkan oleh
kurangnya keahlian dalam menggunakan instrumen-instrumen yang ada
misalnya micropipette. Micropipette bisa saja mengangkut volume lebih atau
kurang dari apa yang telah diatur apabila penggunanya belum mahir dan tidak
melakukan latihan sebelum menggunakan alat tersebut, kurang ketelitian
dalam melakukan pengamatan, serta kurang higienisnya tahapan transformasi,
hal ini dapat berlangsung selama masa pemberian ampisilin pada koloni.
Selain itu didukung faktor lingkungan berupa suhu juga mempengaruhi proses
tumbuhnya bakteri. Suhu air es yang digunakan bisa saja tidak memenuhi
persyaratan karena suhu ruang yang panas di sekitarnya yang mampu
mempengaruhi suhu efektif air es untuk dijadikan inkubator bagi bakteri.
Lalu, pada saat menghomogenkan campuran agar padat, ampisilin, IPTG, dan
X-gal tidak dilakukan secara tepat sehingga kurang homogen. Efisiensi
transformasi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti waktu
inkubasi dingin setelah kejutan panas, konsentrasi plasmid, waktu kejutan
panas, suhu kejutan panas, dan ukuran plasmid (Russel, 1992).

III. Daftar Pustaka


Bernadus, Z.G., Fatimawali, dan Kolondam, B. 2019. Transformasi Plasmid
yang Mengandung Gen merB pada Escherichia coli BL21(DE3).
Pharmacon. Vol. 8(1): 196 - 202.
Brown, T.A. 2010. Gene Cloning & DNA Analysis an Introduction Sixth
Edition. Chichester: Wiley-Blackwell.
Silitonga, Y. 2016. Resistensi Cronobacter Sakazakii Terhadap Ampisilin dan
Hubungannya dengan Stabilitas dan Ekspresi Gfpuv [tesis]. Sekolah
Pascasarjana IPB, Bogor.
Liu, X., Liu, L., Wang, Y., Wang, X., Ma, Y., dan Li, Y. 2014. The study on
the factors affecting transformation efficiency of Escherichia coli
competent cells. Pakistan journal of pharmaceutical sciences. Vol.
3(27): 679 - 684.
Russel, P.J. 1992. Genetics Third Edition. New York: Harper Collins
Publisher.
Sambrook, J. dan Russel, I. 2001. Molecular Cloning, A Laboratory Manual,
Third Edition, Volume 2. New York: Cold Spring Harbor Laboratory
Press.

Anda mungkin juga menyukai