Anda di halaman 1dari 5

Tugas Forum Modul 4 KB3

TAFSIR KONTEKSTUAL
OLEH : MUKHLISIN

Tugas : Analisis materi pada file pdf, artikel dan Ppt.

A. Makna dan Konsep Tafsir Kontekstual

Tafsir kontekstual secara sederhana adalah kegiatan untuk mengeksplansi firman Allah
SWT dengan memperhatikan indikasi-indikasi dari susunan bahasa dan keterkaitan kata
demi kata yang tersusun dalam kalimat serta memperhatikan pula penggunaan susunan
bahasa itu oleh masyarakat, sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Sehingga tafsir
jenis ini memiliki aneka ragam konteks, baik konteks bahasa, konteks waktu, konteks
tempat, maupun konteks sosial budaya. Dengan demikian, paling tidak terdapat dua hal
yang perlu ditekankan dalam proses tafsir kontekstual, yaitu: aspek kebahasaan, dan
aspek ruang dan waktu; baik masa terciptanya teks pada suatu masyarakat atau
lingkungan tertentu, maupun masa sekarang yang menjadi ruang dan waktu dari penafsir
suatu teks.

B. Komponen-Komponen Dasar Pendekatan Kontekstual

Ada empat komponen dalam pendekatan tafsir kontekstual, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Konteks literer Al-Quran
Maksudnya adalah konteks di mana suatu tema atau istilah tertentu muncul di
dalam Al-Quran, mencakup ayat-ayat sebelum dan sesudah tema atau terma itu
yang merupakan konteks langsungnya serta rujukan silang kepada konteks-
konteks relevan dalam surat-surat lain.
2. Konteks historis Al-Quran yang merupakan latar kesejarahan Al-Quran baik yang
bersifat makro maupun mikro.
Konteks historis makro adalah latar kesejarahan tidak langsung atau mileu yang
berupa situasi masyarakat, agama, adat-istiadat, pranata-pranata, relasi-relasi
politik, dan bahkan kehidupan secara menyeluruh di Arabia sampai kepada
kehidupan Nabi Muhammad saw sendiri, terutama Makkah dan Madinah
menjelang dan pada saat pewahyuan Al-Quran.
Sedangkan konteks historis mikro adalah latar kesejarahan langsung teks-teks
spesifik Al-Quran yang direkam dalamapa-apa yang disebut mawathin al-nuzul
(tempat-tempat turun), sya’n al-nuzul (situasi turun) dan asbab al-nuzul (sebab-
sebab turun) Al-Quran.
3. kronologis Al-Quran.
Maksudnya kronologis pewahyuan bagian-bagian Al-Quran tentang suatu tema
atau istilah tertentu yang akan memperlihatkan bagaimana tema tersebut
berkembang dalam bentangan pewahyuan Al-Quranselama lebih kurang 23
tahun seirama dengan perkembangan misi kenabian Muhammad saw dan
komunitas Muslim. Di dalam tradisi ‘Ulum Al-Quran, aspek kronologis ini
setidaknya telah dicakup oleh ilmu tawarikh an-nuzul, ilmu al-makki wa al-
madani dan ilmu al-naskh.
4. konteks spasio-temporal yang merupakan konteks ruang dan waktu yang
menjadi lahan pengimplementasian gagasan-gagasan Al-Quran.
Di sini, situasi kontemporer harus diteliti secara cermat terkait berbagai unsur
komponennya, sehingga dapat dinilai dan diubah sejauh diperlukan, serta dapat
dideterminasi prioritas-prioritas baru untuk implementasi nilai-nilai Al-Quran
secara segar dan bermakna.
C. Metode Tafsir Kontekstual

Metode dan aplikasi itu perlu dirinci satu persatu sesuai dengan urutannya sebagai
berikut:

1. Menguasai dengan baik sejarah manusia terutama sejarah orang-orang Arab pra-
Islam, baik secara bahasa, sosial, politik, dan ekonomi sebagai modal awal proses
penafsiran kontekstual. Sebab selain al-Qur`an tidak diturunkan dalam ruang hampa,
di dalamnya juga terdapat banyak informasi tentang mereka;
2. Menguasai secara menyeluruh seluk-beluk orang-orang Arab dan sekitarnya sebagai
sasaran utama turunnya al-Qur`an dari awal turunnya ayat pertama hingga ayat
terakhir, bahkan hingga Rasulullah saw. wafat. Sebab tidak semua ayat al-Qur`an
memiliki sabab al-nuzūl sehingga bila hanya mengandalkan asbāb al-nuzūl, maka
penafsiran akan kurang sempurna. Oleh karenanya, penguasaan terhadap seluk-beluk
orang-orang Arab dan sekitarnya sangat mendesak yang sangat diharapkan bisa
membantu proses penafsiran kontekstual;
3. Menyusun ayat-ayat al-Qur`an sesuai dengan kronologi turunnya, memperhatikan
korelasi sawābiq dan lawāhiq ayat, mencermati struktur lingustik ayat dan
perkembangan penggunaannya dari masa ke masa, dan berusaha menggali
kandungan inter-teks dan extra-teks secara komprehensif;
4. Mencermati penafsiran para tokoh besar awal Islam secara seksama dan konteks
sosio-historinya, terutama yang secara lahir bertentangan dengan al-Qur`an, tetapi bila
diperhatikan ternyata sesuai dengan tuntutan sosial yang ada pada waktu itu dan tetap
berada dalam spirit al-Qur`an;
5. Mencermati semua karya-karya tafsir yang ada dan memperhatikan konteks sosio-
historis para penafsirnya. Sebab bagaimanapun juga, para penafsir mempunyai sisi-
sisi kehidupan yang berbeda satu sama lain dan turut memengaruhi penafsirannya;
6. Menguasai seluk-beluk kehidupan manusia di mana al-Qur`an hendak ditafsirkan
secara kontekstual dan perbedaan serta persamaannya dengan masa-masa
sebelumnya, terutama pada masa awal Islam.
7. Mengkombinasikan semua enam poin di atas dalam satu kesatuan utuh pada saat
proses penafsiran dan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar al-Qur`an.

D. Contoh Tafsir Kontekstual


Berikut membahas mengenai contoh tafsir kontekstual tentang Hukum riba :

1. Surah Al Bagqorah : 2:275,

‫ا َﻟ ﱠ ِذﯾْنَ ﯾَﺄ ْﻛُﻠ ُْونَ اﻟرﱢﺑٰ وا َﻻ ﯾَﻘ ُْوﻣ ُْونَ ا ﱠِﻻ ﻛَ ﻣَﺎ ﯾَﻘ ُْوم ُ اﻟ ﱠ ذِيْ ﯾَﺗَﺧَ ﺑ ُﱠط ُﮫ اﻟﺷﱠ ﯾ ْٰطنُ ﻣِنَ ْاﻟﻣ َۗسﱢ ٰ ذﻟ ِكَﺑ ِ ﺎ َﻧﱠ ﮭُمْ ﻗَﺎﻟ ْ ُٓو ا‬
‫اِﻧﱠ ﻣَﺎ ْاﻟ َﺑ ْﯾ ُﻊ ْﻣِﺛ ُل اﻟرﱢﺑٰ ۘوا َوا َﺣَ ﱠل ٰ ّﷲ ُ ْاﻟ َﺑﯾْﻊَ َوﺣَ رﱠمَ اﻟرﱢﺑٰ ۗوا ﻓَ ﻣَنْ ﺟَ ۤ ﺎءَهٗ ﻣ َْوﻋِ َظ ٌﺔ ﻣﱢنْ رﱠ ﱢﺑ ﮫٖ ﻓَﺎﻧْ ﺗَﮭٰ ﻰ ﻓَﻠ َٗﮫ ﻣَﺎ‬
٢٧٥ - َ‫اﻟﻧﱠﺎر ۚ ُھ مْ ﻓِ ْﯾﮭَﺎ ٰﺧﻠِد ُْون‬ ِ ُ‫ﺳَ ﻠ َۗفَ َوا َﻣْ رُهٗ ٓ اِﻟ َﻰ ٰ ّﷲ ِ ۗ َوﻣَنْ ﻋَ ﺎ َد ﻓَﺎ ُٰوﻟ ۤ ﯨٕ ِكَ ا َﺻْ ٰﺣب‬
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[11] tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila[12] Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu[13](sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

2. Surah Al Baqorah 2:276,


٢٧٦ - ‫ﻛَﻔﱠﺎر ا َﺛِﯾ ٍْم‬
ٍ ‫ت ۗ َو ٰ ّﷲ ُ َﻻ ﯾُﺣِبﱡ ﻛُ ﱠل‬
ِ ‫ﯾَﻣْ ﺣَ قُ ٰ ّﷲ ُ اﻟرﱢﺑٰ وا َوﯾُرْ ﺑ ِﻰ اﻟﺻﱠدَ ٰﻗ‬

276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[14]. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[15].
3. Surah Al Baqoroh 2:278,

٢٧٨ - َ‫ﯾٰ ٓ ﺎ َﯾ ﱡﮭَﺎ اﻟ ﱠ ِذﯾْنَ ٰ اﻣَﻧُوا اﺗﱠﻘ ُوا ٰ ّﷲ َ َو َذر ُْوا ﻣَﺎ َﺑﻘِﻲَ ﻣِنَ اﻟرﱢﺑٰ ٓوا اِنْ ﻛُﻧْ ﺗُمْ ﻣ ْﱡؤ ِﻣﻧِﯾْن‬

278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

Asbabunuzul surat al Baqoroh ayat 275 – 279 dikemukakan bahwa turunnya


ayat tersebut berkenaan dengan pengaduan Bani Mughiroh kepada gubernur
Makkah setelah Fattul Makkah yaitu Attab bin As Yad tentang hutang-hutangnya yang
beriba[16].
4. Surah Ali Imron 3:130,
١٣٠ - َ‫ﱡﺿﻌ ًَﻔَﺔ ۖوﱠ اﺗﱠﻘ ُوا ٰ ّﷲ َ ﻟ َﻌَ ﻠ ﱠﻛُمْ ﺗُﻔْ ﻠِﺣ ُْو ۚن‬
ٰ ‫ﯾٰ ٓ ﺎ َ ﱡﯾﮭَﺎ اﻟِ ﯾﱠذْنَ ٰ اﻣ َْﻧُوا َﻻ ﺗَﺄ ْﻛُﻠ ُوا اﻟرﱢﺑٰ ٓوا ا َﺿْ ﻌَ ﺎﻓًﺎ ﻣ‬

130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda[17] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Sebab turunnya surat Ali Imron ayat 130: Dalam suatu riwayat dikemukakan terdapat
orang-orang yang berjual beli dengan kridit (dengan bayaran berjangka waktu). Apabila telah
tiba waktu pembayaran dan tidak membayar, bertambahlah bunganya , dan ditambahkannya
jangka waktu pembayarannya. Maka turunlah ayat tersebut diatas diriwayatkan dari Faryabi
dari Mujahid. Dalam kisah yang lain di kemukakkan bahwapada zaman JahiliyahTsaqif
berhutang kepada Bani Nadlir. Ketika telah tiba waktu membayar, Tsaqif berkata: kami bayar
bunganya dan undurkan waktunya. Maka turunlah ayat tersebut diatas. Diriwayatkan al
Faryabi dari ‘Atho.[18]
5. Arrum 30:39
‫اﻟﻧﱠﺎس َﻓَﻼ ﯾَرْ ﺑ ُْوا ﻋِﻧْ دَ ٰ ّﷲ ِ ۚ َو َﻣﺎ ٓ ٰ اﺗَ ﯾْﺗُمْ ﻣﱢنْ زَ ٰﻛو ٍة ﺗ ُِر ْﯾد ُْونَ َوﺟْ َﮫ‬
ِ ِ‫َو َﻣﺎ ٓ ٰ اﺗَ ﯾْﺗُمْ ﻣﱢنْ رﱢ ﺑًﺎ ﻟ ﱢ ﯾَرْ ﺑ َ ُ۠وا ﻓِﻲْ ٓ ا َﻣْ َوال‬
٣٩ - َ‫ٰ ّﷲ ِ ﻓَﺎ ُٰوﻟ ۤ ﯨٕ ِكَ ھُم ُ ْاﻟﻣُﺿْ ﻌِﻔ ُْون‬
39. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
6. Sanksi riba: Al Baqoroh 2:279
‫ب ﻣﱢنَ ٰ ّﷲ ِ وَ رَ ﺳ ُْوﻟ ِﮫٖۚ وَ اِنْ ﺗُ ﺑْﺗُمْ ﻓَﻠ َﻛُمْ ُرء ُْوسُ ا َﻣْ َواﻟ ِۚﻛُمْ َﻻ ْﺗَظﻠِﻣ ُْونَ َو َﻻ‬
ٍ ْ‫ﻓَ ﺎِنْ ﻟ ﱠمْ ﺗَﻔْﻌَ ﻠ ُْوا ﻓَﺄ ْ َذ ْﻧُوا ﺑ ِﺣَ ر‬
٢٧٩ - َ‫ْﺗُظﻠ َﻣ ُْون‬

279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.

Bank tanpa bunga. Di kalangan NU sebenarnya telah menjadi agenda


mbahasan sejak tahun1930, (Muktamar NU ke-5). Nuhammadiyah dalam Putusan
majelis tarjih Sidoarjo tahun 1967 juga telah membahas tentang bunga Bank. Namun
dari beberapa ittifaq hukum yang dhasilkan tetap mengandung hukum yang ikhtilaf.
Kesepakatannyapertama bunga bank yang terjadi di bank konvensional adalah haram
karena secara mutlak bunga bank itu mutlak riba, karena itu Al-Qur’an dan As-Sunnah
secara tegas tidak memperbolehkan riba.
Kedua, bagi mereka yang tidak menyamakan antara bunga bank dan riba,
bunga bank itu boleh. Dan ketiga, adalah meragukan hukum bunga bank
yaitu syubhat. Yang menjadi perbincangan dalam bahtsul masa’il adalah, apakah
bunga bank konvensional yang ada sekarang ini termasuk dalam kategori riba atau
tidak?. Dalam menjawab pertanyaan ini, menggunakan dua parameter nilai, yakni riba
nasi’ah dan qard.
Kalau bunga bank masuk dalam kategori nasi’ah atau qard atau kedua-duanya,
maka bunga bank konvensional haram hukumnya. Kalau bebas dari definisi nasi’ah
atau qardh, maka bunga bank hukumnya mubah. Namun pada kesimpulan
akhir ittifaq hukum tersebut para ulama memandang fleksibel pada praktek bank
konvensional dengan pernyataan bahwa ummat Islam tidak boleh bermuamalat
dengan bank kecuali dalam keadilan darurat atau sangat membutuhkan.
Muhammadiyah dalam putusan Majelis tarjihno 08 tahun 2006 di Yogya karta
telah mengharamkan bunga Bank.
Dari sini dapat kita lihat bahwa secara tektual dan dapat dilihat dari sebab turunnnya
ayat, bahwa Riba itu Haram. Namun bila ditarik pada kontek kekinian dan dilihat
kondisi masyarakat hukum bunga bank tidak secara tegas diharamkan. Bahkan masih
di perbolehkan.
Muhammadiyah pada awalnya masih memandang bunga Bank pada Bank
Negara dipandang Mutasabihat. Namun pada qurun waktu berikutnya sudah
mengharamkan secara mutlak.

E. Urgensi Tafsir Kontekstual

Terlepas dari prinsip-prinsip dasar al-Qur`an yang berupa keesaan Tuhan, keadilan,
rahmat, kesejahteraan, dan kebajikan yang masih debateable, tafsir kontekstual sejatinya
ingin meneguhkan prinsip-prinsip itu dalam kehidupan riil manusia. Kehidupan manusia
yang terus-menerus berubah menuntut perubahan penafsiran yang sesuai dengannya. Ini
bukan berarti menundukkan sakralitas al-Qur`an di bawah realitas kehidupan, tetapi
merupakan usaha mendinamiskan antara keduanya sehingga tidak saling bertentangan.
Mengatasi pertentangan antara teks-teks agama dan realitas sosial memang bukan
perkara mudah. Perlu usaha sungguh-sungguh dan aneka ragam pendekatan.

Di antara usaha dan aneka ragam pendekatan tersebut adalah penafsiran kontekstual
terhadap teks-teks suci Islam, terutama al-Qur`an. Penafsiran kontekstual sangat urgen
dilakukan karena empat alasan utama sebagai berikut:
1. Perbedaan pola hidup setiap generasi umat Islam sepanjang sejarahnya. Pada
gilirannya perbedaan ini menuntut perbedaan solusi. Perbedaan solusi salah satunya
muncul dari perbedaan penafsiran terhadap al-Qur`an.
2. Al-Qur`an mengkleim dirinya sebagai kitab sempurna dan terakhir. Padahal sebagian
ayatnya mengandung unsur-unsur lokalitas-temporal. Penafsiran tekstual terhadapnya
bisa menjerumuskan seseorang pada unsur-unsur itu yang menggiringnya pada
penafsiran yang salah. Penafsiran kontekstual bisa menyelamatkannya dari kesalahan
penafsiran semacam itu.
3. Al-Qur`an tidak merinci segala persoalan, tetapi menyebutkan perkara-perkara umum
yang memungkinkan untuk ditafsirkan dengan aneka ragam penafsiran, terutama
penafsiran kontekstual.
4. Sebagai karya manusia, penafsiran para sarjana Muslim yang ada selama ini bukan
sesuatu yang sudah final sehingga tidak memerlukan penafsiran lagi dan revisi
terutama yang berhubungan dengan pemecahan persoalan sosial umat Islam. Mereka
hidup tidak hidup pada masa yang sama. Penafsiran kontekstual bisa
menyempurnakan kekurangan usaha mereka.
F. Kelemahan Tafsir Kontekstual
Usaha para sarjana Muslim klasik tidak bisa diaplikasikan seluruhnya dalam kehidupan
manusia sepanjang masa, karena hasil usaha mereka tidak seluruhnya cocok dengan
kehidupan manusia pada generasi setelah mereka. Meskipun demikian, sebagian usaha
mereka tetap dibutuhkan terutama metode mereka dalam mengharmoniskan
pertentangan antara teks suci Islam dengan realitas kehidupan yang seringkali terjadi.
Sebagian sarjana Muslim, misalnya, telah berusaha mengembangkan tafsir tematik (al-
tafsīr al-mawdū’iy) guna memecahkan peliknya problem kehidupan manusia, tetapi usaha
semacam ini kurang sempurna bila tidak memperhatikan aneka ragam aspek kehidupan
manusia sebagai penerima dan pengamalnya. Oleh sebab itu, tafsir tematik perlu
dikembangkan dan disandingkan dengan tafsir kontekstual guna memperoleh penafsiran
yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka.
Penyandingan tafsir tematik dengan tafsir kontekstual bukan berarti tafsir kontekstual
merupakan tafsir maha sempurna yang tidak memiliki kelemahan sedikit pun. Sebab
bagaimana pun juga, tafsir tidak sesempurna al-Qur`an itu sendiri. Setiap metode dan
corak penafsiran tentu tidak sempurna. Bahkan tafsīr bi al-ma`thūr yang diyakini sebagai
metode tafsir paling utama sekalipun tetap tidak sempurna, apalagi metode dan corak
tafsir yang lain. Khusus tafsir kontekstual, ketidaksempurnaannya sedikitnya terletak pada
lima poin utama:
1. Fakta bahwa tidak semua ayat al-Qur`an mempunyai sabab al-nuzūl bahkan sebagian
besar ayat tidak memilikinya. Padahal asbāb al-nuzūl merupakan tonggak utama tafsir
kontekstual.
2. Rumitnya menguasai seluruh aspek kehidupan manusia sejak pra-Islam hingga
sekarang. Padahal asbāb al-nuzūl yang sedikit bisa disempurnakan dengan
penguasaan terhadap seluruh aspek kehidupan mereka ini.
3. Tafsir kontekstual tidak berlaku pada ayat-ayat al-Qur`an yang berbau akidah.
4. Tafsir kontekstual cenderung berlaku pada waktu dan masa tertentu, tidak berlaku
secara universal dan sepanjang masa.
5. Perubahan kehidupan manusia yang serba cepat menuntut penafsiran kontekstual
yang juga cepat. Padahal penafsiran yang tergesa-gesa sangat berpotensi untuk
keliru.

Sumber :
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdit Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1998 No08
tahun 2006
Yahya . Imam, DR, MAg, Dinamika Ijtihad NU, Penerbit Walisongo Pres tahun 2009.
https://msubhanzamzami.wordpress.com/2011/06/11/tafsir-kontekstual/

Anda mungkin juga menyukai