NIM : 18030121
PRODI : AGROTEKNOLOGI
MK : BIOTEKNOLOGI PERTANIAN ( UAS )
PELAKSANAAN KEGIATAN
BAHAN DAN METODE
Materi Genetik
Materi genetik tebu yang digunakan adalah varietas BL yang diperoleh dari Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Balitbangtan, Kementan, dan bakteri
A. tumefaciens strain EHA105 (Cambia, Canberra, Australia) dan strain GV3101 (Durham
University, Durham, UK) yang mengandung plasmid pCambia-5300_OaRbcS-prom-cTP-
cry1Ab- cry1Ac.
Pembentukan Kalus Tebu
Kalus tebu diperoleh dengan cara menginduksi eksplan daun muda yang masih
menggulung yang diperoleh dari tunas ujung tanaman tebu berumur 3– 4 bulan (Gambar 1).
Potongan eksplan ditanam pada media induksi kalus MS padat yang diperkaya dengan zat
pengatur tumbuh (ZPT) 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D) 3 mg/l dikombinasikan
dengan casein hydrolisate 3 g/l. Inisiasi kalus berlangsung dalam kondisi gelap di ruangan
inkubasi pada 24°C±2°C. Kalus yang digunakan sebagai target dipilih yang bersifat
embriogenik dengan penampilan fisik berwarna putih kekuningan dan bersifat friable.
A B
Gambar 1. Sumber eksplan untuk pembentukan kalus tebu. (A) Pucuk tanaman tebu umur
3–4 bulan. (B) Daun muda yang masih menggulung.
Penyiapan Sel Kultur Agrobacterium
Rancangan percobaan yang digunakan pada seleksi dan regenerasi adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri atas dua faktor, yaitu BAP dan higromisin,
dengan tiga ulangan. Rancangan tersebut digunakan pada dua strain A. tumefaciens
(EHA105 dan GV3101) sehingga secara total terdapat 54 unit percobaan. Data dianalisis
dengan menggunakan uji F pada taraf 5%. Apabila uji F berbeda nyata maka dilakukan uji
lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).
Analisis Molekuler
Konfirmasi keberadaan T-DNA (gen fusi cry1Ab- cry1Ac) di dalam genom tebu
transforman putatif dilakukan dengan analisis molekuler menggunakan PCR yang sama
dengan yang digunakan untuk mengindentifikasi DNA plasmid pada kultur Agrobacterium.
Hal yang berbeda yaitu untuk planlet transforman putatif tidak menggunakan DNA yang
diisolasi dari jaringan planlet, namun menggunakan langsung bagian dari jaringan muda
planlet dan tunas bibit (dengan ukuran 0,5 µl) sebagai template untuk PCR direct dan NFW
sebagai kontrol negatif.
Potongan eksplan daun muda (Gambar 2A) yang ditanam pada media induksi kalus
MS padat yang diperkaya dengan ZPT 2,4-D 3 mg/l dikom- binasikan dengan casein
hydrolisate 3 g/l mulai terinisiasi menjadi kalus pada umur 2–3 minggu setelah tanam.
Bagian eksplan daun yang lebih mudah terinisiasi menjadi kalus berasal dari jaringan yang
lebih meristematik, dekat dengan titik tumbuh, dengan sifat fisik berwarna lebih putih dan
lentur (tidak kaku), rapuh, dan mudah dipotong. Setelah berumur 1 bulan, eksplan yang
telah terinduksi menjadi kalus disubkultur ke media dengan komposisi yang sama dengan
proses proliferasi kalus dan diperoleh kalus yang embriogenik dan remah (Gambar 2B).
A B
Gambar 2. Eksplan tebu dan pembentukan kalus yang digunakan sebagai target
transformasi. (A) Potongan eksplan berupa gulungan daun muda. (B) Struktur kalus tebu
embriogenik yang friable.
Setelah diberi perlakuan agitasi pada 28°C se- lama 48 jam, media YEP
memperlihatkan kekeruhan sebagai pertanda adanya pertumbuhan sel di dalam media
tersebut. Bakteri telah mereplikasi plasmid di dalam selnya dengan cara mengamplifikasi
bagian dari T-DNA plasmid (dibatasi oleh border kanan dan kiri), yaitu bagian dari gen
promotor dan gen fusi cry1Ab-cry1Ac yang ada di dalam plasmid vektor pCambia5300.
Primer yang digunakan menghasilkan fragmen DNA berukuran sekitar 316 bp.
Setelah kalus diinkubasi dengan larutan bakteri, kalus diinkubasi pada media
kokultivasi yang mengandung asetosiringon 100 mg/l selama 72 jam dalam kondisi gelap
pada 28°C (Gambar 5A). Pemberian senyawa asetosiringon pada saat kalus diinkubasi pada
media kokultivasi berfungsi sebagai penginduksi ekspresi gen virA/virG dari Agrobac-
terium (Brencic dan Winans 2005) sehingga terjadi proses transfer T-DNA ke sel kalus
tebu. Larutan sefotaksim pada konsentrasi 250 mg/l diberikan ke dalam media setelah
transformasi menggunakan strain EHA105 untuk mencegah per- tumbuhan bakteri secara
eksponensial. Untuk strain GV3101, konsentrasi sefotaksim ditingkatkan menjadi 500 mg/l
pada media pencucian kalus setelah perendaman, juga pada media resting.
Menurut Stanišić et al. (2018), sefotaksim ber- fungsi dalam mencegah pertumbuhan
Agrobacterium yang berlebihan. Konsentrasi 100 mg/l belum mampu mencegah
pertumbuhan bakteri saat proses inkubasi dengan kalus apel selama 7 hari. Semen tara,
konsentrasi optimum (200–600 mg/l) mampu menghambat pertumbuhan bakteri secara
stabil selama 2 minggu. Penggunaan antibiotik seperti sefo- taksim atau carbenicillin
diketahui berguna untuk menekan pertumbuhan bakteri seperti Agrobacterium karena
termasuk golongan β-lactam yang menyebabkan terganggunya proses biosintesis kompo-
nen peptidoglikan pada dinding sel bakteri.
Aplikasi sefotaksim (250 mg/l) menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak
dibanding dengan pemberian sefotaksim dengan konsentrasi lebih tinggi (500 mg/l) untuk
transformasi dengan A. tumefaciens strain GV3101 (Gambar 4B dan 4C). Hal ini diduga
karena terlalu tingginya peningkatan dosis sefotaksim hingga 500 mg/l pada media resting
serta media pencucian. Karenanya, sangat penting untuk menentukan konsentrasi antibiotik
yang tepat untuk menginduksi organogenesis serta mencegah terjadinya escape akibat
konsentrasi antibiotik yang kurang tepat. Tiwari et al. (2018) melaporkan bahwa pe-
ningkatan konsentrasi sefotaksim mampu mening- katkan penghambatan Agrobacterium
pada media.
Gambar 4. Seleksi dan regenerasi kalus tebu pascatransformasi dengan A. tumefaciens. (A)
Kalus yang telah ditransformasi pada media kokultivasi. (B) dan (C) Regenerasi kalus
transforman pada media seleksi. (D) Regenerasi kalus nontransforman pada media
nonseleksi.
Hasil analisis statistik penggunaan media seleksi untuk regenerasi kalus transforman
putatif menunjukkan bahwa hanya faktor higromisin yang berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tunas dan dosis higromisin terbaik sebagai penyeleksi tunas transforman
putatif adalah 30 mg/l (Tabel 1). Kombinasi perlakuan BAP dan higromisin tidak berbeda
nyata terhadap pertumbuhan tunas transforman putatif, diikuti hasil yang sama pada
perlakuan kedua faktor tunggal higromisin dan BAP pada strain EHA105.
Varietas BL menunjukkan inisiasi spot hijau terbaik pada media MS yang diperkaya
dengan BAP pada dosis 1 mg/l (Sukmadjaja dan Mulyana 2011). Pemberian BAP sebagai
golongan sitokinin dengan dosis terlalu tinggi diketahui menghambat proses pembelahan
sel. Selain menyebabkan keracunan pada sel tanaman (Ali et al. 2008), pemberian BAP dan
NAA pada saat yang bersamaan diketahui memberikan efek penghambatan pada
pembelahan dan pemanjangan sel (Gaspar et al. 1996). Dengan demikian, pada penelitian
ini pemberian NAA 0,1 mg/l dilakukan pada media subkultur baru sebagai nutrisi tunggal
atau tanpa kombinasi ZPT lain. Proliferasi tunas tertinggi pada strain GV3101 diper- oleh
pada perlakuan kombinasi BAP 1 mg/l dan higromisin 40 mg/l, sedangkan pada strain
EHA105 diperoleh pada kombinasi BAP 0,5 mg/l dan higromisin 30 mg/l. Proses inkubasi
pada media NAA selanjutnya dilakukan hingga secara morfologi tanaman cukup kuat
khususnya bagian akar untuk memasuki proses aklimatisasi.
Setiap sampel berdasarkan media perlakuan memiliki ulangan tunas yang dihasilkan
dari jumlah proliferasi tunas yang tumbuh dari kalus. Misalnya, jumlah proliferasi tunas
pada perlakuan 2.1 dengan pertumbuhan mencapai lima tunas, namun pertum- buhan tunas
tidak semua diikuti dengan hasil positif untuk pita gen target. Pada perlakuan media seleksi
2.1 yang menggunakan higromisin 40 mg/l dengan kombinasi BAP 1 mg/l, frekuensi
regenerasi tertinggi mencapai 71,4%, namun terdapat peristiwa escape sebanyak satu tunas
(5,5%) karena diketahui tidak tersisipi gen target.
Secara fisiologis, penyebab keadaan pertum- buhan tunas yang tidak tersisipi gen
target diduga karena adanya respons escape sel tanaman karena dipengaruhi oleh
penggunaan antibiotik seperti kanamisin atau sefotaksim dengan dosis tertentu. Kejadian
escape merupakan keadaan saat tanaman melakukan proses perlindungan sel
nontransforman terhadap sel transforman sehingga tanaman bersifat chimera atau keadaan
sel pada tanaman belum homogen (Bower dan Birch 1992; Dong dan McHughen 1993;
Arencibia et al. 1998). Selain escape, terdapat peristiwa nekrosis. Nekrosis secara umum
diketahui berdasarkan warna daun planlet yang ber- warna kuning atau putih yang
menyebabkan tunas tidak tumbuh dengan sempurna (Gambar 5A) jika dibandingkan dengan
planlet yang memiliki warna daun hijau normal (Gambar 5B). Terjadinya nekrosis pada sel
atau jaringan transforman menyebabkan hambatan bagi regenerasi sel untuk menjadi tanam-
an utuh sehingga dapat membatasi jumlah tanaman transgenik yang diregenerasikan (Dan et
al. 2009).
Gambar 5. Keragaan pertumbuhan biakan tebu varietas BL hasil transformasi dengan
metode transformasi A. tumefaciens. (A) Sebagian tunas tanaman transforman mengalami
nekrosis. (B) Tunas nontransforman berwarna hijau.
Identifikasi keberadaan T-DNA di dalam genom tebu telah dilakukan dengan metode
PCR direct menggunakan jaringan yang diambil dari planlet dan daun muda bibit tebu
sebagai sumber DNA, tanpa melalui tahapan isolasi DNA. Elektroforesis hasil PCR untuk
gen target cry1Ac menggunakan primer Cry1Ac-316 forward dan Cry1Ac-316 reverse pada
empat sampel planlet menunjukkan pola pita satu fragmen DNA yang berukuran sekitar 300
bp (tepatnya 316 bp) (Gambar 6). Elektroforesis hasil PCR dengan primer yang sama pada
tujuh sampel tunas menghasilkan pita DNA yang berukuran sama, yaitu sekitar 300 bp
(Gambar 7). Fragmen DNA yang dihasilkan dari sampel planlet dan bibit sama dengan
fragmen DNA yang dihasilkan dari DNA kultur Agrobacterium (sumur 1 dan 2 pada
Gambar 3 dan sumur 9 pada Gambar 7). Hasil PCR ini diperkuat dengan kontrol negatif,
yaitu NFW (sumur 5 pada Gambar 6) dan sampel tunas tebu varietas BL nontransgenik atau
wild type (sumur 8 pada Gambar 7). PCR menggunakan NFW sebagai kontrol negatif
dilakukan untuk memastikan bahwa reaksi PCR tidak terkontaminasi. Sementara, sampel
tunas tebu varietas BL wild type digunakan untuk membuktikan bahwa gen cry1Ac secara
alami tidak terdapat di dalam genom tebu tersebut.
Pola pita hasil analisis molekuler tersebut menunjukkan keberadaan gen target cry1Ac
pada genom lini tebu transforman sehingga lini-lini tebu tersebut dapat dikategorikan
sebagai transforman/ transgenik putatif. Hasil analisis molekuler meng- gunakan metode
PCR direct ini menunjukkan bahwa sebanyak 17 lini dan 21 lini tebu transgenik BL-Cry
telah dihasilkan masing-masing dari transformasi A. tumefaciens strain GV3101 dan
EHA105 (Tabel 2).
Menurut Young et al. (2007), PCR direct dilaku- kan dengan prinsip pemisahan
komponen selular seperti dinding sel dari bagian target amplifikasi dengan menggunakan
larutan bufer tanpa purifikasi DNA sehingga amplifikasi dapat dilakukan secara langsung
dari jaringan daun tanaman. Pada teknik PCR ini, sampel daun pada stadia yang berbeda
(muda dan tua), cara penusukan pada jaringan daun, dan cara pelarutan DNA ke dalam
campuran PCR menentukan kuantitas pita DNA hasil PCR dan tingkat keberhasilan proses
amplifikasi target (Ohta et al. 2013). Dengan demikian, terdapat kemungkinan bahwa tidak
munculnya pita DNA pada saat proses visualisasi dengan elektroforesis gel agarosa pada
beberapa sampel disebabkan hal tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan PCR kembali
menggunakan DNA hasil isolasi sebagai template.
Gambar 6. Pola amplifikasi DNA hasil PCR gen cry1Ac dari sampel planlet hasil
transformasi dengan metode transformasi A. tumefaciens. L = DNA ladder 100 bp. DNA
sampel pada sumur gel agarosa: 1 = 1.1 EHA105, 2 = 6.2 EHA105, 3 = 3.1 EHA105, 4 =
9.2 EHA105, 5 = nuclease-free water (NFW, kontrol negatif). Nomor media seleksi sama
dengan Tabel 1.
Gambar 7. Pola amplifikasi DNA hasil PCR gen cry1Ac dari sampel tunas tanaman tebu
hasil transformasi dengan metode transformasi A. tumefaciens. L = DNA ladder 100 bp.
DNA sampel pada sumur gel agarosa: 1= 7.1.1, 2 = 7.1.2, 3 = 7.1.3, 4 = 7.1.4, 5 = 7.1.5, 6 =
7.1.6, 7 = 7.1.7, 8 = varietas BL (wild type, control negatif), 9 = kultur A. tumefaciens strain
EHA105 yang digunakan pada transformasi (kontrol positif).
KESIMPULAN
PELAKSANAAN KEGIATAN
BAHAN DAN METODE
A. Alat dan Bahan
Alat-alat yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik,
gunting, blender, oven, botol vial, erlenmeyer, cawan penguap, gelas ukur, spatula, tabung
reaksi, rak tabung reaksi, pipet tetes, batang pengaduk, corong kaca, rotary vacuum
evaporator, spektroskopi IR- Shimadzu dan spektrum 1H NMR 500 MHz.
Sampel daun mangrove diambil di Desa Dulupi, Kecamatan Dulupi, Kabupaten Boalemo.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquades, metanol, etil asetat, n-
heksana, pereaksi Liebermann Burchard, kloroform, etanol, H2SO4 pekat, dan silika gel.
B. Metode
Sampel daun mangrove diambil dalam kondisi segar berwarna hijau tidak cacat/utuh.
Sampel daun mangrove dicuci dan dikeringkan, kemudian dipotong. Sampel daun mangrove
selanjutnya dikering-anginkan di ruangan terbuka. Setelah itu sampel dihaluskan dengan
menggunakan blender.
Tahap ekstraksi
Sampel daun mangrove yang telah halus dimaserasi menggunakan pelarut metanol.
Setiap 1 x 24 jam pelarut diganti dengan metanol yang baru. Demikian seterusnya, maserasi
dihentikan sampai komponen kimia dalam daun mangrove terekstrak sempurna yang
ditandai dengan pelarut pengekstrak sudah bening atau ketika diuji dengan kromatografi
lapis tipis (KLT) tidak memperoleh noda.
Ekstrak dipisahkan dengan kromatografi kolom dengan menggunakan fasa diam silika
gel dan fasa gerak n-heksana : etil asetat dengan teknik elusi bergradien. Hasil kromatografi
kolom diuji kemurniannya dengan menggunakan KLT. Jika isolat menunjukkan pola noda
tunggal pada KLT, maka dapat disimpulkan bahwa isolat murni telah diperoleh dari ekstrak
kental tersebut.
Isolat yang diperoleh diukur dengan spektroskopi ultra violet dan infra red untuk
karakterisasi isolat dan identifikasi isolat tersebut dengan jurnal yang telah ditemukan pada
daun mangrove. Berdasarkan hasil tersebut dapat diidentifikasi kelompok isolat yang
ditemukan ternasuk dalam kelompok metabolit sekunder yang mana.
Daun tumbuhan mangrove diambil dari Kecamatan Dulupi. Sampel dicuci sampai
bersih, kemudian dipotong kecil-kecil dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.
Setelah kering diperoleh sebanyak 530 gram. Tujuan dari pengeringan adalah untuk
menghilangkan kadar air dalam daun tumbuhan mangrove.
B. Ekstraksi
Sebanyak 530 gram sampel daun mangrove dimaserasi dengan pelarut metanol
selama 3 × 24 jam, di mana setiap satu kali perendaman pelarut metanol diganti dengan
yang baru. Pelarut metanol digunakan dalam maserasi ini karena pelarut metanol diketahui
sebagai pelarut universal yang dapat mengikat komponen senyawa kimia baik bersifat
nonpolar, semi polar, dan polar. Maserat yang terkumpul kemudian dievaporasi pada suhu
45 ᵒC. Ekstrak kental metanol yang diperoleh dari hasil evaporasi sebanyak 13 gram.
Selanjutnya ekstrak kental metanol dilakukan uji fitokimia dan pemisahan untuk
mendapatkan isolat murni.
C. Rendemen
Rendemen merupakan persentase bagian bahan baku yang dapat digunakan atau
dimanfaatkan dengan total bahan baku. Semakin tinggi nilai rendemen menandakan bahwa
bahan baku tersebut memiliki peluang untuk dimanfaatkan lebih besar (Kusumawati et al.,
2008). Dalam proses ekstraksi rendemen ekstrak kental metanol yang diperoleh yaitu
sebanyak 2,45%.
D. Pemisahan dan Pemurnian
Sampel yang telah diuji fitokimia kemudian dilakukan pemisahan dan pemurnian
yang bertujuan untuk mendapatkan senyawa murni. Sebanyak 10 gram ekstrak metanol
dipisahkan dengan kromatografi kolom bergradien. Pemisahan diawali dengan packing
kolom yaitu dengan membuat filter dari kapas untuk menahan silika agar tidak keluar
bersama pelarut. Kolom yang digunakan adalah kolom yang memiliki panjang 50 cm.
Packing kolom dilakukan dengan cara kering, yaitu kolom diisi pelarut n-heksana terlebih
dahulu kemudian dimasukkan silika gel sampai dengan ketinggian silika 20 cm ke dalam
kolom dengan posisi kran dalam keadaan terbuka. Eluen dialirkan hingga silika gel padat
selama beberapa jam dan didiamkan sampai satu malam. Tujuan kolom dielusi sampai silika
gel benar-benar padat adalah untuk menghindari retakan dalam kolom sehingga diharapkan
terjadi pemisahan yang maksimal.
Sampel yang akan dipisahkan dilarutkan dengan pelarut yang sesuai, dalam hal ini
ekstrak kental metanol dilarutkan dengan pelarut n-heksana sampai sedikit cair kemudian
dimasukkan perlahan-lahan ke dalam kolom dengan kran terbuka serta tetesannya diatur.
Ekstrak dielusi dengan eluen bergradien diawali dengan n-heksana 100% setelah itu N-
heksana : etil asetat dengan perbandingan 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, 4:6, 3:7, 2:8, 1:9, sampai
etil asetat 100% dengan kenaikan kepolaran pelarut sebesar 10%. Hasil kromatografi kolom
menghasilkan 62 fraksi. Fraksi-fraksi tersebut kemudian dianalisis KLT, untuk
penggabungan fraksi. Hasil KLT mendapatkan 7 fraksi antara lain fraksi A (1-3) 0.0241
gram, fraksi B (4-10) 0.0253 gram, fraksi C (11-13) 0.1643 gram, fraksi D (14-23) 0.2425
gram, fraksi E (24-38) 0.2843 gram, fraksi F (39-49) 0.2994 gram, dan fraksi G (50-62)
0.3418 gram.
Pada fraksi C (vial nomor 11-13) terlihat pembentukan kristal jarum yang masih kotor
sehingga dilakukan rekristalisasi dengan n- heksana dan etil asetat. Hasil rekristalisasi
didapatkan kristal jarum berwarna putih dengan berat 0,1093 g dan pengotor sebanyak
0,0553 g (Gambar 1).
Gambar 1. Profil fraksi C yang ada kristal jarum berwarna putih
E. Uji Kemurnian
Isolat hasil rekristalisasi dianalisis KLT dengan eluen yang bervariasi yaitu campuran
n-heksana : metilen klorida : aseton (9:1:0,5), n-heksana : aseton (9:1), n-heksan : etil asetat
(9:1), dan etil : asetat : metanol (8:2) untuk melihat apakah hasil tersebut sudah
menunjukkan pola noda tunggal. Isolat murni yang telah dianalisis KLT dengan eluen yang
bervariasi, sebelum diidentifikasi lebih lanjut, diuji terlebih dahulu dengan menggunakan
KLT dua dimensi. Tujuan dilakukannya KLT dua dimensi adalah untuk melihat apakah
isolat ini benar-benar murni dengan eluen dan perbandingan yang berbeda. Perbandingan
eluen yang digunakan yaitu campuran n-heksana : metilen klorida : aseton (9:1:0,5) M1 dan
n-heksana : etil asetat (9:1) M2. Hasil analisis menunjukkan pola noda tunggal pada plat
KLT dengan harga Rf 0,34 untuk elusi pertama (M1) dan 0,82 untuk elusi kedua (M2).
Hasil uji fitokimia senyawa yang terkandung dalam isolat murni positif triterpenoid,
sementara pada uji alkaloid dan flavonoid hasilnya negatif. Hasil uji fitokimia dengan
menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard menunjukkan bahwa kandungan isolat murni
diduga sebagai senyawa triterpenoid dengan perubahan warna menjadi merah bata. Hal ini
dibuktikan dan didukung oleh data spektrofotometri infra merah dan NMR.
Isolat murni yang merupakan fraksi hasil kromatografi kolom diidentifikasi dengan
spektroskopi infra merah untuk melihat gugus fungsi yang terkandung dalam isolat (Gambar
2). Berdasarkan analisis spektrum IR pada Gambar 2 menunjukkan adanya gugus fungsi.
Analisis data bilangan gelombang, intensitas, dan gugus fungsi dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil analisis spektrum IR, senyawa isolasi memperlihatkan serapan
panjang gelombang 3570,5 cm-1 disebabkan oleh uluran gugus OH dengan bentuk pita
tajam dengan intensitas lemah. Diperkuat dengan literatur yang ada yaitu adanya serapan
pada daerah panjang gelombang 3550 -3200 3200 cm-1 (Silverstein,1984), serapan pada
panjang gelombang 3000-3750 cm-1 merupakan serapan OH yang mempunyai ikatan
hidrogen (Creswell, 1982).
Hasil pengukuran juga menunjukkan 2 serapan pita lebar yang muncul pada daerah
spektrum bilangan gelombang 2935.3 cm-1 dan 2866 cm-1 yang merupakan uluran C-H.
Hal ini tidak jauh beda dengan literatur yang ada yaitu pada serapan panjang gelombang
2830-2695cm-1 (Silverstein, 1984), 2926-2853 (Sudjadi, 1983),dan 2953 (Netti, 2011).
Identifikasiadanya cincin aromatik ditunjukkan pada daerah bilangan gelombang 1687.4
cm-1yang menunjukkan adanya ulur C=C. Analisisini diperkuat dengan literatur yang ada,
dengan panjang gelombang yang tidak jauh berbeda yaitu 1667-1640 cm-1(Silverstein,
1984), 1610-1650 (Sudjadi, 1983), dan 1650-1900(Creswell, 1982).
Tekuk OH dengan bentuk pita tajam dan intensitas lemahmemberikan serapan pada
bilangan gelombang 1461.0 cm-1. Hal ini didukung oleh data Silverstein (1984)yaitu 1420
cm-1, Sudjadi (1983) yaitu 1465cm-1, dan Creswell (1982) yaitu 1300-1475cm-1. Tekuk
CH dengan bentuk pita lebar memiliki intensitas lemah memberikan pita serapan pada
bilangan gelombang 1385.4 cm-1. Data ini didukung oleh data bilangan
gelombangSilverstein (1984)yaitu 1330 cm-1, dan Creswell (1982) yaitu 1330-1420 cm-1.
Serapan lebar dengan intensitas lemahpada daerah bilangan gelombang 1236.2 cm-
1menunjukkan adanya gugus fungsi C-Oyang didukung dengan data Silverstein (1984)yaitu
1000-1260 cm-1, Sudjadi (1983) yaitu 1205 cm-1, dan Creswell (1982) yaitu 1000-1300cm-
1.
Pada spektrum 1H-NMR isolat murni, terdapat tumpukan sinyal pada rentang
pergeseran kimia δH 0,70-2,31 ppm, sehingga dapat disimpulkan bahwa sinyal tersebut
berasal dari proton sp3. Berdasarkan data 13C-NMR dan 1H-NMR dapat dilihat banyaknya
karbon sp3 yang berada pada rentang δC 15-58 ppm dan δH 0,70 – 2,31 ppm yang
merupakan ciri khas golongan triterpenoid (Souza et al., 2011).
KESIMPULAN
Senyawa metabolit sekunder dari daun tumbuhan mangrove yang berhasil diisolasi
adalah senyawa golongan terpenoid tipe triterpenoid.
ALAMAT URL JURNAL : https://repository.ung.ac.id/karyailmiah/show/1283/weny-musa-
senyawa-triterpenoid-dari-tumbuhan-mangrove-sonneratia-alba-triterpenoid-compound-from-
mangrove-plant-sonneratia-alba.html