Anda di halaman 1dari 15

Nabila Putri Salsabila, 1406533466, Home Group 7

Teknologi Bioproses, Departemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia,


Kampus UI Depok, 16424 Indonesia

PENDAHULUAN
Enzim -1,4-glukosidase merupakan enzim yang mengkatalisis hidrolisis
alkil- dan aril- -1,4-glikosida pada di- dan oligosakarida. Enzim ini
mempunyai banyak peran dalam proses biologis, misalnya degradasi
polisakarida struktural dan penyimpanan, interaksi inang-patogen,
pensinyalan pada tingkat seluler, dan onkogenesis. Misalnya dalam proses
produksi bioetanol, enzim ini dapat menghidrolisis selulosa dan
hemiselulosa dari lignoselulosa dalam biomassa menjadi gula monomer Gambar 1. Enzim -1,4-glukosidase
yang dapat difermentasi (pada bioetanol generasi kedua). Sejauh ini, Sumber: www.3dprint.nih.gov

organisme yang menghasilkan enzim -1,4-glukosidase adalah fungi dan bakteri. Sayangnya, biaya enzim
selulolitik ini masih cukup tinggi dalam proses produksi di industri.
Pada tahun 2011, peneliti dari Jepang, M. Tako menemukan bahwa terdapat gen yang menyandi pembentukan
enzim -1,4-glukosidase yang stabil pada suhu tinggi pada Rhizomucor miehei, sehingga sangat bermanfaat
dalam proses produksi. Maka dari itu, perlu dicari cara untuk mendapatkan dan memproduksi enzim ini dengan
biaya rendah menggunakan vektor berupa bakteri.
Escherichia coli (E.coli) merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang yang tinggal di saluran pencernaan
bagian bawah hewan berdarah panas. Selain dapat hidup dalam usus besar, E.coli juga dapat hidup di luar
tubuh hewan, misalnya pada feses. E.coli telah menunjukkan banyak bukti bahwa ia bisa bertahan hidup pada
kondisi yang beragam, hal inilah yang menyebabkan E.coli merupakan mikroorganisme model yang sering
dijadikan percobaan saat peneliti mempelajari suatu fenomena atau melakukan rekayasa genetika. E.coli
merupakan salah satu bakteri yang paling sering direkayasa untuk menghasilkan protein rekombinan, karena
ia memiliki karakteristik berikut: merupakan organisme sel tunggal sehingga tidak menimbulkan kontroversi
etik saat menumbuhkan, memanipulasi, maupun membunuhnya, tidak seperti organisme percobaan
multiseluler seperti tikus; mampu bereproduksi dan tumbuh dengan sangat cepat (E.coli mampu
menggandakan populasinya setiap 20 menit); mampu bertahan di segala kondisi dan tidak membutuhkan
medium kultur yang sulit atau mahal; sebagian besar E.coli tidak menimbulkan bahaya kesehatan; dan yang

1
terpenting: genetikanya sudah dimengerti dengan baik sehingga mudah dimanipulasi menjadi apa yang
dinginkan. Untuk dapat merekayasa E.coli untuk menghasilkan enzim -1,4-glukosidase, maka gen pengkode
-glukosidase yang diinginkan dari Rhizomucor miehei dipotong menggunakan enzim restriksi, begitu pula
dengan bagian di DNA plasmid yang ingin dijadikan molekul vektor dipotong menggunakan enzim restriksi.
Selanjutnya, gen pengkode
-glukosidase tersebut
diinsersi pada molekul
vektor (DNA plasmid)
menggunakan enzim ligase,
kemudian terbentuklah
plasmid rekombinan. Yang
menjadi pertanyaannya
sekarang, bagaimana
plasmid rekombinan ini
dapat masuk secara tepat Gambar 2. Tahapan dalam merekayasa bakteri E.coli agar menghasilkan enzim

dan bereplikasi dalam -1,4-glukosidase

waktu singkat pada bakteri Sumber: www.ncbi.nlm.gov

E.coli yang merupakan sel inang? Kemudian, bagaimana cara untuk memastikan bakteri E.coli yang ingin
dikulturkan adalah E.coli yang telah mengandung plasmid rekombinan, sehingga dapat menghasilkan enzim
-glukosidase sesuai yang diinginkan? Tantangan ini dapat dijawab melalui dua tahap yang dikenal dalam
rekayasa genetika: transformasi genetik serta skrining dan seleksi.
PEMBAHASAN
TAHAP TRANSFORMASI GENETIK

Transformasi genetik merupakan proses perubahan genetik dari


sel bakteri sebagai hasil dari penyerapan langsung, penyatuan,
dan ekspresi materi genetik eksogenus dari lingkungan sel
melalui membran sel. Pada E.coli, transformasi genetik dapat
dilakukan secara alami maupun secara buatan. Transformasi
genetik bertujuan untuk menggabungkan plasmid rekombinan
(dalam hal ini, plasmid pRADZ1 yang telah disisipi gen
penghasil enzim -glukosidase) ke bakteri E.coli sebagai sel Gambar 3. Transformasi genetik plasmid
inang. Pada dasarnya, transformasi merupakan proses yang rekombinan ke E.coli sebagai sel inang
sangat tidak efisien karena persentase sel Sumber: AP Biology Lab Manual, 2001
2
bakteri kompeten yang mengalami transformasi
genetik sangat kecil, hanya sedikit fraksi DNA
plasmid yang dapat masuk ke dalam sel bakteri.
Meskipun begitu, transformasi genetik
merupakan tahap yang penting untuk
mengintegrasikan plasmid rekombinan ke sel
inang dan mereplikasinya.
Dalam kasus ini, karena tujuan yang ingin
dicapai adalah produksi dengan hasil
maksimum, biaya minimum, dan waktu
singkat, maka dibutuhkan transformasi genetik
terinduksi (buatan), karena transformasi
genetik alami seperti transduksi atau konjugasi
sangat tidak mungkin dan tidak efisien untuk
dapat menjadi alternatif tahapan. Selain itu,
pemilihan metode transformasi genetik juga
didasarkan pada tipe sel inang dan tipe
vektornya. Sel inang dalam kasus ini adalah
Gambar 4. Transformasi genetik bertujuan untuk mengintegrasikan
bakteri E.coli dan vektornya berupa plasmid
plasmid rekombinan ke sel inang dan mereplikasinya
pRADZ1. Maka dari itu, menimbang dari
Sumber: www.ncbi.nlm.gov
banyak faktor, dipilih alternatif berupa
metode heat shock atau metode elektroporasi yang efisiensi transformasinya tinggi dibanding metode
transformasi genetik buatan lainnya (efisiensi transformasi merupakan rasio yang menunjukkan jumlah bakteri
yang dapat menerima plasmid dengan sukses per total bakteri yang disebar).
Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan adalah tahap preparasi. Preparasi yang baik akan menghasilkan sel
bakteri kompeten yang mampu memberi yield transforman sampai 108 koloni per g plasmid, sedangkan
preparasi yang buruk hanya akan memberikan yield kurang dari atau sama dengan 104 koloni per g plasmid.
METODE HEAT SHOCK
Prinsip
Metode ini merupakan metode paling sederhana di mana bakteri E.coli yang akan ditransformasi diinkubasi
pada larutan yang mengandung kation divalen (umumnya magnesium klorida, kemudian kalsium klorida pada
kondisi dingin, yang kemudian dipaparkan pada pulsa heat shock). Dengan adanya perbedaan tekanan di antara
bagian luar dan bagian dalam sel bakteri, akan terjadi induksi untuk membuat celah sehingga DNA plasmid
3
superkoil dapat masuk ke bagian dalam sel. Bakteri E.coli memiliki permukaan yang bermuatan negatif akibat
adanya fosfolipid dan lipopolisakarida, sehingga digunakan kation divalen yang berfungsi untuk melindungi
muatan negatif DNA agar dapat melekat pada permukaan E.coli. Pemaparan E.coli pada larutan kation divalen
yang bertemperatur dingin akan melemahkan struktur permukaan E.coli dan mempengaruhi porositas
membran sel sehingga pada saat terjadi lonjakan temperatur, membran selnya menjadi tidak selektif terhadap
molekul asing (permeabel terhadap DNA plasmid), sehingga produk ligase (plasmid rekombinan) dapat masuk
ke dalam bakteri E.coli. Selanjutnya, pemaparan heat shock akan membentuk ketidakseimbangan termal pada
kedua sisi membran sel, sehingga DNA plasmid
dapat masuk melalui pori-pori sel atau dinding sel
yang dirusak tersebut.
Lonjakan temperatur yang tiba-tiba (kejutan
panas) menyebabkan dinding dan membran sel
Gambar 5. E.coli sebaiknya dielektroporasi pada fase log
bakteri E.coli mengalami perubahan, sehingga
Sumber: Pearson Education, 2016
ia cenderung akan menerima plasmid
rekombinan yang asing baginya (DNA dapat lewat dengan mudah). Bakteri yang mudah dilewati DNA disebut
bakteri kompeten. E.coli akan bersifat kompeten jika ia sedang tumbuh dengan sangat cepat (berada pada fase
log, dibanding pada fase-fase lainnya). Maka dari itu, tahap transformasi genetik sebaiknya dilakukan saat
E.coli berada dalam fase log.
Prosedur Pengerjaan

Gambar 6. Tahapan metode heat shock secara umum


Sumber: Pearson Education, 2016
4
Jika dilihat pada tingkatan seluler, maka yang terjadi adalah:
1. Bakteri E.coli yang tidak mengandung plasmid rekombinan (tidak resisten terhadap ampicillin dan
tidak dapat menghasilkan enzim -glukosidase) ditumbuhkan hingga mencapai fase log, lalu
diintroduksi pada lingkungan larutan CaCl2 dingin dengan temperatur 00C.
2. Plasmid rekombinan yang resisten terhadap ampicillin dan dapat menghasilkan enzim -glukosidase
ditambahkan pada bakteri E.coli yang belum mengandung plasmid rekombinan, yang masih diinkubasi
dalam es selama 20-30 menit. Plasmid rekombinan sebaiknya tidak ditambahkan terlalu banyak karena
larutan sel bakteri yang jenuh oleh plasmid rekombinan akan menurunkan efisiensi transformasi.
3. Sel bakteri diberi kejutan panas secara tiba-tiba dengan menaikkan temperatur sampai 420C selama 50
detik. Kejutan panas sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena akan mengurangi jumlah
transforman. Bakteri E.coli kompeten kemudian dapat dimasuki oleh plasmid rekombinan dengan
mudah.
4. Transforman diinkubasi dalam agar pada temperatur 370C selama 60-90 menit untuk membiarkan
plasmid terintegrasi dalam E.coli dengan sempurna, juga agar sifat fenotipe dapat diekspresikan.
5. Bakteri E.coli yang telah diberi perlakuan agar bisa bertransformasi genetik lalu ditumbuhkan pada
medium yang mengandung ampicillin, dan diinkubasi selama 24 jam.

Gambar 7. Tahapan metode heat shock pada tingkat seluler


Sumber: Pearson Education, 2016

5
METODE ELEKTROPORASI
Prinsip

Gambar 8. Prinsip transformasi plasmid rekombinan pada bakteri E.coli menggunakan metode elektroporasi
Sumber: www.btxonline.com

Metode elektroporasi merupakan metode yang menggunakan kejutan listrik untuk membentuk lubang-lubang
pada membran sel, sehingga DNA plasmid dapat memasukinya. Kejutan listrik akan membuat sel bakteri dapat
menyerap DNA eksogenus dari larutan suspensi. Sebagian sel akan bertransformasi dengan stabil, sehingga
dapat diseleksi selanjutnya. Dua mekanisme yang konsisten dalam elektroporasi adalah: pembukaan
kompartemen baru (interior dari sel) agar DNA dapat berdifusi secara pasif ke dalam sel bakteri, dan aliran
ruah dari medium yang mengandung DNA plasmid, menuju ke sel bakteri. Difusi molekul DNA memang akan
sedikit lambat, tetapi jarak antara sel dan DNA sangat kecil sehingga mekanisme ini memungkinkan DNA
plasmid untuk masuk dalam sel bakteri. Sel bakteri juga dapat menerima 10% dari volume aliran ruah yang
dipengaruhi oleh kekuatan osmotik mediumnya.

Gambar 9. Sirkuit listrik dan konfigurasi elektroda yang digunakan dalam elektroporasi E.coli
Sumber: Dower, et al. 1988
6
E.coli yang merupakan bakteri Gram negatif dapat ditransformasi dengan sangat efisien menggunakan
elektroporasi, efisiensi transformasinya bahkan mencapai 109-1010 transforman/g plasmid pRADZ1.
Elektroporasi dilakukan dengan mengintroduksikan suspensi sel terkonsentrasi dan plasmid DNA rekombinan
pada medan listrik dengan amplitudo yang sangat tinggi. Proses elektroporasi sangat bergantung pada dua
karakteristik pulsa listrik: kekuatan medan listrik dan panjang pulsa (konstanta waktu-hambatan-kapasitas).
Sedangkan, efisiensi elektroporasi bergantung pada banyak faktor, seperti temperatur, parameter medan listrik
(voltase, resistansi dan kapasitansi), bentuk topologis DNA, dan faktor sel inang (latar belakang genetik,
kondisi tumbuh, dan kondisi setelah kejutan listrik). Frekuensi transformasi menunjukkan fungsi yang linear
dengan konsentrasi DNA dalam enam tingkat orde. Sedangkan, efisiensi transformasi merupakan fungsi dari
konsentrasi sel bakteri. Sebagian besar sel bakteri yang tetap hidup merupakan bakteri yang kompeten, dan
80% di antaranya bertransformasi pada konsentrasi DNA yang tinggi.
Dari penelitian Dower et al., didapatkan hubungan sebagai berikut:
1. Besar pulsa terhadap panjang pulsa
Melemahkan medan listrik akan meningkatkan panjang pulsa yang dibutuhkan untuk melakukan
transformasi genetik pada sel bakteri secara maksimal, sedangkan mengurangi panjang pulsa akan
meningkatkan amplitudo yang dibutuhkan medan untuk melakukan transformasi genetik secara
maksimal. Kombinasi yang optimal antara kekuatan medan dan panjang pulsa menghasilkan efisiensi
transformasi sebanyak 2-3 x 109/g dan kematian sel sebanyak 50-76%.
2. Frekuensi transformasi terhadap konsentrasi DNA
Frekuensi transformasi merupakan proporsi sel yang ditransformasi. Konsentrasi DNA plasmid
menentukan probabilitas sel yang akan ditransformasi. Frekuensi transformasi bergantung pada volume
(konsentrasi DNA) dan transforman yang diperoleh merupakan produk hasil kali dari frekuensi dan
jumlah sel bakteri yang ada.
3. Pengaruh pra- dan pasca-inkubasi sel bakteri dan DNA
Menambah waktu inkubasi DNA dengan sel bakteri sebelum diberi perlakuan elektroporasi akan
meningkatkan kemungkinan transformasi. Meskipun begitu, waktu inkubasi yang berlebihan dapat
menyebabkan terpotongnya plasmid rekombinan yang diintroduksikan karena sel bakteri menghasilkan
nuklease dalam suspensi sel.
Dari penelitian Sheng, et al., diketahui bahwa elektroporasi merupakan langkah transformasi genetik yang tepat
apabila DNA plasmid yang diintroduksikan pada E.coli berukuran besar. Elektroporasi memperbesar
kemungkinan transforman dapat mengambil DNA plasmid berukuran besar dengan gradien voltase dan
konstanta waktu yang berbeda-beda. Efisiensi transformasi DNA plasmid berukuran besar juga tetap tinggi
dengan menggunakan metode elektroporasi.
7
Prosedur Pengerjaan
Setelah melewati tahap preparasi, langkah selanjutnya untuk melakukan elektroporasi adalah:
1. Penempatan sel pada temperatur ruang dan pada es. Kemudian, sel ditempatkan pada tabung
polipropilen dingin. Suspensi sel dan DNA ditambahkan ke dalam buffer berkekuatan ionik rendah
seperti TE.
2. Pengaturan generator pulsa: kapasitor 25 F, 2.5 kV, dan 200 ohm secara paralel dalam ruang sampel.
3. Pemindahan campuran sel dan DNA ke kuvet dingin elektroporasi berukuran 0.2 cm, dan pengocokan
suspensi ke dasar kuvet.
4. Pemberian pulsa listrik sebesar 12.5 kV/cm dengan konstanta waktu 4.5-5 msec.
5. Penambahan medium SOC pada temperatur ruang ke kuvet dan resuspensi sel dengan pipet Pasteur
dengan segera.
6. Pemindahan suspensi sel pada tabung polipropilen dan inkubasi pada temperatur 370C selama 1 jam,
kemudian dilakukan pengocokan tabung pada kecepatan 225 rpm untuk meningkatkan perolehan
transforman.
7. Penempatan transforman pada medium selektif yang berisi antibiotik.
TAHAP SKRINING DAN SELEKSI

Setelah plasmid rekombinan berhasil masuk dalam E.coli dan melakukan replikasi, selanjutnya kita melakukan
skrining dan seleksi untuk menentukan apakah gen yang diinginkan (-glukosidase) telah sukses terligasi pada
vektor E.coli dan mengetahui apakah
E.coli berhasil melakukan transformasi
genetik dengan plasmid rekombinan.
METODE RESISTENSI
ANTIBIOTIK DAN INAKTIVASI
INSERSI MENGGUNAKAN
SUBSTRAT KROMOGENIK:
SKRINING BIRU-PUTIH (BLUE-
WHITE SCREENING)
Prinsip
Skrining biru-putih (blue-white
screening) merupakan salah satu Gambar 10. Insersi gen yang diinginkan pada multiple cloning site gen
teknik visual screening umum pada LacZ mengganggu fragmen LacZ- dan menghambat pembentukan peptida
bakteri Gram negatif seperti E.coli. , sehingga enzim -galaktosidase tidak berfungsi
Sumber: Nicholl, 2008
8
Prinsip dari metode ini didasarkan pada reaksi penguraian X-gal yang merupakan substrat kromogenik.

Gambar 11. Reaksi penguraian X-gal menjadi galaktosa dan 5,5-dibromo-4,4-dikloro-indigo


Sumber: www.commons.wikimedia.org

Penguraian X-gal dan peningkatan fenotipe Lac operon diinduksi oleh adanya isopropilthio--D-galaktosida
(IPTG) dan dikatalisis oleh enzim -galaktosidase yang dikode oleh gen LacZ, yang merupakan gen pertama
dalam Lac operon E.coli. Enzim -galaktosidase merupakan tetramer yang menghidrolisis laktosa menjadi
glukosa dan galaktosa, dan tiap-tiap monomer terdiri atas 2 bagian: LacZ- dan LacZ-. Jika dilakukan delesi
pada fragmen DNA , maka fragmen akan menjadi tidak berfungsi. Insersi fragmen gen penghasil -
glukosidase dilakukan pada residu asam amino 11-41 LacZ yang akan mengganggu fragmen LacZ-, sehingga
gen LacZ menjadi inaktif atau tidak sempurna (maka dari itu, metode ini disebut inaktivasi insersi). Gen LacZ
yang tidak sempurna tidak bisa menyandi -glukosidase yang dapat menghidrolisis X-gal pada medium
menjadi galaktosida dan 5,5-dibromo-4,4-dikloro-indigo yang berwarna biru, tetapi jika plasmid tidak
mempunyai gen penghasil -glukosidase atau bakteri tidak mengalami transformasi genetik dengan plasmid
rekombinan, maka LacZ akan mengekspresikan enzim -galaktosidase. Berarti, dalam skrining ini, gen -
glukosidase merupakan marka seleksi. Sehingga, pada medium padat, koloni bakteri E.coli yang menghasilkan
enzim -galaktosidase menjadi berwarna biru, sedangkan koloni yang tidak menghasilkan enzim tetap
berwarna putih.

9
Gambar 12. Bakteri E.coli yang telah mengalami transformasi genetik dengan plasmid rekombinan akan
menghasilkan warna putih. Sedangkan, bakteri yang mengalami transformasi genetik dengan plasmid yang
tidak sukses terligasi gen yang diinginkan atau tidak mengalami transformasi genetik sama sekali akan
menghasilkan warna biru
Sumber: www.oregonstate.edu

10
Gambar 13. Hasil blue-white screening: koloni bakteri berwarna biru dan putih
Sumber: www.sigmaaldrich.com

Jadi, koloni putih merupakan koloni yang diperkirakan mengandung fragmen gen penghasil -glukosidase,
sedangkan koloni biru diperkirakan merupakan koloni yang tidak mengandung fragmen gen penghasil -
glukosidase.

Gambar 14. Template plasmid yang memiliki


gen LacZ dan AmpR dan jenis plasmid yang akan
direkayasa (pRADZ1)
Sumber: www.discoveryandinnovation.com,
www.addgene.org

11
Selain itu, karena plasmid yang digunakan sebagai vektor gen penghasil -glukosidase adalah plasmid
pRADZ1 yang memiliki gen pembawa sifat resistensi terhadap terhadap antibiotik ampicillin (AmpR), maka
metode inaktivasi insersi digabungkan dengan metode resistensi antibiotik. Ampicillin merupakan penisilin
semisintetik yang stabil terhadap asam atau amidase tetapi tidak tahan terhadap enzim -laktamase. Gen AmpR
menyandi enzim -laktamase yang mampu menghidrolisis ikatan 4-cincin betalaktam dari antibiotik beta-
laktam seperti ampicillin, dan mendegradasinya sehingga bakteri E.coli tidak akan mati karena keberadaan
antibiotik tersebut. Maka dari itu, ketika E.coli pembawa plasmid rekombinan ditumbuhkan dalam media yang
mengandung ampicillin, maka E.coli tersebut akan tetap tumbuh, sementara E.coli yang tidak membawa
plasmid rekombinan akan mati. Berarti, dalam skrining ini, gen pembawa sifat resisten terhadap ampicillin
merupakan marka seleksi yang dapat membedakan E.coli yang berhasil melakukan transformasi genetik
dengan plasmid rekombinan dan yang tidak. Metode resistensi antibiotik merupakan metode yang cukup
penting dilakukan untuk mempertahankan gen AmpR yang terdapat di pRADZ1. Tanpa adanya ampicillin,
E.coli cenderung kehilangan resistensinya setelah beberapa kali pembelahan sel, padahal sifat resistensi ini
penting dalam proses produksi selanjutnya, agar E.coli tidak mudah mati dalam lingkungan yang mengandung
ampicillin di dalamnya.

Gambar 15. Bakteri yang tidak memiliki gen AmpR akan tumbuh dalam medium yang tidak mengandung
ampicillin, tetapi akan mati sepenuhnya dalam medium yang mengandung ampicillin. Sedangkan, bakteri
yang mengandung plasmid rekombinan (terdapat gen AmpR) akan tumbuh dalam medium yang tidak
mengandung ampicillin, dan masih dapat tumbuh dalam medium yang mengandung ampicillin.
Sumber: Pearson Education, 2016

Prosedur Pengerjaan
Pada dasarnya, prosedur pengerjaan teknik blue-white screening sedikit berbeda untuk strain E.coli yang
berbeda. Tetapi, secara umum, meliputi:
1. Preparasi agar Luria-Bertani sebagai medium yang berisi nutrien pertumbuhan bakteri.
12
2. Penambahan substrat kromogenik (X-gal) dan IPTG.
3. Autoklaf medium (tahap ini opsional, tergantung strain E.coli yang digunakan).
4. Penambahan antibiotik ke dalam medium, berupa ampicillin.
5. Penempatan piringan dalam laminar flow chamber.
6. Penyebaran E.coli yang sudah melakukan transformasi genetik pada piringan agar LB menggunakan
sterile spreader.
7. Inkubasi piringan pada temperatur 370C selama 24-48 jam.
8. Koloni biru dan putih akan muncul pada permukaan agar, dan pilih koloni bakteri berwarna biru untuk
selanjutnya dilakukan kultur.
Kelemahan Metode
Meskipun prinsip teknik blue-white screening mudah,
teknik ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:
teknik blue-white screening merupakan teknik screening,
bukan teknik seleksi (pemilihan klon yang tepat). Selain itu,
pembedaan bakteri hanya didasarkan pada identifikasi
warna koloninya saja. Hasil screening bisa saja
menunjukkan false positive, misalnya pada kasus gen LacZ
yang tidak berfungsi dan tidak dapat mengkode -
Gambar 16. Tabel pencocokan prediksi dan hasil
galaktosidase, sehingga tidak dapat mengubah X-gal
asli rekayasa
menjadi senyawa berwarna biru. Jadi, koloni putih yang
Sumber: www.stackexchange.com
terlihat bukanlah koloni bakteri yang memiliki plasmid
rekombinan, tetapi hanya koloni bakteri yang gen LacZ-nya tidak berfungsi. Vektor-vektor yang terlinearisasi
dan tidak mengandung gen -glukosidase kemudian tidak sempat tersambung kembali karena telah didegradasi
nuklease terlebih dahulu juga memiliki LacZ- yang tidak berfungsi, sehingga tidak dapat mengkode -
galaktosidase dengan sempurna. Di sisi lain, false negative juga bisa terjadi. Koloni bakteri yang berwarna biru
juga mungkin telah mengalami transformasi genetik dengan Plasmid rekombinan, tetapi insersi gen barunya
berada di daerah koding peptida dan tidak memiliki kodon stop, sehingga protein fusi yang masih bisa
diekspresikan oleh LacZ- masih bisa terbentuk (aktivitas -glukosidase hanya terinaktivasi sebagian), atau
gen yang diinsersi sangat pendek dan tidak sampai mengganggu fragmen LacZ-. Meskipun begitu, koloni
false negative umumnya berwarna biru muda, tidak seperti koloni true negative yang berwarna biru tua. Maka
dari itu, untuk mengetahui apakah insersi telah dilakukan dengan tepat, lebih baik diperiksa kembali
menggunakan pengurutan DNA (DNA sequencing). Terakhir, prosedur blue-white screening sangat kompleks
dan menggunakan substrat X-gal yang sengat mahal, tidak stabil, dan rumit.
13
KESIMPULAN
Setelah gen pengkode -glukosidase yang diinginkan dari Rhizomucor miehei dipotong menggunakan enzim
restriksi, gen ini diinsersi pada molekul vektor (DNA plasmid) menggunakan enzim ligase, kemudian
terbentuklah plasmid rekombinan. Agar plasmid rekombinan ini dapat masuk secara tepat dan bereplikasi
dalam waktu singkat pada bakteri E.coli yang merupakan sel inang, dilakukan tahap transformasi genetik, yang
sebaiknya dilakukan saat E.coli berada dalam fase log. Ada dua alternatif metode transformasi genetik yang
dapat digunakan: metode heat shock dan elektroporasi yang efisiensi transformasinya tinggi. Pada metode heat
shock, E.coli diberikan kejutan panas setelah didiamkan pada temperatur dingin (ada gradien temperatur yang
besar), sehingga membran selnya menjadi tidak selektif (dan permeabel terhadap DNA plasmid). Sedangkan
pada metode elektroporasi, E.coli diberikan kejutan listrik untuk membentuk lubang-lubang pada membran
sel, sehingga DNA plasmid dapat memasukinya. Elektroporasi juga dapat dikatakan sebagai langkah
transformasi genetik yang tepat apabila DNA plasmid yang diintroduksikan pada E.coli berukuran besar.
Selanjutnya, untuk memastikan bakteri E.coli yang ingin dikulturkan adalah E.coli yang telah mengandung
plasmid rekombinan, dilakukan tahap skrining dan seleksi berupa metode resistensi antibiotik dan inaktivasi
insersi menggunakan substrat kromogenik. Bakteri E.coli yang telah mengalami transformasi genetik dengan
plasmid rekombinan akan menghasilkan warna putih, sedangkan bakteri yang mengalami transformasi genetik
dengan plasmid yang tidak sukses terligasi gen yang diinginkan atau tidak mengalami transformasi genetik
sama sekali akan berwarna biru. Dilakukan pula metode resistensi antibiotik dengan menumbuhkan bakteri
pada medium yang mengandung ampicillin. Bakteri yang tidak memiliki gen AmpR (tidak berhasil melakukan
transformasi genetik dengan plasmid rekombinan) akan mati sepenuhnya dalam medium yang mengandung
ampicillin. Sedangkan, bakteri yang berhasil melakukan transformasi genetic dengan plasmid rekombinan
(yang di dalamnya terdapat gen AmpR) akan tetap tumbuh dalam medium yang mengandung ampicillin.
Sayangnya, hasil dari metode tersebut bisa saja menunjukkan false positive atau false negative. Maka dari itu,
untuk mengetahui apakah insersi gen pada vektor (plasmid pRADZ1) telah dilakukan dengan tepat, lebih baik
diperiksa kembali menggunakan metode lain, seperti pengurutan DNA (DNA sequencing).

REFERENSI
AP Biology Lab Manual. (2001). Biotechnology: Bacterial Transformation. [ONLINE] College Board.
Tersedia di: http://media.collegeboard.com/digitalServices/pdf/ap/bio-manual/Bio_Lab8-
BiotechnologyBacterialTransformation.pdf. Diakses pada 25 September 2016.
Brown, T.A. (2010). Gene Cloning and DNA Analysis An Introduction. New York: Wiley-Blackwell.
Dower, W.J., Miller, J.F., dan Ragsdale, C.W. (1988). High Efficiency Transformation of E.coli by High
Voltage Electroporation. Nucleic Acid Research: 16 (13), 6127-6145.

14
Gaffen, Z. (2016). Is It Necessary to Add Ampicillin While Growing Bacteria Containing Ampicillin Resistant
Plasmid? [ONLINE] Research Gate. Tersedia di:
https://www.researchgate.net/post/Is_it_necessary_to_add_ampicillin_while_growing_bacteria_contain
ing_ampicillin_resistant_plasmid. Diakses pada 25 September 2016.
Griffiths, A.J.F. (2000). An Introduction to Genetic Analysis, 7th Edition. New York: W.H. Freeman.
Hartsock, A. (2016). Escherichia coli (E.coli) as a Model Organism or Host Cell. [ONLINE] Study. Tersedia
di: http://study.com/academy/lesson/escherichia-coli-e-coli-as-a-model-organism-or-host-cell.html.
Diakses pada 25 September 2016.
Howe, C. (2007). Gene Cloning and Manipulation, 2nd Edition. New York: Cambridge University Press.
Nicholl, D.S.T. (2008). An Introduction to Genetic Engineering, 3rd Edition. New York: Cambridge University
Press.
Padmanabhan, S., S. Banerjee, dan N. Mandi. (2011). Screening of Bacterial Recombinants: Strategies and
Preventing False Positives, Molecular Cloning Selected Applications in Medicine and Biology.
[ONLINE] InTechOpen. Tersedia di: http://www.intechopen.com/books/molecular-cloning-selected-
applications-in-medicine-and-biology/screeningof-bacterial-recombinants-strategies-and-preventing-
false-positives. Diakses pada 24 September 2016.
Pearson Education. (2016). Lab Bench Activity: Bacterial Transformation. [ONLINE] Tersedia di:
http://www.phschool.com/science/biology_place/labbench/lab6/design1.html. Diakses pada 25
September 2016.
Primrose, S.B., et al. (2001). Principles of Gene Manipulation, 6th Edition. Italy: Blackwell Science.
Sambrook, J., et al. (1989). Molecular Cloning. United States of America: Cold Spring Harbor Laboratory.
Sandu, S.S. (2010). Recombinant DNA Technology. New Delhi: I.K. International Publishing House.
Sheng, Y., V. Mancino, dan B. Birren. (1995). Transformation of Escherichia coli with Large DNA Molecules
by Electroporation. Nucleic Acid Research: 23 (11), pp. 1990-1996.
The University of Texas at El Paso. (2016). Alpha Complementation. [ONLINE] Tersedia di:
http://utminers.utep.edu/rwebb/html/alpha_complementation.html. Diakses pada 24 September 2016.
Team Resources. (2016). Other Cloning Protocols: Blue-White Screening Protocols. [ONLINE] Oxford
Genetics. Tersedia di: http://www.oxfordgenetics.com/SiteContent/TeamResources/other-cloning-
protocols. Diakses pada 24 September 2016.
Welch, J. (2015). Plasmids 101: Blue-White Screening. [ONLINE] AddGene. Tersedia di:
www.addgene.org/plasmids-101-blue-white-screening. Diakses pada 25 September 2016.
Welch, J. (2015). Plasmid Protocols: Bacterial Transformation. [ONLINE] AddGene. Tersedia di:
https://www.addgene.org/plasmid-protocols/bacterial-transformation/. Diakses pada 25 September
2016.
Woodall, C.A., et al. (2003). E.coli Plasmid Vectors: Methods and Applications. New Jersey: Humana Press.

15

Anda mungkin juga menyukai