Anda di halaman 1dari 11

1. 2.

   Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik


 

a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik

Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar


merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut
stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike
ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis
hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang
diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat
terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon
tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran
maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana,
yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar
adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo
(1990:14) teori Thondike ini disebut teori asosiasi.

Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan bahwa


terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1)
Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting
terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah
semakin sering suatu pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara
stimulus dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2)
Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan
respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti
(idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah
benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.

Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hamper senada
dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam
belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk
melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi
penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif
sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung
dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negative
adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku
(Bell, 1981:151).

b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme

Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan


struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur
kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi
sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu
sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan
lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus
menerus melalui proses rekonstruksi.

Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si
belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif  mengembangkan
pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung
jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu
dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri
dalam kehidupan kognitif siswa.

Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan


berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang
kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya
aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada
pebelajar.

Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1)


mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2)
mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4)
pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman
(Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).
Hakikat pembelajaran konstruktivistik olehBrooks & Brooks dalam Degeng mengatakan
bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak
menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas
kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar
termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka
si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

1. 3.   Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik


Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation),
konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the
construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget  bermakna yaitu adaptasi
terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep


ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata
melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu
berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman
yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan
demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema
baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan
antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat
mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur
kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan
intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan
keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka
individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya


sebagai scaffolding. Scaffolding,  berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut
dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan
pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam
bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga
kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa
mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3)
siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing
siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar
pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.

Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif


antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam
kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses
penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual
yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis
Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.

Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1),  mengenai fungsi dan
pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap
tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal
development. Pembelajar sebagai  mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani
siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.

Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran


sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran.
Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing
individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa
bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih
dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal
development mereka. Zona  of proximal development adalah daerah antar tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah
secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut.

Pengetahuan  dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog
dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog
antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi
juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang
sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk
mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative
learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat  bekerja sama dan
berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas.
(Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.

Table 2

Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.

Konstruktivistik Behavioristik

Pengetahuan adalah objektif, pasti,


Pengtahuan adalah non-objective, dan tetap , tidak berubah.
bersifat temporer, selalu berubah dan Pengetahuan telah terstruktur dengan
tidak menentu. rapi.

Belajar adalah penyusunan


pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan
refleksi serta interpretasi. Mengajar
adalah menata lingkungan agar si Belajar adalah perolehan
belajar termotivasi dalam menggali pengetahuan, sedangkan mengajar
makna seta menghargai adalah memindahkan pengetahuan ke
ketidakmenentuan. orang yang belajar.

Si belajar akan memiliki pemahaman Si belajar akan memiliki pemahaman


yang berbeda terhadap pengetahuan yang sama terhadap pengetahuan
tergantung pada pengalamannya, dan yang diajarkan. Artinya, apa yang
perspektif yang dipakai dalam dipahami oleh pengajar itulah yang
menginterpretasikannya. harus dipahami oleh si belajar.

Fungsi mind adalah menjiplak


Mind berfungsi sebagai alat untuk struktur pengetahuan melalui proses
menginterpretasi peristiwa, objek, berpikir yang dapat dianalisis dan
atau perspektif yang ada dalam dunia dipilah sehingga makna yang
nyata sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti
dihasilkan bersifat unik dan ini ditentukan oleh karakteristik
individualistic. struktur pengetahuan.
 

Table 3

Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang

Penataan Lingkungan Belajar

       

Konstruktivistik Behavioristik

Ketidakteraturan, ketidakpastian,
kesemrawutan, Keteraturan, kepastian, ketertiban

Si belajar harus dihadapkan pada


aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan lebih dahulu secara ketat.
Pembiasaan dan disiplin menjadi
Si belajar harus bebas. Kebebasan sangat esensial. Pembelajaran lebih
menjadi unsure yang esensial dalam banyak dikaitkan dengan penegakan
lingkungna belajar. disiplin.

Kegagalan atau ketidakmampuan


dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan
Kegagalan atau keberhasilan, yang perlu dihukum, dan
kemampuan atau ketidakmampuan keberhasilan atau kemampuan
dilihat sebagai interpretasi yang dikategorikan sebagai bentuk
berbeda yang perlu dihargai. perilaku yang pantas diberi hadiah.

Kebebasan dipandang sebagai Ketaatan pada aturan dipandang


penentu keberhasilan belajar. Si sebagai penentu keberhasilan
belajar adalah subjek yang harus belajar. Si belajar adalah objek yang
memapu menggunakan kebebasan harus berperilaku sesuai dengan
untuk melakukan pengaturan diri
dalam belajar. aturan.

Control belajar dipegang oleh


Control belajar dipegang oleh si system yang berada di luar diri si
belajar. belajar.
 

Table 4 Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran

Konstruktivistik Behavioristik

Tujuan pembelajaran ditekankan pada


belajar bagaimana belajar (learn how to Tujuan belajar ditekankan pada
learn) penambahan pengetahuan.
 

Tabe 5 pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran

Konstruktivistik Behavioristik

Penyejian isi menekankan pada Penyajian isi menekankan pada


penggunaan pengetahuan secara keterampilan yang terisolasi dan
bermakna mengikuti urutan dari akumulasi fakta mengikuti urutan dari
keseluruhan-ke-bagian. bagian-ke-keseluruhan.
   

Pembelajaran lebih banyak Pembelajaran mengikuti urutan


diarahkan untuk meladeni kurikulum secara ketat.
pertanyaan atau pandangan si
belajar.
 

 
 

Aktivitas belajar lebih banyak


Aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada data primer dan
didasarkan pada buku teks dengan
bahan manipulatif dengan
penekanan pada keterampilan
penekanan pada keterampilan
mengungkapkan kembali isi buku
berpikir kritis.
teks.
 
 
Pembelajaran menekankan pada
proses. Pembelajaran menekankan pada hasil

Tabe 6 Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi

Konstruktivistik Behavioristik

Evaluasi menekankan pada respon


Evaluasi menekankan pada pasif, keterampilan secara terpisah,
penyusunan makna secara aktif yang dan biasanya menggunakan ‘paper
melibatkan keterampilan and pencil test’
terintegrasi, dengan menggunakan  
masalah dalam konsteks nyata.
 
 

Evaluasi yang menggali munculnya


 
berpikir divergent, pemecahan
ganda, bukan hanya satu jawaban
benar Evaluasi yang menuntu satu jawaban
benar. Jawaban benar menunjukkan
bahwa si-belajar telah menyelesaikan
 
tugas belajar.

Evaluasi merupakan bagian utuh dari


 
belajar dengan cara memberikan
tugas-tugas yang menuntut aktivitas
belajar yang bermkana serta Evaluasi belajar dipandang sebagai
menerapkan apa yang dipelajari bagian terpisah dari kegiatan
dalam konteks nyata. evaluasi pembelajaran, dan biasnaya dilakukan
menekankan pad aketerampilan setelah kegiatan belajar dengan
proses dalam kelompok. penekanan pada evaluasi individual.

 
 

1. 4.   Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik


Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky  yang telah dikemukakan di atas maka
pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai
berikut:

Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan


intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-
kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa.
Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview

Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk


satuan pelajaran.

Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan
sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka
terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan
intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam
lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi,
menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian
dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar
siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus
menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan
terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.

Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat
miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi
yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat
kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.

Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang


gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka
diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk  mendukung
ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri
apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan
melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik
kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk
memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala
yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses
konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai
fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk
menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal.
Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang
lama.

Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi
menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut
dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia
menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit
miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.

Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah
berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran.
Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali
bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut
tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada
kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

1. 5.   Penutup   
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam
pembelajaran yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah
digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan
pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi
semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik
yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan invidu,
menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.

Alkitab seringkali menyebutkan berbagai cara Tuhan Yesus mengajar, ada khotbah di bukit,
berdialog dengan para ahli taurat di dalam bait Allah pada usia 12 tahun, berjalan bersama
dua orang murid ke Emaus, pada peristiwa perempuan yang melacurkan diri dan banyak lagi,
semua itu merupakan pembelajaran yang merupakan perwujudan dari pembelajaran
konstruktivistik. Pembelajaran yang membuat pebelajarnya membangun maknanya sendiri,
bukan mentranfer makna/pengetahuan.

TEORI BEHAVIORISTIK

A.Pendahuluan
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia
mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara
yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus danrespon.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau input yang berupa stimulus dan keluaran
atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon
dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga
dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement)
penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila
penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan.

B. Pembahasan
1. Teori-Teori Belajar
Teori Koneksionisme Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan,
atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu ineraksi
yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Dari defenisi ini maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat
dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak
kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.

Teori Conditioning Watson


Menurut Watson, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus
dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan
dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak
perlu diperhitungkan.

Teori Conditioning Edwin Guthrie


Dijelaskan bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara,
oleh sebab itu dalam kegiatan belajar perserta didik perlu sesering mungkin diberikan
stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat tetap. Ia juga mengemukakan,
agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai
macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut.

Teori Operant Conditioning Skinner


Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam
lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Teori Skinnerlah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-
program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan
program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respon
serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.

Teori Systematic Behavior Clark Hull


Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis
adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.
2. Kelemahan dan kelebihan teori belajar
Teori behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks,
sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang
tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan
tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus
yang diberikan dengan responnya.
Namun kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target
tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.

3. Aplikasi Dasar
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas
“mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban
benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.

C. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar menurut teori Behavioristik
merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan
respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting
diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat
memperkuat timbulnya respon.

ADVERTISEMENT

Anda mungkin juga menyukai