Anda di halaman 1dari 9

Makalah Pengantar Fiqih Ibadah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ketika zaman  dulu sampai pada saat  ini  kita  mungkin sudah mengetahui kewajiban kita
sebagai hamba Allah  yang lemah , dan banyak yang tahu  kewajiban kita di muka bumi ini
yakni hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Pendapat  seperti ini  memang  tidak salah 
karena sudah tertulis dalam Al-Qur’an.
Ibadah merupakan salah satu aktivitas atau kegiatan yang ada di setiap agama yang ada di
seluruh dunia. Di dalam agama Islam juga terdapat banyak ibadah yang harus dilaksanakan
dan dipatuhi oleh setiap umatnya kepada Allah SWT. Salah satu kegiatan ibadah yang sangat
penting dan dijadikan tiang agama dalam agama islam adalah shalat.

B.     Rumusan Masalah


Pokok permasalahan dari pembahasan ini adalah :
1.      Pengertian dan Ruang Lingkup Fiqih Ibadah
2.      Bentuk dan Macam-macam Ibadah
3.      Beberapa Ketentuan Pokok Ibadah
4.      Filosofi dan Hikmah Ibadah

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Fiqih Ibadah
1.      Ibadah menurut bahasa
Menurut kamus Al-Muhith[1], al-abdiyah, al-ubudiyah, dan al-íbadah artinya taat. Dan
dalam Mukhtar Ash-Shihhah[2], makna dasar al-ubudiyah adalah ketundukan dan
kepasrahan, sementara at-ta’bid artinya kepasrahan. Dikatakan thariq ( jalan ) muábbad dan
unta yang muábbad artinya yang sudah disiapkan. Semua makna ini sesuai dengan isytiqaq-
nya. Allah SWT berfirman : “Masuklah dalam ibadah-Ku”(QS. Al-Fajr 89 : 29). Artinya dalam
kelompok-Ku, Allah menambah satu makna baru yaitu loyalitas.
Sedangkan úbudiyah artinya menampakkan ketundukan, walaupun kata ibadah dalam
maknanya karena merupakan puncak ketundukan dan tidak ada sesuatu pun yang berhak
mendapat penghambaan, kecuali yang memiliki puncak keutamaan yaitu Allah SWT.
Allah SWT berfirman :

Janganlah kalian menyembah selain Allah. (QS. Hud 11 : 2 )[3]


Dan Allah SWT  berfirman :

Hanya kepada-Mu kami menyambah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.
(QS. Al-Fatihah 1 : 5)

2.      Ibadah menurut istilah


Sesuai dengan pemakaian secara etimologi dari kata á-ba-da. Al-Maududi[4] berpendapat
bahwa makna utama ibadah adalah jika seseorang menyatakan ketinggian seseorang dan
kekuasaannya lalu ia menyerahkan kebebasan dan kemerdekaannya serta meninggalkan
semua perlawanan dan pembangkangan lalu ia tunduk secara total. Inilah makna hakiki
yang terkandung dalam kata ibadah, taábbud dan úbudiyah. Bahkan ketika orang Arab
mendengar kata hamba atau ibadah, maka yang pertama kali terbetik dalam pikiran mereka
adalah gambaran tentang sebuah penghambaan sebagaimana penghambaan seorang budak
kepada tuannya.
Lebih dari itu, jika seorang hamba sudah menyerahkan diri kepada tuannya, penuh taat dan
kepasrahan, ia juga meyakini akan keagungan dan ketinggian tuannya, hatinya diselimuti
rasa syukur atas segala nikmat dan karunianya. Ia selalu berusaha secara maksimal untuk
mengagungkannya dengan berbagai cara agar bias bersyukur atas segala anugerahnya dan
senantiasa menjalankan syiar-syiar ibadahnya. Pemahaman ini tidak akan bisa digabungkan
dengan makna ubudiyah kecuali jika seorang hamba tidak hanya menyerahkan segala
ketaatan kepada tuannya saja, tetapi juga menyerahkan hatinya. Disini seakan beliau
menegaskan bahwa makna utama dari ibadah adalah kepatuhan dan ketundukan total serta
ketaatan mutlak. Terkadang makna ini ditambah dengan aspek perasaan hati berupa
penghambaan dan peribadatan dan menjalankan syariat.[5]
Pengertiaan Fiqih Ibadah
Secara bahasa        : Pemahaman yang dalam
Secara istilah         : ilmu tantang hukum-hukum perbuatan menurut syari’at berdasarkan
dalil-dalilnya terperinci.sedangkan Arti ibadah yaitu penyembahan seorang hamba terhadap
Tuhannya yang dilakukan dengan merendahkan diri serendah-rendahnya. Dengan hati yang
ikhlas menurut cara-cara yang ditentukan oleh agama.
Ibadah yang bermakna penghambaan dan ketaatan. (Al Baqarah 2:172; Asy Syua'ara 26:22;
Al Mu'minun 23:45-47)
Pengertian  fiqih  ibadah  adalah  pemahaman  terhadap  hal yang  berkaitan dengan 
peribadatan  manusia  kepada allah ,yakni antara  makhluk yang  tercipta kepada sang
penciptanya.
Ruang lingkup Fiqih Ibadah
a.       Shalat
Sholat merupakan salah satu perbuatan yang dimulai dari tahbirotul ihram dan diakhiri
dengan salam sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Sholat diwajibkan bagi setiap umat
islam karena barang siapa yang mendirikan sholat maka maka ia menegakkan agama dan
barang siapa yang meninggalkan sholat maka ia merobohkan agama .
b.      Zakat
Zakat adalah sebuah ibadah yang  menuntut  keridhoan umat Islam  untuk mengeluarkan
sebagian hartanya sesuai ketentuan yang ditetapkan. seperti yang terdapat dalam alquran
yang artinya :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan AllahMaha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At
Taubah : 103)
c.       Puasa
Puasa adalah tindakan sukarela dengan berpantang dari makanan, minuman, atau
keduanya, perbuatan buruk dan  dari segala hal yang membatalkan puasa untuk periode
waktu tertentu. Puasa  mutlak biasanya didefinisikan sebagai berpantang dari semua
makanan dan cairan untuk periode tertentu, biasanya  satu hari (24 jam), atau beberapa
hari. Puasa lain mungkin hanya membatasi sebagian, membatasi makanan tertentu atau zat.
Praktik puasa dapat menghalangi aktivitas seksual dan lainnya serta makanan. Seperti dalam
firman allah swt yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al Baqoroh :183)
d.      Haji
Kata  haji berasal  dari  bahasa  arab yang bermakna tujuan  dan  dapat di baca dengan dua 
lafazh  Al-hajj .Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan
melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam  dan ada pula ulama yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke
tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu
pula. Akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan
di sini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada
pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.
Ibadah tidak hanya terbatas pada shalat, puasa, haji, zakat, dan semua turunannya seperti
membaca alqur’an, dzikir, doa dan istighfar seperti yang dipahami oleh kebanyakan kaum
muslimin ketika mereka di ajak untuk beribadah kepada Allah SWT. Ibadah adalah nama
sebutan bagi segala sesuatu yang disukai Allah dan di Ridhoi-Nya, baik berupa ucapan,
perbuatan, yang tampak maupun yang batin. Shalat, zakat, puasa, haji, berkata jujur,
menjalankan amanah, berbakti kepada orangtua dan menjaga tali silaturrahim, memenuhi
janji, amar ma’ruf nahi munkar, berjihad melawan orang kafir dan munafiq, berbuat baik
kepada tetangga, anak yatin, orang miskin, orang yang berjuang di jalan Allah, hamba
sahaya, termasuk binatang peliharaan, doa, dzikir, membaca Al-Qurán, dan yang lainnya.
Termasuk juga mencintai Allah dan Rosul-Nya, rasa mengkhawatirkan Allah, bertaubat,
ikhlas, sabra terhadap ujian, syukur nikmat, ridho dengan qadha, tawakal, berharap akan
selamat, khawatir dengan azab dan yang lainnya, semua termasuk ibadah.[6]
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa rukun utama dari bangunan islam terdiri
dari sebagian kecil makna ibadah kepada Allah dan bukan semuanya seperti yang diinginkan
oleh Allah dari Hamba-nya.
Seorang muslim bisa menjadikan semua pekerjaan biasa dan bersifat rutinitas menjadi
sebuah ibadah jika diikhlaskan niatnya. Ibadah bukan sebatas bertauhid seperti dalam
firman Allah SWT :

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS.
Al-Bayyinah 98 : 5)
Namun, ibadah mencakup tauhid dan semua jenis amal baik. Setiap ibadah harus mengacu
pada nash yang ada dan telah disyariátkan Allah, tidak ditambah-tambahi dan dikurangi.
Tidak semua orangpun boleh meng-Qiyas-kan atau mengandalkan pendapat pribadi
termasuk juga ijtihadnya. Sebab, jika ada orang boleh menambah syiar-syiar agama dengan
cara qiyas atau ijtihadnya sendiri pastilah jumlah taklif akan lebih banyak dari apa yang ada
di zaman Rasulullah SAW. Sehingga sulit untuk membedakan mana yang syariat dasar dan
mana yang tambahan. Dan kaum muslimin tidak ubahnya seperti orang nashrani. Setiap
orang yang membuat syariat baru atau ibadah tertentu maka ia adalah sesuai dengan
firman Allah SWT :
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan
(dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim
itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS. Asy-Syura 42 : 21)
Adapun yang termasuk ijihad dalam ibadah misalnya, jika seseorang berupaya sekuat tenaga
agar amal ibadahnya diterima allah, sementara termasuk yang sia-sia jika ada orang yang
mengerjakan ibadah yang ia sendiri tidak tahu manfaatnya. Namun tetap dilakukan karena
diberi tahu orang yang sepadan dengannya padahal ia sendiri dapat memahaminya sendiri.
Kesia-siaan ini tidak akan terjadi dalam melaksanakan perintah Allah karena kita yakin
rahmat dan hikmah Allah dalam menurunkan syariat yang sudah pasti membawa maslahat
karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu apa yang tidak kita ketahui.[7]
B.     Bentuk dan Macam-macam Ibadah
Ibadah-ibadah yang kita laksanakan berdasarkan bentuk nya :
Pertama, ibadah-ibadah yang berupa perkataan dan ucapan. Ibadah ini semisal membaca
Al-Qurán, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, taslim, doa, membaca hamdalah oleh orang yang
bersin.
Kedua, ibadah-ibadah yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan dengan sesuatu sifat.
Ibadah ini contoh nya menolong orang, berjihad di jalan Allah, membela diri dari gangguan,
menyelenggarakan urusan jenazah.
Ketiga, ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan suatu pekerjaan. Ibadah
semacam ini ialah puasa, yakni menahan diri dari makan, minum, dan dari segala yang
merusakkan puasa.
Keempat, ibadah-ibadah yang melengkapi perbuatan dan menahan diri dari sesuatu
pekerjaan. Ibadah ini contoh nya ialah I’tikaf (duduk di dalam masjid), menahan diri dari
jima’ dan mubasyarah, bernikah dan menikahkan, haji.
Kelima, ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak. Umpamanya, membebaskan orang-
orang yang berhutang, memaafkan kesalahan orang lain, memerdekakan budak untuk
kaffarat.
Keenam, ibadah-ibadah yang melengkapi perkataan, pekerjaan, khudhuk, khusyuk menahan
diri dari berbicara dan dari berpaling lahir dan batin dari yang diperintahkan kita
menghadapinya.[8]
Macam-macam ibadah :
a.      Ibadah-ibadah itu, terbagi beberapa macam.
Pertama, bersifat makrifat yang tertentu dengan soal ketuhanan.
Kedua, ucapan-ucapan yang tertentu untuk Allah, seperti : takbir, tahmid, tahlil dan puji-
pujian.
Ketiga, perbuatan-perbuatan yang tertentu untuk Allah, seperti : haji, umrah, rukuk, sujud,
puasa, thawaf dan I’tikaf.
Keempat, ibadah-ibadah yang lebih mengutamakan hak Allah walaupun terdapat pula
padanya hak hamba, seperti : Sholat fardhu dan Sholat Sunnah.
Kelima, yang mencakup kedua-dua hak, tetapi hak hamba lebih berat, seperti : zakat,
kaffarat dan menutup aurat.
Dalam soal harta, hak Allah mengikuti hak hamba dengan dalil bahwa harta itu menjadi
mubah bila dibolehkan oleh mereka yang mempunyai harta dan dapat dimanfaatkan
dengan seizin mereka.
b.      Muamalah juga terdapat beberapa macam :
1)      Ada yang diwujudkan untuk menghasilkan maslahat yang cepat, seperti : jual-beli dan
sewa-menyewa.
2)      Ada yang maslahatnya memperoleh ganti yang cepat, seperti : menerima upah untuk
haji dan umrah, dan mengajar Al-Qurán.
3)      Ada yang salah satu maslahatnya segera diperoleh, sedangkan yang keduanya lambat
diperoleh, seperti : memberi pinjaman (memberi hutang). Maslahatnya untuk yang
menerima uang cepat diterimanya, untuk yang memberi hutang lambat diperolehnya bila ia
maksudkan keridhaan Allah.
4)      Salah satu maslahatnya cepat diterimanya, sedangkan yang lain oleh pemberinya
dapat dicepatkan atau dilambatkan, seperti : menjamin hutang. Kemaslahatannya yang
cepat diperoleh oleh yang dijaminkan. Jika penjaminan dengan ganti, cepatlah ia menerima
maslahatnya. Jika ia jamin dengan tak ada sesuatu agunan dipahalai dia, jika ia kehendaki
keridhaan Allah.
5)      Kemaslahatannya lambat untuk yang memberi, cepat untuk yang menerima, seperti
wakaf, hibah, wasiat dan hadiah.[9]

C.    Beberapa ketentuan pokok ibadah


Ibadah sebagaimana pendapat imam Syathibi, merupakan tujuan yang mendasar dan
maksud-maksud yang mengikuti. Adapun tujuan yang mendasar (pokok) di dalam ibadah
adalah Tawajjuh (menghadap) kepada Allah SWT dan mengesakan-Nya dengan niat ibadah
dalam setiap keadaan. Hal itu diikuti tujuan menyembah guna memperoleh kedudukan di
akhirat, atau agar menjadi seorang di antara wali-wali Allah atau yang serupa dengannya.
Termasuk tujuan-tujuan mengikuti ibadah adalah untuk perbaikan jiwa dan mencari
anugerah. Demikian pula seluruh ibadah, semua itu mempunyai fungsi ukhrawiyah,
termasuk memperoleh keberuntungan dengan surga dan selamat dari azab neraka. Jadi, hal
ini termasuk dalam arti Ar-Rajaa’ (harapan) memperoleh pahala dari Allah SWT, takut
siksanya, dan merupakan bagian dari ibadah yang tertuju kepada Tuhan semesta alam. Al-
Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ dalam arti ini tidak tercela, selama ikhlas karena Allah
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.[10]
Imam Asy-Syathibi mengatakan : salat misalnya, dasar pensyariatannya adalah Al-Khudlu’
atau berendah diri, tunduk kepada Allah yang disertai keikhlasan menghadap kepada-Nya,
berdiri di atas pijakan berhina dan memperkecil diri dari di hadapan Allah tanpa
meninggalkan dan selalu mengingat-Nya.
Diterima tidaknya suatu ibadah terkait pada dua faktor yang penting.
Pertama, ibadah dilaksanakan atas dasar ikhlas.
Firman Allah SWT yang artinya :
“Katakan olehmu, bahwasanya aku diperintahkan menyembah Allah (beribadah kepada-
Nya) seraya mengikhlaskan taat kepadanya-Nya, dan diperintahkan supaya aku merupakan
orang pertama yang menyerahkan diri kepada-Nya” (QS. Az-Zumar 39 : 11-12)
Kedua, ibadah dilakukan secara sah (sesuai petunjuk syara’
Firman Allah SWT yang artinya :
“Barang siapa mengharap supaya menjumpai Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal
yang shalih, dan janganlah ia mensyarikatkan seseorang dengan Tuhannya dalam ibadahnya
itu” (QS. Al-Kahfi 18 : 110)[11]

D.    Filosofi dan Hikmah Ibadah


Filosofi
Apabila di perhatikan dengan saksama kedudukan ibadah dalam islam, nyatalah bahwa 
ibadah itu jalan yang harus dilalui untuk mensucikan jiwa dan pekerjaan.
Manusia semuanya hamba Allah. Allah sendiri yang menciptakan mereka. Kepada Allah
semuanya akan kembali. Maka mengdahapkan jiwa kepada Allah, yang dalam bahasa arab
dikatakan tawajjuh, dinamai munajjah. Adapun membesarkan Allah dan menundukkan jiwa
kepada-Nya, dinamai ibadah.
Menurut  teori dan falsafah islam, ibadah itu didasarkan untuk kebaikan hidup yang
memerlukan tiga faktor penting, yaitu :
a.       Kebaikan akal.
b.      Kebaikan jiwa, dan
c.       Kebaikan usaha (amal)
Islam menegakkan ibadah atas beberapa sendi yang dapat membersihkan jiwa dan usaha
sekiranya kita melaksanakan dengan sewajarnya dan dengan semestinya, dan kita tetap
memelihara inti sari ibadah itu.
Islam meniadakan ibadah dari perantaraan antara yang menyembah (abid) dengan yang di
sembah (ma’bud). Islam menjadikan ibadah itu perhubungan yang langsung antara
seseorang pribadi dengan Tuhannya dengan tidak ditengahi oleh seorangpun. Para ulama’
dalam syari’at islam bukan sekali-kali berlaku sebagai orang yang menjadi perantara antara
seoran hamba dengan Allah, Khaliqnya. Mereka dan orang lain soal ini, sama saja. Para
ulama’ hanya dibebankan member pengajaran. Karena itu, mereka lebih berat
bertanggungjawab di hadapan Allah kelak.
Firman Allah swt :
                            
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi
peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (QS. Alghasiyah/88:21-22)
Islam menghendaki supaya hati manusia itu, senantiasa berhubungan dengan Tuhan, tidak
lalai dari-Nya. Selalu memperhatikan keadaan dirinya dan keinginannya, manusia itu
menjadikan dunia untuk jalan menempuh keakhiratan.
           
Firman Allah swt:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni'matan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS. Al Qashash/28:77)[12]
Hikmah
Tidak ada ibadah yang kosong dari hikmah, apabila tiap-tiap ibadah di dalam syari’at islam
diteliti dan diselami hikmah dan rahasinya, nyatalah tak ada suatu ibadah yang kosong dari
hikmah. Hanya saja, hikmah itu ada yang terang ada yang tersembunyi. Mereka yang terang
hatinya, cemerlang pikirannya, dapat menyelami hikmah-hikmah itu. Mereka yang bebal,
tidak terang mata hatinya, tidak tembus pikirannya, tidak dapat menyelaminya. 
            Pengertian hikmah yang dimaksudkan disini adalah :

“illah-illah atau rahasia-rahasia yang berdasar akal yang ada persesuaian antaranya hukum”
Contohnya :
a.       Sembahyang disyari’atkan untuk mengingtkan kita kepada Allah dan untuk bermunajat
kepada-Nya.
Firman Allah swt:

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah
Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha/20:14)
b.      Zakat disyari’atkan untuk mengkis kekikiran dan untuk mencukupkan kebutuhan para
fuqara dan masakin.
Sabda Nabi SAW :
“Diamlah dari hartawan-hartawan merela lalu diberikan kepada orang-orang fakir mereka”.
(HR. Bukhari - Muslim)
c.       Puasa disyari’atkan untuk mematahkan dorongan nafsu dan untuk menyiapkan kita
bertakwa kepada Allah.
Firman Allah swt:

Shibghah Allah Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya
kepada-Nya-lah kami menyembah. (QS. Al baqharah/2:138)
d.      Haji, disyari’atkan untuk memuliakan syiar-syiar agama.
Friman Allah swt:

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa
yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan
sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan
hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (QS Al
baqarah/2:158)
e.       Hudud (hukuman-hukuman had) dan kaffarat-kaffarat disyari’atkan untuk
memperkuatkan manusia dari mengerjakan kemaksiatan.
Firman Allah swt:

 “supaya ia merasa kepahitan urusannya” (QS Al Maidah/5:95)[13]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Fiqih  ibadah  adalah  pemahaman  terhadap  hal yang  berkaitan dengan  peribadatan 
manusia  kepada allah ,yakni antara  makhluk yang  tercipta kepada sang penciptanya. rukun
utama dari bangunan islam terdiri dari sebagian kecil makna ibadah kepada Allah dan bukan
semuanya seperti yang diinginkan oleh Allah dari Hamba-nya.
Ruang Lingkup Fiqih ibadah meliputi : Shalat, Zakat, Puasa, Haji,dll. Ibadah tidak hanya
terbatas pada shalat, puasa, haji, zakat, dan semua turunannya. Melainkan Seorang muslim
bisa menjadikan semua pekerjaan biasa dan bersifat rutinitas menjadi sebuah ibadah jika
diikhlaskan niatnya.
Bentuk-bentuk ibadah meliputi : ibadah-ibadah yang berupa perkataan dan ucapan , ibadah
yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan dengan sesuatu sifat, ibadah-ibadah yang
berupa menahan diri dari mengerjakan suatu pekerjaan, ibadah-ibadah yang melengkapi
perbuatan dan menahan diri dari sesuatu pekerjaan, ibadah-ibadah yang bersifat
menggugurkan hak., ibadah yang melengkapi perkataan, pekerjaan .
Macam-macam ibadah meliputi : bersifat makrifat yang tertentu dengan soal ketuhanan,
ucapan-ucapan yang tertentu untuk Allah, perbuatan-perbuatan yang tertentu untuk Allah,
ibadah-ibadah yang lebih mengutamakan hak Allah walaupun terdapat pula padanya hak
hamba, yang mencakup kedua-dua hak, tetapi hak hamba lebih berat.
Ibadah dalam konteks muamalah meliputi : Ada yang diwujudkan untuk menghasilkan
maslahat yang cepat, Ada yang maslahatnya memperoleh ganti yang cepat, Ada yang salah
satu maslahatnya segera diperoleh dan sedangkan yang keduanya lambat diperoleh, Salah
satu maslahatnya cepat diterimanya dan sedangkan yang lain oleh pemberinya dapat
dicepatkan atau dilambatkan, Kemaslahatannya lambat untuk yang memberi dan cepat
untuk yang menerima.
Ketentuan pokok ibadah meliputi : Tawajjuh, Al-Khauf, Ar-Rajaa’.
Filosofi Ibadah : Islam menegakkan ibadah atas beberapa sendi yang dapat membersihkan
jiwa dan usaha sekiranya kita melaksanakan dengan sewajarnya dan dengan semestinya,
dan kita tetap memelihara inti sari ibadah itu.
Hikmah Ibadah : Setiap ibadah memiliki hikmah. Mereka yang terang hatinya, cemerlang
pikirannya, dapat menyelami hikmah-hikmah ibadah. Mereka yang bebal, tidak terang mata
hatinya, tidak tembus pikirannya, tidak dapat menyelaminya.

DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, H.Z. Fuad Hasbi, 2000, Kuliyah Ibadah, Semarang : PT. Pustaka Riski Putra
Ibrahim Shalih Su’ad, 2011, Fiqih Ibadah Wanita, Jakarta : Amzah
Qardhawi Yusuf, 1993, Konsep Ibadah Dalam Islam,
Surabaya : Central Media

[1]Al-Qamus Al-Muhith. Al-Fairuzabadi (Muhammad bin Ya’qub Majduddin Al-Fairuzabadi).


Cairo : Mathba’ah   Mushthafa Al-Babi Al-Halabi, cet. II. 1371 H/1952 M, hlm. 311.
[2] Mukhtar Ash-Shihhah. Ar-Razi (Muhammad bin Abu Bakr bin Abdul Qadir). Cairo : Al-
Mathabi’ Al-Amiriyyah, 1355 H, hlm. 407, 408.
[3] Lihat Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an. Ar-Raghib Al-Ashfihani, hlm. 319 , dan Mu’jam Al-
Fazh Al-qur’an Al-Karim. Lajnah min kubbar Al-‘Ulama fi Ad-Din wa Al-Lughah. Cairo: Al-
Ha’iah Al Mishriyyah Al-‘Ammah li Al-kitab , t t., hlm 6
[4] Al-Mushthalahat Al-Arba’ah fi Al-Qur’an. Abu Al-A’la Al-Maududi, hlm. 97.
[5] Al-‘ibadah fi Al-islam, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, hlm. 29.
[6] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Al-‘ibadah fi Al-islam, menukil tulisan ibnu Taimiyyah dalam
kitab Risalah Al-Ibadah.  
[7] Tafsir Al-Manar, II/44
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. DR. kuliyah ibadah. Semarang : PT
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2000. Hlm 19-20.
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. DR. kuliyah ibadah. Semarang : PT
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2000. Hlm 74-75. 
[10] Yusuf Qhardawi, Prof. Dr. konsep ibadah dalam islam. Subarabaya. CENTRAL MEDIA,
1993. Hlm 91-93.
[11] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. DR. kuliyah ibadah. Semarang : PT
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2000. Hlm 13.  

[12] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. DR. kuliyah ibadah. Semarang : PT
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2000. Hlm  91-95.  

[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. DR. kuliyah ibadah. Semarang : PT
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2000. Hlm  85-87.  

Posted by Fare Eryz Hariyanto at 00:35

Anda mungkin juga menyukai