Anda di halaman 1dari 12

UKBM BIN-3.9-4.

9/3/9-9
□ Isi dan nilai-nilai cerpen
□ Unsur cerpen
□ Kontruksi cerpen

Membedah Teks
Cerpen

Nama :
Kelas :
Nmr. Presensi :
1
IDENTITAS

3.9 Menganalisis unsur-unsur pembangun


cerpen
Bahasa Indonesia 4.9 Mengontruksi sebuah cerpen dengan
memerhatikan unsur pembangun
Semester Cerpen cerpen
2 pekan
3 (isi dan nilai-nilai)

Tujuan Pembelajaran
Melalui pembelajaran kali ini, Anda diharapkan mampu menganalisis isi,
nilai-nilai, dan unsur pembangun yang ada dalam ceren. Anda juga
diharapkan mampu mengembangkan sikap religiositas, nasionalisme,
kemandirian, kerjasama, dan integritas.

PETA KONSEP
2
PROSES BELAJAR

Petunjuk Umum Penggunaan UKBM


Perhatikan simbol-simbol berikut karena simbol tersebut akan memandu Anda dalam mengerjakan UKBM
ini!

kerjakan Pertanyaan/
perintah Bernalar

Mencari informasi Pemahaman Diskusi

Membaca Teks Berkarya Refleksi

PENDAHULUAN
Tulis Pemikiran Anda di sini!

Seberapa sering Anda membaca


cerpen?

Dari Judul buku di atas, menurutmu


termasuk cerpen remaja atau
bukan? Coba jelaskan alasanmu!
3
KEGIATAN INTI

Bagaimana jawaban Anda? Coba diskusikan! Jika sudah, mari kita lanjutkan
kegiatan berikutnya!

Kegiatan Belajar 1
Pada kegiatan belajar pertama, Anda akan menganalisis isi dan nilai-
nilai yang ada dalam cerpen. Sebelum itu, perhatikan langkah-langkah berikut!

1. Pahami terlebih dahulu soal latihan Kegiatan Belajar 1


2. Pahami materi cerpen di BTP kelas XI hlm. 107—109 dan hlm. 111-112
3. Bacalah teks cerpen yang ada ditentukan pada UKBM ini
4. tentukan isi dan nilai-nilainya
5. Saling menanggapi hasil pekerjaan milik teman
6. Lanjut ke kegiatan belajar 2

Tentukan ISI dan nilai-nilai dari teks cerpen Robohnya Surau


Kami karya A.A. Navis yang ada di BTP hlm. 103—106! Tuliskan
berdasarkan kolom yang tersedia!

Selanjutnya, tentukan NILAI-NILAI yang ada dalam cerpen


tersebut dan bandingkan dengan kehidupan sekarang! Tuliskan
berdasarkan kolom yang tersedia!
4

Nilai :
Konsep
nilai

kutipan
cerpen

bukti di
kehidupan
nyata

Nilai :

Konsep nilai

kutipan cerpen

bukti di kehidupan nyata

Jika Anda sudah selesai, carilah patner untuk saling


menanggapi hasil pekerjaan Anda!
5

Kegiatan Belajar 2
Pada kegiatan belajar kedua, Anda akan menganalisis unsur
pembangun cerpen dan mengontruksi sebuah cerpen dengan
memperhatikan unsur dan kebahasaan. Sebelum itu, perhatikan
langkah-langkah berikut!

1. Pelajari materi unsur pembangun cerpen di BTP kelas XI hlm. 118—121.


2. Bacalah cerpen yang ditentukan pada UKBM ini dan mulai berlatih untuk menganalisisnya!
3. Pilihlah sebuah topik yang dapat Anda kembangkan menjadi cerpen (Tema: pengalaman
hidup).
4. Carilah patner untuk saling menukarkan hasil cerpen yang telah dibuat
5. Sunting cerpen milik patnermu. Ingat, perhatikan unsur cerita dan kebahasaannya
6. Bersiap untuk ceramah!

Tentukan unsur pembangun dari teks cerpen Kucing Kiyoko karya


Rama Dira yang ada di lampiran UKBM ini! Tuliskan hasilnya pada
kolom yang tersedia!

Unsur Paparan
Pembangun
Tema

Amanat

Penokohan

Alur
6

Latar:

a. Tempat

b. Waktu

c. Suasana

Gaya
bahasa

Latar
belakang
cerita
dibuat

kegiatan selanjutnya yakni membuat teks cerpen berdasarkan


pengalaman pribadi! Perhatikan langkah-langkahnya!

1. Tentukan satu pengalaman hidup yang akan kamu gunakan sebagai cerpenmu.
2. Susunlah urutan peristiwanya terlebih dahulu, setelah itu kembangkan ke bentuk cerita.
3. Cerpen diketik dengan menggunakan huruf Cambria; ukuran 11; normal; spasi 1,15.
4. Perhatikan juga penggunaan bahasa pada karyamu.
5. Cerpen dikumpulkan dalam bentuk antologi cerpen sesuai kelas masing-masing.
7
PENUTUP

Bagaimana Kemampuan Anda sekarang?


Mari cek kemampuan diri Anda dengan mengisi tabel berikut!

No Pertanyaan Ya Tidak

1. Dapatkah Anda menjelaskan bagian isi dan nilai-nilai dalam cerpen?

2. Dapatkah Anda menganalisis unsur pembangun cerpen?

3. Dapatkah Anda membuat sebuah cerpen?

4. Sudahkah Anda menyunting cerpen berdasarkan aspek-aspeknya?


Dapatkah Anda menyampaikan hasil suntinganmu kepada pemilik
5.
cerpen?

Yuk, Kita ingat kembali Tulis di sini!


1) Apa saja yang sudah Anda dapatkan
dalam pembelajaran kali ini?
2) Apa yang membuat Anda yakin
telah berhasil menganalisis isi, nilai, unsur, serta
membuat dan menyunting teks cerpen?
3) Pengalaman apa saja yang Anda dapatkan dalam
pembelajaran kali ini?
4) Bagaimana Anda mencoba menerapkan materi kali
ini di kehidupan sehari-hari?

berhasil! Sekarang
mintalah formatif pada
gurumu!
Anda Hebat!
8

Lampiran:
Kucing Kiyoko
Oleh Rama Dira

Pagi-pagi sekali, aku dikejutkan oleh kemunculan seekor kucing belang tiga di depan pintu flatku.
Mulanya, ia mengeong-ngeong keras sambil mencakar-cakar pintu hingga membuatku berhenti menggosok
gigi demi memastikan apakah benar seekor kucing berada di depan pintu itu.
Kulihat, kucing itu kuyu. Sekujur badannya basah, pasti terkena hujan. Di luar memang sedang hujan.
Beberapa hari ini, Kyoto tak henti-henti diguyur tumpahan air langit yang begitu derasnya.
Meski sesungguhnya tak menyukai kucing, aku tidak tega membiarkannya kedinginan di luar. Lagi pula,
dia sepertinya memang memohon pertolongan seseorang untuk melepaskannya dari jerat dingin udara Kyoto
saat ini. Aku langsung menggendongnya ke dalam. Sebelum menutup pintu, barulah aku tahu kalau kucing itu
terluka setelah tanganku basah oleh nanah yang berbau busuk, mengalir dari sebuah luka yang dalam, pada
pinggang sebelah kirinya. Sepertinya itu luka akibat tusukan benda tajam.
Aku bergegas memakai jas hujan, meninggalkan kucing itu sebentar demi mendapatkan obat yang
pantas untuk luka yang mengerikan itu dari apotek seberang jalan. Nguyen, mahasiswa farmasi asal Vietnam
yang nyambi bekerja di apotek tersebut menyarankan aku untuk mengoleskan salep chloramphenicol pada
luka si kucing. Aku bergegas membayar, lantas menuju minimarket, sekitar lima puluh meter dari apotek. Di
sana aku mendapatkan sekaleng susu cair dan whiskas rasa tuna kemasan 500 gram. Setelah memastikan
tidak ada yang terlewatkan, aku kembali berjuang menembus badai hujan menuju flatku.
Kucing yang menyedihkan itu masih tergolek lemah di atas sofa, dalam balutan handuk yang kuberikan
sebelum meninggalkannya tadi. Ia agak terkejut mendengar pintu yang kututup agak keras. Segera kuambil
kapas dan kubawa pula baskom berisi air hangat.
Setelah menuntaskan ritual pengobatan pada kucing itu, aku langsung menyuguhkan padanya
semangkuk whiskas dan semangkuk susu. Ia langsung melahap habis semuanya. Selesai itu, ia langsung
tertidur pulas dalam kelelahan. Kuperhatikan benar-benar, sepertinya kucing ini bukanlah kucing liar. Bulu-
bulunya terawat. Badannya juga montok. Aku pun berpikir, biarlah dia di sini dulu sampai sembuh. Kalau
misalnya dalam beberapa hari ini tak ada yang mencarinya, akan kuantarkan ke penampungan hewan piaraan
saja.
Kucing itu menempati kardus mie instant yang sudah kuatur sedemikian rupa untuk memberinya rasa
nyaman dan kehangatan yang layak, agar ia bisa tenang beristirahat dengan harapan berdampak baik pada
penyembuhan lukanya.
Hari ini Minggu, aku bebas dari kuliah dan pekerjaan. Aku menuju ke depan TV, memutar sepiring DVD
yang sudah kusewa dari rental di dekat restoran tempatku bekerja. The Catcher in the Rye judul film itu. Aku
menontonnya dalam perhatian yang mendalam. Sejalan dengan mengalirnya kisah dalam film itu, aku mulai
menyadari kenyataan bahwa terkadang, banyak hal-hal kecil yang muncul di hadapan kita pada suatu waktu
menjadi pemantik ingatan kita akan kenangan yang terjadi pada masa lalu. Film itu membawaku pada
9

kenangan ketika aku terpaksa berhenti kuliah karena orangtua tidak bisa membiayai. Keadaan itu kemudian
justru memacuku untuk merantau jauh, bekerja sambil menuntut ilmu di Jepang dengan menumpang sebuah
kapal barang dari Surabaya. Sampai di Jepang, aku mencoba bertahan hidup dengan bekerja berpindah-
pindah di restoran-restoran kecil di Kyoto ini, sampai kemudian aku menjadi salah satu juru masak yang bisa
diandalkan di sebuah restoran bessar berkat ilmu masak yang kudapatkan dari restoran-restoran kecil tadi
meski aku lebih banyak bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Dari pendapatanku sebagai juru masak di
restoran besar itu, aku bisa membiayai kuliah.
Kini, aku bisa hidup mandiri dan tiap bulan juga rutin mengirikan uang ke orang tua di Indonesia. Hari-
hariku kulalui dengan berkutat dalam bumbu masak di sebuah restoran yang terletak di sekitar
Imadegawacho selain juga bergelut dengan materi kuliah di Universitas Kyoto dalam bidang kelistrikan. Di
sini, aku benar-benar menikmati pengaruh kerja keras, fokus dalam keseriusan yang tidak akan kudapatkan
di negeriku sendiri.
The Catcher in the Rye usai, kenanganku pada masa lalu usai. Aku beranjak mematikan TV menuju meja
makan, menyantap dua hamaagu dan teh hijau panas yang masih mengupal asapnya. Sehabis itu, aku pun
terjatuh dalam tidur yang panjang di sofa. Sementara, hujan di luar tak kuncung juga reda, seolah akan turun
selamanya.
***
Sebenarnya sudah lama aku tertarik pada gadis cantik yang tinggal di flat seberang jalan itu. Namun,
aku tidak bisa menemukan cara untuk bertemu dan berkenalan dengannya. Namun, tak kusangka, si kucing
belang tiga—yang sudah menjadi bagian dari flatku selama tiga minggu—berjasa mempertemukanku dengan
gadis itu pada akhirnya. Kuketahui kemudian namanya Kiyoko, pemilik si kucing belang tiga.
Kiyoko datang pada suatu malam, menanyakan padaku apakah ada seekor kucing belang tiga yang
nyasar masuk ke dalam flatku. Ketika kuperlihatkan kucing itu, tanpa ragu lagi dialah memang yang selama
tiga minggu ini dicari Kiyoko.
“Ada luka di tubuhnya waktu pertama kali terdampar di sini. Tapi sudah sembuh sekarang...”
“Wah, kasihan sekali... Takeshi...”
“Takeshi?”
“Ya, kuberi dia nama Takeshi.”
Dia kemudian bercerita bahwa di lingkungan sekitar situ memang ada gerombolan anak sekolah
menengah yang suka menyiksa binatang. Ia berkeyakinan luka itu disebabkan oleh ulah mereka. Di hari
Takeshi terluka memang dia sedang tidak berada di flatnya, dia pergi ke Nagoya.
Setelah mengobrol sebentar, dia berpamitan dan menawarkan aku untuk berkunjung ke flatnya,
sekadar minum teh cha berdua sebagai ungkapan rasa terima kasihnya karena telah menyelamatkan Takeshi.
Aku langsung membayangkan: minum chan waktu hujan sambil nonton Serendipity atau Before Sunset,
mengapa menolak?
Esok malamnya aku berkunjung. Ia memperlakukanku dengan baik. Meski tak ada hujan dan tak sempat
menonton film bersama, ia menyuguhkan teh hangat dalam sambutan serta percakapan yang juga hangat.
Aku juga senang melihat Takeshi yang sudah sembuh lukanya dan yang paling penting, ia sudah berada
10

kembali di rumahnya. Namun satu hal yang membuatku heran, Takeshi tidak dibiarkan bebas. Ia terkurung
dalam sebuah sangkar.
“Mengapa Takeshi di dalam sana?”
“Ph, aku lupa mengeluarkannya. Tadi aku keluar sebentar, aku tidak bisa membawanya. Makanya
kemudian kukurung saja dalam sangkar. Jika kubiarkan bebas sendirian, ia bisa keluar dari sela langit-langit.
Aku takut ia menjadi bulan-bulanan anak-anak itu lagi.” Ia kemudian menghampiri Takeshi dan membuka
tutup sangkarnya. Takeshi langsung menghambur dalam pelukanku. Sepertinya dia ketakutan, setelah
terkurung lama dalam sangkar itu.
Aku berusaha menenangkan Takeshi sambil membelai-belai tengkuknya. Agak lama Takeshi dalam
gendonganku bahkan sampai dia tertidur pulas. Kuserahkan Takeshi pada Kiyoko dan Kiyoko membawanya
ke kotak tidurnya.
***
Kiyoko bekerja sebagai dosen muda jurusan seni musik tradisional di Fakultas Seni dan Musik,
Universitas Aichi Perfectural di Nagoya. Setiap hari ia menempuh perjalanan sekitar empat puluh menit
Kyoto—Nagoya atau sebaliknya dengan kereta api supercepat, JR Shinkansen.
Ia menguasai beberapa alat musik tradisional. Namun, di antara semuanya secara khusus ia sangat
menyenangi alat musik petik shamisen. Ia lihai memainkan alat musik itu. Bahkan ia seringkali memenangi
kompetisi nasional memetik shamisen.
Semenjak kami saling mengenal, setiap hari minggu ketika dia libur mengajar dan aku libur kuliah dan
kerja, kami sering menghabiskan waktu berdua, bisa di flatku, bisa juga di flatnya dengan tiga aktivitas yang
sama-sama kami sukai yaitu memasak, menonton film dan bermain shamisen.
Petang ini, dari jendela kaca flatku, di bawah sana kulihat Kiyoko sudah tiba dari minimarket membawa
bahan-bahan untuk masakannya nanti. Hari ini gilirannya yang memasak dan menjamuku. Aku jadi gelisah
menunggu telepon darinya. Dia memang telah mengatakan bahwa jika masakannya sudah selesai, barulah ia
meneleponku.
Sebenarnya, dari tadiaku sudah bergegas mandi dan berpakaian rapi, mempersiapkan diri sebaik
mungkin dalam rencaan untuk mengungkapkan keinginan jujurku akan hubungan kami. Tentu, aku
mengharapkan dia mau menerimaku sebagai kekasihnya. Bagaimanapun, dari caranya memperlakukanku
selama tiga bulan ini aku merasa yakin, ia juga menyukaiku. Acapkali ia jujur dan terbuka menyatakan
ketertarikannya padaku sebagai lelaki perantau yang mandiri, disiplin dalam upaya menyelesaikan studi dan
bekerja sendiri untuk hidup dan untuk biaya studi itu. Ia juga suka dengan keterampilanku dan takjub dengan
rahasia bumbu masak yang membuat lidahnya tak berhenti ingin menyantap semua masakan yang kusajikan
meski sebenarnya perutnya sudah kekenyangan.
Acapkali dalam pertemuan kami, memang dia selalu membantuku memasak, tapi sesungguhnya
masakan-masakan yang disajikan di meja semata-mata lahir dari tanganku. Kali ini kutantang dia untuk
memasak dalam janji pertemuan di flatnya.
Dua jam kemudian, telepon genggamku berdering. Dari seberang ia mengatakan masakan sudah siap
dan aku sudah boleh bertandang. Sesampaiku di sana, ia langsung mempersilakan aku menikmati masakan
11

yang sudah tersaji di meja. Sebagai juru masak profesional, apa yang ditampilkannya di atas meja, kunilai
lumayan menyelerakan. Aku langsung menikmati hidangan sukiyaki. Kenyataannya, sukiyaki bukanlah
masakan yang asing bagiku. Namun, sukiyaki ini terasa lebih nikmat dibanding sukiyaki buatanku. Ketika
kutanyakan apa rahasia bumbu masakan itu dan bagaimana caranya ia bisa membuat sayuran dan dagingnya
dalam sukiyaki itu lebih segar, ia tidak mau mengaku. Menurutnya itu semua harus dirahasiakan. “Jika kuberi
tahu, nanti masakanku tidak akan menjadi spesial lagi.”
Sehabis menikmati sajian makan, kami duduk di sofa mendengarkan CD dari album terbaru Jason Mraz.
Ketika Jason Mraz tengah melantunkan Lucky bersama Colbie Caillat, aku mulai mengutarakan bahwa aku
menyukai Kiyoko dan berharap ia mau menjalin hubungan yang serius denganku. Sebagaimana yang kukira
sebelumnya, tanpa penolakan, ia menerimaku sebagai kekasihnya sedetik setelah pernyataan keseriusanku.
Aku bahagia, begitu juga dia. Lantunan Lucky selesai dan sekonyong aku teringat pada Takeshi. Aku
merasa berhutang budi padanya sebab dialah yang telah berjasa besar mempertemukanku dengan Kiyoko.
“Mana Takeshi?”
Kiyoko tidak menjawab langsung, ia justru beranjak menuju ke dalam kamar tidurnya dan membawa
keluar sebuah shamisen baru.
“Ini...” katanya.
“Maksudmu?”
“Ini Takeshi!”
“Itu shamisen!”
“Ya... shamisen yang terbuat dari Takeshi.”
“Maksudmu?”
“Kulit di bagian kepala shamisen ini adalah kulit Takeshi.”
“???”
Kuperhatikan, memang kulit di bagian kepala shamisen itu berwarna belang tiga seperti milik Takeshi.
Serta merta, aku langsung membayangkan apa yang sudah kami makan dalam sukiyaki tadi. Jangan-jangan
itu daging Takeshi. Aku menebak dan tanpa perasaan bersalah dia mengakui memang itu daging Takeshi dan
ia jujur berkata sudah terbiasa menyantap daging kucing yang kulitnya digunakan untuk membuat shamisen.
Sebelum mengambil kulit mereka sebagai bahan pembuatan shamisen baru, Kiyoko pasti memeliharanya
terlebih dahulu sebab kulit kucing yang sehatlah yang bisa membantu menghasilkan denting shamisen yang
cantik. Dia juga jujur mengatakan bahwa luka pada Takeshi ketika kutemukan dulu adalah bekas tusukannya
dalam upaya untuk menguliti kucing itu. Usaha itu gagal, karena Takeshi berhasil lepas dan terdampar di
tempatku. Ia merasa tidak enak mengajukan pengakuan itu di awal pertemuan. Tapi setelah kami sedekat ini,
menurutnya tidak ada lagi masalah baginya untuk menuturkan semuanya.
“Apalah arti seekor kucing...” ungkapnya enteng.
Kuabaikan dia, langsung bergegas ke kamar mandi dan muntah di sana. Aku berpamitan tanpa
memerhatikan reaksinya. Setibaku di flat, aku tidak bisa melakukan hal lain kecuali memikirkan untuk
membatalkan hubungan kami. Tanpa kusadari, kedua mataku basah membayangkan nasib Takeshi.

Anda mungkin juga menyukai