Anda di halaman 1dari 20

RIBA< DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’A<N

(Kajian Tafsir Tematis)


Oleh: Nyoko Adi Kuswoyo
Universitas Yudharta Pasuruan

Abstraksi: Penelitian ini berjudul ‚Riba dalam


Perspektif al-Qur’an; Kajian Tafsir Tematis‛.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam
penelitian ini, sesuai dengan metode mawdû`î yang
digunakan penulis, diawali dengan melakukan
identifikasi dan klasifikasi ayat-ayat seputar riba
dalam al-Qur`an, kemudian dilakukan analisis
mendalam terhadap ayat-ayat yang berhubungan
dengan tema ini.
Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan data bahwa
kata riba dalam Al-Quran ditemukan terulang
sebanyak delapan kali yang terdapat dalam empat
surat, yaitu Al-Baqarah (275, 276, 278), A<li 'Imra>n
(130), Al-Nisa>' (159), dan Al-Ru>m (39). Tiga surat
pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi
hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Ru>m adalah
"Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah).
Adapun fase-fase hukum riba, selama ini para
mufassir membagi empat kategori, yaitu; Pertama,
fase sebatas mendeskripsikan adanya unsur negatif di
dalamnya (Al-Ru>m: 39). Kedua, fase isyarat tentang
keharamannya (Al-Nisa>': 159). Ketiga, fase yang
secara eksplisit dinyatakan keharaman salah satu
bentuknya (A<li 'Imra>n: 130). Keempat, fase
diharamkan secara totalitas dalam berbagai
bentuknya (Al-Baqarah: 278).
Kata Kunci: Riba, al-Qur’an
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

A. Pendahuluan
Berinteraksi dengan al-Qur’an, sungguh merupakan salah-
satu pengalaman teologis yang sangat berharga bagi seorang
muslim. Pengalaman berinteraksi dengan al-Qur’an dapat
terungkap atau diungkapkan melalui lisan, tulisan maupun
perbuatan; baik berupa pemikiran, pengalaman emosional maupun
spiritual.
Bagi kaum muslimin, kehadiran al-Qur’an tidak saja
sebagai kitab suci (scripture), tetapi juga sebagai kitab petunjuk.
Itulah sebabnya ia selalu dijadikan referensi dan mitra dialog
dalam menyelesaikan problem kehidupan yang mereka hadapi.
Dari sini dapat dimengerti jika kemudian kajian terhadap al-
Qur’an lebih sering ditekankan pada bagaimana mengungkap dan
menyingkap ayat-ayat al-Qur’an dari pada yang lain.
Dalam konteks yang demikian, Amin al-Khulli cukup
berperan bahwa penelitian yang menjadikan teks al-Qur’an
sebagai objek kajian (dirasat ma fi al-Nas), merupakan salah-satu
kiat untuk mengungkap pandangan dunia (weltanschauung) al-
Qur’an tentang konsep tertentu agar ketepatan pemahanan
(subtilitas inttelegendi) dan ketepatan penjabaran (subtilitas
ecsplicandi) dapat tercapai. Kajian-kajian tersebut dalam
terminologi ilmu-ilmu al-Qur’an disebut dirasah qur’aniyah
maudu’iyah (kajian al-Qur’an tematik).
Salah-satu konsep atau tema yang termaktub dalam al-
Qur’an adalah tentang riba. Konsep ini, meski terbilang relatif
klasik (baca: sudah banyak yang membahas), namun bukan berarti
menjadi wacana yang kering untuk selalu kita singgung dan kita
perdebatkan. Justeru dalam wacana tersebut, minimal, selain
terdapat pembacaan yang terlewati, juga akan memantapkan
religiusitas kita apabila dihadapkan dengan wacana kontemporer.
Karena itu, penulis dalam makalah ini akan membahas tentang
riba dalam perspektif al-Qur’an. Hal ini dilakukan dalam rangka

088 * MAFHUM,
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

menghindari bias interpretive despotism, sebagaimana yang


terdapat dalam metode-metode penafsiran lain yang diklaim
terkesan atomistik.

B. Ayat dan Terjemah (al-A<yat wa al-Tarjamah)


Kata riba1 dalam Al-Quran ditemukan terulang sebanyak
delapan kali2, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah (275,
276, 278), A<li 'Imra>n (130), Al-Nisa>' (159), dan Al-Ru>m (39). Tiga
surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke
Madinah), sedang surat Al-Ru>m adalah "Makiyyah" (turun
sebelum beliau hijrah).
1. Baqarah: 275
         

             

            

            

‚Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak


dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan

1
Kata Al-Riba> berasal dari kata Rabawa yang berarti bertambah. Kata Rabat yang
disebutkan dalam Qs: Al-Haj: 5 bermakna irtafa'at, namat dan za>dat yang berarti
bertambah. Kata Ra>biyatan dalam Qs: Al-Haqqah: 10 bermakna na>miyatan yang berarti
"bertambah besar". Demikian pula kata al-Riba> yang termaktub dalam Qs: Al-Baqarah:
267 juga bermakna bertambah. Artinya, kata al-Riba> adalah perilaku pemilik modal yang
mengambil keuntungan dari peminjam modal. Kata Arba>-Yurbi> berarti mengambil lebih
banyak dari yang diberikan. Lihat selengkapnya; Al-Tunji>, Al-Mu'jam al-Mufas}s}al fi> al-
Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1424) h. 190.
2
Al-Maqdisi, Fath al-Rahman li Talibi Ayat al-Qur’an (Jakarta: Diponegoro, t.th.),
h. 171.

MAFHUM, * 089
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli


itu sama dengan riba, padahal Allah Telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-
orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
2. Al-Baqarah: 276
           

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.


dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
3. Al-Baqarah: 278
            

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada


Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman‛.
(Qs. Al-Baqarah: 278)
4. Ali Imran: 130

          

  


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.

090 * MAFHUM,
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

5. Al-Nisa’: 159
          

    

Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal


Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan
Karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-
orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
6. Al-Rum: 39
              

        

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar


dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

C. Kronologi Turunnya Ayat dan Konteks Historis (Sabab al-Nuzu>l)


Pada sub bab ini, selaras dengan langkah-langkah metode
tafsir tematik; yaitu menjelaskan kronologi ayat sesuai dengan
masa turunnya dan mendeskripsikan konteks historis ayat-ayat
riba. Namun untuk mengetahui kronologi masa turunnya ayat
tersebut, satu hal yang urgen untuk dikemukakan di sini bahwa
untuk memahami pesan-pesan seutuhnya kitab suci al-Qur’an,
terlebih dahulu mengetahui penanggalan atau susunan kronologi
bagian-bagian al-Qur’an (surat) antara yang Makkiah dan
Madaniah.

MAFHUM, * 091
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

Dari empat surat di atas, untuk menentukan apakah


termasuk surat yang diturunkan pada fase Makkiyah atau
Madaniyah, penulis merujuk pada buku Taufik Adnan Amal yang
mengutip susunan kronologi surat-surat al-Qur’an edisi standar
Mesir3, bahwa tiga surat pertama (al-Baqarah, al-Nisa’ dan Ali
Imran) adalah Madaniyah, sedangkan surat al-Rum adalah
Madaniyah.
Tidak jauh berbeda dengan di atas, kronologi surat-surat
yang ditawarkan oleh para orientalis, semisal Gustav Weil,
Theodor Noldeke, Hubert Grimme dan Regis Blachere,
menunjukkan hal yang sama. Hanya saja, mereka membagi fase
Mekkah menjadi tiga periode; Periode Mekkah Awal, Periode
Mekkah Tengah dan Mekkah Akhir.4 Terkait dengan surat-surat
di atas, para orientalis ini memasukkan surat al-Baqarah, al-Nisa’
dan Ali Imran pada kategori Mekkah Akhir.
Merujuk pada penjelasan di atas, kiranya sudah bisa
dipastikan bahwa susunan surat-surat al-Qur’an yang membahas
tentang riba pertama kali adalah surat al-Rum ayat 39. Hal ini
dikarenakan, salah-satunya, pada ayat ini tidak berbicara tentang
riba yang diharamkan. Sedangkan pada surat-surat berikutnya
yang diturunkan di Madinah, yaitu surat al-Nisa’: 161, Ali Imran:
130 dan terakhir surat al-Baqarah: 278.
Karena itu pula, Syekh Mustafa Al-Mara>ghi,>5 menjadikan
fase-fase hukum riba ini menjadi empat, yaitu; Pertama, fase
sebatas mendeskripsikan adanya unsur negatif di dalamnya (Al-
Ru>m: 39). Kedua, fase isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa>':
159). Ketiga, fase yang secara eksplisit dinyatakan keharaman

3
Taufik Adnan Amal, Tafsir Kontekstual al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1990), h. 91.
Bandingkan dengan M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996),
h. 259.
4
Ibid, h. 905-104.
5
Ah}mad Mus}t}afa> Al-Mara>ghi>, Tafsi>r Al-Mara>ghi>, Vol. III (Mesir: Mus}t}afa> Al-
Halabi>, 1946), h. 59

092 * MAFHUM,
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

salah satu bentuknya (A<li 'Imra>n: 130). Keempat, fase diharamkan


secara totalitas dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 278).
Namun hemat penulis, sesuai petunjuk teknis yang
diberikan oleh dosen pengampu, Prof. Dr. H. M. Roem Rowi, MA
bahwa dalam studi tafsir tematis, tartib al-Nuzul bukan aturan
yang baku. Artinya, kalau ternyata dalam satu ayat, misalnya,
pesan moralnya lebih umum, maka hal itu harus didahulukan.
Karena itu, terkait dengan fase-fase status riba, maka Qs. Al-
Nisa’: 159 yang menjelaskan isyarat tentang keharamannya
merupakan fase pertama dalam riba. Kemudian, ayat yang
mendeskripsikan adanya unsur negatif di dalamnya, menempati
pada fase kedua.
Kebijakan di atas, didasarkan pada suatu pertimbangan
bahwa dalam ayat tersebut (Qs. Al-Nisa’: 159) mendeskripsikan
tentang sejarah riba bahwa dahulu, sebelum ummat Nabi
Muhammad, praktik riba yang dilakukan oleh umat terdahulu
telah merajalela dan Allah juga melarangnya.
Adapun konteks historis (sabab al-Nuzul) dari semua ayat
yang membicarakan masalah riba, penulis hanya mendapatkan
konteks historis Qs. Al-Baqarah: 278 dan Qs. Ali Imran: 130.
Konteks historis Qs. Al-Baqarah: 278 di mana dalam kitab karya
Ima>m al-Suyu>t}i>6 terdapat dua redaksi, yaitu:
1. Diceritakan dari Ibnu Abba>s, beliau berkata, "Kami
mendapatkan berita bahwa ayat ini turun pada Bani Amr bin
Auf dari Suku Tsaqif dan pada Bani Mugirah. Bani Mugirah
memberikan buga uang pada Bani S|aqif sewaktu kota Makkah
dikuasakan Allah pada Rasul-Nya, (di mana) pada waktu itu
seluruh (hukum) riba telah dihapuskan. Keduanya datang
(menemui) Uta>b Ibnu Usaid yang menjadi Gubernur Mekkah
(untuk mengadukan kasusnya). Bani Mugirah mengadu, "Kami
adalah manusia yang paling menderita akibat dihapusnya riba.
6
Al-Suyu>t}i>, Asba>b al-Nuzu>l, (t.tp: Dar al-Taqwa, t.th), h. 47

MAFHUM, * 093
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

Sebab (praktek tersebut) pada semua manusia telah


dihapuskan, tetapi (mengapa) pada kami tidak?". Bani Amr
menjawab, "Dalam perjanjian damai di antara kami (terdapat
kesepakatan) bahwa kami tetap memperoleh riba". Kemudian
Gubernur Mekkah menulis surat pada Rasulullah tentang
(konflik) tersebut, maka turunlah ayat ini dan sesudahnya‛.
2. Ibnu Jari>r mengeluarkan dari Ikrimah, beliau berkata, ‚Ayat ini
diturunkan pada suku Bani> Th|aqi>f, di antara mereka terdapat
Mas’u>d, H{ubaib, Rabi>’ah, Abd Ya>lail, Bani> Amr dan Bani>
Umair.
Sementara Imam al-Wa>h}idi> al-Naisa>bu>ri>7 dalam karyanya
menjelaskan bahwa faktor yang melatarbelakangi diturunkannya
ayat ini adalah:
1. Diceritakan dari Ibnu Abba>s, beliau berkata, "Telah sampai
pada kami, -demi Allah- bahwa ayat ini turun pada Bani> Amr
bin Umair bin Auf dari Suku Thaqi>f dan pada Bani> Mughi>rah
dari Bani> Mahzu>m. Dulu Bani> Mughi>rah memberikan buga
uang pada Bani> Thaqi>f sewaktu kota Makkah dikuasakan Allah
pada Rasul-Nya, (di mana) pada waktu itu seluruh (hukum)
riba telah dihapuskan. Keduanya datang (menemui) Ata>b Ibnu
Usaid yang menjadi Gubernur Mekkah (untuk mengadukan
kasusnya). Bani> Mughi>rah mengadu, "Kami adalah manusia
yang paling menderita akibat dihapusnya riba. Sebab (praktek
tersebut) pada semua manusia telah dihapuskan, tetapi
(mengapa) pada kami tidak?". Bani Amr menjawab, "Dalam
perjanjian damai di antara kami (terdapat kesepakatan) bahwa
kami tetap memperoleh riba". Kemudian Gubernur Mekkah
menulis surat pada Rasulullah tentang (konflik) tersebut, maka
turunlah ayat ini dan sesudahnya‛.
2. al-Sudi> berkata, ‚Ayat ini turun pada al-Abb>as dan Kha>lid bin
Wali>d yang berkongsi di zaman jahiliyah dengan cara
7
Al-Wa>h}idi> al-Naisa>bu>ri>, Asba>b al-Nuzu>l (Beirut: Dar al-Fikr, 1411),h. 55-56

094 * MAFHUM,
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

memberikan pinjaman secara riba. Setelah agama Islam


datang, (ternyata) keduanya masih mempunyai sisa riba harta
dalam jumlah besar. Kemudian turunlah ayat ini, lalu
Rasulullah bersabda, ‚Ketahuilah, sesungguhnya tiap-tiap riba
dari riba jahiliyah harus dihentikan, dan riba pertama yang aku
hentikan adalah (praktek) riba al-Abba>s bin Abd al-Mut}allib‛.
Sedangkan konteks historis Qs. Ali Imran: 130, Wahbah
al-Zuhaili mengutip riwayat yang dikeluarkan oleh al-Faryabi
dari Mujahid berkata, ‚Orang-orang jahiliyah membeli barang
kredit. Apabila telah tiba waktu pembayaran dan tidak
membayar, maka bertambahlah bunganya dan ditambahkan
pula jangka waktu pembayarannya, lalu turunlah ayat
tersebut.8
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa, di zaman
Jahiliyah Tsaqif berhutang kepada Bani Nadhir, pada waktu
yang telah dijanjikan untuk membayar hutang itu, Tsaqif
berkata: ‚Kami akan membayar bunganya dan kami meminta
agar waktu pembayaranya ditangguhkan‛. Sehubungan dengan
hal itu Allah SWT menurnkan ayat 130 ini.9

D. Korelasi Ayat (Munasabat al-Ayat)


Setelah membahas kronologi ayat dan konteks historis,
langkah berikutnya dalam kajian tafsir tematik adalah
memahami korelasi ayat dalam tiap suratnya masing-masing,
tentu saja dalam hal ini ayat-ayat tentang riba.
1. Al-Nisa’: 159
Surat al-Nisa’ ayat 160 menjelaskan tentang salah-satu
bentuk ke zaliman orang-orang Yahudi yaitu menghalangi
manusia menuju jalan Allah, sedangkan pada ayat ini, al-Nisa’:
8
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj,
Vol. 4 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1418), h. 82.
9
Ibn al-Munzir al-Naisaburi, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Vol. 1, (Madinah: Dar al-
Ma’atir, 1423), h. 378

MAFHUM, * 095
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

159 Allah menyebut sebagain yang lain dari rincian kezaliman


itu, yakni bahwa pengharaman sebagian dari apa yang tadinya
dihalalkan adalah juga disebabkan mereka memakan riba.10
Bentuk larangan tersebut, menurut Wahabah al-Zuhaili
merupakan siksaan Allah pada orang-orang Yahudi di dunia,
dan kelak mereka akan mendapat siksa yang pedih. Sedangkan
orang mukmin yang berbuat baik, maka baginya akan
mendapat pahala yang besar berupa surga.11
2. Al-Rum: 39
Jika pada ayat sebelumnya (Al-Rum: 37-38), Allah
menjelaskan bahwa diri-Nya adalah zat yang maha
melapangkan rezeki dan menyempitkan bagi siapa saja yang
dikehendaki-Nya, maka pada ayat berikutnya, Allah
menghendaki agar orang-orang yang beriman tidak segan-
segan untuk berbuat baik pada orang-orang yang
membutuhkan uluran tangan. Sebab harta yang diinfakkan
tersebut tidak akan bisa terkurangi kadar kuantitasnya apabila
Allah telah melapangkannya.12
Demikian pula, ayat 39 surat al-Rum ini jika
dikorelasikan dengan ayat sebelumnya, al-Rum: 36-38, maka
akan nampak perbedaan mencolok antar keduanya. Aritnya,
jika ayat sebelumnya berbicara tentang nilai keikhlasan
berinfak demi karena Allah semata, maka di sini diuraikan
tentang pemberian yang mempunyai maksud-maksud tertentu.
Pemberian tersebut berupa hadiah dengan tujuan untuk meraup
keuntungan materi yang tentu saja dinilai bukan merupakan
perilaku yang baik, walau tidak terlarang.13

10
Ibid,…… Vol. 2, h. 655.
11
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir,……….Vol. 6, h. 26.
12
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir,……Vol. 21, h. 92.
13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h.
72.

096 * MAFHUM,
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

3. Ali Imran: 130


Setelah Allah memberikan penjelasaan pada ayat
sebelumnya, bahwa orang-orang yang beriman agar tidak
mengambil makanan orang-orang musyrik dan Yahudi, serta
menjelaskan pada mereka bahwa kunci sukses dalam perang
Badar dan Uhud agar tidak tertipu dengan strategi orang
musyrik dan Yahudi adalah sabar dan takwa, maka pada ayat
130 surat Ali Imran ini, Allah melarang kaum muslimin agar
tidak terperosok pada praktek riba yang telah menjadi darah
daging (sifatin-lazimatin) kaum musyrik dan Yahudi.14 Hasil
dari praktek riba tersebut, salah-satunya digunakan oleh kaum
musyrik sebagai pembiayaan dalam peperangan Uhud,
sehingga menyilaukan mata kaum muslimin untuk melakukan
hal yang sama. Karena itu, ayat ini turun mengingatkan kaum
muslimin agar jangan melangkah ke sana.
4. Al-Baqarah: 275-278
Sebelum ayat-ayat ini, Allah membahas tentang nafkah
atau sedekah dalam berbagai aspeknya. Dalam anjuran
bernafkah, tersirat anjuran untuk bekerja dan meraih apa yang
dapat dinafkahkan. Karena bagiamana mungkin dapat
memberi, kalau tidak memiliki. Pada ayat ini ada cara
perolehan harta yang dilarang, yaitu yang bertolak belakang
dengan sedekah.15 Cara tersebut adalah riba. Sedekah adalah
pemberian tulus dari yang mampu kepada yang butuh tanpa
mengharapkan imbalan dari mereka. Riba adalah mengambil
kelebihan di atas modal dari yang butuh dengan
mengeksploitasi kebutuhannya. Para pemakan riba itulah yang
dikecam oleh ayat ini, apalagi praktik ini dikenal luas di

14
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir,………Vol. 4, h. 82. Bandingkan dengan; M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,……,Vol. 2, h. 213.
15
Wahbah Zuhaili menandaskan bahwa korelasi ayat tersebut dengan ayat
sebelumnya (munasabat) merupakan korelasi yang bersifat pertentangan (munasabah al-
Tadlad). Lihat selengkapnya; Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir,……….Vol. 3, h 85.

MAFHUM, * 097
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

kalangan masyarakat Arab.16 Karena ayat ini telah dilalui oleh


ayat-ayat lain yang berbicara tentang riba, maka tidak heran
jika kandungannya bukan saja melarang praktik riba, tetapi
juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka.

E. Tafsir Tematik Ayat-ayat Riba


Adapun maksud pada surat Al-Nisa’: 159, Allah
mengharamkan kepada Ahl al-Kitab memakan riba. Pengharaman
tersebut hingga kini masih ditemukan dalam Kitab Taurat yang
ada di tangan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Dalam kitab
Perjanjian Lama Keluaran 22:25 ditemukan tuntunan berikut: ‚Jika
engkau meminjamkan uangkepada salah seorang dari umat-Ku,
orang yang miskin di antara kamu, maka janganlah engkau berlaku
sebagai orang penagih hutang terhadap dia; janganlah kamu
bebankan bunga uang kepadanya‛.17
Sementara kata riba yang terdapat dalam Qs. Rum: 30,
menurut Ibnu Katir yang mengutip pendapat Ibnu Abbas dan
Mujahid adalah bermakna pemberian atau hadiah yang diharapkan
mendapat imbalan yang lebih besar dari hadiah yang diberikan.
Tentu saja, karena niatnya sudah demikian, maka baginya tidak
mendapat pahala di sisi Allah, meskipun perbuatan tersebut
termasuk kategori yang mubah,18 bahkan imam al-Baghawi
menghukumi halal.19
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum di
atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam Al-
Burhan, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, menafsirkan sebab
perbedaan penulisannya dalam mushaf, yakni kata riba pada surat

16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,…… Vol. 1, h. 587.
17
M. Quraish Shiha, Tafsir al-Misbah,……Vol. 2, h.t 161. Lihat juga, Tahir bin
Asur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Vol. 6 (Tunisia: Dar Sahnun, 1997), h. 28
18
Ibnu Kath|i>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m,, Vol. 6 (t.tp.: Dar Tayyibah, 1420), h. 316
19
Al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, Vol. 6, (t.tp: Dar Tayyibah,
1417), h. 273.

098 * MAFHUM,
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw (huruf Arab), dan


dalam surat-surat lainnya menggunakannya. Dari sini, lanjut
Quraish, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang
riba yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali’
Imran 131.20 Namun meski demikian, hemat penulis, jika melihat
pada konteks dan pesan-pesan moral yang dikandungnya, maka Qs.
Al-Nisa’: 159 merupakan pijakan awal tentang status hukum riba.
Hal ini mengingat pesan yang dikandungnya mendeskripsikan
tentang sejarah riba yang pernah dipraktikkkan oleh kaum-kaum
sebelum Nabi Muhammad.
Jika demikian, persoalan selanjutnya bagaimana konsep
permulaan dilarangnya praktek riba yang diklaim oleh Rashid
Ridla bermula dari ayat 130 surat Ali Imran. Pada ayat 130 Ali
Imran ini, Allah melarang orang yang beriman memakan riba yang
berlipat ganda. Kata ad’afan, menurut al-Sya’rawi21 adalah sesuatu
yang bertambah bersama dengan modal pokoknya, semisal modal
pokoknya 100, maka setelah jatuh tempo ia akan menjadi 120,
demikian seterusnya; sedangkan maksud dari muda’afah adalah
jika modal pokoknya 120, namun setelah berjalan selama setahun,
modal tersebut dilipatgandakan.
Dalam tahap ini, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada
suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat
bahawa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi
merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut
(masa jahiliyah).22 Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa

20
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,……….h. 261.
21
Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 1181
22
Mufassir al-Tabari, misalnya mendeskripsikan praktik ad’afan muda’afah yang
terjadi pada masa jahiliyah yaitu jika seseorang mempunyai beban hutang, namun setelah
jatuh tempo ia belum mampu melunasinya, maka ia meminta kesediaan pada yang
memberikan pinjaman untuk menangguhkan terlebih dahulu dengan jaminan akan
melipatgandakan sebagai imbalan dari penangguhan, dan pihak pemberi pinjaman juga
ikut merestuinya. Lihat selengkapnya; al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Vol.
7 (t.tp.: Muasasah al-Risalah, 1420), h. 204

MAFHUM, * 099
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya


riba (jikalau bunga berlipat ganda maka hal itu dinamakan riba,
tetapi jikalau kecil, maka bukan riba), tetapi ini merupakan sifat
umum dari parktik pembungaan uang (eksplotatif) pada saat itu.23
Praktik riba yang berlipat ganda semacam ini, menurut
Sayyid Tantawi merupakan jenis riba yang dalam terminologi
ulama fiqih disebut riba nasi’ah atau riba jahiliyah yang nota bene
hukumnya diharamkan secara pasti. Dalan hal ini, Rasulullah
bersabda, ‚Ketahuilah, sesungguhnya tiap-tiap riba dari riba
jahiliyah harus dihentikan, dan riba pertama yang aku hentikan
adalah (praktek) riba pamanku; yaitu al-Abba>s bin Abd al-
Mut}allib‛.24
Substansi Qs. Al-Baqarah: 278 ini, Allah menyuruh orang-
orang yang beriman untuk meninggalkan sisa riba yang belum
dipungut. Ayat ini sebenarnya merupakan fase terakhir yang
menyatakan secara tegas tentang posisi keharaman hukum riba
secara totalitas dari tiga tahapan sebelumnya, sebagaimana fase-
fase keharaman hukum khamar.25
Pada fase keempat ini, merupakan reaksi keras dari ayat-
ayat sebelumnya yang nota bene bahwa pelahap riba akan diancam
oleh Allah. Karena itu, pada fase terakhir ini Qs. Al-Baqarah: 278,
Allah memanggil orang-orang yang beriman untuk bertakwa pada
Allah, dan membersihkan diri dari sisa-sisa riba yang belum
dipungut. Hal ini dikarenakan jika seseorang betul-betul beriman
kepada Allah, maka ia akan merespon secara positif terhadap
seruan-Nya, dengan cara mematuhi segala perintha dan menjauhi
larangan-Nya.26

23
Sya’rawi, Tafisr al-Sya’rawi,…… Vol. 1, h. 1181
24
Sayyid Tantawi, al-Tafsir al-Wasit li Al-Qur’an al-Karim, Vol. 2 (t.tp.: tp., t.th.),
h. 260.
25
Ali> al-S}a>bu>ni>, Tafsi>r A>ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n al-Kari>m, Jilid I (Beirut: Dar
Ibn Abbud, 1425), h. 277
26
Al-Jaza>’iri>, Aisar al-Tafa>si>r, Jilid I (Madinah: tp. 1407), h. 225.

100 * MAFHUM,
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

Fokus kandungan ayat ini, adalah perintah untuk bertakwa


kepada Allah yang merupakan lawan dari perbuatan riba, dan
perintah meninggalkan sisa riba (yang belum dipungat) setelah
turunnya ayat ini. Allah mengampuni (dosa riba) yang mereka
lakukan sebelum datangnya larangan ini. Kalaupun tidak
diampuni, niscaya mereka mengembalikannya, karena ini ada
kaitannya dengan keimanan pada diri mereka. Korelasi ini
berdasarkan syarat yang tidak ada pada saat tidak adanya
larangan.27
Ungkapan ittaqû Allâh (bertakwalah kepada Allah) ini
mempunyai makna yang mendalam yaitu ‚jagalah dirimu dari
kemurkaan dan azab Allah sebagai konsekuensi dari sikap dan
tindakanmu‛. Hal ini dinyatakan terlebih dulu untuk menggugah
kesadaran pihak yang diseru (al-mukhâthab) sebagai larangan dari
tindakan yang menyebabkan dekat pada murka Allah, dan menjauh
dari rida-Nya.28 Dalam ayat ini, Allah juga menegaskan adanya
sifat pada mereka dengan iman yang disertai dengan seruan untuk
bertakwa, kemudian diperintahkan untuk meningalkan sisa riba
yang masih ada pada pihak kreditur.29
Namun persoalan sekarang adalah apakah kata al-Riba> yang
berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba> ad}'a>fan
mud}a>'afah ataukah tidak? Persoalan semacam ini menurut Quraish
Shihab30 yang mengutip pendapat Ra>syid Rid{a> dalam hal ini
mengemukakan tiga alasan untuk membuktikan, bahwa kata al-
Riba> pada ayat Al-Baqarah ini merujuk kepada kata al-Riba> yang
berbentuk ad}'a>fan mud}a>'afah itu.

27
Uwais al-Nadwi>, al-Tafsi>r al-Qayyim li al-Ima>m ibn al-Qayyim, (Beirut: Da>r al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1367)), h.172.
28
Ibnu Kath|i>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m, Jilid II (t.tp: Mu’assasah Qurtubah, 1421),
h. 466.
29
Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Jilid II (Kairo: tp., 1947), h. 102.
30
M. Qurais Shihab, Membumikan…… h. 264-265. Lihat juga selengkapnya;
Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r,…..h. 102.

MAFHUM, * 101
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan


kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Ra>shi>d
Rid{a> adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu kosakata
berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua
(yang diulang) sama dengan kosakata pertama. Kata al-Riba> pada
A<li 'Imra>n:130 dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada
Al-Baqarah: 278, sehingga hal ini berarti, bahwa riba yang
dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang
dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk ad}'a>fan
mud}a>'afah.
Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat
berdasarkan ayat yang sama, tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini
pada ayat-ayat riba, adalah memahami arti al-Riba> pada ayat Al-
Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata al-Riba> yang
bersyarat ad}'a>fan mud}a>'afah pada A<li 'Imra>n, sehingga yang
dimaksud dengan al-Riba> pada ayat tahapan terakhir adalah riba
yang berlipat ganda itu. Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa
pembicaraan al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau
dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba
dinamainya sebagai z{ulm (penganiayaan atau penindasan).
Jika demikian, persoalan selanjutnya apakah riba yang
dilarang itu hanya praktek yang berlipat ganda, sebagaimana
termaktub dalam Qs. Ali Imran: 130?. Kasus yang demikian
dijawab tuntas oleh Ali> al-S{a>bu>ni> bahwa kata ad}'a>fan mud}a>'afah
bukan sebagai syarat, tetapi hal itu berpredikat sebagai bentuk
pendeskripsian atas peristiwa yang terjadi pada masa kapitalisme
pra-Islam (zaman Jahiliyah) di mana mereka melakukan hegomoni
dan eksploitasi pada yang lain, sebagaimana dijelaskan dalam
sabab al-Nuzu>l di atas.31 Dengan begitu, tidak akan ada lagi
pendapat yang mengatakan bahwa Qs. Ali Imran ini menjastifikasi

31
Ali> al-S}a>bu>ni>, Tafsi>r A>ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n al-Kari>m,………h. 279.

102 * MAFHUM,
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

praktek riba yang tidak berlipat ganda dam melumpuhkan ayat-


ayat yang lain.
Dari uraian di atas, berdasarkan Qs. Al-Baqarah: 278 dapat
ditarik benang merah, bahwa semua bentuk praktik riba baik riba
nasi>’ah (utang-piutang) maupun riba fad}l (barter) adalah dilarang
dan segera dihentikan secara totalitas, sehingga jika diteruskan
pada ayat berikutnya 279, juga akan didapatkan pesan-pesan
moralnya bahwa praktek tersebut tidak ada unsur penganiayaan di
antara keduanya (la tazlimuna wa latuzlamun).
Dalam terminologi fiqih, kedua bentuk riba ini jelas-jelas
dilarang. Riba> Nasi>’ah adalah tambahan yang sudah ditentukan
diawal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang
yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan
bertempo.32 Artinya, riba nasi’ah merupakan tambahan beban
hutang yang berlipat-lipat setiap kali gagal pelunasan pada tanggal
jatuh tempo setiap bulannya, sehingga mencapai jumlah yang jauh
melampaui hutang pokok-nya, yang akhirnya tak lagi terbayarkan
dan biasanya berakhir dengan tragis dan permusuhan sesudahnya.
Praktek riba ini berasal dari masa kapitalisme pra-Islam, atau yang
biasa disebut dengan istilah masa jahiliyah.
Sedangkan riba> fad}l adalah tambahan atas tukar menukar
barang yang sejenis dengan pembayaran yang tidak tunai.33
Dengan kata lain, riba> fad}l merupakan barter barang yang berbeda
kualitas. Para juragan membuat aturan kualitas yang lebih rendah
dibebani kelebihan jumlah atau berat, yang praktiknya sangat tidak
adil.
Dari kaca demikian, betapa riba adalah musuh Allah dan
musuh masyarakat bersama. Sebab semua bentuk perilaku ini
merupakan ekploitasi yang dilakukan oleh pihak debitur pada

32
al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘Ala> al-Maz|ahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1426), h. 137-139
33
Ibid.,

MAFHUM, * 103
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

kreditur, sebagaimana melihat konteks sabab al-Nuzu>l dari Qs. Al-


Baqarah: 278, meskipun kasus yang dideskripsikan dalam sabab al-
Nuzu>l ini berada dalam konteks historis tertentu. Karena itu,
kaidah yang berlaku dalam kasus semacam ini adalah kaidah al-
Ibrat bi al-Umu>m al-Lafz}i la> bi al-Khus}u>s} al-Sabab. Dengan
demikian, tidak akan ada lagi yang membatasi riba.

F. Kesimpulan
Dari semua uraian di atas, penulis dapat menarik
kesimpulan, sebagai berikut:
1. Kata riba dalam Al-Quran ditemukan terulang sebanyak
delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah
(275, 276, 278), A<li 'Imra>n (130), Al-Nisa>' (159), dan Al-Ru>m
(39). Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah
Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Ru>m adalah
"Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah).
2. Hukum riba, dalam al-Qur’an mempunya empat fase, yaitu
Pertama, fase sebatas mendeskripsikan adanya unsur negatif di
dalamnya (Al-Ru>m: 39). Kedua, fase isyarat tentang
keharamannya (Al-Nisa>': 161). Ketiga, fase yang secara
eksplisit dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (A<li
'Imra>n: 130). Keempat, fase diharamkan secara totalitas dalam
berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 278).
3. Macam-macam riba yaitu Nasi’ah dan riba Fadl. Riba nasi’ah
merupakan tambahan beban hutang yang berlipat-lipat setiap
kali gagal pelunasan pada tanggal jatuh tempo setiap bulannya,
sehingga mencapai jumlah yang jauh melampaui hutang
pokok-nya, yang akhirnya tak lagi terbayarkan dan biasanya
berakhir dengan tragis dan permusuhan sesudahnya. Praktek
riba ini berasal dari masa kapitalisme pra-Islam, atau yang
biasa disebut dengan istilah masa jahiliyah. Adapun riba> fad}l
merupakan barter barang yang berbeda kualitas. Para juragan

104 * MAFHUM,
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

membuat aturan kualitas yang lebih rendah dibebani kelebihan


jumlah atau berat, yang praktiknya sangat tidak adil.

G. Daftar Pustaka
Amal, Taufik Adnan. 1990. Tafsir Kontekstual al-Qur’an. Bandung:
Mizan
‘A<syu>r, Ibnu . 1984. Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r. Juz III. Tunisia:
Da>r al-Tu>nisiah
Al-Baghawi. 1417. Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, Vol. 6. t.tp:
Dar Tayyibah
Al-Isfah}a>ni>, Al-Ra>gib. 1425. Mu’jam Mufrada>t li Alfa>z} al-Qur’a>n.
Beirut: Da>r al-Kutb al-Ilmiyyah
Al-Jaza>’iri>. 1407. Aisar al-Tafa>si>r. Jilid I. Madinah: tp.
al-Jazi>ri>. 1426. al-Fiqh ‘Ala> al-Maz|ahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-
Kitab al-‘Arabi
Kas|i>r, Ibnu. 1421. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m. Jilid II. t.tp: Mu’assasah
Qurtubah
Al-Mara>gi>, Ah}mad Mus}t}afa>. Tafsi>r Al-Mara>gi>. Jilid III. Mesir:
Mushthafa Al-Halabiy
Al-Maqdisi. T.th. Fath al-Rahman li Talibi Ayat al-Qur’an. Jakarta:
Diponegoro
al-Nadwi>, Uwais. 1367. al-Tafsi>r al-Qayyim li al-Ima>m ibn al-
Qayyim. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah
al-Naisa>bu>ri>, Al-Wa>h}idi.> al-Wasi>t} Fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Maji>d. Juz I.
Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah
al-Naisaburi, Ibnu al-Munzir. 1423. Tafsir al-Qur’an al-Karim, Vol. 1.
Madinah: Dar al-Ma’atir
al-Ra>zi, Fakhr al-Di>n>. 1412. Mafa>tih{ al-Gaib. Jilid II. Kairo:
Maktabah al-I<man
Rid}a>, Rasyi>d. 1947. Tafsi>r al-Mana>r. Jilid II. Kairo: tp.
al-S}a>bu>ni, A>li. 1425. Tafsi>r A>ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n al-Kari>m.
Jilid I. Beirut: Dar Ibn Abbud

MAFHUM, * 105
Nyoko Adi Kuswoyo : Riba dalam Perspektif al-Qur’an…..

Al-Suyu>t}i>. t.th. Asba>b al-Nuzu>l. t.tp: Dar al-Taqwa


Al-Sya’ra>wi>. 1991. Tafsi>r al-Sya’ra>wi>. Jilid III. Kairo: tp.
Shihab, M. Qurais. 1997.Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Ummat. Bandung: Mizan
-----------------------. 1995. Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan
Al-T}abari>. 1422. Tafsi>r al-T}abari>. Juz IV. Kairo: Da>r Hijr
Al-Tunji>. 1424. Al-Mu'jam al-Mufas}s}al fi> al-Tafsi>r al-Qur'a>n al-
Kari>m. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
Al-Wa>h}idi> al-Naisa>bu>ri>. 1411. Asba>b al-Nuzu>l. Beirut: Dar al-Fikr
al-Zuhaili, Wahbah. 1418. al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-
Shari’ah wa al-Manhaj, Vol. 4. Damaskus: Dar al-Fikr
al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Vol. 7 (t.tp.: Muasasah
al-Risalah, 1420), h. 204
Tantawi, Sayyid. T.th. al-Tafsir al-Wasit li Al-Qur’an al-Karim, Vol.
2. t.tp.: tp.

106 * MAFHUM,

Anda mungkin juga menyukai