Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

GENDER DAN TIPE KELUARGA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN

DOSEN PEMBIMBING

JULIETTA HUTABARAT,SST,M.Keb

DISUSUN OLEH KEL 11

MUTIARA KENCANA BR SINULINGGA

ORAEFS LABORA SIREGAR

QASRINA NAZHIRA A NST

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN

D-IV KEBIDANAN

1-B

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “GENDER
DAN TIPE KELUARGA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN” dalam keadaan sehat dan lancar.

Mohon maaf jika dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Kami telah membuat dan menyelesaikan makalah ini dengan maksimal. Namun kami masih
membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari anda.

Medan, 27 Agustus 20 20

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................2

DAFTAR ISI..........................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................4
B. Rumusan Masalah..........................................................................................4
C. Tujuan............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Hubungan antara Gender dan Kesehatan........................................................5
B. Ketidaksetaraan Gender dalam Kesehatan.....................................................5
C. Keadilan Gender............................................................................................6
D. Relasi Gender dalam Keluarga.......................................................................6
E. Fungsi Bidan dalam Gender...........................................................................8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................10

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang terakreditasi,
memenuhi kualifikasi untuk didaftarkan, disertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi
untuk praktik kebidanan. Bidan diakui sebagai seorang profesional yang bertanggung jawab
dan akuntabel, bermitra dengan perempuan dalam memberikan dukungan, informasi
berdasarkan bukti, asuhan dan nasihat yang diperlukan selama masa kehamilan, persalinan
dan nifas, memfasilitasi kelahiran atas tanggung jawabnya sendiri serta memberikan asuhan
kepada bayi baru lahir dan anak.

Pelayanan kebidanan adalah penerapan ilmu kebidanan, dimana bidan bertanggung


jawab atas keputusan dan tindakan dalam memberikan pelayanan asuhan kebidanan pada
klien selama hamil, bersalin dan nifas, termasuk keluarga berencana (KB) dan akuntabel
terhadap hasil yang terkait dengan asuhan bagi perempuan dan bayi baru lahir.

Pengertian gender berkaitan dengan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan
laki-laki. Hal ini ditentukan oleh nilai-nilai sosial budaya yang berkembang. Nilai dan aturan
bagi laki-laki dan perempuan di setiap masyarakat berbeda sesuai dengan nilai sosial-budaya
setempat dan seringkali berubah seiring dengan perkembangan budaya. Sedangkan keluarga
merupakan sub sistem dari masyarakat dan negara, yang memiliki struktur sosial serta
sistemnya sendiri. Dalam keluarga, kehidupan seseorang dimulai, dimana seorang anak
mendapat perlindunagan dengan nyaman, seorang istri/ibu melakukan tugas, mendapatkan
haknya dan melakukan tugas—tugas keibuannya, seorang suami/ayah memberikan
kenyamanan, ketentraman, melakukan tugas-tugasnya sebagai kepala keluarga.

B. Rumusan Masalah

1. Apa fungsi bidan dalam gender?


2. Bagaimana fungsi gender dalam kesehatan?
3. Siapa yang berperan dalam relasi gender dalam keluarga?

C. Tujuan

1. Mengetahui peran serta bidan dalam gender


2. Mengetahui fungsi gender dalam lingkup kesehatan
3. Mengetahui peran keluarga dalam gender

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan antara Gender dan Kesehatan

Dalam masyarakat,perempuan dan laki-laki berbeda karena tugas dan aktivitasnya, ruang
fisik yang mereka tempati dan orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Konsep
analisis gender penting sekali dibidang kesehatan karena perbedaan berbasis gender dalam
peran dan tanggung jawab, pembagian pekerjaan, akses ked an control atas sumber daya,
dalam kekuasaan dan keputusan mempunyai konsekuensi maskulinitas dan feminitas yang
berbeda berdasarkan budaya, suku dan kelas social.

Pada status kesehatan perempuan dan laki-laki. Konsekuensi boleh jadi meliputi: “risiko
yang berbeda dan kerawanan terhadap infeksi dan kondisi kesehatan”, banyaknya pendapat
tentang kebutuhan kesehatan tindakan yang tepat, akses yang berbeda ke layanan kesehatan,
yang diakibatkan oleh penyakit dan konsekuensi social yang berbeda dari penyakit dan
kesehatan.

WHO (2001) telah membuat daftar cara bagaimana dampak gender terhadap status
kesehatan:
 Pembongkaran, risiko atau kerawanan
 Sifat dasar, kekerasan dan frekuensi masalah kesehatan yang gejalanya dapat dirasakan
 Perilaku mencari kesehatan
 Akses ke layanan kesehatan
 Konsekuensi social jangka panjang dan konsekuensi kesehatan.

B. Ketidaksetaraan Gender dalam Kesehatan

Kesetaraan gender dalam hak, yaitu adanya kesetaraan hak dalam peran dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan dalam bidang kesehatan.
 Kesetaraan dalam rumah tangga yaitu perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang
sama dalam kesehatan, misalnya menentukan jumlah anak, jenis persalinan, jenis alat
kontrasepsi, dll.
 Kesetaraan hak dalam ekonomi/keuangan yaitu perempuan dan laki-laki mempunyai hak
yang sama dalam memilih alat kontrasepsi.
 Kesetaraan hak dalam masyarakat yaitu adanya budaya di beberapa daerah yang
mengharuskan masyarakat mengikuti budaya tersebut sehingga tidak terjadi kesehatan
yang responsif gender. Selain itu, perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama
dalam berpolitik dan dalam pengambilan keputusan.

Kesetaraan gender dalam sumber daya, yaitu adanya kewenangan dalam penggunaan
sumber daya terhadap kesehatan.
 Di tingkat keluarga, perempuan dan laki-laki mempunyai alokasi yang sama untuk
mengakses pelayanan kesehatan.
 Di tingkat ekonomi, perempuan dan laki-laki mempunyai kemampuan yang sama untuk
membelanjakan uang untuk keperluan kesehatan. Selain itu, perempuan dan laki-laki
mempunyai kesempatan yang sama dalam membelanjakan pendapatannya untuk
kesehatan.
 Di tingkat masyarakat, tidak tersedianya sarana dan pra-sarana publik dan responsif
gender, seperti tidak adanya tempat untuk menyusui, tempat ganti popok bayi.

5
Kesetaraan gender dalam menyuarakan pendapat, yaitu ekspresi terhadap kebutuhan
akan kesehatan dan laki-laki tidak lagi mendominasi pendapat dalam kesehatan.
 Di tingkat rumah tangga, perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama
untuk mengekspresikan rujukan kesehatan yang diharapkan, sesuai tingkat
pendidikannya, kesempatan untuk memberikan umpan balik atas pelayanan yang
diterimanya.
 Di bidang ekonomi, pengetahuan ibu untuk memilih tempat rujukan yang tepat tidak
didukung oleh kemampuan ekonomi suami. Perempuan dan laki-laki mempunyai
kesempatan yang sama dalam menyampaikan keluhan atau komplain terhadap kepuasan
pelayanan.
 Di tingkat masyarakat, pendapat tentang memiliki anak yang sehat didukung dengan
ajaran agama yang diyakini.

C. Keadilan Gender

Keadilan gender merupakan keadilan pendistribusian manfaat dan tanggung jawab


perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan kebutuhan dan
kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang harus diidentifikasi dan diatasi dengan cara
memperbaiki ketidakseimbangan antara jenis kelamin.

Definisi”keadilan gender dalam kesehatan”menurut WHO mengandung dua aspek:


1. Keadilan dalam (status) kesehatan, yaitu tercapainya derajat kesehatan yang setinggi
mungkin (fisik, psikologis, dan sosial) bagi setiap warga negara.
2. Keadilan dalam pelayanan kesehatan, yang berarti bahwa pelayanan diberikan sesuai
dengan kebutuhan tanpa tergantung pada kedudukan sosial seseorang, dan diberikan
sebagai respon terhadap harapan yang pantas dari masyarakat, dengan penarikan biaya
pelayanan yang sesuai dengan kemampuan bayar seseorang.

Keadilan dalam kesehatan didefinisikan sebagai “keadaan untuk mengurangi


kesenjangan dalam kesehatan dan determinan kesehatan, yang dapat dihindarkan antara
kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang sosial (termasuk gender) yang
berbeda”.

Untuk mengupayakan keadilan dalam kesehatan, fokus perlu diberikan kepada kelompok
masyarakat yang paling rawan dan upaya mengurangi kesenjangan. Dalam kaitan gender,
perempuan dalam posisi yang tersisih dan status kesehatannya lebih buruk dari laki-laki.

D. Relasi Gender dalam Keluarga

Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat


ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara
hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Hierarki
dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-
laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara perempuan. Relasi yang terjadi
seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki kemampuan/kekuasaan/kekuatan
lebih besar dibanding anggota keluarga perempuan. Banyak streotype bahkan mitos yang
sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga
hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggung jawab domestik melulu tanggung jawab
ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (ibu/istri) yang mampu menjadi
tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu
bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar
tradisional, buruh pabrik perempuan yang secara tekun dan pantang menyerah, sampai pada
profesi terhormat di masyarakat, mampu menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam
tradisi dibanyak daerah, peran perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut

6
sering kali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah
tambahan).

Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan di dalam keluarga
tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap
ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada
suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan
anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi mutlak peran ibu/istri. Kesetaraan gender
dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam
keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik
laki-laki saja atau milik perempuan saja.

Jika diamati, pada saat krisis ekonomi terjadi, dimana banyak pekerja (laki-laki) yang
terkena PHK, serta sulitnya mencari lapangan kerja baru membuat kaum perempuanlah yang
bangkit menjadi pengganti peran pemenuhan kebutuhan keluarga. Di permukiman pinggiran
kota, banyak kaum ibu yang berusaha membuka usaha kecil seperti warung, berjualan
jajanan/makanan atau bekerja paruh waktu untuk tetap menjaga keberlangsungan hidup
keluarga. Dan faktanya, peran itu telah memberikan kontribusi yang besar
terhadappemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Artinya, bahwa peran yang dilekatkan kepada
perempuan sebagai kaum lemah dan hanya dibatasi pada peran-peran domestik (pengasuhan
anak, mengurus rumah, dll.) tidak benar, karena baik laki-laki maupun perempuan, apabila
diberi kesempatan yang setara dapat melakukan tugas yang sama pentingnya baik di dalam
rumah (domestik) maupun diluar rumah (publik).

Berbeda dengan pendekatan teori struktural-fungsional yang menempatkan keluarga


sebagai institusi dengan sistem struktur yang menempatkan kedudukan suami, istri, dan anak-
anak pada posisi vertikal, sehingga peran, hak, kewajiban, tanggung jawab sangat di tentukan
oleh hierarki patriakal. Sedangkan menurut teori sosial konflik, struktur yang vertikal tersebut
sangat potensial menimbulkan konflik yang berkepanjangan di dalam keluarga. Karena sistem
struktur yang hierarkis sering kali menciptakan situasi yang tidak demokratis dimana
pembagian sumber daya yang terbatas (kekuasaan, kesempatan, keputusan-keputusan
keluarga) berlaku mutlak tanpa proses negoisasi antaranggota keluarga.

Menurut Collins yang dikutip Megawangi (1999), bahwa keluarga yang ideal adalah
yang berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal (tidak hierarkis). Model
konflik memang tidak melihat kesatuan sebuah sistem, yang menurut model struktural-
fungsionl adalah aspek utama untuk solidnya sebuah masyarakat, tetapi lebih memfokuskan
pada adanya konflik antarindividu, kelas atau kelompok. Konflik ini tentunya akan membawa
perubahan, bahkan kehancuran sistem tersebut. Pada proses selanjutnya, pendekatan sosial-
konflik lebih menegaskan bahkan menumbuhkan kesadaran masing-masing individu akan
perbedaannya serta bagaimana perbedaan tersebut menjadi sebuah sinergi/harmoni sehingga
perubahan-perubahan yang lebih baik dapat terjadi di dalam keluarga.

Tawney dikutip Megawangi (1999) mengakui adanya keragaman pada manusia, entah itu
biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan, cocok dengan paradigma
inklusif. Ia mengatakan bahwa konsep yang mengakui faktor spesifik seseorang dan
memberika haknya sesuai dengan kondisi perseorangan, atau disebut “person-regarding
equality”. Kesetaraan ini bukan dengan memberi perlakuan sama kepada setiap individu agar
kebutuhannya yang spesifik dapat terpenuhi, konsep ini disebut “kesetaraan kontekstual”.
Artinya, kesetaraan adalah bukan kesamaan (sameness) yang sering menuntut persamaan
matematis, melainkan lebih kepada kesetaraan yang adil yang sesuai dengan konteks masing-
masing individu.

Pemahaman tentang perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, masing-


masing anggota keluarga seharusnya dapat ditanamkan sejak sebuah keluarga terbentuk.

7
Sistem patriakat yang memposisikan fungsi-fungsi di dalam keluarga didasarkan pada
struktur yang kaku serta memiliki heararki kekuasaan yang terlalu membatasi adanya peran
partisipatif antaranggota keluarga telah menyebabkan terjadinya ketimpangan dan
ketidakadilan. Relasi gender dalam keluarga dapat dibangun jika masing-masing individu
saling memahami perbedaan dan kebutuhan yang dimiliki serta mampu memberikan
kesempatan yang seimbang tanpa membeda-bedakan peran gender.

Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan keluarga,


didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan masing-masing individu
sehingga pada setiap peran yang dilakukan akan memiliki perbedaan. Kesetaraan gender juga
tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang
didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Kesetaraan gender
dalam keluarga mengisyaratkan adanya keseimbangan dalam pembagian peran antar anggota
keluarga sehingga tidak ada salah satu yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi
keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia
yang berkualitas dapat tercapai.

E. Fungsi Bidan dalam Gender

Secara kodrati, perempuan dan laki-laki adalah dua jenis kelamin yang berbeda.
Perbedaan yang bersifat universal tersebut, sayangnya banyak disalah artikan sebagai sebuah
sekat yang membentengi ruang gerak. Dalam perkembangannya kemudian, jenis kelamin
peremouan lebih banyak mengalami tekanan, hanya karena secara kodrati perempuan
dianggap lemah dan tak berdaya.

Yulfita Rahardjo dari Pusat Studi Kependudukan dan Pemberdayaan Manusia Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, persepsi yang bias tersebut pada akhirnya
menyulitkan perempuan untuk mendapatkan akses pada berbagai segi kehidupan, utamanya
bidang kesehatan yang menentukan kehidupan dan kematian perempuan.

Di beberapa wilayah dengan adat istiadat dan budaya tertentu, isu gender memang sangat
membedakan aktivitas yang boleh dilakukan antara pria dan wanita. Demikian dengan profesi
bidan, yang sebagian besar disandang perempuan. Sementara dokter kandungan di dominasi
laki-laki. Bahkan pernah pada satu masa, dokter kandungan tidak boleh di lakoni kaum hawa.
Juga mitos gender seputar hubunagan seksual, dimana istri tabu meminta suaminya untuk
pakai kondom. Jadi yang ber-KB adalah kaum perempuan. Dalam masalah ini bidan berperan
untuk memberi penyuluhan kepada pasangan suami istri, bahwa tidak hanya kaum wanita
yang diharuskan memakai KB namun kaum laki-laki pun perlu memakai KB bila ingin
meminimalisir kehamilan dan persalinan.
Data terakhir, Indonesia masih menempati urutan tertinggi dengan Angka Kematian Ibu
(AKI) mencapai 307/100 ribu kelahiran dan Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 45/1000
kelahiran hidup. Tak pelak lagi, perempuan seringkali menghadapi hambatan untuk
mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan. Hali itu disebabkan tiga hal, yakni jarak
geografis, jarak sosial budaya serta jarak ekonomi.

Selain menimpa perempuan, bias gender juga bisa menimpa kaum pria. Di bidang
kesehatan, lebih banyak perempuan menerima program pelayanan dan informasi kesehatan,
khusus nya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan anak ketimbang laki-laki. Hal itu
bisa jadi ada kaitannya dengan stereotip gender yang melabelkan urusan hamil, melahirkan,
mengurus anak dan kesehatan pada umumnya sebagai urusan perempuan. Dari beberapa
contoh diatas memperlihatkan bagaimana norma dan nilai gender serta perilaku yang
berdampak negatif terhadap kesehatan.

Untuk itu, tugas bidan adalah meningkatkan kesadaran mengenai gender dalam
menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peran-peran dalam keluarga tidak seluruhnya kaku sebagai tugas/peran ibu, ayah, anak
laki-laki, atau anak perempuan saja, tetapi ada beberapa tugas/peran yang dapat di
pertukarkan. Sebaiknya, peran-peran yang melekat pada perempuan atau laki-laki di dalam
keluarga tidak terjebak pada streotype yang di lekatkan pada perbedaan gender. Kesalahan
mendasar pada sistem keluarga, lebih banyak diakibatkan pola pendidikan yang diterapkan
orang tua terhadap anak-anaknya yang masih berorientasi pada dogma-dogma patriarkis.

Image anak perempuan lebih lemah, rapuh serta berbagai sifat-sifat feminimnya
sedangkan anak laki-laki yang dipandang lebih kuat, tidak cengeng dan dengan segala atribut
maskulinitasnya mengakibatkan perbedaan perlakuan dan pola pendidikan yang diberikan
orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, setiap anak perempuan maupun laki-laki
memiliki sifan feminim dan maskulin meskipun pada masing-masing jenis kelamin ada sifat
yang lebih dominan. Pembiasaan perlakuan dan pembagian peran gender dalam keluarga
yang tidak seimbang, bahkan menempatkan posisi perempuan sebagai subordinat banyak
menimbulkan konflik dalam keluarga yang secara tidak sadar konflik tersebut akan
berkembang lebih luas ke konflik masyarakat dan bahkan konflik kemanusiaan.

9
DAFTAR PUSTAKA

http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/197110221998022-
LILIS_WIDANINGSIH/Relasi_Gender-Lilis.pdf

https://www.academia.edu/17018575/INTEGRASI_GENDER_DAN_HAM

10

Anda mungkin juga menyukai